1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banyaknya

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banyaknya paparan senyawa kimiawi pada tubuh manusia yang terpejani
melalui makanan, udara, air, atau berasal dari produk metabolisme telah terbukti
memicu timbulnya efek genotoksik (Wogan et al., 2004). Kastan and Bartek
(2004) melaporkan bahwa genotoksisitas merupakan efek kerusakan DNA yang
dipengaruhi oleh substansi kimia maupun fisika yang mampu memodifikasi basabasa nukelotida maupun sugar-phosphate backbone DNA. Kerusakan DNA
tersebut dapat mengakibatkan ketidakstabilan genomik, seperti kematian sel yang
berujung pada insidensi terjadinya kanker (Green and Lin, 2012; Swift and
Golsteyn, 2014).
Kerusakan DNA dapat diperantarai oleh reaksi hidrolisis, paparan ROS,
maupun metabolit reaktif. Paparan ROS menjadi penyebab kerusakan DNA yang
paling sering terjadi (Bont and Larebeke, 2004). Penggunaan agen kemoterapi
kanker, salah satunya siklofosfamid diketahui mampu menyebabkan efek samping
genotoksik (McCarroll et al., 2008). Siklofosfamid merupakan salah satu obat
sitostatik golongan nitrogen mustard yang sering digunakan saat ini untuk terapi
leukemia, kanker payudara, dan kanker ovarium (Holland et al., 2003; American
Cancer Society, 2010). Nitrogen mustard merupakan agen pengalkilasi yang
merusak DNA melalui pembentukan ikatan kovalen antara basa guanin dan
1
2
guanin-adenin dengan metabolit genotoksik (Holland et al., 2003; Helleday et al.,
2008).
Siklofosfamid telah dilaporkan memberikan risiko timbulnya kanker
sekunder pada pasien akibat efek genotoksik (IARC, 1981). Siklofosfamid akan
termetabolisme menjadi metabolit genotoksik, sehingga mampu menginduksi
terbentuknya micronucleus pada eritrosit (Tripathi and Jena, 2009; Bryce et al.,
2010). Oleh karena itu, diperlukan suatu metode terapi yang yang mampu
mengatasi efek samping genotoksik agen kemoterapi kanker.
Salah satu upaya untuk mengatasi efek samping yang ditimbulkan oleh
paparan senyawa genotoksik adalah dengan menggunakan agen antigenotoksik
yang memiliki aktivitas antioksidan tinggi. Uttara et al. (2009) menunjukkan
bahwa senyawa antioksidan bertanggung jawab dalam menangkal radikal bebas
dan menghambat pembentukan ROS. Sistem pertahanan antioksidan seluler dalam
tubuh tidak mampu memberikan daya proteksi terhadap efek ROS (Loft and
Poulsen, 1996). Penelitian terdahulu telah melaporkan berbagai aktivitas
antioksidan yang berasal dari bahan alam sebagai antitumor, antikarsinogenik,
antibakteri, antiviral, dan antigenotoksik (Mitscher et al., 1996; Owen et al., 2000;
Sala et al., 2002).
Salah satu tanaman yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi agen
antigenotoksik adalah rumput mutiara (Hedyotis corymbosa L.). Herba rumput
mutiara diketahui mengandung senyawa aktif asam ursolat (Chen et al., 2005).
Asam ursolat dilaporkan memiliki sifat kemopreventif, antimutagenik, dan
antioksidan (Martin-Aragon et al., 2001; Ramos et al., 2008). Pada penelitian in
vitro, ekstrak metanolik rumput mutiara diketahui memiliki aktivitas antioksidan
3
tinggi, mampu menghambat radikal bebas ROS yang memperantarai terjadinya
kerusakan biomolekul dan berimplikasi pada karsinogenesis (Sasikumar et al.,
2010). Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi aktivitas ekstrak etanolik
rumput mutiara dalam mengatasi efek genotoksik secara in vivo dan molecular
docking dengan induksi senyawa genotoksik siklofosfamid.
B. Perumusan Masalah
1. Apakah ekstrak etanolik rumput
mutiara (ERM)
memiliki aktivitas
antigenotoksik pada mencit jantan galur Swiss terinduksi siklofosfamid?
2. Apakah ERM mengandung senyawa asam ursolat yang dapat diamati secara
kualitatif pada uji kromatografi lapis tipis?
3. Apakah senyawa asam ursolat dalam ERM memiliki interaksi dengan enzim
sitokrom P450 yang dapat diamati pada uji molecular docking?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Pengembangan ERM sebagai agen antigenotoksik untuk mencegah efek
genotoksik yang dapat diakibatkan oleh paparan zat kimiawi, salah satunya
kemoterapi kanker.
2. Tujuan Khusus
Penelitian ini memiliki tujuan:
a. Mengetahui potensi antigenotoksik ERM pada mencit jantan galur Swiss
terinduksi siklofosfamid.
