BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banyaknya paparan senyawa kimiawi pada tubuh manusia yang terpejani melalui makanan, udara, air, atau berasal dari produk metabolisme telah terbukti memicu timbulnya efek genotoksik (Wogan et al., 2004). Kastan and Bartek (2004) melaporkan bahwa genotoksisitas merupakan efek kerusakan DNA yang dipengaruhi oleh substansi kimia maupun fisika yang mampu memodifikasi basabasa nukelotida maupun sugar-phosphate backbone DNA. Kerusakan DNA tersebut dapat mengakibatkan ketidakstabilan genomik, seperti kematian sel yang berujung pada insidensi terjadinya kanker (Green and Lin, 2012; Swift and Golsteyn, 2014). Kerusakan DNA dapat diperantarai oleh reaksi hidrolisis, paparan ROS, maupun metabolit reaktif. Paparan ROS menjadi penyebab kerusakan DNA yang paling sering terjadi (Bont and Larebeke, 2004). Penggunaan agen kemoterapi kanker, salah satunya siklofosfamid diketahui mampu menyebabkan efek samping genotoksik (McCarroll et al., 2008). Siklofosfamid merupakan salah satu obat sitostatik golongan nitrogen mustard yang sering digunakan saat ini untuk terapi leukemia, kanker payudara, dan kanker ovarium (Holland et al., 2003; American Cancer Society, 2010). Nitrogen mustard merupakan agen pengalkilasi yang merusak DNA melalui pembentukan ikatan kovalen antara basa guanin dan 1 2 guanin-adenin dengan metabolit genotoksik (Holland et al., 2003; Helleday et al., 2008). Siklofosfamid telah dilaporkan memberikan risiko timbulnya kanker sekunder pada pasien akibat efek genotoksik (IARC, 1981). Siklofosfamid akan termetabolisme menjadi metabolit genotoksik, sehingga mampu menginduksi terbentuknya micronucleus pada eritrosit (Tripathi and Jena, 2009; Bryce et al., 2010). Oleh karena itu, diperlukan suatu metode terapi yang yang mampu mengatasi efek samping genotoksik agen kemoterapi kanker. Salah satu upaya untuk mengatasi efek samping yang ditimbulkan oleh paparan senyawa genotoksik adalah dengan menggunakan agen antigenotoksik yang memiliki aktivitas antioksidan tinggi. Uttara et al. (2009) menunjukkan bahwa senyawa antioksidan bertanggung jawab dalam menangkal radikal bebas dan menghambat pembentukan ROS. Sistem pertahanan antioksidan seluler dalam tubuh tidak mampu memberikan daya proteksi terhadap efek ROS (Loft and Poulsen, 1996). Penelitian terdahulu telah melaporkan berbagai aktivitas antioksidan yang berasal dari bahan alam sebagai antitumor, antikarsinogenik, antibakteri, antiviral, dan antigenotoksik (Mitscher et al., 1996; Owen et al., 2000; Sala et al., 2002). Salah satu tanaman yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi agen antigenotoksik adalah rumput mutiara (Hedyotis corymbosa L.). Herba rumput mutiara diketahui mengandung senyawa aktif asam ursolat (Chen et al., 2005). Asam ursolat dilaporkan memiliki sifat kemopreventif, antimutagenik, dan antioksidan (Martin-Aragon et al., 2001; Ramos et al., 2008). Pada penelitian in vitro, ekstrak metanolik rumput mutiara diketahui memiliki aktivitas antioksidan 3 tinggi, mampu menghambat radikal bebas ROS yang memperantarai terjadinya kerusakan biomolekul dan berimplikasi pada karsinogenesis (Sasikumar et al., 2010). Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi aktivitas ekstrak etanolik rumput mutiara dalam mengatasi efek genotoksik secara in vivo dan molecular docking dengan induksi senyawa genotoksik siklofosfamid. B. Perumusan Masalah 1. Apakah ekstrak etanolik rumput mutiara (ERM) memiliki aktivitas antigenotoksik pada mencit jantan galur Swiss terinduksi siklofosfamid? 2. Apakah ERM mengandung senyawa asam ursolat yang dapat diamati secara kualitatif pada uji kromatografi lapis tipis? 3. Apakah senyawa asam ursolat dalam ERM memiliki interaksi dengan enzim sitokrom P450 yang dapat diamati pada uji molecular docking? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Pengembangan ERM sebagai agen antigenotoksik untuk mencegah efek genotoksik yang dapat diakibatkan oleh paparan zat kimiawi, salah satunya kemoterapi kanker. 