BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daun sirih dikenal sebagai obat tradisional di Indonesia. Daun sirih biasa digunakan dengan cara dikunyah untuk menghilangkan bau mulut dan menyehatkan gigi karena daun sirih memiliki aktivitas antibakteri terhadap patogen mulut penyebab karies gigi yaitu Streptococcus mutans (Pratiwi, 2005). Daun sirih memiliki aktivitas antibakteri karena mengandung eugenol dalam minyak atsiri (Satyal, 2012). Eugenol merupakan turunan fenol dan mudah mengalami oksidasi disertai polimerisasi (Turek & Stinzing, 2013). Penggunaan daun sirih secara langsung dinilai kurang nyaman dan tidak memberikan nilai efikasi yang maksimal sehingga sirih dibuat dalam bentuk ekstrak. Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya matahari langsung (Anonim, 2009). Ekstraksi dilakukan menggunakan suatu metode tertentu dengan maksud mendapatkan efek farmakologi. Ekstrak merupakan hasil ekstraksi yang tidak mengandung hanya satu zat saja tetapi berbagai macam zat, tergantung pada bahan yang digunakan dan kondisi dari ekstraksi (Ansel, 2005). Pada umumnya ekstrak masih akan melalui serangkaian proses terlebih dahulu hingga menjadi produk jadi. Proses tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama. Sehingga ada kemungkinan stabilitas ekstrak akan berkurang selama 1 2 rentang waktu tersebut. Sejauh ini belum ada acuan pasti yang dapat menjadi dasar dalam penyimpanan ekstrak. Suatu bahan obat dapat dilihat dari stabilitasnya terhadap temperatur, pH, cahaya, kandungan oksigen dan waktu penyimpanan (Aulton, 2008). Penelitian stabilitas aktivitas antibakteri ekstrak terhadap waktu penyimpanan yang pernah dilakukan misalnya ekstrak Allium sativum (bawang putih) serta ekstrak Combretum micranthum. Ekstrak bawang putih yang disimpan di suhu ruang akan mengalami penurunan aktivitas antibakteri dari hari ke hari dan kehilangan aktivitasnya setelah hari ke 7 (Durairaj et al., 2009) sementara itu ekstrak Combretum micranthum justru mengalami peningkatan aktivitas antibakteri selama penyimpanan hingga hari ke 2 dan mengalami penurunan di hari ke 3 penyimpanan (Osonwa et al., 2012). Penelitian terhadap stabilitas ekstrak dilakukan karena ekstrak adalah bahan baku untuk suatu sediaan obat sehingga stabilitas ekstrak akan mempengaruhi efikasi dan kualitas produk akhir. Degradasi kimia dari suatu zat kimia akan mengubah efek farmakologi, sehingga efikasi dan toksikologi akan berubah pula (Yoshioka & Stella, 2002). Suatu bahan harus dilakukan uji stabilitas untuk memastikan kualitas bahan tersebut di bawah pengaruh lingkungan (Niazi, 2009). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh waktu penyimpanan terhadap aktivitas antibakteri ekstrak daun sirih. 3 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, dapat dirumuskan permasalahan yaitu: 1. Adakah pengaruh dari waktu penyimpanan terhadap aktivitas antibakteri ekstrak daun sirih 2. Bagaimana pengaruh dari waktu penyimpanan terhadap aktivitas antibakteri ekstrak daun sirih. C. Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat digunakan sebagai data tambahan dan acuan bagi peneliti lain untuk mengatur kondisi penyimpanan yang seperti apa yang cocok untuk ekstrak tumbuhan serta untuk memberikan gambaran stabilitas produk akhirnya. D. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh waktu penyimpanan terhadap aktivitas antibakteri ekstrak daun sirih. 