9 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL
PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Kemitraan Bidan dengan Dukun
2.1.1.1 Pengertian
Kemitraan bidan dengan dukun adalah bentuk kerjasama antara bidan dan
dukun, di mana kerjasama ini harus saling menguntungkan kedua belah pihak dan
atas dasar transparansi, kesamaan serta rasa saling percaya untuk meningkatkan
derajat kesehatan ibu dan bayi. Peran bidan dalam dalam bermitra adalah menolong
kelahiran serta mengalihfungsikan dukun yang pada awalnya menolong persalinan
menjadi rekan kerja untuk merawat ibu dan bayi (Depkes, 2008).
Hasil penelitian Rukmini dan Ristrini (2006) di Provinsi Jawa Timur dan
Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa sebagian besar dukun bayi mempunyai
hubungan kerjasama dengan bidan di desanya dan hanya terdapat 20% dukun bayi
yang tidak membangun hubungan kerjasama dengan para bidan. Kerjasama ini tidak
mencakup semua hal yang berkaitan dengan kehamilan dan persalinan. Di Kabupaten
Tuban misalnya, kerjasama ini dibangun hanya khusus untuk pertolongan persalinan.
Penelitian lain di Kabupaten Bangkalan, Banjar dan Tanah Laut menunjukkan bahwa
antara dukun dengan bidan tidak terjalin kerjasama yang baik karena masih banyak
masyarakat yang menggunakan jasa dukun untuk menolong persalinan. Penelitian
9
10
lain yang dilakukan oleh Budiyono dkk (2011) di Kabupaten Demak menunjukkan
bahwa ada kerjasama yang baik antara bidan dengan dukun, walaupun masih ada
dukun yang belum mau bekerjasama dengan para bidan dalam menolong persalinan.
Penelitian Rosmadewi dan Metti (2012) di Puskesmas Tanjung Sari Kabupaten
Lampung Selatan menunjukkan bahwa kemitraan antara bidan dan dukun sudah
terjalin dengan baik. Indikatornya, dukun sudah menyadari bahwa yang mempunyai
kewenangan dalam menolong persalinan adalah tenaga kesehatan. Idealnya,
kemitraan bidan dengan dukun merupakan bentuk kerjasama yang harus saling
menguntungkan
dengan
menerapkan
prinsip
keterbukaan,
kesetaraan
dan
kepercayaan.
Bentuk kerjasama antara bidan dengan dukun dilakukan sejak kehamilan,
persalinan, dan masa nifas di mana antara bidan dan dukun sudah ditetapkan
pembagian peran masing-masing dalam bermitra. Di Provinsi Jawa Timur dan
Kalimantan Selatan, bentuk kerjasama antara bidan desa dan dukun bayi terjadi
sejak pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, rujukan persalinan yang
mengalami komplikasi, merawat ibu pasca melahirkan dan merawat bayi baru lahir.
Kerjasama terjadi bila ibu melahirkan meminta bantuan kepada dukun dan bidan
secara bersamaan atau bila dukun bayi tidak mampu melakukan pertolongan sendiri
(Ristrini & Rukmini, 2006). Di Puskesmas Mranggen I Kabupaten Demak bentuk
kerjasama belum ditetapkan secara pasti karena belum tertuang dalam sebuah
kesepakatan tertulis.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka pada hakikatnya kemitraan antara
bidan dengan dukun dibangun untuk membantu persalinan. Untuk itu sebagai sebuah
11
bentuk kerjasama yang
bertujuan untuk membantu persalinan, maka kemitraan
antara dukun dan bidan harus diorganisasi dengan baik sehingga antara kedua belah
pihak mengetahui selanjutnya menyadari peran masing-masing dalam membantu
persalinan. Prinsipnya adalah kepentingan ibu bersalin menjadi perhatian utama
dalam kemitraan yang dibangun.
2.1.1.2 Ruang Lingkup Kemitraan Bidan dan Dukun
Ruang lingkup kegiatan kemitraan mencakup masukan, proses dan luaran
program.
1. Input
Meliputi penyiapan tenaga, penyiapan biaya operasional, penyiapan sarana
kegiatan bidan dan saran dukun, serta metode /mekanisme pelaksanaan kegiatan.
2. Proses
Proses yang dimaksudkan adalah lingkup kegiatan kerja bidan dan kegiatan
dukun.Kegiatan bidan mencakup aspek teknis kesehatan dan kegiatan dukun
mencakup aspek non teknis kesehatan. Tugas dukun ditekankan pada alih peran
dukun dalam menolong persalinan menjadi merujuk ibu hamil dan merawat ibu
nifas dan bayi baru lahir berdasarkan kesepakatan antara bidan dengan dukun.
3. Output
Kemitraan bidan dengan dukun adalah pencapaian target upaya kesehatan ibu dan
anak antara lain meningkatnya dukungan berbagai pihak (LP/LS) terkait,
meningkatnya jumlah bidan dengan dukun yang bermitra, meningkatkan rujukan
oleh dukun, meningkatnya cakupan pertolongan persalinan serta meningkatnya
deteksi risti / komplikasi oleh masyarakat.