2. Tujuan Khusus Penelitian ini memiliki tujuan: a. Mengetahui potensi antigenotoksik ERM pada mencit jantan galur Swiss terinduksi siklofosfamid. 4 b. Mengetahui kandungan asam ursolat dalam ERM yang dapat diamati secara kualitatif pada uji kromatografi lapis tipis. c. Mengetahui interaksi senyawa asam ursolat dalam ERM dengan enzim sitokrom P450 yang dapat diamati pada uji molecular docking. D. Urgensi Penelitian Penyakit degeneratif telah menjadi permasalahan kesehatan global, salah satunya kanker. Insidensi terjadinya kanker terus meningkat dan diperkirakan menjadi penyakit paling mematikan pada tahun 2030. Penyebab terjadinya kanker dan penyakit degeneratif lainnya utamanya disebabkan oleh banyaknya paparan zat kimiawi berbahaya, sehingga dapat menimbulkan kerusakan DNA (efek genotoksik). Penggunaan herba rumput mutiara sebagai alternatif komplementer terapi kanker telah banyak diterapkan oleh masyarakat. Ekstrak etanolik rumput mutiara berpotensi untuk dikembangkan menjadi agen antigenotoksik untuk mencegah efek genotoksik. Tujuan lainnya adalah untuk memberikan kontribusi pada ilmu pengetahuan dan pengembangan agen antigenotoksik berbasis bahan alam yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. 5 E. Tinjauan Pustaka 1. Efek Genotoksik dan Mekanisme Kerusakan DNA Susunan genom manusia terdiri dari atas DNA sebagai pembawa informasi genetik yang dapat diwariskan ke generasi berikutnya. DNA sangat rentan terhadap perubahan yang mampu mempengaruhi kapasitas DNA dalam melakukan fungsinya (Swift and Golsteyn, 2014). Integritas genomik sel seringkali dipengaruhi oleh adanya substansi fisika dan kimia yang dapat mengubah basa-basa nukelotida maupun sugar-phosphate backbone DNA (Kastan and Bartek, 2004). Berdasarkan Medical Dictionary perubahan pada struktur DNA yang bersifat toksik disebut sebagai efek genotoksik. Perubahan yang terjadi melalui pengikatan kovalen bahan kimia DNA yang mengarah ke perubahan basa DNA yang spesifik atau oleh perubahan fisik dalam DNA, misalnya kerusakan untai nukleotida (Karol et al., 2009). Tingginya paparan senyawa karsinogenik yang ada di lingkungan juga menjadi salah satu penyebab genotoksisitas dan meningkatkan frekuensi kerusakan kromosom pada manusia (Galassetti, 2006). Selain itu, adanya mutagenesis pada struktur DNA dan peningkatan aktivitas ROS juga menjadi faktor resiko kerusakan DNA. Meskipun pada dasarnya manusia juga memiliki mekanisme perbaikan (repair) yang dilakukan untuk mengatasi kerusakan yang terjadi, kesalahan pada proses repair DNA juga bisa menjadi penyebab mutasi DNA secara tidak langsung (Hurley, 2002). Zat genotoksik menimbulkan penyakit pada manusia, misalnya kanker, dengan dua cara yaitu mengubah blue print genetik yang terdapat pada DNA 6 dari sel-sel tubuh sehat atau membuat sel sehat membelah lebih cepat dari seharusnya yang akhirnya dapat mengubah blue print genetik DNA (Muhtadi, 2012). Kanker terjadi karena adanya mutasi pada gen regulator proliferasi sel, baik regulator positif (oncogene) maupun regulator negatif (tumor supressor gene). Gen regulator negatif, seperti p53 berperan dalam perbaikan DNA saat terjadi kesalahan dalam replikasi (Calvert and Frucht, 2002). Hasil penelitian ini juga diperkuat oleh Zekri et al. (2005) yang menyatakan bahwa p53 berfungsi dalam menghentikan siklus sel ketika terjadi kerusakan DNA, sehingga mekanisme repair DNA dapat berjalan optimal. Produksi yang berlebih dari radikal bebas hidroksil (HO-), superoksida (O2-), maupun nitrit monoksida (NO-) bisa mengakibatkan terjadinya stress oksidatif biomolekul (lemak, protein, dan DNA) dan juga menghasilkan produk samping, seperti: peroksida, alkohol, aldehid, keton, serta oksida kolesterol (Fridovich, 1999; Gilgun-Sherki et al., 2001; Yun-Zhong et al., 2002; Uttara et al., 2009;). Sebagian besar dari produk samping tersebut bersifat toksik terhadap limfosit darah dan makrofag, bahkan mampu melumpuhkan sistem imunitas in vivo (Ferrari, 2000). Menurut penelitian Deferme et al. (2015) beberapa senyawa dapat menginduksi stress oksidatif dengan berbagai jalur, salah satunya melalui pembentukan ROS secara langsung. Mekanisme lainnya yaitu melalui peningkatan ROS endogen dengan cara upregulasi metabolisme enzimatik melalui kompleks NADPH oksidase, siklooksigenase, lipooksigenase, sitokrom P450 atau dengan menginhibisi jalur antioksidan seluler (Deferme et al., 2015). 