1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kesehatan merupakan harta yang paling penting dalam
kehidupan manusia. Kesehatan merupakan hak bagi setiap warga
negara seperti yang telah diatur oleh undang-undang. Definisi
kesehatan menurut UU Kesehatan No 36 tahun 2009 adalah keadaan
sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang
memungkinkan untuk setiap orang untuk hidup produktif secara sosial
dan ekonomis. Dalam definisi tersebut penyakit yang berhubungan
dengan mental atau jiwa juga merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dalam memperoleh kesehatan. Dalam perkembangan
zaman, penyakit gangguan jiwa/mental juga merupakan masalah yang
serius dengan banyaknya penderitanya. Salah satu dari penyakit
gangguan mental adalah skizofrenia. Skizofrenia merupakan sindrom
heterogen kronis yang ditandai dengan pola pikir yang tidak teratur,
delusi, halusinasi, perubahan perilaku yang tidak tepat serta adanya
gangguan fungsi psikososial (Crismon dkk., 2008).
Prevalensi penderita skizoprenia hampir mirip pada satu
negara dengan negara lain, yaitu sekitar 0,2 - 2% populasi. Onset
terjadi biasanya pada akhir remaja atau awal dewasa, jarang terjadi
pada sebelum remaja atau setelah umur 40 tahun. Angka kejadian pada
1
wanita sama dengan pria, namun onset pada pria lebih awal dengan
lebih banyaknya gangguan kognitif dan outcome yang lebih jelek pada
pria daripada wanita. Lebih dari 80% dari pasien skizoprenia memiliki
orang tua yang tidak memiliki gangguan, namun risiko skizoprenia
lebih besar pada orang yang orang tuanya memiliki gangguan. Risiko
skizoprenia seumur hidup adalah sebesar 13% untuk anak dengan satu
orang tua dan 35-40% untuk anak dengan kedua orang tuanya
menderita skizoprenia (Hafner dkk., 1994).
Terapi skizoprenia menggunakan obat-obat antipsikotik, yang
saat ini terdapat 2 jenis obat antipsikotik yaitu tipikal yang merupakan
generasi terdahulu dan generasi terbaru atipikal. Penggunaan obat-obat
ini, untuk menyembuhkan skizoprenia diperlukan waktu yang cukup
lama bahkan seumur hidup. Terapi skizoprenia terbagi dalam 3 tahap
yaitu terapi akut pada saat terjadi episode akut yang melibatkan gejala
psikotik intens, fase stabilisasi dilakukan setelah gejala psikotik akut
dapat dikendalikan, dan terakhir tahap pemeliharaan yaitu terapi
pemulihan jangka panjang skizoprenia (Ikawati, 2011). Penggunaan
yang lama inilah yang dapat menyebabkan efek-efek yang tidak
diinginkan, salah satunya adalah efek samping terhadap metabolisme
pasien. Penelitian tentang efek samping terhadap metabolisme sudah
banyak dilakukan di negara-negara maju seperti Amerika, namun di
Indonesia masih jarang dilakukan penelitian ini. Efek samping
2
terhadap metabolisme jika terjadi
dan tidak ditanggulangi dapat
membahayakan pasien.
Perubahan metabolisme yang sering terjadi adalah berupa
perubahan kadar gula darah dan kadar kolesterol. Kedua metabolisme
tersebut sangatlah penting dalam mempertahankan homeostasis tubuh.
Perubahan kadar gula darah akibat penggunaan obat antipsikotik dapat
menyebabkan pasien mengalami hiperglikemia (Derijks dkk., 2007).
Hiperglikemia akan menyebabkan pasien mengalami penyakit diabetes
militus. Sedangkan kadar lipid karena penggunaan obat antipsikotik
akan mengalami peningkatan. Apabila peningkatan kadar lipid tidak
ditangani dengan baik dapat menyebabkan penyakit-penyakit lain,
seperti penyakit kardiovaskuler (Lindenmayer dkk., 2003).
Risiko terjadinya efek samping metabolisme lebih besar pada
penggunaan
antipsikotik
atipikal.
Namun
tidak
berarti
pada
antipsikotik tipikal tidak memiliki resiko terhadap perubahan
metabolisme, hanya saja perubahan terjadi lebih kecil. Dalam
penelitian yang dilakukan oleh Savoy dkk., (2008) memperlihatkan
hasil antipsikotik tipikal dapat meningkatkan kadar glukosa plasma
100-140% dari basal, tidak berbeda jauh dengan antipsikotik atipikal.
