Bab 2 - Widyatama Repository

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kesulitan Keuangan (Financial Distress)
Kesulitan keuangan (financial distress) dimulai ketika perusahaan tidak
dapat
memenuhi
jadwal
pembayaran
atau
ketika
proyeksi
arus
kas
mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut akan segera tidak dapat memenuhi
kewajibannya (Brigham dan Daves,2003). Ada beberapa definisi kesulitan
keuangan, sesuai tipenya, yaitu economic failure, business failure, technical
insolvency, insolvency in bankruptcy, dan legal bankruptcy (Brigham dan
Gapenski,1997). Berikut ini adalah penjelasannya:
1. Economic failure
Economic failure atau kegagalan ekonomi adalah keadaan dimana
pendapatan perusahaan tidak dapat menutupi total biaya, termasuk cost of
capitalnya. Bisnis ini dapat melanjutkan operasinya sepanjang kreditur mau
menyediakan modal dan pemiliknya mau menerima tingkat pengembalian (rate of
return) di bawah pasar. Meskipun tidak ada suntikan modal baru saat aset tua
sudah harus diganti, perusahaan dapat juga menjadi sehat secara ekonomi.
2. Business failure
Kegagalan bisnis didefinisikan sebagai bisnis yang menghentikan operasi
dengan akibat kerugian kepada kreditur.
3. Technical insolvency
Sebuah perusahaan dikatakan dalam keadaan technical insolvency jika
tidak dapat memenuhi kewajiban lancar ketika jatuh tempo. Ketidakmampuan
membayar hutang secara teknis menunjukkan kekurangan likuiditas yang sifatnya
sementara, yang jika diberi waktu, perusahaan mungkin dapat membayar
hutangnya dan survive. Di sisi lain, jika technical insolvency adalah gejala awal
kegagalan ekonomi, ini mungkin menjadi perhentian pertama menuju bencana
keuangan (financial disaster).
9
10
4. Insolvency in bankruptcy
Sebuah perusahaan dikatakan dalam keadaan Insolvent in bankruptcy jika
nilai buku hutang melebihi nilai pasar aset. Kondisi ini lebih serius daripada
technical insolvency karena, umumnya, ini adalah tanda economic failure, dan
bahkan mengarah kepada likuidasi bisnis. Perusahaan yang dalam keadaan
insolvent in bankruptcy tidak perlu terlibat dalam tuntutan kebangkrutan secara
hukum.
5. Legal bankruptcy
Perusahaan dikatakan bangkrut secara hukum jika telah diajukan tuntutan
secara resmi dengan undang-undang (Brigham dan Gapenski,1997).
Irham Fahmi (2011) juga menggolongkan persoalan financial distress secara
kajian umum ke dalam 4 (empat) kategori, yaitu :
1. Financial distress kategori A atau sangat tinggi dan benar-benar
membahayakan. Kategori ini memungkinkan perusahaan dinyatakan untuk
berada di posisi bangkrut atau pailit. Pada kategori ini memungkinkan pihak
perusahaan melaporkan ke pihak terkait seperti pengadilan bahwa perusahaan
telah berada dalam posisi bankruptcy (pailit). Dan menyerahkan berbagai
urusan untuk ditangani oleh pihak luar perusahaan.
2. Financial distress kategori B atau tinggi dan dianggap berbahaya. Pada posisi
ini
perusahaan
harus
memikirkan
berbagai
solusi
realistis
dalam
menyelamatkan berbagai aset yang dimiliki, seperti sumber-sumber aset yang
ingin dijual dan tidak dijual/dipertahankan. Termasuk memikirkan berbagai
dampak jika dilaksanakan keputusan merger (penggabungan) dan akuisisi
(pengambilalihan). Salah satu dampak yang sangat nyata terlihat pada posisi
ini adalah perusahaan mulai melakukan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja)
dan pension dini pada beberapa karyawannya yang dianggap tidak layak
(infeasible) lagi untuk dipertahankan.
3. Financial distress kategori C atau sedang, dan ini dianggap perusahaan masih
mampu/bisa menyelamatkan diri dengan tindakan tambahan dana yang
bersumber dari internal dan eksternal. Namun disini perusahaan sudah harus
11
melakukan perombakan berbagai kebijakan dan konsep manajemen yang
diterapkan selama ini, bahkan jika perlu melakukan perekrutan tenaga ahli
baru yang dimiliki kompetensi yang tinggi untuk ditempatkan di posisi-posisi
strategis yang bertugas mengendalikan dan menyelamatkan perusahaan,
termasuk target dalam menggenjot perolehan laba kembali.
4. Financial distress kategori D atau rendah. Pada kategori ini perusahaan
dianggap hanya mengalami fluktuasi finansial temporer yang disebabkan oleh
berbagai kondisi kesternal dan internal, termasuk lahirnya dan dilaksanakan
keputusan yang kurang begitu tepat.
Selain itu, Plat dan Plat (dalam Luciana,2006) mendefinisikan financial
distress sebagai tahap penurunan kondisi keuangan yang terjadi sebelum
terjadinya kebangkrutan ataupun likuidasi. Hofer (1980) dan Whitaker (1999)
dalam Endri (2009) mengumpamakan kondisi financial distress sebagai suatu
kondisi dari perusahaan yang mengalami laba bersih (net profit) negatif selama
beberapa tahun.
Suatu perusahaan berada dalam keadaan situasi yang tidak normal bila
perusahaan tersebut menghadapi salah satu dari situasi-situasi ini, yaitu: laba
bersih selama dua tahun terakhir negatif, nilai saham bersih kurang dari face value
saham dalam tahun terakhir, auditor memberi opini adverse atau disclaimer pada
laporan keuangan tahun terakhir, nilai kepemilikan ekuitas yang diakui auditor
dan departemen terkait kurang dari nilai modal yang tercatat pada tahun terakhir,
dan situasi tidak normal lain berdasarkan pertimbangan China Securities
Regulation Comission (CSRC), atau SHSE dan SZSE.
Perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan umumnya mengalami
penurunan dalam pertumbuhan, kemampulabaan, dan aset tetap, serta peningkatan
dalam tingkatan persediaan relatif terhadap perusahaan yang sehat (Kahya dan
Theodossiou, 1999). Di samping itu kesulitan keuangan dapat juga dilihat dari
melemahnya kondisi keuangan, kreditur yang mulai mengambil tindakan,
pemasok yang mungkin tak mengirim bahan baku secara kredit, investasi modal
yang menguntungkan mungkin harus dilepas, dan pembayaran dividen yang
terganggu.
12
2.1.1
Penyebab Kesulitan Keuangan
Lizal
(2002)
mengelompokkan
penyebab-penyebab
kesulitan
dan
menamainya dengan Model Dasar Kebangkrutan atau Trinitas Penyebab
Kesulitan Keuangan. Menurut beliau, ada tiga alasan yang mungkin mengapa
perusahaan menjadi bangkrut, yaitu:
1. Neoclassical model
Pada kasus ini kebangkrutan terjadi jika alokasi sumber daya tidak tepat.