4 E. Tinjauan Pustaka 1. Tanaman sirih a. Sistematika Tanaman Kerajaan : Plantae Divisi : Magnoliphyta Kelas : Magnolipsida Bangsa : Piperales Suku : Piperaceae Marga : Piper Spesies : Piper betle L. (Pradhan et al., 2013) Gambar 1. Daun Sirih (Caburian & Osi, 2010) b. Nama Simplisia : Piper betle folium c. Deskripsi Tanaman Sirih tumbuh merambat di hutan basah dengan kelembaban relatif yang tinggi. Sirih menyukai tanah liat yang lembab, kaya akan bahan organik dengan pH 7-7,5. Sirih tumbuh subur di lingkungan dengan 22504750 mm hujan tahunan dan 900m di atas permukaan laut. Daun sirih berbentuk hati dengan ukuran yang beragam. Panjang daun bervariasi dari 5 7-15 cm begitu pula lebarnya, bervariasi dari 5-14 cm (Pradhan et al., 2013). d. Kandungan Kimia Daun sirih mengandung air (85-90%), protein (3-3,5%), karbohidrat (0,5-6,1%), mineral (2,3-3,3%), lemak (0,4-1%), serat (2,3%), minyak essensial (0,08-0,2%), tanin (0,1-1,3%), alkaloid (arakene) (Pradhan et al, 2013). Selain itu, di dalam daun sirih ditemukan adanya senyawa kimia yang mempunyai aktivitas antibakteri yaitu kavikol, kavibetol, tanin, eugenol, karvakrol, dan kariofilen (Suliantari et al., 2008). e. Khasiat dan Indikasi Ekstrak air dari daun sirih diketahui dapat mengambat patogen yang memproduksi asam dan dapat mengubah struktur dan sifat dari enamel seperti Streptococci, Lactobacilli, Staphylococci, Corynebacteria, Porphyromonas gingivalis dan Treponema denticola (Pradhan et al., 2013). Kandungan utama dalam daun sirih yang diketahui memiliki aktivitas antibakteri adalah hidroksikavikol (Jesonbabu et al., 2011) dan eugenol (Gaysinsky et al, 2005). Menurut Pradhan et al. (2013), aktivitas antibakteri ekstrak daun sirih lebih nyata terlihat di bakteri Gram positif dikarenakan dinding selnya hanya berupa single layer dibandingkan bakteri Gram negatif yang memiliki dinding sel berlapis dan lebih kompleks. Daun sirih memiliki kegunaan yang sangat banyak sebagai obat tradisional maupun bahan ramuan kosmetik. Sejak dahulu sampai sekarang, daun sirih masih dipakai sebagai korigen (memperbaiki rasa dan bau) pada 6 mulut. Kandungan bahan aktifnya mempunyai daya antiseptik sehingga orang-orang tua di desa-desa rajin mengunyah daun ini untuk menghilangkan bau mulut dan bau keringat, menyehatkan gigi, memperbaiki pencernaan, mencegah batuk, dan radang tenggorokan. (Jaelani, 2009). 2. Minyak Atsiri Minyak atsiri terdiri dari metabolit sekunder tanaman yang bersifat sangat volatil dan lipofilik, memiliki masa molekul di bawah 300 dan mampu dipisah dari jaringan tanaman secara fisik. Menurut Turek dan Stintzing (2013) stabilitas minyak atsiri dipengaruhi oleh hal-hal berikut: a. Cahaya Sinar UV dan Visibel mampu mempercepat proses autoksidasi dengan memicu pelepasan hidrogen sehingga membentuk radikal alkil. b. Suhu Suhu mampu mempengaruhi stabilitas minyak atsiri melalui berbagai aspek. Pada umumnya, peningkatan suhu akan mampu meningkatkan reaksi kimia yang tergambar pada persamaan Arrhenius. c. Oksigen Reaksi oksidasi merupakan penyebab utama dari rusaknya minyak astiri, oksidasi minyak akan semakin cepat dengan adanya oksigen terlarut atau tekanan parsial oksigen di ruang kosong. 7 d. Kontaminan Logam Logam berat mampu memicu autoksidasi seperti halnya pada cahaya dan panas. 