12
2.1.1.3 Prinsip Kemitraan Bidan dan Dukun
Kemitraan hanya dapat dibentuk bila ada lebih dari satu orang atau satu
organisasi yang akan bekerjasama, dalam hal ini adalah bidan dan dukun bayi. Untuk
mencapai suatu kemitraan ada beberapa prinsip yang digunakan:
1. Kesetaraan
Kesetaraan
yang
dimaksud
adalah
saling
menghargai
pengetahuan,
pengalaman,keberadaan dan keahlian mitranya. Jadi harus dimulai dari menerima
mitra apa adanya setara dengan dirinya.
2. Keterbukaan
Keterbukaan yang dimaksud adalah kemauan bersama untuk menjelaskan
perasaan dan keinginannya serta membicarakan persoalan masing-masing yang
masih harus diuji kebenarananya. Antara bidan dan dukun bayi harus dibuat
suasana yang tidak membuat satunya merasa lebih rendah, lebih pintar dan lebih
mampu.
3. Saling Menguntungkan
Kemitraan yang dimaksud adalah tidak ada yang kehilangan atau kerugian yang
diterima pada salah satu pihak, tetapi terjadi sinergi dari para pihak. Dengan
demikian harus dicari hal apa yang dapat disinergikan dan menyebabkan
keuntungan lebih besar untuk para pihak yang bermitra.
13
2.1.1.4 Landasan Kemitraan Bidan dan Dukun
Dalam suatu kerjasama yang berprinsip kemitraan ada beberapa landasan
yang harus dipenuhi para pihak yang bermitra atau biasa disebut tujuh saling, yaitu:
1. Saling Memahami Kedudukan, Tugas dan Fungsi
Bidan memiliki tugas dan fungsi utama dalam membantu persalinan ibu hamil.
Dukun bayi tidak melakukan tugas dan fungsi dalam membantu persalinan ibu
secara langsung. Tugas dan fungsi dukun bayi adalah mendorong agar proses
rujukan ibu bayi hanya kepada bidan atau tenaga kesehatan terlatih.
2. Saling Memahami Kemampuan Masing-masing
Bidan memiliki kemampuan teknis dan tugas utama dalam membantu persalinan
ibu sedangkan dukun bayi memiliki pengaruh dan dipercaya masyarakat. Masingmasing kemampuan tersebut saling sinergi dan perlu dioptimalkan dalam
mendukung persalinan yang aman dan selamat bagi ibu.
3. Saling Menghubungi
Optimalisasi kemitraan antara bidan dan dukun bayi perlu terus ditingkatkan
dengan upaya saling menghubungi di antara masing-masing.
4. Saling Mendekati
Bidan lebih banyak berada di unit pelayanan (Puskesmas, Pustu, atau Poskesdes),
sedangkan dukun bayi sering dikunjungi atau mengunjungi ibu hamil. Untuk itu
perlu kiranya para pihak tersebut saling mendekati, seperti: mendorong dukun
bayi juga aktif datang ke posyandu, pustu, poskesdes ataupun Puskesmas.
Demikian pula dengan bidan desa untuk lebih aktif mengunjungi dukun bayi.
5. Saling Bersedia Membantu dan Dibantu
14
Pada umumnya bidan yang ditugaskan di desa masih relatif muda, terutama di
daerah terpencil dan kurang banyak pengalaman dan kepercayaan dari masyarakat
dibandingkan dukun bayi. Pada sisi lain, dukun bayi dengan pengalaman yang
cukup banyak dan disegani oleh masyarakat tidak memiliki keterampilan medis.
Karenanya dukun bayi tidak bisa mendeteksi persoalan komplikasi kehamilan ibu
serta penanganannya secara medis. Hal tersebut perlu saling disadari dengan cara
sifat bersedia membantu dan dibantu.
6. Saling Mendorong dan Mendukung
Bidan perlu terus mendorong dan mendukung dukun bayi untuk tetap dihargai
oleh masyarakat. Demikian pula sebaliknya, dukun bayi perlu mendukung proses
persiapan dan pasca persalinan yang dilakukan oleh bidan.
7. Saling Menghargai
Saling menghargai antara bidan dan dukun bayi sangat penting. Dukun bayi telah
ada di masyarakat jauh sebelum keberadaan bidan ataupun perkembangan ilmu
kebidanan. Dukun bayi perlu menghargai perkembangan ilmu dan teknologi
kebidanan yang dimiliki dan ditugaskan oleh pemerintah.
2.1.1.5 Pihak-pihak yang Terlibat dalam Kemitraan Bidan dan Dukun
Pihak-pihak yang terlibat dalam kemitraan bidan dan dukun bayi bukan saja
pihak di desa/kelurahan, namun juga pihak-pihak terkait di tingkat kabupaten/kota
dan kecamatan. Berikut para pihak tersebut serta perannya.