4
b. Mengetahui kandungan asam ursolat dalam ERM yang dapat diamati
secara kualitatif pada uji kromatografi lapis tipis.
c. Mengetahui interaksi senyawa asam ursolat dalam ERM dengan enzim
sitokrom P450 yang dapat diamati pada uji molecular docking.
D. Urgensi Penelitian
Penyakit degeneratif telah menjadi permasalahan kesehatan global, salah
satunya kanker. Insidensi terjadinya kanker terus meningkat dan diperkirakan
menjadi penyakit paling mematikan pada tahun 2030. Penyebab terjadinya kanker
dan penyakit degeneratif lainnya utamanya disebabkan oleh banyaknya paparan
zat kimiawi berbahaya, sehingga dapat menimbulkan kerusakan DNA (efek
genotoksik).
Penggunaan herba rumput mutiara sebagai alternatif komplementer terapi
kanker telah banyak diterapkan oleh masyarakat. Ekstrak etanolik rumput mutiara
berpotensi untuk dikembangkan menjadi agen antigenotoksik untuk mencegah
efek genotoksik. Tujuan lainnya adalah untuk memberikan kontribusi pada ilmu
pengetahuan dan pengembangan agen antigenotoksik berbasis bahan alam yang
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
5
E. Tinjauan Pustaka
1. Efek Genotoksik dan Mekanisme Kerusakan DNA
Susunan genom manusia terdiri dari atas DNA sebagai pembawa
informasi genetik yang dapat diwariskan ke generasi berikutnya. DNA sangat
rentan terhadap perubahan yang mampu mempengaruhi kapasitas DNA dalam
melakukan fungsinya (Swift and Golsteyn, 2014). Integritas genomik sel
seringkali dipengaruhi oleh adanya substansi fisika dan kimia yang dapat
mengubah basa-basa nukelotida maupun sugar-phosphate backbone DNA
(Kastan and Bartek, 2004).
Berdasarkan Medical Dictionary perubahan pada struktur DNA yang
bersifat toksik disebut sebagai efek genotoksik. Perubahan yang terjadi melalui
pengikatan kovalen bahan kimia DNA yang mengarah ke perubahan basa DNA
yang spesifik atau oleh perubahan fisik dalam DNA, misalnya kerusakan untai
nukleotida (Karol et al., 2009). Tingginya paparan senyawa karsinogenik yang
ada di lingkungan juga menjadi salah satu penyebab genotoksisitas dan
meningkatkan frekuensi kerusakan kromosom pada manusia (Galassetti, 2006).
Selain itu, adanya mutagenesis pada struktur DNA dan peningkatan
aktivitas ROS juga menjadi faktor resiko kerusakan DNA. Meskipun pada
dasarnya manusia juga memiliki mekanisme perbaikan (repair) yang dilakukan
untuk mengatasi kerusakan yang terjadi, kesalahan pada proses repair DNA
juga bisa menjadi penyebab mutasi DNA secara tidak langsung (Hurley, 2002).
Zat genotoksik menimbulkan penyakit pada manusia, misalnya kanker,
dengan dua cara yaitu mengubah blue print genetik yang terdapat pada DNA
6
dari sel-sel tubuh sehat atau membuat sel sehat membelah lebih cepat dari
seharusnya yang akhirnya dapat mengubah blue print genetik DNA (Muhtadi,
2012). Kanker terjadi karena adanya mutasi pada gen regulator proliferasi sel,
baik regulator positif (oncogene) maupun regulator negatif (tumor supressor
gene). Gen regulator negatif, seperti p53 berperan dalam perbaikan DNA saat
terjadi kesalahan dalam replikasi (Calvert and Frucht, 2002). Hasil penelitian
ini juga diperkuat oleh Zekri et al. (2005) yang menyatakan bahwa p53
berfungsi dalam menghentikan siklus sel ketika terjadi kerusakan DNA,
sehingga mekanisme repair DNA dapat berjalan optimal.
Produksi yang berlebih dari radikal bebas hidroksil (HO-), superoksida
(O2-), maupun nitrit monoksida (NO-) bisa mengakibatkan terjadinya stress
oksidatif biomolekul (lemak, protein, dan DNA) dan juga menghasilkan
produk samping, seperti: peroksida, alkohol, aldehid, keton, serta oksida
kolesterol (Fridovich, 1999; Gilgun-Sherki et al., 2001; Yun-Zhong et al.,
2002; Uttara et al., 2009;). Sebagian besar dari produk samping tersebut
bersifat toksik terhadap limfosit darah dan makrofag, bahkan mampu
melumpuhkan sistem imunitas in vivo (Ferrari, 2000).
Menurut penelitian Deferme et al. (2015) beberapa senyawa dapat
menginduksi stress oksidatif dengan berbagai jalur, salah satunya melalui
pembentukan ROS secara langsung. Mekanisme lainnya yaitu melalui
peningkatan ROS endogen dengan cara upregulasi metabolisme enzimatik
melalui kompleks NADPH oksidase, siklooksigenase, lipooksigenase, sitokrom
P450 atau dengan menginhibisi jalur antioksidan seluler (Deferme et al., 2015).