3. Ekstraksi Ekstraksi adalah proses penarikan zat pokok yang diinginkan dari bahan mentah obat dengan menggunakan pelarut yang dipilih di mana zat yang diinginkan larut (Ansel, 2005). Sistem pelarut yang digunakan dalam ekstraksi harus dipilih berdasarkan kemampuannya dalam melarutkan jumlah yang maksimum dari zat aktif dan seminimum mungkin bagi unsur yang tidak diinginkan. Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dibedakan menjadi cara dingin dan cara panas (Anonim, 2000). a. Cara dingin 1) Maserasi Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). 2) Perkolasi Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan. 8 b. Cara panas 1) Refluks Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna. 2) Soxhlet Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinyu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik. 3) Digesti Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinyu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50ºC. 4) Infus Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 9698ºC) selama waktu tertentu (15-20 menit). 5) Dekokta Dekokta adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥30 menit) dan temperatur sampai titik didih air. 9 4. Uraian Antibakteri Obat-obat antibiotik biasanya diklasifikasi berdasarkan tempat dan mekanisme aksi dan disubklasifikasi berdasarkan struktur kimianya. Menurut Brenner dan Craig (2010) suatu obat antibakteri dapat dibedakan menjadi berikut: a. Menghambat sintesis dinding sel Kerusakan pada dinding sel (misal oleh lisozim) atau penghambatan pada formasinya akan berakibat pada lisisnya sel. Pada kondisi lingkungan yang hipertonik (misal sukrosa 20%), kerusakan formasi dinding sel akan mengakibatkan bakteri membentuk formasi speris (disebut protoplas pada organisme Gram positif dan sferoplas pada organisme Gram negatif), dimana bentuk formasi ini akan berakibat pada lemahnya membran sitoplasma. Bila protoplas atau sferoplas diletakkan di lingkungan yang berbeda tonisitasnya, mereka akan menyerap cairan secara cepat, mengembang dan selanjutnya dapat meledak. Spesimen dari pasien yang diberikan antibiotik jenis ini terkadang akan menunjukan bakteri yang berubah bentuknya atau mengembang (Brooks et al., 2007). Antibiotik beta laktam dan glikopeptida merupakan salah satu kelas antibiotik yang mengganggu homeostasis biosintesis dinding sel. Penghambatan sintesis dinding sel akan menghasilkan perubahan bentuk dan ukuran sel, menginduksi respon stres dan lisisnya sel (Kohanski et al., 2010). b. Menghambat fungsi sel membran Sitoplasma dari sel dilapisi oleh membran sitoplasma yang berfungsi sebagai barier selektif, transport aktif dan mengkontrol komposis internal dari 10 sel. Bila fungsi dari membran sitoplasma diganggu, makromolekul dan ion akan keluar dari sel selanjutnya sel dapat rusak bahkan mati (Brooks et al., 2007) c. Menghambat sintesis protein Proses translasi mRNA melibatkan ribosom yang terdiri dari dua subunit ribonukleoprotein, 50S dan 30S. Menurut Kohanski et al. (2010) obat yang menghambat sintesis protein dapat dibagi menjadi dua subkelas yaitu inhibitor 50S dan inhibitor 30S. Inhibitor 50S (makrolida, linkosamida, streptogramin, amfenikol dan oksazolidon) bekerja dengan cara memblok inisiasi dari translasi protein atau translokasi dari peptidil tRNA yang pada nantinya akan menghambat reaksi peptidiltransferase yang memperpanjang rantai peptida. Sementara itu inhibitor 30S misal tetrasiklin bekerja dengan cara memblok jalan aminoasil tRNA menuju ribosom. Sementara aminosilitol (inhibitor 30S yang lain) akan berikatan dengan komponen 16S