1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Daun sirih dikenal sebagai obat tradisional di Indonesia. Daun sirih biasa
digunakan dengan cara dikunyah untuk menghilangkan bau mulut dan
menyehatkan gigi karena daun sirih memiliki aktivitas antibakteri terhadap
patogen mulut penyebab karies gigi yaitu Streptococcus mutans (Pratiwi, 2005).
Daun sirih memiliki aktivitas antibakteri karena mengandung eugenol dalam
minyak atsiri (Satyal, 2012). Eugenol merupakan turunan fenol dan mudah
mengalami oksidasi disertai polimerisasi (Turek & Stinzing, 2013). Penggunaan
daun sirih secara langsung dinilai kurang nyaman dan tidak memberikan nilai
efikasi yang maksimal sehingga sirih dibuat dalam bentuk ekstrak.
Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari
simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya
matahari langsung (Anonim, 2009). Ekstraksi dilakukan menggunakan suatu
metode tertentu dengan maksud mendapatkan efek farmakologi. Ekstrak
merupakan hasil ekstraksi yang tidak mengandung hanya satu zat saja tetapi
berbagai macam zat, tergantung pada bahan yang digunakan dan kondisi dari
ekstraksi (Ansel, 2005).
Pada umumnya ekstrak masih akan melalui serangkaian proses terlebih
dahulu hingga menjadi produk jadi. Proses tersebut membutuhkan waktu yang
cukup lama. Sehingga ada kemungkinan stabilitas ekstrak akan berkurang selama
1
2
rentang waktu tersebut. Sejauh ini belum ada acuan pasti yang dapat menjadi
dasar dalam penyimpanan ekstrak. Suatu bahan obat dapat dilihat dari
stabilitasnya terhadap temperatur, pH, cahaya, kandungan oksigen dan waktu
penyimpanan (Aulton, 2008).
Penelitian
stabilitas
aktivitas
antibakteri
ekstrak
terhadap
waktu
penyimpanan yang pernah dilakukan misalnya ekstrak Allium sativum (bawang
putih) serta ekstrak Combretum micranthum. Ekstrak bawang putih yang disimpan
di suhu ruang akan mengalami penurunan aktivitas antibakteri dari hari ke hari
dan kehilangan aktivitasnya setelah hari ke 7 (Durairaj et al., 2009) sementara itu
ekstrak Combretum micranthum justru mengalami peningkatan aktivitas
antibakteri selama penyimpanan hingga hari ke 2 dan mengalami penurunan di
hari ke 3 penyimpanan (Osonwa et al., 2012).
Penelitian terhadap stabilitas ekstrak dilakukan karena ekstrak adalah
bahan baku untuk suatu sediaan obat sehingga stabilitas ekstrak akan
mempengaruhi efikasi dan kualitas produk akhir. Degradasi kimia dari suatu zat
kimia akan mengubah efek farmakologi, sehingga efikasi dan toksikologi akan
berubah pula (Yoshioka & Stella, 2002). Suatu bahan harus dilakukan uji
stabilitas untuk memastikan kualitas bahan tersebut di bawah pengaruh
lingkungan (Niazi, 2009). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
waktu penyimpanan terhadap aktivitas antibakteri ekstrak daun sirih.
3
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, dapat
dirumuskan permasalahan yaitu:
1. Adakah pengaruh dari waktu penyimpanan terhadap aktivitas antibakteri
ekstrak daun sirih
2. Bagaimana pengaruh dari waktu penyimpanan terhadap aktivitas antibakteri
ekstrak daun sirih.
C. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat digunakan sebagai data tambahan dan acuan bagi
peneliti lain untuk mengatur kondisi penyimpanan yang seperti apa yang cocok
untuk ekstrak tumbuhan serta untuk memberikan gambaran stabilitas produk
akhirnya.
D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh waktu
penyimpanan terhadap aktivitas antibakteri ekstrak daun sirih.
