BAB II KAJIAN PUSTAKA

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Subjective Well-Being
2.1.1
Definisi Subjective Well-Being
Diener membagi teori kebahagiaan yang berkembang dari awal hingga
saat ini ke dalam tiga tipe yaitu Need/Goal Satisfaction Theories, Process/Activity
Theories dan Genetic/Personality Predisposition. Teori pertama yaitu Need/Goal
Satisfaction menyatakan bahwa seseorang akan semakin memiliki Subjective
Well-Being yang tinggi ketika mencapai tahap ideal atau meraih tujuan hidupnya.
Selanjutnya, berdasarkan teori Process/Activity, seseorang yang bahagia adalah
seseorang yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang menghasilkan kebahagiaan.
Teori ini merupakan teori yang dikemukakan oleh Csikszentmihalyi (dalam
Snyder & Lopez, 2005), yang menjelaskan bahwa kebahagiaan merupakan hal
positif yang dirasakan ketika seseorang mengalami Flow dan perubahan dalam
hidupnya sehari-hari atau memiliki keterlibatan dalam suatu aktivitas yang
menimbulkan perasaan senang. Teori terakhir yaitu Genetic/Personality
Predisposition yang menjelaskan bahwa kebahagiaan adalah sesuatu yang stabil
(Diener, dalam Snyder & Lopez, 2005).
Istilah kebahagiaan atau yang biasa disebut Subjective Well-Being, ini
kemudian didefinisikan sebagai keadaan positif yang ditandai dengan tingginya
derajat kepuasan hidup, afek positif dan rendahnya derajat afek negatif (Carr,
2004). Definisi ini sejalan dengan pernyataan Diener (2000), bahwa Subjective
Well-Being adalah evaluasi kognitif dan afektif seseorang tentang hidupnya yang
meliputi penilaian emosional terhadap berbagai kejadian yang sejalan dengan
penilaian kognitif terhadap kepuasan dan pemenuhan hidup. Lebih lanjut, Diener
et al (dalam Snyder & Lopez, 2005) menjelaskan bahwa evaluasi kognitif adalah
evaluasi yang berkaitan dengan kepuasan hidup seseorang dan evaluasi afektif
adalah evaluasi terhadap reaksi emosional yang terjadi pada setiap peristiwa
kehidupannya. Subjective Well-Being merupakan konsep luas, meliputi emosi
pengalaman menyenangkan, rendahnya tingkat Mood Negative dan kepuasan
hidup yang tinggi (Diener, Lucas, & Oishi, 2005).
Berkaitan dengan teori kebahagiaan, Snyder dan Lopez (2007)
mengemukakan tiga tipe kebahagiaan, yakni sebagai berikut :
a.
Teori pemuasan kebutuhan/tujuan, bahwa pengurangan ketegangan atau
pemuasan kebutuhan membawa individu pada kebahagiaan. Dengan kata lain,
individu bahagia setelah mencapai tujuannya.
b.
Teori proses/aktivitas, bahwa melibatkan diri pada aktivitas hidup tertentu
dapat membawa kebahagiaan. Dengan kata lain proses mencapai tujuanlah yang
membawa individu pada kebahagiaan.
c.
Teori genetis/kepribadian, bahwa individu yang memiliki kepribadian
esktroversi, cenderung bahagia dan sebaliknya, individu yang memiliki
kepribadian neurotisme cenderung tidak bahagia. Dengan kata lain, kebahagiaan
bersifat stabil.
Berdasarkan definisi tersebut diketahui bahwa kebahagiaan menekankan
pada penilaian seseorang terhadap kehidupannya bukan penilaian ahli. Selain itu,
kebahagiaan juga melibatkan kepuasan (kepuasan secara umum dan kepuasan
pada ranah kehidupan yang spesifik), afek yang menyenangkan dan rendahnya
afek negatif. Seseorang dikatakan memiliki Subjective Well-Being yang tinggi jika
merasa puas dengan kondisi hidup mereka, sering merasakan emosi positif dan
jarang merasakan emosi negatif (Diener, 2000).