rRNA dari subunit 30S ribosom. Ikatan ini akan merubah konformasi kompleks kodon mRNA dan aminoasil tRNA di ribosom yang akan menghasilkan mismatch tRNA dan menyebabkan protein mistranslokasi. d. Menghambat metabolisme dan sintesis asam nukleat Obat kelompok ini dapat terbagi lagi menjadi berbagai macam yaitu: 1) Inhibitor sintesis DNA Obat dari golongan ini adalah quinolon yang memiliki aktivitas antibakteri yang terbatas. Modifikasi dari quionolon yaitu fluoroquinolon mampu meningkatkan afinitas terhadap DNA girase dan meningkatkan aktivitas 11 antibakterinya. Fluoroquinolon menghambat dua tipe DNA topoisomerase bakteri yaitu tipe II topoisomerase (atau biasa disebut DNA girase) dan tipe IV topoisomerase. Enzim topoisomerase penting untuk menjaga DNA agar dalam keadaan yang stabil dan aktif (Brenner dan Craig, 2010). Sehingga adanya hambatan terhadap enzim topoisomerase akan menyebabkan DNA menjadi tidak stabil dan rusak. 2) Inhibitor sintesis RNA Inhibisi sintesis RNA oleh kelas rifamisin hampir mirip dengan inhibisi replikasi DNA oleh quinolon. Rifamisin menghambat transkripsi dengan cara berikatan pada beta-subunit (rpoB) dari ikatan DNA dan RNA polimerase (Kohanski et al, 2010). 3) Obat antifolat Folat merupakan kofaktor dari enzim yang dibutuhkan dalam sintesis purin dan pirimidin (prekursor RNA dan DNA) serta komponen lain yang penting untuk pertumbuhan sel dan replikasi. Sehingga, tanpa adanya folat sel tidak dapat tumbuh atau membelah. Untuk mendapatkan derivatif folat (asam tetrahidrofolat), manusia dapat mendapatkan folat dari makanan. Namun, banyak bakteri yang impermeabel terhadap asam folat maupun turunan folat yang lain. Sehingga bakteri hanya mampu mendapatkan folat dari sintesis folat de novo (Finkel et al., 2009). Ada dua tipe dari obat antifolat yang digunakan untuk terapi yaitu sulfonamida yang menghambat sintesis dihidrofolat dari bakteri dan parasit serta inhibitor folat reduktase yang memblok aksi dihidrofolat 12 reduktase dan pembentukan tetrahidrofolat pada berbagai macam organisme (Brenner dan Craig, 2010). 5. Pengecatan Bakteri (Gram Staining) Sel mikroba pada umumnya sulit untuk diamati di bawah mikroskop karena sel-sel mikroba tidak berwarna. Oleh karena itu pengecatan diperlukan agar diperoleh perbedaan warna antara sel mikroba dengan latar belakangnya sehingga sel mikroba dapat diamati dengan lebih jelas. Gambar 2. Prosedur Pengecatan Gram (Kar, 2008) Sejak ditemukannya teknik pengecatan oleh Hans Christian Gram pada tahun 1884, pengamatan bentuk dan jenis mikroba dapat ditentukan dengan mudah. Prinsip dari teknik pengecatan Gram adalah bakteri Gram positif memiliki dinding sel yang kaya akan peptidoglikan cenderung mempertahankan kompleks kristal violet-iodin dibanding bakteri Gram negatif (Beveridge, 1990). Teknik ini terdiri dari empat komponen yaitu primary stain (kristal violet), mordant (iodin), decolourizer (alkohol), dan counterstain (safranin). Bakteri Gram negatif dan positif akan berinteraksi secara ikatan ionik antara grup dari 13 pewarna dan grup asam dari sel. Selanjutnya, larutan iodin akan masuk ke kedua tipe bakteri dan akan mengendap bersama dengan pewarna. Kemudian, saat diberikan alkohol, terjadi perbedaan dari kedua bakteri. Pada Gram negatif, alkohol akan memasuki membran sel, melarut dan mendisosiasi komplek pewarna-iodin sehingga sel akan menjadi tidak berwarna. Sementara pada Gram positif, disolusi kompleks pewarna-iodin akan berjalan lambat Sehingga komplek pewarna-iodin akan susah hilang. Terakhir saat diberikan counterstain, Gram negatif yang telah kehilangan warna akibat diberikan alkohol akan dimasuki pewarna ini sehingga akan berubah warna menjadi merah (Bartholomew dan Mittwe, 1952). 