perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 6 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Bawang Daun (Allium fistulosum L.) a. Taksonomi Kingdom : Plantae Subkingdom : Tracheobionta Super divisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Sub kelas : Liliidae Ordo : Liliales Famili : Liliaceae Genus : Allium Spesies : Allium fistulosum L. (Plantamor, 2011; USDA, 2006) b. Habitat Bawang daun dianggap berasal dari barat laut Cina dan paling banyak dibudidayakan di negara-negara Asia Timur, seperti Jepang, Cina, dan Korea (Tsukazaki et al., 2010). Di Indonesia tanaman ini sudah ditanam sejak lama bersamaan dengan lintas perdagangan jenis sayuran komersial lainnya. Daerah pusat penyebaran bawang daun commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 7 semula terpusat di dataran tinggi (pegunungan) yang berhawa sejuk seperti di Cipanas dan Pacet (Cianjur), Lembang (Bandung), dan Malang (Jawa Timur). Dalam perkembangan selanjutnya, budidaya bawang daun meluas ke berbagai daerah di seluruh nusantara, baik di dataran tinggi maupun dataran rendah. Pada tahun 1991, luas areal panen bawang daun nasional mencapai 26.534 hektar atau menempati urutan ke-13 dari 18 jenis sayuran komersial yang dibudidayakan dan dihasilkan di Indonesia. Sentra penanaman bawang daun masih didominasi oleh Pulau Jawa, yakni mencapai luas 19.167 hektar dengan produksi 177.586 ton. Sedangkan di luar Pulau Jawa tercatat seluas 9.367 hektar dengan produksi 41.402 ton. Pusat penanaman bawang daun di Pulau Jawa adalah propinsi Jawa Barat, kemudian disusul Jawa Timur dan Jawa Tengah, sedangkan di luar Pulau Jawa berkembang pesat di Propinsi Bengkulu dan Sumatera Utara (Rukmana, 2004). Bawang daun cocok tumbuh di dataran rendah maupun dataran tinggi dengan ketinggian 250-1.500 m di atas permukaan laut, meskipun di dataran rendah anakan bawang daun tidak terlalu banyak. Daerah dengan curah hujan 150-200 mm/tahun dan suhu harian 18250 C cocok untuk pertumbuhan bawang daun. Tanaman ini dapat tumbuh optimal pada pH netral (6,5-7,5) dengan jenis tanah andosol (bekas lahan gunung berapi) atau tanah lempung berpasir (Setiawati et al., 2007; Briargate, 2014). Selain itu bawang daun dapat tumbuh commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 8 dengan optimal jika struktur tanah mendukung, yaitu dengan tersedianya nutrisi atau unsur hara yang dibutuhkan tanaman. Pengaruh erosi, penguapan dan eksploitasi tanah secara sengaja mengakibatkan berkurangnya unsur hara di dalam tanah yang dibutuhkan oleh bawang daun (Laude et al., 2010). c. Deskripsi Tanaman Bawang daun (Allium fistulosum L.) merupakan tanaman herba semusim dengan tinggi 60 – 70 cm. Batangnya semu, beralur, tidak bercabang dan berwarna hijau. Daunnya tunggal, berupa roset akar dengan tepi rata dan ujungnya runcing. Ukuran panjang daunnya kurang lebih 30 cm dan lebarnya sekitar 5 mm. Pertulangan daunnya sejajar dengan daging daun tipis, rata, dan berwarna hijau (Depkes, 2010). Bunganya majemuk, berwarna hijau dengan tangkai silindris dan panjangnya sekitar 2 cm. Kelopak bunga berwarna putih kehijauan dengan bentuk seperti corong, ujungnya bertoreh, permukaannya rata. Benang sari berbentuk silindris dengan panjang sekitar 5 mm dan kepala sarinya melengkung. Putik berbentuk silindris dengan panjang 2 cm, kepala putik berwarna kuning dan bentuknya bulat panjang (Depkes, 2010). Buahnya berbentuk kotak lonjong, berwarna hijau dengan diameter 5 mm. Biji bawang daun berwarna putih dan berbentuk pipih commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 9 kecil. Akarnya berwarna putih dan bentuknya seperti serabut (Depkes, 2010). d. Kandungan Kimia Daun dan akar Allium fistulosum L. mengandung saponin dan tanin. Selain itu daun Allium fistulosum L. juga mengandung flavonoid dan minyak atsiri (Depkes, 2010; Fransisca et al., 2006). Saponin merupakan senyawa metabolit sekunder dan merupakan kelompok glikosida triterpenoid atau steroid aglikon, terdiri dari satu atau