BAB III TUJUAN DALAM LINTASAN SEJARAH Yang dimaksud di sini tentu bukan Tuhan sesungguhnya yang lalu ditulis biografinya oleh manusia, namun yang ingin digagas dan bab ini adalah sejarah perkembangan ide-ide mengenai Tuhan. Setiap manusia mempunyail ide tentang Tuhan, akan tetapi tidak semuanya percaya dan yakin akan keheradaannya. ide manusia tentang Tuhan sangat beragam, sesuai dengan keberagaman kualitas pemikirannya, sehingga sulit ditemukan pemikiran manusia tentang Tuhan yang betulbetul komprehensif dan utuh. Biasanya ide yang muncul bersifat parsial dan salah satu segi atau sudut pandang manusia. Filsafat sebagai salah satu cara manusia memahami Tuhan dalam hal ini tidak dapat menghakimi dan menentukan ide mana yang benar dan juga tidak dapat memaksakan keyakinan pada manusia. Itu semua karena Tuhan sebagai Yang Tak Terbatas merupakan suatu misteri besar yang tak bisa diungkap secara tuntas oleh manusia yang terbatas. Diskursus mengenai masalah ketuhanan telah menyita waktu sepanjang kehidupan manusia dengan pola dan gaya pembahasan yang berbeda-beda. Baik teologi (dalam hal ini agama), mistik, maupun filsafat mempunyai kontnibusi yang besar dan tak boleh disia-siakan dalam usaha manusia memahami Tuhan. OIeh karena itu akan coba ditelusuri dan aspek kesejarahan mereka-mereka yang berkecimpung di bidang tersebut dengan harapan membantu menguak pemahaman manusia terhadap Tuhan secara lebih baik. Ide-ide manusia tentang Tuhan mengalami suatu perkembangan. Para filsuf telah mulai memikirkan masalah ketuhanan sejak 600 tahun sebelum masehi dan masih terus berlangsung hingga saat ini. Pendekatan historis menjadi penting untuk memahami pokok persoalan dan solusi yang pernah diajukan para filsuf sebelurn kita mampu memberikan solusi yang jauh lebih memadai dan sesuai dengan tuntutan jaman. Pokok persoalan yang menarik perhatian para filsuf adalah apa dan siapa Tuhan itu, bagaimana bukti-bukti yang mendukung akan eksistensi-Nya, apa peranan Tuhan, bagaimana proses penciptaan alam, lalu bagaimana huhungan Tuhan dengan alam terjalin. Pembahasan berikut ini kurang Iebih akan berkaitan dengan hal-hal tersebut. 1. Pandangan Para Filsuf Yunani Kuno tentang Tuhan Abad keenam sebelum masehi para filsuf pertarna Yunani Kuno berupaya menjelaskan asas pertama alam semesta. Secara implisit barangkali saat itulah persoalan ketuhanan mula pertama ditemukan dalam pembahasan-pembahasan para filsuf. Pokok pembahasan saat itu adalah asal muasal segala sesuatu dan alam semesta mi yang diistilahkan dengan “arche “. Thales pernah mengatakan bahwa “all things are full of gods “. Pencarian arche ini kernudian dilanjutkan dengan pembahasan tentang yang tetap dan yang berubah, yang tunggal dan yang jamak. Lalu muncullah pula kaurn sofis yang rnulai memperlihatkan bibit-bibit ateisrne (Patterson, J970: 12). Sokrates muncul dengan para pengikutnya yang Iebih memusatkan perhatian kepada rnasalah manusia. Plato-lah filsuf besar pertama yang secara eksplisit berbicara tentang Tuhan, kernudian disusul oleh Aristoteles, lalu tokoh neo-platonis yaitu Plotinus. Ketiga filsuf besar ini (sekalipun yang disebut terakhir kelahiran Mesir, namun dapat dikatakan