6. Uji In Vitro Aktivitas Antibakteri Penentuan kepekaan dari suatu bakteri patogen terhadap obat antimikroba dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu dari metode di bawah ini, yakni: a. Metode dilusi Metode ini digunakan untuk menentukan MIC (Minimum Inhibitory Concentration) yaitu konsentrasi terendah dari antibiotik yang akan mencegah pertumbuhan dari organisme. Rangkaian dari tabung yang mengandung preparat dari antibiotik ditambahkan ke dalam media cair yang berisi organisme dan diinkubasi (Hogg, 2005). b. Metode difusi Metode yang paling sering digunakan adalah uji difusi cakram (disc diffusion). Suatu paper disc yang mengandung obat diletakkan di permukaan 14 media padat yang telah diinokulasi dengan organisme uji. Setelah inkubasi, diameter dari zona jernih di sekitar cakram digunakan sebagai ukuran dari kekuatan inhibisi dari obat tersebut terhadap organisme uji (Brooks et al., 2007). 7. Bakteri Streptococcus mutans a. Klasifikasi Kerajaan : Monera Divisi : Firmicutes Kelas : Bacili Bangsa : Lactobacillus Suku : Streptococcaceae Marga : Streptococcus Spesies : Streptococcus mutans (Gani et al., 2009) b. Morfologi Pada tahun 1924, Clarke mengisolasi mikroorganisme dari lubang karies gigi manusia dan menyebutnya Streptococcus mutans karena mikroorganisme tersebut berbentuk lebih oval dibanding bulat (kokus), sehingga tampak menjadi bentuk mutan dari Streptococcus (Loesche, 1986). Habitat utamanya adalah di mulut, faring dan usus halus. Beberapa faktor seperti perlekatan pada permukaan enamel, produksi metabolit asam, kapasitas untuk membuat persedian glikogen dan kemampuan untuk ekstraseluler biasanya muncul di karies gigi. mensintesis polisakarida 15 Streptococcus mutans dan S. sobrinus memiliki peran penting dalam penyebab karies gigi karena mereka dapat melekat pada permukaan halus enamel dan plak bakteri yang lain. Streptococcus mutans dan lactobacilli juga merupakan produsen asam kuat dan menyebabkan lingkungan asam yang dapat meningkatkan resiko gigi berlubang. Biasanya¸ S. mutans terlihat di gigi yang berlubang dan diikuti oleh karies setelah 6-24 bulan. Streptococcus mutans dan S. sobrinus mampu membentuk polisakarida ekstraseluler (Extracellular polysaccharides-EPS) saat ada sukrosa, fruktosa dan glukosa. EPS merupakan polimer berbobot molekul besar serta memiliki rantai yang panjang. Ikatan glikosidik energi tinggi di antara glukosa dan fruktosa menyuplai energi bebas yang dibutuhkan untuk sintesis EPS. Produksi dari EPS dalam skala besar merupakan faktor penting penyebab kariogenesitas S. mutans (Forssten et al., 2010). 8. Media Mikrobiologi Media yang digunakan merupakan bahan nutrisi untuk pertumbuhan mikroorganisme dalam prosedur uji mikrobiologi. Media harus mengandung segala nutrisi yang dibutuhkan suatu mikroorganisme untuk tumbuh. Menurut Prescott (2002), penggolongan media dapat berdasarkan konsistensi, kandungan nutrisi serta tujuan pemakaian. Berdasarkan konsistensinya, media dibedakan menjadi: a. Media cair Media cair dinamakan material biologis. broth media dan mengandung ekstrak kompleks 16 b. Media padat Media ini merupakan media yang