Siesta A8 kesehatan REPUBLIKA ● AHAD, 13 MARET 2011 konsultasi Prof dr Zubairi Djoerban SpPD KHOM Muntah Berulang pada Balita Dokter Zubairi Djoerban yth, Assalamualaikum wr wb, Kami mempunyai seorang anak laki-laki berumur dua setengah tahun. Anak yang cerdas dan banyak bicara. Yang menjadi keprihatinan saya, anak kami sejak bayi, sering muntah. Makan agak banyak ia muntah, habis lari-lari ia muntah, tertawa terpingkalpingkal juga begitu. Bahkan, saya makan buah apel, misalnya (makanan yang ia belum bisa makan karena kerasnya) dan melihat rambut ibunya yang acak-acakan sehabis keramas pun dia muntah. Setiap hari pasti ada waktu muntahnya. Pernah ia kami bawa ke dokter anak. Menurut dokter, itu terjadi pada sebagian anak. Ususnya, kata dokter, belum kuat. Nanti, usia tiga tahunan bakal sembuh. Masalahnya, dok, sebentar lagi dia sudah tiga tahun. Kok, ya masih muntah-muntah begitu? Terima kasih sebelumnya. Arfiyanto, Jakarta DOKREP MENJAGA KESEHATAN Penapisan TORCH tak perlu dilakukan oleh semua calon ibu di Indonesia. Mereka yang berisiko tinggilah yang diutamakan. (foto diperagakan model) PENAPISAN TORCH, Siapa yang Memerlukan? Oleh Reiny Dwinanda Kesehatan ibu boleh tak terancam, tapi si janinlah yang dalam bahaya. J anin yang tumbuh sehat adalah harapan setiap orang tua menyusul kehamilan yang diinginkan. Itu pula yang diidamkan Amanda Andari, bukan nama sebenarnya. “Saya menyesal tidak mengawal kehamilan dengan saksama,” ujarnya. Ketika hamil delapan minggu, tubuh Amanda sempat panas 39 derajat Celsius. Ia juga mengalami nyeri sendi. “Sementara di kulit terdapat ruam kemerahan,” kenangnya. Dokter menyarankan Amanda menjalani pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR) untuk mendeteksi virus rubella dan kemungkinan infeksi pada janin. Dari situ terungkap ia memiliki IgG negatif, namun IgM positif pada rubella. IgG positif menunjukkan Anda telah memiliki kekebalan. Baik dari vaksinasi atau lantaran infeksi pada masa lalu. “Sedangkan, IgM menunjukkan infeksi akut,” urai dr Yuditiya Purwosunu SpOG dari Departemen Obstetri Ginekologi Universitas Indonesia. Rubella tidak mengancam kesehatan Amanda. Janinnyalah yang berada dalam bahaya. “Pertumbuhan janin Amanda terpantau terhambat dan air ketubannya juga sedikit,” kata Yuditiya. Melihat kenyataan tersebut, Yuditiya menjelaskan, janin yang dikandung Amanda kemungkinan besar akan lahir cacat, utamanya pada bagian indra pendengaran. Ia kemudian memberikan opsi pada Amanda dan suami, yakni mempertahankan atau menggugurkan kandungan. “Kami memilih meneruskan kehamilan dengan segala konsekuensinya,” kata ibu berusia 32 tahun ini. Amanda berbesar hati mendapati bayinya memiliki berat lahir rendah, 1.500 gram. Indra pendengaran putra pertamanya tidak berfungsi dengan baik. “Namun, sekarang ia tumbuh sehat, memakai implan alat bantu pendengaran, dan menjuarai kompetisi melukis di negeri jiran,” tuturnya bangga. Ketika calon ibu terinfeksi rubella, lanjut Yuditiya, kecacatan pertumbuhan janin sudah berlangsung. Tak ada pengobatan yang dapat mencegah kecacatan pada janin. “Terapi yang kini diberikan sebatas pemberian antivirus.” Empat tahun kemudian, Amanda mengandung anak kedua dengan IgM positif untuk rubella. Namun, kondisi bayinya normal dengan berat lahir 3.600 gram. “Putra kedua lahir sehat tanpa efek dari infeksi yang pernah dialaminya,” ucap Yuditiya. Rubella, lanjut Yuditiya, dihubungkan dengan 90 persen risiko cacat bawaan, seperti buta, tuli, penyakit jantung, dan keterbelakangan