BAB III TUJUAN DALAM LINTASAN SEJARAH Yang

advertisement
BAB III
TUJUAN DALAM LINTASAN SEJARAH
Yang dimaksud di sini tentu bukan Tuhan sesungguhnya yang lalu ditulis
biografinya oleh manusia, namun yang ingin digagas dan bab ini adalah sejarah
perkembangan ide-ide mengenai Tuhan. Setiap manusia mempunyail ide tentang
Tuhan, akan tetapi tidak semuanya percaya dan yakin akan keheradaannya. ide
manusia tentang Tuhan sangat beragam, sesuai dengan keberagaman kualitas
pemikirannya, sehingga sulit ditemukan pemikiran manusia tentang Tuhan yang betulbetul komprehensif dan utuh. Biasanya ide yang muncul bersifat parsial dan salah satu
segi atau sudut pandang manusia.
Filsafat sebagai salah satu cara manusia memahami Tuhan dalam hal ini tidak
dapat menghakimi dan menentukan ide mana yang benar dan juga tidak dapat
memaksakan keyakinan pada manusia. Itu semua karena Tuhan sebagai Yang Tak
Terbatas merupakan suatu misteri besar yang tak bisa diungkap secara tuntas oleh
manusia yang terbatas.
Diskursus mengenai masalah ketuhanan telah menyita waktu sepanjang
kehidupan manusia dengan pola dan gaya pembahasan yang berbeda-beda. Baik
teologi (dalam hal ini agama), mistik, maupun filsafat mempunyai kontnibusi yang
besar dan tak boleh disia-siakan dalam usaha manusia memahami Tuhan. OIeh
karena itu akan coba ditelusuri dan aspek kesejarahan mereka-mereka yang
berkecimpung di bidang tersebut dengan harapan membantu menguak pemahaman
manusia terhadap Tuhan secara lebih baik.
Ide-ide manusia tentang Tuhan mengalami suatu perkembangan. Para filsuf
telah mulai memikirkan masalah ketuhanan sejak 600 tahun sebelum masehi dan
masih terus berlangsung hingga saat ini. Pendekatan historis menjadi penting untuk
memahami pokok persoalan dan solusi yang pernah diajukan para filsuf sebelurn kita
mampu memberikan solusi yang jauh lebih memadai dan sesuai dengan tuntutan
jaman. Pokok persoalan yang menarik perhatian para filsuf adalah apa dan siapa
Tuhan itu, bagaimana bukti-bukti yang mendukung akan eksistensi-Nya, apa peranan
Tuhan, bagaimana proses penciptaan alam, lalu bagaimana huhungan Tuhan dengan
alam terjalin. Pembahasan berikut ini kurang Iebih akan berkaitan dengan hal-hal
tersebut.
1. Pandangan Para Filsuf Yunani Kuno tentang Tuhan
Abad keenam sebelum masehi para filsuf pertarna Yunani Kuno berupaya
menjelaskan asas pertama alam semesta. Secara implisit barangkali saat itulah
persoalan ketuhanan mula pertama ditemukan dalam pembahasan-pembahasan
para filsuf. Pokok pembahasan saat itu adalah asal muasal segala sesuatu dan
alam semesta mi yang diistilahkan dengan “arche “. Thales pernah mengatakan
bahwa “all things are full of gods “. Pencarian arche ini kernudian dilanjutkan
dengan pembahasan tentang yang tetap dan yang berubah, yang tunggal dan yang
jamak. Lalu muncullah pula kaurn sofis yang rnulai memperlihatkan bibit-bibit
ateisrne (Patterson, J970: 12). Sokrates muncul dengan para pengikutnya yang
Iebih memusatkan perhatian kepada rnasalah manusia. Plato-lah filsuf besar
pertama yang secara eksplisit berbicara tentang Tuhan, kernudian disusul oleh
Aristoteles, lalu tokoh neo-platonis yaitu Plotinus. Ketiga filsuf besar ini (sekalipun
yang disebut terakhir kelahiran Mesir, namun dapat dikatakan sehagai penerus
langsung tradisi
Filsafat Yunani) sangat besar pengaruhnya baik pada filsuf-keagamaan
maupun filsuf lain setelahnya. Pandangan dari ketiga filsuf besar itulah yang diurai
di bawah ini :
a.
