1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Karya sastra merupakan manifestasi kehidupan, baik kehidupan personal ataupun kehidupan sosial. Dalam proses penulisan karya sastra, pengarang telah melakukan pemilihan data kehidupan sosial sebelum dipindahkan ke media bahasa. Hubungan dialektik karya sastra dengan realitas sosial memperkuat pandangan bahwa sastra mampu dijadikan sebagai cerminan masyarakat. Di antara berbagai genre sastra, novel menjadi bentuk yang sering kali mengangkat tema suatu tradisi dalam masyarakat tertentu. Sastra menjadi media yang mampu merekam realita. Pengarang mengolah realita sedemikian rupa guna menyampaikan berbagai pesan, bahkan tidak jarang juga berupa kritikan. Sastra dapat menjadi rekaman suatu masyarakat tertentu beserta tradisinya. Hal ini selaras dengan pernyataan Damono (1979:1) bahwa sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium; bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sebagai ciptaan sosial, sastra memiliki hubungan yang erat dengan masyarakat. Sejauh mana sastra ditentukan atau tergantung dari latar sosial, perubahan dan perkembangan sosial, adalah pertanyaan yang termasuk dalam ketiga jenis permasalahan di atas: sosiologi pengarang, isi karya sastra yang bersifat sosial, dan dampak sastra terhadap masyarakat (Wellek dan Warren, 1 2 1990:111—112). Melalui karya sastra, dapat diketahui penghayatan manusia yang paling dalam (Junus, 1986:4). Penghayatan manusia itu pun tidak terlepas dari adanya imajinasi. Dalam imajinasi terjalin kolaborasi antara kenyataan dan rekaan. Hubungan antara kenyataan dan rekaan dalam sastra adalah hubungan dialektik atau bertangga: mimesis tidak mungkin tanpa kreasi tetapi kreasi tidak mungkin tanpa mimesis (Teeuw, 1984:249). Imajinasi seorang pengarang dituangkan dalam berbagai genre sastra, salah satunya novel. Novel berlatar tradisi menjadi bentuk refleksi pengarang terhadap persoalan di sekitar lingkungannya. Novel sebagai hasil respons pengarang terhadap lingkungannya dapat menjadi sarana kritik yang strategis. Pengarang sebagai pencipta suatu karya sastra merupakan bagian dari masyarakat sehingga tidak dimungkinkan seorang sastrawan dapat melepaskan diri begitu saja dari perubahan suatu masyarakat (Faruk, 2010:20). Melalui karya sastra, pengarang menawarkan sebuah dunia berisi model kehidupan yang diidealkannya. Idealitas pengarang umumnya dipengaruhi oleh faktor internal ataupun eksternal, tanpa kecuali tradisi tempat pengarang tinggal. Tradisi adalah kebiasaan turun-temurun sekelompok masyarakat berdasarkan nilai budaya masyarakat yang bersangkutan (Esten, t.t:14). Dalam masyarakat Minangkabau di Kota Pariaman, Provinsi Sumatera Barat terdapat tradisi yang khas berkaitan dengan tata cara pernikahan. Pihak keluarga calon pengantin perempuan memiliki kewajiban untuk menyerahkan sejumlah uang atau 3 harta kepada pihak keluarga calon pengantin laki-laki. Transaksi semacam ini dikenal dengan nama tradisi bajapuik. Besarnya uang atau harta yang harus diserahkan kepada pihak keluarga calon pengantin laki-laki sebanding dengan status sosialnya. Semakin tinggi status sosial maka semakin tinggi pula harga lelaki yang akan menjadi calon suami. Uang atau harta yang menjadi kewajiban untuk diserahkan ini disebut uang jemputan. Pada mulanya uang jemputan yang dimaksud tidak hanya berupa uang, tetapi bisa berupa kuda, bendi, kereta angin, dan lain-lainnya (Hamka, 1963:34). Dalam perjalanannya, tradisi ini mengalami pergolakan antara penolakan dan pelestarian. Terdapat kelompok yang berbeda pendapat antara yang ingin mempertahankan dengan kelompok yang ingin menghilangkannya sama sekali. Hal ini tidak lain disebabkan adanya perbedaan pendapat mengenai manfaat dan mudarat keberadaan