1 WAJIB BELA NEGARA DAN PRINSIP

advertisement
WAJIB BELA NEGARA DAN PRINSIP PEMBEDAAN DALAM HUKUM
HUMANITER INTERNASIONAL (KAJIAN PASAL 30 UUD 1945)
Lina Hastuti
Abstract
The main provision of state defense is as provided in Article 30 UUD 1945
and is further regulated by the Act No. 20 year 1982 regarding General
Provision on the Defense and Security of the Republic of Indonesia, which
was amended by Act No. 3 year 2002 regarding State Defense. The
concept of people’s participation in state defense and security system
(sishankamrata) as stated in the previous Act was replaced by state
defense system by the later Act. In order to implement this new Act, there
has been an effort by government to propose a Bill regarding Reserve
Component of the State Defense. Several important issues in the Bill are
including the active involvement of civilian in the state defense. Moreover,
member of the Reserve Component after being mobilized has a new status
as combatant. Therefore, if the Bill regarding Reserve Component of the
State Defense is approved by the Parliament and become an Act - and
there is no significant modification to the provision on the status of civil
citizen after being mobilized – it will be clear that every civilians who
involve in state defense activity must then be treated as combatant.
Keywords: international humanitarian law, distinction principle.
I. PENDAHULUAN
Pada waktu terjadi ketegangan antara Indonesia dan Malaysia akibat klaim
Malaysia atas Blok Ambalat di perairan Sulawesi, banyak elemen masyarakat yang
mendaftar sebagai sukarelawan untuk berperang melawan Malaysia.
Keinginan ini
memperlihatkan bahwa masih ada rasa nasionalisme di kalangan anggota masyarakat,
namun tidaklah mudah mewujudkannya. Selain karena tidak ada perang diantara kedua
negara dan yang tidak kalah penting karena keikutsertaan warga sipil dalam upaya
pembelaan negara belum diatur dalam undang-undang. Jajak pendapat yang diadakan
bagian Penelitian dan Pengembangan Kompas pada tanggal 1 – 2 Desember 2004
menunjukkan hasil yang mengejutkan. Hasilnya, 64 % responden bisa menerima kalau

Departemen Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya. Kritik terhadap
tulisan ini dapat dikirimkan melalui: [email protected].
1
masyarakat biasa dilibatkan dalam upaya-upaya bela negara. Mereka menganggap bahwa
bela negara merupakan kewajiban moral setiap warga negara.
Bela negara seringkali dikaitkan dengan militer dan militerisme, sehingga seolaholah kewajiban dan tanggung jawab untuk membela negara hanya tugas Tentara Nasional
Indonesia (selanjutnya disingkat TNI). Hal ini tentulah bertentangan dengan pasal 30
ayat (1) UUD 1945 setelah Amandemen IV (selanjutnya disingkat
UUD 1945).
Berdasarkan pasal 30, tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha
pertahanan dan keamanan negara.
Isi pasal 30 tersebut memang menyiratkan tekad
yang dapat dilakukan semua warga negara dalam kerangka pertahanan nasional. Sikap
dan semangat yang demikian merupakan hal yang wajar dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Beberapa negara mengatur hal yang sama, bahkan di beberapa negara dikenal
wajib militer. Di Amerika Serikat, komponen cadangan (reserve component) atau
kekuatan cadangan (reserve force) telah menjadi kekuatan yang tidak kalah dengan
komponen utamanya.1
Ketentuan wajib bela negara yang demikian jika dikaji lebih lanjut menimbulkan
persoalan, terutama dikaitkan dengan pengaturan dalam hukum humaniter internasional
(selanjutnya disingkat hukum humaniter). Salah satu prinsip yang mendasari berlakunya
hukum humaniter adalah prinsip pembedaan (distinction principle). Prinsip ini
mengandung arti bahwa dalam suatu konflik bersenjata, golongan penduduk dibagi
menjadi dua kelompok yaitu kombatan dan civilian.2
Pasal 30 merupakan pengaturan secara nasional tentang pertahanan negara dan
implementasinya juga berlaku di wilayah Indonesia. Keadaan akan menjadi lain
manakala Indonesia sedang terlibat sengketa bersenjata dengan negara lain. Hubungan
internasional yang melibatkan anggota masyarakat internasional, cepat berubah, dari
yang semula pada tingkat hubungan yang baik (harmonis) menjadi tegang karena ada
masalah diantara mereka. Dapat pula terjadi, pada suatu saat datang ancaman dari negara
lain, karena pada dasarnya sifat ancaman tidak dapat diduga waktu, tempat dan
bentuknya. Penyelesaian masalah dengan negara lain sedapat mungkin diusahakan
1
Kompas, Sekelumit tentang Komponen Cadangan Paman Sam, 8 Desember 2004.
Kombatan adalah mereka yang boleh secara aktif ikut dalam pertempuran, apabila tertangkap lawan
menjadi tawanan perang. Penduduk sipil (civilian) adalah mereka yang tidak (boleh) turut serta dalam
pertempuran, mereka harus dilindungi dan tidak boleh dijadikan sasaran serangan.
2
2
melalui cara-cara damai. Bagi bangsa Indonesia, perang adalah jalan terakhir dan hanya
dilakukan apabila semua usaha dan penyelesaian secara damai tidak berhasil. Apabila
sudah terjadi perang dengan negara lain, maka
hukum humaniter diberlakukan.
Perwujudan amanat pasal 30 dapat menimbulkan masalah apabila dalam sengketa
terlibat pula warga negara (penduduk sipil). Selain TNI yang merupakan angkatan perang
Indonesia dan karena itu merupakan kombatan, maka diperlukan pengaturan yang jelas
dan tegas warga sipil yang terlibat dalam perang, agar diketahui status mereka.
