Toleransi Hotong (Setaria italica L. Beauv) pada Berbagai Cekaman

advertisement
6 TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran Umum Tanaman Hotong
Hotong (Setaria italica L. Beauv) atau yang di kenal dengan foxtail millet
adalah tanaman liar yang di domestikasi. Tanaman ini di domestikasi dari tipe
liarnya yaitu green millet (Setaria viridis) sekitar 5000 tahun yang lalu di bagian
selatan padang rumput Sahara dan di bagian barat sungai Nil. Distribusinya
berbeda secara geografis dan umumnya memiliki persamaan morfologi, hanya
memiliki perbedaan warna bulu pada malai dan kulit biji (Lampiran 3) serta
memiliki perbedaan genetik walaupun masih dalam satu spesies (Dekany 1999).
Hotong biasa tumbuh pada lahan kering dengan suhu optimum berkisar
antara 24-29oC. Tanaman ini memerlukan intensitas cahaya matahari penuh.
Besar kecilnya curah hujan sangat berpengaruh terhadap ketersediaan air tanah
dan kelembaban di sekitar pertanaman. Jumlah curah hujan yang menunjang
pertumbuhannya berkisar antara 200-300 mm/bln. Ketinggian tempat berpengaruh
langsung terhadap umur panen. Ketinggian tempat yang ideal bagi pertumbuhan
hotong adalah 0-450 m dpl. Tanaman ini dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah,
namun secara umum lebih menghendaki tanah yang gembur dan sedikit berpasir
serta mengandung bahan organik yang cukup untuk menunjang pertumbuhannya
(Karyudi & Fletcher 2003).
Fungsi Air bagi Tanaman
Air sangat esensial bagi tanaman, yaitu membentuk 80-90% bobot segar
jaringan yang sedang tumbuh aktif. Sebagai senyawa esensial bagi tanaman, air
memiliki peranan antara lain: (a) sebagai komponen utama protoplasma, (b)
sebagai pelarut dan media pada berbagai reaksi metabolik dan proses hidrolisis,
(c) sebagai penghasil hidrogen dan elektron (fotolisis) pada proses fotosintesis, (d)
menjaga turgor sel dan berperan sebagai tenaga mekanik dalam pembesaran dan
pemanjangan sel, (e) mengatur mekanisme membuka dan menutupnya stomata
dan berperan dalam proses transpirasi (Taiz & Zeiger 2002).
7 Karena pentingnya air pada berbagai proses di dalam tanaman, maka
ketidakstabilan jumlah curah hujan di daerah tropik merupakan penyebab utama
terjadinya variasi produksi tanaman dari tahun ke tahun atau dari musim ke
musim. Ketidakstabilan curah hujan ini menyebabkan ketidaktentuan keadaan air
tanah dan suplai hara bagi tanaman (Levitt 1980).
Cekaman Kekeringan bagi Tanaman
Tanaman
mengalami
cekaman
kekeringan
ketika
terjadi
ketidakseimbangan antara penyerapan air oleh akar dan kehilangan air akibat
tingginya laju transpirasi yang ditandai dengan proses pelayuan. Cekaman
kekeringan (drought stress)
adalah faktor lingkungan yang menyebabkan
tidak/kurang tersedianya air secara cukup bagi tanaman. Hal itu dapat disebabkan
oleh kekurangan suplai air terutama di daerah perakaran dan adanya kebutuhan air
yang berlebihan oleh daun karena laju transpirasi melebihi laju absorpsi air oleh
akar tanaman, walaupun keadaan air tanah mencukupi (Bohnert et al. 1995).
Kekurangan suplai air di daerah perakaran banyak dialami oleh tanaman terutama
yang ditanam pada lahan-lahan kering di daerah tropis (Hamim 1995).
Gejala awal yang paling mudah dikenali pada tanaman yang mengalami
cekaman kekeringan adalah perubahan biofisik daripada perubahan reaksi
biokimianya.
Cekaman kekeringan yang terus berlanjut dapat menghambat
pertumbuhan tanaman dan menurunkan produksi bergantung pada besarnya
tingkat cekaman yang dialami dan fase pertumbuhan tanaman pada saat mendapat
cekaman kekeringan (Levitt 1980). Pada periode cekaman kekeringan yang
panjang akan mempengaruhi seluruh proses metabolismeme di dalam sel dan
mengakibatkan penurunan produksi tanaman (Bohnert et al. 1995). Tanaman yang
terpapar kondisi kekeringan akan memberikan respon khusus baik secara
morfologis, anatomis maupun fisiologis. Pada kondisi ini tanaman akan
meningkatkan sistem perakaran untuk meningkatkan penyerapan air (morfologi)
dan menekan kehilangan air dengan membentuk lapisan kutikula, trikom yang
tebal, pengerutan sel bulliform (anatomi) dan sebagainya. Tanaman juga
8 meningkatkan toleransinya melalui perubahan kimia sel dengan mensintesis
senyawa terlarut (fisiologi) yang berfungsi sebagai osmoregulator seperti prolin
dan gula (Yamada et al. 2005).