Plato (438-348 SM)
Tuhan bagi Plato adalah “Yang Esa”, “Dzat Yang Tidak Terbatas”, sumber
bagi kesatuan dan pluralitas di dunia. Dia adalaha yang menciptakan ide-ide.
Tuhan adalah “kebaikan” yang mengatasi nasib dan kekuasaan. Prinsip
ultimate yang tidak terlukiskan (flew, 1984: 273-274)
Plato tidak percaya kepada ilah-ilah yang memberi hukuman atau yang
melakukan tindakan amoral. Dia juga tidak percaya ilah yang memberikan
imbalan kepada orang yang berdoa, memberi persembahan, dan bentukbentuk pemujaan lain kepadanya. Kebaikan dan keburukan hanya dapat
dibedakan dengan mengasumsikan adanya tuhan. Alam semesta sebagai
kosmos dan bukan khaos, karena adanya jiwa yang cerdas dan bertujuan, dan
jiwa ini diduga sebagai realisasi kebaikan yang tidak lain adalah Tuhan.
Tuhan sebagai pencipta tidak menciptakan dunia dari dirinya sendiri.
Tuhan bagaikan pelukis yang ingin mengungkapkan visinya di atas kanvas dan
menggunakan bahan-bahan terbaik yang tersedia di tangannya. Sebagai
pencipta Ia ingin membuat dunia yang sedekat mungkin menyerupai dirinya.
Namun karena materi senantiasa memberikan resistensi kepada bekerjanya
roh, dunia yang diciptakan akan mengandung ketidak sempurnaan di
dalamnya.
Plato percaya kepada keabadian jiwa. Ide yang merupakan standar
kesempurnaan tidak dapat diderivasikan dari pengalaman yang terbatas pada
objek-objek yang sampai tingkatan tertentu mengandung ketidak sempurnaan.
Ide-ide yang hadir dalam pikiran manusia bersifat abadi dan diingat dan
eksistensi yang sebelumnya. Karena ide termuat di dalam jiwa, maka jiwa juga
abadi. Badan manusia tersusun dan materi yang dapat hancur namun jiwa
yang bersemayam di dalam badan tidak dapat mengalami kerusakan. Jiwa
meninggalkan badan setelah terjadinya proses . kematian dan memasuki
bentuk eksistensi yang lain (Patterson, 1970: 27-28).
b.
Aristoteles (384-322 SM)
Aristoteles mendekati persoalan ketuhanan dan teka-teki lama tentang
gerakan (bagaimana gerakan itu bermula?). Aristoteles tidak menerima
kemungkinan bahwa gerakan itu bukan tanpa permulaan sebagaimana dia
memahami materi. Materi mungkin abadi, karena ía hanya merupakan
kemungkinan abadi dan bentuk-bentuk masa depan, namun bagaimana dan
kapan proses gerakan dan formasi bermula yang pada akhirnya memenuhi
alam semesta dengan bentuk-bentuk yang tidak terbatas? Pastilah gerakan itu
memiliki satu sumber, dan jika tidak dapat dirunut mundur secara tidak
terbatas, harus ditempatkan satu penggerak pertama yang tidak digerakkan
primurn mobile inmotum,), pengada yang tidak berbadan, tidak dapat dibagibagi, melampui ruang waktu, tidak berubah, tidak bernafsu, sempurna dan
abadi. Tuhan menggerakkan dunia bukan karena kekuatan mekanis, namun
karena motif total dan seluruh operasi di dunia. Dia adalah kausa formal dan
alam, pendorong dan tujuan dan segala sesuatu, bentuk bagi dunia, prinsip
hidupnya, jumlah keseluruhan dan kemampuan dan proses vitalnya, entelechy
(tujuan) yang memberikan tenaga bagi segala-galanya. Dia adalah energi
murni, actus purus.
c.