2.1.2
Dimensi Subjective Well-Being
Eddington dan Shuman (2005) menyatakan bahwa Subjective Well-Being
tersusun dari beberapa komponen utama, yaitu kepuasan hidup secara umum,
kepuasan terhadap ranah spesifik kehidupan atau Domain Satisfaction, adanya
afek yang positif (Mood dan emosi yang menyenangkan) dan ketiadaan afek
negatif (Mood dan emosi yang tidak menyenangkan). Afek positif dan afek negatif
termasuk ke dalam komponen Afektif, sementara kepuasan hidup dan Domain
Satisfaction termasuk ke dalam komponen Kognitif.
Diener (1994) menyatakan adanya dua komponen dalam Subjective WellBeing yaitu dimensi kognitif dan dimensi afektif, dengan penjelasan sebagai
berikut :
a.
Dimensi Kognitif
Kepuasan hidup (Life Satisfaction) merupakan bagian dari dimensi
kognitif dari Subjective Well-Being. Life Satisfaction merupakan penilaian
kognitif seseorang mengenai kehidupannya, apakah kehidupan yang dijalaninya
berjalan dengan baik. Ini merupakan perasaan cukup, damai dan puas dari
kesenjangan antara keinginan dan kebutuhan dengan pencapaian dan pemenuhan.
Campbell, Converse dan Rodgers (dalam Diener, 1994) mengatakan bahwa
komponen kognitif ini merupakan kesenjangan yang dipersepsikan antara
keinginan dan pencapaiannya apakah terpenuhi atau tidak.
Dimensi kognitif Subjective Well-Being ini juga mencakup area kepuasan
Domain Satisfaction individu di berbagai bidang kehidupannya seperti bidang
yang berkaitan dengan diri sendiri, keluarga, kelompok teman sebaya, kesehatan,
keuangan, pekerjaan, dan waktu luang. Artinya dimensi ini memiliki gambaran
yang multifacet. Dan hal ini sangat bergantung pada budaya dan bagaimana
kehidupan seseorang itu terbentuk (Diener, 1984). Andrew dan Whitney (dalam
Diener, 1984) juga menyatakan bahwa domain yang paling dekat dan mendesak
dalam kehidupan individu merupakan domain yang paling mempengaruhi
Subjective Well-Being individu tersebut. Diener (2000) mengatakan bahwa
dimensi ini dapat dipengaruhi oleh afek namun tidak mengukur emosi seseorang.
b.
Dimensi Afektif
Dimensi dasar dari Subjective Well-Being adalah afek, dimana di dalamnya
termasuk Mood dan emosi yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. Orang
bereaksi dengan emosi yang menyenangkan ketika mereka menganggap sesuatu
yang baik terjadi pada diri mereka dan bereaksi dengan emosi yang tidak
menyenangkan ketika menganggap sesuatu yang buruk terjadi pada mereka
karena Mood dan emosi bukan hanya menyenangkan dan tidak menyenangkan
tetapi juga mengindikasikan apakah kejadian itu diharapkan atau tidak (Diener,
2000).
Dimensi afek ini mencakup afek positif yaitu emosi positif yang
menyenangkan dan afek negatif yaitu emosi dan Mood yang tidak menyenangkan,
dimana kedua afek ini berdiri sendiri dan masing-masing memiliki frekuensi dan
intensitas (Diener, 2000). Selanjutnya, Diener & Lucas (2000) mengatakan bahwa
dimensi afektif ini merupakan hal yang sentral untuk Subjective Well-Being.
Dimensi ini memiliki peranan mengevaluasi Well-Being karena dimensi afek
memberi kontribusi perasaan menyenangkan dan perasaan tidak menyenangkan
pada dasar kontinual pengalaman personal. Kedua afek berkaitan dengan evaluasi
seseorang karena emosi muncul dari evaluasi yang dibuat oleh orang tersebut.
Afek positif meliputi sipmtom-simptom antusiasme, keceriaan dan
kebahagiaan hidup. Sedangkan afek negatif merupakan kehadiran simptom yang
menyatakan bahwa hidup tidak menyenangkan (Snyder, 2007). Dimensi afek ini
menekankan pada pengalaman emosi menyenangkan baik yang pada saat ini
sering dialami oleh seseorang ataupun hanya berdasarkan penilaiannya (Diener,
1984). Kemudian, Diener (1994) menyatakan kepuasan hidup dan banyaknya afek
positif dan negative dapat saling berkaitan, hal ini disebabkan oleh penilaian
seseorang terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan, masalah dan kejadiankejadian dalam hidupnya. Sekalipun kedua hal ini saling berkaitan, namun
keduanya berbeda, kepuasan hidup merupakan penilaian mengenai hidup
seseorang secara menyeluruh, sedangkan afek positif dan afek negatif terdiri dari
reaksi-reaksi berkelanjutan terhadap kejadian-kejadian yang dialami.