7 ROS berinterferensi secara langsung melalui mekanisme cell signaling dan dapat menginduksi mitosis yang mengarah ke proses mutasi (Cerutti et al., 1994; Heinonen and Albanes, 1994). Mitogenesis diketahui mampu meningkatkan kemungkinan ekspansi kloning sel dengan mengaktivasi oncogene dan/ menginaktivasi tumor suppressor gene, sehingga mengarah pada terjadinya insidensi kanker (Shigenaga et al., 1993). Mekanisme ROS dalam menginduksi karsinogenesis dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Mekanisme ROS dalam memperantarai karsinogenesis. ROS terbentuk secara continuous sebagai akibat dari paparan senyawa eksogen dan reaksi biokimia. Sistem pertahanan antioksidan selular seringkali tidak mampu menangkal ROS, sehingga menyebabkan kerusakan DNA yang bisa memperantarai karsinogenesis dan penyakit degeneratif (Shigenaga et al., 1993; Clayson et al., 1994; Ames et al., 1995; Loft and Poulsen, 1996). Menurut penelitian Swift and Golsteyn (2014) jenis kerusakan DNA terdiri atas: depurinasi basa, oksidasi basa, deaminasi basa, metilasi basa, DNA-DNA crosslink, dan DNA-protein crosslink yang memperantarai terjadinya karsinogenesis. Oksidasi basa dapat menyebabkan perubahan basa DNA mayor seperti timin glikol (Dizdaroglu and Jaruga, 2012). Produk basa DNA mayor tersebut menginisiasi terjadinya kesalahan dalam replikasi DNA yang berujung pada mutagenesis (Cooke et al., 2003). Timin glikol diketahui merupakan jenis kerusakan DNA paling umum akibat induksi oleh interaksi 8 timin dengan ROS. Timin glikol mampu menghalangi DNA polimerase selama replikasi DNA (Yoon et al., 2010). Selain menyebabkan oksidasi basa-basa DNA, terbentuknya ROS mampu mendenaturasi DNA untai tunggal dan juga menghambat proses polimerisasi tubulin pada proses pembelahan sel (Boonstra and Post, 2004). Metilasi basa dapat bersifat mutagenik ataupun sitotoksik. Basa DNA dapat termetilasi pada atom O dan N tergantung jenis agen pemetilasi dan jenis DNA (single strand atau double strand) (Drablos et al., 2004). Efek metilasi basa ini tergantung jenis agen pemetilasi tersebut, baik monofunctional alkylating agent yang memodifikasi satu basa DNA, sehingga mengakibatkan DNA adduct maupun bifunctional alkylating agent yang akan bereaksi dengan dua basa DNA berbeda dan mengakibatkan DNA crosslink (Helleday et al., 2008). Untuk mencegah proses transmisi DNA yang rusak ke sel anakan selama pembelahan sel, maka kerusakan DNA harus diperbaiki. Mekanisme repair tergantung pada fragmen DNA yang rusak dan cell cycle checkpoint dalam mengaktivasi cell cycle arrest. Cell cycle checkpoint dapat diaktivasi ketika fase G1, fase S, fase G2/M, atau mitosis. Apabila kerusakan DNA tidak dapat diperbaiki, maka sel akan mengeluarkan signal untuk senescence, apoptosis, ataupun kematian sel (Kastan and Bartek, 2004). 2. Parameter Kerusakan DNA dan Micronucleus test Menurut penelitian Bonassi et al. (2009) dan Fenech (2008) micronucleus adalah inti sel kedua yang berukuran lebih kecil dari inti sel utama dalam satu sel. Micronucelus terjadi akibat kegagalan pembagian 9 kromosom pada saat mitosis sel yaitu pada tahap anafase/metafase (KirschVolders et al., 2001; Fenech et al., 2003; Holland et al., 2008). DNA yang rusak tidak mampu menuju benang spindle saat mitosis, sehingga pada tahap telofase terbentuk membran nucleus yang akan menutupi kromosom DNA yang rusak tersebut dan membentuk fragmen nucleus kecil yang disebut micronucleus (Zhou and Elledge, 2000). Micronucleus merupakan DNA marker terjadinya kanker dan frekuensinya akan meningkat akibat paparan karsinogen (Ribeiro et al., 2008). Proses pembentukan micronucleus pada sel