Plotinos (205-70 SM)
Plotinos adalah tokoh utama Neoplatonisme. Pembuktiannya tentang
eksistensi Tuhan dan teori emanasinya membuat dirinya terkenal. Bagi
Plotinos Tuhan dan materi merupakan dua kutub dan alam semesta. Tuhan
adalah kekuatan aktif, sedangkan materi merupakan penerima yang bersifat
pasif. Karena materi tidak memiliki realitas melalui dirinya sendiri, maka hanya
ada satu prinsip yang tertinggi dan itu ada)ah Tuhan. Meski pun Tuhan itu satu,
Dia bukan satu dalarn arti nurnerik yang dapat dibagi-bagi menjadi bagian.
Tuhan itu sumber dan segala sesuatu yang ada, namun bukan merupakan
satu hal yang bersifat partikular.
Tuhan itu tidak berkehendak maupun berpikir dalam arti manusiawi dari
kata-kata ini. Tuhan itu melampuai kehendak dan pemikiran, karena Dia tidak
dibatasi oleh ketidaktahuan maupun keinginan. Tuhan itu tidak bebas dan juga
tidak terikat. Untuk menetapkan kualitas tertentu pada Tuhan secara niscaya
berarti menempatkan keterbatasan pada kodratnya. Singkatnya, bahkan
manusia tidak mengatakan bahwa Tuhan itu ada, sebab Ia melampui segala
eksistensi yang terbatas.
Tuhan lebih dan sekedar yang dapat dipikirkan oleh manusia, namun
herpikir merupakan sarana yang tidak dapat dielakkan untuk sampai kepada
ambang perlindungan yang dan tempat itu manusia memasuki kesatuan mistik
dengan Yang Ilahi. Menurut Plotinos, alam semesta itu beremanasi dan Tuhan
bagaikan panas dan cahaya yang beremanasi dan api sentral. Semakin dekat
dengan api, semakin besar panas dan cahayanya. Semakin jauh dan api,
panas dan cahaya yang hadir sernakin berkurang. Ketika jarak dan api
terlampau jauh, panas dan cahaya akan lenyap sama sekali. Hal yang sama
juga berlaku dalam kaitannya dengan kedekatan atau kejauhan objek dan
Tuhan. 20
B. Pandangan Agama-Agama Langit tentang Tuhan
Yang dimaksud agama-agama langit di sini adalah agama yang mempunyai
catatan kesejarahan atas wahyu yang dijadikan pegangan mereka. Dalam hal ini
akan dibatasi hanya pada tiga agama besar yang dikenal sebagai Abrahamic
religions atau agama turunan dari Nabi Ibrahim, yakni Yahudi, Nasrani, dan Islam.
1. Agama Yahudi
Konsepsi Musa tentang ketuhanan memberi petunjuk yang berbeda
dengan pandangan tentang dewa-dewa dan bangsa-bangsa Israel pada masa
sebelumnya yang mempertuhankan benda serta kekuatan alam sekitar. Musa
datang dengan membawa ajaran yang memberantas konsepsi ketuhanan yang
sesat tersebut dan mengganti dengan konsepsi ketuhanan yang monoteistik. Di
dalam kitab perjanjian lama berkali-kali ditegaskan bahwa Tuhan itu hanya
satu, yaltu Yahweh yang membebaskan bangsa Israel dan perbudakan bangsa
Mesir (Deutoromonia 33:29). Bahkan yang lebih tegas lagi adalah suatu
pernyataan Yahweh yang ditujukan kepada bangsa Israel pada saat itu dalam
Ten Commandments berbunyi sebagai berikut: “dengarkanlah hal bangsa Israel
bahwa Tuhan kita adaLah Tuhan Yang Maha Esa”. (Arifin, 1990:123).
Agama Yahudi melarang penggambaran Tuhan pada bentuk manusia
(antropomorphisme), karena Tuhan tidak memiliki sifat-sifat seperti manusia.
