2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Ikan Nila

advertisement
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
Ikan nila sangat dikenal oleh masyarakat penggemar ikan air tawar, baik di
negara berkembang maupun di negara maju. Di Asia Tenggara, ikan nila banyak
dibudidayakan, terutama Filipina, Malaysia, Thailand dan Indonesia. Di
Indonesia, ikan ini sudah tersebar hampir ke seluruh pelosok wilayah tanah air
(Amri dan Khairuman 2003).
Ikan nila termasuk famili Cichlidae yang mempunyai sifat menyimpan telur
dan larvanya di dalam mulut. Secara umum klasifikasi ikan nila menurut
Trewavas (1980), diacu dalam Suyanto (2003) adalah sebagai berikut :
Filum
: Chordata
Sub filum
: Vertebrata
Kelas
: Osteichthyes
Sub kelas
: Acanthoptherigii
Ordo
: Percomorphi
Sub ordo
: Percoidea
Famili
: Cichlidae
Genus
: Oreochromis
Spesies
: Oreochromis niloticus
Gambar 1. Ikan nila (Oreochromis niloticus)
Sumber: Kuncoro (2009)
Ikan nila memiliki bentuk tubuh yang agak panjang dengan warna tubuh
hitam agak keputihan, memiliki lima buah sirip, yaitu sirip punggung, sirip dada,
sirip perut, sirip anus dan sirip ekor. Pada sirip punggung, sirip dubur dan sirip
perut terdapat jari-jari lemah dan jari-jari keras yang tajam seperti duri. Sirip
punggung memiliki lima belas jari-jari keras dan sepuluh jari-jari lemah,
sedangkan sirip ekor mempunyai dua buah jari-jari keras dan sepuluh jari-jari
lemah. Sirip perut mempunyai satu jari-jari keras dan lima belas jari-jari lemah
(Suyanto 2003).
Ikan nila merupakan jenis ikan konsumsi air tawar dengan bentuk tubuh
memanjang dan pipih kesamping dan warna putih kehitaman. Ikan nila berasal
dari Sungai Nil dan danau-danau sekitarnya. Ikan ini telah tersebar ke negaranegara di lima benua yang beriklim tropis dan subtropis. Ikan nila disukai oleh
berbagai bangsa karena dagingnya enak dan tebal seperti daging ikan kakap merah
(Syamsudin 2001).
Ikan nila dapat hidup pada kisaran suhu yang lebar yaitu 14-38 oC. Ikan nila
dapat hidup pada lingkungan yang mempunyai kisaran pH 5-11 (Arie 2000).
Kandungan oksigen air minimal 4 mg/l, kandungan karbondioksida maksimal
5 mg/l, kadar amoniak dalam air harus dalam batas yang tidak meracuni (lebih
rendah 0,1 mg/l) dan tingkat alkalinitas air berkisar 50-300 mg/l (BPPAT DKP
2001).
2.2 Aspek Ekonomi Ikan Nila (Oreochromis niloticus)
Ikan nila merupakan salah satu komoditas ikan air tawar yang sangat
populer karena ikan ini berasal dari luar Indonesia yang hampir mirip dengan ikan
mujair. Usaha budi daya ikan nila dilakukan di kolam-kolam (tergenang atau
mengalir), sawah dan karamba jaring apung. Usaha pembudidayaan ikan nila kini
tidak hanya sebagai usaha sampingan, melainkan sudah pada tahap budi daya
secara intensif. Pengembangan budi daya ikan nila di Indonesia mengalami
kemajuan yang sangat pesat dengan adanya penemuan-penemuan genetika yang
baru seperti nila merah, nila gift dan nila TA (Pearson 2009).
Ikan nila merah dikenal juga sebagai nila nifi atau nirah. Semula ada yang
menduga nila merah adalah nila biasa yang mengalami penyimpangan genetika
warna tubuh sehingga menjadi albino, tetapi dugaan itu ternyata keliru. Nila
merah adalah varietas tersendiri. Dalam perkembangannya, nila merah disebut
juga dengan nila hibrida. Penamaan ini untuk membedakan dengan nila lokal
dalam hal pertumbuhan karena nila merah mempunyai laju pertumbuhan yang
cepat (Amri dan Khairuman 2003).
