BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cekungan Laut Jawa

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Cekungan Laut Jawa Bagian Timur merupakan bagian dari sistem
cekungan busur belakang yang melingkupi Sumatera Utara hingga Sulawesi
Tengah. Sistem cekungan tersebut telah dikenal sebagai zona potensial
hidrokarbon untuk cekungan berumur Tersier di Indonesia disebabkan nilai
gradien geothermal pada jalur magmatic aktif lebih tinggi sehingga tingkat
kematangan hidrokarbon lebih tinggi pula secara teoritis (Ryacudu, 2005) .
Eksplorasi hidrokarbon di Laut Jawa Bagian Timur sendiri telah dimulai sejak
tahun 1967 oleh Cities Service dan menghasilkan 46.295 km data seismik dan 48
data sumur, 3 sumur di antaranya ditemukan minyak, 4 sumur gas, dan 1 minyak
dan gas (Mudjiono dan Pireno, 2001). Berdasarkan data-data tersebut, hanya 1
sumur produksi dihasilkan oleh Cities Service di Lapangan Poleng dan hanya
beroperasi beberapa tahun kemudian dihentikan karena dianggap kurang
menguntungkan secara komersial pada waktu itu.
Kebutuhan sumber daya alam fosil (migas) yang semakin tinggi
mendorong eksplorasi intensif dan penelaahan ulang lapangan-lapangan migas tua
yang dahulu dianggap kurang menguntungkan. Kegagalan yang dianggap sering
terjadi pada sumur-sumur eksplorasi terdahulu adalah akibat dari sulitnya
memperkirakan persebaran lateral fasies reservoar dan batuan induk. Salah satu
cara penelaahan ulah lapangan tua adalah dengan melakukan analisis cekungan
sehingga didapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai evolusi cekungan
terutama hubungan antara tektonik dan sedimentasi.
Metode analisis cekungan yang dilakukan penulis adalah analisis sejarah
pemendaman (burial history) yang dikembangkan sekitar tahun 1970-an (Allen
dan Allen, 1990). Hasil dari metode ini adalah kurva hubungan waktu dan
kedalaman pemendaman sedimen atau paleostratigrafi. Dengan metode ini,
penulis mengharapkan pemahaman yang lebih baik mengenai evolusi cekungan,
analisis dinamika cekungan, dan sejarah penurunan cekungan (subsidence) untuk
Cekungan Laut Jawa Bagian Timur dapat dihasilkan.
1
BAB I - PENDAHULUAN
1.2. Maksud dan Tujuan
Penelitian ini merupakan penelitian Tugas Akhir B (GL-4022) dan
bertujuan
untuk
mengetahui
kecepatan
penurunan
cekungan,
kecepatan
pengendapan, dan analisis kuantitatif sejarah sedimentasi. Pendekatannya
dilakukan dengan pemodelan komputasi geologi, menggunakan kajian metode
rekonstruksi evolusi penampang pada waktu-waktu tertentu (backstripping).
1.3. Lokasi Penelitian
Daerah penelitian terletak di lepas pantai Kepulauan Madura, secara
administratif termasuk ke dalam Propinsi Jawa Timur, Kabupaten Sumenep
(Gambar 1.1, dibatasi poligon merah) dengan luas 50km x 30km. Sedangkan
lokasi sumur di daerah penelitian ditunjukan oleh Gambar 1.2.
Gambar 1.1. Peta Provinsi Jawa Timur (www.indonesia.go.id)
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi
|2
BAB I - PENDAHULUAN
Gambar 1.2. Lokasi sumur di Daerah Penelitian (modifikasi dari KNOC, 2006),
daerah penelitian ditunjukan oleh kotak merah.
1.4. Metode Penelitian
1.4.1. Pembuatan Model Sejarah Geologi
Metode yang digunakan oleh penulis adalah analisis model sejarah geologi
menggunakan teknik stratigrafi kuantitatif sehingga diperoleh sejarah geologi
cekungan. Dalam metode ini untuk menentukan penurunan total dasar cekungan
(total subsidence) digunakan parameter penurunan tektonik (tectonic subsidence)
dan pembebanan sedimen (sedimen load) (Kesumajana, 1997). Tahapan
pengerjaan adalah sebagai berikut:
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi
|3
BAB I - PENDAHULUAN
1.4.1.1. Penentuan Litologi
Penentuan
litologi
dalam
penelitian
ini
dilakukan
dengan
mengkalibrasikan antara data cutting (mud log) dan data log (gamma ray dan
density)
menggunakan
program
spreadsheet
“Microsoft
Office
Excel”.