sehagai penerus langsung tradisi Filsafat Yunani) sangat besar pengaruhnya baik pada filsuf-keagamaan maupun filsuf lain setelahnya. Pandangan dari ketiga filsuf besar itulah yang diurai di bawah ini : a. Plato (438-348 SM) Tuhan bagi Plato adalah “Yang Esa”, “Dzat Yang Tidak Terbatas”, sumber bagi kesatuan dan pluralitas di dunia. Dia adalaha yang menciptakan ide-ide. Tuhan adalah “kebaikan” yang mengatasi nasib dan kekuasaan. Prinsip ultimate yang tidak terlukiskan (flew, 1984: 273-274) Plato tidak percaya kepada ilah-ilah yang memberi hukuman atau yang melakukan tindakan amoral. Dia juga tidak percaya ilah yang memberikan imbalan kepada orang yang berdoa, memberi persembahan, dan bentukbentuk pemujaan lain kepadanya. Kebaikan dan keburukan hanya dapat dibedakan dengan mengasumsikan adanya tuhan. Alam semesta sebagai kosmos dan bukan khaos, karena adanya jiwa yang cerdas dan bertujuan, dan jiwa ini diduga sebagai realisasi kebaikan yang tidak lain adalah Tuhan. Tuhan sebagai pencipta tidak menciptakan dunia dari dirinya sendiri. Tuhan bagaikan pelukis yang ingin mengungkapkan visinya di atas kanvas dan menggunakan bahan-bahan terbaik yang tersedia di tangannya. Sebagai pencipta Ia ingin membuat dunia yang sedekat mungkin menyerupai dirinya. Namun karena materi senantiasa memberikan resistensi kepada bekerjanya roh, dunia yang diciptakan akan mengandung ketidak sempurnaan di dalamnya. Plato percaya kepada keabadian jiwa. Ide yang merupakan standar kesempurnaan tidak dapat diderivasikan dari pengalaman yang terbatas pada objek-objek yang sampai tingkatan tertentu mengandung ketidak sempurnaan. Ide-ide yang hadir dalam pikiran manusia bersifat abadi dan diingat dan eksistensi yang sebelumnya. Karena ide termuat di dalam jiwa, maka jiwa juga abadi. Badan manusia tersusun dan materi yang dapat hancur namun jiwa yang bersemayam di dalam badan tidak dapat mengalami kerusakan. Jiwa meninggalkan badan setelah terjadinya proses . kematian dan memasuki bentuk eksistensi yang lain (Patterson, 1970: 27-28). b. Aristoteles (384-322 SM) Aristoteles mendekati persoalan ketuhanan dan teka-teki lama tentang gerakan (bagaimana gerakan itu bermula?). Aristoteles tidak menerima kemungkinan bahwa gerakan itu bukan tanpa permulaan sebagaimana dia memahami materi. Materi mungkin abadi, karena ía hanya merupakan kemungkinan abadi dan bentuk-bentuk masa depan, namun bagaimana dan kapan proses gerakan dan formasi bermula yang pada akhirnya memenuhi alam semesta dengan bentuk-bentuk yang tidak terbatas? Pastilah gerakan itu memiliki satu sumber, dan jika tidak dapat dirunut mundur secara tidak terbatas, harus ditempatkan satu penggerak pertama yang tidak digerakkan primurn mobile inmotum,), pengada yang tidak berbadan, tidak dapat dibagibagi, melampui ruang waktu, tidak berubah, tidak bernafsu, sempurna dan abadi. Tuhan menggerakkan dunia bukan karena kekuatan mekanis, namun karena motif total dan seluruh operasi di dunia. Dia adalah kausa formal dan alam, pendorong dan tujuan dan segala sesuatu, bentuk bagi dunia, prinsip hidupnya, jumlah keseluruhan dan kemampuan dan proses vitalnya, entelechy (tujuan) yang memberikan tenaga bagi