Nila gift merupakan hasil persilangan beberapa varietas ikan nila. Nila gift
memiliki ukuran tubuh yang lebih pendek dan lebar dibandingkan dengan nila
lokal. Tanda lainnya yang membedakan nila gift dengan nila lokal adalah warna
tubuh. Warna tubuh nila gift hitam agak putih. Bagian bawah tutup insangnya
berwarna putih. Nila TA tergolong baru sehingga belum banyak dikenal secara
luas oleh masyarakat. Bentuk tubuhnya sangat mirip dengan nila gift. Namun,
jumlah garis-garis vertikal di tubuh nila TA lebih sedikit dibandingkan nila gift
(Amri dan Khairuman 2003).
Hal lain yang menyebabkan ikan nila sangat diminati oleh petani ikan adalah
rendahnya biaya produksi, sehingga petani dengan modal kecil dapat
mengusahakan kegiatan budi daya ikan nila ini. Kebutuhan pasar ikan nila ukuran
konsumsi tidak hanya di pasar lokal, tetapi ikan ini mampu menembus pasar
ekspor Singapura, Jepang, Hong Kong, Arab Saudi, Amerika dan negara-negara
Eropa dalam bentuk fillet. Pada pasar lokal, minat konsumsi ikan masyarakat
Indonesia terhadap ikan nila menempati posisi kedua setelah ikan mas. Hal ini
disebabkan harga ikan nila cukup bersaing dengan harga ikan mas. Ikan untuk
konsumsi lokal pada umumnya memiliki ukuran 200–250 gram/ekor atau ukuran
5–4 ekor/kg, sedangkan untuk pangsa pasar ekspor dibutuhkan ikan nila dengan
ukuran minimal 500 gram/ekor. Hal ini dikarenakan ekspor ikan nila dalam
bentuk fillet, sehingga untuk mendapatkan daging yang banyak dibutuhkan ukuran
ikan yang lebih besar pula (Pearson 2009).
Penanganan pasca panen ikan nila dapat dilakukan dengan cara penanganan
ikan hidup maupun ikan segar (Syamsudin 2001).
1) Penanganan ikan hidup
Adakalanya ikan konsumsi ini akan lebih mahal harganya bila dijual dalam
keadaan hidup. Hal yang perlu diperhatikan agar ikan tersebut sampai ke
konsumen dalam keadaan hidup, segar dan sehat antara lain:
a. Dalam pengangkutan menggunakan air yang bersuhu rendah sekitar 20 oC.
b. Waktu pengangkutan hendaknya pada pagi hari atau sore hari.
c. Jumlah kepadatan ikan dalam alat pengangkutan tidak terlalu padat.
2) Penanganan ikan segar
Ikan segar merupakan produk yang cepat turun kualitasnya. Hal yang perlu
diperhatikan untuk mempertahankan kesegaran antara lain:
a. Penangkapan harus dilakukan hati-hati agar ikan-ikan tidak luka.
b. Sebelum dikemas, ikan harus dicuci agar bersih dari lendir.
c. Wadah pengangkut harus bersih dan tertutup. Pengangkutan jarak dekat
(2 jam perjalanan), dapat menggunakan keranjang yang dilapisi dengan
daun pisang atau plastik. Pengangkutan jarak jauh menggunakan kotak dan
seng atau fiberglass. Kapasitas kotak maksimum 50 kg dengan tinggi
kotak maksimum 50 cm.
d. Ikan diletakkan di dalam wadah yang diberi es dengan suhu 6-7 oC.
Gunakan es berupa potongan kecil-kecil (es curai) dengan perbandingan
jumlah es dan ikan (1:1). Dasar kotak dilapisi es setebal 4-5 cm. Ikan
disusun di atas lapisan es setebal 5-10 cm, lalu disusul lapisan es lagi dan
seterusnya. Antara ikan dengan dinding kotak diberi es, demikian juga
antara ikan dengan penutup kotak.
2.3 Penanganan Ikan Hidup
Prinsip dari penanganan ikan hidup adalah mempertahankan kelangsungan
hidup ikan semaksimal mungkin sampai ikan tersebut diterima oleh konsumen.
Terdapat beberapa tahap penanganan untuk mencapai maksud tersebut yaitu
penanganan ikan sebelum
diangkut, selama pengangkutan dan
setelah
pengangkutan (Junianto 2003).
Menurut Arie (2000), terdapat beberapa kegiatan penanganan ikan hidup
setelah dilakukan pemanenan, yaitu: penyeleksian, penimbangan, pemberokan dan
pengangkutan.
a. Penyeleksian, dilakukan karena dalam satu periode pemanenan biasanya ukuran
ikan sangat beragam. Ikan perlu diseleksi dan dipisahkan menurut ukurannya.