Pengkalibrasian data tersebut dilakukan pada satu sumur yang digunakan sebagai
titik acuan (dalam penelitian ini sumur yang dipakai sebagai titik acuan adalah
sumur Attiya-1) sehingga bersifat kuantitatif.
Data log gamma ray dan density (RHOB) yang tidak diperlukan (bernilai
negatif atau null) direduksi kemudian digabungkan dengan data mud log per
kedalaman. Dari data log gamma ray kemudian ditentukan nilai cut-off dari setiap
sumur menggunakan prinsip statistik. Pada penelitian kali ini nilai cut-off gamma
ray berkisar antara 35 – 50. Litologi yang memiliki nilai gamma ray ≥ cut-off
adalah serpih. Sedangkan yang memiliki nilai gamma ray < cut-off ditentukan lagi
litologinya berdasarkan plot hubungan data log gamma ray dan density.
Data log gamma ray dan denstiy ditentukan nilai maksimum dan
minimumnya diplot pada grafik untuk setiap jenis litologi. Jika masih ditemukan
batas-batas yang tumpang-tindih (overlap) maka dilakukan penentuan batas baru
berdasarkan persebaran data litologinya. Setelah ditentukan batas baru untuk log
gamma ray dan density, dihitung persen kesalahan data sebelumnya. Jika persen
kesalahan terlalu besar maka penentuan batas baru dilakukan ulang.
1.4.1.2. Proses Dekompaksi
Proses dekompaksi merupakan suatu proses pengembalian kondisi fisik
batuan ke kondisi semula diendapkan secara bertahap dari waktu ke waktu dengan
anggapan bahwa:
•
Perubahan ketebalan lapisan semata-mata hanyalah efek dari berkurangnya
volume pori akibat pembebanan dengan mengabaikan efek perubahan
batuan karena faktor-faktor seperti: penyemenan, deformasi, dan
overpressure, sedangkan jumlah butiran selalu tetap (Kesumajana, 1997)
(gambar 1.3 dan 1.4 bagian atas).
•
Proses pengurangan volume lapisan akibat berkurangnya volume pori akan
mengikuti suatu pola kurva asimtotik ke arah yang lebih dalam
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi
|4
BAB I - PENDAHULUAN
(Kesumajana, 1997) (gambar 1.4 bagian bawah). Salah satu kurva
asimtotik yang banyak dianut adalah model kurva eksponensial. Tetapi
dalam penelitian ini kurva asimtotik yang sesuai adalah kurva powerlaw.
Proses dekompaksi memerlukan data porositas pada saat diendapkan
(surface porosity) dan faktor kompaksi dari setiap jenis litologi. Hubungan antara
perubahan porositas terhadap kedalaman dapat dijelaskan dengan prinsip-prinsip
dasar mekanika batuan.
Proses pengurangan porositas batuan akibat pembebanan diatasnya dapat
digambarkan sebagai proses perubahan volume batuan atau dalam perkiraan
ketebalan batuan dapat dilihat pada gambar 1.3 dan 1.4. Sedimen dengan tekanan
normal, variasi perubahan porositas terhadap perubahan kedalaman akan
mengikuti kurva powerlaw (Baldwin dan Buttler, 1985 op.cit. Kesumajana, 1997)
dengan persamaan empirik yang dianggap mewakili distribusi porositas,
dinyatakan dengan rumus sebagai berikut:
z  0  bZ c
(i.i)
dimana Φz = porositas batuan pada kedalaman z
Φ0 = porositas batuan pada saat diendapkan (di permukaan)
b, c = faktor kompaksi
Z = kedalaman batuan (meter)
Perhitungan ketebalan sedimen setiap waktu pada waktu lampau dapat
dimisalkan dengan menganggap memindahkan lapisan batuan dari bawah keatas
(dekompaksi) atau sebaliknya (kompaksi).