Jika dibandingkan dengan pasien yang tidak memperoleh antipikotik,
risiko terjadinya hiperlipidemia lebih besar pada pasien dengan
antipsikotik tipikal. Di Indonesia sendiri penggunaan antipsikotik lebih
banyak menggunakan antipsikotik tipikal karena harga antipsikotik
3
tipikal yang lebih murah sehingga masuk dalam daftar obat
asuransi/jaminan kesehatan yang diberikan oleh pemerintah. Oleh
karena itu tetap diperlukannya monitoring penggunaan antipikotik
tipikal terhadap efek samping metabolisme (Koro dkk., 2002 ;
Tschoner dkk., 2007).
Peneliti memilih tempat di Rumah Sakit Jiwa Grhasia
Yogyakarta karena rumah sakit ini adalah rumah sakit rujukan Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta dan prevalensi kejadian skizofrenia di
rumah sakit ini lebih sering dibandingkan rumah sakit umum yang
lain. Hal ini disebabkan dulunya RS Grhasia memang berstatus sebagai
Rumah Sakit Jiwa.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, dapat
dirumuskan masalah berikut ini:
1. Bagaimana kadar gula darah puasa pasien skizofrenia yang telah
diterapi dengan obat antipsikotik tipikal di instalansi rawat inap
Rumah Sakit Jiwa Grhasia tahun 2013?
2. Bagaimana perubahan kadar kolesterol total pasien skizofrenia
yang telah diterapi dengan obat antipsikotik tipikal di instalansi
rawat inap Rumah Sakit Jiwa Grhasia tahun 2013?
4
C.
Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui kadar gula darah puasa yang terjadi pada pasien
skizofrenia yang telah diterapi dengan obat antipsikotik tipikal di
instalansi rawat inap Rumah Sakit Jiwa Grhasia tahun 2013.
2. Untuk mengetahui kadar kolesterol total yang terjadi pada pasien
skizofrenia yang telah diterapi dengan obat antipsikotik tipikal di
instalansi rawat inap Rumah Sakit Jiwa Grhasia tahun 2013.
D.
Manfaat Penelitian
1. Bagi Rumah Sakit
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan kepada
rumah sakit mengenai efek samping antipsikotik tipikal terhadap
metabolisme yaitu kadar gula darah puasa dan kadar kolesterol
total, yang terjadi sehingga farmasis atau psikiatrik di rumah sakit
lebih memperhatikan perubahan metabolisme yang terjadi dan
dapat mengatasinya.
2. Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini dapat memicu peneliti selanjutnya untuk melakukan
penelitian lebih lanjut pengenai efek samping antipsikotik terhadap
metabolisme lainnya serta mekanisme yang terjadi.
5
E.
Tinjauan Pustaka
1. Skizofrenia
a. Definisi skizofrenia
Konsep modern skizofrenia dikemukan oleh psikiatri
dari Jerman Emil Krapelin. Krapelin membagi gangguan
psikosis menjadi dua yaitu skizofrenia dan psikosis manikdepresif, yang sekarang disebut bipolar. Pada tahun 1883,
Krapelin menamakan skizofrenia dengan dementia praecox
yang berarti kehilangan atau gangguan kemampuan mental
seseorang yang terlalu cepat. Krapelin yakin bahwa gangguan
skizofrenia dimulai pada masa remaja. Istilah ini kemudian
tidak digunakan lagi karena skizofrenia tidak terbatas pada
masa remaja saja tetapi juga muncul pada usia dewasa (Stefan
dkk., 2002).
Mengingat istilah dementia praecox tidak tepat maka
pada tahun 1991 Eugene Bleuler mengganti istilah dengan
skizofrenia. Dalam pandangan Bleuler diartikan sebagai
kepribadian terbelah. Istilah ini meyesatkan karena berarti sama
dengan amnesia dan kepribadian ganda. Pada tahun 1951
Cameron dan Margaret menyatakan reaksi-reaksi skizofrenik
merupakan sindrom-sindrom disorganisasi dan desosialisasi
6
dimana sindrom delusi dan halusinasi dominan, serta tingkah
laku dikuasi oleh khayalan pribadi (Semiun, 2006).