darah merah mamalia berkaitan dengan terganggunya eritropoiesis oleh senyawa genotoksik. Eritropoiesis terdiri dari dua tahap yakni proliferasi dan maturasi. Pada mamalia dewasa, organ pembentuk sel darah merah yang aktif adalah sumsum tulang belakang dan limpa. Pada organ tersebut, terdapat sel punca yang akan berkembang menjadi sel calon darah merah/eritroblas (Krishna and Hayashi, 2000). Terjadinya paparan senyawa genotoksik pada proses proliferasi dapat menyebabkan kerusakan pada DNA. Jenis kerusakan DNA yang terjadi bergantung pada mekanisme masing-masing senyawa dalam menyebabkan kerusakan, diantaranya adalah pertukaran basa DNA, patahnya kromosom DNA, atau terjadi kerusakan benang-benang spindel yang berperan dalam proses pembelahan (Krishna and Hayashi, 2000). Proses eritropoiesis in vivo dan mekanisme pembentukan micronucleus dapat dilihat pada Gambar 2. 10 Gambar 2. (a). Proses eritropoiesis in vivo, (b). mekanisme pembentukan micronucleus. Abnormalitas kromosom menyebabkan fragmen kromosom tidak dapat bergabung dengan nucleus anakan dan akan membentuk suatu micronucleus pada fase pembelahan (Krishna and Hayashi, 2000). Pada tahap maturasi sel darah merah, eritroblas akan berkembang menjadi sel-sel sebagai berikut: a. Polychromatic Erytrocyte (PCE) adalah sel darah merah muda yang masih memiliki RNA di dalamnya, sehingga apabila diberi perlakuan pengecatan Giemsa pada preparatnya akan berwarna biru. b. Normochromatic Erytrocyte (NCE) adalah sel darah merah yang telah matang, yakni sel darah merah yang nucleusnya telah menghilang. Apabila 11 diberi perlakuan pengecatan Giemsa sel pada preparatnya, NCE tidak dapat menyerap Giemsa dan akan berwarna abu-abu. c. Micronucleated Polychromatic Erytrocyte (MNPCE) adalah sel darah merah muda yang mengandung micronucleus di dalamnya akibat adanya proses mutasi DNA (Krishna and Hayashi, 2000). Nilai rasio PCE terhadap eritrosit total menggambarkan ketoksikan suatu senyawa yang dipaparkan, sedangkan jumlah MNPCE menunjukkan tingkat kerusakan genetik dalam sistem eritropoietik suatu makhluk hidup. Eritrosit dengan micronucleus yang terbentuk di sumsum tulang belakang dan limpa tersebut akan bersirkulasi ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah vena, sehingga memungkinkan dilakukan pemeriksaan melalui darah perifer (MacGregor et al., 2004). Proses screening dapat dilakukan baik secara in vitro maupun in vivo dan sudah digunakan secara luas dalam studi biomonitoring manusia (Majer et al., 2001; Neri et al., 2003). Micronucleus test yang dikembangkan oleh Heddle (1973) dan Schmid (1975) merupakan suatu metode pemeriksaan yang secara luas digunakan untuk mendeteksi efek genotoksik dalam waktu singkat secara in vivo dan in vitro (Saleh, 2007). Tes ini juga dapat mengukur induksi perubahan kromosom setelah paparan jangka pendek oleh agen potensial genotoksik. Dalam hal ini, yang dianalisis adalah persebaran populasi eritrosit (Saleh, 2007). Penelitian antigenotoksik dengan menggunakan metode micronucleus test memiliki beberapa keuntungan, antara lain: (a). micronucleus dapat diamati pada seluruh siklus sel dan terbentuk pada saat pembelahan sel serta 12 tetap ada selama masa interfase, (b). micronucleus mudah diamati bahkan oleh orang yang belum ahli (Lusiyanti and Wa’id, 1999). 3. Siklofosfamid Gambar 3. Struktur kimia siklofosfamid (IARC, 1981). Siklofosfamid (Gambar 3) merupakan agen pengalkilasi yang umum digunakan sebagai obat antikanker dan imunosupresan untuk terapi limfoma, leukemia, neuroblastoma, retinoblastoma, kanker payudara, dan kanker ovarium (Goldberg et al., 1986; Dollery, 1999; American Cancer Society, 2010). Bahkan penelitian Corlett and Chrystyn (1996) menyebutkan bahwa siklofosfamid telah digunakan sebagai agen antikanker selama 30 tahun terakhir. Namun demikian, agen kemoterapi ini memiliki efek samping yaitu bersifat toksik pada organ akibat aktivitas enzim pemetabolisme hepar sitokrom P450 (Sladek, 1971, 1988). Selain itu juga menyebabkan efek genotoksik