BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya setiap manusia memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi. Abraham Maslow mengungkapkan teori kebutuhan manusia dalam piramida hierarchy of needs yang terdiri dari kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan kasih sayang dan sosial, kebutuhan penghargaan, serta aktualisasi diri (Boeree, 2006). Dalam hidupnya, manusia selalu memilki keinginan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut (Feist & Feist, 2009). Kebutuhan-kebutuhan yang dimiliki oleh manusia tersebut apabila sudah terpenuhi akan menghindarkan terjadinya gangguan mental dan tercipta kesejahteraan bagi manusia (The Human Givens Institute). Salah satu cara yang digunakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara melakukan kegiatan belanja (McKean, 2003). Belanja memiliki arti proses mencari dan membeli sesuatu dengan menggunakan uang (BusinessDictionary.com, 2015). Kegiatan berbelanja dilakukan untuk dapat memenuhi berbagai kebutuan manusia baik kebutuhan primer, sekunder, maupun tersier. Selain untuk memenuhi kebutuhan, kegiatan berbelanja juga dilakukan untuk memuaskan kebutuhan sosial (Baker & Wakefield, 2012). Belanja untuk memuaskan kebutuhan sosial yang dimaksud adalah seseorang cenderung melakukan kegiatan belanja di tempat-tempat ramai di datangi pengunjung, seperti mall atau pusat-pusat perbelanjaan yang lain. Mall dan pusat-pusat perbelanjaan banyak dijadikan pilihan tempat untuk berbelanja saat ini karena di tempat-tempat tersebut seseorang tidak hanya dapat berbelanja saja namun juga dapat berinteraksi dengan orangorang yang ada. Kesenangan dalam berinteraksi dengan orang lain mendorong kegiatan 1 2 berbelanja tidak hanya berfungsi memenuhi kebutuhan fisik namun juga dapat memenuhi kebutuhan sosial. Kegiatan berbelanja yang berbeda-beda pada setiap individu dapat terjadi karena adanya orientasi berbelanja. Orientasi berbelanja dapat diartikan sebagai bentuk respons kerangka pemikiran seseorang terhadap lingkungan berbelanja untuk mencapai tujuan personal (Baker & Wakefield, 2012). Berdasarkan studi yang pernah dilakukan sebelumnya, orientasi berbelanja dapat dibedakan menjadi task-based orientation dan socially-based orientation. Task-based orientations merupakan kegiatan berbelanja yang di latarbelakangi oleh alasan ekonomis serta manfaat dari produk yang dibeli. Tujuan dari seseorang yang memiliki orientasi ini adalah berbelanja untuk memenuhi kebutuhan dan mengesampingkan alasan memenuhi kepuasan dan kesenangan saat melakukan kegiatan berbelanja. Orientasi berbelanja yang lain adalah socially-based orientations atau yang biasa disebut dengan orientasi hedonis, yaitu kegiatan berbelanja dilakukan untuk memuaskan kesenangan. Seseorang yang memiliki orientasi hedonis akan menikmati proses berbelanja yang dilakukan tanpa terlalu memikirkan kegunaan dari produk yang dibeli, hal tersebut yang dapat mendorong seseorang mengalami perbelanjaan yang impulsif. Pembelian impulsif menurut BussinessDictionary merupakan perilaku berbelanja yang tidak teratur yang merupakan hasil dari keinginan yang spontan dan tidak terencana tanpa berpikir panjang.Survei yang dilakukan oleh Nielsen menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia mengalami peningkatan pada pembelian impulsif dari tahun ke tahun. Berdasarkan wawancara yang dilakukan pada 1.804 responden, sebanyak 21% responden mengatakan bahwa mereka tidak pernah membuat rencana berbelanja (sumber: www.antaranews.com/berita/264058/pebelanja-indonesia-makin-impulsif). http:// 