Skizofrenia merupakan sindrom heterogen kronis
yang ditandai dengan pola pikir yang tidak teratur, delusi,
halusinasi, perubahan perilaku yang tidak tepat serta adanya
gangguan fungsi psikososial (Crismon dkk., 2008).
b. Etiologi
Penyebab
skizofrenia
telah
menjadi
subyek
perdebatan yang panjang. Studi menunjukkan bahwa genetika,
perkembangan janin dalam kandungan, lingkungan awal,
neurobiologi, proses psikologi dan faktor sosial merupakan
penyebab penting. Meskipun tidak ada penyebab umum
skizofrenia yang dapat diidentifikasikan pada semua individu
yang didiagnosa pada kondisi tersebut. Saat ini sebagian besar
peneliti dan dokter percaya bahwa skizofrenia dipengaruhi oleh
faktor kerentanan otak (baik yang diwarisis atau yang
diperoleh) (Ikawati, 2011).
Skizofrenia adalah penyakit kompleks yang tidak
memiliki penyebab tunggal tetapi adanya beberapa penyebab
yang dapat meningkatkan faktor risiko terjadinya penyakit.
Namun berbeda dengan penyakit kompleks lainnya seperti
penyakit
jantung
iskemik,
skizofrenia
tidak
diketahui
mekanisme patogenik yang menghubungkan antar faktor risiko
7
terhadap penyakit. Sehingga tidak diketahui secara pasti
penyebab skizofrenia (Stefan dkk., 2002).
c. Klasifikasi Skizofrenia
Klasifikasi penyakit skizofrenia menurut DSM-IVTR, dapat di bagi menjadi 5 subklasifikasi yaitu tipe paranoid,
tipe disorganized, tipe katatonik, tipe undifferentiated, Tipe
residual. Penjelasan dari tipe-tipe tersebut sebagi berikut :
1) Tipe paranoid
Pada tipe paranoid terdapat delusi dan halusinasi,
tetapi tidak ada gangguan pemikiran, perilaku yang tidak
teratur dan respon yang datar. Penderita akan merasa
dikejar-kejar. Hal ini terjadi karena menanggapi segala
sesuatu dengan sensitif dan mengganggap seolah-olah
orang lain akan berbuat buruk kepadanya. Sehingga
perilaku pasien terhadap orang lain agresif.
2) Tipe disorganized
Pada tipe ini disebut juga skizofrenia hebephrenic.
Tipe disorganized terdapat
gangguan berpikir dan
perasaan yang terjadi bersama-sama. Pembicaraan kacau,
suka berbicara berjam-jam. Pada awal gangguan seringkali
komunikatif, tetapi lama-kelaman komunikasinya menjadi
tidak karuan (inkoheren), bahkan sampai akhirnya
individu tidak komunikatif.
8
3) Tipe katatonik
Pasien yang menderita tipe ini memiliki gejala yaitu
pasien mungkin hampir tidak bergerak atau menunjukan
kegelisahan atau gerakan yang tidak ada tujuannya.
Penderita skizofrenia katatonik yang parah biasanya di
tempat tidur, tidak mau berbicara, jorok, makan minum
dipaksa, dan apabila mata terbuka biasanya akan terpaku
pada satu titik, tidak berkedip dan ekpresi kosong.
Penderita bersikap negatif, tidak ada keinginan terhadap
sekelilingnya, tanpa kontak sosial, membisu dalam waktu
yang lama.
4) Tipe Undifferentiated
Pasien menunjukan adanya gejala-gejala psikotik
namun tidak memenuhi kriteria untuk jenis paranoid,
disorganized, atau katatonik.
5) Tipe Residual
Tipe residual merupakan tipe dengan simptom
positif terjadi pada intensitas rendah saja.
Selain tipe tipe diatas, ICD-10 mendefinisikan 2
subtipe tambahan, yaitu
tipe post-skizofrenik depresi dan
skizofrenia simpel.
1) Post-skizofrenik depresi
9
Sebuah episode depresi yang timbul setelah
penyakit skizofrenia, dimana beberapa gejala skizofrenia
tingkat rendah mungkin masih ada.
2) Skizofrenia simpel
Berkembangnya gejala negatif yang menonjol tanpa
sejarah episode psikotik. Simptom utamanya adalah apati,
yaitu seolah tidak memiliki kepentingan untuk diri sendiri.