4
E. Tinjauan Pustaka
1. Tanaman sirih
a. Sistematika Tanaman
Kerajaan
: Plantae
Divisi
: Magnoliphyta
Kelas
: Magnolipsida
Bangsa
: Piperales
Suku
: Piperaceae
Marga
: Piper
Spesies
: Piper betle L. (Pradhan et al., 2013)
Gambar 1. Daun Sirih (Caburian & Osi, 2010)
b. Nama Simplisia : Piper betle folium
c. Deskripsi Tanaman
Sirih tumbuh merambat di hutan basah dengan kelembaban relatif
yang tinggi. Sirih menyukai tanah liat yang lembab, kaya akan bahan
organik dengan pH 7-7,5. Sirih tumbuh subur di lingkungan dengan 22504750 mm hujan tahunan dan 900m di atas permukaan laut. Daun sirih
berbentuk hati dengan ukuran yang beragam. Panjang daun bervariasi dari
5
7-15 cm begitu pula lebarnya, bervariasi dari 5-14 cm (Pradhan et al.,
2013).
d. Kandungan Kimia
Daun sirih mengandung air (85-90%), protein (3-3,5%), karbohidrat
(0,5-6,1%), mineral (2,3-3,3%), lemak (0,4-1%), serat (2,3%), minyak
essensial (0,08-0,2%), tanin (0,1-1,3%), alkaloid (arakene) (Pradhan et al,
2013). Selain itu, di dalam daun sirih ditemukan adanya senyawa kimia
yang mempunyai aktivitas antibakteri yaitu kavikol, kavibetol, tanin,
eugenol, karvakrol, dan kariofilen (Suliantari et al., 2008).
e. Khasiat dan Indikasi
Ekstrak air dari daun sirih diketahui dapat mengambat patogen yang
memproduksi asam dan dapat mengubah struktur dan sifat dari enamel
seperti
Streptococci,
Lactobacilli,
Staphylococci,
Corynebacteria,
Porphyromonas gingivalis dan Treponema denticola (Pradhan et al., 2013).
Kandungan utama dalam daun sirih yang diketahui memiliki aktivitas
antibakteri adalah hidroksikavikol (Jesonbabu et al., 2011) dan eugenol
(Gaysinsky et al, 2005).
Menurut Pradhan et al. (2013), aktivitas
antibakteri ekstrak daun sirih lebih nyata terlihat di bakteri Gram positif
dikarenakan dinding selnya hanya berupa single layer dibandingkan bakteri
Gram negatif yang memiliki dinding sel berlapis dan lebih kompleks.
Daun sirih memiliki kegunaan yang sangat banyak sebagai obat
tradisional maupun bahan ramuan kosmetik. Sejak dahulu sampai sekarang,
daun sirih masih dipakai sebagai korigen (memperbaiki rasa dan bau) pada
6
mulut. Kandungan bahan aktifnya mempunyai daya antiseptik sehingga
orang-orang tua di desa-desa rajin mengunyah daun ini untuk
menghilangkan bau
mulut dan bau keringat,
menyehatkan gigi,
memperbaiki pencernaan, mencegah batuk, dan radang tenggorokan.
(Jaelani, 2009).
2.
Minyak Atsiri
Minyak atsiri terdiri dari metabolit sekunder tanaman yang bersifat sangat
volatil dan lipofilik, memiliki masa molekul di bawah 300 dan mampu
dipisah dari jaringan tanaman secara fisik. Menurut Turek dan Stintzing
(2013) stabilitas minyak atsiri dipengaruhi oleh hal-hal berikut:
a. Cahaya
Sinar UV dan Visibel mampu mempercepat proses autoksidasi dengan
memicu pelepasan hidrogen sehingga membentuk radikal alkil.
b. Suhu
Suhu mampu mempengaruhi stabilitas minyak atsiri melalui berbagai
aspek. Pada umumnya, peningkatan suhu akan mampu meningkatkan
reaksi kimia yang tergambar pada persamaan Arrhenius.
c. Oksigen
Reaksi oksidasi merupakan penyebab utama dari rusaknya minyak astiri,
oksidasi minyak akan semakin cepat dengan adanya oksigen terlarut atau
tekanan parsial oksigen di ruang kosong.
7
d. Kontaminan Logam
Logam berat mampu memicu autoksidasi seperti halnya pada cahaya dan
panas.