mental. Banyak wanita yang terinfeksi rubella pada trimester pertama akan mengalami keguguran atau bayinya meninggal saat lahir. “Sering pula terjadi, bayi lahir prematur dengan berat badan tidak memadai.” Penapisan TORCH Penapisan tersebut bertujuan untuk mendeteksi keberadaan toksoplasma, rubella, cytomegalovirus/CMV, dan herpes simplex—disingkat TORCH. Sekelompok infeksi itu dapat ditularkan oleh perempuan hamil kepada bayinya. “Infeksi penyakit tersebut dapat meningkatkan risiko kecacatan atau kematian pada bayi,” kata penasihat WHO untuk infeksi rubella, dr Liliane Grangeot-Keros PhD, dalam media briefing yang diselenggarakan Roche belum lama ini di Jakarta. Untuk itu, Grangeot-Keros menyarankan penapisan TORCH pada trimester pertama kehamilan. Langkah ini membuka peluang bagi terapi lebih dini serta mengurangi kemungkinan terjadinya cacat atau kematian bayi. “Screening menjadi penting lantaran infeksi TORCH biasanya tidak bergejala,” ungkap pakar imunologi peraih penghargaan Commander of the Order of Academic Palms ini. Sementara itu, dr Yuditiya Purwosunu SpOG mengatakan, screening alias penapis- Saat Toksoplasma Jadi Bahaya oksoplasma menyebabkan lima sampai 10 persen risiko keguguran. Pada janin yang bertahan hidup meskipun terkena infeksi, delapan hingga 10 persen berisiko mengalami kerusakan mata atau otak. “Lantas, 10 sampai 13 persen akan mengalami kerusakan penglihatan,” urai dr Yuditiya Purwosunu SpOG Ketika infeksi terjadi pada wanita yang sedang tidak hamil, toksoplasma tidak akan mendatangkan manifestasi yang mengkhawatirkan. Alhasil, mereka hanya perlu diobati secara simptomatik. “Tak pula ada orang yang mau repot menjalani T PCR untuk melacak penyebab meriang,” ungkap dokter dari Divisi Fetomaternal Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini. Infeksi toksoplasma baru akan merepotkan jika terjadi di masa kehamilan. Terutama, risiko transmisi dari ibu ke janin. “Seringkali, ibu tidak mengetahui janinnya berisiko terinfeksi,” tutur Yuditiya. Sementara itu, di antara bayi yang terinfeksi cytomegalovirus dan tetap bertahan hidup, 10 persen akan mengalami komplikasi. Sedangkan, sekitar 80 sampai 90 persen lainnya akan memiliki kelainan parah. “Seperti hilangnya pendengaran, kerusakan penglihatan, dan berbagai tingkat keterbelakangan mental,” jelas Yuditiya yang tergabung dalam The Eijkman Molecular Biology Institute. Lebih lanjut Grangeot-Keros mengingatkan, agar petugas kesehatan memberikan pemahaman pada calon ibu tentang pentingnya vaksinasi untuk melawan infeksi rubella. Konseling kebersihan juga perlu dilakukan. “Dengan begitu, kita bisa menurunkan risiko toksoplasmosis dan cytomegalovirus,” kata dokter dari Universite Paris Sud II, Prancis ini. n Serba-serbi TORCH TORCH merujuk pada sekelompok infeksi yang bisa ditularkan dari ibu hamil kepada janin yang dikandungnya. Infeksi TORCH meliputi toksoplasmosis, infeksi rubella alias campak jerman, cytomegalovirus (CMV) yang masih keluarga herpes, dan virus herpes simplex (HSV). Infeksi TORCH umumnya tidak bergejala pada orang dewasa. Namun, dapat berakibat fatal pada janin atau bayi baru lahir. Deteksi dini infeksi TORCH dapat menurunkan risiko cacat atau kematian pada janin dalam kandungan. Penapisan TORCH dapat memantau infeksi kelainan bawaan pada saat lahir; perinatal, yaitu sekitar lima bulan sebelum kelahiran hingga bayi lahir berumur 28 hari; dan periode neonatal, yakni 28 hari pertama sejak lahir. Jika seorang ibu hamil mendapatkan hasil positif pada