Penderita biasanya bermalas-malasan, tidur-tiduran, jarang
mandi, montorik lambat, dan jarang berbicara. Apabila
dipaksakan untuk melakukan segala sesuatu seringkali
muncul reaksi marah dan apabila semakin dipaksakan
akan jatuh sakit (Coleman, 1967 ; Ikawati 2011 ; Kartono,
1989).
d. Patofisiologi Skizofrenia
1) Peran dopamin
Hipotesis dopamin menyatakan bahwa skizofrenia
disebabkan oleh terlalu banyaknya penerimaan dopamin
oleh otak. Dalam hipotesis dopamin, dinyatakan bahwa
skizofrenia dipengaruhi oleh aktivitas dopamin pada jalur
mesolimbik dan mesokortis saraf dopamin. Telalu aktifnya
saraf dopamin pada jalur mesolimbik bertanggung jawab
menyebabkan gejala positif, sedangkan kurangnya aktivitas
10
dopamin pada jalur mesokortis akan menyebabkan gejala
negatif kognitif dan afektif.
Pada Jalur saraf dopamin terdiri dari 4 jalur yang
mempunyai mekanisme kerja dan fungsi masing-masing.
yaitu :
a) Jalur nigrostiatal : dari substansia nigra ke bangsal
ganglia.
b) Jalur mesolimbik : dari substansia nigra menuju ke
sistem limbik
c) Jalur mesokortikal : dari subtansia nigra menuju ke
frontal cortex
d) Jalur tuberoinfendibular : dari hipotalamus ke kelenjar
pituitari.
Hipotesis dopamin inilah yang menyebabkan sebelum
tahun 1990an, pengembangan obat antipsikotik difokuskan
secara eksklusif pada agen dengan aktivitas utama yang
berlokasi pada reseptor dopamin D2, yaitu obat-obat
antipsikotik tipikal, yang merupakan antagonis reseptor D2.
Namun meskipun blokade reseptor D2 dapat mengurangi
gejala-gejala positif seperti halusinasi dan delusi, antagonis
D2 juga berkaitan dengan efek samping neurologis yang
tidak menyenangkan, yaitu gejala ekstrapiramidal. Selain
11
itu agen ini memiliki keterbatasan untuk gejala negatif dan
kognitif (Crismon dkk., 2008).
Tabel I. Jalur Dopaminergik (Crismon dkk., 2008)
No
Jalur
Asal
Inervasi
Fungsi
Sistem
ekstrapiramidal,
gerakan
Memori, proses
stimulus, sikap,
kesadaran
1
Nigrostriatal
Substansia nigra
Caudate nucleus
putamen
2
Mesolimbik
Area tregmental
otak tengah
Sistem limbik
3
Mesokortik
Area tregmental
otak tengah
Lobus frontal
dan prefrontal
4
Tuberoinfendibular
Hipotalamus
Kelenjar
pituitari
Kognisi,
komunikasi, fungsi
sosial, respon
terhadap stres
Regulasi
pengeluaran
prolaktin
2) Peran serotonin
Pelepasan dopamin berkaitan dengan fungsi serotonin.
Penurunan
aktivitas
serotonin
berkaitan
dengan
peningkatan aktivitas dopamin. Bukti yang mendukung
peran potensial serotonin dalam memperantarai efek
antipsikotik obat datang dari interaksi anatomi dan
fungsional dopamin dan serotonin. Studi anatomi dan
elektrofisiologi menunjukkan bahwa saraf serotonergik dari
dorsal dan median raphe nuclei terproyeksikan ke badanbadan sel dopaminergik dalam Ventral Tegmental Area
(VTA) dan Substansia Nigra (SN) dari otak tengah. Saraf
serotonergik dilaporkan berujung langsung pada sel-sel
12
dopaminergik dan memberikan pengaruh penghambatan
pada
aktivitas
dopamin
di
jalur
mesolimbik
dan
nigrostriatal melalui reseptor 5-HT2A.
Secara umum, penurunan aktivitas serotonin terkait
dengan peningkatan aktivitas dopamin. Interaksi antara
serotonin dan dopamin, khususnya reseptor 5-HT2A, dapat
menjelaskan
mekanisme
obat
psikotik
atipikal
dan
rendahnya potensi untuk menyebabkan efek samping
ekstrapiramidal.