15
1. Tingkat Kabupaten
a. Dinas Kesehatan sebagai koordinator dalam program kemitraan bidan dan
dukun bayi.
b. Dalam program ini juga dilibatkan peran multi pihak seperti SKPD yang terkait
urusan kesehatan (Dinas Kesehatan, RSUD, Badan Pemberdayaan Perempuan
dan Keluarga Berencana, Dinas Sosial, Badan Pemberdayaan Masyarakat
Desa), Tim Penggerak PKK tingkat Kabupaten, organisasi profesi kesehatan,
akademisi, perguruan tinggi, LSM yang bergerak di bidang kesehatan, serta
yang tak kalah penting adalah melibatkan DPRD (khususnya Komisi yang
membidangi kesehatan).
c. Dinas Kesehatan akan membentuk tim yang terdiri dari berbagai pihak tersebut
di atas. Tim tersebut akan bertugas memberikan pembinaan, pengawasan dan
evaluasi secara berkala terhadap pelaksanaan program ini.
2. Tingkat Kecamatan
Pada skala kecamatan akan didampingi oleh camat, kepala puskesmas, PKK
tingkat kecamatan, dan kelompok kerja operasional (Pokjanal) desa siaga tingkat
kecamatan. Kerjasama tersebut untuk mendampingi, mengawasi dan evaluasi
program kemitraan bidan dan dukun bayi secara berkala di tingkat kecamatan.
3. Tingkat Desa/Kelurahan
Pada skala desa/kelurahan, maka kepala desa/lurah bersama dengan kelompok
PKK, pengurus desa siaga, tokoh agama dan tokoh masyarakat akan
mendampingi, memberikan pembinaan dan melakukan evaluasi proses kemitraan
secara berkala di tingkat desa/kelurahan bersama dengan bidan dan dukun bayi.
16
2.1.1.6 Peran Bidan dan Dukun dalam Pelaksanaan Kemitraan
Peran bidan dan dukun dalam pelaksanakan program kemitraan dapat dilihat
pada tabel di bawah ini.
Tabel 2.1
Peran Bidan dan Dukun dalam Masa Kehamilan
Bidan
Dukun
1. Melakukan pemeriksaan ibu hamil
1. Memberikan motivasi ibu hamil
(keadaan umum, menentukan taksiran
partus, menentukan keadaan janin
dalam
kandungan,
pemeriksaan
laboratorium yang diperlukan)
(pemberian imunisasi TT, pemberian
tablet Fe, pemberian pengobatan atau
tindakan apabila ada komplikasi)
3. Melakukan penyuluhan dan konseling
4. Melakukan kunjungan rumah
rujukan
diperlukan
6. Melakukan pencatatan
7. Membuat laporan
2. Mengantar ibu hamil yang tidak
mau periksa ke bidan
3. Membantu
2. Melakukan tindakan pada ibu hamil
5. Melakukan
untuk periksa ke bidan
bidan
masa
pemeriksaan ibu hamil
4. Melakukan penyuluhan pada ibu
hamil dan keluarga
5. Memotivasi
ibu
hamil
dan
keluarga tentang KB
6. Melakukan
apabila
pada
ritual
yang
berhubungan dengan adat dan
keagamaan
7. Melakukan motivasi pada saat
rujukan diperlukan
8. Melaporkan ke bidan apabila ada
ibu hamil baru
17
Tabel 2.2
Peran Bidan dan Dukun dalam Masa Persalinan
Bidan
1.
Dukun
Mempersiapkan sarana prasarana
persalinan aman dan alat resusitasi
bayi baru lahir
2.
Memantau
kemajuan
persalinan
Melakukan asuhan persalinan
4.
Melaksanakan
inisiasi
menyusu
dini dan pemberian ASI segera dari
3. Mempersiapkan
sarana
prasarana
persalinan aman seperti
air bersih
dan kain bersih
1 jam
4. Mendampingi ibu saat bersalin
Injeksi vit K1 dan salep mata
5. Membantu bidan pada saat proses
antibiotik pada bayi baru lahir
7.
alat transportasi untuk pergi ke bidan
atau memanggil bidan
3.
6.
bidan
2. Mengingatkan keluarga menyiapkan
sesuai dengan partograf
5.
1. Mengantar calon ibu bersalin ke
persalinan
Melakukan perawatan bayi baru
6. Melakukan ritual (jika ada atau perlu)
lahir
7. Membantu bidan dalam merawat bayi
Melakukan
tindakan
PPGDON
apabila mengalami komplikasi
8.
Melakukan rujukan bila diperlukan
9.
Melakukan pancatatan persalinan
10. Membuat laporan
baru lahir
8. Membantu
bidan
dalam
inisiasi
menyusu dini kurang dari 1 jam
9. Memotivasi rujukan bila diperlukan
9. Membantu bidan membersihkan ibu,
tempat dan alat setelah persalinan
18
Tabel 2.3
Peran Bidan dan Dukun dalam Masa Nifas
Bidan
1.
Dukun
Melakukan kunjungan neonatal dan
sekaligus pelayanan nifas
2.