tes TORCH di trimester pertama kehamilan, ia dapat diberikan terapi. Langkah ini akan menurunkan risiko cacat atau kematian pada bayi yang dikandungnya. Bayi baru lahir yang dicurigai terinfeksi juga bisa dites. Tes TORCH menapis darah wanita hamil berguna untuk mengetahui keberadaan antibodi bakteri atau virus penyebab TORCH. Tes darah akan mengungkap profil seseorang, apakah ia pernah mengalami infeksi, sedang terinfeksi, atau tidak pernah terpapar virus. n an TORCH belum perlu dilakukan menyeluruh kepada calon ibu di Indonesia. Perhimpunan Obstetri dan Ginekolog Indonesia (POGI) tidak merekomendasikannya. “Begitu juga di Amerika Serikat dan Inggris.” Penapisan TORCH memang tidak murah. Namun, manfaatnya bagi keselamatan janin sangat besar. “Pada kelompok perempuan berisiko tinggi, penapisan sebaiknya dilakukan,” saran Yuditiya. Lantas, siapa yang termasuk di dalamnya? Yuditiya mengatakan, dokter perlu melihat angka kejadian di masing-masing daerah. “Di Jakarta, incidence rate hanya 14,2 persen dan di Sulawesi Utara sekitar 60 persen.” Pada daerah dengan angka kejadian TORCH yang tinggi, screening dapat dianjurkan. Namun, di daerah seperti Jakarta pun, bukan berarti calon ibu tidak membutuhkan pemeriksaan TORCH. “Dokter harus menanyakan apakah pasiennya bersentuhan dengan vektor TORCH,” jelas Yuditiya. Mereka yang gemar menyantap sayuran mentah dan daging anjing atau babi yang tak matang sempurna, perlu mengikuti tes deteksi dini toksoplasma. Penyakit ini tidak ditularkan melalui bulu hewan peliharaan, seperti kucing, hamster, ataupun anjing— seperti mitos yang berkembang di masyarakat. “Tetapi, perlu digali juga perilakunya terhadap hewan peliharaan. Misal, apakah ia menggunakan sarung tangan ketika membersihkan kotoran burung peliharaannya,” papar Yuditiya. Ibu yang pernah melahirkan bayi cacat atau bayi dengan penumpukan cairan di otak, sebaiknya melakukan penapisan TORCH. Risiko-risiko individual serta gambaran keberadaan penyakit terkait TORCH di lingkungan tempat tinggalnya menjadi penentu perlu-tidaknya screening. “Itu sebabnya di Prancis yang tinggi populasi pengidap toksoplasma dan rubellanya, penapisan TORCH diwajibkan,” cetus Yuditiya. n ed: nina chairani Waalaikumussalam wr wb, Mas Arfiyanto yang sedang prihatin, dokter yang kompeten mengobati penyakit anak usia dua setengah tahun adalah dokter spesialis anak. Setelah konsultasi dengan salah seorang dokter spesialis anak, saya sampaikan informasi beliau sebagai berikut. Ada banyak penyebab muntah pada anak, yang berlangsung lama, sejak bayi sampai usia dua setengah tahun. Masalahnya mungkin terletak di usus, lambung, hati, empedu, otak, ataupun darah. Salah satu penyakit yang gejalanya mirip sekali dengan gejala yang dialami anak Anda adalah sindrom muntah siklik (“Cyclic Vomiting Syndrome” = CVS), yaitu suatu gangguan fungsional menahun, yang etiologinya (penyebab) tidak diketahui, ditandai dengan episode muntah-muntah, yang hilang timbul. Walaupun patofisiologinya tidak diketahui, mungkin sekali respons saraf simpatik yang meningkat atau peningkatan suatu hormon khusus corticotropinreleasing factor memegang peran penting dalam mekanisme muntah berulang pada CVS. Peran genetik Banyak data yang mendukung kuatnya peran genetik, akibat kelainan di tingkat mitokondria, yang memudahkan timbulnya muntah dan penyakit lain yang terkait, misalnya sakit kepala migrain dan penyakit kelelahan menahun. Muntah berulang akibat CVS mempunyai pola siklik, intermitten, tidak terus-menerus, misalnya