2.1.3
Faktor-faktor yang berhubungan dengan Subjective Well-Being
Ada beragam faktor-faktor yang mempengaruhi Subjective Well-Being
individu, yaitu :
a.
Kepribadian
Beberapa penelitian kepribadian tentang kebahagiaan menunjukkan bahwa
individu yang bahagia dan tidak bahagia memiliki profil kepribadian yang berbeda
(Diener et al., dalam Carr, 2004). Di kebudayaan barat, orang yang bahagia adalah
orang yang ekstrovert, optimis, memiliki harga diri (Self Esteem) yang tinggi, dan
Locus of Control internal sedangkan orang yang tidak bahagia cenderung
memiliki kadar kecemasan (Neuroticism) yang tinggi. Namun hubungan antara
kepribadian dan
kebahagiaan tidak sama untuk semua budaya. Pengaruh
kepribadian terhadap kebahagiaan juga didukung oleh hasil penelitian yang
menemukan bahwa keberagaman emosi senang dan tidak senang serta kepuasan
hidup lebih dipengaruhi oleh temperamen atau watak daripada lingkungan
kehidupan atau peristiwa tertentu (Eddington & Shuman, 2005). Hal ini
menunjukkan bahwa dalam menentukan kebahagian, reaksi personal seseorang
terhadap suatu peristiwa lebih penting daripada peristiwa itu sendiri, dan faktor
kepribadian berperan dalam menentukan reaksi personal seseorang. Hal ini sejalan
dengan Pavot dan Diener (2010) yang menyatakan bahwa memiliki Subjective
Well-Being yang tinggi cenderung memiliki kepribadian ekstrovert, optimistik,
sebaliknya seseorang yang Subejctive Well-Being rendah cenderung memiliki
kepribadian yang neurotik, pesimistik.
b.
Gender
Penelitian Pavot dan Diener (2010) menunjukkan perbedaan Subjective
Well-Being yang signifikan antara laki-laki dan perempuan. Disini dikatakan
bahwa perempuan cenderung menghasilkan skor yang sangat tinggi ataupun
sangat rendah. Sebaliknya, Michalos (dalam Eddington dan Shuman, 2005) yang
melakukan penelitian terhadap mahasiswa di lebih dari tiga puluh negara
menemukan perbedaan antara mahasiswa perempuan dan laki-laki. Ditemukan hal
menarik tentang kebahagiaan dalam hubungannya dengan gender, dimana
perempuan lebih sering mengalami afek negatif dan cenderung depresi daripada
laki-laki
sehingga
perempuan
lebih
sering
melakukan
terapi
untuk
menyembuhkannya. Penjelasan hal akan hal ini adalah perempuan cenderung
untuk mengakui perasaan-perasaan yang dialaminya dibanding dengan laki-laki
yang cenderung lebih menyingkirkan perasaan-perasaan tersebut meskipun
sebenarnya mereka mengalami afek negatif yang serupa.
c.
Usia
Usia tidak memiliki pengaruh yang besar terhadap Subjective Well-Being
seseorang karena tingkat Subjective Well-Being seseorang cenderung stabil selama
rentang usianya (Eddington dan Shuman, 2005). Argyle (1999) juga menyebutkan
bahwa pengaruh usia terhadap kebahagiaan sangatlah kecil.
d.
Status Pernikahan
Adanya hubungan yang positif antara pernikahan dengan kebahagiaan
ditemukan pada beberapa penelitian (Eddington & Shuman, 2005; Gundelach &
Kreiner, 2004). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa individu yang
menikah memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi dibandingkan yang tidak
menikah, bercerai dan menjadi janda/duda. Selain itu, Diener et. Al (1998, dalam
Eddington & Shuman, 2005) pun menambahkan bahwa pernikahan memberikan
pengaruh yang lebih baik pada laki-laki dibandingkan pada wanita dalam hal
emosi positif yang hadir dalam pernikahan.
e.
