BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kanker Payudara Kanker payudara merupakan suatu kondisi dimana sel telah kehilangan pengendalian dan mekanisme normalnya, sehingga terjadi pertumbuhan yang tidak normal, cepat dan tidak terkendali yang terjadi pada jaringan payudara. Tumor ganas ini berasal dari kelenjar, saluran kelenjar dan jaringan penunjang, tetapi tidak termasuk kulit payudara (Mulyani, 2013). Gejala dari kanker payudara yaitu 1) penambahan ukuran atau bertambah besar yang tidak biasa pada payudara; 2) adanya benjolan pada payudara yang semakin membesar melekat pada kulit dan menimbulkan perubahan pada kulit payudara; 3) kulit atau puting susu tertarik kedalam (retraksi) berwarna merah muda atau kecoklatan sampai edema hingga kulit terlihat seperti kulit jeruk (peau d’orange); 4) timbul borok (ulkus) pada payudara; 5) keluar cairan seperti susu dan/atau darah dari puting; 6) pembesaran kelenjar getah bening pada lipatan ketiak dan/atau leher; dan 7) pembengkakan pada lengan bagian atas (Depkes, 2009). 2.1.1 Faktor risiko kanker payudara Terdapat banyak faktor risiko yang diperkirakan mempunyai pengaruh terhadap terjadinya kanker payudara, diantaranya: 1. Umur Penelitian membuktikan bahwa terdapat hubungan umur dengan kejadian kanker payudara. Wanita usia ≤ 50 tahun memiliki risiko 5,8 kali untuk menderita kanker payudara dibandingkan dengan wanita usia > 50 tahun (Rianti, 2012). Wanita yang berumur lebih dari 40 tahun mempunyai risiko menderita kanker payudara 2 7 8 kali lebih tinggi dan risiko terus meningkat sampai umur 60 tahun ke atas (Ebrahimi et al, 2002 dalam Mediasta, 2012). 2. Riwayat tumor jinak pada payudara Wanita yang pernah menjalani biopsi menunjukkan suatu pertumbuhan berlebih dari sel-sel (hiperplasia) pada duktus atau lobulus, sehingga memiliki peningkatan risiko penyakit kanker payudara, terutama jika sel-sel yang abnormal muncul. Wanita dengan riwayat tumor jinak pada payudara memiliki risiko terkena kanker payudara 13,7 kali dibandingkan wanita tidak ada riwayat tumor jinak (Febianingsih, 2009). 3. Riwayat usia melahirkan anak pertama >30 tahun Periode diantara usia menarche dan usia kehamilan pertama terjadi ketidakseimbangan hormon dan membuat jaringan payudara sangat peka, sehingga menjadi permulaan dari perkembangan kanker payudara. Wanita yang mempunyai riwayat melahirkan anak pertama pada usia > 30 tahun mempunyai risiko terkena kanker payudara 5 kali dibandingkan wanita dengan riwayat melahirkan anak pertama pada usia ≤ 30 tahun (Anggorowati, 2012). 4. Riwayat kanker payudara pada keluarga Pada studi genetik ditemukan bahwa kanker payudara berhubungan dengan gen tertentu, apabila terdapat BRCA 1 (breast cancer) yaitu suatu gen kerentanan terhadap kanker payudara, probabilitas untuk terjadinya kanker payudara sebesar 60 % pada usia 50 tahun dan 85 % pada umur 70 tahun (Chyntia dalam Sari, 2013). Wanita dengan riwayat keluarga pernah menderita kanker payudara memiliki risiko terkena kanker payudara 5,7 kali dibandingkan wanita yang tidak memiliki keluarga dengan riwayat kanker payudara (Mediasta, 2012). Wanita dengan satu orang dari keluarga menderita kanker payudara mempunyai risiko 2 kali 9 menderita kanker payudara, dan wanita yang terdapat 2 orang menderita kanker payudara mempunyai risiko 14 kali menderita kanker payudara (Anggorowati, 2012). 5. Riwayat kanker ovarium pada keluarga Wanita dengan riwayat kanker ovarium pada keluarga memiliki risiko terkena kanker payudara 5,3 kali dibandingkan wanita yang tidak memiliki keluarga dengan riwayat kanker ovarium (Indrati, 2005). 