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi
|5
BAB I - PENDAHULUAN
Gambar 1.3. Konsep suksesif dekompaksi Gambar 1.4. Proses dekompaksi
(Allen dan Allen, 1990)
(Van Hinte, 1978 op.cit. Allen
dan
Allen, 1990)
Untuk suatu lapisan, ketebalan setiap saat adalah fungsi dari porositas van
Hinte (1978 op.cit. Allen dan Allen, 1990) (Gambar 1.4), mengikuti persamaan
deterministik :
𝐷𝑛 +𝑇𝑛
(1
𝐷𝑛
− 𝛷𝑛 )𝑑𝑍 =
𝐷0 +𝑇0
𝐷0
1 − 𝛷0 𝑑𝑍
(i.ii)
dimana Φn = porositas pada waktu n (saat ini),
Φ0 = porositas pada awal pengendapan (t = 0),
Z = kedalaman,
Dn = kedalaman pada waktu n (saat ini),
Tn = ketebalan pada waktu n (saat ini),
D0 = kedalaman pada awal pengendapan (t = 0)
T0 = ketebalan pada awal pengendapan (t = 0)
Solusi persamaan dekompaksi (i.ii) dengan menggunakan persamaan kompaksi
Powerlaw (Baldwin dan Buttler, 1985 op.cit. Kesumajana, 1997) (i.i):
D0 T0
 1  (
D0

c
0  bZ ) dZ 
Dn Tn
 1  (
0

 bZ c ) dZ
Dn
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi
|6
BAB I - PENDAHULUAN
Penyelesaian untuk ruas kiri :
Do To

1  (0  bZ )dZ 
c
Do
Do To
doTo
b
 Z  0 Z 
c 1
do
do
Do To
 dz    dz  b  Z dZ
c
0
Do
doTo
Do To
Do
Do
doTo
Z c 1
do
 ( D0  T0 )  D0   0 ( D0  T0 )  D0  
 T0  0T0 

b
c 1
( D0  T0 )c1  D0
c 1

b
c1
( D0  T0 )c1  D0
c 1


Persamaan untuk kedua ruas :
T0  0T0 



b
b
c 1
c 1
( D0  T0 ) c1  D0  Tn  0Tn 
( Dn  Tn ) c1  Dn
c 1
c 1

Solusi :
T0  TN  0TN 




b
b
c1
c1
( DN  TN )c1  DN  0T0 
( D0  T0 )c1  D0
(i.iii)
c 1
c 1
dimana T0 = ketebalan pada awal pengendapan (t = 0),
TN = ketebalan pada waktu n (saat ini),
Φ0 = porositas pada awal pengendapan (t = 0),
c, b = faktor kompaksi
Dn = kedalaman pada waktu n (saat ini),
D0 = kedalaman pada awal pengendapan (t = 0)
Solusi persamaan (i.iii) di atas dapat disederhanakan menjadi:
(1  n )Tn  (1  0 )T0
Sehingga solusi untuk persamaan dekompaksi Powerlaw adalah:
T0 
(1  0  bZ nc )
Tn
c
(1  0  bZ 0 )
(i.iv)
1.4.1.2.1. Perhitungan Porositas Batuan
Untuk melakukan perhitungan dekompaksi diperlukan faktor kompaksi
powerlaw sesuai dengan persamaan (i.i) dan (i.iii). Faktor kompaksi tersebut
ditentukan dengan mencari solusi persamaan secara aritmatik berdasarkan data
porositas batuan, yaitu porositas permukaan (surface porosity) dan porositas per
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi
|7
BAB I - PENDAHULUAN
kedalaman. Data nilai-nilai porositas tersebut selanjutnya ditampilkan dalam
bentuk kurva kompaksi porositas per kedalaman untuk mendapatkan faktor
kompaksi per litologi, yang tujuan akhirnya adalah mendekompaksi suatu strata.
Pada kurva kompaksi normal, perubahan bentuk kurva kompaksi terjadi
pada porositas sekitar 38% (Kesumajana, 1997). Dibawah titik ini partikel
sedimen sudah saling bersentuhan sehingga adanya pembebanan hanya sedikit
saja mengurangi porositas, sehingga pola kurva porositasnya linear. Secara
teoritik titik ini berada pada kedalaman 500 m atau 1600 feet yang disebut Depth
Inflection Theoritically (DIT).
Pada kenyataannya titik porositas 38% ini tidak selalu berada pada
kedalaman 500 m atau 1600 feet, hal ini disebabkan oleh adanya erosi atau non
kompaksi. Titik ini disebut Depth Inflection point Observed (DIO). Bila DIO<DIT
maka pada sumur ini telah terjadi erosi, sedangkan bila DIO>DIT maka telah
terjadi non-kompaksi Koesoemadinata (Kesumajana, 1997).