Dalam tulisan ini, yang pertama akan dibahas adalah makna kewajiban bela
negara sebagaimana terdapat dalam pasal 30 UUD 1945, hal ini dapat diketahui dari
peraturan perundangan yang merupakan peraturan pelaksana dari pasal tersebut yang
dalam prakteknya, terdapat beberapa undang-undang. Bagian berikutnya membahas
prinsip pembedaan yang dikenal dalam hukum humaniter, sehingga akan diperoleh
jawaban tentang status warga negara yang ikut serta dalam pembelaan negara.
II.
DOKTRIN PERTAHANAN NEGARA
Berdasarkan jiwa Pembukaan dan Bab XII serta Pasal 30 Undang-undang Dasar
1945, pertahanan keamanan negara Republik Indonesia pada hakekatnya adalah
perlawanan rakyat semesta yang diselenggarakan dengan sistem pertahanan keamanan
rakyat semesta (selanjutnya disingkat sishankamrata) dengan mengerahkan segenap
warga negara berdasarkan hak dan kewajibannya, dan pengamanan serta pendayagunaan
sumber daya alam dan prasaranan nasional secara terpadu, adil dan merata di bawah
pimpinan pemerintah.3
Konsep sishankamrata diwujudkan dalam Undang-undang nomor 20 tahun 1982 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia, dimana
komponen sishankamrata terdiri atas :
a. rakyat terlatih sebagai komponen dasar;
b. angkatan bersenjata beserta cadangan Tentara Nasional Indonesia sebagai komponen
utama;
c. perlindungan masyarakat sebagai komponen khusus;
3
Departemen Pertahanan dan Keamanan, Undang-undang RI nomor 20 tahun 1982 tentang Ketentuanketentuan Pokok Pertahanan Keamanan negara Republik Indonesia, Badan Pembina Hukum, Jakarta, 1983.
3
d. sumber daya alam, sumber daya buatan dan prasarana nasional sebagai komponen
pendukung.
Rakyat terlatih (selanjutnya disingkat ratih) sebagaimana yang diatur dalam pasal
11 Undang-undang nomor 20 tahun 1982 merupakan salah satu bentuk keikutsertaan
warga negara yang melaksanakan fungsi ketertiban umum; perlindungan rakyat;
keamanan rakyat dan perlawanan rakyat. Tujuan dibentuk ratih adalah untuk
meningkatkan daya dan kekuatan tangkal bangsa dan negara, membantu TNI dan
Kepolisian, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, menjamin keamanan dan ketertiban
masyarakat dalam rangka pertahanan keamanan. Penugasan ratih yang memiliki fungsi
ketertiban umum dan perlindungan rakyat dilaksanakan berdasarkan usul tertulis Menteri
Dalam Negeri. Fungsi keamanan rakyat dilaksanakan berdasarkan usul tertulis Kepala
Kepolisian, sedang fungsi perlawanan rakyat dilaksanakan berdasarkan usul tertulis dari
Panglima TNI. Pengaturan lebih lanjut tentang ratih terdapat dalam Undang-undang
nomor 56 tahun 1999.
Selanjutnya, pasal 13 Undang-undang nomor 20 tahun 1982 perlindungan
masyarakat (selanjutnya disingkat linmas) merupakan pengorganisasian masyarakat
untuk melaksanakan fungsi menanggulangi dan atau memperkecil akibat malapetaka
yang ditimbulkan oleh perang, bencana alam atau bencana lainnya. Warga negara yang
diikutsertakan dalam linmas adalah warga negara di lingkungan pemukiman, lingkungan
pendidikan dan lingkungan pekerjaan yang bukan anggota ratih atau angkatan bersenjata
ataupun cadangan TNI.
Undang-undang nomor 20 tahun 1982 digantikan oleh Undang-undang nomor 3
tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Dalam penjelasan umum Undang-undang nomor
3 tahun 2002 ,dalam penyelenggaraan pertahanan negara setiap warga negara mempunyai
hak dan kewajiban untuk ikut serta dalam upaya pembelaan negara sebagai pencerminan
kehidupan kebangsaan yang menjamin hak-hak warga negara untuk hidup setara, adil,
aman, damai dan sejahtera. Sistem pertahanan negara adalah sistem pertahanan yang
bersifat semesta yang melibatkan warga negara, wilayah dan sumber daya nasional
lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total,
terpadu, keutuhan wilayah dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman. Sistem
ini lebih dikenal dengan sistem pertahanan negara (selanjutnya disingkat sishaneg), yang
4
berbeda dengan sistem sebelumnya (sishankamrata) berdasar Undang-undang nomor 20
tahun 1982. Alasan yang mendasari perubahan doktrin pertahanan negara adalah Tap
MPR nomor : VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan Tap MPR nomor : VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
1.