7
ROS berinterferensi secara langsung melalui mekanisme cell signaling
dan dapat menginduksi mitosis yang mengarah ke proses mutasi (Cerutti et al.,
1994; Heinonen and Albanes, 1994). Mitogenesis diketahui mampu
meningkatkan kemungkinan ekspansi kloning sel dengan mengaktivasi
oncogene dan/ menginaktivasi tumor suppressor gene, sehingga mengarah
pada terjadinya insidensi kanker (Shigenaga et al., 1993). Mekanisme ROS
dalam menginduksi karsinogenesis dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Mekanisme ROS dalam memperantarai karsinogenesis. ROS terbentuk secara
continuous sebagai akibat dari paparan senyawa eksogen dan reaksi biokimia. Sistem
pertahanan antioksidan selular seringkali tidak mampu menangkal ROS, sehingga
menyebabkan kerusakan DNA yang bisa memperantarai karsinogenesis dan penyakit
degeneratif (Shigenaga et al., 1993; Clayson et al., 1994; Ames et al., 1995; Loft and Poulsen,
1996).
Menurut penelitian Swift and Golsteyn (2014) jenis kerusakan DNA
terdiri atas: depurinasi basa, oksidasi basa, deaminasi basa, metilasi basa,
DNA-DNA crosslink, dan DNA-protein crosslink yang memperantarai
terjadinya karsinogenesis. Oksidasi basa dapat menyebabkan perubahan basa
DNA mayor seperti timin glikol (Dizdaroglu and Jaruga, 2012). Produk basa
DNA mayor tersebut menginisiasi terjadinya kesalahan dalam replikasi DNA
yang berujung pada mutagenesis (Cooke et al., 2003). Timin glikol diketahui
merupakan jenis kerusakan DNA paling umum akibat induksi oleh interaksi
8
timin dengan ROS. Timin glikol mampu menghalangi DNA polimerase selama
replikasi DNA (Yoon et al., 2010).
Selain menyebabkan oksidasi basa-basa DNA, terbentuknya ROS
mampu mendenaturasi DNA untai tunggal dan juga menghambat proses
polimerisasi tubulin pada proses pembelahan sel (Boonstra and Post, 2004).
Metilasi basa dapat bersifat mutagenik ataupun sitotoksik. Basa DNA dapat
termetilasi pada atom O dan N tergantung jenis agen pemetilasi dan jenis DNA
(single strand atau double strand) (Drablos et al., 2004). Efek metilasi basa ini
tergantung jenis agen pemetilasi tersebut, baik monofunctional alkylating agent
yang memodifikasi satu basa DNA, sehingga mengakibatkan DNA adduct
maupun bifunctional alkylating agent yang akan bereaksi dengan dua basa
DNA berbeda dan mengakibatkan DNA crosslink (Helleday et al., 2008).
Untuk mencegah proses transmisi DNA yang rusak ke sel anakan
selama pembelahan sel, maka kerusakan DNA harus diperbaiki. Mekanisme
repair tergantung pada fragmen DNA yang rusak dan cell cycle checkpoint
dalam mengaktivasi cell cycle arrest. Cell cycle checkpoint dapat diaktivasi
ketika fase G1, fase S, fase G2/M, atau mitosis. Apabila kerusakan DNA tidak
dapat diperbaiki, maka sel akan mengeluarkan signal untuk senescence,
apoptosis, ataupun kematian sel (Kastan and Bartek, 2004).
2. Parameter Kerusakan DNA dan Micronucleus test
Menurut penelitian Bonassi et al. (2009) dan Fenech (2008)
micronucleus adalah inti sel kedua yang berukuran lebih kecil dari inti sel
utama dalam satu sel. Micronucelus terjadi akibat kegagalan pembagian
9
kromosom pada saat mitosis sel yaitu pada tahap anafase/metafase (KirschVolders et al., 2001; Fenech et al., 2003; Holland et al., 2008). DNA yang
rusak tidak mampu menuju benang spindle saat mitosis, sehingga pada tahap
telofase terbentuk membran nucleus yang akan menutupi kromosom DNA
yang rusak tersebut dan membentuk fragmen nucleus kecil yang disebut
micronucleus (Zhou and Elledge, 2000). Micronucleus merupakan DNA
marker terjadinya kanker dan frekuensinya akan meningkat akibat paparan
karsinogen (Ribeiro et al., 2008).
Proses pembentukan micronucleus pada sel darah merah mamalia
berkaitan dengan terganggunya eritropoiesis oleh senyawa genotoksik.
Eritropoiesis terdiri dari dua tahap yakni proliferasi dan maturasi. Pada
mamalia dewasa, organ pembentuk sel darah merah yang aktif adalah sumsum
tulang belakang dan limpa. Pada organ tersebut, terdapat sel punca yang akan
berkembang menjadi sel calon darah merah/eritroblas (Krishna and Hayashi,
2000).