tradisi ini terhadap keselarasannya dengan segala sesuatu yang bertalian dengan agama Islam. Keislaman itulah yang kemudian dijadikan Mardhiyan Novita M.Z sebagai pembuka novel Mahar Cinta Gandoriah (MCG) melalui prolog 4 halaman tokoh utama. Dalam prolog tersebut, tokoh utama ialah Sahara jelas sekali bagaimana ia mendambakan suami saleh. Selain itu, Muhammad Syukron (2013:sampul belakang novel) juga menegaskan bahwa tokoh utama dalam novel ini, Sahara mampu melalui tekanan dan hambatan untuk kemudian bisa berusaha membuktikan bahwa tradisi lama itu ternyata bisa diubah, bahkan lebih baik dan sempurna. 4 Mardhiyan Novita M.Z adalah perempuan Minangkabau asal Pariaman. Mardhiyan Novita M.Z mulai aktif menulis di media massa cetak seperti surat kabar, tabloid, dan majalah sekolah sejak berusia 12 tahun (Novita M.Z, 2013:229). Karya-karyanya yang sudah dibukukan adalah novel Penyair Merah Putih (2011), kumpulan puisi tunggal Sajak dari Bumi Melayu (2012), novel Mahar Cinta Gandoriah (2013), dan beberapa antologi bersama. Sederet karya bersamanya yang sudah terbit berupa antologi puisi, cerpen, dan esai Seriosa Biru (2012), antologi puisi Kejora yang Setia Berpijar (2012), antologi kisah inspiratif Inspirasi Gadjah Mada untuk Indonesia: Kisah Perjuangan Para Cendekia (2013), antologi puisi Menjaring Waktu (2013), antologi surat Dan, Aku pun Jadi Penulis (2013), antologi catatan pengguna facebook dengan judul Face Book is Me (2013), dan antologi cerpen Angkasa Rindu (2014). Selain aktif menulis, Mardhiyan Novita M.Z juga aktif bergiat dalam kegiatan sastra. Hal ini ia buktikan dengan mendirikan pergerakan sastra Pemuda Khatulistiwa Pencinta Sastra (PELITA) Indonesia bersama seorang karibnya. Ia juga tercatat sebagai aktivis di Forum Lingkar Pena (FLP) Yogyakarta. Pengalamannya dalam bidang tulis-menulis telah mengantarkannya menjadi pembicara tunggal dalam acara “Kembara Sastra” selama sebulan di Malaysia. Novel MCG merupakan sebuah novel yang berlatar Pariaman. MCG menarik untuk diteliti karena beberapa hal. Pertama, novel ini ditulis oleh putri Minangkabau yang lahir di Pariaman, Sumatera Barat. Pengarang sebagai putri daerah yang lahir dan besar di Pariaman sangat memengaruhi konteks sosial pengarang dalam menulis novel. Kedua, isi cerita novel ini yang merupakan 5 cerminan masyarakat Pariaman tentang tradisi bajapuik akan menggiring pembaca untuk merumuskan kembali urgensi tradisi dengan keselarasannya terhadap syarak. Ketiga, konteks sosial pengarang dan tema tradisi bajapuik akan semakin menguatkan fungsi sosial yang terdapat dalam MCG. Penelitian ini difokuskan pada tradisi yang ada di dalam MCG yaitu tradisi bajapuik. Hal ini karena novel MCG memuat persoalan bagaimana lelaki ditentukan „harganya‟ berdasarkan status sosial dalam tradisi bajapuik yang jarang diangkat ke dalam novel. Ukuran status sosial yang dijadikan landasan dalam menentukan „harga‟ lelaki itu pun tidak terlepas dari persoalan seputar gelar kebangsawanan, tingkat pendidikan, dan jumlah kekayaan. Berdasarkan berbagai hal di atas, novel MCG perlu diteliti dengan menggunakan sosiologi sastra Ian Watt. Terdapat tiga konsep sosiologi sastra Ian Watt, yaitu konteks sosial pengarang, cerminan masyarakat yang menjadi latar karya sastra tersebut, dan fungsi sosial yang terdapat dalam karya sastra yang diteliti. Novel MCG merupakan karya sastra yang memiliki lokalitas Pariaman dan memuat tradisi bajapuik di Pariaman, serta pengarangnya pun putri asli Pariaman. Oleh karena itu, sosiologi sastra Ian Watt-lah yang komprehensif digunakan untuk menganalisis harga lelaki dalam tradisi bajapuik di Pariaman dalam novel Mahar Cinta Gandoriah karya Mardhiyan Novita M.Z. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 6 1. Seperti apa konteks sosial pengarang yang melatarbelakangi penciptaan novel Mahar Cinta Gandoriah? 2. Bagaimana cerminan masyarakat Pariaman yang ada di dalam novel Mahar Cinta Gandoriah? 3. Apa saja fungsi sosial yang terdapat dalam novel Mahar Cinta Gandoriah? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini ada dua, yaitu tujuan teoretis dan tujuan praktis. Tujuan teoretis dalam penelitian ini ada tiga. Pertama, mengetahui konteks sosial pengarang yang melatarbelakangi penciptaan novel Mahar Cinta Gandoriah. Kedua, mengetahui cerminan masyarakat Pariaman yang ada di dalam novel Mahar Cinta Gandoriah. Ketiga, mengetahui fungsi sosial yang terdapat dalam novel Mahar Cinta Gandoriah. Tujuan praktis dalam penelitian ini ada empat. Pertama, meningkatkan pengetahuan para penikmat dan pengamat novel Mahar Cinta Gandoriah yang merupakan karya putri daerah Kota Pariaman. Kedua, memberikan persepsi yang lebih luas mengenai pentingnya pengetahuan terhadap tradisi bajapuik yang ada di Kota Pariaman. Ketiga, memberikan sumbangan apresiasi karya sastra kepada lembaga pendidikan, kalangan akademis, masyarakat pencinta sastra, dan masyarakat luas dalam bentuk penelitian terhadap novel dengan sudut pandang sosiologi sastra Ian Watt. Keempat, menambah keberagaman penelitian-penelitian terhadap novel dalam khazanah sastra Indonesia. 7 1.4 Tinjauan Pustaka Novel pertama Mardhiyan Novita M.Z yang berjudul Penyair Merah Putih (PMP) sudah diteliti oleh Miki Yuliandri (2012) mahasiswa Universitas Negeri Padang (UNP) dengan judul “Refleksi Kekerasan dalam Penyair Merah Putih karya Mardhiyan Novita M.Z”. Masih dengan novel pertamanya, PMP juga berkesempatan dipresentasikan kepada Dewan Bahasa Malaysia dalam acara Kembara Sastra (2012). Hal ini berbeda dengan novel Mahar Cinta Gandoriah karya Mardhiyan Novita M.Z yang sejauh pengetahuan peneliti belum pernah dikaji dalam bentuk tulisan ilmiah oleh peneliti lain. Hal ini berdasarkan tinjauan pustaka yang dilakukan oleh peneliti. Teori sosiologi sastra sudah banyak digunakan peneliti sebelumnya untuk menganalisis persoalan nilai sosial dan tradisi yang terdapat dalam novel. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Levinus Wally (2002) dengan judul “Novel Perawan Karya Korrie Layun Rampan: Analisis Sosiologi Sastra”. Dalam penelitiannya, Wally memfokuskan analisisnya terhadap permasalahan sosial dan adat-istiadat suku Dayaq Benuaq di Kalimantan Timur yang ada dalam novel Perawan. Tidak jauh berbeda dengan Wally, Muhammad Ardi Kurniawan (2008) menulis skripsi yang berjudul “Negeri Senja Karya Seno Gumira Ajidarma: Analisis Sosiologi Sastra”. Dalam penelitian ini Kurniawan menyimpulkan bahwa pengalaman Seno Gumira Ajidarma sebagai wartawan menjadi hal yang memengaruhi terciptanya teks Negeri Senja. Beragam masalah sosial yang disoroti dalam novel Negeri Senja yaitu kekuasaan Orde Baru yang tidak terlepas 8 dari berbagai kontroversi, penindasan dari yang kuat kepada yang lemah, kekerasan, hingga perlawanan dari rakyat kepada pemerintah meskipun dengan kondisi yang terbelit kemiskinan. Dalam skripsinya, Kurniawan menggunakan teori sosiologi sastra Ian Watt. Esthi Maharani menulis skripsi yang berjudul “Citra Pewayangan Pada Rezim Orde Baru dalam Novel Mantra Pejinak Ular: Analisis Sosiologi Sastra” Sebagai institusi sosial, MPU menggambarkan keadaan masyarakat pada masa Orde Baru dan masyarakat tradisional Jawa (Maharani, 2008:130). Maharani menyimpulkan bahwa refleksi pengarang terhadap lingkungannya yang dituangkan ke dalam teks novel MPU telah memunculkan kontradiksi. Kontradiksi itu adalah realitas dalam masyarakat dan realitas dalam novel. Pemikiran dan gagasan (ideologi) pengarang diwakili oleh tokoh-tokoh tertentu