Kasus restrukturisasi ini terjadi ketika kebangkrutan mempunyai campuran aset
yang salah. Mengestimasi kesulitan dilakukan dengan data neraca dan laporan
laba
rugi.
Misalnya
profit/assets
(untuk
mengukur
profitabilitas),
dan
liabilities/assets.
2. Financial model
Campuran aset benar tapi struktur keuangan salah dengan liquidity
constraints (batasan likuiditas). Hal ini berarti bahwa walaupun perusahaan dapat
bertahan hidup dalam jangka panjang tapi ia harus bangkrut juga dalam jangka
pendek. Hubungan dengan pasar modal yang tidak sempurna dan struktur modal
yang inherited menjadi pemicu utama kasus ini. Tidak dapat secara terang
ditentukan apakah dalam kasus ini kebangkrutan baik atau buruk untuk
direstrukturisasi. Model ini mengestimasi kesulitan dengan indikator keuangan
atau indikator kinerja seperti turnover/total assets, revenues/turnover, ROA, ROE,
profit margin, stock turnover, receivables turnover, cash flow/ total equity, debt
ratio, cash flow/(liabilities-reserves), current ratio, acid test, current liquidity,
short term assets/daily operating expenses, gearing ratio, turnover per employee,
coverage of fixed assets, working capital, total equity per share, EPS ratio, dan
sebagainya.
3. Corporate governance model
Disini, kebangkrutan mempunyai campuran aset dan struktur keuangan yang
benar tapi dikelola dengan buruk. Ketidakefisienan ini mendorong perusahaan
menjadi out of the market sebagai konsekuensi dari masalah dalam tata kelola
perusahaan yang tak terpecahkan. Model ini mengestimasi kesulitan dengan
13
informasi kepemilikan. Kepemilikan berhubungan dengan struktur tata kelola
perusahaan dan goodwill perusahaan.
Wruck (1990) dalam Whittaker (1999) mengatakan bahwa kesulitan
keuangan terjadi akibat economic distress, penurunan dalam industri perusahaan,
dan manajemen yang buruk. Manajemen yang buruk didefinisikan sebagai
kecenderungan penurunan persentase pendapatan operasi perusahaan terhadap
pendapatan operasi industri dalam lima tahun terakhir.
2.1.2
Rasio Keuangan
Rasio keuangan merupakan suatu perhitungan rasio dengan menggunakan
laporan keuangan yang dapat berfungsi sebagai alat ukur dalam menilai kinerja
perusahaan. Menurut Harahap (1999) rasio keuangan adalah angka yang diperoleh
dari hasil perbandingan dari satu pos laporan keuangan dengan pos lainnya yang
mempunyai hubungan yang relevan dan signifikan atau berarti.
Rasio keuangan dapat digunakan untuk mengetahui apakah telah terjadi
penyimpangan dalam melaksanakan aktivitas operasional perusahaan. Menurut
Wild, Subramanyam, dan Halsey (2005) rasio merupakan alat untuk menyediakan
pandangan terhadap kondisi yang mendasari. Rasio merupakan salah satu titik
awal,
bukan
titik
akhir.
Rasio
yang
diinterpretasikan
dengan
tepat
mengindikasikan area yang memerlukan investigasi lebih lanjut. Dari defenisi ini
rasio dapat digunakan untuk mengetahui apakah terdapat penyimpanganpenyimpangan dengan cara membandingkan rasio keuangan dengan tahun-tahun
sebelumnya.
Rasio
perbandingan
keuangan
antara
menunjukkan
hubungan
perkiraan-perkiraan
sistematis
laporan
dalam
keuangan.
Agar
bentuk
hasil
perhitungan rasio keuangan dapat diinterpretasikan, perkiraan-perkiraan yang
dibandingkan harus mengarah pada hubungan ekonomis yang penting. Contoh
perbandingan yang tidak dapat diinterpretasikan adalah perbandingan antara
beban perlengkapan dengan harga saham karena beban perlengkapan tidak ada
14
kaitannya dengan faktor-faktor yang mempengaruhi harga saham perusahaan
tersebut.
Untuk dapat menginterpretasikan hasil perhitungan rasio keuangan, maka
diperlukan adanya pembanding. Ada dua metode pembandingan rasio keuangan
perusahaan menurut Syamsuddin (2000) yaitu:
a. Cross-sectional approach
Cross-sectional approach adalah suatu cara mengevaluasi dengan jalan
membandingkan rasio-rasio antara perusahaan yang satu dengan perusahaan
lainnya yang sejenis pada saat yang bersamaan.
b. Time series analysis
Time series analysis dilakukan dengan jalan membandingkan rasio-rasio
finansial perusahaan dari satu periode ke periode lainnya.
Rasio keuangan merupakan alat utama untuk melakukan analisis keuangan
dan memiliki beberapa kegunaan. Menurut Keomn, Scott, Martin, dan Petty
(2001)
Rasio keuangan dapat digunakan untuk menjawab setidaknya 4
pertanyaan: bagaimana tingkat likuiditas perusahaan, apakah manajemen efektif
dalam menghasilkan laba operasi atas aktiva yang dimiliki perusahaan, bagaimana
perusahaan
didanai,
apakah
pemegang
saham
biasa
mendapat
tingkat
pengembalian yang cukup.
Terdapat dua hal penting yang harus diperhatikan ketika melakukan
perhitungan rasio keuangan agar diperoleh hasil perhitungan rasio lebih tepat.
Sebagaimana dikemukakan oleh Simamora (2000). Pertama, untuk beberapa
pengecualian, tidak ada ketentuan-ketentuan baku dan cepat untuk komputasi
rasio. Kedua, dalam penghitungan banyak rasio, angka-angka laporan laba rugi
dibandingkan dengan angka-angka neraca. Karena laporan laba rugi mengacu
pada suatu periode waktu dan neraca mengacu pada suatu titik waktu, maka dalam
penghitungan rasio-rasio adalah baik untuk menghitung rata-rata untuk angkaangka neraca.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menggunakan rasio
keuangan sebagai alat analisis. Hal-hal tersebut akan membantu analis dalam
15
menginterpretasikan hasil perhitungan rasio keuangan sehingga dihasilkan
kesimpulan yang lebih tepat. Syamsuddin (2000) mengemukakan beberapa hal
yang harus diperhatikan dalam menggunakan rasio keuangan sebagai alat analisis.
a. Sebuah rasio saja tidak dapat digunakan untuk menilai keseluruhan operasi
yang telah dilaksanakan. Untuk menilai keadaan perusahaan secara
keseluruhan sejumlah rasio haruslah dinilai secara bersama-sama. Kalau
sekiranya hanya satu aspek saja yang ingin dinilai, maka satu atau dua rasio
saja sudah cukup digunakan.
b. Pembandingan yang dilakukan haruslah dari perusahaan yang sejenis dan pada
saat yang sama. Tidaklah tepat kita membandingkan rasio finansial
perusahaan A pada tahun 19X0 dengan rasio finansial perusahaan B pada
tahun 19X1.
c. Sebaiknya perhitungan rasio finansial didasarkan pada data laporan keuangan
yang telah diaudit (diperiksa). Laporan keuangan yang belum diaudit masih
diragukan kebenarannya, sehingga rasio-rasio yang dihitung juga kurang
akurat.
d. Sangat penting untuk diperhatikan bahwa pelaporan atau akuntansi yang
digunakan haruslah sama.