3.
Ekstraksi
Ekstraksi adalah proses penarikan zat pokok yang diinginkan dari
bahan mentah obat dengan menggunakan pelarut yang dipilih di mana zat
yang diinginkan larut (Ansel, 2005). Sistem pelarut yang digunakan dalam
ekstraksi harus dipilih berdasarkan kemampuannya dalam melarutkan
jumlah yang maksimum dari zat aktif dan seminimum mungkin bagi unsur
yang tidak diinginkan. Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat
dibedakan menjadi cara dingin dan cara panas (Anonim, 2000).
a. Cara dingin
1) Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur
ruangan (kamar).
2) Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai
sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada
temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap
maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan
ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya
1-5 kali bahan.
8
b. Cara panas
1) Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan
dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses
pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses
ekstraksi sempurna.
2) Soxhlet
Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinyu
dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
3) Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinyu) pada
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara
umum dilakukan pada temperatur 40-50ºC.
4) Infus
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air
(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 9698ºC) selama waktu tertentu (15-20 menit).
5) Dekokta
Dekokta adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥30 menit) dan
temperatur sampai titik didih air.
9
4. Uraian Antibakteri
Obat-obat antibiotik biasanya diklasifikasi berdasarkan tempat dan mekanisme
aksi dan disubklasifikasi berdasarkan struktur kimianya. Menurut Brenner dan
Craig (2010) suatu obat antibakteri dapat dibedakan menjadi berikut:
a. Menghambat sintesis dinding sel
Kerusakan pada dinding sel (misal oleh lisozim) atau penghambatan pada
formasinya akan berakibat pada lisisnya sel. Pada kondisi lingkungan yang
hipertonik (misal sukrosa 20%), kerusakan formasi dinding sel akan
mengakibatkan bakteri membentuk formasi speris (disebut protoplas pada
organisme Gram positif dan sferoplas pada organisme Gram negatif), dimana
bentuk formasi ini akan berakibat pada lemahnya membran sitoplasma. Bila
protoplas atau sferoplas diletakkan di lingkungan yang berbeda tonisitasnya,
mereka akan menyerap cairan secara cepat, mengembang dan selanjutnya
dapat meledak. Spesimen dari pasien yang diberikan antibiotik jenis ini
terkadang akan
menunjukan bakteri
yang berubah
bentuknya
atau
mengembang (Brooks et al., 2007).
Antibiotik beta laktam dan glikopeptida merupakan salah satu kelas
antibiotik
yang
mengganggu
homeostasis
biosintesis
dinding
sel.
Penghambatan sintesis dinding sel akan menghasilkan perubahan bentuk dan
ukuran sel, menginduksi respon stres dan lisisnya sel (Kohanski et al., 2010).
b. Menghambat fungsi sel membran
Sitoplasma dari sel dilapisi oleh membran sitoplasma yang berfungsi
sebagai barier selektif, transport aktif dan mengkontrol komposis internal dari
10
sel. Bila fungsi dari membran sitoplasma diganggu, makromolekul dan ion
akan keluar dari sel selanjutnya sel dapat rusak bahkan mati (Brooks et al.,
2007)
c. Menghambat sintesis protein
Proses translasi mRNA melibatkan ribosom yang terdiri dari dua
subunit ribonukleoprotein, 50S dan 30S. Menurut Kohanski et al. (2010) obat
yang menghambat sintesis protein dapat dibagi menjadi dua subkelas yaitu
inhibitor 50S dan inhibitor 30S. Inhibitor 50S (makrolida, linkosamida,
streptogramin, amfenikol dan oksazolidon) bekerja dengan cara memblok
inisiasi dari translasi protein atau translokasi dari peptidil tRNA yang pada
nantinya akan menghambat reaksi peptidiltransferase yang memperpanjang
rantai peptida. Sementara itu inhibitor 30S misal tetrasiklin bekerja dengan
cara memblok jalan aminoasil tRNA menuju ribosom. Sementara aminosilitol
(inhibitor 30S yang lain) akan berikatan dengan komponen 16S rRNA dari
subunit 30S ribosom. Ikatan ini akan merubah konformasi kompleks kodon
mRNA dan aminoasil tRNA di ribosom yang akan menghasilkan mismatch
tRNA dan menyebabkan protein mistranslokasi.