segala-galanya. Dia adalah energi murni, actus purus. c. Plotinos (205-70 SM) Plotinos adalah tokoh utama Neoplatonisme. Pembuktiannya tentang eksistensi Tuhan dan teori emanasinya membuat dirinya terkenal. Bagi Plotinos Tuhan dan materi merupakan dua kutub dan alam semesta. Tuhan adalah kekuatan aktif, sedangkan materi merupakan penerima yang bersifat pasif. Karena materi tidak memiliki realitas melalui dirinya sendiri, maka hanya ada satu prinsip yang tertinggi dan itu ada)ah Tuhan. Meski pun Tuhan itu satu, Dia bukan satu dalarn arti nurnerik yang dapat dibagi-bagi menjadi bagian. Tuhan itu sumber dan segala sesuatu yang ada, namun bukan merupakan satu hal yang bersifat partikular. Tuhan itu tidak berkehendak maupun berpikir dalam arti manusiawi dari kata-kata ini. Tuhan itu melampuai kehendak dan pemikiran, karena Dia tidak dibatasi oleh ketidaktahuan maupun keinginan. Tuhan itu tidak bebas dan juga tidak terikat. Untuk menetapkan kualitas tertentu pada Tuhan secara niscaya berarti menempatkan keterbatasan pada kodratnya. Singkatnya, bahkan manusia tidak mengatakan bahwa Tuhan itu ada, sebab Ia melampui segala eksistensi yang terbatas. Tuhan lebih dan sekedar yang dapat dipikirkan oleh manusia, namun herpikir merupakan sarana yang tidak dapat dielakkan untuk sampai kepada ambang perlindungan yang dan tempat itu manusia memasuki kesatuan mistik dengan Yang Ilahi. Menurut Plotinos, alam semesta itu beremanasi dan Tuhan bagaikan panas dan cahaya yang beremanasi dan api sentral. Semakin dekat dengan api, semakin besar panas dan cahayanya. Semakin jauh dan api, panas dan cahaya yang hadir sernakin berkurang. Ketika jarak dan api terlampau jauh, panas dan cahaya akan lenyap sama sekali. Hal yang sama juga berlaku dalam kaitannya dengan kedekatan atau kejauhan objek dan Tuhan. 20 B. Pandangan Agama-Agama Langit tentang Tuhan Yang dimaksud agama-agama langit di sini adalah agama yang mempunyai catatan kesejarahan atas wahyu yang dijadikan pegangan mereka. Dalam hal ini akan dibatasi hanya pada tiga agama besar yang dikenal sebagai Abrahamic religions atau agama turunan dari Nabi Ibrahim, yakni Yahudi, Nasrani, dan Islam. 1. Agama Yahudi Konsepsi Musa tentang ketuhanan memberi petunjuk yang berbeda dengan pandangan tentang dewa-dewa dan bangsa-bangsa Israel pada masa sebelumnya yang mempertuhankan benda serta kekuatan alam sekitar. Musa datang dengan membawa ajaran yang memberantas konsepsi ketuhanan yang sesat tersebut dan mengganti dengan konsepsi ketuhanan yang monoteistik. Di dalam kitab perjanjian lama berkali-kali ditegaskan bahwa Tuhan itu hanya satu, yaltu Yahweh yang membebaskan bangsa Israel dan perbudakan bangsa Mesir (Deutoromonia 33:29). Bahkan yang lebih tegas lagi adalah suatu pernyataan Yahweh yang ditujukan kepada bangsa Israel pada saat itu dalam Ten Commandments berbunyi sebagai berikut: “dengarkanlah hal bangsa Israel bahwa Tuhan kita adaLah Tuhan Yang Maha Esa”. (Arifin, 1990:123). Agama Yahudi melarang penggambaran Tuhan pada bentuk manusia (antropomorphisme), karena Tuhan tidak memiliki sifat-sifat seperti manusia. J.N.D. Anderson menyatakan bahwa Tuhan Yahudi itu adalah pribadi yang sempurna, bebas dari semua pembatasan-pembatasan dan jauh dan ketidaksempurnaan. Ia adaiah roh yang murni dan jiwa universum. Agama Yahudi menunjukkan bahwa alam semesta dan fenomena-fenomenanya merupakan bukti adanya Tuhan pencipta alam (Arifin, 1990:124). 