Data porositas per kedalaman yang digunakan adalah data log sonik yang
diolah menggunakan program spreadsheet “Microsoft Office Excel” sehingga
didapatkan nilai porositasnya. Persamaan yang digunakan dalam mengolah data
log sonik menjadi data porositas adalah persamaan Raiga-Clemenceau (dalam
Issler, 1992), yaitu:
Φ = 1 - (Δtma/Δt)(1/x)
dimana Φ
(i.v)
= porositas
Δtma = sonic transit time matriks batuan, untuk litologi serpih: 67.05,
untuk litologi
batupasir: 55.5 (Kesumajana, 1997)
Δt
= waktu interval rambat gelombang yang dibaca pada log sonik,
x
= faktor formasi = 2.19
Persamaan ini digunakan karena lebih valid untuk porositas lebih dari 37%
dibanding persamaan Wyllie et al. (1958 op.cit. Krygowski, 2003) atau RaymerHunt-Gardner (1986 op.cit. Krygowski, 2003).
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi
|8
BAB I - PENDAHULUAN
1.4.1.2.2. Model Kurva Kompaksi
Kompaksi merupakan proses pemampatan lapisan batuan sedimen akibat
adanya pembebanan lapisan diatasnya. Efek kompaksi adalah berkurangnya
ketebalan lapisan sebagai fungsi dari berkurangnya volume pori lapisan sedimen
akibat reorientasi dan reorganisasi butiran sedimen. Kompaksi dapat digambarkan
dalam suatu model kurva kompaksi yang menunjukan pengurangan porositas per
kedalaman. Hal yang perlu digarisbawahi dalam pembuatan kurva kompaksi
adalah perubahan porositas ini dianggap hanya disebabkan oleh faktor mekanis
dan stress terjadi secara satu arah (Allen dan Allen, 1990).
Pada awalnya model kurva kompaksi yang sering digunakan adalah model
eksponensial (Sclater dan Cristie, 1980 op.cit. Allen dan Allen, 1990) (Gambar
1.5), dan model resiprokal (Falvey dan Middleton, 1981 op.cit. Allen dan Allen,
1990). Kemudian dikembangkan beberapa model kurva kompaksi lain
(Kesumajana, 1997) yang disesuaikan dengan data yang tersedia, diantaranya:
1. Model kurva linier Issler (1992) : Φz = Φ0 – mZ
2. Model kurva powerlaw Baldwin dan Buttler (1985) (modifikasi
Kesumajana, 1997): Φz = Φ0 + bZc
3. Model kurva parabola Liu dan Roaldset (1985) (modifikasi Qivayanti,
1997 op.cit. Kesumajana, 1997): Φz = Φ0 + b1Z + b2Z2 + b3Z0.5
4. Model kurva hiperbola (Koesoemadinata, 1997 op.cit. Kesumajana, 1997):
Φz = (Φ0 + b1Z) / (1 + b2Z)
dimana Φz = porositas batuan pada kedalaman Z,
Φ0 = porositas pada awal pengendapan (t = 0),
Z = kedalaman,
c, A, m, b1, b2, b3 = konstanta
Penulis menggunakan model kurva kompaksi powerlaw Baldwin dan Buttler
(1985) (modifikasi Kesumajana, 1997) (Gambar 1.6) dalam penelitian kali ini
karena dianggap paling cocok dengan persebaran statistik data sumur yang ada.
Untuk mendapatkan parameter kompaksi yang sesuai, terdapat beberapa asumsi,
yaitu:
•
Proses kompaksi hanya disebabkan oleh pembebanan sedimen diatasnya
tanpa memperhitungkan proses-proses lainnya.
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi
|9
BAB I - PENDAHULUAN
•
Bila terjadi pengangkatan, maka porositas masing-masing lapisan tidak akan
berubah (tidak terjadi elastic rebound).
•
Model kurva kompaksi diwakili oleh kurva kompaksi serpih dan batupasir.
Gambar 1.5. Kurva kompaksi (Sclater
Gambar 1.6. Kurva kompaksi
dan Cristie, 1980 op.cit. Kesumajana,
Powerlaw Baldwin dan Buttler
1997)
(Koesoemadinata, 1997 op.cit.