d. Menghambat metabolisme dan sintesis asam nukleat
Obat kelompok ini dapat terbagi lagi menjadi berbagai macam yaitu:
1) Inhibitor sintesis DNA
Obat dari golongan ini adalah quinolon yang memiliki aktivitas antibakteri
yang terbatas. Modifikasi dari quionolon yaitu fluoroquinolon mampu
meningkatkan afinitas terhadap DNA girase dan meningkatkan aktivitas
11
antibakterinya. Fluoroquinolon menghambat dua tipe DNA topoisomerase
bakteri yaitu tipe II topoisomerase (atau biasa disebut DNA girase) dan
tipe IV topoisomerase. Enzim topoisomerase penting untuk menjaga DNA
agar dalam keadaan yang stabil dan aktif (Brenner dan Craig, 2010).
Sehingga
adanya
hambatan
terhadap
enzim
topoisomerase
akan
menyebabkan DNA menjadi tidak stabil dan rusak.
2) Inhibitor sintesis RNA
Inhibisi sintesis RNA oleh kelas rifamisin hampir mirip dengan inhibisi
replikasi DNA oleh quinolon. Rifamisin menghambat transkripsi dengan
cara berikatan pada beta-subunit (rpoB) dari ikatan DNA dan RNA
polimerase (Kohanski et al, 2010).
3) Obat antifolat
Folat merupakan kofaktor dari enzim yang dibutuhkan dalam sintesis
purin dan pirimidin (prekursor RNA dan DNA) serta komponen lain yang
penting untuk pertumbuhan sel dan replikasi. Sehingga, tanpa adanya folat
sel tidak dapat tumbuh atau membelah. Untuk mendapatkan derivatif folat
(asam tetrahidrofolat), manusia dapat mendapatkan folat dari makanan.
Namun, banyak bakteri yang impermeabel terhadap asam folat maupun
turunan folat yang lain. Sehingga bakteri hanya mampu mendapatkan folat
dari sintesis folat de novo (Finkel et al., 2009).
Ada dua tipe dari obat antifolat yang digunakan untuk terapi yaitu
sulfonamida yang menghambat sintesis dihidrofolat dari bakteri dan
parasit serta inhibitor folat reduktase yang memblok aksi dihidrofolat
12
reduktase dan pembentukan tetrahidrofolat pada berbagai macam
organisme (Brenner dan Craig, 2010).
5.
Pengecatan Bakteri (Gram Staining)
Sel mikroba pada umumnya sulit untuk diamati di bawah mikroskop
karena sel-sel mikroba tidak berwarna. Oleh karena itu pengecatan diperlukan
agar diperoleh perbedaan warna antara sel mikroba dengan latar belakangnya
sehingga sel mikroba dapat diamati dengan lebih jelas.
Gambar 2. Prosedur Pengecatan Gram (Kar, 2008)
Sejak ditemukannya teknik pengecatan oleh Hans Christian Gram pada
tahun 1884, pengamatan bentuk dan jenis mikroba dapat ditentukan dengan
mudah. Prinsip dari teknik pengecatan Gram adalah bakteri Gram positif
memiliki dinding sel yang kaya akan peptidoglikan cenderung mempertahankan
kompleks kristal violet-iodin dibanding bakteri Gram negatif (Beveridge, 1990).
Teknik ini terdiri dari empat komponen yaitu primary stain (kristal violet),
mordant (iodin), decolourizer (alkohol), dan counterstain (safranin). Bakteri
Gram negatif dan positif akan berinteraksi secara ikatan ionik antara grup dari
13
pewarna dan grup asam dari sel. Selanjutnya, larutan iodin akan masuk ke kedua
tipe bakteri dan akan mengendap bersama dengan pewarna. Kemudian, saat
diberikan alkohol, terjadi perbedaan dari kedua bakteri. Pada Gram negatif,
alkohol akan memasuki membran sel, melarut dan mendisosiasi komplek
pewarna-iodin sehingga sel akan menjadi tidak berwarna. Sementara pada Gram
positif, disolusi kompleks pewarna-iodin akan berjalan lambat Sehingga
komplek pewarna-iodin akan susah hilang. Terakhir saat diberikan counterstain,
Gram negatif yang telah kehilangan warna akibat diberikan alkohol akan
dimasuki pewarna ini sehingga akan berubah warna menjadi merah
(Bartholomew dan Mittwe, 1952).