6. Riwayat obesitas Studi penelitian dari Breast Cancer Research menunjukkan bahwa obesitas pada perempuan menentukan laju pertumbuhan sel kanker dan ukuran suatu tumor. Hal ini disebabkan oleh kepadatan dari sel-sel lemak untuk estrogen yang mendorong produksi dari hormon yang disebut leptin. Wanita yang memiliki riwayat IMT >25 berisiko terkena kanker payudara 2,4 kali dibandingkan wanita yang memiliki IMT ≤ 25 (Indrati, 2005). 7. Nullipara Wanita yang tidak pernah mengalami kehamilan dan persalinan berisiko 9 kali untuk menderita kanker payudara dibandingkan wanita yang pernah mengalami kehamilan dan persalinan (Febianingsih, 2009). 8. Tidak menyusui anak/menyusui anak dalam waktu yang singkat Pada masa menyusui, hormon gonadotrofik (luteotrofin atau prolaktin) menekan sekresi luteinising hormon yang memproduksi estrogen, sehingga kadar estrogen ibu mengalami penurunan. Semakin singkat riwayat lama menyusui akan semakin meningkat risiko untuk menderita kanker payudara. Wanita yang menyusui bayinya <5 bulan memiliki risiko sebesar 3,9 kali dibandingkan wanita yang menyusui bayinya >24 bulan dan wanita dengan lama menyusui antara 5-12 bulan 10 memiliki risiko menderita kanker payudara sebesar 2,1 dibandingkan wanita yang menyusui bayinya >24 bulan (Indrati, 2005). 9. Usia menstruasi pertama (menarche) < 12 tahun Wanita yang mendapatkan menarche pada usia yang sangat dini (<12 tahun) akan mengalami keterlambatan menopause (>55 tahun). Hal ini akan berdampak terpapar estrogen dalam waktu yang relatif panjang. Penelitian menunjukkan bahwa wanita yang mengalami menstruasi pertama pada usia ≥12 tahun berisiko 6 kali untuk tidak menderita kanker payudata dibandingkan wanita yang mengalami menstruasi usia < 12 tahun (Rianti, 2012). 10. Penggunaan kontrasepsi oral/pil KB Semakin lama pemakaian kontrasepsi hormonal juga berisiko untuk terkena kanker payudara karena dapat memberikan pemaparan yang lebih tinggi bagi tubuh terhadap estrogen. Wanita yang mengunakan kontrasepsi hormonal >10 tahun memiliki risiko kanker payudara 4,2 kali dibandingkan wanita yang tidak menggunakan kontrasepsi hormonal (Mediasta, 2012). 11. Pola konsumsi makanan berlemak Wanita dengan frekuensi tinggi dalam mengonsumsi makanan berlemak tinggi memiliki risiko terkena kanker payudara 3,5 kali dibandingkan wanita dengan frekuensi rendah dalam mengonsumsi makanan berlemak (Indrati, 2005). 12. Kurang aktivitas fisik Wanita yang berolahraga <4 jam/minggu memiliki risiko 4,6 kali menderita kanker payudara dibandingkan wanita yang melakukan olahraga ≥ 4 jam/minggu (Indrati, 2005). 11 13. Perokok pasif Berdasarkan data dari Badan perlindungan Lingkungan California dan US Surgeon General (2006) mempublikasikan meta analisis dan menunjukkan adanya peningkatan sebanyak 60%-70% risiko kanker payudara di kalangan wanita pre-menopause perokok pasif dalam jangka waktu lama. Penelitian juga menunjukkan bahwa wanita perokok pasif memiliki risiko 2,4 kali dibandingkan wanita yang bukan perokok pasif (Indrati, 2005). 2.1.2 Deteksi dini kanker payudara Deteksi dini merupakan upaya penting dalam penanggulangan kanker payudara. Untuk menemukan tanda adanya tumor pada payudara maka dikembangkan berbagai metode sebagai berikut: 1. Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI) Pemeriksaan payudara sendiri sangat bernilai dalam penemuan dini karsinoma payudara yang dilakukan setiap bulan secara teratur. Bagi wanita masa reproduksi, pemeriksaan dilakukan 5-7 hari setelah haid berhenti dengan pola pemeriksaan tertentu. Manfaat membiasakan diri melakukan SADARI dari usia 20-an yaitu dapat belajar meraba payudara dan bentuknya, sehingga tiap kelainan yang timbul dapat segera diketahui dan diperiksakan ke pelayanan kesehatan. Berikut tahapan dalam melakukan SADARI sebagai berikut : a. Berdiri di depan cermin tanpa busana, perhatikan payudara dengan teliti, kedua tangan di pinggang, perhatikan kelainan atau perubahan bentuk pada kedua payudara atau puting; b. Kedua tangan diangkat ke atas kepala, perhatikan apakah ada kelainan pada kedua payudara atau puting; 12 c. Kedua tangan diletakkan di depan payudara dengan siku mengarah ke samping, tekan telapak tangan yang satu kuat-kuat pada yang lain. Cara ini akan menegangkan otot-otot dada dan adanya perubahan seperti cekungan dan benjolan akan terlihat lebih jelas; d. Tekan daerah puting pelan-pelan untuk melihat apakah ada cairan yang tidak biasa (tidak normal); dan e. Ambil posisi berbaring, tangan kanan diletakan di bawah kepala, letakan bantal kecil di bawah punggung kanan. Rabalah seluruh payudara kanan dengan tiga ujung jari tengah yang dirapatkan. Lakukan gerakan memutar dengan tekanan lembut tetapi mantap, dimulai dari tepi dengan arah mengikuti perputaran jarum jam dan dilakukan secara bergantian. 2. Pemeriksaan Payudara Secara Klinis (SARANIS) Pemeriksaan payudara secara klinis dilakukan pada saat wanita usia 40 tahunan melakukan pemeriksaan ke pelayanan kesehatan walaupun untuk tujuan lain (bukan pemeriksaan payudara). Pemeriksaan klinis payudara pada usia 20-39 tahun dilakukan tiap 3 tahun sekali, sedangkan untuk usia ≥ 40 tahun dilakukan setiap tahun. Berikut cara pemeriksaan payudara secara klinis secara berurutan: a. Pasien duduk melintang di atas tempat duduk periksa dengan tidak menggunakan pakain, kemudian diamati simetrisasi dan perubahan bentuk kedua payudara; b. Kedua tangan diangkat di atas kepala, sambil mengamati simetris dan perubahan gerakan payudara. Apabila ditemukan tarikan pada kulit yang dicurigai adanya karsinoma, maka massa tumor ditekan diantara dua jari sambil memperhatikan kemungkinan dimpling sign sebagai pertanda adanya tarikan pada kulit yang menutupi tumor; 13 c. Palpasi kelenjar getah bening dilakukan dengan lengan pasien diletakkan santai di atas tangan pemeriksa; d. Palpasi leher terutama daerah supraklavikuler dilakukan dengan leher dalam keadaan fleksi untuk mengetahui kemungkinan pembesaran getah bening; serta e. Pada posisi supine, kedua payudara dipalpasi sistematis mulai dari pinggir sampai pada puting susu, palpasi lebih intensif dari area kuadran lateral atas karena di area ini lebih sering ditemukan karsinoma. 3. Pemeriksaan Mammografi Mammografi adalah foto payudara dengan sinar X dosis rendah yang dapat mengidentifikasi kanker untuk beberapa tahun. Pada mammografi dapat dilihat gambaran payudara secara keseluruhan. Mamografi mampu mendeteksi adanya kanker payudara ukuran kecil yaitu < 0,5 cm bahkan pada tumor yang tidak teraba. Pemeriksaan dapat dipergunakan untuk screening massal terutama golongan risiko. Pemeriksaan mammografi harus dilakukan tiap tahun pada wanita usia ≥40 tahun. Indikasi pemeriksaan mammografi yaitu: a. Pada pasien dengan riwayat risiko tinggi kanker payudara; b. Kecurigaan klinis kanker payudara, apabila pasien mengalami rasa nyeri tetapi dokter tidak dapat menemukan benjolan pada saat pemeriksaan klinis; c. Adanya benjolan payudara; d. Follow up setelah mastektomi sebagai deteksi primer kedua dalam payudara yang lain; e. Setelah “breast conserving treatment” atau deteksi kekambuhan; f. Adenokarsinoma-metastasis dari primer yang tidak diketahui; g. Adanya rasa tidak enak pada payudara; dan 14 h. Penyakit paget dari puting susu (Setiyaningrum & Aziz, 2014). 