terhadap sel normal (Anderson et al., 1995). Siklofosfamid yang merupakan bifunctional alkylating agent akan menyebabkan terbentuknya DNA crosslink antara DNA-DNA, DNA-protein, maupun patahnya kromosom. Adanya formasi crosslink ini akan mengganggu fungsi asam nukleat dalam sintesis DNA (Crook et al., 1986). Penelitian lain memaparkan bahwa induksi siklofosfamid mampu mengakibatkan mutasi 13 DNA yang mengarah pada efek sitotoksik, karsinogenik, dan teratogenik (Mirkes, 1985; Meirow et al., 2001). Walaupun siklofosfamid menjadi pilihan dalam terapi kanker, berbagai hasil penelitian yang ada menyebutkan bahwa siklofosfamid memberikan risiko timbulnya kanker sekunder pada pasien (IARC, 1981). Siklofosfamid dilaporkan menjadi penyebab leukemia dan kanker kolon (IARC, 1981; Kinlen, 1985; Greene et al., 1986). Penelitian secara in vitro dan in vivo serta uji klinik pada manusia untuk mengetahui efek genotoksik siklofosfamid telah banyak dilakukan (Moore et al., 1995). Senyawa siklofosfamid merupakan prodrug yang akan aktif dalam tubuh setelah mengalami metabolisme. Hanya 10-30% dari dosis siklofosfamid yang tidak termetabolisme dan dibuang melalui urin dalam bentuk aslinya (Sladek, 1988; Moore, 1991). Metabolisme siklofosfamid terutama terjadi di hepar, namun juga dapat dimetabolisme oleh organ lainnya (IARC, 1981). Setelah mengalami metabolisme, senyawa ini dapat bekerja sebagai alkylating agent pada DNA manusia, sehingga dapat menyebabkan efek genotoksik. Siklofosfamid dimetabolisme secara cepat oleh hati menggunakan enzim sitokrom P450 melalui jalur 4-hidroksilasi dan N-dekloroetilasi, serta menghasilkan metabolit aktif teralkilasi, seperti: 4-hidroksisiklofosfamid, aldofosfamid, akrolein, dan phosphoramide mustard yang mengganggu sintesis sel DNA dan menginduksi kerusakan DNA untai tunggal (Crook et al., 1986). Metabolit aktif siklofosfamid yaitu 4-hidroksisiklofosfamid diperantarai oleh enzim CYP2B6, CYP3A4, CYP2C19, dan CYP2C9 (Huang et al., 2000). 14 Metabolit 4-hidroksisiklofosfamid ini akan mengalami interkonversi secara cepat menjadi tautomernya, aldofosfamid. Aldofosfamid selanjutnya akan mengalami reaksi eliminasi secara spontan untuk menghasilkan phosphoramide mustard yang membentuk DNA crosslink melalui ikatan kovalen antara basa DNA dan alkyl-groups (Crook et al., 1986; Zhang et al., 2006). Metabolit aktif phosphoramide mustard yang merupakan DNA crosslinking agent ini dapat mengakibatkan terbentuknya micronucleus dan kematian sel (Tripathi and Jena, 2009; Bryce et al., 2010). Reaksi metabolisme siklofosfamid dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4. Reaksi metabolisme siklofosfamid. Siklofosfamid sebagai prodrug akan termetabolisme oleh enzim sitokrom P450 menjadi metabolit aktif teralkilasi. Metabolit phosphoramide mustard adalah DNA crosslinking agent (Vredenburg et al., 2015). Metabolit aktif lainnya yaitu akrolein dapat meningkatkan produksi ROS intraseluler, seperti: radikal anion superoksida, radikal hidroksil, dan oksigen singlet (Kawanishi et al., 2002; Mythili et al., 2004). Selain menghasilkan metabolit genotoksik, siklofosfamid yang dimetabolisme oleh aldehid dehidrogenase menghasilkan metabolit inaktif yaitu karboksifosfamid (Chinnaswamy et al., 2011). 15 4. Enzim Sitokrom P450 Sitokrom P450 (CYP450) merupakan anggota superfamily hem yang terlibat dalam 80% metabolisme obat fase I dan berperan penting dalam klirens obat (Hasler et al., 1999; Eichelbaum et al., 2006; Guengerich, 2007; Testa et al., 2012). Sampai saat ini dilaporkan bahwa lebih dari 57 gen CYP manusia yang telah diidentifikasi (Yin et al., 2000; Rodriguez-Antona and IngelmanSundberg, 2006; Hart and Zhong., 2008; Singh et al., 2011; McGraw et al., 2012). Penelitian Shon et al. (2003) menyebutkan bahwa induksi isoenzim CYP berkorelasi kuat dengan aktivasi prokarsinogen. Induksi CYP juga berpotensi menurunkan konsentrasi substrat obat di darah sebesar 1/10 kali, sehingga mengakibatkan inefektivitas terapi (Niemi et al., 2003). Selama beberapa dekade