Melakukan
penyuluhan
memberikan penyuluhan tentang
dan
(tanda-tanda bahaya dan penyakit
konseling pada ibu dan keluarga
ibu nifas, tanda-tanda bayi sakit,
(tanda-tanda bahaya dan penyakit
kebersihan
ibu nifas, tanda-tanda bayi sakit,
lingkungan, kesehatan dan gizi,
kebersihan pribadi dan lingkungan,
perawatan
kesehatan dan gizi, ASI Eksklusif,
perawatan payudara)
parawatan tali pusat, KB setelah
melahirkan)
3.
1. Melakukan kunjungan rumah dan
Melakukan
pribadi
tali
pusat
dan
dan
2. Memotivasi ibu dan keluarga
untuk ber-KB setelah melahirkan
rujukan
diperlukan
4.
Melakukan pencatatan
5.
Membuat laporan
apabila
3. Melakukan ritual agama (jika ada
atau perlu)
4. Memotivasi
rujukan
bila
diperlukan
5. Melaporkan ke bidan apabila ada
calon akseptor KB
Dalam proses alih peran dan pembagian tugas antara bidan dengan dukun
perlu disepakati mekanisme kemitraan yang dijalin antara mereka. Meskipun
mekanisme sangat beragam tergantung keadaan, tetapi ada beberapa hal penting yang
harus disepakati (dituangkan secara tertulis dalam nota kesepakatan antara bidan –
dukun) yaitu mekanisme rujukan informasi ibu hamil, mekanisme rujukan kasus
persalinan, mekanisme pembagian biaya persalinan dan jadwal pertemuan rutin
bidan dengan dukun.
19
2.1.1.7 Langkah-langkah Kemitraan Bidan dan Dukun
1. Pendataan kesehatan ibu dan anak
Langkah ini dilakukan untuk mengidentifikasi masalah yang terkait dengan
kesehatan ibu dan bayi, serta potensi untuk penanganan masalah melalui
kemitraan dukun dan bidan.
2. Identifikasi potensi yang mendukung kemitraan
Dalam membangun kemitraan, perlu dilakukan identifikasi terhadap potensi yang
mendukung kemitraan. Potensi tersebut diantaranya adalah jumlah dan sebaran
dukun, kebiasaan atau budaya local masyarakat yang mendukung kemitraan,
dukungan pemerintah desa/kelurahan dalam peningkatan pelayanan kesehatan
masyarakat serta sumber pendanaan untuk mendukung kemitraan. Potensi ini
dapat menjadi dasar dalam membangun kemitraan.
3. Membangun dukungan para pihak
Dari langkah ini diharapkan muncul komitmen pemerintah untuk hadir pada
pertemuan pembentukan kesepakatan antara bidan dan dukun bayi, komitmen
untuk mendukung melalui program dan anggaran daerah, serta komitmen untuk
mendorong pembentukan regulasi yang menjamin keberlangsungan kemitraan
tersebut.
4. Pembentukan regulasi daerah
Meski telah dibangun kesepakatan dan kesepahaman antara peran dan tugas bidan
dan dukun bayi dalam kemitraan serta telah didukung komitmen informal atas
nama pemerintah daerah, hal tersebut juga perlu didukung dengan dengan
pembentukan regulasi daerah Peran para pihak dan konsekuensi pembiayaan perlu
20
dituangkan dalam regulasi daerah agar dapat dijamin oleh program dan angggaran
pemerintah daerah. Proses pembentukan regulasi daerah dapat berupa peraturan
kepala daerah ataupun peraturan daerah. Regulasi ini selain dapat memberikan
jaminan ketersediaan dana dalam mendukung kemitraan juga mendorong
pemenuhan ketersediaan dan distribusi bidan yang lebih merata di desa-desa
terpencil sebagai syarat terbentuknya kemitraan.
5. Koordinasi dan peningkatan kapasitas bagi dukun bayi
Koordinasi dan peningkatan kapasitas bagi dukun bayi merupakan langkah untuk
optimalisasi pelaksanaan peran dan tugas masing-masing.
6. Pemantauan dan penilaian
Untuk mengetahui keberhasilan kegiatan diperlukan adanya langkah pemantuan
dan evaluasi yang dilakukan sercara terus menerus (bekesinambungan). Kegiatan
memantau dan menilai untuk melihat apakah semua kegiatan telah dilaksanakan
sesuai rencana yang ditetapkan.
7. Mempersiapkan sarana dan prasarana pendukung
Dalam pelaksanaan kemitraan bidan dan dukun bayi dibutuhkan sarana dan
prasarana pendukung yang juga merupakan prasyarat keberhasilan pelaksanaan
kemitraan tersebut. Beberapa prasarana dasar yang perlu ada dalam pemberian
pelayanan oleh bidan atau tenaga kesehatan adalah: Puskesmas, Pustu, Poskesdes,
Polindes, Rumah Tunggu Kelahiran, Posyandu, yang dilengkapi listrik dan air
bersih.