Kesehatan
Kesehatan subjektif berkorelasi positif dengan Subjective Well-Being
(Campbell dalam Eddington dan Shuman, 2005). Orang-orang yang merasa dan
menganggap dirinya sehat cenderung memiliki tingkat Subjective Well-Being
lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang merasa dan berpikir bahwa dirinya
sakit.
f.
Pendapatan
Faktor pendapatan memiliki pengaruh yang kecil terhadap Subjective-Well
Being seseorang. Diener et al (dalam Eddington & Shuman, 2005)
mengenerelasikan bahwa seseorang yang pendapatannya besar lebih bahagia
dibandingkan dengan seseorang berpendapatan rendah.
g.
Waktu Luang
Waktu luang berperan penting dalam Subjective Well-Being seseorang.
Penelitian yang dilakukan Vennhoven et al (dalam Eddington & Shuman, 2005)
ditemukan bahwa waktu luang berkorelasi positif dengan Subjective Well-Being.
Korelasi yang lebih kuat ditemukan pada seseorang yang pengangguran,
pensiunan atau lanjut usiam kelas ekonomi sosial tinggi dan keluarga yang tidak
memiliki anak (Zuma dalam Eddington & Shuman, 2005).
2,2
Dukungan Sosial
2.2.1
Definisi Dukungan Sosial
Beberapa definisi dukungan sosial (Social Support) menurut ahli, antara
lain adalah sebagai berikut :
“Dukungan sosial berkaitan dengan berbagai macam dukungan materi dan
emosi yang diterima dari orang lain”
(Brannon & Feist, 1997; hal 131)
“Sumber dari dukungan sosial tersedia berdasarkan bagaimana kita
berinteraksi dengan orang lain”
(Sheridan & Radmacher, 1992, hal 156)
“Dukungan sosial melibatkan rasa nyaman dari emosi dan kehadiran
secara nyata dari keluarga, teman, rekan kerja dan orang lain”
(Taylor, 2007; hal 4)
Berdasarkan ketiga definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
dukungan sosial (Social Support) adalah kenyamanan, kepedulian, atau bantuan
yang dipersepsikan oleh individu dan berasal dari interaksi dengan orang lain
(seperti keluarga, teman-teman atau rekan kerja). Ditambahkan lagi oleh Cobb
(dalam Sarafino, 2002) bahwa seseorang yang mendapatkan dukungan sosial
menyakini bahwa mereka dicintai dan diperhatikan, dihargai dan merupakan
bagian dari jaringan sosial, seperti keluarga, komunitas, atau organisasi, yang
menyediakan materi, pelayanan, dan pemenuhan kebutuhan.
2.2.2
Tipe Dukungan Sosial
Cobb; Cohen & McKay; House; Schaefer, Coyne, & Lazarus; Wills
(dalam Sarafino, 2002) menyatakan bahwa terdapat beberapa tipe dukungan sosial
yaitu dukungan emotional (Emotional Support), dukungan penghargaan (Esteem
Support), dukungan instrumental (Tangible or Instrument Support), dukungan
informasional (Informational Support), dan dukungan jaringan sosial (Network
Support).
Berikut ini akan diuraikan mengenai lima tipe dukungan sosial tersebut :
1.
Dukungan Emosional (Emotional Support)
Jenis dukungan ini dilakukan melibatkan ekspresi rasa empati, peduli
terhadap seseorang sehingga memberikan rasa nyaman, membuat individu merasa
lebih baik. Individu memperoleh kembali keyakinan diri, merasa dimiliki serta
merasa dicintai pada saat mengalami stress (Cohen, McKay, dkk, dalam Sarafino,
1990). Dalam hal ini orang yang merasa memperoleh Social Support jenis ini akan
merasa lega karena diperhatikan, mendapat saran atau kesan yang menyenangkan
pada dirinya. Oxford (1992) menyatakan dukungan emosional ini dalam bentuk
dukungan yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat emosional atau
menjaga keadaan emosi afeksi atau ekspresi.
2.
Dukungan Penghargaan (Esteem Support)
Dukungan jenis ini dapat ditunjukkan dengan cara menghargai,
mendorong dan menyetujui terhadap suatu ide, gagasan atau kemampuan yang
dimiliki seseorang. Oxford (1992) berpendapat bahwa dukungan penghargaan
dititikberatkan pada adanya suatu pengakuan, penilaian positif dan penerimaan
terhadap individu. Dukungan ini dapat membuat seseorang merasa berharga dan
dihargai sehingga dapat membangun rasa percaya diri terhadap kemampuannya.