Ada banyak jenis-jenis rasio keuangan yang biasa digunakan dalam
melakukan analisis keuangan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Van Horne
dan Wachowicz (2005) .Rasio-rasio keuangan yang umumnya digunakan pada
dasarnya terdiri atas dua jenis. Jenis pertama meringkas beberapa aspek dari
kondisi keuangan perusahaan untuk suatu periode-periode dengan neraca yang
telah dibuat. Rasio-rasio ini disebut rasio rasio neraca (balance sheet ratio),
karena baik pembilang maupun penyebut dalam setiap rasio berasal langsung dari
neraca. Jenis kedua dari rasio meringkas beberapa aspek kinerja perusahaan
selama periode waktu tertentu, biasanya dalam setahun. Rasio-rasio ini disebut
sebagai rasio laporan laba rugi (income statement ratio) atau rasio laba rugi/neraca
(income statement/balance sheet ratio).
16
Secara umum rasio-rasio keuangan dapat diklasifikasi menjadi empat jenis
kelompok rasio keuangan antara lain:
2.1.2.1 Rasio Likuiditas
Rasio likuiditas adalah rasio untuk mengetahui kemampuan perusahaan
membiayai operasi dan memenuhi kewajiban keuangan pada saat ditagih. Harry
Supangkat (2003) mengemukakan bahwa rasio likuiditas merupakan rasio yang
digunakan untuk mengetahui apakah perusahaan mampu memenuhi kewajiban
jangka pendeknya secara tepat waktu.
Rasio likuiditas biasa digunakan dalam melakukan analisis kredit karena
likuiditas berkaitan dengan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban
jangka pendeknya. Pihak-pihak yang berkepentingan dalam menilai tingkat
likuiditas perusahaan adalah kreditor-kreditor jangka pendek seperti pemasok dan
bankir. Rasio likuiditas menurut Van Horne dan Wachowicz (2005) adalah rasio
yang mengukur kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka
pendeknya.
Untuk memenuhi kewajiban jangka pendeknya perusahaan memerlukan
sejumlah kas yang cukup sebagaimana yang dikemukakan oleh Wild,
Subramanyam dan Halsey (2005:9) bahwa likuiditas (liquiditty) merupakan
kemampuan perusahaan untuk menghasilkan kas dalam jangka pendek untuk
memenuhi kewajibannya. Likuiditas bergantung pada arus kas perusahaan dan
komponen aktiva lancar dan kewajiban lancarnya.
Menurut Syamsuddin (2000) likuiditas tidak hanya berkenaan dengan
keadaan keseluruhan keuangan perusahaan, tetapi juga berkenaan dengan
kemampuannya untuk mengubah aktiva lancar tertentu menjadi uang kas.
Perusahaan harus mengubah aktiva lancar tertentu menjadi kas untuk membayar
kewajiban lancarnya, misalnya perusahaan perlu menagih piutang atau menjual
persediaannya sehingga perusahaan memperoleh kas.
Rasio likuiditas dapat dibagi lagi menjadi beberapa jenis. Masing-masing
rasio likuiditas mencerminkan perspektif yang berbeda dalam mengukur
kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Rasio
likuiditas tersebut menurut Tampubolon (2005) antara lain current ratio, quick
17
ratio, absolute liquidity ratio. Menurut Darsono dan Ashari (2005) rasio likuiditas
meliputi rasio lancar, quick test ratio, net working capital, defensive interval ratio.
Menurut Van Horne dan Wachowicz, acid test ratio memberikan ukuran
yang mendalam tentang likuiditas daripada rasio lancar. Current ratio
menunjukkan hubungan antara aktiva lancar dengan kewajiban lancar suatu
perusahaan. Meskipun quick test ratio atau acid test ratio memberikan gambaran
yang lebih baik dalam mengukur tingkat likuiditas dibandingkan current ratio
karena hanya terdiri dari kas, surat-surat berharga, dan piutang usaha, tetapi acid
test ratio memiliki kelemahan dalam mengukur tingkat likuiditas. Sebagaimana
yang dikemukakan oleh Syamsuddin (2000) acid test ratio ini akan memberikan
gambaran likuiditas yang lebih tepat hanya apabila inventory untuk dijual dengan
segera tanpa menurunkan nilainya. Dengan perkataan lain, apabila inventory dapat
dijual dengan segera tanpa menurunkan nilainya, maka penggunaan current ratio
lebih disukai sebagai pengukuran tingkat likuiditas perusahaan secara menyeluruh
(overall liquidity of the firm).
Rasio lancar menurut Simamora (2000)
menunjukkan kemampuan
perusahaan untuk melunasi kewajiban jangka pendeknya dari aktiva lancarnya.
Pihak yang paling berkepentingan terhadap rasio lancar adalah kreditor jangka
pendek seperti pemasok. Jumlah kas dan jumlah persediaan dan piutang yang
akan dikonversi menjadi kas merupakan sumber daya yang dimiliki oleh
perusahaan untuk membayar kewajiban kepada kreditor jangka pendek. Rumus
untuk menghitung rasio lancar menurut Wild, Subramanyam, dan Halsey (2005)
current ratio =
current asset
current liabilitie s
Rumus tersebut menunjukkan hubungan antara aktiva lancar dengan
kewajiban lancar. Semakin besar aktiva lancar, maka rasio semakin tinggi rasio
lancarnya. Apabila dinyatakan bahwa rasio lancar suatu perusahaan adalah
sebesar 2, artinya setiap satu rupiah kewajiban lancar akan dijamin oleh dua
rupiah aktiva lancar.
18
Menurut Syamsuddin (2000)
tidak ada suatu ketentuan mutlak tentang
berapa tingkat current ratio yang dianggap baik atau yang harus dipertahankan
oleh suatu perusahaan karena biasanya tingkat current ratio ini juga sangat
tergantung pada jenis usaha dari masing-masing perusahaan perusahaan. Untuk
mengetahui apakah rasio lancar perusahaan baik, hasil perhitungan rasio lancar
harus dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya atau dengan industri sejenis.
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menganalisis rasio lancar
menurut Simamora (2005) antara lain praktik yang berlaku dalam
industri,
lamanya siklus operasi dalam perusahaan, dan bauran aktiva lancar perusahaan.
Rasio lancar yang tinggi belum tentu menunjukkan bahwa kemampuan
perusahaan
untuk
membayar
kewajiban
lancarnya
juga
tinggi.
Dalam
menganalisis rasio lancar perlu diperhatikan apakah yang menyebabkan rasio
lancar tersebut tinggi. Jika yang menyebabkan rasio lancar tersebut tinggi adalah
piutang atau persediaan, maka untuk memenuhi kewajiban lancarnya perusahaan
harus terlebih dahulu melakukan penagihan atas piutang atau menjual persediaan
agar diperoleh kas untuk membayar kewajiban lancar tersebut. Kreditor harus
menanggung risiko bahwa kemungkinan perusahaan tidak dapat membayar
kewajiban lancarnya karena perusahaan tidak mampu menagih piutangnya atau
tidak dapat menjual persediaannya.