J.N.D. Anderson menyatakan bahwa Tuhan Yahudi itu adalah pribadi yang
sempurna, bebas dari semua pembatasan-pembatasan dan jauh dan
ketidaksempurnaan. Ia adaiah roh yang murni dan jiwa universum. Agama
Yahudi menunjukkan bahwa alam semesta dan fenomena-fenomenanya
merupakan bukti adanya Tuhan pencipta alam (Arifin, 1990:124).
2. Agama Nasrani
Konsepsi ketuhanan agama Nasrani semasa Nabi Isa masih hidup
bersifat monoteisme murni. Akan tetapi sepeninggalnya keyakinan itu berubah
sifat. Sejak keluamya keputusan dan konsili Konstantinopel pada tahun 381 M,
maka semakin kuatlah keyakinan akan trinitas. Timbulnya pemikiran Trinitas ini
tidak terlepas dan pengaruh filsafat Yunani, terutama konsepsi logos dan
heraklitos (Bakry, 1986: 144).
Konsep Trinitas mengajarkan adanya Tuhan Bapak, Tuhan Anak, dan
Roh Kudus. Bagi kaum Nasrani Tninitas ini menupakan monoteisme. Ketiganya
merupakan satu kesatuan yang mempunyai satu kebenaran yang esa, sebab
Tuhan anak dan Roh Kudus merupakan bagian dan Tuhan Bapak. Dapat
dikatakan bahwa ketiganya ada dalam ke-Esa-an, ke-Esa-an dalam ke-tiga-an.
Ketiganya menyatakan diri dengan tiga cara berada. Agama Nasrani
berpandangan bahwa Yang Esa memperkenalkan diri-Nya sebagai Allah di
atas kita (Tuhan Bapa), sebagal Tuhan beserta kita (Tuhan anak dalam Yesus
Kristus), dan sebagai Tuhan dalam kita (Roh &uaus). (Abu Ahmadi, 1991: 193).
3. Agama Islam
Konsepsi ketuhanan agama Islam adalah monoteisme yang tegas.
Agama mengajarkan bahwa Tuhan itu esa, tiada berbilang, tiada pula yang
rnenyamai-Nya. Setiap pengikut ajaran Islam sebelumnya harus mengucapkan
Syahadat, yaitu pengakuan atau persaksian adanya Tuhan Yang Maha Esa
dan mengakui Muhammad Rasul Tuhan. Setiap orang yang mengucapkan
kalimat syahadat ini dianggap telah beragama Islam.
Tuhan menurut agama Islam adalah tidak berjasad atau berbadan yang
berbentuk tertentu (personifikasi). Tuhan bersifat gaib, tidak tampak dengan
nyata(konkrit), karena sebagai Sang Maha Pencipta mustahil Tuhan sama
dengan ciptaan-Nya. Dalam Al-Qur’an terdapat banyak surat dan ayat yang
menerangkan tentang keEsa-an Tuhan. Surat Al-Anbiya ayat 22 misalnya,
menerangkan bahwa:
Seandainya di langit dan di bumi ini ada Tuhan selain Allah, niscaya
keduanya akan hancur binasa, Maha Suci Allah yang bersemayam di atas arsyNya dan segala macam persifatan mereka itu”. Begitu pula dalam surat AlIkhlas 1-4: “Katakanlah, Allah itu esa. Dialah tempat bermohon, tidak beranak
dan tidak diperanakkan. Tiada sesuatu yang menyamai-Nya”.
C. Perkembangan Konsep-Konsep Ketuhanan
Setiap agama mempunyai konsep tentang kepercayaan akan adanya
Tuhan atau kekuatan adikodrati. Kepercayaan tentang keberadaan Tuhan atau
kekuatan adikodrati ini merupakan titik sentral dan ajaran suatu agama. Akan tetapi
kepercayaan ini mengambil bentuk yang sangat beragam pada setiap agama,
sehingga secara umum terdapat banyak konsep tentang Tuhan.
Sementara itu pada diri manusia kepercayaan ketuhanan itu tidaklah lahir
dengan
begitu
saja
sebagaimana
diajarkan
oleh
ajaran-ajaran
agama.