Dengan demikian maka dapat diharapkan akan terbentuk perasaan menghargai
diri sendiri, perasaan yakin akan kemampuan yang dimiliki serta rasa dihargai
oleh orang lain pada diri individu yang bersangkutan.
3.
Dukungan Instrumental (Tangible or Instrumental Support)
Jenis dukungan sosial ini meliputi bantuan yang diberikan secara langsung
atau nyata seperti meminjamkan uang atau barang bagi individu yang memang
membutuhkan pada saat itu. Menurut Jacobson (dalam Oxford, 1992), dukungan
instrumental ini mengacu pada penyediaan barang, atau jasa yang dapat digunakan
untuk memecahkan masalah-masalah praktis. Sejalan dengan pendapat Will
(dalam Oxford, 1992), dukungan instrumental merupakan aktivitas-aktivitas
seperti menyediakan benda-benda, meminjamkan atau memberikan uang dan
membantu menyelesaikan tugas-tugas praktis. Hal yang sama diajukan oleh
Taylor (2000) dimana pemberian dukungan instrumental meliputi penyediaan
pertolongan finansial maupun penyediaan barang dan jasa lainnya, jenis dukungan
ini relevan untuk kalangan ekonomi rendah.
4.
Dukungan Informasioanl (Informational Support)
Sesuai dengan namanya maka dukungan sosial jenis ini meliputi
pemberian nasehat, petunjuk, saran atau umpan balik kepada seseorang individu.
Dukungan ini dapat dilakukan dengan memberikan informasi yang dibutuhkan
oleh individu. Menurut House (dalam Oxford, 1992) menjelaskan bahwa
dukungan informasi terdiri dari 2 bentuk yaitu dukungan informasi yang berarti
memberikan informasi atau mengajarkan sesuatu ketrampilan yang berguna untuk
mendapatkan pemecahan masalah dan yang kedua adalah berupa dukungan
penilaian (Appraisal Support) yang meliputi informasi yang membantu seseorang
dalam penilaian atas kemampuan dirinya.
5.
Dukungan Jaringan Sosial (Network Support)
Jenis dukungan ini diberikan dengan cara membuat kondisi agar seseorang
merasa bagian dari suatu kelompok yang memiliki persamaan minat dan aktivitas
sosial (Purnama, 2001). Social Support ini merupakan perasaan individu sebagai
bagian dari suatu kelompok dimana memungkinkan individu dapat menghabiskan
waktu dengan individu lain dalam suatu aktivitas sosial maupun hiburan. Hal ini
sejalan dengan pendapat Cohen & Wills (dalam Oxford, 1992) yang
mendefinisikan Social Support jenis ini yaitu bagaimana individu menghabiskan
waktu bersama-sama dengan teman-temannya ataupun melakukan aktivitas yang
bersifat rekreasional di waktu senggang.
Berdasarkan bentuk-bentuk dukungan sosial yang telah disampaikan oleh
beberapa ahli di atas, maka yang akan digunakan dalam penelitian adalah bentuk
dukungan sosial menurut Sarafino (2002), yaitu dukungan emotional (Emotional
Support), dukungan penghargaan (Esteem Support), dukungan instrumental
(Tangible or Instrument Support), dukungan informasional (Informational
Support), dan dukungan jaringan sosial (Network Support).
2.2.3
Sumber Dukungan Sosial
Zimet, Dahlem, Zimet & Farley (!988) mengemukakan bahwa dukungan
sosial dapat diterima dari tiga sumber yaitu :
1.
Keluarga
Keluarga merupakan tempat pertumbuhan dan perkembangan individu,
kebutuhan fisik dan psikologis yang mula-mula terpenuhi dari lingkungan
keluarga. Individu akan menjadikan keluarga sebagai tumpuan harapan, tempat
bercerita dan tempat mengeluarkan keluhan ketika individu mengalami persoalan.
2.
Teman
Teman bertindak sebagai orang kepercayaan yang penting dan menolong
individu dalam melewati berbagai situasi yang menjengkelkan dengan
menyediakan dukungan emosi dan nasihat yang memberikan informasi.