Ikan yang berukuran kecil sebaiknya dipelihara kembali dalam kolam
pembesaran.
b. Penimbangan, ikan yang telah diseleksi ditimbang untuk mengetahui bobot ikan
dari satu periode pemeliharaan, maka dari bobot tersebut dapat diketahui
pendapatan dan keuntungan yang diperoleh.
c. Pemberokan, dapat diartikan sebagai kegiatan penyimpanan sementara sebelum
ikan dipasarkan dengan tujuan untuk membuang kotoran dalam tubuh ikan.
Pemberokan dapat dilakukan dalam bak, selama pemberokan ikan tidak diberi
pakan. Pemberokan dilakukan selama 24 jam untuk perjalanan yang lebih dari
12 jam (Mangunkusumo 2009). Pemberokan dilakukan 1-2 hari untuk ikan
ukuran konsumsi (Junianto 2003).
d. Pengangkutan, untuk ikan konsumsi dapat diangkut dengan berbagai cara,
tergantung tujuan pasar lokal, luar daerah ataupun ekspor. Angkutan lokal
biasanya menggunakan sistem basah, sedangkan untuk luar daerah yang jauh
dan ekspor dilakukan dengan sistem kering.
2.4 Transportasi Ikan Hidup
Transportasi ikan hidup pada dasarnya adalah memaksa menempatkan ikan
dalam suatu lingkungan baru yang berlainan dengan lingkungan asalnya dan
disertai
perubahan-perubahan
sifat
lingkungan
yang
sangat
mendadak
(Hidayah 1998). Ada dua sistem transportasi yang digunakan untuk hasil
perikanan hidup di lapangan. Sistem transportasi tersebut terdiri dari transportasi
sistem basah dan transportasi sistem kering (Junianto 2003).
Menurut Jailani (2000), pada transportasi sistem basah, ikan diangkut di
dalam wadah tertutup atau terbuka yang berisi air laut atau air tawar tergantung
jenis dan asal ikan. Pada pengangkutan dengan wadah tertutup, ikan diangkut di
dalam wadah tertutup dan suplai oksigen diberikan secara terbatas yang telah
diperhitungkan
sesuai
dengan
kebutuhan
selama
pengangkutan.
Pada
pengangkutan dalam wadah terbuka, ikan diangkut dengan wadah terbuka dengan
suplai oksigen secara terus menerus dan aerasi selama perjalanan. Transportasi
basah biasanya digunakan untuk transportasi hasil perikanan hidup selama
penangkapan di tambak, kolam dan pelabuhan ke tempat pengumpul atau dari satu
pengumpul ke pengumpul lainnya.
Menurut Achmadi (2005), transportasi ikan hidup tanpa media air (sistem
kering) merupakan sistem pengangkutan ikan hidup dengan media pengangkutan
bukan air. Pada transportasi ikan hidup tanpa media air, ikan dibuat dalam kondisi
tenang atau aktivitas respirasi dan metabolismenya rendah. Transportasi sistem
kering ini biasanya menggunakan teknik pembiusan pada ikan atau ikan
dipingsankan (imotilisasi) terlebih dahulu sebelum dikemas dalam media tanpa air
(Suryaningrum et al. 2007).
Pada transportasi ikan hidup sistem kering perlu dilakukan proses
penenangan terlebih dahulu. Kondisi ikan yang tenang akan mengurangi stress,
mengurangi kecepatan metabolisme dan konsumsi oksigen. Pada kondisi ini
tingkat kematian selama transportasi akan rendah sehingga memungkinkan jarak
transportasi dapat lebih jauh dan kapasitas angkut dapat ditingkatkan lagi. Metode
penanganan ikan hidup dapat dilakukan dengan cara menurunkan suhu air atau
dapat juga menggunakan zat anestesi. Perlu diperhatikan bahwa ikan yang akan
dipingsankan ini nantinya akan dikonsumsi, sehingga pemilihan metode
imotilisasi harus memperhatikan aspek kesehatan (Nitibaskara et al. 2006).