yang diciptakan pengarang. Dalam MPU tampak bahwa tokoh pahlawan mewakili gagasan pengarang secara dominan di samping tokoh sekunder. Selain sebagai institusi sosial, MPU juga mengemban tanggung jawab sebagai karya seni yang dalam hal ini ditandai dengan adanya inovasi dan modifikasi latar budaya lokal Jawa. Rossa Witha Armaya (2010) menulis skripsi yang berjudul “Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi dalam Teks Drama Sidang Susila Karya Ayu Utami: Analisis Sosiologi Sastra Ian Watt”. Dalam penelitian tersebut, Armaya memfokuskan analisisnya terhadap permasalahan sosial terkait adanya Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi (RUU APP). 9 Kejelasan pengelompokan terhadap segala sesuatu yang dianggap porno dan tidak porno menjadi hal yang kemudian dipertanyakan validitasnya. Indra Dwi Fitrianto (2009) menulis skripsi yang berjudul “Relasi Kekuasaan antara Elit dan Massa dalam Bibir Merah Karya Achmad Munif: Analisis Sosiologi Sastra”. Fitrianto menyimpulkan bahwa novel Bibir Merah mengandung masalah sosial yang kuat yaitu masalah politik dan masalah kekuasaan. Novel Bibir Merah menggambarkan masyarakat Indonesia pertengahan tahun 1990-an. Tepatnya masyarakat Desa Kapur yang merupakan cerminan masyarakat di daerah lain yang juga menjadi korban penindasan dari para penguasa. Rachmad Bayu Aji (2009) menyusun skripsi yang berjudul “Konflik Sosial Politik dalam Novel Tapol karya Ngarto Februana: Analisis Sosiologi Sastra.” Dalam penelitian ini, Aji menekankan bahwa terdapat kesejajaran terhadap konflik sosial dan politik masyarakat Indonesia pada 1965 dan 1989 dengan konflik yang ada dalam novel Tapol. Konflik sosial dan politik yang ada dalam Tapol meliputi peristiwa demonstrasi mahasiswa dan G30SPKI yang semua konflik tersebut berdampak pada terciptanya tahanan politik yang diakronimkan menjadi tapol. Dalam penelitiannya, Aji menyimpulkan bahwa latar belakang sosial geografis pengarang ketika tinggal di Yogyakarta berpengaruh pada penggunaan nama-nama daerah di Yogyakarta. Pengalaman pengarang ketika aktif dalam pergerakan mahasiswa dan pekerjaan pengarang di bidang jurnalistik juga berdampak pada kematangan pengarang dalam berkarya. 10 Berdasarkan tinjauan pustaka tersebut, penelitian dengan objek kajian novel Mahar Cinta Gandoriah karya Mardhiyan Novita M.Z belum pernah diteliti dengan teori sosiologi sastra. Untuk bisa menjawab ketiga rumusan masalah yang ada, penelitian ini memerlukan teori sosiologi sastra yang tepat. Oleh karena itu, novel ini layak dikaji dengan teori sosiologi sastra Ian Watt. Hal ini turut didukung oleh testimoni Ari Kinoysan Wulandari (2013:sampul belakang novel) berikut. Novel ini mengajak kita berpikir sejenak: haruskah setiap tradisi diikuti atas nama kepatuhan adat? Ada begitu banyak tradisi yang tak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Adat dan budaya harus tetap dilestarikan dengan hati sukarela para penerusnya. Kearifan zaman semestinya menjadi benang merah untuk menjaga marwah keelokan tradisi. Selain dari Ari Kinoysan Wulandari, Mahyouhandrie Kamil (2013:sampul belakang novel) menuliskan bahwa novel ini mengungkap adat-istiadat lamaran yang oleh sebagian orang sekarang mulai dipertentangkan. Penelitian novel Mahar Cinta Gandoriah karya Mardhiyan Novita M.Z ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, yaitu novel berlatar tradisi bajapuik yang dikaji dengan menggunakan teori sosiologi sastra Ian Watt yang sebelumnya belum pernah ada. 1.5 Landasan Teori Bagi orang Minangkabau adat merupakan kebudayaan yang dipahami secara utuh. Orang Minangkabau membagi adat pada empat klasifikasi (Azwar, 2001:54). Pertama, adat nan sabana adat, yang merupakan aturan pokok dan 11 falsafah hidup orang