2. Agama Nasrani Konsepsi ketuhanan agama Nasrani semasa Nabi Isa masih hidup bersifat monoteisme murni. Akan tetapi sepeninggalnya keyakinan itu berubah sifat. Sejak keluamya keputusan dan konsili Konstantinopel pada tahun 381 M, maka semakin kuatlah keyakinan akan trinitas. Timbulnya pemikiran Trinitas ini tidak terlepas dan pengaruh filsafat Yunani, terutama konsepsi logos dan heraklitos (Bakry, 1986: 144). Konsep Trinitas mengajarkan adanya Tuhan Bapak, Tuhan Anak, dan Roh Kudus. Bagi kaum Nasrani Tninitas ini menupakan monoteisme. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang mempunyai satu kebenaran yang esa, sebab Tuhan anak dan Roh Kudus merupakan bagian dan Tuhan Bapak. Dapat dikatakan bahwa ketiganya ada dalam ke-Esa-an, ke-Esa-an dalam ke-tiga-an. Ketiganya menyatakan diri dengan tiga cara berada. Agama Nasrani berpandangan bahwa Yang Esa memperkenalkan diri-Nya sebagai Allah di atas kita (Tuhan Bapa), sebagal Tuhan beserta kita (Tuhan anak dalam Yesus Kristus), dan sebagai Tuhan dalam kita (Roh &uaus). (Abu Ahmadi, 1991: 193). 3. Agama Islam Konsepsi ketuhanan agama Islam adalah monoteisme yang tegas. Agama mengajarkan bahwa Tuhan itu esa, tiada berbilang, tiada pula yang rnenyamai-Nya. Setiap pengikut ajaran Islam sebelumnya harus mengucapkan Syahadat, yaitu pengakuan atau persaksian adanya Tuhan Yang Maha Esa dan mengakui Muhammad Rasul Tuhan. Setiap orang yang mengucapkan kalimat syahadat ini dianggap telah beragama Islam. Tuhan menurut agama Islam adalah tidak berjasad atau berbadan yang berbentuk tertentu (personifikasi). Tuhan bersifat gaib, tidak tampak dengan nyata(konkrit), karena sebagai Sang Maha Pencipta mustahil Tuhan sama dengan ciptaan-Nya. Dalam Al-Qur’an terdapat banyak surat dan ayat yang menerangkan tentang keEsa-an Tuhan. Surat Al-Anbiya ayat 22 misalnya, menerangkan bahwa: Seandainya di langit dan di bumi ini ada Tuhan selain Allah, niscaya keduanya akan hancur binasa, Maha Suci Allah yang bersemayam di atas arsyNya dan segala macam persifatan mereka itu”. Begitu pula dalam surat AlIkhlas 1-4: “Katakanlah, Allah itu esa. Dialah tempat bermohon, tidak beranak dan tidak diperanakkan. Tiada sesuatu yang menyamai-Nya”. C. Perkembangan Konsep-Konsep Ketuhanan Setiap agama mempunyai konsep tentang kepercayaan akan adanya Tuhan atau kekuatan adikodrati. Kepercayaan tentang keberadaan Tuhan atau kekuatan adikodrati ini merupakan titik sentral dan ajaran suatu agama. Akan tetapi kepercayaan ini mengambil bentuk yang sangat beragam pada setiap agama, sehingga secara umum terdapat banyak konsep tentang Tuhan. Sementara itu pada diri manusia kepercayaan ketuhanan itu tidaklah lahir dengan begitu saja sebagaimana diajarkan oleh ajaran-ajaran agama. Kepercayaan itu mengalami proses pada diri manusia. Paling tidak ada dua penjelasan mengenai proses kepercayaan ketuhanan. Pertama, kepercayaan itu berawal dari hal yang sederhana menuju pada kepercayaan yang