Kesumajana, 1997) ditunjukan oleh
titik-titik merah.
1.4.1.2.3. Perhitungan Фo
Porositas permukaan (Фo) secara garis besar dapat didefinisikan sebagai
porositas saat pertama kali sedimen diendapkan. Porositas permukaan dapat
ditentukan melalui persamaan kompaksi Powerlaw Baldwin dan Buttler
(persamaan i.i) jika faktor kompaksi cekungannya telah diketahui. Pada penelitian
ini, faktor kompaksi daerah penelitian tidak diketahui sehingga nilai porositas
permukaan (Фo) diambul dari literatur, yaitu 0.63 untuk litologi serpih dan 0.49
untuk litologi batupasir (Allen dan Allen, 1990), sedangkan untuk faktor
kompaksinya didapatkan dari kurva kompaksi porositas per litologi.
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi
| 10
BAB I - PENDAHULUAN
1.4.1.2.4. Ketidakselarasan dan Ketebalan Lapisan Tererosi
Ketebalan lapisan yang hilang (Eroded Missing Section Thickness, EMST)
akibat erosi dapat didekati dari analisis kurva kompaksi serpih (dalam
Kesumajana, 1997).
•
Analisis Kurva Kompaksi Serpih
EMST dapat diperkirakan dari porositas serpih 38% pada masa sekarang
(DIO). Secara teori titik ini berada pada kedalaman 500 m atau 1600 feet
(DIT) (Kesumajana, 1997). Jika DIO ≠ DIT maka diperkirakan telah
terjadi salah satu dari dua kemungkinan yaitu: bila DIO<DIT maka telah
terjadi erosi, sedangkan bila DIO>DIT maka telah terjadi non-kompaksi.
EMST dapat diukur dengan cara mengurangkan DIO terhadap DIT.
EMST = DIT – DIO ......................................... (i.vi)
dimana: EMST = Eroded Missing Section Thickness (ketebalan yang
hilang akibat erosi (meter)).
DIT
= Depth Inflection Theoritically (kedalaman porositas
38% secara teori (meter)).
DIO
= Depth Inflection point Observed (kedalaman porositas
38% teramati (meter)).
Dari persamaan diatas diperkenalkan konsep erosi negatif yang juga disebut
keadaan non kompaksi (Kesumajana, 1997). Terdapat batasan bila terdapat erosi,
ketebalan yang hilang akibat erosi harus ditentukan umur awal erosinya (sebagai
acuan dapat digunakan setengah dari umur yang hilang), dan terdiri dari satu
litologi saja (Kesumajana, 1997).
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi
| 11
BAB I - PENDAHULUAN
1.4.1.3. Kurva Umur-Kedalaman
Kurva umur-kedalaman diperlukan untuk penentuan umur absolut per
kedalaman yang nantinya akan digunakan dalam pembuatan model sejarah
geologi. Pembuatan kurva umur-kedalaman didasarkan pada data umur relatif
masing-masing sumur berdasarkan data fosil. Data fosil yang digunakan oleh
penulis adalah data pemunculan awal atau akhir fosil nanno (Martini, 1971 op.cit.
KNOC, 2006 dan Inpex, 1993).
Hasil penentuan ini akan dipakai sebagai landasan untuk menggambarkan
evolusi cekungan pada umur-umur tersebut. Terdapat beberapa asumsi untuk
penentuan umur absolut ini, antara lain (Kesumajana, 1997):
•
Masing-masing lapisan mempunyai umur absolut paling tidak untuk setiap
formasi atau satuan stratigrafinya.
•
Data umur didasarkan pada data umur relatif yang telah ada pada setiap
sumur, dan apabila tidak terdapat data pada salah satu sumur, digunakan
umur absolut dari masing-masing puncak formasi yang ditentukan dengan
asumsi bahwa formasi tersebut memiliki waktu pengendapan yang sama,
berdasarkan umur absolut yang diperoleh dari sumur terdekat.
1.4.1.4. Koreksi Paleobatimetri
Dalam pemodelan sejarah geologi, posisi lapisan sedimen terhadap muka
air laut perlu diketahui mengingat diantara puncak lapisan sedimen dan muka air
laut pada saat pengendapan terdapat air (Wu, 1994 op.cit. Kesumajana, 1997).