3 Seseorang yang memiliki tujuan yang jelas ketika melakukan kegiatan berbelanja berhubungan positif dengan kontrol diri yang dimilikinya. Seseorang yang memiliki kontrol diri dalam berbelanja yang baik akan cenderung melakukan kegiatan perbelanjaan seperlunya saja yang disesuaikan dengan kebutuhan yang akan dipenuhi, serta tidak menganggap kegiatan berbelanja merupakan proses yang dinikmati untuk memuaskan kesenangan sementara. Seseorang memutuskan untuk melakukan kegiatan berbelanja didasari oleh kekuatan konflik antara keinginan dan kontrol diri. Dalam hal ini kontrol diri menunjuk pada kemampuan diri untuk mengubah pola respon yang sudah ada sebelumnya dengan respon yang lain misalnya saat seseorang ingin berkonsentrasi maka dirinya akan mengontrol pikiran-pikiran tidak relevan yang muncul sehingga dapat berkonsentrasi dengan baik. Kontrol diri dalam berbelanja yang buruk akan mendorong seseorang melakukan pembelian yang impulsif (Baumesiter, 2002). Kegagalan dan keberhasilan dalam mengelola kontrol diri dipengaruhi oleh standar yang dimiliki seseorang, kemampuan monitoring, serta faktor kepribadian seseorang, standar yang dimiliki seseorang mengarah pada tujuan, ideal, serta norma yang dapat mempengaruhi respon seseorang. Konsumen yang tahu secara pasti apa yang dia inginkan akan lebih terhindar dari pembelian impulsif apabila dibandingkan dengan orang yang tidak mengetahui secara pasti apa tujuan yang diinginkan saat berbelanja. Konflik diantara tujuan yang ingin dicapai juga dapat mengurangi kontrol diri dalam berbelanja. Baumesiter (2002) mengungkapkan bahwa seseorang pada akhirnya melakukan pembelian impulsif karena orang tersebut lebih menikmati proses kesenangan saat berbelanja dibanding memiliki barang yang sudah dibeli tersebut. Selain konflik tujuan yang ingin dicapai, tekanan emosi juga dapat mengurangi kemampuan kontrol diri seseorang, berdasarkan beberapa studi yang pernah dilakukan seseorang yang sedang mengalami tekanan emosi 4 akan cenderung melakukan kegiatan berbelanja sebagai ‘hadiah” untuk diri sendiri yang diharapkan akan membuat perasaan menjadi lebih baik. Selanjutnya adalah kemampuan monitoring yaitu kemampuan untuk tetap menjaga apa yang menjadi tujuan awalnya. Apabila seseorang sudah mantap untuk menghemat uang yang dimiliknya dan tidak mudah tergoda oleh bujukan-bujukan orang lain ataupun faktor lain yang membuat dirinya menjadi berbelanja berlebihan maka perilaku pembelian impulsif tidak akan terjadi. Kemampuan kontrol diri seseorang juga berkaitan dengan kepribadian yang dimiliki individu atau traits. Orang-orang tertentu memiliki masalah dalam melakukan kontrol diri dibandingkan dengan orang lain, hal ini disebabkan adanya perbedaan individual dalam kepribadian seseorang (Baumeister,2002). Seseorang yang memiliki kontrol diri tinggi akan mengelola keuangannya dengan lebih baik . Ketika berbelanja seseorang yang memiliki kontrol diri rendah akan lebih mudah tergiur dan tergoda oleh penawaranpenawaran yang ada secara spontan, misalnya apabila sedang ada diskon khusus yang menurunkan harga secara drastis, sebaliknya orang yang memiliki kontrol diri tinggi akan lebih berpikir panjang mengenai nilai dan kegunaan dari barang yang memiliki penawaran harga menarik tersebut. Seseorang yang memiliki level kontrol diri yang tinggi akan cenderung memiliki hubungan interpersonal yang baik, lebih sedikit bermasalah dalam hal psikologis dan emosi, serta memiliki penerimaan diri dan self-esteem yang baik (Tangney & Baumeister, 2001). Pada penelitian ini dilakukan wawancara