lebih tinggi sesuai dengan perkembangan peradaban manusia. Kedua,kepercayaan awal adalah suatu bentuk monoteisme murni yang seiring dengan perjalanan hidup manusia mengalami kemerosotan dan menjadi kabur, bahkan lebih jauh kemudian dimasuki kepercayaan-kepercayaan dinamisme dan animisme. Kedua penjelasan sama-sama melihat ada perubahan dalam kepercayaan ketuhanan dan tidak bersifat beku atau statis. Namun keduanya berbeda dalam melihat arah perubahan tersebut. Yang pertama memandang arah perubahan itu adalah menuju ke tingkat yang Iebih baik (maju), matang, kompleks. Pandangan ini dipelopori oleb F.B. Taylor, yang dalam beberapa hal dipengaruhi oleh teori evolusi Darwin yang begitu populer saat itu. Menurutnya kepercayaan awal adalah dinamisme. Yang kedua memandang perubahan itu adalah penurunan atau degradasi dan yang awal mula. Pandangan ini Iebih mirip dengan Teori Termodinamika dalam ilmu fisika yang menjelaskan bahwa alam ini awalnya tercipta utuh dan sempurna, kemudian Iama-kelamaan mengalami keausan dan akhirnya hancur. Masing-masing pandangan mempunyal kelemahan, di mana yang pertama pandangannya tidak didukung bukti yang cukup kuat bahwa kepercayaan awal adalah dinamisme. Bahkan ada kecenderungan penemuan para antropolog yang rnengarah pada penolakan asumsi dinamisme sebagai bentuk kepercayaan awal. Sementara jika benar terjadi perubahan ke arah yang Iebih baik (maju), terbukti dinamisme masih ada hingga sekarang. Terlebih jika dikatakan pula bahwa yang lama lebih jelek dan yang baru, hal ini tentu tidak bisa diterima sepenuhnya. Namun demikian ini juga yang menjadi titik lemah pandangan yang kedua, yakni pada umumnya yang awal belumlah sempuma. Hal ini didukung oleh kenyataan di lapangan. Katakanlah monoteisme yang diajarkan agama-agama besar sekarang tentulah Iebih sempurna dibanding yang awal karena didukung oleh rumusan teologis yang begitu rupa banyak dan rumitnya. Dari kedua pandangan tersebut muncullah pandangan yang mengakui adanya evolusi kepercayaan kepada yang adikodrati (supranatural, ghaib), tetapi juga kepercayaan itu terkadang mengalami perubahan baik menuju kesempurnaan maupun kemerosotan. Bentuk-bentuk kepercayaan yang mewujudkan konsepsi ketuhanan yang ada dalam perkembangan pemikiran manusia itu antara lain sebagal berikut: 1. Dinamisme Dinamisme adalah kepercayaan yang lahir disebabkan ketergantungan manusia pada alam dan kenyataan akan kekuatan yang dimiliki alam. Kekuatan alarn ini melekat pada benda-benda yang disebut dengan berbagai nama, semisal mana (Melanesia), kumi (Jepang), hari & shakti (India), oudah (Pigmi Afrika), wakun, orenda, maniti (Indian Amerika), tuah (indonesia). Mereka yang berkepercayaan ini yakin bahwa mana bisa berada di berbagai benda atau orang. Ia adalah kekuatan tersembunyi dan yang bisa menguasainya memperoleh tempat terhormat dalam masyarakat dalam hal ini biasanya adalah dukun dan tukang sihir. Mana sendiri mempunyai sifat: 1. Berkekuatan 2. Tidak dapat dilihat 3. Tidak mempunyal tempat yang tetap 4. Tidak baik dan tidak juga buruk 5. Terkadang bisa dikontrol, terkadang tidak. Tujuan manusia dalam kepercayaan dinamisme ini adalah memperoleh mana sebanyak mungkin sehingga terjamin keselamatan. 