Hakekat Ancaman terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia
Ancaman terhadap Negara kita beragam bentuknya, yang pada hakekatnya dapat
dibedakan ancaman dari luar dan dari dalam. Berakhirnya perang dingin pada awal tahun
90-an sebenarnya berakibat kurangnya ketegangan di dunia. Namun demikian bukan
berarti ancaman sebagai suatu negara merdeka dan berdaulat menjadi berkurang ataupun
hilang sama sekali. Di kawasan Asia Tenggara, meskipun diantara negara-negara
sekawasan sudah terjalin hubungan yang lebih harmonis, salah satunya karena
berhasilnya kerjasama ASEAN, bukan berarti tidak ada masalah. Potensi konflik tetap
saja ada, misalnya sengketa kepulauan Spratly yang melibatkan beberapa negara di
kawasan Laut Cina Selatan (beberapa diantaranya adalah negara anggota ASEAN), klaim
Blok Ambalat oleh Malaysia yang menimbulkan ketegangan antara Indonesia dan
Malaysia, masalah TKI di Malaysia dan Singapura, asap kebakaran hutan di Indonesia
yang menimbulkan penderitaan bagi rakyat negara tetangga, bahkan juga hubungan
antara Malaysia dan Thailand terkait dengan pemberontakan di Thailand Selatan ataupun
antara Singapura dan Thailand karena pengalihan kepemilikan komunikasi, dan lain
sebagainya. Dari luar kawasan, masalah Timor Leste yang menyebabkan ketegangan
antara Indonesia dan Australia. Dalam perubahan masyarakat internasional dewasa ini
persoalan yang timbul acapkali lebih sering diselesaikan melalui cara damai sehingga
tidak sampai melahirkan kekerasan bersenjata. Yang berkembang kemudian adalah
potensi ancaman dari luar tampaknya akan lebih berbentuk upaya menghancurkan moral
dan budaya bangsa melalui disinformasi, propaganda, peredaran narkotika dan obat-obat
terlarang, film-film porno atau berbagai kegiatan kebudayaan asing yang mempengaruhi
bangsa Indonesia terutama generasi muda, yang pada gilirannya dapat merusak budaya
bangsa. Potensi ancaman dari luar lainnya adalah dalam bentuk eksplorasi dan eksploitasi
5
sumber daya alam Indonesia yang
tidak terkontrol melalui kerjasama dengan pihak
asing yang berakibat merugikan negara kita. 4
Sementara ancaman dari dalam adalah adanya kenyataan negara Indonesia yang
diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan negara kepulauan yang terdiri
dari puluhan ribu pulau, bermacam-macam suku bangsa, agama dan kebudayaan.
Pluralisme yang demikian dapat menimbulkan hal-hal diantaranya adalah :5
a. disintegrasi bangsa, melalui gerakan-gerakan separatis berdasarkan sentimen
kesukuan atau pemberontakan akibat ketidakpuasan daerah terhadap kebijakan
pemerintah pusat;
b. keresahan sosial akibat ketimpangan kebijakan ekonomi dan pelanggaran hak asasi
manusia yang dapat menyebabkan kerusuhan massa;
c. upaya penggantian ideologi Pancasila dengan ideologi lain yang tidak sesuai dengan
jiwa dan semangat perjuangan bangsa Indonesia;
d. potensi konflik antar kelompok/golongan akibat perbedaan pendapat dalam masalah
politik, maupun SARA;
e. makar atau penggulingan pemerintah yang sah dan konstitusional.
Mengenai ancaman, pada penjelasan pasal 7 Undang-undang nomor 3 tahun 2002 tentang
Pertahanan Negara merinci tentang ancaman militer yaitu ancaman yang menggunakan
kekuatan bersenjata yang terorganisasi yang dinilai mempunyai kemampuan yang
membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara dan keselamatan segenap
bangsa. Ancaman militer sebagaimana terdapat dalam penjelasan, dapat berbentuk antara
lain :
1.
agresi berupa penggunaan kekuatan bersenjata oleh negara lain terhadap kedaulatan
negara, keutuhan wilayah dan keselamatan segenap bangsa atau dalam bentuk dan
cara-cara antara lain :
1).
Invasi berupa serangan oleh kekuatan senjata negara;
2).
Bombardemen berupa penggunaan senjata lainnya yang dilakukan oleh
angkatan bersenjata negara lain;
3).
Blokade terhadap pelabuhan atau pantai atau wilayah udara;
4
Budi S. Satari, Pendidikan
Pendahuluan Bela Negara danRelevansinya di Era Reformasi,
http://www.polarhome.com/pipermail/marinir/2004-February/000184.html, diakses pada 13 Maret 2008
5
Ibid.
6
4).
Serangan unsur angkatan bersenjata negara lain terhadap unsur satuan darat
atau satuan laut atau satuan udara TNI;
5).
Unsur
kekuatan bersenjata negara lain yang berada di wilayah negara
Kesatuan Republik Indonesia;
6).
Tindakan suatu negara yang mengizinkan penggunaan wilayahnya oleh negara
lain sebagai daerah persiapan untuk melakukan agresi terhadap Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
7).
Pengiriman kelompok bersenjata atau tentara bayaran oleh negara lain untuk
melakukan tindakan kekerasan di wilayah Indonesia atau melakukan tindakan
seperti tersebut di atas;
2.
pelanggaran wilayah yang dilakukan oleh negara lain, baik yang menggunakan
kapal maupun pesawat non komersiil;
3.
spionase yang dilakukan oleh negara lain untuk mencari dan mendapatkan rahasia
militer;
4.
sabotase untuk merusak instalasi penting militer dan obyek vital nasional yang
membahayakan keselamatan bangsa;
5.
aksi teror bersenjata
yang dilakukan oleh jaringan terorisme internasional atau
yang bekerja sama dengan terorisme dalam negeri atau terorisme dalam negeri yang
bereskalasi tinggi sehingga membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah
dan keselamatan segenap bangsa;
6.
pemberontakan bersenjata;
7.
perang saudara yang terjadi antara kelompok masyarakat bersenjata dengan
kelompok masyarakat bersenjata lainnya.
2.
Konsep Bela Negara
Bela negara yang terdapat dalam pasal 30 UUD 1945 dapat diuraikan dalam dua
pengertian yaitu bela negara secara
non-fisik dan fisik. Secara non-fisik lebih
dititikberatkan kepada tumbuhnya kesadaran untuk menangkal berbagai potensi ancaman,
baik dari luar maupun dari dalam. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai bentuk,
sepanjang masa dan dalam segala situasi, misalnya dengan cara : 6
6
Ibid,h. 5-6.
7
a. meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara;
b. menanamkan kecintaan terhadap tanah air;
c. berperan aktif dalam memajukan bangsa dan negara dengan berkarya nyata;
d. meningkatkan kesadaran dan kepatuhan terhadap hukum/undang-undang dan
menjunjung tinggi hak asasi manusia; dan
e. pembekalan mental spiritual di kalangan masyarakat agar dapat menangkal pengaruhpengaruh budaya asing yang tidak sesuai dengan norma-norma kehidupan bangsa
Indonesia.