Kepercayaan itu mengalami proses pada diri manusia. Paling tidak ada dua
penjelasan mengenai proses kepercayaan ketuhanan. Pertama, kepercayaan itu
berawal dari hal yang sederhana menuju pada kepercayaan yang lebih tinggi
sesuai dengan perkembangan peradaban manusia. Kedua,kepercayaan awal
adalah suatu bentuk monoteisme murni yang seiring dengan perjalanan hidup
manusia mengalami kemerosotan dan menjadi kabur, bahkan lebih jauh kemudian
dimasuki kepercayaan-kepercayaan dinamisme dan animisme.
Kedua penjelasan sama-sama melihat ada perubahan dalam kepercayaan
ketuhanan dan tidak bersifat beku atau statis. Namun keduanya berbeda dalam
melihat arah perubahan tersebut. Yang pertama memandang arah perubahan itu
adalah menuju ke tingkat yang Iebih baik (maju), matang, kompleks. Pandangan ini
dipelopori oleb F.B. Taylor, yang dalam beberapa hal dipengaruhi oleh teori evolusi
Darwin yang begitu populer saat itu. Menurutnya kepercayaan awal adalah
dinamisme. Yang kedua memandang perubahan itu adalah penurunan atau
degradasi dan yang awal mula. Pandangan ini Iebih mirip dengan Teori
Termodinamika dalam ilmu fisika yang menjelaskan bahwa alam ini awalnya
tercipta utuh dan sempurna, kemudian Iama-kelamaan mengalami keausan dan
akhirnya hancur.
Masing-masing pandangan mempunyal kelemahan, di mana yang pertama
pandangannya tidak didukung bukti yang cukup kuat bahwa kepercayaan awal
adalah dinamisme. Bahkan ada kecenderungan penemuan para antropolog yang
rnengarah pada penolakan asumsi dinamisme sebagai bentuk kepercayaan awal.
Sementara jika benar terjadi perubahan ke arah yang Iebih baik (maju), terbukti
dinamisme masih ada hingga sekarang. Terlebih jika dikatakan pula bahwa yang
lama lebih jelek dan yang baru, hal ini tentu tidak bisa diterima sepenuhnya.
Namun demikian ini juga yang menjadi titik lemah pandangan yang kedua, yakni
pada umumnya yang awal belumlah sempuma. Hal ini didukung oleh kenyataan di
lapangan. Katakanlah monoteisme yang diajarkan agama-agama besar sekarang
tentulah Iebih sempurna dibanding yang awal karena didukung oleh rumusan
teologis yang begitu rupa banyak dan rumitnya.
Dari kedua pandangan tersebut muncullah pandangan yang mengakui
adanya evolusi kepercayaan kepada yang adikodrati (supranatural, ghaib), tetapi
juga kepercayaan itu terkadang mengalami perubahan baik menuju kesempurnaan
maupun kemerosotan.
Bentuk-bentuk kepercayaan yang mewujudkan konsepsi ketuhanan yang
ada dalam perkembangan pemikiran manusia itu antara lain sebagal berikut:
1.
Dinamisme
Dinamisme adalah kepercayaan yang lahir disebabkan ketergantungan
manusia pada alam dan kenyataan akan kekuatan yang dimiliki alam.
Kekuatan alarn ini melekat pada benda-benda yang disebut dengan berbagai
nama, semisal mana (Melanesia), kumi (Jepang), hari & shakti (India), oudah
(Pigmi Afrika), wakun, orenda, maniti (Indian Amerika), tuah (indonesia).
Mereka yang berkepercayaan ini yakin bahwa mana bisa berada di
berbagai benda atau orang. Ia adalah kekuatan tersembunyi dan yang bisa
menguasainya memperoleh tempat terhormat dalam masyarakat dalam hal ini
biasanya adalah dukun dan tukang sihir. Mana sendiri mempunyai sifat:
1.
Berkekuatan
2.
Tidak dapat dilihat
3.
Tidak mempunyal tempat yang tetap
4.
Tidak baik dan tidak juga buruk
5.