terakhir telah dilaporkan juga terdapat efek polimorfisme CYP terhadap berbagai respon obat dan persitiwa ADR. Pada kejadian ADR, sebanyak 56% dimetabolisme oleh enzim pemetabolisme fase I, sedangkan 86% diantaranya disebabkan oleh aktivitas CYP (Phillips et al., 2001). Banyak faktor berpengaruh pada respon obat individu, seperti: lingkungan, faktor psikologis, dan faktor genetik (polimorfisme). Beberapa gen CYP450 memiliki sifat polimorfisme tinggi yang secara fenotip diekspresikan melalui peningkatan maupun penurunan aktivitas enzim (Aomori et al., 2009). Menurut penelitian Matchar et al. (2007) hal ini karena perubahan kecepatan metabolisme obat akan mengakibatkan efek samping toksisitas dan penurunan efikasi. Selain berperan dalam detoksifikasi senyawa xenobiotik, CYP450 juga terlibat dalam aktivasi beberapa prodrug (Rodriguez-Antona and 16 Ingelman-Sundberg, 2006; Shimada, 2006). Namun demikian, dalam banyak kasus, oksidasi CYP450 dapat menyebabkan metabolit inaktif ataupun metabolit toksik yang terlibat dalam mekanisme adverse drug reactions (ADR) (Rodriguez-Antona and Ingelman-Sundberg, 2006; Shimada, 2006; Johansson and Ingelman-Sundberg, 2011; Singh et al., 2011). Famili CYP450 yang paling penting dalam metabolisme obat adalah CYP3A4 (Ingelman-Sundberg et al., 2004). Subfamili CYP3A4 paling banyak terdapat di hepar manusia dan juga pada usus halus (Watkins, 1995). Berdasarkan penelitian terdahulu dilaporkan bahwa konsentrasi plasma AUC (area under the curve) pada substrat obat yang termetabolisme CYP3A4 meningkat sekitar sepuluh kali ketika aktivitas enzim dihambat (Varhe et al., 1994; Neuvonen and Jalava, 1996; Olkkola et al., 1996; Neuvonen et al., 1998; Heinig et al., 1999). Selain CYP3A4, enzim CYP3A5 juga bertanggung jawab terhadap metabolisme lebih dari 50% obat yang ada (Bertz and Granneman, 1997; Rendic and Di Carlo, 1997). CYP3A4 juga sangat penting dalam metabolisme makanan dan senyawa dari alam, seperti: flavonoid, mikotoksin (aflatoksin B1), pestisida, dan sejumlah bahan tambahan makanan (Guengrich, 1999). 5. Metode Molecular Docking Uji molecular docking digunakan untuk memprediksikan kemungkinan interaksi antara ligan dan reseptor (Sarmoko, 2008). Protein, DNA, dan ligan dapat diprediksikan dengan teknik penempatan/penempelan (dock) pada area tertentu. Protein ligan dibuat secara modelling yang melibatkan interaksi 17 biokimia antara protein dan ligan secara in vitro dan in vivo. Pada metode docking interaksi yang paling stabil memiliki energi bebas yang rendah atau negatif (Nadlenda, 2004). Salah satu program untuk uji molecular docking adalah PLANTS. Program ini bekerja berdasarkan algoritma Ant Colony Optimization (ACO) (Korb et al., 2006). Akan tetapi, PLANTS tidak menyediakan fungsi preparasi protein, ligan, maupun visualisasi. Bagi pengguna Windows program PLANTS dapat dijalankan dengan menggunakan bantuan Co-Pendrivelinux-KDE yaitu suatu software untuk hibridisasi LINUX dalam Windows dan YASARA yang digunakan untuk visualisasi dan preparasi protein, serta Chem Sketch untuk melakukan preparasi senyawa yang akan dikaitkan (docking) dengan protein target. Hasil dari interaksi antara ligan dan reseptor adalah parameter skor docking. Purnomo (2011) menyatakan bahwa senyawa yang memiliki skor docking terendah merupakan ligan dengan konformasi terbaik pada protein target. 6. Rumput Mutiara (Hedyotis corymbosa L.) dan Asam Ursolat Gambar 5. Hedyotis corymbosa L. (Patel et al., 2014). 