Bela negara secara fisik mengandung pengertian bahwa keterlibatan warga negara
sipil dalam upaya pertahanan negara dilakukan melalui keterlibatan langsung. Pelibatan
warga negara dalam upaya bela negara lazim dikenal dengan istilah mobilisasi.
Dalam Dictionary of the International Law of Armed Conflict7, istilah mobilisasi
dijabarkan sebagai the transition from the state of peace to of a war footing of some or all
units of the armed forces. Mobilization is effected by reinforcing the number of
personnel, increasing supplies of equipment, reinforcing commands, and setting up new
commands and forming new units placed on a war footing. Dari pengertian tersebut,
mobilisasi dapat terjadi karena terdapatnya suatu perubahan situasi dari suatu keadaan
yang damai menuju pada suatu kondisi yang genting dalam konsep pertahanan dan
keamanan,
sehingga
memaksa
negara
untuk
mengerahkan
sejumlah
personil
meningkatkan cadangan perlengkapan bagi keperluan pertahanan dan keamanan, serta
segala sesuatu yang berkaitan dengan hal tersebut. Sedang kondisi sebaliknya dari
mobilisasi adalah demobilisasi, yaitu demobilization returns units of the armed forces put
on a war footing to peacetime organization. 8
Mobilisasi menurut pasal 1 ayat (2) Undang-undang nomor 27 tahun 1997 tentang
Mobilisasi dan Demobilisasi diartikan sebagai tindakan pengerahan dan penggunaan
secara serentak sumber daya nasional serta sarana dan prasarana nasional yang telah
dibina dan dipersiapkan sebagai komponen kekuatan pertahanan keamanan untuk
digunakan secara tepat, terpadu dan terarah bagi penanggulangan setiap ancaman, baik
7
Pietro Verri, Dictionary of the International Law of Armed Conflict, International Committee of the Red
Cross, Geneva, 1992, h.72
8
Trihoni Nalesti Dewi, Mobilisasi dan Demobilisasi dalam Hukum Internasional dan Hukum
Nasional,Basic Course International Humanitarian Law, Malang, 2002, h.1
8
dari luar negeri maupun dalam negeri. Sedang menurut pasal 1 ayat (5)-nya demobilisasi
merupakan tindakan penghentian pengerahan dan penghentian penggunaan sumber daya
nasional serta sarana dan prasarana nasional yang berlaku untuk seluruh wilayah negara
yang diselenggarakan secara bertahap guna memulihkan fungsi dan tugas setiap unsur
seperti sebelum berlakunya mobilisasi. Tujuan diselenggarakannya demobilisasi
sebagaimana diatur dalam pasal 6 Undang-undang yang sama adalah untuk memulihkan
kembali fungsi dan tugas umum pemerintahan, kehidupan kemasyarakatan, dengan tetap
terpeliharanya kemampuan dan kekuatan pertahanan keamanan negara. Mobilisasi
dikenakan terhadap : a. warga negara yang termasuk : anggota ratih, anggota linmas dan
diperlukan karena keahliannya; serta b. sumber daya alam, sumber daya buatan, serta
sarana dan prasarana nasional termasuk personil yang mengawakinya.
3.
Pengaturan Nasional tentang Pertahanan dan Keamanan Negara
Beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pertahanan dan
keamanan negara adalah :
1.
Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 1982 tentang Ketentuanketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Lembaran
Negara Republik Indonesia tahun 1982 nomor 51, Tambahan Lembaran Negara
nomor 3234);
2.
Undang-undang Republik Indonesia nomor 1 tahun 1988 tentang Perubahan atas
Undang-undang nomor 20 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia tahun 1988 nomor 3, Tambahan Lembaran Negara nomor 3368);
3.
Undang-undang Republik Indonesia nomor 2 tahun 1988 tentang Prajurit Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1988
nomor 4, Tambahan Lembaran Negara nomor 3369);
4.
Undang-undang Republik Indonesia nomor 26 tahun 1997 tentang Hukum Disiplin
Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia tahun 1997 nomor 74, Tambahan Lembaran Negara nomor 3703);
9
5.
Undang-undang Republik Indonesia nomor 27 tahun 1997 tentang Mobilisasi dan
Demobilisasi
(Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1997 nomor 75 ,
Tambahan Lembaran Negara nomor 3704);
6.
Undang-undang Republik Indonesia nomor 28 tahun 1997 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1997
nomor 81, Tambahan Lembaran Negara nomor 3710);
7.
Undang-undang Republik Indonesia nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer
(Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1997 nomor 84, Tambahan Lembaran
Negara nomor 3713);
8.
Undang-undang Republik Indonesia nomor 56 tahun 1999 tentang Rakyat Terlatih.
9.
Undang-undang Republik Indonesia nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1982 nomor 51,
Tambahan Lembaran Negara nomor 3234);
10. Undang-undang Republik Indonesia nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1982 nomor 51, Tambahan
Lembaran Negara nomor 3234);
11. Undang-undang Republik Indonesia nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1982 nomor 51, Tambahan
Lembaran Negara nomor 3234)
Menurut Penjelasan Undang-undang nomor 3 tahun 2002, bentuk pertahanan
negara bersifat semesta dalam arti melibatkan seluruh rakyat dan segenap sumber daya
nasional, sarana dan prasarana nasional, serta seluruh wilayah negara sebagai satu
kesatuan pertahanan. Keikutsertaan dalam upaya pertahanan negara merupakan tanggung
jawab dan kehormatan setiap warga negara, oleh karena itu, tidak seorangpun boleh
menghindar dari kewajiban tersebut, kecuali ditentukan dengan undang-undang.