Sedangkan sarana yang dibutuhkan dalam menunjang kemitraan, diantaranya:
mobiler: tempat tidur lengkap, lemari, meja, kursi, kain tirai; alat kesehatan
21
(alkes): Bidan kit, dopler, sungkup/amubag, tabung oksigen, tiang infus,
incubator, timbangan bayi, balita dan timbangan ibu hamil, alat pengukur panjang
badan bayi; buku pegangan bidan, dukun bayi dan alat tulis; baju seragam dukun
bayi (dimaksudkan untuk memberi rasa bangga dan sebagai pengakuan atas status
dan peranan mereka di masyarakat), peralatan P3K (Pertolongan Pertama Pada
Kecelakaan); media penyuluhan: lembar balik penyuluhan, film tentang KIA,
brosur, poster, dan lain-lain.
8. Administrasi dan pelaporan
Secara administratif, dukun bayi juga menyusun laporan kegiatan yang dicatat
dalam buku laporan dukun bayi. Buku laporan tersebut disesuaikan dengan
kebijakan puskesmas dan kemudahan pembuatan oleh dukun bayi. Pembuatan
laporan dapat dilakukan bersama-sama antara kader posyandu dan dukun bayi
sehingga kader dapat membantu dukun bayi yang mengalami kesulitan dalam
pembuatan laporan.
9. Pembiayaan
Sumber pembiayaan kemitraan dukun dan bidan berasal dari APBD (melalui
dinas kesehatan dan puskesmas), dana BOK (Bantuan Operasional Khusus)
puskesmas, dana jaminan persalinan (jampersal), sumber dana dari pihak ketiga,
ataupun dana dari swadaya masyarakat desa. Dana-dana tersebut dipergunakan untuk
membiayai: pendataan kesehatan ibu dan anak; pertemuan-pertemuan koordinasi di
tingkat kabupaten/kota; pelatihan-pelatihan bagi bidan dan dukun bayi, pemberian
transport bagi dukun bayi setiap kali mengantarkan ibu hamil untuk memeriksakan
kehamilan di fasilitas kesehatan, insentif untuk dukun bayi untuk setiap persalinan
22
yang dirujuk ke bidan; pelatihan-pelatihan berkala bagi bidan, dukun bayi,
penyediaan sarana dan prasarana pendukung kemitraan; penyusunan regulasi daerah
tentang kemitraan bidan, dukun bayi pembiayaan lain sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan keuangan daerah.
2.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemitraan Dukun dengan Bidan
Bedasarkan sejumlah penelitian, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
kemitraan bidan dengan dukun mencakup persepsi, pengetahuan, budaya, sikap,
pengalaman, dukungan khususnya dari stakeholder.
Penelitian Salham dkk (2008) di Sulawesi Tengah menunjukkan adanya
saling pesimis antara bidan dengan dukun terhadap peran masing-masing dalam
bermitra. Para bidan berpandangan bahwa aktifitas dukun bayi sebaiknya harus
dibatasi. Sudah saatnya para dukun tidak diberi peluang untuk menolong persalinan.
Sementara itu, para dukun kurang dapat menerima keberadaan para bidan sebab
dianggap dapat mengurangi “rizki” mereka atau bahkan mengabaikan keberadaan
mereka. Para dukun merasa bahwa posisi mereka akan tergeser dengan kehadiran
bidan desa, sementara profesi ini merupakan salah satu sumber penghasilan utama
mereka. Keadaan ini berujung pada buruknya komunikasi antara bidan dengan para
dukun. Sementara itu penelitian Sudirman dan Sakung (2006) di Kabupaten
Donggala menunjukkan bahwa para bidan menilai para dukun bayi sudah tidak
cocok lagi dalam memberi pertolongan persalinan dan sebaiknya sudah harus
dibatasi bahkan dihentikan dari aktivitas menolong persalinan. Alasannya, para
dukun bayi yang tidak terlatih umumnya masih menggunakan praktik-praktik
tradisional yang bisa membahayakan keselamatan ibu dan anak. Oleh karena itu
23
bidan berpandangan bahwa sebaiknya dukun bekerjasama dengan bidan dalam
merawat ibu hamil, menolong persalinan dan merawat bayi sehingga dapat
meningkatkan derajat kesehatan ibu dan anak.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Anggorodi (2009) menunjukkan bahwa
dukun yang tidak bermitra mengganggap istilah kemitraan sebagai bentuk kerja
yang tidak mutlak atau bergantung pada kebutuhan. Artinya bagi dukun jika suatu
kasus persalinan masih bisa ditangani sendiri maka mereka tidak harus meminta
bantuan tenaga kesehatan.
Kemitraan bidan dan dukun merupakan suatu bentuk kerjasama yang saling
menguntungkan atas dasar prinsip keterbukaan dan kepercayaan. Di
Indonesia,
program kemitraan ini telah dicanangkan oleh Kementerian Kesehatan dalam upaya
percepatan penurunan angka kematian ibu dan bayi. Hasil penelitian Budiyono dkk
(2011) menunjukkan bahwa para stakeholder (camat, kepala desa, tokoh masyarakat)
sangat setuju dan mendukung adanya kemitraan antara bidan dan dukun. Bentuk
dukungan yang diberikan antara lain berupa memberikan sosialisasi dan pengarahan
melalui musyawarah dan melakukan mediasi antara dukun dengan bidan.