preliminary study pada dua subjek mahasiswa mengenai perilaku berbelanja mereka. Keduanya menyatakan bahwa dirinya sering melakukan pembelian yang tidak bisa dikontrol hingga menguras uang yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan pokok lain disebabkan karena ingin mendapatkan penilaian lebih dari teman-temannya guna meningkatkan self-esteem yang dimilikinya. Penialain lebih dari teman-teman di lingkungan pergaulan berupa apresiasi pada 5 penampilan fisik serta hal-hal yang berkaitan dengan hobi, oleh sebab itu mahasiswa sulit untuk mengontrol diri dalam berbelanja pada hal-hal tersebut. Berikut petikan wawancara dengan subjek mahasiswa berinisial AK dan KK saat peneliti melakukan wawancara sebagai preliminary study. ya… jadi nambah pede itu maksudnya kalo aku pribadi ya mbak..kayak yang pertemanan jadi kalo aku make baju yang baru kayak di apresiasi sama temenku..kaya yang..wah baju mu baru..wah trend masa kini gitu-gitu sih..jadi ya seneng aja, pede gitu. ya kadang..kalo lagi kepengen banget gitu beli baju baru gitu kadang nggak ada uang anggarannya sebenernya jadi ya aku ngambil uang yang jatah lain.. aku ambil jatah buat minggu depan, ya jadi..istilahnya sih kaya gali lubang tutup lubang karna minggu depannya aku harus ekstra hemat gitu buat nutup pengeluaran minggu sebelumnya. (KK, 7 Oktober 2015) ya…selain itu.untuk belanja baju tiap bulan.. ya ada lah anggaran buat beli baju biar makin keren, hehe. ya kalo baju sih ya kaya tadi saya bilang ya, Mbak. Jadi kan kayak..ya kalo bajunya bagus gitu kan jadi makin keren gitu lah.. terus kalo yang komputer sih..ya gimana ya mbak soalnya hobinya di situ sih. Jadi kan, ya temen-temen suka..temen-temen juga..e…apa..ee..temen-temenku itu hobi-hobi komputer gitu juga, jadi ya aku beli-beli aja peralatan-peralatan yang…aku beli-beli peralatan yang maksudnya kan kalo komputer kan juga e…namanya teknologi ya mbak, jadi makin hari juga makin berkembang kan. Jadi kalau misalnya ngobrol ama temen ya biar nyambung aja gitu, masa kudet. ya sering-sering aja. ya..kadang-kadang sih duitnya abis juga gitu buat beli perlengkapan komputer e…kadang-kadang e.. sering sih jatah bulanan gitu ya keambil uangnya buat yang..bukan buat yang beli makan gitu..jadi ya..abis uangnya..padahal buat beli kebutuhan lain harusnya..kebutuhan lain juga bisa. (AK, 7 Oktober 2015) Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa mahasiswa melakukan pembelian tidak terkontrol dalam bentuk baju dan hal-hal yang berkaitan dengan hobi, hal ini disebabkan oleh keinginan untuk meningkatkan evaluasi diri yang diberikan orang lain di lingkungan teman-teman pergaulannya agar dirinya mendapat penilaian lebih dari orang lain dan memuaskan diri sendiri. Evaluasi diri yang dimiliki 6 setiap individu yang mengarah pada nilai afektif yang positif atau negatif tentang dirinya disebut dengan self-esteem. (Raynor & McFarlin dalam Darley, 1999). Seseorang dapat dikatakan memiliki self-esteem tinggi atau rendah dilihat dari bagaimana seseorang mengevaluasi dirinya. Apabila seeorang mengevaluasi dirinya secara positif maka orang tersebut memiliki self-esteem yang tinggi, sebaliknya apabila seseorang mengevaluasi dirinya secara negatif maka orang tersebut memiliki self-esteem yang rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Darley (1999) menunjukkan bahwa kontrol diri dalam perilaku berbelanja dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkat self-esteem yang dimiliki oleh seseorang. Seseorang yang memiliki tingkat self-esteem yang tinggi akan memiliki kecenderungan