Terjadinya paparan senyawa genotoksik pada proses proliferasi dapat
menyebabkan kerusakan pada DNA. Jenis kerusakan DNA yang terjadi
bergantung pada mekanisme masing-masing senyawa dalam menyebabkan
kerusakan, diantaranya adalah pertukaran basa DNA, patahnya kromosom
DNA, atau terjadi kerusakan benang-benang spindel yang berperan dalam
proses pembelahan (Krishna and Hayashi, 2000). Proses eritropoiesis in vivo
dan mekanisme pembentukan micronucleus dapat dilihat pada Gambar 2.
10
Gambar 2. (a). Proses eritropoiesis in vivo, (b). mekanisme pembentukan micronucleus.
Abnormalitas kromosom menyebabkan fragmen kromosom tidak dapat bergabung dengan
nucleus anakan dan akan membentuk suatu micronucleus pada fase pembelahan (Krishna and
Hayashi, 2000).
Pada tahap maturasi sel darah merah, eritroblas akan berkembang
menjadi sel-sel sebagai berikut:
a. Polychromatic Erytrocyte (PCE) adalah sel darah merah muda yang masih
memiliki RNA di dalamnya, sehingga apabila diberi perlakuan pengecatan
Giemsa pada preparatnya akan berwarna biru.
b. Normochromatic Erytrocyte (NCE) adalah sel darah merah yang telah
matang, yakni sel darah merah yang nucleusnya telah menghilang. Apabila
11
diberi perlakuan pengecatan Giemsa sel pada preparatnya, NCE tidak
dapat menyerap Giemsa dan akan berwarna abu-abu.
c. Micronucleated Polychromatic Erytrocyte (MNPCE) adalah sel darah
merah muda yang mengandung micronucleus di dalamnya akibat adanya
proses mutasi DNA (Krishna and Hayashi, 2000).
Nilai rasio PCE terhadap eritrosit total menggambarkan ketoksikan
suatu senyawa yang dipaparkan, sedangkan jumlah MNPCE menunjukkan
tingkat kerusakan genetik dalam sistem eritropoietik suatu makhluk hidup.
Eritrosit dengan micronucleus yang terbentuk di sumsum tulang belakang dan
limpa tersebut akan bersirkulasi ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah
vena, sehingga memungkinkan dilakukan pemeriksaan melalui darah perifer
(MacGregor et al., 2004). Proses screening dapat dilakukan baik secara in vitro
maupun in vivo dan sudah digunakan secara luas dalam studi biomonitoring
manusia (Majer et al., 2001; Neri et al., 2003).
Micronucleus test yang dikembangkan oleh Heddle (1973) dan Schmid
(1975) merupakan suatu metode pemeriksaan yang secara luas digunakan
untuk mendeteksi efek genotoksik dalam waktu singkat secara in vivo dan in
vitro (Saleh, 2007). Tes ini juga dapat mengukur induksi perubahan kromosom
setelah paparan jangka pendek oleh agen potensial genotoksik. Dalam hal ini,
yang dianalisis adalah persebaran populasi eritrosit (Saleh, 2007).
Penelitian antigenotoksik dengan menggunakan metode micronucleus
test memiliki beberapa keuntungan, antara lain: (a). micronucleus dapat
diamati pada seluruh siklus sel dan terbentuk pada saat pembelahan sel serta
12
tetap ada selama masa interfase, (b). micronucleus mudah diamati bahkan oleh
orang yang belum ahli (Lusiyanti and Wa’id, 1999).
3. Siklofosfamid
Gambar 3. Struktur kimia siklofosfamid (IARC, 1981).
Siklofosfamid (Gambar 3) merupakan agen pengalkilasi yang umum
digunakan sebagai obat antikanker dan imunosupresan untuk terapi limfoma,
leukemia, neuroblastoma, retinoblastoma, kanker payudara, dan kanker
ovarium (Goldberg et al., 1986; Dollery, 1999; American Cancer Society,
2010). Bahkan penelitian Corlett and Chrystyn (1996) menyebutkan bahwa
siklofosfamid telah digunakan sebagai agen antikanker selama 30 tahun
terakhir. Namun demikian, agen kemoterapi ini memiliki efek samping yaitu
bersifat toksik pada organ akibat aktivitas enzim pemetabolisme hepar
sitokrom P450 (Sladek, 1971, 1988). Selain itu juga menyebabkan efek
genotoksik terhadap sel normal (Anderson et al., 1995).
Siklofosfamid yang merupakan bifunctional alkylating agent akan
menyebabkan terbentuknya DNA crosslink antara DNA-DNA, DNA-protein,
maupun patahnya kromosom. Adanya formasi crosslink ini akan mengganggu
fungsi asam nukleat dalam sintesis DNA (Crook et al., 1986). Penelitian lain
memaparkan bahwa induksi siklofosfamid mampu mengakibatkan mutasi
13
DNA yang mengarah pada efek sitotoksik, karsinogenik, dan teratogenik
(Mirkes, 1985; Meirow et al., 2001).