Bagi kreditor jangka pendek semakin tinggi rasio lancar, maka semakin
besar kemungkinan bahwa perusahaan
mampu untuk membayar kewajiban
jangka pendeknya. Bagi kreditor jangka panjang rasio lancar yang rendah dapat
menyebabkan perusahaan dipaksa pailit. Oleh karena perusahaan perlu menjaga
tingkat likuiditas agar tidak terlalu tinggi ataupun terlalu rendah.
2.1.2.2 Rasio Profitabilitas
Rasio profitabilitas adalah rasio untuk mengetahui kemampuan perusahaan
untuk memperoleh laba dari berbagai kebijakan dan keputusan yang telah diambil.
Rasio profitabilitas disebut juga rasio kinerja operasi. Rasio profitabilitas atau
kinerja operasi digunakan untuk mengevaluasi margin laba dari aktivitas operasi
yang dilakukan perusahaan. Menurut Brigham dan Houston (2006) rasio
19
profitabilitas akan menunjukkan efek dari likuiditas, manajemen aktiva, dan utang
pada hasil operasi.
Rasio profitabilitas menurut Van Horne dan Wachowicz (2005) adalah rasio
yang menghubungkan laba dari penjualan dan investasi. Dari rasio profitabilitas
dapat diketahui bagaimana tingkat profitabilitas perusahaan. Setiap perusahaan
menginginkan tingkat profitabilitas yang tinggi. Untuk dapat melangsungkan
hidupnya, perusahaan harus berada dalam keadaan yang menguntungkan
(profitable).
Apabila
perusahaan
berada
dalam
kondisi
yang
tidak
menguntungkan, maka akan sulit bagi perusahaan untuk memperoleh pinjaman
dari kreditor maupun investasi dari pihak luar.
Dalam hubungannya dengan penjualan dan investasi, rasio profitabilitas
dapat diklasifikasikan menjadi margin laba kotor (gross profit margin), margin
laba operasi (operating profit margin), margin laba sebelum pajak (pretax profit
margin), margin laba bersih (net profit margin), return on assets atau return on
investment, dan return on equity. Berikut beberapa rasio profitabilitas :
a. Return on Assets (ROA)
Return on asset menurut Syamsudin (2000) merupakan pengukuran
kemampuan perusahaan secara keseluruhan di dalam menghasilkan keuntungan
dengan jumlah keseluruhan aktiva yang tersedia di dalam perusahaan. Dengan
mengetahui ROA, kita dapat menilai apakah perusahaan telah efisien dalam
menggunakan aktivanya dalam kegiatan operasi untuk menghasilkan keuntungan.
Rumus untuk menghitung return on assets menurut Van Horne dan Wachowicz
(2005)
ROA
=
EBIT
Total asset
Rumus lalin yang dapat digunakan untuk menghitung ROA adalah dengan
persamaan Du Pont. Dengan menggunakan persamaan Du Pont dapat dilihat lebih
jelas bagaimana hubungan antara laba bersih dengan total aktiva. Adapun
persamaan Du Pont menurut Brigham dan Houston (2006)
20
ROA = margin laba × perputaran total aktiva
=
laba bersih penjualan
×
penjualan total aktiva
Setiap perusahaan menginginkan tingkat pengembalian yang tinggi atas
aktivanya. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan tingkat pengembalian yang
rendah menurut Brigham dan Houston (2006) merupakan akibat dari kemampuan
perusahaan untuk menghasilkan laba yang rendah ditambah dan biaya bunga yang
tinggi yang dikarenakan oleh penggunaan utangnya yang di atas rata-rata di mana
keduanya telah menyebabkan laba bersih relatif rendah. Jika hasil perhitungan
ROA suatu perusahaan sebesar 0,15 atau 15 persen berarti setiap seratus rupiah
aktiva yang dimiliki perusahaan, perusahaan tersebut akan memperoleh
keuntungan sebesar 15 rupiah. Untuk mengetahui apakah perusahaan memperoleh
tingkat pengembalian yang tinggi atas aktivanya, maka hasil perhitungan ROA
harus dibandingkan dengan rata-rata tingkat pengembalian industri atau rata-rata
suku bunga pinjaman saat itu. Apabila hasil perhitungan menunjukkan bahwa
ROA perusahaan tersebut lebih tinggi dari ROA rata-rata industri atau rata-rata
suku bunga pinjaman berarti perusahaan memperoleh tingkat pengembalian yang
tinggi atas aktivanya.
b. Rasio Return earning to total asset (RETA)
Rasio ini menunjukkan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba
ditahan dari total aktiva perusahaan. Laba ditahan merupakan laba yang tidak
dibagikan kepada para pemegang saham. Dengan kata lain, laba ditahan
menunjukkan berapa banyak pendapatan perusahaan yang tidak dibayarkan dalam
bentuk dividen kepada para pemegang saham. Laba ditahan menunjukkan klaim
terhadap aktiva, bukan aktiva per ekuitas pemegang saham. Laba ditahan terjadi
karena pemegang saham biasa mengizinkan perusahaan untuk menginvestasikan
kembali laba yang tidak didistribusikan sebagai dividen. Dengan demikian, laba
ditahan yang dilaporkan dalam neraca bukan merupakan kas dan tidak tersedia
untuk pembayaran dividen atau yang lain.
21
2.1.2.3 Rasio Leverage
Perusahaan memperoleh sumber pendanaan dari dua sumber yaitu kreditor
dan pemegang saham. Rasio leverage menunjukkan berapa besar perusahaan
didanai oleh kreditor dan pemegang saham. Rasio leverage (rasio utang) menurut
Van Horne dan Wachowicz (2005) adalah rasio yang menunjukkan sejauh mana
perusahaan dibiayai oleh utang. Rasio leverage disebut juga rasio solvabilitas.
Menurut Darsono dan Ashari (2005) rasio leverage atau rasio solvabilitas adalah
rasio untuk mengetahui kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jika
perusahaan tersebut dilikuidasi.
Pihak yang paling berkepentingan terhadap rasio leverage perusahaan adalah
kreditur dan pemegang saham. Semakin besar jumlah pendanaan yang berasal dari
kreditor, semakin tinggi risiko perusahaan tidak dapat membayar seluruh
kewajiban dan bunganya. Bagi pemegang saham, semakin tinggi rasio leverage,
semakin rendah tingkat pengembalian yang akan diterima pemegang saham
karena perusahaan harus melakukan pembayaran bunga sebelum laba dapat
dibagikan kepada pemegang saham dalam bentuk dividen.