18 a. Klasifikasi Herba Rumput Mutiara Rumput mutiara (Hedyotis corymbosa L.) merupakan tanaman rumput liar yang termasuk dalam famili Rubiaceae yang berupa herba atau perdu yang tegak. Rumput mutiara (Gambar 5) tumbuh di berbagai daerah di Jawa pada ketinggian 800 m dpl sampai 1425 m dpl, biasanya tumbuh di daerah terbuka yang banyak mendapatkan sinar matahari dan tidak terlalu basah, seringkali juga tumbuh di daerah berbatu, di tengah jalan, halaman, parit, dan di pinggir jalan (Sudarsono et al., 2002). Klasifikasi herba Rumput Mutiara adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Division : Spermatophyta Subdivision : Angiospermae Class : Dicotyledoneae Order : Rubiales Family : Rubiaceae Genus : Hedyotis Species : Hedyotis corymbosa L. (Hutchinson, 1959). b. Morfologi Tanaman Rumput mutiara (Hedyotis corymbosa L.) merupakan tanaman rumput liar yang termasuk dalam famili Rubiaceae yang berupa herba atau perdu yang tegak. Rumput mutiara tumbuh di berbagai daerah di Jawa pada ketinggian 800 m dpl sampai 1425 m dpl. Tanaman ini tumbuh di daerah terbuka yang banyak mendapatkan sinar matahari dan tidak terlalu basah, 19 seringkali juga tumbuh di daerah berbatu, di tengah jalan, halaman, parit, dan di pinggir jalan (Sudarsono et al., 2002). Herba ini memiliki karakteristik tinggi 15-50 cm, batang bersegi, tulang daun satu di tengah, helai daun bentuk lanset, dan berwarna hijau muda, bunga majemuk sejumlah 2-5 buah berbentuk payung warna putih. Ujung daun mempunyai rambut yang pendek (Hariana, 2006). Penelitian lain memaparkan bahwa herba rumput mutiara terdiri dari 4 bagian bunga, jarang yang 5 bagian. Kebanyakan bunga tersusun dalam bentuk bongkol atau dengan tangkai bunga yang pendek, daun berukuran lebih dari 1 cm, dan buah dengan panjang sekitar 1,75–2 mm, lebar sekitar 2–2,5 mm tanpa adanya sayap, tangkai daun sangat pendek (Backer and Brink, 1965). Karangan bunga tersusun bertangkai, yang terletak di bagian ketiak 2-8 helai bunga tersusun cymosa (terletak pada ibu tangkai bunga yang panjangnya 2-6 mm), atau 1-3 aksiler pada 4-8 mm panjang ibu tangkai bunga, cuping kelopak sebesar bakal buah; mahkota berwarna putih hingga ungu sangat pucat dengan panjang sekitar 2 mm. Stamen terselip sedikit di atas dasar tabung mahkota (Backer and Brink, 1965). c. Potensi dan Penelitian Terdahulu Herba rumput mutiara mengandung beberapa senyawa kimia, seperti: stigamsterol, asam ursolat, asam oleanolat, β-sitosterol, asam pkumarat, dan glikosida (Wijayakusuma et al., 1992). Selain itu juga mengandung tanin<1%, flavonoid, triterpenoid, serta glikosida iridoid (Anonim, 1995). 20 Dekokta dari tanaman ini telah lama digunakan oleh herbalis di Hongkong untuk mengobati penyakit saluran cerna dan kanker (Hui and Lam, 1964). Herba ini juga dimanfaatkan untuk berbagai mengatasi penyakit disentri, asma, radang usus buntu, tonsilitis, bronkitis, pneumonia, dan hepatitis (Sudarsono et al., 2002; Zhou et al., 2002). Pemberian ekstrak metanolik rumput mutiara pada tikus Wistar yang diinduksi parasetamol dosis berlebih dilaporkan mampu menurunkan aktivitas beberapa enzim yang menjadi penanda kerusakan hati, seperti: SGPT, SGOT, dan SAKP. Morfologi hepar menunjukkan tidak ada kerusakan yang ditimbulkan pada organ hati. Mekanisme prevensi terhadap kerusakan organ hepar diperantarai oleh proses penghambatan peroksidase lipid. Peroksidase lipid menyebabkan destabilisasi dan disintegrasi sel, sehingga terjadi kerusakan hati dan perununan kapasitas antioksidan seluler (Sadasivan et al., 2006). Penelitian lainnya menyebutkan bahwa ekstrak etanolik rumput mutiara sebagai agen antiproliferasi pada kanker hepar tikus, mampu meningkatkan pemacuan ekspresi N-ras sel normal, sehingga mempunyai potensi sebagai hepatoprotektif (Asyhar, 2008). Dari berbagai penelitian terdahulu, ekstrak rumput mutiara juga memiliki aktivitas sitotoksik terhadap beberapa sel kanker. Ekstrak etanolik rumput mutiara dilaporkan memiliki aktivitas sitotoksik terhadap sel WiDr dengan nilai IC50 116 μg/mL, menginduksi apoptosis dan cell cycle arrest pada fase G1 (Suparman, 2008). Pemberian ekstrak etanolik rumput mutiara diketahui mampu menghambat proliferasi sel kanker payudara MCF-7 21 melalui pemacuan apoptosis yang diperantarai oleh penurunan ekspresi Bcl-2 (Haryanti, 2008). d. Asam Ursolat Gambar 6. Struktur kimia asam ursolat (Liu et al., 2005). Dalam rumput mutiara terkandung asam ursolat (Gambar 6) sebanyak kurang lebih 4-7% (Chen et al., 2005). Asam ursolat ini yang dipercaya memperantarai aktivitas antikanker dari rumput