peningkatan populasi ternak di Indonesia khu

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Penelitian
Selama lima tahun terakhir (2009-2014), peningkatan populasi ternak di
Indonesia khususnya potong belum mengalami peningkatan yang berarti. Menurut
data populasi ternak nasional yang dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Peternakan
Kementrian Pertanian RI, populasi sapi potong di Indonesia adalah
14.703
(Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2014).
Pemerintah telah melaksanakan program Swasembada Daging Sapi Tahun
2014, namun program ini belum dapat mencukupi kebutuhan daging sapi secara
nasional, sehingga masih diperlukan impor daging sapi dan sapi betina asal luar
negeri. Terjadinya pengalihan penyediaan sapi bakalan dari impor ke sapi bakalan
dalam negeri akan memicu tingginya eksploitasi ternak potong dalam negeri untuk
memenuhi kebutuhan pangan hewan nasional (Supriatna, 2013).
Keterbatasan penyediaan pejantan unggul dari balai – balai inseminasi atau
para pejantan pada pusat Inseminasi Buatan (IB) mengandung genetik lethal defect
dan keturunan jeleknya tersebar di mana mana, selain itu pelaksanaan IB yang kurang
legeartis serta kesalahan pada proses pengolahan sperma menjadi straw dibutuhkan
berbagai macam tahapan yang rawan kontaminasi. Apabila salah satu dari tahapan
tidak beres, IB tentu tidak tercapai (Partodihardjo, 1982).
Pertumbuhan minat yang pesat pada Assisted Reproductive Technologies
(ARTs), ARTs digunakan dalam penyempurnaan peningkatan performa reproduksi
1
2
dan genetik. Teknologi tersebut dapat mengkontribusi dari pemeliharaan spesies atau
bangsa hewan yang terancam kepunahannya (Cognie et al., 2004). Assisted
Reproductive Technologies (ARTs) terdiri atas In Vitro Maturation (IVM), In Vitro
Fertilization (IVF) dan In Vitro Culture (IVC) (Rahman et al 2008; Hegab et al.,
2009). Penerapan teknik ini, dapat menyelamatkan materi genetik pada hewan –
hewan yang fungsi organ reproduksinya tidak normal.
Mendukung penerapan teknologi fertilisasi in vitro dan transfer embrio perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut, karena keberhasilan produksi embrio in vitro
ditentukan oleh beberapa faktor seperti media kultur, kondisi laboratorium, metode
produksi, dan kualitas oosit yang dikoleksi (Lonergan et al., 2001). Krisher (2004)
menyebutkan bahwa kualitas oosit mempengaruhi kehidupan awal embrio,
pembentukan dan pemeliharaan masa kebuntingan, perkembangan fetus, dan bahkan
penyakit saat dewasa. Kualitas oosit (berdasarkan jumlah sel cumulus ooforus) sangat
berpengaruh pada proses cleavage, Shioya (1998) yang disitasi oleh Habsah (2009)
menyatakan bahwa oosit yang matang tanpa sel cumulus akan menyebabkan
penurunan frekuensi pembelahan.
Harapan untuk mendapat kualitas oosit yang baik, perlu diketahui status
reproduksi dari sapi donor. Menurut Schwalbach (2000), penilaian dapat dilakukan
dengan metode direct (langsung) dan indirect (tidak langsung). Metode direct
dilakukan dengan menilai involusi uterus dan atau aktivitas ovarium. Sedangkan
metode indirect dilakukan dengan menilai status nutrisi menggunakan berat badan
dan Body Condition Score (BCS).
3
Perkembangan embrio dipengaruhi oleh kejadian - kejadian selama
pematangan oosit. Untuk mensukseskan IVM, oosit harus mengalami pematangan
nuklear dan sitoplasmic. Efisiensi perkembangan embrio dari oosit dibatasi utamanya
oleh dua faktor: gagalnya pemilihan oosit yang paling kompeten untuk IVF dan
pemahaman yang kurang tentang pematangan oosit dan kondisi kultur untuk
memberikan sebuah lingkungan yang optimal, penting untuk mendukung perubahan
fisiologi dengan kematangan oosit dan diperlukan untuk pencapaian kompetisi
perkembangan dalam bidang ini (Rizos et al., 2002; Morton et al., 2008).
Tersedianya jumlah oosit matang dalam jumlah banyak diperlukan untuk IVF
ditujukan dalam program Embrio Transfer (ET) (Firmiaty, 2014).
Insulin-Transferrin Selenium (ITS) bersama telah digunakan pada berbagai
program In Vitro Maturation untuk mendukung pematangan oosit secara in vitro
(Kim, 2008). Raghu (2002) menunjukkan bahwa penambahan Follice Stimulating
Hormone (FSH) dan Epidermal Growth Factor (EGF) pada media kultur
meningkatkan jumlah oosit yang matang, hasil panen tertinggi pada tahap blastosis
pada media berisi EGF dan ITS. Dengan penambahan FSH dan LH atau insulin pada
media kultur dihasilkan oosit dengan M-II mencapai 90% (Djati, 2006). Penambahan
hormon gonadotropin, ITS dan EGF ke kultur mempunyai peningkatan rata-rata
kesuksesan pada pematangan oosit tikus (Gao et al., 2007). Insulin Transferrin
Selenium (ITS) digunakan sebagai suplemen pada pengkulturan oosit tikus (De La
Fuente et al., 1999), kambing (Herrick et al,. 2004), dan babi (Jeong et al., 2008).
4
Keadaan lingkungan saat pengkulturan oosit selama IVM dan IVF
memainkan peran penting pada perkembangan embrio secara in vitro oleh karena itu
bermacam jenis dan konsentrasi substrat energi ditambahkan ke media kultur untuk
mengubah riwayat metabolisme, perkembangan dan kualitas embrio (Gardner, 1998).
Seperti penambahan Insulin Selenium dan transferrin ke media IVM secara signifikan
meningkatkan rata – rata kematangan, rata – rata
fertilisasi dan menghasilkan
blastosis (Gordon, 2003).
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian Insulin
Transferrin Sellenium (ITS) pada oosit sapi potong secara in vitro maturation.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi ilmiah teknologi
reproduksi dan fisiologi lingkungan media kultur In Vitro Maturation dalam upaya
peningkatan jumlah oosit matang yang diperlukan dalam proses In Vitro Fertilization
dan keberhasilan proses Transfer Embrio.
Download