Rasio leverage menurut Brigham dan Houston (2006) memiliki tiga
implikasi penting sebagai berikut:
a. dengan memperoleh dana melalui utang, para pemegang saham dapat
mempertahankan kendali mereka atas perusahaan tersebut dengan sekaligus
membatasi investasi yang mereka berikan,
b. kreditor akan melihat pada ekuitas, atau dana yang diperoleh sendiri, sebagai
suatu batasan keamanan sehingga semakin tinggi proporsi dari jumlah modal
yang diberikan oleh pemegang saham, maka semakin kecil risiko yang harus
dihadapi kreditor,
c. jika perusahaan mendapatkan hasil dari investasi yang didanai dengan dana
hasil pinjaman lebih besar daripada bunga yang dibayarkan, maka
pengembalian dari modal pemilik akan diperbesar, atau “diungkit”
(leveraged).
22
Ada dua rasio leverage menurut Van Horne dan Wachowicz (2005) yaitu
rasio utang terhadap ekuitas (debt to equity) dan rasio utang terhadap total aktiva
(debt to total assets ratio).
Menurut Darsono dan Ashari (2005) debt
ratio menekankan pada
pentingnya pendanaan hutang dengan jalan menunjukkan persentase aktiva
perusahaan yang didukung oleh hutang. Rasio ini juga menyediakan informasi
tentang kemampuan perusahaan dalam mengadaptasi kondisi pengurangan aktiva
akibat kerugian tanpa mengurangi pembayaran bunga kepada kreditor. Rumus
untuk menghitung debt ratio menurut Brigham dan Houston (2006)
debt ratio =
total liabilities
total asset
Rumus tersebut menunjukkan hubungan antara total utang dengan total
aktiva. Semakin tinggi total utang, maka akan semakin tinggi pula debt ratio,
sebaliknya semakin tinggi total aktiva, maka akan semakin rendah debt ratio.
Total utang mencakup, baik utang lancar maupun utang jangka panjang.
Kreditur lebih menyukai rasio utang yang rendah karena semakin rendah rasio ini,
maka semakin besar perlindungan terhadap kerugian kreditur dalam peristiwa
likuidasi. Di sisi lain, pemegang saham akan menginginkan leverage yang lebih besar
karena akan dapat meningkatkan laba yang diharapkan.
Apabila debt ratio perusahaan sebesar 0,4 atau 40 persen berarti sebesar 40
persen aktiva perusahaan tersebut didanai oleh utang dan sisanya sebesar 60
persen aktiva perusahaan didanai oleh pemegang saham. Apabila perusahaan akan
dilikuidasi, perusahaan dapat menjual aktivanya dan kreditor akan menerima
pembayaran minimal sebesar 40 persen sebelum kreditor mengalami kerugian.
Hasil perhitungan rasio leverage harus dibandingkan dengan tahun-tahun
sebelumnya atau rata-rata industri sejenis untuk mengetahui bagaimana
perusahaan memanajemen pendanaannya. Menurut Darsono dan Ashari (2005)
untuk menilai rasio ini faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah stabilitas
laba perusahaan. Pada perusahaan yang memiliki catatan laba yang stabil,
23
peningkatan dalam hutang lebih bisa ditoleransi daripada perusahaan yang
memiliki catatan laba yang tidak stabil.
2.1.2.4 Rasio Aktivitas
Rasio aktivitas sering juga disebut sebagai rasio efisiensi atau rasio
pemanfaatan aktiva. Rasio aktivitas menurut Van Horne dan Wachowicz (2005)
adalah “rasio yang mengukur seberapa efektif perusahaan menggunakan berbagai
aktivanya”. Rasio aktivitas atau rasio pemanfaatan aktiva menurut Wild,
Subramanyam, dan Halsey (2005) yang mengaitkan penjualan dengan berbagai
kategori aktiva, merupakan penentu penting ROI. Rasio aktivitas dapat
diklasifikasikan menjadi rasio perputaran kas, rasio perputaran piutang usaha,
perputaran persediaan, perputaran modal kerja, perputaran aktiva tetap, dan
perputaran total aktiva.
Rasio aktivitas yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah total assets
turnover (TATO). Total assets turnover menurut Syamsuddin (2000) mengukur
berapa kali total aktiva perusahaan menghasilkan penjualan, sedangkan menurut
Darsono dan Ashari (2005) kemampuan perusahaan dalam menggunakan aktiva
yang dimiliki untuk menghasilkan penjualan digambarkan dalam rasio ini. Rumus
untuk menghitung total asstes turnover menurut Van Horne dan Wachowicz
(2005)
Total asset turnover =
sales
total asset
Rumus tersebut menunjukkan hubungan antara penjualan bersih dengan total
aktiva. Jika total assets turnover suatu perusahaan sebesar 2,5 berarti total aktiva
perusahaan berputar 2,5 kali untuk menghasilkan penjualan bagi perusahaan.
Untuk mengetahui apakah perusahaan cukup efektif dalam menggunakan
aktivanya, hasil perhitungan harus dibandingkan dengan rata-rata industri atau
hasil perhitungan tahun-tahun sebelumnya.
24
2.2
Kajian Penelitian Terdahulu
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk meneliti financial distress
diantaranya oleh Almilia (2004) yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Kondisi Financial Distress Suatu Perusahaan yang Terdaftar di
Bursa Efek Jakarta”. Variabel yang digunakan adalah rasio keuangan (SETA,
RETA, TDTA, NITA, TRENDHRG); rasio relatif industri (AS_SETA,
AS_RETA, AS_NITA, RI_TDTA); kumulatif return harian saham perusahaan
selama 1 bulan dan 1 tahun; sensitifitas perusahaan terhadap IHSG, Money Supply
(M2), indeks harga konsumen umum, dan tingkat suku bunga; serta reputasi
auditor dan reputasi underwriter. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rasio
relatif industri, sensitifitas perusahaan terhadap kondisi makro ekonomi dan
reputasi auditor merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi delisted
sebuah perusahaan. Sedangkan untuk rasio keuangannya yang berpengaruh
terhadap financial distress adalah SETA, NITA, dan TDTA. Pada waktu yang
berbeda Almilia (2006) melakukan penelitian dengan menggunakan 31 rasio
keuangan, judulnya “Prediksi Kondisi Financial Distress Perusahaan Go Public
dengan Menggunakan Analisis Multinomial Logit”. Hasilnya rasio TLTA, CATA,
NFATA, CFFOTA, CFFOCL, CFFOTS dan CFFOTL dapat digunakan untuk
memprediksi untuk memprediksi kondisi financial distress perusahaan.
Platt dan Platt (2002) berusaha menentukan rasio yang paling dominan
dengan menggunakan model logit untuk memprediksi adanya financial distress.
Hasil penelitiannya yaitu EBITDA/sales, current assets/current liabilities dan
cash flow growth rate memiliki hubungan negatif terhadap kemungkinan
perusahaan akan mengalami financial distress. Semakin besar rasio ini maka
semakin kecil kemungkinan perusahaan mengalami financial distress. Variabel
net fixed assets/total assets, long-term debt/equity dan notes payable/total assets
memiliki hubungan positif terhadap kemungkinan perusahaan akan mengalami
financial distress. Semakin besar rasio ini maka semakin besar kemungkinan
perusahaan mengalami financial distress.