Sekelompok teman merupakan sumber afeksi, simpati, pemahaman dan panduan
moral, tempat bereksperimen dan Setting untuk mendapatkan otonomi dan
independensi dari orang tua.
3.
Significant Other
Sejumlah orang lain yang potensial memberikan dukungan disebut sebagai
Significant Other. Significant Other merupakan orang yang secara nyata penting
bagi seseorang dalam proses sosialisasi dan sangat mempengaruhi individu.
2.2.4
Teori yang Menerangkan Pengaruh Dukungan Sosial
Dukungan sosial memiliki hubungan yang sangat erat dengan kesehatan.
Kesehatan disini maksudnya adalah individu yang terbebas dari gejala gangguan
psikiatris atau psikologi distress (Oxford, 1992). Social Support bukan sekedar
memberikan bantuan, tetapi yang penting adalah bagaimana persepsi si penerima
terhadap makna dari bantuan itu. Hal ini erat kaitannya dnegan ketepatan
dukungan sosial dalam arti bahwa orang yang menerima sangat merasakan
manfaat bantuan bagi dirinya, karena sesuatu yang aktual dan memberikan
kepuasan. Orang yang menerima dukungan sosial memahami makna dukungan
yang diberikan oleh orang lain.
Menurut Boyce (dalam Oxford, 1992) ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan agar dukugan sosial yang diberikan menjadi tepat, diantaranya adalah
stabilitas dukungan, reliabilitas, waktu pemberian dan sumber masalah.
Selanjutnya Ullah, Banks dan Warr (dalam Oxford 1992) menyebutkan ada dua
jenis model dukungan sosial yang dapat dihubungkan dengan kesehatan atau
kesejahteraan individu yaitu :
1.
Main Effect
Pemberian dukungan sosial dengan model Main Effect mempunyai
pengaruh langsung namun pengaruhnya tidak tergantung pada tingkat stress yang
dialami individu. Main Effect akan berfungsi pada ada atau tidak adanya stress
dalam kehidupan individu tersebut.
2.
Buffering Effect
Pemberian dukungan sosial yang pengaruhnya akan bekerja secara
potensial bila individu mengalami stress. Bila individu tidak mengalami stress
maka dukungan sosial yang diberikan tidak akan berfungsi.
Kedua model dukungan sosial tersebut penting dipahami oleh individu
yang ingin memberikan dukungan sosial karena menyangkut persepsi tentang
keberadaan dan ketepatan dukungan sosial bagi individu. Tidak semuanya
dukungan sosial itu efektif jika diberikan dalam bentuk dukungan yang salah atau
kurangnya keahlian kita untuk membuat pesan yang efektif, maka pengaruhya
tidak menjadi positif bagi si penerima dukungan sosial.
2.3
Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA)
2.3.1
Pengertian HIV/AIDS
Istilah ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) sebagai terjemahan dari istilah
People Living With HIV/AIDS (PWA), merujuk kepada individu yang terinfeksi
HIV, baik yang masih tahap HIV positif maupun yang sudah tahap AIDS.
Menurut ahli penyakit dalam Djoerban (1998), HIV/AIDS sebenarnya adalah dua
hal yang berbeda. AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan
suatu penyakit yang cara kerjanya menghancurkan system kekebalan tubuh
manusia. AIDS disebabkan karena virus yang bernama HIV (Human
Immunodeficiency Virus) masuk ke dalam tubuh manusia. HIV dengan cepat akan
melumpuhkan system kekebalan tubuh manusia. Setelah system kekebalan tubuh
lumpuh, seorang penderita AIDS biasanya akan meninggal karena suatu penyakit
(disebut penyakit sekunder) yang biasanya akan dapat dibasmi oleh tubuh
seandainya system kekebalan tubuh itu masih baik. Seseorang yang positif
mengidap HIV, belum tentu mengidap AIDS .
Kemudian Djoerban (1998) menambahkan, banyak kasus di mana
seseorang yang positif HIV, tetapi tidak menjadi sakit dalam jangka waktu yang
lama. Namun HIV yang ada pada tubuh seseorang akan terus merusak system
imun. Akibatnya, virus, jamur dan bakteri yang biasanya tidak berbahaya menjadi
sangat berbahaya karena rusaknya sistim imun tubuh. Karena sistem kekebalan
tubuh diserang secara terus menerus maka cepat atau lambat badan akan menjadi
lemah dan ringkih. Kondisi inilah yang dapat mematikan penderita HIV.