2.1.3 Stadium kanker payudara Arti kata stadium dalam KBBI yang berarti tingkatan masa (penyakit). Stadium penyakit kanker adalah suatu keadaan/tingkatan penyakit dari hasil penilaian dokter saat mendiagnosis suatu penyakit kanker yang diderita pasiennya untuk mengetahui letak, tingkat pertumbuhan, penyebarannya, pengaruhnya terhadap organ tubuh yang lain, menentukan jenis pengobatan atau tindakan yang terbaik, dan menentukan perkiraan prognosis, serta memperkirakan kekambuhan penyakit. UICC (International Union Against Cancer) dan WHO (World Health Organization) merekomendasikan menentukan dan menggambarkan stadium dengan sistem TNM. Sistem TNM menggunakan tiga kriteria untuk menentukan stadium kanker yaitu sebagai berikut : 1) T (Tumor) tumor primer, yaitu lokasi/letak dan ukuran tumor; 2) N (Node), yaitu penyebaran tumor ke kelenjar getah bening di sekitarnya atau biasa disebut kelenjar getah bening regional; dan 3) M (Metastasis), yaitu kemungkinan tumor telah menjalar ke organ lain. Penjelasan secara rinci tentang stadium kanker payudara yaitu sebagai berikut: 1. Stadium 0, stadium ini disebut juga Ductal Carsinoma In Situ atau Noninvasive Cancer yaitu kanker tidak menyebar keluar dari pembuluh atau saluran payudara dan kelenjar-kelenjar (lobules) susu pada payudara; 2. Stadium I, yaitu tumor masih berukuran sangat kecil < 2 cm, tidak menyebar, dan belum sampai pada kelenjar getah bening. Perawatan yang sangat sistematis diberikan tujuannya adalah agar sel kanker tidak dapat menyebar dan tidak berlanjut pada stadium selanjutnya; 15 3. Stadium IIA, yaitu tidak adanya tanda-tanda tumor pada payudara, tetapi sel-sel kanker ditemukan di kelenjar getah bening aksila dan/atau diameter tumor ≤ 2 cm dan telah menyebar ke kelenjar getah bening aksila dan/atau diameter tumor > 2 cm tetapi ≤ 5 cm dan belum menyebar ke titik-titik kelenjar getah bening aksila; 4. Stadium IIB, yaitu diameter tumor > 2 cm tetapi ≤ 5 cm yang telah menyebar ke kelenjar getah bening aksila dan/atau diameter tumor > 5 cm yang belum menyebar ke kelenjar getah bening aksila; 5. Stadium IIIA, yaitu stadium ini tidak adanya tanda-tanda tumor pada payudara, tetapi tumor ditemukan di kelenjar getah bening melekat berasama atau pada struktur yang lain, atau kanker ditemukan pada kelenjar getah bening dekat tulang dada. Atau ditemukan ukuran tumor < 5 cm dan telah menyebar pada kelenjar getah bening aksila, tetapi belum menyebar ke jaringan sekitar. Atau ditemukan ukuran tumor > 5 cm dan telah menyebar pada kelenjar getah bening aksila, tetapi belum menyebar ke jaringan sekitar; 6. Stadium IIIB, yaitu stadium dengan tumor berukuran apapun dengan ekstensi langsung ke dinding dada dan/ atau kulit payudara. Atau tumor telah menyebar ke kelenjar getah bening aksila yang mengelompok bersama atau melekat pada struktur lain, atau kanker sudah menyebar ke kelenjar getah bening dekat tulang dada; 7. Stadium IIIC, yaitu tidak ditemukan adanya kanker di payudara namun tumor sudah ditemukan dengan berbagai ukuran dan sudah menyebar ke dinding dada dan/atau kulit payudara. Atau kanker sudah menyebar ke kelenjar getah bening baik di atas maupun di bawah tulang selangka dan/atau sudah menyebar ke kelenjar getah bening aksila atau ke kelenjar getah bening dekat tulang dada; dan 16 8. Stadium IV, yaitu tumor berada pada semua ukuran, ada atau tidak sel kanker pada kelenjar getah bening, dan telah menyebar pada bagian tubuh lain (Ghofar, 2009). 