Posisi awal pada saat pengendapan dapat diketahui dengan melakukan koreksi
paleobatimetri (Gambar 1.8) menggunakan fosil foraminifera bentonik dan
analisis lingkungan pengendapan (paleo-environment) sehingga didapatkan skala
numerik per kedalaman yang mengikuti evolusi cekungan. Nilai paleobatimetri
yang telah diubah menjadi skala numerik ini akan digunakan untuk mengkoreksi
perhitungan dekompaksi.
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi
| 12
BAB I - PENDAHULUAN
Gambar 1.7. Koreksi Paleobatimetri Terhadap Kedalaman (Angevine, dkk.,
1972).
1.4.1.5. Model Sejarah Geologi
Model sejarah geologi adalah suatu bentuk pemodelan geologi dengan
menggunakan teknik stratigrafi kuantitatif sehingga diperoleh keadaan stratigrafi
dan struktur dalam kerangka waktu dan kedalaman. Dua kunci dalam pemodelan
sejarah geologi adalah evolusi cekungan dan tektonik. Model sejarah geologi
terdiri dari model sejarah pemendaman (burial geohistory) dan sejarah termal
(thermal geohistory). Model sejarah pemendaman dapat memberikan gambaran
kecepatan total penurunan cekungan, kecepatan tektonik subsidence dan
kecepatan akumulasi sedimen dari waktu ke waktu (Allen dan Allen, 1990).
Analisis model sejarah pemendaman dapat menghasilkan pemahaman
mengenai gerak vertikal sejarah penurunan dan pengangkatan suatu horizon
stratigrafi dalam suatu cekungan, sedangkan model sejarah termal memberikan
gambaran perkembangan geothermal dan alir bahang (heat flow) dalam suatu
cekungan. Penulis tidak melakukan analisis model sejarah termal dalam penelitian
kali ini.
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi
| 13
BAB I - PENDAHULUAN
1.4.2. Pembuatan Peta Kecepatan Penurunan Cekungan
Peta kecepatan penurunan (subsidence) cekungan menggambarkan
dinamika dan evolusi cekungan. Tahapan pembuatan peta kecepatan penurunan
cekungan adalah sebagai berikut:
1. Pembuatan Kurva Penurunan Cekungan
Secara garis besar kurva penurunan cekungan merupakan pencerminan
dari kurva sejarah pemendaman. Gambar 1.9 adalah contoh kurva
penurunan cekungan. Sumbu x merupakan garis umur waktu (dalam juta
tahun). Sumbu y merupakan kedalaman dari sumur (dalam meter). Garisgaris yang memotong kurva merupakan segmentasi kecepatan penurunan
cekungan berdasarkan gradien kurva. Semakin terjal kurva maka
kecepatan penurunan cekungan semakin tinggi, sebaliknya semakin landai
kurva maka kecepatan penurunan cekungan semakin rendah.
Gambar 1.8.
Contoh kurva penurunan cekungan sumur Attiya-1
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi
| 14
BAB I - PENDAHULUAN
2. Pembuatan Peta Kontur Penurunan Cekungan
Peta kontur penurunan cekungan dibuat berdasarkan segementasi
kecepatan penurunan cekungan yang merupakan gabungan dari semua
sumur dan berfungsi sebagai pembagi periode penurunan cekungan.
Kecepatan penurunan cekungan per segmen dihitung dari total ketebalan
yang diendapkan per umur dibagi dengan selisih umur. Setelah kecepatan
penurunan cekungan dihitung, proses selanjutnya adalah pembuatan peta
kontur penurunan cekungan.
1.4.3. Analisis Dinamika Cekungan
Analisis dinamika cekungan merupakan gabungan beberapa unsur, yaitu:
1. Kurva sejarah pemendaman yang menghasilkan data stratigrafi kuantitatif,
sejarah sedimentasi, dan kecepatan penurunan cekungan.
2. Kurva kecepatan penurunan cekungan yang menghasilkan segmentasi
sebagai cermin perbedaan kecepatan penurunan cekungan dalam sejarah
pembentukan cekungan.
3. Peta kontur kecepatan penurunan cekungan yang dibuat berdasarkan
segmentasi kurva penurunan kecepatan cekungan dari waktu ke waktu.
1.5. Diagram Alir Penelitian
Gambar 1.9. Diagram Alir Penelitian
Studi Cekungan Laut Jawa Bagian Timur Berdasarkan Analisis Model Sejarah Geologi
| 15
Download