mutiara (Sivapraksam et al., 2014). Asam ursolat merupakan triterpen pentasiklik yang dapat diperoleh dari biji-bijian, dedaunan, bunga, dan buah pada tanaman obat (Shishodia et al., 2003). Asam ursolat memiliki aktivitas menekan pertumbuhan tumor, menginhibisi promosi tumor, dan menekan angiogenesis (Shishodia et al., 2003; Kuo et al., 2005). Beberapa efek ini diperantarai oleh penekanan ekspresi iNOS, COX-2, dan MMP-9, yang semuanya diregulasi oleh NF-κB (Shishodia et al., 2003). Asam ursolat dan turunannya juga dapat menginduksi apoptosis di beberapa jenis kanker dengan menginhibisi replikasi DNA, aktivasi caspase, menginhibisi protein tirosin kinase, dan induksi pelepasan Ca2+. Selain itu juga menghambat ikatan DNA dengan NF-κB yang terdiri dari protein p50 dan p65 (Shishodia et al., 2003). 22 Asam ursolat diketahui memiliki efek antigenotoksik pada human hepatoma cell line (HepG2) yang berkaitan dengan penghambatan proses insiasi karsinogenesis (Ramos et al., 2008). Pemberian asam ursolat pada sel 293 (human embryonic kidney), KBM-5 (human myelogenous leukemia), H1299 (human non-small cell lung carcinoma), dan U937 (human histiocytic lymphoma) diketahui mampu menghambat NF-κB yang diaktivasi oleh berbagai karsinogen, seperti: H2O2 dan asap rokok (Shishodia et al., 2003). Dong-Kyoo et al. (2000) melaporkan bahwa asam ursolat mampu menginduksi cell cycle arrest yang dimungkinkan melalui penghambatan replikasi DNA dan peningkatan ekspresi protein p21. Adanya peningkatan ekspresi protein p21 menyebabkan pelepasan sitokrom C dan aktivasi caspase-3 yang berujung pada terjadinya apoptosis (Dong-Kyoo et al., 2000). F. Landasan Teori Paparan senyawa kimiawi pada tubuh manusia dapat mampu menimbulkan efek genotoksik yang bermanifestasi terhadap terbentuknya micronucleus. Senyawa siklofosfamid diketahui sangat potensial dalam menginduksi efek genotoksik. Metabolit aktif siklofosfamid akan mengakibatkan kerusakan DNA untai tunggal yang dapat diamati sebagai micronucleus pada sel darah merah muda. Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa ekstrak rumput mutiara memiliki efek kardioprotektif dan hepatoprotektif pada tikus yang diinduksi 23 karsinogen. Pemberian ERM dengan berbagai variasi dosis diharapkan mampu memberikan efek antigenotoksik terhadap kerusakan DNA akibat paparan zat genotoksik yang ditunjukkan melalui penurunan jumlah micronucleus pada mencit jantan galur Swiss terinduksi siklofosfamid. Penghambatan genotoksisitas oleh perlakuan ERM dapat dianalisis melalui parameter penurunan MNPCE dan peningkatan %PCE. Rumput mutiara (Hedyotis corymbosa L.) mengandung asam ursolat dengan kadar yang cukup tinggi (4-7% dari bahan simplisia). Maserasi dengan etanol 96% diharapkan dapat mengekstraksi asam ursolat dalam herba rumput mutiara. Oleh karena itu, kandungan senyawa asam ursolat dapat diamati secara kualitatif pada uji kromatografi lapis tipis. Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa senyawa asam ursolat terbukti memiliki potensi antigenotoksik terhadap beberapa sel kanker secara in vitro, di antaranya HepG2 melalui mekanisme peningkatan aktivitas antioksidan seluler dan penghambatan enzim pemetabolisme sitokrom P450. Dengan demikian, pencegahan efek genotoksik siklofosfamid dapat diatasi, salah satunya melalui mekanisme penghambatan aktivitas enzim sitokrom P450. Oleh karena itu, dalam penelitian ini diprediksikan senyawa asam ursolat memiliki interaksi dengan enzim sitokrom P450 yang dapat diamati secara komputasi pada uji molecular docking. 24 G. Hipotesis Dari uraian di atas dapat ditarik suatu hipotesis sebagai berikut: 1. ERM memiliki aktivitas antigenotoksik yang ditunjukkan dengan penurunan jumlah micronucleus pada mencit jantan galur Swiss terinduksi siklofosfamid. 2. Kandungan senyawa asam ursolat dalam ERM dapat diamati secara kualitatif pada uji kromatografi lapis tipis. 3. Senyawa asam ursolat memiliki interaksi dengan enzim sitokrom P450 yang dapat diamati secara komputasi pada uji molecular docking.