Selanjutnya, keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara diselenggarakan
melalui :
a. pendidikan kewarganegaraan;
b. pelatihan dasar kemiliteran serta wajib;
c. pengabdian sebagai prajurit TNI secara sukarela atau secara wajib; dan
d. pengabdian sesuai profesi.
10
Menurut Undang-undang nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, komponen
pertahanan keamanan hanya meliputi:
a. komponen utama yaitu TNI;
b. komponen cadangan, terdiri atas warga negara, sumber daya alam, sumber daya
buatan, serta sarana dan prasarana nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan
melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat komponen utama; dan
c. komponen pendukung, terdiri atas warga negara, sumber daya alam, sumber daya
buatan serta sarana dan prasarana nasional yang secara langsung atau tidak langsung
dapat meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen utama dan komponen
cadangan.
Apabila dibandingkan dengan Undang-undang nomor 20 tahun 1982, komponen
pertahanan keamanan yang dalam Undang-undang nomor 3 tahun 2002 lebih sederhana.
Selain macam komponen, perbedaan lainnya adalah dalam Undang-undang nomor 3
tahun 2002, hanya TNI yang ditetapkan sebagai komponen utama, sedang cadangan TNI
dimasukkan dalam komponen cadangan. Hal tersebut dimaksudkan agar pelaksanaan
penyelenggaraan pertahanan negara sesuai dengan aturan hukum internasional yang
berkaitan dengan prinsip pembedaan, serta untuk penyederhanaan pengorganisasian
upaya bela negara. Disamping itu, diatur pula mengenai sumber daya alam, sumber daya
buatan, serta sarana dan prasarana nasional, sebagai komponen cadangan maupun
komponen pendukung.
Sekalipun demikian, konsep baru yang ditawarkan oleh Undang-undang nomor 3
tahun 2002 belum diikuti oleh peraturan pelaksanaannya, sehingga dalam beberapa hal
masih memakai aturan sebelumnya. Pasal yang belum ada peraturan pelaksanaannya
misalnya adalah pasal 30 UUD 1945 yang terkait dengan wajib bela negara. Berdasar
kenyataan bahwa belum adanya perundang-undangan yang secara khusus mengatur
mengenai keikutsertaan warga sipil dalam upaya bela negara, maka beberapa waktu yang
lalu Direktorat Jenderal Pertahanan Departemen Pertahanan membuat Draf
RUU
Komponen Cadangan Pertahanan Negara (selanjutnya disingkat RUU KCPN). Selain
karena alasan sebagaimana di atas, alasan yang lain adalah mempersiapkan warga negara
secara dini dalam mengantisipasi serangan militer pihak lain.
11
Komponen cadangan merupakan salah satu wadah dan bentuk keikutsertaan
warga negara dan seluruh sumber daya nasional lainnya dalam usaha pertahanan negara.
Wadah lain menurut UU tentang Pertahanan Negara adalah melalui komponen utama dan
komponen pendukung. Tujuan
kedua komponen
adalah untuk memperbesar dan
memperkuat kekuatan dan kemampuan TNI sebagai komponen utama dalam upaya
penyelenggaraan pertahanan negara untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara,
keutuhan wilayah dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.
Pasal 27 RUU KCPN berisi ketentuan bahwa komponen cadangan digunakan
dalam keadaan darurat militer atau keadaan perang melalui keputusan mobilisasi dan
demobilisasi yang ditetapkan oleh Presiden dengan persetujuan DPR serta digunakan bila
telah diperhitungkan bahwa kekuatan TNI tidak mampu untuk menghadapi ancaman
militer yang ada. Tidak semua darurat militer atau keadaan perang harus diikuti dengan
mobilisasi, kekuatan TNI harus digunakan lebih dulu secara maksimal.
Pengangkatan anggota komponen cadangan dilakukan melalui suatu Komisi
Pengerahan calon anggota komponen cadangan tingkat pusat dan daerah, sebagaimana
yang terdapat dalam pasal 9 RUU KCPN. Hal ini didasarkan pada suatu pertimbangan
bahwa menjadi anggota komponen cadangan, di satu sisi pada dasarnya bersifat wajib
sebagai perwujudan hak dan kewajiban warga negara dalam usaha pertahanan negara, di
sisi lain, merupakan pembatasan dan pengurangan hak asasi manusia. Oleh karena itu,
dalam RUU KCPN dibuat aturan pada tahap pemanggilan calon anggota komponen
cadangan dilakukan oleh suatu komisi negara yang keanggotaannya mewakili berbagai
instansi.
Komponen cadangan terdiri dari komponen cadangan matra darat, komponen
cadangan matra laut dan komponen cadangan matra udara. Anggota komponen cadangan
meliputi setiap warga negara yang telah berusia 18 tahun hingga 45 tahun, yang : 9
(a)
pegawai negeri sipil, karyawan badan usaha milik negara atau daerah dan pegawai
swasta, serta perseorangan yang dipanggil untuk wajib menjadi anggota komponen
cadangan;
(b)
mantan prajurit TNI dan mantan anggota kepolisian yang memenuhi persyaratan
dan wajib dipanggil menjadi anggota komponen cadangan;
9
Pasal 7 ayat (1) RUUKCPN
12
(c)
perseorangan di luar ayat (2) a dan b, yang memenuhi persyaratan, dapat diangkat
menjadi komponen cadangan.
Komponen cadangan wajib menjalani masa bakti selama lima tahun dan setelah
masa bakti berakhir, secara sukarela dapat diperpanjang selama-lamanya lima tahun lagi,
atau berakhir setelah yang bersangkutan mencapai usia 55 tahun. Selama dalam masa
dinas, anggota komponen cadangan melaksanakan penugasan di bidang pertahanan, yaitu
menjalani latihan dan selama tidak dalam dinas aktif warga negara kembali
melaksanakan perkerjaan/profesi semula. Komponen cadangan wajib memenuhi
panggilan dalam dinas aktif berdasar keadaan dan kebutuhan.