Sejumlah
penelitian
memperlihatkan
antusiasme
para
bidan
dalam
mendukung adanya kemitraan dengan para dukun dalam hal membantu persalinan.
Para bidan mengungkapkan bahwa kerjasama ini dapat membantu meringankan
pekerjaan mereka dalam mengjangkau ibu hamil karena dukun umumnya sudah
sangat dekat dengan masyarakat. Para dukun lebih dahulu mengetahui jika ada
masyarakat yang hamil. Selain itu, dalam proses persalinan, dukun dapat membantu
memberikan dukungan kepada ibu bersalin untuk mengejan dan memijat sehingga
24
sangat membantu pekerjaan bidan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
kedekatan para dukun dengan ibu hamil dan keahlian tertentu yang dimiliki para
dukun dapat memungkinkan terjalinnya kemitraan antara para dukun dengan bidan
(Anggorodi, 2009).
Berbeda pandangan dengan bidan yang mau bermitra dengan para dukun,
bidan yang tidak mau bermitra dengan dukun mengungkapkan rasa kekecewaan
karena masyarakat cenderung lebih mengandalkan dukun bila ada persalinan,
ketimbang mereka sebagai para petugas kesehatan profesional (Anggorodi, 2009).
Ketidakpercayaan dari masyarakat akan kompetensi para bidan disebabkan karena
pada umumnya bidan PTT (Pegawai Tidak Tetap) masih berusia muda, kurang
berpengalaman, kurang menguasai adat dan tradisi masyarakat, serta bahasa
komunitas di wilayah kerjanya (Salham dkk, 2008).
Pada pelaksanaan kemitraan ini ditemukan beberapa hambatan atau kendala
diantaranya adalah pertama, belum ada pembagian tugas yang jelas dan konkret
tentang kemitraan antara bidan dengan dukun bayi. Selama ini, para dukun hanya
diberi bimbingan dalam bentuk mengajarkan cara-cara persalinan higines sekalipun
pengetahun dan keterampilan dari bidan belum tentu mampu diadopsi oleh dukun
bayi, seperti menyuntik, memberi obat dan vitamin penambah darah atau mendeteksi
resiko penyakit yang dapat membahayakan bayi dan ibunya. Kedua, pada umumnya
Bidan PTT masih berusia muda, kurang berpengalaman, kurang menguasai adat dan
tradisi masyarakat, serta bahasa komunitas di wilayah kerjanya. Ketiga, masih ada
daerah-daerah yang belum tersentuh kehadiran bidan dan fasilitas pelayanan
kesehatan seperti polindes dan posyandu. Keempat, lokasi fasilitas pelayanan
25
kesehatan kurang strategis sehingga sulit dijangkau oleh masyarakat, keterlambatan
pasokan obat ke polindes dan masih banyak masyarakat yang mengandalkan
kemampuan dukun dalam memberi pertolongan persalinan (Salham dkk, 2008;
Sudirman & Sakung , 2006 ).
Penelitian-penelitian di atas masih bersifat dangkal dan belum semua aspek
kemitraan diketahui. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian kualitatif untuk
menggali lagi secara lebih mendalam mengenai kemitraan dukun dengan bidan
dalam pertolongan persalinan dan hambatan dalam pelaksanaan kemitraan pada
budaya Manggarai.
2.2 Konsep Penelitian
2.2.1 Konsep Kemitraan
Kemitraan merupakan bentuk kerjasama antara dua pihak yang memiliki
kepentingan yang sama, di mana sebelum melaksanakan tugas masing-masing,
terlebih dahulu disepakati mengenai komitmen dan apa yang mejadi keinginan atau
cita-cita serta harapan dari masing-masing pihak untuk mencapai tujuan bersama
(Notoatmodjo, 2010).
Kemitraan bidan dan dukun adalah bentuk kerjasama bidan dengan dukun
yang saling menguntungkan dengan prinsip kesetaraan, keterbukaan, dan
kepercayaan dalam upaya menyelamatkan ibu dan bayi baru lahir. Pada kemitraan
ini, kegiatan bidan mencakup aspek medis, sedangkan kegiatan dukun mencakup
aspek non medis. Aspek medis adalah proses pengelolaan dan pelayanan program
kesehatan ibu dan anak mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan
penilaian. Aspek non medis adalah menggerakkan keterlibatan individu, keluarga
26
dan masyarakat dalam pelayanan kesehatan ibu dan anak, serta memberdayakan ibu
hamil dan keluarganya.
Kemitraan yang dimaksudkan pada penelitian ini adalah bentuk kerjasama
antara dukun dengan bidan dalam pertolongan persalinan, di mana dukun
mengantarkan calon ibu bersalin ke bidan dan ikut mendampingi ibu saat proses
persalinan.