Walaupun siklofosfamid menjadi pilihan dalam terapi kanker, berbagai
hasil penelitian yang ada menyebutkan bahwa siklofosfamid memberikan
risiko timbulnya kanker sekunder pada pasien (IARC, 1981). Siklofosfamid
dilaporkan menjadi penyebab leukemia dan kanker kolon (IARC, 1981;
Kinlen, 1985; Greene et al., 1986). Penelitian secara in vitro dan in vivo serta
uji klinik pada manusia untuk mengetahui efek genotoksik siklofosfamid telah
banyak dilakukan (Moore et al., 1995).
Senyawa siklofosfamid merupakan prodrug yang akan aktif dalam
tubuh setelah mengalami metabolisme. Hanya 10-30% dari dosis siklofosfamid
yang tidak termetabolisme dan dibuang melalui urin dalam bentuk aslinya
(Sladek, 1988; Moore, 1991). Metabolisme siklofosfamid terutama terjadi di
hepar, namun juga dapat dimetabolisme oleh organ lainnya (IARC, 1981).
Setelah mengalami metabolisme, senyawa ini dapat bekerja sebagai alkylating
agent pada DNA manusia, sehingga dapat menyebabkan efek genotoksik.
Siklofosfamid dimetabolisme secara cepat oleh hati menggunakan
enzim sitokrom P450 melalui jalur 4-hidroksilasi dan N-dekloroetilasi, serta
menghasilkan metabolit aktif teralkilasi, seperti: 4-hidroksisiklofosfamid,
aldofosfamid, akrolein, dan phosphoramide mustard yang mengganggu sintesis
sel DNA dan menginduksi kerusakan DNA untai tunggal (Crook et al., 1986).
Metabolit aktif siklofosfamid yaitu 4-hidroksisiklofosfamid diperantarai oleh
enzim CYP2B6, CYP3A4, CYP2C19, dan CYP2C9 (Huang et al., 2000).
14
Metabolit 4-hidroksisiklofosfamid ini akan mengalami interkonversi
secara cepat menjadi tautomernya, aldofosfamid. Aldofosfamid selanjutnya
akan mengalami reaksi eliminasi secara spontan untuk menghasilkan
phosphoramide mustard yang membentuk DNA crosslink melalui ikatan
kovalen antara basa DNA dan alkyl-groups (Crook et al., 1986; Zhang et al.,
2006). Metabolit aktif phosphoramide mustard yang merupakan DNA
crosslinking agent ini dapat mengakibatkan terbentuknya micronucleus dan
kematian sel (Tripathi and Jena, 2009; Bryce et al., 2010). Reaksi metabolisme
siklofosfamid dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Reaksi metabolisme siklofosfamid. Siklofosfamid sebagai prodrug akan
termetabolisme oleh enzim sitokrom P450 menjadi metabolit aktif teralkilasi. Metabolit
phosphoramide mustard adalah DNA crosslinking agent (Vredenburg et al., 2015).
Metabolit aktif lainnya yaitu akrolein dapat meningkatkan produksi
ROS intraseluler, seperti: radikal anion superoksida, radikal hidroksil, dan
oksigen singlet (Kawanishi et al., 2002; Mythili et al., 2004). Selain
menghasilkan metabolit genotoksik, siklofosfamid yang dimetabolisme oleh
aldehid dehidrogenase menghasilkan metabolit inaktif yaitu karboksifosfamid
(Chinnaswamy et al., 2011).
15
4. Enzim Sitokrom P450
Sitokrom P450 (CYP450) merupakan anggota superfamily hem yang
terlibat dalam 80% metabolisme obat fase I dan berperan penting dalam klirens
obat (Hasler et al., 1999; Eichelbaum et al., 2006; Guengerich, 2007; Testa et
al., 2012). Sampai saat ini dilaporkan bahwa lebih dari 57 gen CYP manusia
yang telah diidentifikasi (Yin et al., 2000; Rodriguez-Antona and IngelmanSundberg, 2006; Hart and Zhong., 2008; Singh et al., 2011; McGraw et al.,
2012). Penelitian Shon et al. (2003) menyebutkan bahwa induksi isoenzim
CYP berkorelasi kuat dengan aktivasi prokarsinogen. Induksi CYP juga
berpotensi menurunkan konsentrasi substrat obat di darah sebesar 1/10 kali,
sehingga mengakibatkan inefektivitas terapi (Niemi et al., 2003).