6. Uji In Vitro Aktivitas Antibakteri
Penentuan kepekaan dari suatu bakteri patogen terhadap obat antimikroba
dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu dari metode di bawah ini,
yakni:
a. Metode dilusi
Metode ini digunakan untuk menentukan MIC (Minimum Inhibitory
Concentration) yaitu konsentrasi terendah dari antibiotik yang akan mencegah
pertumbuhan dari organisme. Rangkaian dari tabung yang mengandung
preparat dari antibiotik ditambahkan ke dalam media cair yang berisi
organisme dan diinkubasi (Hogg, 2005).
b. Metode difusi
Metode yang paling sering digunakan adalah uji difusi cakram (disc
diffusion). Suatu paper disc yang mengandung obat diletakkan di permukaan
14
media padat yang telah diinokulasi dengan organisme uji. Setelah inkubasi,
diameter dari zona jernih di sekitar cakram digunakan sebagai ukuran dari
kekuatan inhibisi dari obat tersebut terhadap organisme uji (Brooks et al.,
2007).
7. Bakteri Streptococcus mutans
a. Klasifikasi
Kerajaan : Monera
Divisi
: Firmicutes
Kelas
: Bacili
Bangsa
: Lactobacillus
Suku
: Streptococcaceae
Marga
: Streptococcus
Spesies
: Streptococcus mutans (Gani et al., 2009)
b. Morfologi
Pada tahun 1924, Clarke mengisolasi mikroorganisme dari lubang karies
gigi manusia dan menyebutnya Streptococcus mutans karena mikroorganisme
tersebut berbentuk lebih oval dibanding bulat (kokus), sehingga tampak
menjadi bentuk mutan dari Streptococcus (Loesche, 1986). Habitat utamanya
adalah di mulut, faring dan usus halus. Beberapa faktor seperti perlekatan
pada permukaan enamel, produksi metabolit asam, kapasitas untuk membuat
persedian
glikogen
dan
kemampuan
untuk
ekstraseluler biasanya muncul di karies gigi.
mensintesis
polisakarida
15
Streptococcus mutans dan S. sobrinus memiliki peran penting dalam
penyebab karies gigi karena mereka dapat melekat pada permukaan halus
enamel dan plak bakteri yang lain. Streptococcus mutans dan lactobacilli juga
merupakan produsen asam kuat dan menyebabkan lingkungan asam yang
dapat meningkatkan resiko gigi berlubang. Biasanya¸ S. mutans terlihat di gigi
yang berlubang dan diikuti oleh karies setelah 6-24 bulan. Streptococcus
mutans dan S. sobrinus mampu membentuk polisakarida ekstraseluler
(Extracellular polysaccharides-EPS) saat ada sukrosa, fruktosa dan glukosa.
EPS merupakan polimer berbobot molekul besar serta memiliki rantai yang
panjang. Ikatan glikosidik energi tinggi di antara glukosa dan fruktosa
menyuplai energi bebas yang dibutuhkan untuk sintesis EPS. Produksi dari
EPS dalam skala besar merupakan faktor penting penyebab kariogenesitas S.
mutans (Forssten et al., 2010).