2.2 Perilaku Kesehatan Menurut Sarwono (1997) perilaku merupakan hasil daripada segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan. Perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan (Notoadmojo, 2003). Menurut teori Lawrence Green (1980) dalam Kholid (2012), faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan terdiri atas 3 faktor yaitu sebagai berikut : 2.2.1 Faktor predisposisi (predisposing factors) Faktor predisposisi disebut juga faktor internal, artinya faktor yang bersumber dari dalam diri seseorang yang mempermudah terjadinya perilaku, terwujud dalam pengetahuan, pendidikan, sikap, kepercayaan, keyakinan, dan sebagainya. Berikut faktor yang berhubungan dengan perilaku pemeriksaan kesehatan atau pengobatan dilihat dari faktor predisposisi adalah sebagai berikut : 1. Tingkat pendidikan Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku. Menurut Notoatmodjo (2003) tingkat pendidikan dapat dibedakan berdasarkan tingkatan sebagai berikut : 17 a. Pendidikan dasar, yaitu pendidikan awal selama 9 tahun meliputi SD/sederajat dan SLTP/sederajat. b. Pendidikan lanjut, yaitu pendidikan menengah minimal 3 tahun meliputi SMA atau sederajat dan pendidikan tinggi meliputi diploma, sarjana, magister, doktor dan sepesialis yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Berdasarkan hasil penelitian pasien patah tulang yang terlambat melakukan pengobatan sebagian besar memiliki latar belakang pendidikan rendah yaitu tidak tamat SMA (72,4%), tingkat pendidikan sedang bila tamat SMA (27,6%), dan tidak ada satu orang pun yang memiliki tingkat pendidikan tinggi (Sari, 2012). Penelitian yang dilakukan Martini (2012), menunjukkan terdapat hubungan tingkat pendidikan dengan tindakan pemeriksaan pap smear yaitu tingkat pendidikan tinggi berpeluang 8,6 kali melakukan pemeriksaan pap smear dibandingkan tingkat pendidikan rendah. 2. Tingkat pengetahuan Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba (Notoatmodjo, 2007). Seseorang yang menderita penyakit tetapi terlambat ke sarana pelayanan kesehatan dapat disebabkan karena pengetahuan yang kurang tentang penyakit yang dideritanya baik jenis penyakit, gejala, dan pencegahan. Berdasarkan hasil penelitian Wijayanti (2011), bahwa tingkat pengetahuan tentang kanker payudara mempengaruhi keterlambatan penderita kanker payudara dalam memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan. Penelitian lain membuktikan penderita kanker payudara yang berpengetahuan cukup tentang kanker payudara mempunyai peluang 4,7 kali untuk menghindari keterlambatan dibandingkan 18 berpengatahuan kurang dalam melakukan pemeriksaan ke pelayanan kesehatan (Setiawan, 2012). Penelitian Manalu (2011) di RSUD Dr. Soetomo Surabaya, menunjukkan ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan keterlambatan diagnosis pada penderita kanker serviks, wanita yang memiliki tingkat pengetahuan kurang tentang kanker serviks berisiko terlambat didiagnosis 4,8 kali dibandingkan wanita yang memiliki pengetahuan baik. Hasil penelitian Dewi, dkk (2008), menunjukkan bahwa penderita kanker serviks stadium lanjut yang terlambat memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan memiliki pengetahuan buruk tentang kanker serviks mencapai 68,1%. 3. Riwayat sakit pada keluarga Adanya salah satu/lebih anggota keluarga yang menderita kanker payudara akan memberi petunjuk bahwa kanker payudara dapat terjadi atau berisiko pada anggota keluarga baik saudara, anak, maupun cucu. Berdasarkan penelitian Abidin,dkk (2014) membuktikan bahwa wanita yang memiliki riwayat keluarga dengan kanker payudara berisiko 4,5 kali menderita kanker payudara dibandingkan yang tidak memiliki riwayat keluarga dengan kanker payudara. Penelitian Indrati (2005) juga membuktikan, wanita yang memiliki riwayat kanker payudara pada keluarga berisiko 4 kali untuk menderita kanker payudara. Tingginya risiko riwayat kanker payudara pada keluarga dapat memberikan petunjuk kepada anggota keluarga untuk teratur melakukan deteksi dini ataupun memperhatikan setiap kelainan yang terjadi pada payudara. 