Penurunan kandungan air pada tanaman akan menyebabkan penurunan
tekanan turgor pada dinding sel, sehingga sel mengalami pengkerutan.
Perkembangan sel bergantung pada tekanan turgor sehingga penurunan tekanan
turgor dapat menghambat perkembangan sel yang perlahan-lahan akan
menghambat pertumbuhan dan perkembangan luas daun (Passiuora 1994).
Menurut Taiz dan Zeiger (2002), ketika tanaman mengalami kekurangan
air akibat cekaman kekeringan, maka akan menyebabkan penurunan asimilasi
karbon dan pembentukan energi untuk proses fotosintesis. Fotosintat sebagian
besar didistribusikan ke akar untuk perkembangan perakaran agar mampu
mencapai zona yang lebih lembab. Dalam hal ini distribusi karbohidrat terlarut
melebihi kecepatan asimilasi sehingga secara simultan menurunkan pertumbuhan
tanaman yang selanjutnya mengakibatkan penurunan produksi (Levitt 1980).
Besarnya tingkat cekaman yang dialami pada fase pertumbuhan saat
tanaman mendapat cekaman kekeringan dapat mempengaruhi stabilitas karakter
anatomi tanaman. Karakteristik anatomi daun pada Solenostemma arghel (Del.)
yang mendapat perlakuan cekaman kekeringan memperlihatkan peningkatan
jumlah lapisan mesofil palisade, tebal mesofil, tebal kutikula, frekuensi trikom,
dan jumlah stomata pada epidermis bawah. Peningkatan diameter xilem bervariasi
pada daun, batang, maupun akar. Proses ini merupakan mekanisme fisiologis dan
adaptasi anatomis yang menunjukkan kemampuan tanaman untuk menghadapi
cekaman kekeringan (Radwan 2007). Tanaman yang tumbuh pada lingkungan
kering dengan intensitas cahaya tinggi, cenderung memiliki jumlah stomata yang
banyak dengan ukuran yang kecil dibanding tanaman yang tumbuh pada
lingkungan basah dan ternaungi. Selain itu, luas daun dengan banyak dan
sedikitnya jumlah stomata merupakan faktor penentu utama proses fotosintesis
dan transpirasi (Zhang et al. 2006).
9 Pengaruh Cekaman Kekeringan terhadap Fotosintesis Tanaman
Cekaman kekeringan menyebabkan penurunan potensial air tanaman yang
sangat besar pengaruhnya terhadap proses fisiologis dan metabolisme yang terjadi
di dalam tanaman. Penurunan potensial air tanaman dapat menyebabkan
terjadinya penurunan laju fotosintesis. Hal ini terjadi karena adanya hambatan
yang ditimbulkan oleh penutupan stomata (stomatal limitation) maupun hambatan
akibat penurunan proses biokimia di dalam tanaman (non-stomatal limitation)
(Kalefetoglu & Ekmekci 2005).
Penurunan laju fotosintesis berhubungan dengan kombinasi beberapa
proses antara lain: (1) penutupan stomata secara hidroaktif mengurangi suplai CO2
ke dalam daun, (2) dehidrasi kutikula, dinding epidermis dan membran sel,
sehingga mengurangi permeabilitasnya terhadap CO2, (3) bertambahnya tahanan
mesofil terhadap pertukaran gas menyebabkan penurunan efisiensi sistem
fotosintesis yang berkaitan dengan proses-proses biokimia dan aktivitas enzim
dalam sitoplasma (Grassi & Magnani 2005).
Pengaturan konduktansi stomata berkaitan dengan sinyal hidrolik (hydrolic
signaling) dan sinyal kimia (chemical signaling). Ketika tanaman mengalami
cekaman kekeringan, akan terjadi perubahan potensial air pada tanaman. Pada
keadaan ini terjadi penurunan gradien potensial air antara akar dan tanah,
sehingga laju penyerapan air oleh akar tanaman menurun. Gradien potensial air ini
akan menimbulkan sinyal hidrolik terhadap konduktansi stomata sebagai respon
tanaman terhadap cekaman kekeringan sehingga stomata menutup (Comstock
2002).