25
Penelitian lain untuk memprediksi financial distress dilakukan oleh Subagyo
(2007) dengan menggunakan variabel financial ratios, industry relative
ratios,sensitifitas terhadap indikator ekonomi makro sebagai prediktor dalam
model financial distress. Hasil penelitian dapat membuktikan bahwa financial
ratios, industry relative ratios, sensitifitas terhadap indikator ekonomi makro
dapat digunakan sebagai prediktor dalam model financial distress dengan model
prediksi terbaik adalah model prediksi yang mengintegrasikan faktor internal dan
eksternal perusahaan. Untuk variabel dari rasio keuangan, EATEQ dan CFTA
berpengaruh positif dan signifikan terhadap financial distress, sedangkan rasio
EATS, RETA, dan CFCA mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap
financial distress.
Penelitian Almilia dan Kristijadi (2003) yang menggunakan rasio keuangan
berdasarkan penelitian Platt dan Platt (2002) mengambil sampel perusahaan
manufaktur yang terdapat di BEJ pada tahun 1998-2001. Hasil penelitiannya
menyebutkan bahwa variabel yang paling dominan dalam menentukan financial
distress suatu perusahaan adalah NI/S, CL/TA, CA/CL yang berpengaruh negatif
dan signifikan terhadap financial distress, serta GROWTH NI/TA berpengaruh
positif dan signifikan terhadap financial distress.
Pasaribu (2008) melakukan penelitian dengan variabel independen yang
digunakan adalah rasio keuangan dari laporan laba rugi, neraca, arus kas dan beta
saham. Ada 6 model dengan indikator distress yang berbeda-beda digunakan
dalam penelitian ini. Hasilnya menunjukkan bahwa pada indikator current ratio
dan indikator asset turnover yang memiliki tingkat daya klasifikasi yang lebih
tinggi dibandingkan dengan 4 model lainnya. Pada model 3 (indikator current
ratio) rasio QATA dan WCTA berpengaruh positif dan signifikan pada financial
distress. Untuk model 4 (indikator asset turnover) rasio WCTA, ITO, SALCA,
dan CashTA berpengaruh positif dan signifikan pada financial distress, sedangkan
rasio LDTA mempunyai hubungan negatif dan signifikan.
Salehi (2009) dalam penelitiannya menggunakan variabel WC/TA, CA/CL,
PBIT/TA, TE/TA, S/TA. Hasil yang didapatkan yaitu PBIT/TA, TETA, S/TA
26
berpengaruh positif dan signifikan terhadap financial distress, sedangkan WCTA
mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap financial distress.
Almilia dan Silvy (2003) melakukan penelitian dengan variabel yang
digunakan adalah rasio keuangan (SETA, RETA, TDTA, ROA); TRENDHRG;
LNASSET; Industry market to book ratio (IMB); sensitifitas perusahaan diukur
dengan kumulatif return harian saham perusahaan selama 1 bulan terhadap IHSG,
Money Supply (M2), tingkat suku bunga, dan indeks harga konsumen umum; serta
Ketetapan kepemilikan manajerial dan status underwriter. Dari penelitian tersebut
hasilnya untuk rasio keuangan adalah SETA, RETA, dan NITA berpengaruh
positif dan signifikan terhadap perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan.
Penelitian lainnya dilakukan oleh Pranowo, dkk (2010) dengan menganalisa
faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi financial distress perusahaan.
Hasilnya bahwa rasio CA/CL, EBITDA/TA, EQ/TA berpengaruh positif dan
signifikan terhadap financial distress, sedangkan LPFA berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap financial distress perusahaan.
Jiming dan Weiwei (2011) dalam penelitiannya menggunakan variabel
dengan indikator keuangan dan non-keuangan. Untuk indikator keuangan yaitu
rasio Cash to Current Liability Ratio, Debt-Equity Ratio, Debt-asset Ratio,
Inventory Turnover, Total Assets Turnover. Hasil penelitiannya menunjukkan
Debt-asset Ratio berpengaruh positif dan signifikan terhadap financial distress,
sedangkan Inventory Turnover dan Total Assets Turnover berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap financial distress.
2.3
Kerangka Pemikiran
Banyak para peneliti yang menggunakan rasio keuangan untuk meneliti
financial distress, namun diantaranya juga masih terdapat perbedaan-perbedaan
dalam hasil rasio yang mempengaruhi financial distress. Penelitian ini
menggunakan rasio keuangan Current assets to current liabilities (CACL, Net
Income to total assets (NITA), Retained Earnings to total assets (RETA), Total
liabilities to total assets (TLTA), Sales to total assets (STA), yang digunakan
untuk menilai kinerja perusahaan yang mengalami financial distress.
27
Current assets to current liabilities (CACL) termasuk dalam rasio likuiditas
yang sering disebut dengan rasio lancar (current ratio). Rasio lancar (current
ratio) dihitung dengan membagi aktiva lancar dengan kewajiban lancar (Brigham
dan Houston, 2001). Beberapa komponen aktiva lancar yaitu kas, piutang, dan
persediaan. Sedangkan kewajiban lancar sendiri merupakan kewajiban keuangan
perusahaan yang pelunasannya atau pembayaran akan dilakukan dalam jangka
pendek (satu tahun sejak tanggal neraca) dengan menggunakan aktiva lancar yang
dimiliki oleh perusahaan (Munawir,2002). Rasio ini bertujuan untuk mengukur
kemampuan suatu perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya
dengan aktiva lancarnya (Ang,1997). Rasio lancar untuk perusahaan yang normal
berkisar pada angka 2, meskipun tidak ada standar yang pasti untuk penentuan
rasio lancar yang seharusnya (Hanafi dan Halim, 2005). Perusahaan yang
mempunyai aktiva lancar lebih besar dari kewajiban lancarnya dengan
perbandingan 2:1 atau setidaknya rasio lancar lebih dari 1 (satu), maka bisa
dikatakan perusahaan dalam kondisi yang likuid untuk menutup kewajiban
lancarnya sehingga kecil kemungkinan terjadi financial distress. Namun, apabila
jumlah aktiva lancar yang dimiliki perusahaan lebih rendah dari jumlah kewajiban
lancarnya, maka tidak akan cukup untuk menutup kewajiban lancar yang dimiliki
perusahaan. Akibatnya, perusahaan dapat mengalami kesulitan keuangan dimana
pembayaran kewajiban menjadi lambat dan dapat memicu untuk melakukan
pinjaman yang lebih banyak lagi. Brigham dan Houston (2001) mengatakan
bahwa jika kewajiban lancar meningkat lebih cepat dibandingkan aktiva lancar,
maka rasio lancar akan turun dan hal ini bisa menimbulkan permasalahan. Dengan
demikian dapat dimungkinkan bahwa pola hubungan antara current ratio dengan
financial distress adalah negatif.