2.2.2 Konsep Dukun
Dukun umumnya perempuan yang lebih tua, dan sangat dihormati di tengah
masyarakat karena pengetahuan dan pengalaman mereka dalam hal membantun
persalinan. Dukun adalah anggota masyarakat yang memiliki keterampilan menolong
persalinan secara tradisional yang diwariskan secara turun temurun atau melalui
pelatihan (Depkes, 2008).
Peran mereka mencakup pembantu kelahiran, memandikan, memijit-mijit,
membantu dalam urusan rumah tangga dan persiapan perawatan setelah melahirkan.
Pada konteks penelitian ini, dukun adalah seorang yang memiliki pengetahuan dan
pengalaman menolong persalinan baik melalui pelatihan maupun ilmu turun-temurun
yang berdomisili di kecamatan Borong. Adapun dukun yang diteliti adalah dukun
yang menjalin kemitraan dengan bidan dan dukun yang tidak bermitra dengan bidan.
2.2.3 Konsep Bidan
Bidan berarti “bersama wanita” atau dalam bahasa Prancis berarti “wanita
bijaksana”. Secara tradisional bidan adalah wanita desa yang belajar dengan cara
mengikuti proses persalinan keluarga atau tetangganya. Keterampilan dan
pengetahuannya diturunkan dari generasi ke generasi. Bidan adalah individu yang
27
sudah menempuh pendidikan di bidang kebidanan dan telah diakui di negara tempat
tinggalnya serta telah mendapatkan izin untuk melakukan praktik kebidanan (Myles,
2011).
Bidan adalah seseorang yang sudah menjalani program pendidikan
kebidanan, yang diakui di negaranya, berhasil menjalankan program studi di bidang
kebidanan, dan memenuhi kualifikasi yang diperlukan untuk dapat terdaftar atau
mendapat izin resmi untuk melakukan praktik kebidanan (Myles, 2011). Bidan yang
dimaksudkan dalam penelitian ini adalah mereka yang telah menjalani program
pendidikan kebidanan dan ditempatkan di desa yang ada di kecamatan Borong.
2.3 Landasan Teori
Kemitraan adalah suatu kerjasama formal antar individu-individu, kelompokkelompok, atau organisasi-organisasi untuk mencapai suatu tugas atau tujuan tertentu
(Notoatmodjo,2012). Dalam kerjasama tersebut ada kesepakatan tentang komitmen
dan harapan masing-masing, peninjauan kembali terhadap kesepakatan yang telah
dibuat, dan saling berbagi baik dalam risiko maupun keuntungan yang diperoleh.
Mengingat kemitraan adalah bentuk kerjasama atau aliansi maka setiap pihak yang
terlibat di dalamnya harus ada kerelaan diri untuk bekerja sama dan melepaskan
kepentingan masing-masing kemudian membangun kepentingan bersama. Oleh
sebab itu, dalam membangun sebuah kemitraan, harus didasarkan pada kesamaan
perhatian, saling mempercayai dan menghormati, tujuan yang jelas dan terukur serta
kesediaan untuk berkorban baik waktu, tenaga maupun sumber daya yang lain
(Notoatmodjo, 2012).
28
Dalam rangka mengupayakan sebuah kemitraan yang sinergis, berikut ini
akan dipaparkan sejumlah elemen penting yang bisa mendukung berlangsungnya
proses kemitraan yang baik. Elemen-elemen tersebut antara lain sumber daya,
karakter pihak yang bermitra (patner), relasi antara patner, karakteristik kemitraan,
dan lingkungan sekitar (De Waal dkk, 2013; Eisler & Montouri, 2001; Lasker dkk,
2001, Shiveley, 2010).
Pertama, sumber daya. Sumber daya merupakan hal mendasar dan utama
dalam membangun sebuah kemitraan. Sumber daya ini meliputi dukungan finansial
(uang/dana), organisasi, informasi, agen pemerintah, stakeholder, perlengkapan dan
sarana prasarana seperti komputer, obat, makanan, buku-buku dan sebagainya.
Sumber daya yang dibutuhkan untuk menunjang kemitraan dukun dan bidan adalah
dana sebagai sumber pembiayaan program dan sarana prasarana seperti sarana
transportasi untuk merujuk ibu hamil, fasilitas kesehatan seperti puskesmas, pustu,
polindes yang dilengkapi dengan listrik dan air bersih, mobiler (tempat tidur lengkap,
lemari, meja, kursi, kain tirai), alat kesehatan seperti bidan kit, dopler, sungkup,
tabung oksigen, tiang infus, timbangan bayi, alat pengukur panjang badan bayi, buku
pegangan dukun, peralatan P3K dan media penyuluhan. (Kemendagri, 2014).