2. Animisme Suatu kepercayaan yang menganggap setiap benda baik yang bemyawa maupun yang tidak bernyawa mempunyai roh atau jiwa. Animisme berasal dan kata latin anima yang berarti jiwa atau roh. Kepercayaan ini banyak dianut oleh masyarakat primitif yang belum mampu membedakan antara materi dan roh dengan jelas. Mereka masih mempersonifikasikan roh tersebut, sehingga mereka beranggapan bahwa roh-roh itu makan, minum, tidur, berbentuk tinggi, berkehendak, mempunyai kekuatan, dan sebagainya. Roh-roh itu harus diperlakukan seperti manusia, misalnya diberi makan, diadakan pesta-pesta khusus untuk menghormatinya. Para penganut animisme menganggap roh dan benda-benda dan nenek moyang yang berkuasa harus dihormati, dijunjung tinggi dan bahkan disembah. Semua itu dilakukan agar mereka dapat menolong manusia dan tidak membahayakan umat manusia. Untuk semua itu diperlukan adanya perantara antara manusia dengan roh-roh tersebut. Perantara-perantara tersebut dinamakan dukun yang bertindak menyampaikan segala keinginan roh-roh terhadap manusia dan sebaliknya. Menurut Tylor agama primitif muncul dari animisme. Harun Nasution melihat agama primitif muncul sebagai respon dan ketakutan yang berujung pada penyembahan, sementara agama wahyu berasal dan kecintaan menuju pemujaan. 3. Politeisme Paham yang dianggap perkembangan lebih lanjut dan animisme ini mengambil bentuk kepercayaan pada adanya banyak dewa. Peningkatan mana sebagai sesuatu kekuatan gaib menjadi roh dan seterusnya menjadi dewa serta tuhan mudah dibayangkan terutama terkait dengan derajat kekuasaan yang dimiliki. Dewa dianggap Iebih tinggi, mulia dan berkuasa dibanding roh, penyembahannya pun tidak hanya dilakukan oleh kalangan terbatas tetapi sudah Iebih umum. Dewa dianggap mempunyal pekerjaan tertentu, sehingga bentuk dan sifat kepercayaan terhadapnya Iebih jelas dibanding roh. Dalam politeisme terdapat pertentangan tugas karena berlainannya tugas dewa-dewa yang tidak selalu bekerja sama. 4. Henoteisme Pertentangan tugas para dewa dalam paham politeisme melahirkan gagasan adanya tuhan yang utama. Paham ini disebut heneteisme atau monolatry (heno=satu ;latreuin=menyembah). Pengikut henoteisme memuja satu tuhan yang utama sementara tuhan-tuhan yang lain tidak diingkari keberadaannya. Sering pula dipaharni tuhan-tuhan yang lain itu adalah sebagai saingan bagi Tuhan yang utama. 5. Monoteisme Tuhan-tuhan lain yang dianggap saingan atau musuh tidak diakui lagi dalam paham monoteisme. Di seluruh alam ini hanya ada satu tuhan yang menciptakan semuanya. Kepercayaan ini dianggap sebagai tahap paling tinggi atau paling akhir dan kepercayaan terhadap adanya Tuhan. Bentuk-bentuk lain teisme terkait dengan alam: Deisme: Paham yang menyatakan bahwa Tuhan berada jauh di luar alam (transcendent) dan tidak dalam alam (tidak imanent). Paham ini pertama kali dikemukakan oleh Newton (1642-1727) di Inggris. Deisme berpandangan bahwa Tuhan menciptakan alam tetapi setelah itu dibiarkannya berjalan sesuai hukum-hukum yang telah ditentukannya. Telah ada mekanisme yang berjalan di alam semesta sejak awal mula penciptaannya. Deisme mengibaratkan Tuhan seperti