19 2.2.2 Faktor pemungkin atau pendukung (enabling factors) Faktor pemungkin adalah faktor-faktor yang memungkinkan atau memfasilitasi perilaku atau tindakan. Faktor pendukung ini lebih mengarah kepada keterjangkauan sarana kesehatan atau fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan yang terwujud dalam lingkungan fisik. Menurut Notoatmodjo (2007), kemudahan mencapai sarana pelayanan kesehatan didasarkan atas 3 hal sebagai berikut : 1) aksesibilitas fisik, terkait dengan ketersediaan pelayanan kesehatan atau jaraknya terhadap penggunaan pelayanan yang dapat dihitung dari waktu tempuh, jarak tempuh, jenis transportasi, dan kondisi di pelayanan kesehatan; 2) aksesibilitas ekonomi, dilihat dari kemampuan finansial responden untuk mengakses pelayanan kesehatan; dan 3) aksesibilitas sosial, meliputi kondisi nonfisik yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan untuk ke pelayanan kesehatan. Tidak terjangkau pelayanan kesehatan baik dari aksesibilitas fisik, ekonomi, dan sosial dapat mempengaruhi keterlambatan seseorang yang menderita kanker payudara melakukan pemeriksaan awal ke pelayanan kesehatan. Hasil penelitian yang dilakukan Pratiwi (2010), bahwa penderita kanker payudara dengan tingkat sosial ekonomi rendah memiliki risiko 3,7 kali untuk mengalami terlambat melakukan pemeriksaan awal ke pelayanan kesehatan dibandingkan tingkat sosial ekonomi tinggi. Penelitian lain membuktikan bahwa terdapat hubungan antara jarak fasilitas kesehatan dan tingkat ekonomi dengan keterlambatan diagnosis pada penderita kanker serviks. Penderita kanker serviks yang memiliki tingkat ekonomi rendah berpeluang mengalami keterlambatan diagnosis 5 kali dibandingkan penderita yang memiliki tingkat ekonomi cukup dan berpeluang mengalami keterlambatan 4 kali pada penderita yang jarak fasilitas kesehatan jauh (Manalu, 2011). Namun hasil penelitian Dewi, dkk 20 (2008) menunjukkan tidak ada hubungan tingkat sosial ekonomi dengan keterlambatan kanker serviks dalam memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan. Hasil penelitian perilaku IVA oleh Yuliwati (2012), menunjukkan terdapat hubungan keterjangkauan jarak pelayanan kesehatan dengan perilaku IVA yaitu WUS yang memiliki jarak fasilitas kesehatan dekat rumah berpeluang 2 kali melakukan periksa IVA dibandingkan WUS yang jarak fasilitas kesehatan jauh, tetapi tidak ada hubungan antara keterjangkauan biaya dengan perilaku WUS dalam melakukan periksa IVA. Hasil penelitian kualititaif yang dilakukan oleh Tiolena (2009), menunjukkan bahwa pasien kanker payudara yang tidak memiliki jaminan kesehatan cenderung akan terlambat mengambil keputusan untuk melakukan pengobatan. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Sari (2012), yaitu tidak ada hubungan antara keterjangkauan sarana kesehatan dengan keterlambatan berobat pada pasien patah tulang. 2.2.3 Faktor penguat atau pendorong (reinforcing factors) Faktor yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan, dukungan keluarga, dukungan teman, dan tokoh masyarakat. Berikut faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan dilihat dari faktor penguat atau pendorong adalah sebagai berikut : 1. Keterpaparan informasi/media massa Informasi dapat diterima seseorang melalui petugas kesehatan langsung dalam bentuk penyuluhan, pendidikan kesehatan, ceramah, maupun melalui media massa dalam bentuk siaran radio, televisi, leaflet, koran, majalah, dan sebagainya. Dalam hal ini keterlambatan seseorang dalam memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan baik untuk deteksi dini maupun timbulnya gejala sakit, dapat dipengaruhi oleh tidak pernah terpaparnya informasi/media massa tentang 21 penyakit tersebut. Penelitian membuktikan bahwa terdapat hubungan antara keterpaparan informasi/media massa dengan perilaku deteksi dini, yaitu WUS yang terpapar informasi baik berpeluang 2 kali untuk melakukan periksa IVA dibandingkan WUS yang kurang terpapar informasi (Yuliwati, 2012). 