Syarat utama dalam pengangkutan ikan hidup adalah kesehatan ikan. Ikan
harus dalam keadaan sehat, tidak berpenyakit dan dalam kondisi prima. Ikan yang
sehat dan bugar biasanya sangat gesit, aktif, responsif sesuai dengan karakter
masing-masing ikan (Nitibaskara et al. 2006). Menurut Achmadi (2005), ikan
dalam keadaan hidup normal memiliki ciri-ciri reaktif terhadap rangsangan luar,
keseimbangan dan kontraksi otot normal. Ikan yang kurang sehat atau lemah
mempunyai daya tahan hidup yang rendah dan peluang untuk mati selama
pemingsanan dan pengangkutan lebih besar (Sufianto 2008).
Menurut Achmadi (2005), ikan hidup yang akan dikirim dipersyaratkan
dalam keadaan sehat dan tidak cacat. Pemeriksaan kondisi kesehatan ikan selalu
dilakukan untuk mengurangi kemungkinan mortalitas yang tinggi, sedangkan
adanya cacat seperti cacat sirip, mata, kulit rusak dan sebagainya dapat
menurunkan harga.
Suryaningrum dan Bagus (1999) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat
kebugaran udang semakin lama udang dapat ditransportasikan dengan kelulusan
hidup yang tinggi.
Sedangkan menurut Praseno (1990), diacu dalam
Suryaningrum et al. (2008), kualitas ikan yang diangkut merupakan kriteria yang
sangat menentukan dalam keberhasilan proses transportasi ikan hidup. Menurut
Ayres dan Wood (1977), diacu dalam Suryaningrum et al. (2008), salah satu
syarat yang sangat menentukan keberhasilan transportasi lobster hidup adalah
kondisi kesehatan dan kebugaran lobster sebelum ditransportasikan.
2.5 Imotilisasi dengan Suhu Rendah
Imotilisasi berprinsip pada hibernasi, yaitu usaha menekan metabolisme
suatu organisme hingga kondisi minimum untuk mempertahankan hidupnya lebih
lama (Suryaningrum et al. 2004). Imotilisasi dapat dilakukan salah satunya
dengan menggunakan suhu rendah (Ikasari et al. 2008). Suhu air yang rendah
dapat menurunkan aktifitas dan tingkat konsumsi oksigen ikan (Coyle et al. 2004).
Pada imotilisasi ikan dengan suhu rendah, suhu diturunkan sedemikian rupa
sehingga diperoleh kondisi ikan dengan aktivitas ikan seminimal mungkin akan
tetapi masih dapat hidup dengan sehat setelah mengalami pembugaran kembali
(Wibowo 1993).
Imotilisasi dengan suhu rendah merupakan cara yang paling efektif,
ekonomis dan aman dalam mempersiapkan transportasi lobster air tawar
(Suryaningrum et al. 2007). Es batu sering digunakan sebagai bahan pembius
karena harganya yang relaif murah, mudah didapat dan aman karena tidak
mengandung bahan kimia yang dapat membahayakan manusia. Penurunan suhu
dapat dilakukan dengan merendam es batu dalam kantong plastik pada air bak
pemingsanan (Nitibaskara et al. 2006). Suhu dingin merupakan salah satu kunci
dalam transportasi ikan hidup, pada kondisi ini tingkat metabolisme dan respirasi
sangat rendah sehingga ikan atau crustacea dapat diangkut dengan waktu yang
lama dan tingkat kelulusan hidup yang tinggi (Berka 1986, diacu dalam
Suryaningrum et al. 2007).
Imotilisasi dimaksudkan agar ikan berada dalam aktivitas metabolisme dan
respirasi yang rendah sehingga ketahanan hidup di luar habitat hidupnya tinggi
(Berka 1986, diacu dalam Suryaningrum et al. 2007). Imotilisasi menggunakan
suhu rendah memiliki dua metode yaitu imotilisasi dengan penurunan suhu
bertahap dan imotilisasi dengan penurunan suhu langsung. Penurunan suhu
sampai batas tertentu akan menurunkan tingkat metabolisme dan akhirnya akan
menyebabkan ikan pingsan. Fase pingsan merupakan fase yang dianjurkan untuk
pengangkutan ikan, karena pada fase ini aktivitas ikan relatif akan berhenti
(Mc Farland 1959, diacu dalam Achmadi 2005).