sekali setiap dua minggu, jenis muntah-muntahnya berat. CVS perlu dibedakan dengan muntah berulang kronik, misalnya akibat refluks gastro-esophagus yang gejala muntahnya lebih ringan, namun terjadi hampir setiap hari. Perlu ditelusuri apakah ada sakit kepala migrain pada anggota keluarga Mas Arfiyanto atau istri, karena CVS lebih sering ditemukan pada anak yang mempunyai keluarga yang sakit kepala jenis migrain. Bila demikian, obat antimigrain sering kali bermanfaat. Kadang ditemukan juga gejala lain akibat disfungsi otonom dan hiperrespons simpatik, antara lain air ludah yang berlebihan, diare, demam, dan pucat CVS ditemukan sebesar 0,04 persen di Ohio Amerika, 2,3 persen di Australia Barat, 1,9 persen di Aberdeen Skotlandia. Sebuah penelitian di Irlandia melaporkan angka kejadian 3,15 setiap 100 ribu anak. Kabar baiknya, sebagian besar (90 persen) anak dengan CVS tetap bisa beraktivitas normal, seperti yang terjadi sekarang pada anak Mas Arfi, walaupun kadang memerlukan infus untuk mengatasi dehidrasi akibat kehilangan cairan. Masalah lain yang dihadapi anak dengan CVS adalah terpaksa tidak masuk sekolah, rata-rata 24 hari absen setiap tahun. Dan, bisa kita bayangkan kalau muntahnya terjadi sewaktu liburan ataupun pesta ulang tahun, tentu lumayan memprihatinkan. Kriteria CVS Kriteria untuk menetapkan diagnosis CVS adalah (a) episode mual dan muntah-muntah selama satu jam sampai 10 hari, berulang lagi, paling sedikit satu minggu, (b) paling sedikit tiga episode selama periode enam bulan, (c) gejala dan pola yang serupa, (d) muntah paling sedikit empat kali setiap episode dan berlangsung paling sedikit satu jam, (e) kondisi kesehatan pulih seperti semula, setelah muntah-muntah berhenti, (f) penyebab muntah yang lain tidak ditemukan. Gejala tambahan yang mendukung adalah riwayat migrain atau ada anggota keluarga yang sakit kepala migrain. Banyak pasien dengan sindrom muntah siklik yang juga mempunyai gejala neurologik, misalnya sakit kepala, fotofobia yaitu rasa takut, tidak nyaman terhadap cahaya, dan vertigo. Pemicu timbulnya serangan muntah, antara lain sinusitis kronik, alergi, dan menstruasi. Kadang kegembiraan yang berlebihan sewaktu pesta ulang tahun, liburan serta makan cokelat, keju, dan monosodium glutamate (MSG) juga dapat memicu timbulnya muntah. Pengobatan CVS sering kali empiris; ada lima strategi pengobatan, yang pertama menghindari pemicu/trigger, kedua pengobatan farmakoterapi profilaksis, ketiga pengobatan abortif, keempat pengobatan suportif, dan kelima dukungan keluarga. Pengobatan pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan siproheptadin, amitriptilin, propranolol, fenobarbital, dan eritromisin. Bila gagal, dapat diberikan ondansetron ditambah lorazepam atau khlorpromasin dan difenhidramin. Bila ditemukan stressor psikologik dapat diberikan benzodiasepin, lorazepam, atau diazepam. Farmakoterapi profilaktik yang dapat diberikan, antara lain obat antimigrain, anticonvulsan, neuroleptik, dan prokinetik. Salah satu petunjuk pengobatan menganjurkan sebagai lini pertama adalah siproheptadin untuk anak berusia kurang dari lima tahun. Amitriptilin merupakan obat lini pertama pilihan untuk anak yang berusia lebih dari lima tahun. Dapat disimpulkan bahwa muntah berulang dan menahun pada anak Mas Arfiyanto sebabnya berbagai macam, perlu konsultasi dengan dokter spesialis anak, khususnya yang konsultan gastroenterologi. Penyebab yang amat mungkin adalah sindrom muntah siklik (CVS) seperti dijelaskan di atas. n