Selama beberapa dekade terakhir telah dilaporkan juga terdapat efek
polimorfisme CYP terhadap berbagai respon obat dan persitiwa ADR. Pada
kejadian ADR, sebanyak 56% dimetabolisme oleh enzim pemetabolisme fase I,
sedangkan 86% diantaranya disebabkan oleh aktivitas CYP (Phillips et al.,
2001). Banyak faktor berpengaruh pada respon obat individu, seperti:
lingkungan, faktor psikologis, dan faktor genetik (polimorfisme). Beberapa gen
CYP450 memiliki sifat polimorfisme tinggi yang secara fenotip diekspresikan
melalui peningkatan maupun penurunan aktivitas enzim (Aomori et al., 2009).
Menurut penelitian Matchar et al. (2007) hal ini karena perubahan
kecepatan metabolisme obat akan mengakibatkan efek samping toksisitas dan
penurunan efikasi. Selain berperan dalam detoksifikasi senyawa xenobiotik,
CYP450 juga terlibat dalam aktivasi beberapa prodrug (Rodriguez-Antona and
16
Ingelman-Sundberg, 2006; Shimada, 2006). Namun demikian, dalam banyak
kasus, oksidasi CYP450 dapat menyebabkan metabolit inaktif ataupun
metabolit toksik yang terlibat dalam mekanisme adverse drug reactions (ADR)
(Rodriguez-Antona and Ingelman-Sundberg, 2006; Shimada, 2006; Johansson
and Ingelman-Sundberg, 2011; Singh et al., 2011).
Famili CYP450 yang paling penting dalam metabolisme obat adalah
CYP3A4 (Ingelman-Sundberg et al., 2004). Subfamili CYP3A4 paling banyak
terdapat di hepar manusia dan juga pada usus halus (Watkins, 1995).
Berdasarkan penelitian terdahulu dilaporkan bahwa konsentrasi plasma AUC
(area under the curve) pada substrat obat yang termetabolisme CYP3A4
meningkat sekitar sepuluh kali ketika aktivitas enzim dihambat (Varhe et al.,
1994; Neuvonen and Jalava, 1996; Olkkola et al., 1996; Neuvonen et al., 1998;
Heinig et al., 1999).
Selain CYP3A4, enzim CYP3A5 juga bertanggung jawab terhadap
metabolisme lebih dari 50% obat yang ada (Bertz and Granneman, 1997;
Rendic and Di Carlo, 1997). CYP3A4 juga sangat penting dalam metabolisme
makanan dan senyawa dari alam, seperti: flavonoid, mikotoksin (aflatoksin
B1), pestisida, dan sejumlah bahan tambahan makanan (Guengrich, 1999).
5. Metode Molecular Docking
Uji molecular docking digunakan untuk memprediksikan kemungkinan
interaksi antara ligan dan reseptor (Sarmoko, 2008). Protein, DNA, dan ligan
dapat diprediksikan dengan teknik penempatan/penempelan (dock) pada area
tertentu. Protein ligan dibuat secara modelling yang melibatkan interaksi
17
biokimia antara protein dan ligan secara in vitro dan in vivo. Pada metode
docking interaksi yang paling stabil memiliki energi bebas yang rendah atau
negatif (Nadlenda, 2004).
Salah satu program untuk uji molecular docking adalah PLANTS.
Program ini bekerja berdasarkan algoritma Ant Colony Optimization (ACO)
(Korb et al., 2006). Akan tetapi, PLANTS tidak menyediakan fungsi preparasi
protein, ligan, maupun visualisasi. Bagi pengguna Windows program PLANTS
dapat dijalankan dengan menggunakan bantuan Co-Pendrivelinux-KDE yaitu
suatu software untuk hibridisasi LINUX dalam Windows dan YASARA yang
digunakan untuk visualisasi dan preparasi protein, serta Chem Sketch untuk
melakukan preparasi senyawa yang akan dikaitkan (docking) dengan protein
target. Hasil dari interaksi antara ligan dan reseptor adalah parameter skor
docking. Purnomo (2011) menyatakan bahwa senyawa yang memiliki skor
docking terendah merupakan ligan dengan konformasi terbaik pada protein
target.
6. Rumput Mutiara (Hedyotis corymbosa L.) dan Asam Ursolat
Gambar 5. Hedyotis corymbosa L. (Patel et al., 2014).
18
a. Klasifikasi Herba Rumput Mutiara
Rumput mutiara (Hedyotis corymbosa L.) merupakan tanaman
rumput liar yang termasuk dalam famili Rubiaceae yang berupa herba atau
perdu yang tegak. Rumput mutiara (Gambar 5) tumbuh di berbagai daerah
di Jawa pada ketinggian 800 m dpl sampai 1425 m dpl, biasanya tumbuh di
daerah terbuka yang banyak mendapatkan sinar matahari dan tidak terlalu
basah, seringkali juga tumbuh di daerah berbatu, di tengah jalan, halaman,
parit, dan di pinggir jalan (Sudarsono et al., 2002). Klasifikasi herba
Rumput Mutiara adalah sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Division
: Spermatophyta
Subdivision
: Angiospermae
Class
: Dicotyledoneae
Order
: Rubiales
Family
: Rubiaceae
Genus
: Hedyotis
Species
: Hedyotis corymbosa L.