Metode imotilisasi dengan penurunan suhu secara bertahap, yaitu ikan
dimasukkan ke dalam air yang beraerasi kemudian diimotilisasi dengan
menurunkan
suhu
air
secara
bertahap
sampai
suhu
tertentu
(Nitibaskara et al. 2006). Pada suhu tertentu yang dikehendaki, ikan
dipertahankan di dalam air selama waktu tertentu sampai ikan imotil. Pada
penurunan suhu bertahap ini ikan secara bertahap direduksi aktivitas, respirasi dan
metabolismenya
sampai
mencapai
titik
imotil
yang
diperlukan
(Nitibaskara et al. 2006). Selain itu, pada kondisi imotil tersebut aktivitas ikan
sudah cukup rendah atau bahkan sudah pingsan sehingga mudah ditangani untuk
transportasi. Metode ini secara praktis agak merepotkan, terutama jika udang atau
lobster yang akan dikemas banyak (Suryaningrum et al. 2004).
Perubahan perilaku udang windu akibat pembiusan penurunan suhu secara
bertahap hingga mencapai suhu pembiusan terbaik 15 oC disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Perubahan perilaku udang windu akibat pembiusan penurunan suhu
bertahap
Waktu
(menit)
0
10
19
25
29
37
43
52
Suhu
(oC)
26,0
23,5
20,0
18,7
17,5
16,3
15,7
15,0
Kondisi dan aktivitas udang
Udang normal, aktif dan berdiri kokoh
Udang masih berdiri, sebagian mulai lamban
Udang mulai tenang, tidak ada pergerakan
Udang melemah, respon mulai berkurang
Sebagian tenang dan lemah
Respon lemah, mulai limbung, sebagian miring
Udang mulai panik, kaki renang masih bergerak lemah
Udang merebah, semakin lemah, pingsan
Sumber: Gayatri (2000)
Hasil penelitian Wibowo et al. (2005), diacu dalam Suryaningrum
et al. (2007), memberikan informasi mengenai perubahan fisiologis lobster air
tawar pada berbagai suhu. Informasi tersebut digunakan untuk menentukan suhu
imotil dan suhu media selama transportasi. Menurut Suryaningrum dan Utomo
(1999), diacu dalam Andasuryani (2003), suhu media untuk transportasi sistem
kering berkisar atau sama dengan suhu imotilisasi. Adapun respon fisiologis
lobster air tawar terhadap penurunan suhu yang dilakukan secara bertahap
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Respon aktivitas fisiologis lobster air tawar pada berbagai suhu
No
1
Suhu (oC)
30,4-25,4
2
25,4-19,4
3
19,4-15,4
4
15,4-12,9
5
12,9-10,4
6
10,4-9,8
Perubahan aktivitas
Lobster bergerak aktif, kaki jalan, kaki renang dan kaki capit
bergerak aktif, lobster cenderung bergerombol (normal)
Aktivitas lobster mulai berkurang, kaki jalan, kaki renang dan kaki
capit bergerak perlahan-lahan, ekor melipat ke dalam, lobster
cenderung diam (tenang)
Lobster gelisah, bergerak tidak beraturan dengan menyentaknyentakkan tubuhnya mundur ke belakang, setelah panik lobster
tenang kembali, respon terhadap rangsang lemah (panik)
Lobster mulai hilang keseimbangan, gerakan lobster lemah, respon
terhadap rangsangan lemah, ketika posisi tubuh dibalik tidak dapat
tegak kembali
Lobster hilang keseimbangan, posisi tubuh rebah atau terbalik, kaki
jalan dan kaki renang diam
Keseimbangan lobster tidak ada, posisi tubuh terbalik, kaki jalan,
kaki renang dan capit kaku tidak bergerak, ekor melipat kea rah
abdomen, respon terhadap rangsangan tidak ada (pingsan)
Sumber: Wibowo et al. (2005), diacu dalam Suryaningrum et al. (2007)
Menurut Setiabudi et al. (1995), perubahan-perubahan tingkah laku tersebut
disebabkan adanya perubahan suhu. Menurut Phillips et al. (1980), diacu dalam
Suryaningrum et al. (1997), laju konsumsi oksigen hewan air akan menurun
dengan menurunnya suhu media. Penurunan konsumsi oksigen pada lobster akan
mengakibatkan jumlah oksigen yang terikat dalam darah semakin rendah.
Keadaan ini akan mengakibatkan suplai oksigen ke jaringan syaraf juga berkurang
sehingga menyebabkan berkurangnya aktivitas fisiologis dan lobster menjadi
lebih tenang (Suryaningrum et al. 1997).