Ang (1997) menjelaskan bahwa ROA digunakan untuk mengukur efektivitas
perusahaan didalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang
dimilikinya. ROA bisa dipecah ke dalam dua komponen : profit margin dan
perputaran aktiva. Profit margin merupakan ukuran efisiensi perusahaan,
sedangkan
perputaran
aktiva
mencerminkan
kemampuan
perusahaan
menghasilkan penjualan berdasarkan asset tertentu. Komposisi profit margin dan
28
perputaran aktiva akan mempengaruhi ROA. Perusahaan yang menghadapi
pembatasan kapasitas, sehingga perputaran aktiva sulit dinaikkan, bisa
menerapkan strategi meningkatkan profit margin-nya. Sebaliknya, perusahaan
yang menghadapi pembatasan karena adanya kompetisi yang tajam, sehingga sulit
menaikkan profit margin-nya, bisa menerapkan strategi meningkatkan perputaran
aktivanya. Perusahaan yang berada pada dua titik ekstrem tersebut mempunyai
fleksibilitas yang lebih besar, bisa memilih meningkatkan profit margin ataupun
perputaran aktivanya (Hanafi dan Halim, 2005).
ROA yang positif menunjukkan keseluruhan aktiva yang dipergunakan
untuk operasi perusahaan mampu memberikan laba bagi perusahaan dan
sebaliknya ROA negatif menunjukkan aktiva yang digunakan untuk operasi
perusahaan tidak mampu memberikan keuntungan bagi perusahaan. ROA
menggunakan laba sebagai salah satu cara untuk menilai efektivitas dalam
penggunaan aktiva perusahaan dalam menghasilkan laba. Semakin tinggi laba
yang dihasilkan, maka semakin tinggi pula ROA, hal itu berarti bahwa perusahaan
semakin efektif dalam penggunaan aktiva untuk menghasilkan keuntungan.
Husnan (1998) mengatakan bahwa semakin besar Return on Asset menunjukkan
kinerja keuangan yang semakin baik, karena tingkat kembalian (return) semakin
besar. Apabila Return on Asset meningkat, berarti profitabilitas perusahaan
meningkat, sehingga dampak akhirnya adalah peningkatan profitabilitas yang
dinikmati oleh pemegang saham. Dengan demikian, semakin tinggi rasio ROA
(NITA) maka semakin rendah kemungkinan terjadinya financial distress pada
perusahaan. Sebaliknya semakin rendah rasio ROA (NI/TA) menunjukkan kinerja
keuangan yang tidak baik dimana perusahaan tidak mampu mengoptimalkan
aktiva yang dimiliki untuk menghasilkan keuntungan sehingga profitabilitas
menurun dan kemungkinan terjadinya financial distress semakin besar.
Rasio return earning to total asset (RETA) menunjukkan kemampuan
perusahaan untuk menghasilkan laba ditahan dari total aktiva perusahaan. Laba
ditahan merupakan laba yang tidak dibagikan kepada para pemegang saham.
Riyanto (2001) menjelaskan bahwa keuntungan yang diperoleh oleh suatu
perusahaan dapat sebagian dibayarkan sebagai deviden dan sebagian ditahan oleh
29
perusahaan. Apabila perusahaan belum mempunyai tujuan tertentu mengenai
penggunaan keuntungan tersebut, maka keuntungan tersebut merupakan “
keuntungan yang ditahan(retained earning)”. Laba ditahan ini nantinya menjadi
sumber dana internal perusahaan untuk digunakan sebagai sumber pendanaan
perusahaan dalam melakukan pengeluaran modal atau investasi. Umur perusahaan
berpengaruh terhadap rasio tersebut karena semakin lama perusahaan beroperasi
memungkinkan untuk memperlancar akumulasi laba ditahan. Adanya keuntungan
akan memperbesar “retained earning” yang ini berarti akan memperbesar modal
sendiri. Sebaliknya adanya kerugian yang diderita akan memperkecil “retained
earning” yang ini berarti akan memperkecil modal sendiri (Riyanto, 2001).
Dengan kata lain apabila rasio RETA rendah menunjukkan kemampuan aktiva
perusahaan tidak produktif dan semakin mempersulit keuangan perusahaan dalam
pendanaan ataupun investasi sehingga dapat menyebabkan terjadinya financial
distress. Jadi, dapat dimungkinkan bahwa rasio RETA mempunyai pola hubungan
negatif terhadap financial distress.
Rasio total hutang terhadap total aktiva, yang pada umumnya disebut rasio
hutang (debt ratio), mengukur persentase dana yang disediakan oleh kreditur
(Brigham dan Houston, 2001). Rasio ini memperlihatkan proporsi seluruh aktiva
yang didanai oleh hutang (Fraser dan Ormiston, 2008). Dengan kata lain,
menunjukkan seberapa besar aktiva perusahaan dibiayai oleh hutang atau seberapa
besar hutang perusahaan berpengaruh terhadap pengelolaan aktiva. Biasanya
pihak pemberi pinjaman berkepentingan terhadap kemampuan perusahaan untuk
membayar hutang, sebab semakin banyak hutang perusahaan maka semakin tinggi
kemungkinan perusahan tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada kreditur.
Rasio ini menekankan pada peran penting pendanaan hutang bagi perusahaan
dengan menunjukkan persentase aktiva perusahaan yang didukung oleh
pendanaan hutang (Horne dan Wachowicz, Jr, 2005).
Rasio yang tinggi berarti perusahaan menggunakan leverage keuangan
(financial leverage) yang tinggi. Penggunaan leverage yang tinggi akan
meningkatkan rentabilitas modal saham (Return On Equity atau ROE) dengan
cepat, tetapi sebaliknya apabila penjualan menurun, rentabilitas modal saham
30
(ROE) akan menurun cepat pula. Risiko perusahaan dengan financial leverage
yang tinggi akan semakin tinggi pula (Hanafi dan Halim, 2005). Menurut Horne
dan Wachowicz, Jr (2005), semakin tinggi rasio hutang, semakin besar risiko
keuangannya. Yang dimaksudkan dengan terjadinya peningkatan risiko adalah
kemungkinan terjadinya default karena perusahaan terlalu banyak melakukan
pendanaan aktiva dari hutang. Jadi, apabila rasio hutang (TLTA) semakin besar
dapat membahayakan perusahaan karena dengan hutang yang semakin banyak
akan menyulitkan perusahaan untuk memperoleh tambahan dana. Brigham dan
Houston (2001) menjelaskan bahwa kreditur akan enggan meminjamkan
tambahan dana kepada perusahaan, dan manajemen mungkin menghadapi risiko
kebangkrutan jika perusahaan meningkatkan rasio hutang dengan meminjam
tambahan dana. Hal ini menunjukkan pola hubungan rasio total liabilities to total
assets terhadap financial distress adalah positif.
Rasio STA juga disebut rasio perputaran total aktiva (total assets turnover
ratio), yang dihitung dengan membagi penjualan dengan total aktiva. Besar
kecilnya penjualan dan total aktiva akan mempengaruhi rasio perputaran total
aktiva ini. Dimana peningkatan penjualan yang relatif lebih besar dari peningkatan
aktiva membuat rasio ini semakin tinggi, sebaliknya peningkatan penjualan yang
relatif lebih kecil dari peningkatan aktivanya membuat rasio ini semakin rendah.
Harahap (2002) mengatakan bahwa rasio ini menunjukkan perputaran total aktiva
diukur dari volume penjualan dengan kata lain seberapa jauh kemampuan semua
aktiva menciptakan penjualan, semakin besar rasio ini semakin baik.