Adapun AIDS pertama kali ditemukan di Indonesia pada awal Januari
1986 yakni dengan meninggalnya seorang berkewarganegaraan asing di RSIJ
Sanglah, Bali. Melalui uji darah diketahui pasien tersebut mengidap AIDS.
Bahkan sebelum tahun 1986, tepatnya 1983, melalui penelitian di kalangan waria,
telah dijumpai beberapa individu yang kadar limfosit T Helper (CD4) dalam
tubuhnya sangat rendah (kurang dari 200/mm2) (Djoerban, 1998). Ketika itu, dan
sampai tahun 1995, kadar CD4 (dikenal juga dengan istilah T-Helper, atau sel T4)
adalah merupakan salah satu dari proses defisiensi kekebalan tubuh, sehingga
makin lama sistem kekebalan tubuh menjadi lemah atau hilang.
Sampai saat ini belum ditemukan obat yang berhasil menyembuhkan
AIDS. Pengobatan yang dapat diberikan kepada ODHA adalah penggunaan obat
Anti Retroviral (ARV). ARV berfungsi untuk meningkatkan jumlah CD4,
sehingga laju penurunan kekebalan tubuh dapat ditekan. Namun ARV tidak
berfungsi sebagai pembunuh HIV, sehingga perkembangannya tetap tidak
terelakan. Kematian akan terus membayangi ODHA. Oleh karena itu, sampai saat
ini HIV/AIDS masih dianggap sebagai salah satu penyakit terminal, yaitu
penyakit yang memiliki tingkat probabilitas kematian yang cukup tinggi bagi
penderitanya (Djoerban, 1998).
2.3.2
Penularan HIV/AIDS
HIV/AIDS menular melalui cairan tubuh seperti darah, semen atau air
mani, cairan vagina, air susu ibu dan cairan lainnya yang mengandung darah.
Virus tersebut menular melalui :
a.
Penetrasi seks yang tidak aman dengan seseorang yang telah terinfeksi
b.
Darah yang terinfeksi yang diterima selama transfusi darah dimana darah
tersebut belum dideteksi virusnya atau penggunaan jarum suntik yang
tidak steril
c.
Pengguna bersama jarum untuk menyuntik obat bius dengan seseorang
yang telah terinfeksi.
d.
Wanita hamil dapat juga menularkan virus kepada bayi mereka selama
masa kehamilan atau persalinan dan juga melalui menyusui (Hawari,
2009;10; Taylor, 2006:390-391; Brannon dan Feist, 2007:292-295).
2.3.3
Masalah Psikologis Pada ODHA
Masalah psikologis pada ODHA berkaitan erat dengan perubahan
statusnya, yakni dengan terdiagnosa positif mengidap HIV. Reaksi yang muncul
dari diri seseorang ketika mengetahui status HIV-nya banyak dipengaruhi oleh
kesadaran dirinya terhadap perubahan yang mungkin terjadi dalam kehidupannya
dan bukan hanya tentang kematian. Pada dasarnya, ketakutan akan kematian
memang melatarbelakangi semua reaksi-reaksi itu. Namun kontribusi terbesar dari
perasaan marah dan ketidakberdayaan muncul dari realisasi dirinya terhadap
perubahan yang mungkin terjadi pada lingkungan sekitarnya.
Ada beberapa respon yang biasanya terjadi sebelum munculnya sikap
penerimaan pada pasien yang terdiagnosa menderita penyakit mematikan. Seperti
yang diungkapkan oleh Kubler Ross (1992), terjadi beberapa tahapan sebagai
berikut :
a.
Denial
Reaksi pertama untuk prognosa yang mengarah kepada kematian
melibatkan perasaan menolak mempercayainya sebagai suatu kebenaran.
b.
Anger
Penolakan akan segera menghilang dan muncul perasaan marah, dengan
reaksi kemarahan yang tertuju pada orang-orang di sekitarnya pada waktu
itu.
c.
Bargaining
Pada tahapan ini, orang tersebut berusaha mengubah kondisinya dengan
melakukan tawar-menawar atau berusaha untuk bernegoisasi dengan
Tuhan.
d.