Metode imotilisasi dengan penurunan suhu secara langsung, yaitu dilakukan
dengan cara memasukkan ikan hidup dalam media air dingin pada suhu tertentu
selama waktu tertentu sampai ikan imotil. Waktu dan suhu imotilisasi dipengaruhi
oleh ukuran, umur dan jenis ikan. Melalui imotilisasi dengan penurunan suhu
secara langsung ini ikan akan mengalami shock dan langsung berada dalam
tingkat aktivitas, respirasi dan metabolisme yang rendah. Selain itu, pada kondisi
imotil tersebut aktivitas ikan sudah cukup rendah atau bahkan sudah pingsan
sehingga mudah ditangani untuk transportasi (Nitibaskara et al. 2006).
Tingkah laku ikan mas selama proses pemingsanan dengan suhu rendah
8 oC secara langsung disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Tingkah laku ikan mas selama proses pemingsanan dengan suhu rendah
8 oC secara langsung
Waktu
(menit)
0
5
10
Suhu
(oC)
8
8
8
15
8
20
8
Kondisi dan aktivitas lobster
Aktivitas normal
Ikan kelihatan panik, bergerak tidak beraturan
Ikan shock ditandai dengan gerakan tak terkendali, kemudian ikan
mulai oleng
Ikan rebah disertai operkulum bergerak lambat. Ikan tidak
bergerak jika disentuh
Tidak ada aktivitas, operkulum bergerak lemah disertai terjadinya
kekejangan otot yang mulai kaku
Sumber: Jailani (2000)
Beberapa komoditas hasil perikanan yang dapat ditransportasikan dalam
keadaan hidup dan dikemas dalam media tanpa air (transportasi sistem kering)
menggunakan metode pembiusan suhu rendah adalah ikan, lobster dan udang.
Udang yang memiliki nilai jual yang tinggi di Jepang, yaitu Penaeus japonicas,
karena udang tersebut ditransportasikan hidup dengan pembiusan suhu rendah
dalam kemasan serbuk gergaji dingin (Shigueno 1975, diacu dalam Salin 2005).
Beberapa Penaeid lainnya diantaranya adalah Penaeus esculentus (Haswell),
P. monodon (Fabricus), P. semisulcatus (De Haan) dan Melicertus (Penaeus)
plebejus (Hess) telah dicoba di Australia sebagai spesies alternatif untuk
M. japonicus dalam pemasaran hidup ke Jepang (Goodrick, Paterson dan Grauf
1995, diacu dalam Salin 2005). Menurut Salin dan Vadhyar (2001) percobaan
penyimpanan hidup P. monodon tanpa media air dengan suhu pembiusan
14 ± 1 oC dalam serbuk gergaji dingin telah sukses. Teknologi pengangkutan
hidup yang sama tersebut juga telah dicobakan pada udang air tawar. Udang air
tawar hidup biasanya masih menggunakan media pengangkutan air yang kurang
aman, beresiko tinggi dan kurang efisien. Transportasi dengan sistem kering dapat
menjadi pilihan tepat, apabila kondisi optimalnya diketahui dan merupakan cara
yang efisien dan aman meskipun beresiko tinggi.
Ikan mas dapat dipingsankan dengan suhu rendah secara bertahap selama
30 menit dan secara langsung selama 10 menit pada suhu 6-7 oC dengan tingkat
kelulusan hidup sebesar 40% setelah 7 jam penyimpanan. Ikan kakap dapat
dipingsankan dengan suhu rendah pada suhu 10-11 oC (Nitibaskara et al. 2006).
Ikan mas yang dipingsankan dengan suhu rendah secara langsung pada suhu
o
8 C dan dikemas dalam styrofoam berukuran 30x30x40 cm3 dengan kepadatan
5 ekor ikan selama 5 jam memiliki tingkat kelulusan hidup 40 % (Jailani 2000).
Udang yang dipingsankan pada suhu 18 oC secara langsung selama 15 menit
memiliki tingkat kelulusan hidup sebesar 40 % setelah dikemas selama 22 jam
(Nitibaskara et al. 2006). Udang windu tambak yang dibius menggunakan suhu
rendah secara langsung pada suhu 17-19 oC dapat dipertahankan kelangsungan
hidupnya sebesar 93,75 % di dalam media serbuk gergaji dingin dalam uji
transportasi selama 16 jam (Setiabudi et al. 1995). Lobster hijau pasir (Panulirus
homarus) yang dibius menggunakan suhu rendah secara langsung pada suhu
14-15 oC selama 20 menit dapat bertahan hidup selama 20 jam dengan kelulusan
hidup 100 % (Suryaningrum at al. 1994).