tukang atau pembuat jam yang berpengalaman, jam yang telah diciptakan akan berjalan menurut mekanisme yang ada, yang tidak berubah-ubah. Tukang jam itu tidak perlu memperbaiki atau menyempurnakan jam tersebut, karena semuanya telah berjalan secara mekanis. Deisme menolak adanya mukjizat-mukjizat, sebab bagi mereka hal itu bertentangan dengan peraturan alam. Adanya mukjizat berarti bahwa Tuhan telah ikut campur tangan dalam mengatur alam semesta, itu berarti Tuhan mengubah peraturan alam semesta yang te!ah tercipta dan implikasinya Tuhan adalah Dzat yang sewenang-wenang. Wahyu dan doa tidak diperlukan lagi. Manusia tidak perlu berdoa pada Tuhan dan minta bantuan, sebab semuanya telah berjalan mengikuti peraturan alarn. Akal manusia akan mengetahui yang baik dan yang buruk, sehingga agama wahyu tidak dapat mereka terima, yang ada hanyalah agama yang bersifat kodrati atau akal. Perkembangan Iebih lanjut dan paham ini adalah paham naturalisme yang melihat bahwa alam ini berdiri sendiri, serba sempurna dan beroperasi menurut sifat-sifat yang ada dalam dirinya. Panteisme: Panteisme berasal dan bahasa Yunani, Pan (seluruh) dan Theos (Tuhan) yang berarti seluruhnya Tuhan. Paham ini menyatakan bahwa seluruh kosmos ini adalah Tuhan. Semua yang ada dalam keseluruhan ialah Tuhan, dan Tuhan ialah semua yang ada dalam keseluruhannya. Benda-benda yang dapat ditangkap dengan indera adalah bagian dan Tuhan. Tuhan itu dekat sekali dengan alam (imanent), Ia berada dalam alam ini bukan di luar. Perbedaan dan perubahan yang terjadi di alam hanyalah ilusi, karena hanya ada satu yang tetap dan sernua hal yaitu Tuhan. Perbedaan antara Tuhan dan alam semesta dapat digambarkan seperti perbedaan antara laut dan ombak (Louis Leahy, 1986; 132). Pananteisme : Paham yang menyatakan bahwa seluruhnya berada dalam Tuhan. Paham ini berbeda dengan panteisme. Tuhan dianggap mempunyai dua kutub, yaitu kutub potensi dan kutub aktual. Di kutub potensi Tuhan berkuasa atas segala hal dan mampu bertindak sekehendaknya, tetapi terkait dengan alam ciptaanNya, Tuhan berada di aktual tidak akan bertindak berlawanan dengan hukum-hukum yang diterapkanNya pada alam, di sini Ia menjadi terbatas kekuasaannya agar tidak terjadi kontradiksi. Agnosticisme: Paham yang menyatakan bahwa manusia tidak mempunyal pengetahuan positif tentang Tuhan, karena itu tidak mengakui atau menolak penjelasan tentang Tuhan. Thomas Henry Huxley (1825-1895) merupakan tokoh yang dianggap mewakili paham ini sebagai lawan kaurn gnostic yang menyatakan mampu mengetahui Tuhan secara positif. Secara sederhana mereka mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakekat seperti yang dikehendaki oleh ilmu metafisika, baik hakekat materi maupun hakekat rohani. (Bakry, 1978: 53). Metafisika mengakui adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan yang dapat dikenal. Walaupun dalam prakteknya belum ada orang yang mengenalnya dan dapat menerangkan secara konkrit. ini berarti bahwa pernyataan “Tuhan ada” atau Tuhan tidak ada” adalah pernyataan yang secara nil ada, dan dikenal. Namun mengenai kebenaran apakah Tuhan ada atau apakah Tuhan tidak ada, orang secara konkrit belum mengenalnya.