Kedua, karakteristik partner. Partner merupakan sumber daya utama dalam
membangun sebuah kemitraan. Karakteristik partner mencakup keterampilan dan
keahlian dari pihak yang bermitra serta persepsi mengenai keuntungan dan kerugian
dari kemitraan yang diikutinya. Umumnya, para partner yang sangat aktif di dalam
sebuah kemitraan, terdorong oleh rasa bahwa mereka akan memperoleh banyak
manfaat dari kemitraan yang dibangun. Sementara mereka yang kurang terlibat aktif,
29
umumnya didorong oleh rasa bahwa kemitraan yang dibangun tidak sesuai dengan
kebutuhan mereka atau kemitraan yang dibangun mempunyai banyak kekurangan.
Ketiga, relasi antara partner. Relasi antara partner meliputi kepercayaan,
konflik, dan penghargaan. Kepercayaan merupakan prasyarat bagi terciptanya sebuah
kerjasama yang baik. Organisasi atau individu yang terlibat dalam kemitraan harus
menaruk
kepercayaan
kepada
partnernya
bahwa
mereka
akan
sungguh
bertanggungjawab dengan tugas dan perannya masing-masing. Selain kepercayaan,
penghargaan juga merupakan bagian yang penting dalam kemitraan. Kemitraan akan
terjalin dengan baik apabila terdapat rasa saling apresiasi atau menghargai antara
partner. Konflik dan pembagian wewenang juga menjadi hal yang penting dalam
bermitra. Konflik bisa saja memperkuat sebuah kemitraan jika perbedaan pendapat
bisa meransang pendekatan yang baru dalam sebuah kemitraan. Tetapi apabila
sebuah konflik tidak dikelola dengan baik maka akan menimbulkan masalah antara
partner. Perbedaan wewenang antara partner juga menjadi potensi konflik ketika ada
pembatasan mengenai siapa yang terlibat, pendapat siapa yang dianggap benar dan
siapa yang paling berpengaruh dalam mengambil sebuah keputusan. Pada kemitraan
bidan dan dukun, landasan kemitraan yang harus dipenuhi adalah saling menghargai
kedudukan, tugas dan fungsi, saling memahami kemampuan masing-masing, saling
menghubungi, saling bersedia membantu, saling mendukung dan saling menghargai
(Kemendagri, 2014).
Keempat, karakteristik kemitraan. Kepemimpinan, manajemen pembagian
tugas, komunikasi yang efektif, komitmen, koordinasi dan efisiensi merupakan
karakteristik kemitraan yang sangat mempengaruhi terbentuknya sebuah kemitraan
30
yang sinergis. Pertama, kepemimpinan. Pemimpin harus memiliki kemampuan dalam
membangun relasi untuk memperkuat kepercayaan, keterbukaan antara partner,
menciptakan kondisi yang dapat menjembatani perbedaan pendapat dan mampu
mengolah konflik antara partner. Kedua, komunikasi. Komunikasi merupakan hal
yang paling penting dalam menjalin kemitraan. Tanpa komunikasi yang memadai,
kolaborasi yang efektif tidak akan mungkin terjadi. Kualitas komunikasi memberikan
kontribusi bagi keberhasilan kemitraan. Ketiga, manajemen pembagian tugas
merupakan prosedur penentuan siapa yang terlibat dalam pengambilan keputusan dan
pembagian peran dan tanggung jawab masing-masing pihak yang bermitra. Keempat
efisiensi. Efisiensi dalam hal ini adalah peran dan tanggung jawab partner sesuai
dengan kepentingan dan keahlian mereka masing-masing serta dapat memanfaatkan
secara efektif kemampuan finansial, sumber daya dan waktu yang ada.
Kelima, lingkungan eksternal. Kemitraan juga sangat dipengaruhi oleh
lingkungan eksternal. Lingkungan eksternal ini mencakup dukungan kebijakan dari
pemerintah, dan karakteristik dari masyarakat setempat.
Berdasarkan ulasan di atas maka dapat dikatakan bahwa sebuah kemitraan
membutuhkan banyak elemen sebagai daya dukung, sehingga bisa berjalan efektif
dalam mengupayakan kepentingan konstituen. Elemen-elemen tersebut antara lain
adalah sumber daya, karakter pihak yang bermitra, relasi antara partner, karakteristik
kemitraan dan lingkungan sekitar. Hal ini juga didukung oleh sejumlah penelitian
yang menemukan sejumlah faktor yang berpengaruh terhadap kemitraan bidan
dengan dukun antara lain persepsi, budaya, ketersediaan sarana dan prasarana,
komunikasi dan dukungan khususnya dari stakeholder.
31
2.4 Model Penelitian
Sumber Daya
Dana
Sarana dan prasarana
Karakteristik Partner
Keterampilan
Motivasi
Relasi Antar Partner
Konflik
Kepercayaan
Kemitraan dukun dengan bidan
dalam pertolongan persalinan
Penghargaan
Karakteristik Kemitraan
Peran
Komunikasi
Pengambilan Keputusan
Koordinasi
Komitmen
Lingkungan Eksternal
Karakteristik masyarakat
Dukungan TOMA,TOGA
Hambatan dalam Kemitraan
Gambar 2.1 Model Penelitian
Download