mengandung bahan pemadat atau pembeku (solidifying agent) contohnya Agar. Agar merupakan suatu kompleks polisakarida yang diperoleh dari alga merah. Agar sangat cocok digunakan sebagai bahan pembeku karena setelah dilelehkan dalam air mendidih, Agar dapat didinginkan hingga temperatur 40º-42º C sebelum membeku dan tidak mencair lagi pada temperatur di bawah 80º-90º C. Selain itu Agar tidak dapat didegradasi oleh mikroorganisme sehingga Agar cocok digunakan sebagai bahan pemadat. Menurut kandungan nutrisinya, media dibedakan menjadi: a. Media sintesis (defined media) Media sintesis merupakan media yang komponennya telah diketahui. Media sintesis digunakan secara luas dalam penelitian, namun media ini lebih sering digunakan untuk mengetahui metabolisme suatu mikroorganisme. b. Media kompleks (complex media) Media kompleks merupakan media yang mengandung beberapa bahan yang tidak diketahui komposisi kimianya. Media ini berguna untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dari berbagai macam mikroorganisme. Selain itu, media ini digunakan karena kebutuhan nutrisi suatu mikroorganisme belum diketahui sehingga tidak dapat digunakan media sintesis. Tiga media kompleks yang paling sering digunakan adalah Nutrient Broth, Tryptic Soy Broth dan MacConkey Agar. Sementara, berdasarkan tujuan pemakaiannya, media dibedakan menjadi: 17 a. Media umum (general media) Media seperti Tryptic Soy Broth dan Tryptic Soy Agar disebut media umum karena dapat digunakan sebagai media pertumbuhan berbagai macam mikroorganisme. b. Media diperkaya (enriched media) Media diperkaya merupakan media yang mampu mempercepat pertumbuhan mikroorganisme tertentu. Media diperkaya dapat terdiri dari media umum yang ditambahkan darah atau nutrisi khusus lainnya. c. Media selektif (selective media) Media selektif merupakan media yang dapat mendukung pertumbuhan mikroorganisme tertentu. Pada media ini dapat ditambahkan bile salts atau dye seperti basic fuchsin dan crystal violet yang mampu mendukung pertumbuhan bakteri gram negatif dan menghambat pertumbuhan Gram positif tanpa mempengaruhi bakteri Gram negatif. d. Media diferensial (differential media) Media differensial adalah media yang mampu membedakan grup bakteri tertentu dan bahkan identifikasi mikroorganisme berdasarkan karakteristik biologinya. Contohnya adalah media Blood Agar yang merupakan media diferensial dan media diperkaya. Media ini dapat membedakan antara bakteri hemolitik dan nonhemolitik. Bakteri hemolitik (Streptococcus dan Staphylococcus) menghasilkan zona bening di sekitar koloninya karena destruksi sel darah merah. 18 F. Landasan Teori Ekstrak air daun sirih telah diteliti secara ilmiah memiliki efek antibakteri terhadap banyak bakteri salah satunya S. mutans. Ekstrak mengandung eugenol yang merupakan golongan minyak atsiri. Minyak atsiri merupakan senyawa yang mudah mengalami oksidasi disertai polimerisasi. Stabilitas ekstrak selama masa penyimpanan terhadap aktivitas antibakteri pernah diteliti sebelumnya oleh Durairaj et al. di tahun 2009 pada ekstrak bawang putih serta oleh Osonwa et al. di tahun 2012 pada ekstrak Combretum micranthum. Kedua penelitian ini menyimpulkan bahwa selama masa penyimpanan di suhu ruang kedua ekstrak mengalami penurunan aktivitas antibakteri. G. Hipotesis Semakin lama waktu penyimpanan, semakin berkurang aktivitas antibakteri dari ekstrak air daun sirih yang ditandai dengan berkurangnya diameter hambat.