lebih gugus gula yang berikatan dengan aglikon atau sapogenin, dapat membentuk kristal berwarna kuning dan amorf, serta berbau menyengat. Istilah saponin diturunkan dari bahasa latin ‘sapo’ yang berarti sabun. Saponin memiliki sifat penyabunan sehingga menghasilkan busa. Saponin merupakan senyawa ampifilik. Gugus gula (heksosa) pada saponin dapat larut dalam air tetapi tidak larut dalam alkohol absolut, kloroform, eter dan pelarut organik non polar lainnya (Prasetyo et al., 2011). Saponin termasuk ke dalam kelompok besar molekul pelindung tanaman yang disebut phytoanticipins atau phytoprotectans. Saponin diketahui mempunyai efek sebagai antimikroba, menghambat jamur dan melindungi tanaman dari serangan serangga (Suparjo, 2008). Saponin memiliki rasa yang pahit dan tajam serta dapat menyebabkan iritasi lambung bila dimakan oleh serangga (Yunita et al., 2009). Saponin dapat menurunkan tegangan permukaan selaput mukosa traktus digestivus larva sehingga commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 10 dinding traktus digestivus menjadi korosif. Interaksi dari molekulmolekul saponin dengan lapisan kutikula larva akan mengakibatkan kerusakan lapisan kutikula. Saponin larut dalam air (dingin maupun panas) dan alkohol tetapi tidak larut dalam eter (Prasetyo et al., 2011). Saponin dapat mengikat oksigen yang terdapat di air sehingga dapat menyebabkan larva kekurangan oksigen (Chapagain et al., 2005). Paparan larutan yang mengandung saponin terhadap larva Aedes aegypti dalam waktu yang lama dan konsentrasi yang besar dapat meningkatkan efek toksisitasnya (Khanna et al., 2007). Tan in merupakan polifenol tanaman yang larut dalam air dan dapat menggumpalkan protein (Westendarp, 2006). Komponen tanin berperan sebagai pertahanan tanaman terhadap serangga dengan cara menghalangi serangga dalam mencema makanan. Tanin dapat mengganggu serangga dalam mencerna makanan karena tanin akan mengikat protein dalam sistem pencernaan yang diperlukan serangga untuk pertumbuhan sehingga proses penyerapan protein dalam sistem pencernaan menjadi terganggu. Tanin dan saponin memiliki rasa yang pahit sehingga menyebabkan larva tidak mau makan sehingga larva akan kelaparan dan akhirnya mati (Yunita et al., 2009). Flavonoid berasal dari kata flavon, yaitu nama dari salah satu jenis zat yang terbesar jumlahnya dalam tumbuhan. Flavonoid yang memiliki rasa pahit in i digunakan sebagai pertahanan dan perlindungan terhadap serangga, jamur, dan binatang herbivora (Lenny, 2006). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 11 Flavonoid dapat menyebabkan denaturasi protein yang berakibat penurunan permeabilitas dinding dalam saluran pencernaan. Kondisi ini mengakibatkan gangguan pada sistem transpor nutrisi sehingga larva menjadi kekurangan nutrisi dan pertumbuhannya menjadi sangat lambat, apabila terpapar dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan kematian. Senyawa flavonoid juga berfungsi menimbulkan kerusakan pada sistem saraf larva (Khrisnan, 2011). 2. Aedes aegypti L. a. Taksonomi Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Insecta Ordo : Diptera Famili : Culicidae Genus : Aedes Spesies : Aedes aegypti L. (Borror et al., 1996). b. Habitat Nyamuk Aedes aegypti L. tersebar luas di daerah tropis dan sub tropis. Di Indonesia, nyamuk ini tersebar luas baik di rumah-rumah maupun tempat-tempat umum. Nyamuk ini dapat hidup dan berkembang biak sampai ketinggian daerah ±1.000 m dari permukaan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 12 air laut. Di atas ketinggian 1.000 m nyamuk ini tidak dapat berkembang biak, karena pada ketinggian tersebut suhu udara terlalu rendah sehingga tidak memungkinkan bagi kehidupan nyamuk tersebut (Mariyati, 2010). Tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti L. terdiri dari tempat perindukan alami dan buatan. Tempat perindukan utama Aedes aegypti L. adalah tempat-tempat berisi air bersih yang berdekatan letaknya dengan rumah penduduk, biasanya tidak melebihi jarak 500 