Dengan demikian,
komponen cadangan dalam penugasan dipilah menjadi 2, yaitu dinas aktif dan tidak
dalam dinas aktif.
III.
PRINSIP PEMBEDAAN DALAM HUKUM HUMANITER
Hukum humaniter internasional berkembang berdasarkan pada beberapa prinsip
yaitu prinsip pembatasan (limitation principle), prinsip proporsional (proporsionality
principle) dan prinsip pembedaan (distinction principle). Dalam prinsip pembatasan,
setiap pihak yang terlibat perang berhak menentukan senjata yang akan digunakan,
meskipun demikian hak mereka terbatas. Para pihak tidak boleh memakai segala jenis
senjata secara sembarangan. Prinsip proporsional artinya jumlah kekuatan yang
dilibatkan harus seimbang dengan ancaman yang dihadapi, dengan tujuan menghindari
jatuhnya korban sipil. Prinsip pembedaan senantiasa membedakan antara penduduk sipil
dan peserta tempur, antara obyek sipil dan obyek militer, sehingga serangan hendaknya
hanya diarahkan ke sasaran militer.
Ketentuan mengenai prinsip ini pada awalnya diatur dalam Hague Regulation 1907,
kemudian dirubah dan disempurnakan oleh Konvensi Jenewa 1949 dan terakhir dirubah
lagi dalam Protokol tambahan 1977. Dalam Hague Regulation antara lain diatur tentang
tentara (armies), milisi dan volunteer corps dan levee en masse.10 Selanjutnya prinsip
pembedaan dalam Konvensi Jenewa 1949 tidak secara tegas menyebut istilah kombatan
10
Lihat Pasal 1, 2 dan 3 Hague Regulations 1907.
13
dan penduduk sipil, melainkan dengan istilah orang-orang yang wajib dihormati dan
dilindungi. 11
Protokol Tambahan I 1977 memberi definisi angkatan bersenjata dan kombatan
berbeda dengan kedua Konvensi sebelumnya. Pasal 43 memberi batasan angkatan
bersenjata sebagai berikut :
1.
angkatan bersenjata dari pihak yang bertikai terdiri dari angkatan bersenjata yang
terorganisir (organized armed forces), kelompok dan unit yang berada di bawah
komando yang bertanggung jawab atas kelakuan anak buahnya kepada pihak
tersebut, sekalipun pihak itu diwakili oleh pemerintah atau penguasa (authority)
yang tidak diakui oleh pihak lawan (adverse party).
2.
anggota angkatan bersenjata dari pihak yang bertikai (kecuali personil medis dan
pendeta seperti tersebut dalam pasal 33 Konvensi Jenewa III), yaitu mereka
berhak untuk ikut serta secara langsung dalam permusuhan;
3.
apabila salah satu pihak yang bertikai memasukkan sebuah kesatuan (agency)
paramiliter atau penegak hukum dalam angkatan bersenjata mereka, maka mereka
wajib memberitahukan hal ini kepada pihak-pihak lain yang bertikai.
Pasal 44 mengatur kombatan dan tawanan perang, beberapa diantaranya adalah :
1.
setiap kombatan, seperti yang ditentukan pasal 43, yang jatuh dalam kekuasaan
pihak lawan, akan menjadi tawanan perang (prisoner of war = POW);
2.
sekalipun semua kombatan harus mentaati hukum perang, pelanggaran terhadap
ketentuan tersebut tidak menghilangkan haknya menjadi kombatan, bila jatuh ke
tangan musuh menjadi tawanan perang;
3.
untuk menambah perlindungan dari akibat permusuhan, kombatan diharuskan
untuk membedakan diri dari penduduk sipil, tetapi bilamana karena alasan situasi
dan sifat permusuhan, kombatan tidak dapat membedakan diri, dia tetap
memperoleh statusnya sebagai kombatan, asal dalam keadaan tersebut dia
membawa senjata secara terbuka selama pertempuran militer dan selama dapat
dilihat oleh musuh pada waktu persiapan militer mendahului serangan dimana dia
turut serta;
11
Lihat Pasal 12, Pasal 13 (Konvensi JenewaI dan II) serta Pasal 4 (Konvensi Jenewa III)
14
4.
seorang kombatan yang jatuh dalam kekuasaan pihak lawan sedang dia tidak
memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam kalimat kedua dari pasal 3, akan
kehilangan haknya sebagai tawanan perang, tetapi terhadapnya akan diberikan
perlindungan yang sama dalam segala aspek seperti diberikan kepada tawanan
perang oleh Konvensi Jenewa III dan Protokol ini;
5.
setiap kombatan yang jatuh kedalam kekuasaan pihak lawan, pada waktu tidak
terlibat dalam serangan atau dalam suatu operasi militer sebagai persiapan suatu
serangan, tidak akan kehilangan haknya sebagai kombatan dan tawanan perang
sebagai akibat kegiatan sebelumnya;
6.
pasal ini tidak mengurangi hak setiap orang untuk menjadi tawanan perang sesuai
pasal 4 Konvensi Jenewa III;
7.
Pasal ini tidak dimaksudkan untuk mengubah kebiasaan yang secara umum telah
diterima negara-negara yang berhubungan dengan pemakaian uniform oleh
kombatan yang termasuk kesatuan yang regular dan berseragam serta bersenjata
dari pihak yang bertikai;
8.
sebagai tambahan dari katagori orang tersebut dalam pasal 13 Konvensi Jenewa I
– II, maka semua anggota angkatan bersenjata dari pihak bertikai seperti
dirumuskan dalam pasal 43 Protokol ini berhak atas perlindungan yang diatur
dalam Konvensi tersebut, apabila mereka luka atau sakit, baik di darat maupun di
laut.