8. Media Mikrobiologi
Media yang digunakan merupakan bahan nutrisi untuk pertumbuhan
mikroorganisme dalam prosedur uji mikrobiologi. Media harus mengandung
segala nutrisi yang dibutuhkan suatu mikroorganisme untuk tumbuh. Menurut
Prescott (2002), penggolongan media dapat berdasarkan konsistensi, kandungan
nutrisi serta tujuan pemakaian. Berdasarkan konsistensinya, media dibedakan
menjadi:
a. Media cair
Media cair dinamakan
material biologis.
broth media dan mengandung ekstrak kompleks
16
b. Media padat
Media ini merupakan media yang mengandung bahan pemadat atau pembeku
(solidifying agent) contohnya Agar. Agar merupakan suatu kompleks
polisakarida yang diperoleh dari alga merah. Agar sangat cocok digunakan
sebagai bahan pembeku karena setelah dilelehkan dalam air mendidih, Agar
dapat didinginkan hingga temperatur 40º-42º C sebelum membeku dan tidak
mencair lagi pada temperatur di bawah 80º-90º C. Selain itu Agar tidak dapat
didegradasi oleh mikroorganisme sehingga Agar cocok digunakan sebagai
bahan pemadat.
Menurut kandungan nutrisinya, media dibedakan menjadi:
a. Media sintesis (defined media)
Media sintesis merupakan media yang komponennya telah diketahui. Media
sintesis digunakan secara luas dalam penelitian, namun media ini lebih sering
digunakan untuk mengetahui metabolisme suatu mikroorganisme.
b.
Media kompleks (complex media)
Media kompleks merupakan media yang mengandung beberapa bahan yang
tidak diketahui komposisi kimianya. Media ini berguna untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi dari berbagai macam mikroorganisme. Selain itu, media ini
digunakan karena kebutuhan nutrisi suatu mikroorganisme belum diketahui
sehingga tidak dapat digunakan media sintesis. Tiga media kompleks yang
paling sering digunakan adalah Nutrient Broth, Tryptic Soy Broth dan
MacConkey Agar.
Sementara, berdasarkan tujuan pemakaiannya, media dibedakan menjadi:
17
a. Media umum (general media)
Media seperti Tryptic Soy Broth dan Tryptic Soy Agar disebut media umum
karena dapat digunakan sebagai media pertumbuhan berbagai macam
mikroorganisme.
b.
Media diperkaya (enriched media)
Media diperkaya merupakan media yang mampu mempercepat pertumbuhan
mikroorganisme tertentu. Media diperkaya dapat terdiri dari media umum
yang ditambahkan darah atau nutrisi khusus lainnya.
c. Media selektif (selective media)
Media selektif merupakan media yang dapat mendukung pertumbuhan
mikroorganisme tertentu. Pada media ini dapat ditambahkan bile salts atau dye
seperti basic fuchsin dan crystal violet yang mampu mendukung pertumbuhan
bakteri gram negatif dan menghambat pertumbuhan Gram positif tanpa
mempengaruhi bakteri Gram negatif.
d. Media diferensial (differential media)
Media differensial adalah media yang mampu membedakan grup bakteri
tertentu dan bahkan identifikasi mikroorganisme berdasarkan karakteristik
biologinya. Contohnya adalah media Blood Agar yang merupakan media
diferensial dan media diperkaya. Media ini dapat membedakan antara bakteri
hemolitik
dan
nonhemolitik.
Bakteri
hemolitik
(Streptococcus
dan
Staphylococcus) menghasilkan zona bening di sekitar koloninya karena
destruksi sel darah merah.
18
F. Landasan Teori
Ekstrak air daun sirih telah diteliti secara ilmiah memiliki efek antibakteri
terhadap banyak bakteri salah satunya S. mutans. Ekstrak mengandung eugenol
yang merupakan golongan minyak atsiri. Minyak atsiri merupakan senyawa yang
mudah mengalami oksidasi disertai polimerisasi.
Stabilitas ekstrak selama masa penyimpanan terhadap aktivitas antibakteri
pernah diteliti sebelumnya oleh Durairaj et al. di tahun 2009 pada ekstrak bawang
putih serta oleh Osonwa et al. di tahun 2012 pada ekstrak Combretum
micranthum. Kedua penelitian ini
menyimpulkan bahwa selama masa
penyimpanan di suhu ruang kedua ekstrak mengalami penurunan aktivitas
antibakteri.
G. Hipotesis
Semakin lama waktu penyimpanan, semakin berkurang aktivitas antibakteri
dari ekstrak air daun sirih yang ditandai dengan berkurangnya diameter hambat.
Download