Terkadang bisa dikontrol, terkadang tidak.
Tujuan manusia dalam kepercayaan dinamisme ini adalah memperoleh
mana sebanyak mungkin sehingga terjamin keselamatan.
2.
Animisme
Suatu kepercayaan yang menganggap setiap benda baik yang
bemyawa maupun yang tidak bernyawa mempunyai roh atau jiwa. Animisme
berasal dan kata latin anima yang berarti jiwa atau roh. Kepercayaan ini
banyak dianut oleh masyarakat primitif yang belum mampu membedakan
antara materi dan roh dengan jelas. Mereka masih mempersonifikasikan roh
tersebut, sehingga mereka beranggapan bahwa roh-roh itu makan, minum,
tidur, berbentuk tinggi, berkehendak, mempunyai kekuatan, dan sebagainya.
Roh-roh itu harus diperlakukan seperti manusia, misalnya diberi makan,
diadakan pesta-pesta khusus untuk menghormatinya.
Para penganut animisme menganggap roh dan benda-benda dan nenek
moyang yang berkuasa harus dihormati, dijunjung tinggi dan bahkan
disembah. Semua itu dilakukan agar mereka dapat menolong manusia dan
tidak membahayakan umat manusia. Untuk semua itu diperlukan adanya
perantara antara manusia dengan roh-roh tersebut. Perantara-perantara
tersebut dinamakan dukun yang bertindak menyampaikan segala keinginan
roh-roh terhadap manusia dan sebaliknya.
Menurut Tylor agama primitif muncul dari animisme. Harun Nasution
melihat agama primitif muncul sebagai respon dan ketakutan yang berujung
pada penyembahan, sementara agama wahyu berasal dan kecintaan menuju
pemujaan.
3.
Politeisme
Paham yang dianggap perkembangan lebih lanjut dan animisme ini
mengambil bentuk kepercayaan pada adanya banyak dewa. Peningkatan
mana sebagai sesuatu kekuatan gaib menjadi roh dan seterusnya menjadi
dewa serta tuhan mudah dibayangkan terutama terkait dengan derajat
kekuasaan yang dimiliki. Dewa dianggap Iebih tinggi, mulia dan berkuasa
dibanding roh, penyembahannya pun tidak hanya dilakukan oleh kalangan
terbatas tetapi sudah Iebih umum. Dewa dianggap mempunyal pekerjaan
tertentu, sehingga bentuk dan sifat kepercayaan terhadapnya Iebih jelas
dibanding roh. Dalam politeisme terdapat pertentangan tugas karena
berlainannya tugas dewa-dewa yang tidak selalu bekerja sama.
4.
Henoteisme
Pertentangan tugas para dewa dalam paham politeisme melahirkan
gagasan adanya tuhan yang utama. Paham ini disebut heneteisme atau
monolatry (heno=satu ;latreuin=menyembah). Pengikut henoteisme memuja
satu tuhan yang utama sementara tuhan-tuhan yang lain tidak diingkari
keberadaannya. Sering pula dipaharni tuhan-tuhan yang lain itu adalah
sebagai saingan bagi Tuhan yang utama.
5.
Monoteisme
Tuhan-tuhan lain yang dianggap saingan atau musuh tidak diakui lagi
dalam paham monoteisme. Di seluruh alam ini hanya ada satu tuhan yang
menciptakan semuanya.
Kepercayaan ini dianggap sebagai tahap paling tinggi atau paling akhir
dan kepercayaan terhadap adanya Tuhan.
Bentuk-bentuk lain teisme terkait dengan alam:
Deisme:
Paham yang menyatakan bahwa Tuhan berada jauh di luar alam
(transcendent) dan tidak dalam alam (tidak imanent). Paham ini pertama kali
dikemukakan oleh Newton (1642-1727) di Inggris. Deisme berpandangan
bahwa Tuhan menciptakan alam tetapi setelah itu dibiarkannya berjalan sesuai
hukum-hukum yang telah ditentukannya. Telah ada mekanisme yang berjalan
di alam semesta sejak awal mula penciptaannya.