Sinyal kimia berkaitan dengan terjadinya peningkatan konsentrasi asam
absisat (ABA) pada akar tanaman. Ketika terjadi cekaman kekeringan, sintesis
ABA meningkat pada akar tanaman sebagai respon terhadap keadaan defisit air
tanah yang berkaitan dengan status air akar tanaman. Proses selanjutnya ABA
akan ditranspor melalui xilem terus ke daun. Selain di akar, tanaman juga
mensintesis ABA di daun (Srivastava 2002). Pada kondisi ini protein channel Kout
di sel penjaga daun akan diaktifkan oleh keberadaan ABA dan protein channel Kin
10 akan di hambat oleh ABA, sehingga banyak ion K+ yang keluar dari sel penjaga.
Kondisi ini akan menurunkan potensial osmotik sel penjaga sehingga stomata
menutup (Roberts & Snowman 2000). Proses ini dikenal dengan istilah longdistance chemical signaling (Comstock 2002).
Kondisi kekeringan yang terus berlanjut akan menyebabkan penurunan
proses metabolik di dalam tanaman salah satunya yang berhubungan dengan
proses transfer elektron fotosintesis. Penurunan proses metabolik disebabkan oleh
berkurangnya difusi CO2 ke dalam kloroplas mesofil yang selanjutnya mengarah
ke
penurunan
kandungan
ribulosa-1,5-bisphosphat
(RuBP)
pada
proses
fotosintesis (Chaves 1991). Yang et al. (2004) menambahkan bahwa intesitas
cahaya tinggi dan peningkatan suhu pada Phaseolus radiatus dan S. italica
menurunkan afinitas enzim Rubisco dan konsentrasi CO2 di dalam kloroplas
mesofil.
Cekaman kekeringan menginduksi terjadinya fotoinhibisi yang selanjutnya
akan menurunkan kandungan protein D1 pada PSII (Pastenes et al. 2004). PSII
sebagai sistem penangkap cahaya (light harvesting system) memiliki kompleks
protein subunit yang berikatan dengan klorofil yang dikenal dengan protein D1
dan D2. Protein ini memiliki 2 fungsi esensial yaitu: (1) menangkap cahaya pada
proses fotosintesis dan (2) melepas energi tereksitasi apabila terjadi kelebihan
energi. Oleh karena itu, PSII akan merespon sinyal eksternal dari lingkungan.
Proses ini berkaitan dengan perubahan gradien pH yang berfungsi sebagai kontrol
balik terhadap kelebihan transfer elektron fotosintesis (Horton et al. 1996) yang
dikenal dengan non-phtochemical quenching (qN). Proses perubahan nilai qN
melibatkan siklus xantophyll dan protein PsbS pada PSII, sebagai mekanisme
pertahanan terhadap fotoinhibisi (Taiz & Zeiger 2002).
Akumulasi Asam Askorbat (ASA) dan Prolin sebagai Respon terhadap
Kekeringan
Peningkatan disipasi energi selama proses fotosintesis saat tanaman
mengalami cekaman kekeringan akan menimbulkan cekaman oksidatif bagi
11 tanaman akibat terbentuknya senyawa oksidatif (Blokhina et al. 2003). Proses ini
menginduksi peningkatan akumulasi asam askorbat (ASA). ASA merupakan salah
satu antioksidan biologi pada tanaman yang berperan sebagai agen reduksi yang
dapat menetralisir reactive oxygen species (ROS) yang meliputi molekul-molekul
seperti: superoksida (O2-), singlet oksigen (-O2), radikal hidroksil (.OH), dan
hidrogen peroksida (H2O2) (Shgerri et al. 2000). Radikal oksigen merupakan
molekul yang sangat reaktif, karena memiliki elektron yang tidak berpasangan dan
dapat mengakibatkan kerusakan organel seperti kloroplas, mitokondria, dan
membran plasma (Asada 2006). Reaksi pembentukan ROS dapat dilihat pada
Gambar 1:
Dioksigen ion radikal superoksida ion perioksida
eee3
O2
O2.-
O222H+
Singlet
oksigen
O-
O23-
O2-
Radikal
perihidroksil
2H+
H+
2H+
H2O2
H 2O
OH-
H2O
Hidrogen
peroksida
Air
Radikal
hidroksil
Air
HO2-
O2
ion oksida
e H+
1
ion oksen
Gambar 1 Mekanisme pembentukan senyawa reactive oxygen species (ROS)
(Apel & Hirt 2004).