Lama pembiusan yang terjadi pada proses pembiusan berbeda-beda . Hal ini
disebabkan fase panik yang terjadi saat proses pembiusan. Menurut Karnila dan
Edison (2001), fase panik tersebut dipengaruhi oleh suhu pembiusan. Ikan sangat
sensitif dengan adanya perubahan suhu air (Subasinghe 1997). Pada fase panik,
respirasi akan meningkat dengan tajam kemudian turun sampai mencapai respirasi
terendah yang menyebabkan ikan pingsan. Tingkat respirasi yang cukup rendah
menyebabkan lobster terganggu keseimbangannya sehingga lobster tidak dapat
menyangga
tubuhnya
sendiri
dan
jatuh
dengan
posisi
tubuh
miring
(Suryaningrum et al. 2008).
Pada kondisi shock, ikan banyak melakukan gerakan yang berlebihan pada
saat proses pembiusan. Kondisi shock tersebut menyebabkan ikan cepat
mengalami kematian karena ikan yang stres akan mengalami peningkatan asam
laktat dalam darah. Jika asam laktat terakumulasi dalam darah cukup tinggi akan
mempercepat terjadinya proses kematian (Afrianto dan Liviawaty 1989, diacu
dalam Utomo 2001). Faktor lingkungan dapat menjadi salah satu faktor penyebab
stress pada ikan (Lerner 2004).
Parameter penting dalam pembiusan pada suhu rendah yang cukup
berpeluang dalam menunjang kelulusan hidup ikan adalah metode pembiusan,
waktu
pembiusan
dan
suhu
pembiusan
yang
digunakan
(Suryaningrum et al. 1994). Imotilisasi dengan suhu rendah memiliki keuntungan
diantaranya ekonomis karena es mudah didapat dan aman karena tidak terdapat
residu bahan kimia (Suryaningrum et al. 1997).
Ada beberapa keuntungan dan kerugian metode imotilisasi dengan
penurunan suhu langsung dan bertahap. Pemingsanan dengan penurunan suhu
secara bertahap dapat menimbulkan stress pada ikan dan memerlukan waktu yang
panjang hingga ikan pingsan, sedangkan dengan penurunan suhu secara langsung
dapat mengurangi stress selama proses pemingsanan dan mempercepat proses
pemingsanan (Nitibaskara et al. 2006).
Tingkat keberhasilan transportasi ikan hidup diukur dari besarnya nilai
tingkat kelulusan hidupnya (survival) atau nilai kematiannya (mortalitas). Pada
transportasi ikan hidup sistem kering, setelah ikan ditransportasikan kemudian
ikan disadarkan kembali (proses pembugaran) dengan aerasi secara terus menerus
untuk mengetahui tingkat kelulusan hidupnya. Penggunaan aerasi bertujuan untuk
membantu penambahan udara ke dalam air sehingga kadar oksigen terlarut dalam
air menjadi cukup (Boyd 1982).
Piper et al. (1982), diacu dalam
Nitibaskara et al. (2006) menyatakan bahwa kandungan oksigen terlarut di atas
5 mg/l dapat menjamin ikan tidak akan mengalami stress. Proses pembugaran
bertujuan untuk memulihkan kembali kondisi ikan. Suhu media pembugaran
disesuaikan dengan habitat ikan (Achmadi 2005).
Pada proses pembugaran udang dan lobster yang hidup akan berenang,
mula-mula udang atau lobster akan limbung tetapi kondisinya akan normal
kembali setelah berada dalam air selama 30 menit (Suryaningrum et al. 2004).
Menurut Achmadi (2005), ikan yang tidak menunjukkan adanya tanda-tanda
pergerakan anggota tubuh setelah 10 menit waktu pembugaran dianggap tidak
lulus hidup.
2.6 Pengemasan
Menurut Hambali et al. (1990), diacu dalam Jailani (2000), pengemasan
merupakan suatu cara untuk melindungi atau mengawetkan produk pangan
maupun non pangan. Pengemasan tidak hanya bertujuan untuk mengawetkan
produk yang dikemas, tetapi juga merupakan penunjang bagi transportasi,
distribusi dan merupakan bagian penting dari usaha untuk mengatasi persaingan
dalam pemasaran.