Deisme mengibaratkan Tuhan seperti tukang atau pembuat jam yang
berpengalaman, jam yang telah diciptakan akan berjalan menurut mekanisme
yang ada, yang tidak berubah-ubah. Tukang jam itu tidak perlu memperbaiki
atau menyempurnakan jam tersebut, karena semuanya telah berjalan secara
mekanis.
Deisme menolak adanya mukjizat-mukjizat, sebab bagi mereka hal itu
bertentangan dengan peraturan alam. Adanya mukjizat berarti bahwa Tuhan
telah ikut campur tangan dalam mengatur alam semesta, itu berarti Tuhan
mengubah peraturan alam semesta yang te!ah tercipta dan implikasinya
Tuhan adalah Dzat yang sewenang-wenang.
Wahyu dan doa tidak diperlukan lagi. Manusia tidak perlu berdoa pada
Tuhan dan minta bantuan, sebab semuanya telah berjalan mengikuti peraturan
alarn. Akal manusia akan mengetahui yang baik dan yang buruk, sehingga
agama wahyu tidak dapat mereka terima, yang ada hanyalah agama yang
bersifat kodrati atau akal.
Perkembangan Iebih lanjut dan paham ini adalah paham naturalisme
yang melihat bahwa alam ini berdiri sendiri, serba sempurna dan beroperasi
menurut sifat-sifat yang ada dalam dirinya.
Panteisme:
Panteisme berasal dan bahasa Yunani, Pan (seluruh) dan Theos
(Tuhan) yang berarti seluruhnya Tuhan. Paham ini menyatakan bahwa seluruh
kosmos ini adalah Tuhan. Semua yang ada dalam keseluruhan ialah Tuhan,
dan Tuhan ialah semua yang ada dalam keseluruhannya. Benda-benda yang
dapat ditangkap dengan indera adalah bagian dan Tuhan. Tuhan itu dekat
sekali dengan alam (imanent), Ia berada dalam alam ini bukan di luar.
Perbedaan dan perubahan yang terjadi di alam hanyalah ilusi, karena hanya
ada satu yang tetap dan sernua hal yaitu Tuhan. Perbedaan antara Tuhan dan
alam semesta dapat digambarkan seperti perbedaan antara laut dan ombak
(Louis Leahy, 1986; 132).
Pananteisme :
Paham yang menyatakan bahwa seluruhnya berada dalam Tuhan.
Paham ini berbeda dengan panteisme. Tuhan dianggap mempunyai dua
kutub, yaitu kutub potensi dan kutub aktual. Di kutub potensi Tuhan berkuasa
atas segala hal dan mampu bertindak sekehendaknya, tetapi terkait dengan
alam ciptaanNya, Tuhan berada di aktual tidak akan bertindak berlawanan
dengan hukum-hukum yang diterapkanNya pada alam, di sini Ia menjadi
terbatas kekuasaannya agar tidak terjadi kontradiksi.
Agnosticisme:
Paham
yang
menyatakan
bahwa
manusia
tidak
mempunyal
pengetahuan positif tentang Tuhan, karena itu tidak mengakui atau menolak
penjelasan tentang Tuhan. Thomas Henry Huxley (1825-1895) merupakan
tokoh yang dianggap mewakili paham ini sebagai lawan kaurn gnostic yang
menyatakan mampu mengetahui Tuhan secara positif. Secara sederhana
mereka mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakekat seperti
yang dikehendaki oleh ilmu metafisika, baik hakekat materi maupun hakekat
rohani. (Bakry, 1978: 53). Metafisika mengakui adanya kenyataan yang berdiri
sendiri dan yang dapat dikenal. Walaupun dalam prakteknya belum ada orang
yang mengenalnya dan dapat menerangkan secara konkrit. ini berarti bahwa
pernyataan “Tuhan ada” atau Tuhan tidak ada” adalah pernyataan yang secara
nil ada, dan dikenal. Namun mengenai kebenaran apakah Tuhan ada atau
apakah Tuhan tidak ada, orang secara konkrit belum mengenalnya.
Download