Peluang terjadinya pembentukan ROS pada proses fotosintesis antara lain:
(1) terjadi fotooksidasi pada pusat reaksi yaitu reaksi transfer elektron ke oksigen
atau senyawa lain, salah satunya adalah molekul klorofil selama eksitasi energi
sehingga terbentuk molekul klorofil triplet (3Chl) yang secara langsung bisa
bereaksi dengan molekul oksigen dan meningkatkan transfer energi dari bentuk
triplet ke bentuk singlet (1O2) (Mckersie dan Leshem 1994), (2) terjadi oksidasi
dengan mentransfer 4 elektron singlet dari H2O membentuk triplet atau ground
state oksigen pada PSII, (3) terjadi reduksi oksigen melalui reaksi Mehler pada
PSI dan atau deviasi elektron terhadap aliran elektron siklik pada PSII. Reduksi
oksigen ini terjadi pada transfer elektron feredoksin yang terjadi ketika NADP+
12 terbatas, dan salah satunya disebabkan oleh berkurangnya penggunaan NADPH
untuk fiksasi karbon pada siklus Calvin (Ghannoum et al. 2003).
Keterlibatan ASA dalam mekanisme penyelamatan terhadap ROS adalah
melalui siklus xantophyll. ASA dapat secara langsung menetralisir ROS dan dapat
bertindak sebagai ko-faktor enzim violaxanthin de-epoxidase (Fedoroff 2006)
untuk mengubah violaxanthin menjadi zeaxanthin. Proses ini dilibatkan dalam
perlindungan pelepasan penyerapan cahaya (energy dissipation) dalam bentuk
panas (heat) dan bisa diukur sebagai non photochemical quenching dari
Chlorophyll flourescence (Asada 2006). Dengan demikian akumulasi ASA
merupakan suatu mekanisme penyelamatan tanaman terhadap cekaman oksidatif.
Keterlibatan ASA dalam siklus xantophyll dapat di lihat pada Gambar 2:
2 Asam askorbat
Violaxanthin
De-epoksidase
Cahaya tinggi
pH 5,1
Dehidroaskorbat
Gambar 2
2 NADP + 2 H2O
Epoksidase
Cahaya rendah
pH 5,1
Zeaxanthin
2 NADPH + 2 O2
Mekanisme penyelamatan terhadap cekaman oksidatif oleh asam
askorbat (ASA) (Apel & Hirt 2004).
Selain ASA, tanaman juga mengakumulasi prolin untuk menjaga
keseimbangan osmotik sel saat mengalami cekaman kekeringan. Prolin
diakumulasi oleh banyak tanaman budidaya sebagai respon terhadap cekaman
kekeringan yang dapat diamati pada daun yang masih melekat maupun yang telah
gugur (Robert & Verslues 1999). Prolin juga ditanspor ke bagian ujung akar
terutama pada zona pemanjangan akar untuk merangsang pertumbuhan akar
sebagai respon awal ketika terjadi defisit air (Voetberg & Sharp 1991). Akumulasi
prolin pada tanaman yang terpapar kondisi kekeringan sangat penting karena
senyawa ini berfungsi sebagai osmoregulator, agen pelindung bagi enzim-enzim
13 sitoplasma dan membran juga sebagai bahan simpanan untuk pertumbuhan setelah
tanaman mengalami cekaman (Yamada et al. 2005).
Cekaman kekeringan dapat mempengaruhi piranti fotosintesis yaitu
menurunkan kandungan klorofil di dalam kloroplas mesofil. Pada kondisi
cekaman kekeringan ketika cahaya berlebihan, dapat menghambat proses
biosintesis klorofil, terutama menghambat sintesis asam 5-aminolevulinat (ALA).
Penghambatan ini sebagian besar di sebabkan oleh penurunan level protein
glutamil-tRNA reduktase (GluTR), sedangkan protein glutamat-1-semialdehid
(GSA-AT) tidak terpengaruh oleh intesitas cahaya tinggi. Hal itu menunjukkan
bahwa cahaya tinggi tidak merusak ekspresi HEMA 1. Oleh karena itu, diduga
bahwa intensitas cahaya tinggi menghambat sintesis ALA dan serentak
menginaktivasi GluTR dan menghambat formasi kompleks antara GluTR dan
GSA-AT (Aarti et al. 2007). Ditambahkan oleh Shgerri et al. (2000) bahwa
perubahan kandungan klorofil selama periode cekaman kekeringan kemungkinan
disebabkan oleh fotooksidasi klorofil oleh oksigen radikal. 
Download