(Hutchinson, 1959).
b. Morfologi Tanaman
Rumput mutiara (Hedyotis corymbosa L.) merupakan tanaman
rumput liar yang termasuk dalam famili Rubiaceae yang berupa herba atau
perdu yang tegak. Rumput mutiara tumbuh di berbagai daerah di Jawa pada
ketinggian 800 m dpl sampai 1425 m dpl. Tanaman ini tumbuh di daerah
terbuka yang banyak mendapatkan sinar matahari dan tidak terlalu basah,
19
seringkali juga tumbuh di daerah berbatu, di tengah jalan, halaman, parit,
dan di pinggir jalan (Sudarsono et al., 2002).
Herba ini memiliki karakteristik tinggi 15-50 cm, batang bersegi,
tulang daun satu di tengah, helai daun bentuk lanset, dan berwarna hijau
muda, bunga majemuk sejumlah 2-5 buah berbentuk payung warna putih.
Ujung daun mempunyai rambut yang pendek (Hariana, 2006). Penelitian
lain memaparkan bahwa herba rumput mutiara terdiri dari 4 bagian bunga,
jarang yang 5 bagian. Kebanyakan bunga tersusun dalam bentuk bongkol
atau dengan tangkai bunga yang pendek, daun berukuran lebih dari 1 cm,
dan buah dengan panjang sekitar 1,75–2 mm, lebar sekitar 2–2,5 mm tanpa
adanya sayap, tangkai daun sangat pendek (Backer and Brink, 1965).
Karangan bunga tersusun bertangkai, yang terletak di bagian ketiak
2-8 helai bunga tersusun cymosa (terletak pada ibu tangkai bunga yang
panjangnya 2-6 mm), atau 1-3 aksiler pada 4-8 mm panjang ibu tangkai
bunga, cuping kelopak sebesar bakal buah; mahkota berwarna putih hingga
ungu sangat pucat dengan panjang sekitar 2 mm. Stamen terselip sedikit di
atas dasar tabung mahkota (Backer and Brink, 1965).
c. Potensi dan Penelitian Terdahulu
Herba rumput mutiara mengandung beberapa senyawa kimia,
seperti: stigamsterol, asam ursolat, asam oleanolat, β-sitosterol, asam pkumarat, dan glikosida (Wijayakusuma et al., 1992). Selain itu juga
mengandung tanin<1%, flavonoid, triterpenoid, serta glikosida iridoid
(Anonim, 1995).
20
Dekokta dari tanaman ini telah lama digunakan oleh herbalis di
Hongkong untuk mengobati penyakit saluran cerna dan kanker (Hui and
Lam, 1964). Herba ini juga dimanfaatkan untuk berbagai mengatasi
penyakit disentri, asma, radang usus buntu, tonsilitis, bronkitis, pneumonia,
dan hepatitis (Sudarsono et al., 2002; Zhou et al., 2002).
Pemberian ekstrak metanolik rumput mutiara pada tikus Wistar yang
diinduksi parasetamol dosis berlebih dilaporkan mampu menurunkan
aktivitas beberapa enzim yang menjadi penanda kerusakan hati, seperti:
SGPT, SGOT, dan SAKP. Morfologi hepar menunjukkan tidak ada
kerusakan yang ditimbulkan pada organ hati. Mekanisme prevensi terhadap
kerusakan organ hepar diperantarai oleh proses penghambatan peroksidase
lipid. Peroksidase lipid menyebabkan destabilisasi dan disintegrasi sel,
sehingga terjadi kerusakan hati dan perununan kapasitas antioksidan seluler
(Sadasivan et al., 2006). Penelitian lainnya menyebutkan bahwa ekstrak
etanolik rumput mutiara sebagai agen antiproliferasi pada kanker hepar
tikus, mampu meningkatkan pemacuan ekspresi N-ras sel normal, sehingga
mempunyai potensi sebagai hepatoprotektif (Asyhar, 2008).
Dari berbagai penelitian terdahulu, ekstrak rumput mutiara juga
memiliki aktivitas sitotoksik terhadap beberapa sel kanker. Ekstrak etanolik
rumput mutiara dilaporkan memiliki aktivitas sitotoksik terhadap sel WiDr
dengan nilai IC50 116 μg/mL, menginduksi apoptosis dan cell cycle arrest
pada fase G1 (Suparman, 2008). Pemberian ekstrak etanolik rumput mutiara
diketahui mampu menghambat proliferasi sel kanker payudara MCF-7
21
melalui pemacuan apoptosis yang diperantarai oleh penurunan ekspresi
Bcl-2 (Haryanti, 2008).
d. Asam Ursolat
Gambar 6. Struktur kimia asam ursolat (Liu et al., 2005).