m dari rumah. Tempat perindukan alami berupa kelopak daun tanaman (keladi, pisang), tempurung kelapa, tonggak bambu dan lubang pohon yang berisi air hujan. Sedangkan tempat perindukan buatan manusia berupa tempayan/gentong tempat penyimpanan air minum, bak mandi, pot bunga, kaleng, botol, drum, ban mobil berisi air hujan yang terdapat di halaman rumah. (Djakaria et al., 2011). c. Morfologi dan Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti L. dalam siklus hidupnya mengalami metamorfosis sempurna yaitu melalui tahapan telur, larva, pupa, dan nyamuk dewasa. Lama daur hidup nyamuk Aedes aegypti L. mulai telur sampai dewasa rata-rata 8–14 hari tergantung pada suhu air (300400 C) (Mariaty, 2010). 1) Telur Telur nyamuk Aedes aegypti L. memiliki d inding bergaris garis dan membentuk bangunan seperti kasa. Telur berwarna hitam commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 13 dan diletakkan satu persatu pada dinding perindukan. Panjang telur 1 mm dengan bentuk bulat oval atau memanjang. Telur dapat bertahan berbulan-bulan pada suhu -20C sampai 420 C dalam keadaan kering. Telur ini akan menetas dalam waktu 4 atau 5 hari jika kelembaban terlalu rendah (Mariaty, 2010). 2) Larva Larva lebih menyukai air bersih, akan tetapi tetap dapat hidup dalam air yang keruh. Larva beristirahat di permukaan dan menggantung hampir tegak lurus. Larva Aedes aegypti L. bergerak lincah dan aktif dengan memperlihatkan gerakan-gerakan naik ke permukaan air dan turun ke dasar wadah secara berulang-ulang. Larva mengambil makanan di dasar wadah, oleh karena itu larva Aedes aegypti L. disebut pemakan makanan di dasar (bottom feeder). Pada saat larva mengambil oksigen dari udara, larva menempatkan corong-corong udara (siphon) pada permukaan air seolah-olah badan larva berada pada posisi membentuk sudut dengan permukaan air (Veriswan, 2006). Temperatur optimal untuk perkembangan larva ini adalah 250C – 300 C. Larva berubah menjadi pupa memerlukan waktu 4 – 9 hari dan melewati 4 fase atau biasa disebut instar yang meliputi: instar I, II, III dan IV. Perubahan instar tersebut disebabkan larva mengalami pengelupasan kulit atau biasa disebut ecdyisi/moulting. Perkembangan dari instar I ke instar II berlangsung dalam 2 – 3 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 14 hari, kemudian dari instar II ke instar III dalam waktu 2 hari, dan perubahan dari instar III ke instar IV dalam waktu 2 – 3 hari (Veriswan, 2006). Adapun ciri-ciri masing-masing instar sebagai berikut: a) Larva instar I : berukuran 1-2 mm, duri-duri (spinae) pada dada belum jelas dan corong pernapasan pada siphon belum jelas. b) Larva instar II : berukuran 2,5-3,5 mm, duri–duri belum jelas, corong kepala mulai menghitam. c) Larva instar III : berukuran 4-5 mm, duri-duri dada mulai jelas dan corong pernapasan berwarna coklat kehitaman. d) Larva instar IV : berukuran 5-6 mm dengan warna kepala gelap, siphon pendek, sangat gelap dan kontras dengan warna tubuhnya. Gerakan larva instar IV lebih lincah dan sensitif terhadap rangsangan cahaya (Mariaty, 2010). 3) Pupa Pupa Aedes aegypti L. berbentuk bengkok dengan kepala besar sehingga menyerupai tanda koma, memiliki siphon pada thorak untuk bernafas. Pupa nyamuk Aedes aegypti L. bersifat aquatik dan tidak seperti kebanyakan pupa serangga lain yaitu sangat aktif dan seringkali disebut akrobat (tumbler). Pupa Aedes aegypti L. tidak makan tetapi masih memerlukan O2 ntuk bernafas melalui sepasang struktur seperti terompet yang kecil pada thorak. Pupa pada tahap akhir akan membungkus tubuh larva dan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 15 mengalami metamorfosis menjadi nyamuk Aedes aegypti L. dewasa (Mariaty, 2010). 