Minangkabau yang berlaku turun-temurun tanpa terpengaruh oleh tempat, waktu, dan keadaan. Kedua, adat nan diadatkan, merupakan peraturan setempat yang diputuskan secara mufakat atau kebiasaan yang berlaku umum di suatu nagari. Ketiga, adat nan teradat adalah kebiasaan seseorang dalam kehidupan masyarakat yang boleh ditambah atau dikurangi, bahkan boleh ditinggalkan selama tidak menyalahi falsafah hidup orang Minangkabau. Keempat, adat-istiadat adalah aneka kelaziman dalam suatu nagari yang mengikuti pasang surut situasi masyarakat. Merujuk pada keempat kategori adat di atas, tradisi bajapuik termasuk pada kategori adat nan diadatkan yaitu sebuah tata cara perkawinan yang merupakan kebiasaan masyarakat Pariaman yang berlaku umum. Setiap masyarakat memiliki nilai budaya masing-masing. Nilai budaya dalam masyarakat memiliki sejumlah konvensi. Ketaatan terhadap konvensi berarti ketaatan terhadap tradisi. Mahar Cinta Gandoriah merupakan novel berlatar Pariaman yang di dalamnya terdapat pembahasan tentang tradisi. Pariaman memiliki budaya dan struktur sosial yang spesifik dan unik, yang dalam beberapa hal pada praktiknya berbeda dengan daerah lain. Perkawinan dalam tradisi bajapuik adalah salah satu contohnya. Bajapuik sudah menjadi semacam merek dagang yang melekat erat di Pariaman. Bajapuik berasal dari kata japuik yang berarti jemput sehingga uang japuik diartikan sebagai uang jemputan yang lazimnya terdapat dalam tata cara pernikahan khas Pariaman. 12 Bajapuik atau japuiktan dipandang sebagai kewajiban pihak keluarga perempuan memberi sejumlah barang atau uang kepada laki-laki (calon suami) sebelum akad nikah dilakukan (Azwar, 2001:51). Pemberian ini selanjutnya dikenal dengan uang japuik. Dijemput secara adat diterjemahkan oleh orang Pariaman dalam bentuk benda atau uang, yang selanjutnya dikenal dengan uang jemputan (uang japuik). Karya sastra tidak terlepas dari cerminan masyarakat yang melatari penciptaannya. Pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan ini oleh beberapa penulis disebut sosiologi sastra (Damono, 1979:2). Karya sastra memiliki kaitan erat dengan aspek kemasyarakatan terutama latar sosial budaya. Oleh karena itu, untuk memahami dan memberi makna kepada karya sastra, latar sosial budaya ini harus diperhatikan (Pradopo, 2011:113). Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sebagai berikut (Kutha-Ratna, 2011:332—333). 1. Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota masyarakat. 2. Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat. 3. Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah kemasyarakatan. 4. Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat-istiadat, dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetika, etika, 13 bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut. 5. Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya. Dalam penelitian ini teori sosiologi sastra yang digunakan adalah teori sosiologi sastra Ian Watt. Menurut Ian Watt dalam esainya yang berjudul “Literature an Society” terdapat hubungan timbal-balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat, yang secara keseluruhan memiliki tiga klasifikasi: pertama, konteks sosial pengarang; kedua, sastra sebagai cermin masyarakat, dan ketiga, fungsi sosial sastra (Damono, 1979:3—4). Konteks sosial pengarang memiliki hubungan dengan posisi sosial pengarang dalam masyarakat dan berkaitan dengan masyarakat pembaca. Hal ini dapat dijelaskan melalui bagaimana pengarang mendapat mata pencaharian, profesionalisme dalam kepengarangan, dan masyarakat apa yang dituju oleh pengarang. Sastra sebagai cerminan masyarakat yaitu seberapa jauh sastra dianggap mencerminkan keadaan masyarakat. Selanjutnya fungsi sosial sastra memiliki tiga hal yang harus diperhatikan: sastra sebagai pembaharu atau perombak, sastra sebagai penghibur, dan sejauh mana terjadi sintesis antara fungsi sastra sebagai pembaharu/perombak dan penghibur. 