Dalam rumput mutiara terkandung asam ursolat (Gambar 6)
sebanyak kurang lebih 4-7% (Chen et al., 2005). Asam ursolat ini yang
dipercaya memperantarai aktivitas antikanker dari rumput mutiara
(Sivapraksam et al., 2014). Asam ursolat merupakan triterpen pentasiklik
yang dapat diperoleh dari biji-bijian, dedaunan, bunga, dan buah pada
tanaman obat (Shishodia et al., 2003).
Asam ursolat memiliki aktivitas menekan pertumbuhan tumor,
menginhibisi promosi tumor, dan menekan angiogenesis (Shishodia et al.,
2003; Kuo et al., 2005). Beberapa efek ini diperantarai oleh penekanan
ekspresi iNOS, COX-2, dan MMP-9, yang semuanya diregulasi oleh NF-κB
(Shishodia et al., 2003). Asam ursolat dan turunannya juga dapat
menginduksi apoptosis di beberapa jenis kanker dengan menginhibisi
replikasi DNA, aktivasi caspase, menginhibisi protein tirosin kinase, dan
induksi pelepasan Ca2+. Selain itu juga menghambat ikatan DNA dengan
NF-κB yang terdiri dari protein p50 dan p65 (Shishodia et al., 2003).
22
Asam ursolat diketahui memiliki efek antigenotoksik pada human
hepatoma cell line (HepG2) yang berkaitan dengan penghambatan proses
insiasi karsinogenesis (Ramos et al., 2008). Pemberian asam ursolat pada sel
293 (human embryonic kidney), KBM-5 (human myelogenous leukemia),
H1299 (human non-small cell lung carcinoma), dan U937 (human
histiocytic lymphoma) diketahui mampu menghambat NF-κB yang
diaktivasi oleh berbagai karsinogen, seperti: H2O2 dan asap rokok
(Shishodia et al., 2003).
Dong-Kyoo et al. (2000) melaporkan bahwa asam ursolat mampu
menginduksi cell cycle arrest yang dimungkinkan melalui penghambatan
replikasi DNA dan peningkatan ekspresi protein p21. Adanya peningkatan
ekspresi protein p21 menyebabkan pelepasan sitokrom C dan aktivasi
caspase-3 yang berujung pada terjadinya apoptosis (Dong-Kyoo et al.,
2000).
F. Landasan Teori
Paparan senyawa kimiawi pada tubuh manusia dapat mampu menimbulkan
efek genotoksik yang bermanifestasi terhadap terbentuknya micronucleus.
Senyawa siklofosfamid diketahui sangat potensial dalam menginduksi efek
genotoksik. Metabolit aktif siklofosfamid akan mengakibatkan kerusakan DNA
untai tunggal yang dapat diamati sebagai micronucleus pada sel darah merah
muda. Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa ekstrak rumput mutiara
memiliki efek kardioprotektif dan hepatoprotektif pada tikus yang diinduksi
23
karsinogen. Pemberian ERM dengan berbagai variasi dosis diharapkan mampu
memberikan efek antigenotoksik terhadap kerusakan DNA akibat paparan zat
genotoksik yang ditunjukkan melalui penurunan jumlah micronucleus pada
mencit jantan galur Swiss terinduksi siklofosfamid. Penghambatan genotoksisitas
oleh perlakuan ERM dapat dianalisis melalui parameter penurunan MNPCE dan
peningkatan %PCE.
Rumput mutiara (Hedyotis corymbosa L.) mengandung asam ursolat
dengan kadar yang cukup tinggi (4-7% dari bahan simplisia). Maserasi dengan
etanol 96% diharapkan dapat mengekstraksi asam ursolat dalam herba rumput
mutiara. Oleh karena itu, kandungan senyawa asam ursolat dapat diamati secara
kualitatif pada uji kromatografi lapis tipis.
Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa senyawa asam ursolat terbukti
memiliki potensi antigenotoksik terhadap beberapa sel kanker secara in vitro, di
antaranya HepG2 melalui mekanisme peningkatan aktivitas antioksidan seluler
dan penghambatan enzim pemetabolisme sitokrom P450. Dengan demikian,
pencegahan efek genotoksik siklofosfamid dapat diatasi, salah satunya melalui
mekanisme penghambatan aktivitas enzim sitokrom P450. Oleh karena itu, dalam
penelitian ini diprediksikan senyawa asam ursolat memiliki interaksi dengan
enzim sitokrom P450 yang dapat diamati secara komputasi pada uji molecular
docking.
24
G. Hipotesis
Dari uraian di atas dapat ditarik suatu hipotesis sebagai berikut:
1.
ERM memiliki aktivitas antigenotoksik yang ditunjukkan dengan penurunan
jumlah micronucleus pada mencit jantan galur Swiss terinduksi siklofosfamid.
2.
Kandungan senyawa asam ursolat dalam ERM dapat diamati secara kualitatif
pada uji kromatografi lapis tipis.
3.
Senyawa asam ursolat memiliki interaksi dengan enzim sitokrom P450 yang
dapat diamati secara komputasi pada uji molecular docking.
Download