Menurut Subasinghe (1997), kebanyakan eksportir mengemas udang atau
lobster dalam satu kotak pengemas sebanyak empat sampai lima lapis yang
masing-masing diselingi serbuk gergaji, setelah itu kotak pengemas disegel
dengan lakban. Suhu kemasan yang berukuran 50x50x50 cm3 agar dapat
dipertahankan
sama
dengan
suhu
pembiusan
maka
disarankan
untuk
menggunakan es seberat 0,5-1 kg yang dibungkus dengan plastik. Es ini
diletakkan di bagian atas atau bawah kemasan. Cara lainnya adalah meletakkan es
ini di sudut kemasan. Es ini dimasukkan ke dalam plastik kemudian dibungkus
dengan kertas koran. Suhu kotak styrofoam yang berukuran 40x60x40 cm3 dapat
dipertahankan sama dengan suhu pembiusan dengan menambahkan es seberat
0,5 kg sedangkan yang berukuran 30x30x40 cm3 dan 40x30x30 cm3 dengan
menambahkan es seberat 0,3-1 kg dan 0,5 kg yang dibungkus dengan plastik. Es
ini diletakkan di bagian bawah kemasan (Setiabudi et al. 1995; Jailani 2000;
Suryaningrum et al. 2004; Handini 2008).
Pengangkutan ikan hidup sistem media bukan air menggunakan bahan
pengisi atau media. Macam bahan pengisi yang dapat digunakan antara lain sekam
padi, serutan kayu, serbuk gergaji dan rumput laut. Fungsi utama bahan pengisi
dalam pengangkutan hidup media bukan air adalah untuk mencegah udang atau
lobster hidup agar tidak bergeser dalam kemasan, menjaga lingkungan suhu
rendah agar udang tetap pingsan atau imotil dan memberi lingkungan udara yang
memadai untuk kelangsungan hidup udang atau lobster. Bahan media kemasan
yang digunakan harus memperhatikan kestabilan suhu media kemasan. Suhu
media kemasan harus dapat dipertahankan serendah mungkin mendekati titik
imotil. Hal ini disebabkan suhu media kemasan berperan dalam mempertahankan
tingkat terbiusnya udang atau lobster selama pengangkutan sehingga ikut
mempertahankan ketahanan hidup udang atau lobster dalam media bukan air
(Junianto 2003). Menurut Suryaningrum et al. (1994), suhu akhir media ideal
untuk transportasi sistem kering sebaiknya tidak lebih dari 20 oC.
Menurut Utomo (2001), pada saat ikan dipingsankan dan disimpan dalam
kemasan tanpa air, katup insangnya masih mengandung air sehingga oksigen
masih dapat diserap walaupun sangat sedikit. Pada proses pengemasan, kertas
koran dapat digunakan sebagai pembungkus ikan. Penggunaan kertas koran
sebagai pembungkus ikan dapat memberikan keuntungan yaitu kondisi ikan tetap
bersih setelah ikan dibongkar dan mencegah serbuk gergaji masuk ke dalam
insang (Nitibaskara at al. 2006).
Bahan pengisi yang paling efektif dan efisien dalam pengangkutan
organisme hidup adalah serbuk gergaji karena teksturnya baik dan seragam.
Serbuk gergaji yang akan digunakan diberi perlakuan terlebih dahulu untuk
menghilangkan kotoran atau terpenten (bau) yaitu dengan pencucian dan
perendaman (Junianto 2003).
Secara umum ketebalan serbuk gergaji yang digunakan berkisar antara
0,5 cm sampai 10 cm. Menurut Junianto (2003), pada dasar wadah diisi bahan
pengisi yang disebar merata membentuk lapisan tipis dengan tebal 0,5-1 cm.
Menurut Nitibaskara et al. (2006), lapisan dasar wadah ditaburkan serbuk gergaji
dengan tebal 10-15 cm. Menurut Suryaningrum et al. (2004), di atas koran
ditaburi serbuk gergaji dingin dengan ketebalan 5-10 cm, sehingga kontak
langsung antara ikan dan es dapat dihindari.
Menurut Srikirishnadhas dan Kaleemur (1994), penggunaan serbuk gergaji
sebagai media kemasan dapat dikombinasikan dengan jerami atau sisa potongan
karung goni. Bahan-bahan tersebut sebelum digunakan didinginkan dalam freezer,
setelah bahan pengisi disiapkan maka perlu disiapkan es batu untuk membantu
menjaga suhu kemasan tetap rendah. Pada lapisan dasar kotak pengemas
disebarkan serbuk gergaji kira-kira 0,5 cm, kemudian di atasnya ditempatkan
lapisan jerami.
Download