berpikir panjang mengenai fungsi dan manfaat dari barang-barang yang akan dibeli, sebaliknya seseorang yang memiliki tingkat self-esteem yang rendah akan mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitar yang berada diluar dirinya karena seseorang dengan self-esteem yang rendah tidak memiliki rasa percaya diri pada pertimbangan yang berasal dari dalam dirinya. Tingkat self-esteem yang rendah membuat seseorang menjadi lebih mudah melakukan belanja tanpa berpikir panjang mengenai manfaat dan fungsi barang-barang yang dibeli. Hal ini seperti yang telah diungkapkan oleh Darley (1999) mengenai individu yang mudah terpengaruh oleh bujukan orang-orang yang berada di lingkungan sekitar dalam berbelanja. Penelitian yang dilakukan oleh Silvera, Lavack & Kropp (2008) mengungkapkan bahwa pembelian tidak terkontrol terjadi sebagai bentuk pelarian dan sarana pelampiasan psikologis akan rendahnya self-esteem yang dimiliki. Perilaku berbelanja tidak terkontrol yang dilakukan untuk meningkatkan self-esteem dapat terjadi pada setiap orang dari berbagai rentang usia, termasuk mahasiswa. Mahasiswa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan seseorang yang belajar di perguruan tinggi. Mahasiswa S1 pada umumnya berada pada rentang usia 18-24 tahun 7 yang sedang berada pada masa remaja akhir yang menuju masa dewasa (Newman & Newman, 2012). Lebih lanjut Newman dan Newman (2012) menjelaskan bahwa seseorang yang menjadi mahasiswa memiliki tantangan-tantangan baru karena pada fase ini seseorang akan jauh mulai tinggal tidak bersama keluarga dan memulai hidup mandiri. Kehidupan mandiri pada mahasiswa menuntut dirinya untuk dapat memutuskan apa yang harus dilakukan dengan pertimbangan mereka sendiri untuk memenuhi apa yang menjadi kebutuhan mereka. Selain menggunakan pertimbangan diri sendiri, pendapat dan masukan dari teman-teman yang pada lingkungan pergaulan akan menjadi comparative influence yang mempengaruhi bagaimana seseorang bertindak, termasuk bagaimana dirinya mengontrol perilaku berbelanja (Solomon, 1996). Arnett (dalam Santrock, 2010) mengungkapkan bahwa pada masa transisi remaja menuju dewasa seseorang akan fokus pada dirinya dan memiliki otonomi dalam menentukan apa yang menjadi pilihannya dalam hidup, hal tersebut merupakan kesenjangan dengan apa yang terjadi ketika seseorang berbelanja secara berlebihan untuk meningkatkan self-esteem yang berupa penilaian yang diberikan orang teman-teman yang ada disekitarnya seperti yang muncul pada hasil wawancara preliminary study. Berdasarkan hasil penelitian dan wawancara preliminary study yang dilakukan pada mahasiswa, peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan antara self-esteem dan kontrol diri dalam perilaku berbelanja di kalangan mahasiswa. B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah menguji hubungan antara self-esteem dengan kontrol diri dalam perilaku berbelanja pada mahasiswa. 8 C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Melalui penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan dan memperkaya pengetahuan ilmu psikologi terutama dalam topik self-esteem yang dikaitkan dengan kontrol diri dalam perilaku berbelanja pada mahasiswa. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat pada penelitian dengan topik serupa di waktu yang akan datang. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi di kalangan mahasiswa terutama mahasiswa yang menyukai kegiatan berbelanja yang mengarah pada pembelian impulsif agar mengetahui bagaimana hubungan self-esteem dengan kontrol diri dalam perilaku berbelanja.