2. Dukungan keluarga dan teman Dukungan keluarga dan/atau teman merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi seseorang untuk mau melakukan deteksi dini maupun melakukan pemeriksaan diri lebih awal akibat gejala kelainan/sakit pada tubuh ke pelayanan kesehatan. Dukungan yang diterima dari keluarga atau orang terdekat dapat melalui sebagai berikut: 1) dukungan emosional, yaitu perasaan subjek bahwa lingkungan memperhatikan dan memahami kondisi emosional sehingga merasa tentram, aman damai yang ditujukan dengan sikap tenang dan berbahagia; 2) dukungan penilaian, yaitu perasaan subjek bahwa dirinya diakui oleh lingkungan mampu berguna bagi orang lain dan dihargai usaha-usahanya; 3) dukungan instrumental, yaitu perasaan subjek bahwa lingkungan sekitarnya memberikan fasilitas-fasilitas yang diperlukan, seperti alat-alat atau uang yang dapat meringankan penderitanya; dan 4) dukungan informatif, yaitu perasaan subjek bahwa lingkungan memberikan keterangan yang cukup jelas mengenai hal-hal yang harus diketahuinya biasanya diperoleh dari petugas kesehatan. Dukungan suami dan/atau keluarga serta teman dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan pemeriksaan payudara lebih awal ke pelayanan kesehatan melalui empat dukungan baik dari segi emosional, penilaian, instrumental, dan informatif. Hasil penelitian perilaku SADARI oleh Septiani dan Suara (2013), menunjukkan terdapat hubungan dukungan orang tua baik dengan perilaku SADARI positif yaitu wanita yang mendapatkan dukungan orang tua 22 baik berpeluang 4,5 kali untuk melakukan SADARI positif dibandingkan wanita yang kurang mendapatkan dukungan orang tua. Hasil penelitian Yuliwati (2012) juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan dukungan suami/keluarga dengan perilaku WUS dalam deteksi dini kanker leher rahim yaitu WUS yang mendapatkan dukungan suami/keluarga baik berpeluang 5,7 kali untuk melakukan deteksi dini kanker leher rahim dibandingkan WUS yang kurang mendapatkan dukungan suami/keluarga. 2.3 Perilaku deteksi dini Deteksi dini adalah sebuah proses pengungkapan akan adanya kemungkinan mengidap suatu penyakit. Beberapa penyakit sangat perlu dilakukan deteksi dini yang bertujuan untuk menemukan tanda-tanda atau gejala penyakit seperti penyakit kanker payudara. Deteksi dini kanker payudara dapat dilakukan dengan pemeriksaan payudara sendiri (SADARI), pemeriksaan payudara secara klinis (SARANIS), dan pemeriksaan mammografi. Tidak rutin atau tidak pernah melakukan deteksi dini ini dapat berisiko terjadinya keterlambatan dalam mengetahui adanya kanker payudara, sehingga kanker ditemukan pada stadium lanjut. Hasil penelitian menunjukkan responden yang memiliki kategori cukup dalam melakukan deteksi dini kanker payudara (SADARI) mempunyai peluang 4,7 kali untuk menghindari keterlambatan dalam melakukan pemeriksaan kanker payudara (Setiawan, 2012). Berdasarkan penelitian hubungan antara pengetahuan dan sikap WUS terhadap perilaku pemeriksaan SADARI, WUS yang tidak pernah melakukan SADARI (49,5%), kadang melakukan SADARI (33,3%), dan rutin melakukan SADARI (17,2%). WUS yang tidak pernah melakukan SADARI, memiliki pengetahuan kurang tentang SADARI mencapai 91% (Ekanita & Khosidah, 2013).