4) Dewasa Pupa membutuhkan waktu 1–3 hari untuk menjadi nyamuk dewasa. (Mariaty, 2010). Nyamuk Aedes aegypti L. dewasa memiliki ukuran sedang (panjang 3 – 4 mm). Aedes aegypti L. dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan ukuran nyamuk rumah (Culex quinquefasciatus), mempunyai warna dasar hitam dengan bintik-bintik putih terutama pada kakinya. Morfologi khas dari nyamuk ini yaitu adanya gambaran lira (lyre-form) berwarna putih pada punggungnya (mesonotum). Nyamuk jantan umumnya lebih kecil dari pada yang betina. Nyamuk jantan mempunyai rambut-rambut tebal pada antenanya (Djakaria et al., 2011; Mariaty, 2010; Prianto, 2010). Nyamuk Aedes aegypti L. selama hidupnya hanya kawin satu kali. Jarak terbang nyamuk Aedes aegypti L. sejauh 100-200 meter dari tempat nyamuk meletakkan telur. Nyamuk dewasa lebih aktif di senja atau malam hari. Hanya nyamuk betina yang menghisap darah, sedangkan nyamuk jantan makan bakal madu dan cairan-cairan tumbuhan lain (Mariaty, 2010). Umur nyamuk dewasa betina di alam bebas kira-kira 10 hari, sedangkan di laboratorium mencapai 2 bulan (Djakaria et al., 2011). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 16 d. Perilaku Pola perilaku nyamuk Aedes aegypti L. meliputi perilaku mencari darah, perilaku istirahat, dan perilaku berkembangbiak. 1) Perilaku menghisap darah Nyamuk betina memerlukan protein yang terdapat dalam darah untuk pembentukan telur. Dalam kaitannya dengan kebiasaan makan Aedes aegypti L. termasuk nyamuk day biter atau aktif mengisap darah waktu siang hari, terutama nyamuk-nyamuk yang masih muda (umur 1-8 hari). Makin tua umurnya, cenderung adanya perubahan kebiasaan ke night biter atau aktif mengisap darah waktu malam hari (Mariaty, 2010). Nyamuk betina mengisap darah manusia pada siang hari baik di dalam rumah maupun di luar rumah. Pengisapan darah dilakukan dari pagi sampai petang dengan dua puncak waktu yaitu setelah matahari terbit (08.00 – 10.00 WIB) dan sebelum matahari terbenam (15.00 – 17.00 WIB) (Djakaria et al., 2011). 2) Perilaku istirahat Perilaku istirahat untuk nyamuk memiliki dua arti yaitu istirahat yang sebenarnya selama waktu menunggu proses perkembangan telur dan istirahat sementara yaitu pada waktu nyamuk sedang mencari darah. Pada umumnya nyamuk memillih tempat yang teduh, lembab, dan aman untuk beristirahat. Nyamuk Aedes aegypti L. lebih suka hinggap di tempat-tempat yang dekat commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 17 tanah (Mariaty, 2010). Tempat istirahat nyamuk dewasa yaitu berupa semak-semak atau tanaman rendah termasuk rerumputan yang terdapat di halaman/kebun/pekarangan rumah. Selain itu juga berupa benda-benda yang tergantung di dalam rumah (Djakaria et al., 2011). 3) Perilaku berkembang biak Nyamuk Aedes aegypti L. bertelur dan berkembangbiak di tempat-tempat yang ada air (genangan) jernih seperti di bak mandi, genangan air dalam pot, air dalam botol, drum, baskom, ember, vas bunga, batang atau daun tanaman, dan bekas piring. Nyamuk betina Aedes aegypti L. meletakkan telurnya di dinding tempat perindukannya 1 – 2 cm di atas permukaan air. Telur menetas dalam 1 sampai 2 hari menjadi larva. Sekali bertelur nyamuk dapat mengeluarkan telur sebanyak 50–150 butir telur (Djakaria et al., 2011; Mariaty, 2010). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 18 B. Kerangka Pemikiran Granul Ekstrak Bawang Daun Saponin 1. Menurunkan tegangan permukaan selaput mukosa traktus digestivus larva 2. Memiliki rasa pahit dan tajam serta menyebabkan iritasi lambung bila dimakan serangga 3. Merusak lapisan kutikula larva 4. Mengikat O2 dalam air sehingga larva kekurangan O2 Variabel terkendali: a. Umur larva b. Kepadatan larva c. Habitat d. Volume air e. Kualitas air f. Waktu pemaparan Tan in Flavonoid 1. Mengganggu pencernaan makanan larva 2. Menekan konsumsi makan, tingkat pertumbuhan, kemampuan bertahan larva 1. Menurunkan permeabilitas saluran pencernaan larva 2. Merusak sistem saraf larva Larva Aedes aegypti L. Variabel tak terkendali: a. Kesehatan larva b. Suhu dan kelembaban ruangan Mati Gambar 2.1 Skema Kerangka Pemikiran commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 19 C. Hipotesis Granul ekstrak bawang daun (Allium menyebabkan kematian larva Aedes aegypti L. commit to user fistulosum L.) dapat