Rasio perputaran total aktiva (STA) yang tinggi menunjukkan semakin
efektif perusahaan dalam penggunaan aktivanya untuk menghasilkan penjualan.
Semakin efektif perusahaan menggunakan aktivanya untuk menghasilkan
penjualan diharapkan dapat memberikan keuntungan yang semakin besar bagi
perusahaan. Hal itu akan menunjukkan semakin baik kinerja keuangan yang
dicapai oleh perusahaan sehingga kemungkinan terjadinya financial distress
semakin kecil. Hanafi dan Halim (2005) menjelaskan bahwa rasio yang tinggi
biasanya menunjukkan manajemen yang baik, sebaliknya rasio yang rendah harus
membuat manajemen mengevaluasi strategi, pemasarannya, dan pengeluaran
31
modalnya. Apabila rasio ini rendah maka perusahaan tidak menghasilkan volume
penjualan yang cukup dibanding dengan investasi dalam aktivanya, hal ini
menunjukkan kinerja yang tidak baik sehingga dapat mempengaruhi keuangan
perusahaan dan memicu terjadinya financial distress. Jadi, dapat dimungkinkan
bahwa pola hubungan antara rasio total assets turnover (Sales/TA) dengan
financial distress adalah negatif. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Jiming dan Weiwei (2011) juga menunjukkan rasio total assets turnover
berpengaruh negatif, berarti semakin tinggi rasio total assets turnover (Sales/TA)
semakin rendah kemungkinan terjadinya financial distress.
Gambar 2.1.
Skema Kerangka Pemikiran
Rasio keuangan :
1. CACL
2. RETA
3. NITA (ROA)
4. STA
(-)
Financial
Distress
(+)
5. TLTA
2.4
Pengembangan Hipotesis
2.4.1
Pengaruh rasio CACL terhadap financial distress
Rasio lancar yang rendah menunjukkan likuiditas jangka pendek yang
rendah, sedangkan rasio lancar yang tinggi menunjukkan kelebihan aktiva lancar
yang berarti likuiditas tinggi dan risiko rendah (Hanafi, 2004). Semakin besar
tingkat likuiditas perusahaan, dalam hal ini aktiva lancarnya, memperlihatkan
semakin baik kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka
pendeknya, sehingga terhindar dari kemungkinan terjadinya financial distress.
Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dinyatakan hipotesis pertama yaitu :
32
H1:
Rasio Current assets to current liabilities (CACL) berpengaruh negatif
terhadap financial distress.
2.4.2
Pengaruh rasio NITA terhadap financial distress
Rasio ini dikenal dengan Return on Assets (ROA). Husnan (1998)
mengatakan bahwa semakin besar Return on Asset menunjukkan kinerja keuangan
yang semakin baik, karena tingkat kembalian (return) semakin besar. Apabila
Return on Asset meningkat, berarti profitabilitas perusahaan meningkat, sehingga
dampak akhirnya adalah peningkatan profitabilitas yang dinikmati oleh pemegang
saham.
Penelitian yang dilakukan oleh Almilia dan Silvy (2003) yang
menunjukkan bahwa rasio NITA berpengaruh positif signifikan terhadap financial
distress, sedangkan menurut Almilia (2004) dalam penelitiannya menunjukkan
bahwa rasio NITA berpengaruh negative dan signifikan terhadap kondisi financial
distress suatu perusahaan. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dinyatakan
hipotesis keempat yaitu:
H2:
Rasio Net Income to total assets (NITA) berpengaruh negatif terhadap
financial distress.
2.4.3
Pengaruh rasio RETA terhadap financial distress
Rasio RETA rendah menunjukkan kemampuan aktiva perusahaan tidak
produktif dan semakin mempersulit keuangan perusahaan dalam pendanaan
ataupun investasi sehingga dapat menyebabkan terjadinya financial distress. Jadi,
dapat dimungkinkan bahwa rasio RETA mempunyai pola hubungan negatif
terhadap financial distress.
Rasio RETA menurut Almilia dan Silvy (2003) berpengaruh positif
signifikan terhadap kondisi financial distress perusahaan, akan tetapi penelitian
yang dilakukan oleh Subagyo (2007) mengatakan yang sebaliknya, yaitu rasio
RETA berpengaruh
negatif dan
signifikan
terhadap financial
distress.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dinyatakan hipotesis kelima yaitu :
33
H3: Rasio Retained Earnings to total assets (RETA) berpengaruh negatif terhadap
financial distress.
2.4.4
Pengaruh rasio STA terhadap financial distress
Rasio STA juga disebut rasio perputaran total aktiva (total assets turnover
ratio), yang dihitung dengan membagi penjualan dengan total aktiva. Hanafi dan
Halim (2005) menjelaskan bahwa rasio yang tinggi biasanya menunjukkan
manajemen yang baik, sebaliknya rasio yang rendah harus membuat manajemen
mengevaluasi strategi, pemasarannya, dan pengeluaran modalnya. Apabila rasio
ini rendah maka perusahaan tidak menghasilkan volume penjualan yang cukup
dibanding dengan investasi dalam aktivanya, hal ini menunjukkan kinerja yang
tidak baik sehingga dapat mempengaruhi keuangan perusahaan dan memicu
terjadinya financial distress. Jadi, dapat dimungkinkan bahwa pola hubungan
antara rasio total assets turnover (Sales/TA) dengan financial distress adalah
negatif. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Jiming dan Weiwei
(2011) juga menunjukkan rasio total assets turnover berpengaruh negatif, berarti
semakin tinggi rasio total assets turnover (Sales/TA) semakin rendah
kemungkinan terjadinya financial distress. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat
dinyatakan hipotesis kedelapan yaitu:
H4:
Rasio Sales to total assets (S/TA) berpengaruh negatif terhadap financial
distress.
2.4.5
Pengaruh rasio TLTA te rhadap financial distress
Rasio total hutang terhadap total aktiva, yang pada umumnya disebut rasio
hutang (debt ratio), mengukur persentase dana yang disediakan oleh kreditur
(Brigham dan Houston, 2001). Rasio ini memperlihatkan proporsi seluruh aktiva
yang didanai oleh hutang (Fraser dan Ormiston, 2008).
Brigham dan Houston (2001) menjelaskan bahwa kreditur akan enggan
meminjamkan tambahan dana kepada perusahaan, dan manajemen mungkin
menghadapi risiko kebangkrutan jika perusahaan meningkatkan rasio hutang
dengan meminjam tambahan dana. Hal ini menunjukkan pola hubungan rasio total
34
liabilities to total assets terhadap financial distress adalah positif. Berdasarkan
penelitian Jiming dan Weiwei (2011), rasio TLTA berpengaruh positif dan
signifikan terhadap financial distress. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Almilia (2006) menunjukkan bahwa rasio TLTA berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap financial distress. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat
dinyatakan hipotesis ketujuh yaitu:
H5:
Rasio Total liabilities to total assets (TLTA) berpengaruh positif terhadap
financial distress.
Download