Depresi
Depresi muncul ketika upaya negosiasi tidak menolong dan orang tersebut
merasa sudah tidak ada waktu dan peluang lagi serta tidak berdaya.
e.
Acceptance
Orang dengan kesempatan hidup yang tidak banyak akan mencapai
penerimaan ini setelah tidak lagi mengalami depresi dan akan lebih merasa
tenang dan siap menghadapi hidup ataupun kematian.
Namun setiap ODHA tidak harus mengalami tahap-tahap ini secara
berurutan. Terkadang ODHA yang telah menerima dirinya mengalami kembali
tahap-tahap sebelumnya. Karena ada beberapa penelitian kasus terdahulu yang
mengungkapkan bahwa terdapat beberapa ODHA yang terhenti pada tahap
tertentu hingga beberapa tahun, atau sampai pada hari kematiannya tidak
mengalami masa penerimaan. Tetapi ada juga yang mengalami beberapa tahap
tertentu dan langsung menerima kondisi dirinya. Cepat lambatnya proses ini
dilalui ODHA sangat tergantung oleh hal-hal yang berhubungan dengan penyebab
keberadaan penyakitnya, kepribadian dirinya, serta situasi psikososialnya (Utomo
dalam Djauzi, 1995:23)
2.4
Hubungan Dukungan Sosial dengan Subjective Well-Being
Dukungan sosial dapat memberikan kenyamanan fisik dan psikologis
kepada individu. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana dukungan sosial dapat
mempengaruhi kesehatan individu, salah satunya adalah kejadian dan efek dari
stress. Lieberman (1992) mengemukakan teori dukungan sosial dapat
menurunkan kecenderungan munculnya kejadian yang dapat mengakibatkan
stress. Selain itu dukungan sosial yang diterima oleh individu yang sedang
mengalami atau menghadapi stress akan dapat mempertahankan daya tahan tubuh
dan meningkatkan kesehatan individu (Baron & Byrne, 2000). Kondisi ini
dijelaskan oleh Sarafino (2006) bahwa berinteraksi dengan orang lain dapat
memodifikasi atau mengubah persepsi individu mengenai kejadian tersebut dan
ini akan mengurangi potensi munculnya stress baru atau stress berkepanjangan.
Sehubungan dengan rasa nyaman secara fisik dan psikologis seorang
individu, selanjutnya dikatakan bahwa orang yang bahagia juga cenderung
percaya diri, puas dengan hubungan sosial, pekerjaan, kesehatan dan pendapatan
mereka. Ciri-ciri ini juga didukung oleh penelitian longitudinal Danner (dalam
Carr, 2004) yang menunjukkan kebahagiaan memiliki efek terhadap umur panjang
dimana seseorang yang bahagia akan lebih panjang umur. Ciri-ciri tersebut
menunjukkan bahwa kebahagiaan atau Subjective-Well Being merupakan aspek
yang penting dalam kehidupan seseorang.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Tsevat, dkk (1999), ODHA juga
memiliki keinginan yang besar untuk terus hidup dan memiliki harapan bahwa
kehidupan mereka lebih baik daripada kehidupan mereka sebelumnya. Sieff
(dalam Myers, 2010) juga menyatakan bahwa ketika individu mengetahui bahwa
dirinya mengidap HIV/AIDS memang terkadang menghancurkan kehidupan
mereka. Penelitian tersebut juga menemukan bahwa setelah lima minggu
beradaptasi dengan kabar tersebut, mereka memiliki perasaan berduka yang lebih
rendah daripada yang dikiranya dan menjadi bahagia.
2.5
Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran yang dapat digunakan dalam penelitian ini dapat
dilihat dari gambar :
Tabel 2.1
Hubungan antara dukungan sosial dan Subjective Well-Being
DUKUNGAN SOSIAL
SUBJECTIVE
(X)
WEL-LBEING
(Y)
Tipe Dukungan Sosial :
a. Dukungan Emosional
b. Dukungan Penghargaan
c. Dukungan Instrumental
d. Dukungan infromasional
Komponen Subjective
Well-Being
a. Kepuasan hidup
b. Kepuasan domain
c. Afek positif dan
negatif
e. Dukungan Jaringan Sosial
2.6
Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini :
“Terdapat hubungan positif antara dukungan sosial dengan Subjective
Well-Being pada ODHA”
Download