1.6 Metode Penelitian Metode penelitian sastra dengan teori sosiologi sastra Ian Watt menggunakan metode dialektik. Metode ini memperhitungkan rangkaian mediasi 14 antara sastra dan masyarakat. Artinya, antara masyarakat dengan sastra terbuka kemungkinan mengenai hubungan yang dialektik atau timbul balik (Faruk, 2010:12). Metode dialektik bermula dan berakhir pada teks sastra. Dalam penelitian ini teks sastra yang dimaksud adalah teks novel Mahar Cinta Gandoriah. Menurut Goldmann (Faruk, 2010:79) teknik pelaksanaan metode dialektik yang melingkar serupa itu berlangsung sebagai berikut. Pertama, peneliti membangun sebuah model yang dianggapnya memberikan tingkat probabilitas tertentu atas dasar bagian. Kedua, ia melakukan pengecekan terhadap model itu dengan membandingkannya dengan keseluruhan dengan cara menentukan: (1) sejauh mana setiap unit yang dianalisis tergabungkan dalam hipotesis yang menyeluruh; (2) daftar elemen-elemen dan hubungan-hubungan baru yang tidak diperlengkapi dalam model semula; (3) frekuensi elemen-elemen dan hubungan-hubungan yang diperlengkapi dalam model yang sudah dicek itu. Metode dialektik membandingkan kehidupan nyata dengan kehidupan fiksi. Perbandingan yang dilakukannya tidak benar-benar sama persis. Hal ini karena ada yang memediasi yaitu pandangan dunia pengarang, sehingga pengarang berperan dalam memberi pandangan dunia. Dalam penelitian ini, peneliti menempuh lima tahap cara penelitian sebagai berikut. 1. Menentukan karya sastra yang akan dijadikan objek penelitian, yaitu novel Mahar Cinta Gandoriah karya Mardhiyan Novita M.Z dan melakukan pembacaan sehingga mendapatkan pemahaman yang menyeluruh. 15 2. Merumuskan permasalahan yang akan menentukan arah penelitian. 3. Melakukan studi pustaka dengan mencari sumber-sumber bahasan dan bahan-bahan yang menunjang objek penelitian. Dalam penelitian ini, studi pustaka yang dimaksud adalah yang berkaitan dengan studi sosiologi sastra Ian Watt. 4. Menganalisis novel Mahar Cinta Gandoriah berdasarkan teori sosiologi sastra Ian Watt (konteks sosial pengarang yang melatarbelakangi penciptaan novel MCG, cerminan masyarakat Pariaman yang ada di dalam novel MCG, dan fungsi sosial yang terdapat dalam novel MCG). 5. Menarik kesimpulan hasil penelitian yang telah dilakukan. Kesimpulan ini didasarkan pada analisis novel Mahar Cinta Gandoriah karya Mardhiyan Novita M.Z dan merupakan jawaban atas rumusan masalah. 1.7 Sistematika Laporan Penelitian Laporan hasil penelitian ini terdiri atas lima bab. Adapun pembagian masing-masing bab tersebut sebagai berikut. Bab pertama memuat pendahuluan yang berisi latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika laporan penelitian. Bab kedua penelitian ini berisi biografi Mardhiyan Novita M.Z, profesionalisme Mardhiyan Novita M.Z, dan masyarakat yang dituju oleh Mardhiyan Novita M.Z. Hal ini untuk menjawab konteks sosial pengarang yang 16 melatarbelakangi penciptaan novel Mahar Cinta Gandoriah. Bab ketiga berupa cerminan masyarakat Pariaman yang ada di dalam novel Mahar Cinta Gandoriah yang terdiri atas lima subbab yaitu Pariaman dan tradisinya, sistem kekerabatan di Pariaman, tradisi bajapuik: pernikahan di Pariaman, cerminan masyarakat Pariaman dalam novel Mahar Cinta Gandoriah, dan bagan hubungan konteks sosial dengan novel Mahar Cinta Gandoriah. Bab keempat memuat fungsi sosial dalam novel Mahar Cinta Gandoriah yang berisi sastra sebagai pembaharu atau perombak, sastra sebagai penghibur, serta sintesis fungsi sastra sebagai pembaharu/perombak dan penghibur. Bab kelima kesimpulan.