Definisi angkatan bersenjata dan kombatan yang dirumuskan dalam Protokol
berbeda dengan yang diatur oleh konvensi-konvensi sebelumnya, karena baru dalam
Protokol ini dinyatakan secara tegas bahwa kombatan adalah mereka yang berhak untuk
ikut serta secara aktif /langsung dalam permusuhan. Dengan diterimanya pasal 43 dan
44 Protokol, tampak adanya tendensi untuk memberikan kesempatan lebih besar kepada
penduduk yang bukan anggota angkatan bersenjata yang ikut dalam permusuhan, untuk
dimasukkan ke golongan kombatan dan menjadi tawanan perang, kalau mereka jatuh
dalam kekuasaan pihak lawan.12
Pasal lain dalam Protokol I yang mengatur prinsip pembedaan adalah pasal 48,
yang berisi : untuk menjamin penghormatan dan perlindungan terhadap penduduk sipil
12
G.P.H. Haryomataram, Hukum Humaniter , Rajawali, Jakarta, 1984 h. 3
15
(civilians) dan obyek sipil, pihak-pihak dalam konflik senantiasa harus dibedakan antara
penduduk sipil dan kombatan, dan antara obyek sipil dan obyek militer dan akan
mengarahkan operasi mereka hanya terhadap obyek militer saja.
Penduduk sipil diatur dalam Konvensi IV Konvensi Jenewa 1949 yang secara
khusus mengatur mengenai perlindungan penduduk sipil di waktu perang.
Pasal 27
mengatur antara lain orang-orang yang dilindungi dalam segala keadaan berhak akan
penghormatan atas diri pribadi, kehormatan hak-hak kekeluargaan, keyakinan dan
praktek keagamaan serta adat istiadat dan kebiasaan mereka. Terhadap orang-orang yang
dilindungi dilarang melakukan tindakan-tindakan yang:13
a. memaksa, baik jasmani ataupun rohani, untuk memperoleh keterangan;
b. menimbulkan penderitaan jasmani;
c. menjatuhkan hukuman kolektif;
d. mengadakan intimidasi, terorisme, perampokan;
e. tindakan pembalasan terhadap penduduk sipil;
f. menangkap penduduk sipil untuk ditahan sebagai sandera.
Pasal 50 ayat ( 1)
Protokol Tambahan I 1977 memberi definisi orang sipil yaitu :
seseorang yang tidak termasuk salah satu kategori/golongan yang disebut dalam pasal 4
A (1), (2), (3) dan (6) dari Konvensi III dan pasal 43 Protokol ini. Apabila ada keraguraguan apakah seseorang tergolong orang sipil, maka orang itu dianggap sebagai orang
sipil.
IV.
MAKNA PASAL 30 UUD 1945 DIKAITKAN DENGAN HUKUM
HUMANITER INTERNASIONAL
Indonesia merupakan salah satu dari negara yang telah meratifikasi Konvensi
Jenewa 1949 melalui Undang-undang nomor 59 tahun 1958. Sebagai negara peserta,
Indonesia mempunyai kewajiban untuk mengimplementasikan ketentuan hukum
humaniter ke dalam peraturan perundang-undangan nasionalnya.
Dalam hukum internasional, tidak dijumpai pengaturan secara spesifik mengenai
mobilisasi, namun pemahaman konsep mobilisasi dapat ditelusuri melalui masalah-
13
G.P.H. Haryomataram, Sekelumit Tentang Hukum Humaniter Internasional, Sebelas Maret University
Press, Surakarta, 1994, h.97.
16
masalah yang berkaitan dengan milisi (militia), levee en masse dan civil defence,
terutama dikaitkan dengan status mereka dalam pertempuran. Sejak berlakunya Konvensi
Den Haag 1907, bukan hanya anggota angkatan bersenjata saja yang dinyatakan berhak
ikut ambil bagian dalam pertempuran, tetapi juga anggota milisi, barisan sukarela dan
levee en masse yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Selanjutnya Konvensi Jenewa III
1949 menambahkan klasifikasi milisi dan barisan sukarela tersebut haruslah merupakan
bagian dari salah satu pihak yang bertikai dan pertanggungjawaban diemban oleh negara
yang bertikai atas tindakan-tindakan yang dilakukan milisi dan barisan sukarela. 14
Milisi dan levee en masse diartikan sebagai orang-orang sipil yang mengangkat
senjata dan membawanya secara terbuka serta mampu menghormati hukum dan
kebiasaan perang, karenanya mereka berstatus sebagai kombatan.
Sementara civil
defence dalam pengertian hukum humaniter adalah kelompok orang sipil yang tidak
dilibatkan sebagai peserta tempur tetapi secara khusus lebih pada tugas-tugas
perlindungan masyarakat dari akibat pertempuran.
Dikaitkan dengan pengaturan dalam hukum humaiter, ketentuan secara nasional
mengenai pelaksanaan pasal 30 UUD 1945 dapat dimulai dari Undang-undang nomor 20
tahun 1982. Komponen sishankamrata terdiri atas komponen dasar, komponen utama,
komponen khusus dan komponen pendukung. Rakyat terlatih sebagai komponen dasar
diatur lebih lanjut melalui Undang-undang nomor 56 tahun 1999. Dari pasal 14, 15 dan
16 yang mengatur fungsi yang diemban ratih, maka ratih mempunyai dua status
sekaligus. Ratih yang melaksanakan fungsi ketertiban umum, perlindungan rakyat dan
keamanan rakyat berstatus sebagai penduduk sipil (bukan peserta tempur), sementara
fungsi
perlawanan
rakyat
melaksanakan
tugas
yang
berhubungan
dengan
penyelenggaraan pertahanan keamanan negara, sehingga statusnya adalah peserta tempur.
Status ganda ratih ini akan menyulitkan semua pihak manakala dihadapkan pada situasi
yang mengharuskan kepastian status ratih.
Hal yang sama juga terjadi pada perlindungan masyarakat (linmas). Linmas
merupakan istilah baru yang terdapat dalam Undang-undang nomor 20 tahun 1982,
menggantikan istilah pertahanan sipil (hansip) yang dikenal sebelumnya. Berdasar
14
Hans Haug, Humanity for All, HAUPT Stuttgart – Vienna, 1993, hal.541 sebagaimana dikutip dalam
makalah Trihoni Nalesti Dewi, Mobilisasi dan Demobilisasi dalam Hukum Internasional dan Hukum
Nasional, Basic Course International Humanitarian Law, Malang, 2002 h. 7-8.
17
Undang-undang tersebut, linmas melaksanakan tugas yang sama dengan civil defence
dalam hukum humaniter. Penentuan status linmas sebagai peserta tempur atau bukan
muncul, karena meskipun di Undang-undang tersebut tegas dinyatakan bahwa linmas
melaksanakan tugas sipil, namun peraturan pelaksananya belum ada, sehingga tetap
memakai peraturan sebelumnya. Apabila mendasarkan pada peraturan sebelumnya
tersebut, maka linmas mempunyai dua status, karena hansip sebagai organisasi sipil
(civilian) juga dibebani tugas perlawanan rakyat (combatant).
Menurut RUU KCPN, dalam keadaan biasa dimasa damai, anggota komponen
cadangan, unsur sumber daya alam, sumber daya buatan, sarana dan prasarana nasional
serta anggota yang mengawakinya ditetapkan dalam dinas aktif sebagai penugasan
selama-lamanya 30 (tiga puluh) hari tiap tahun, untuk menjalani latihan. Sementara
dalam keadaan darurat militer atau keadaan perang penugasan komponen cadangan
setelah dimobilisasi berstatus sebagai kombatan.15
V.
PENUTUP
Bela negara menurut pasal 30 UUD 1945 merupakan hak dan kewajiban setiap
warga negara dalam usaha pertahanan negara dan dilaksanakan melalui system
pertahanan yang bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah dan
sumber daya nasional lainnya. Undang-undang yang mengatur pertahanan negara adalah
Undang-undang nomor 20 tahun 1982, yang kemudian diganti oleh Undang-undang
nomor 3 tahun 2002. Pada peraturan pelaksanaan beberapa pasal dari Undang-undang
nomor 20 tahun 1982, yaitu tentang ratih dan linmas masih menimbulkan masalah jika
dikaitkan dengan hukum humaniter, karena status mereka masih ganda, sebagai
kombatan sekaligus sebagai civilian. Sedangkan peraturan pelaksanaan Undang-undang
nomor 3 tahun 2002 yang berkaitan dengan pelaksanaan pasal 30 UUD 1945 masih
berupa RUU. Dalam RUU KCPN, status anggota komponen cadangan sebagai kombatan.
Agar terdapat kepastian hukum, seyogianya RUU KCPN segera ditetapkan menjadi
Undang-undang. Selain itu, kemampuan TNI harus ditingkatkan dan difokuskan pada
bidang pertahanan negara, agar menjadi kekuatan yang professional, sehingga mampu
15
Pasal 29 RUUKCPN.
18
menjadi unsur utama dalam bela negara. Bila hal ini dapat tercapai, maka komponen
cadangan yang ada dipanggil hanya kalau benar-benar diperlukan.
19
DAFTAR PUSTAKA
Permanasari, Arlina dkk, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999.
Haryomataram, GPH., Bunga Rampai Hukum Humaniter ( Hukum Perang ), Bumi
Nusantara Jaya, Jakarta, 1988.
------------------, Hukum Humaniter, Rajawali, Jakarta, 1984.
------------------, Sekelumit tentang Hukum Humaniter, cetakan kedua, Sebelas Maret
University Press, Surakarta, 1994.
Istanto F. Sugeng, Perlindungan Penduduk Sipil dalam Perlawanan Rakyat Semesta dan
Hukum Internasional, Andi Offset, Yogyakarta, 1992.
Kalshoven, Frits & Zegveld, Lisbeth Zegveld, Constraints on the Waging of war,
International Committee of the Red Cross, Geneva, 2001
Kusumaatmadja, Mochtar, Konvensi-konvensi Palang Merah 1949, Bina Cipta
Bandung 1986.
Pictet, Jean, Development and Principles of International Humanitarian Law, Martinus
Nijhoff Publishers, Dordrecht, 1985.
--------------, Hukum Humaniter Suatu Perspektif, Pusat Studi Hukum Humaniter, FH
Usakti, Jakarta, 1997.
Departemen Pertahanan dan Keamanan, Undang-undang nomor 20 tahun 1982
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik
Indonesia, Badan Pembina Hukum ABRI, Jakarta, 1983.
Lembaga Pertahanan Nasional, Kewiraan untuk Mahasiswa, Kerjasama Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi, Depdikbud, Gramedia, Jakarta, 1988.
Dewi, Trihoni Nalesti, Mobilisasi dan Demibilisasi dalam Hukum Internasional dan
Hukum Nasional. Basic Course International Humanitarian Law, Malang, 2002.
Satari, Budi S, Pendidikan Pendahuluan Bela Negara danRelevansinya di Era
Reformasi, diakses melalui <http://www.polarhome.com/pipermail/marinir/2004February/000184.html> (13 Maret 2008).
Lain-lain:
Undang-undang No. 20 tahun 1982.
20
Undang-undang nomor 27 tahun 1997.
Undang-undang nomor 56 tahun 1999.
Undang-undang nomor 3 tahun 2002.
Undang-undang nomor 34 tahun 2002.
Rancangan Undang-undang Komponen Cadangan Negara.
Konvensi Den Haag 1899 dan 1907.
Konvensi Jenewa 1949.
Protokol Tambahan 1977.
21
Download