Selain
itu,
stimulasi
5-HT1A
juga
meningkatkan fungsi dopaminergik (Ereshefsky., 1999).
3) Peranan glutamat
Disfungsi sistem glutamatergik di korteks prefrontal
diduga juga terlibat dalam patofisiologi skizofrenia.
Hopotesa datang dari bukti pemberian antagonis reseptor
N-metil-D-Aspartat (NMDA), seperti phencyclidine (PCP)
dan ketamin, pada orang sehat menghasilkan efek yang
mirip dengan spektrum gejala dan gangguan kognitif yang
terkait dengan skizofrenia. Efek dari antagonis NMDA
menyerupai baik gejala negatif dan positif serta defisit
kognitif skizofrenia (Ikawati, 2011).
e. Gejala dan Tanda Skizofrenia
Gambaran klinis skizofrenia sangat bervariasi antar
individu. Pada fase normal, pasien berada dalam kontrol yang
13
baik terhadap pikiran, perasaan dan tindakannya. Episode
psikotik yang pertama kali mungkin terjadi secara tiba-tiba dan
biasanya diawali dengan menarik diri, pencuriga dan aneh.
Pada epsioe akut pasien kehilangan kontak dengan realitas,
dalam hal ini otaknya menciptakan realitas palsu. Gejalanya
umunnya tidak bersifat tunggal namun melibatkan beberapa
gangguan psikologis.
Manifestasi klinis yang dapat terjadi :
1) Pada episode akut dari skizofrenia meliputi tidak bisa
membedakan antara khayalan dan kenyataan. Halusinasi
(terutama
mendengar
suara-suara
bisikan),
delusi
(keyakinan yang salah namun dianggap benar oleh
penderita. Ide-ide karena pengaruh luar (tindakannya
dikendalikan oleh pengaruh dari luar dirinya), proses
berpikir yang tidak berurutan, ambivalen (pemikiran yang
saling bertentangan), datar, tidak tepat, atau efek yang
labil, autisme (menarik diri dari lingkungan sekitar dan
hanya memikirkan dirinya sendiri), tidak mau bekerja
sama, menyukai hal-hal yang dapat menimbulkan konflik
pada lingkungan sekitar dan melakukan serangan baik
secara verbal maupun fisik kepada orang lain, tidak
merawat diri sendiri, dan gangguan tidur maupun napsu
makan.
14
2) Setelah terjadinya episode akut, biasanya penderita
skizofrenia
mempunyai
gejala-gejala
sisa
(cemas,
pencuriga, motivasi menurun, kepedulian berkurang, tidak
mampu memutuskan sesuatu, menarik diri dari hubungan
bersosialisasi dengan lingkungan sekitar, sulit untuk
belajar dari pengalaman dan tidak bisa merawat diri
sendiri (Crismon dkk., 2008).
Tabel II. Pembagian Gejala Skizofrenia (Crismon dkk., 2008)
Gejala Positif
Gejala Negatif
Gejala Kognitif
Halusinasi
Perasaan menjadi
tumpul
Gangguan ingatan
Delusi
Alogia
Gangguan perhatian
Bicara tidak teratur
Anhedonia
Gangguan fungsi
melakukan pekerjaan
tertentu
Pencuriga
Avolition (kehilangan
motivasi)
Selain gejala negatif dan positif, dikenal juga gejala
kognitif. Gejala ini hampir mirip dengan gejala negatif dan
positif. Gejala kognitif ditandai dengan kurangnya kemampuan
untuk memahami informasi dan membuat keputusan, sulit
fokus, gangguan pada memori. Gejala kognitif sering membuat
penderita sulit menjalani kehidupan normal dan mencari nafkah
(Ikawati, 2011).
15
f. Diagnosis Skizofrenia
Diagnosa skizofrenia ditegakkan jika memenuhi
kriteria menurut DSM IV yaitu :
1) Gejala karakteristik : dua atau lebih gejala berikut ini yang
muncul dalam jangka waktu 1 bulan :
a) Delusi
b) Halusinasi
c) Cara bicara tak teratur
d) Tingkah laku yang tidak terkontrol
e) Gejala negatif
Individu dapat terdiagnosa skizofrenia apabila
halusinasinya terdiri dari suara-suara yang mengomentari
orang itu atau suara-suara yang berbicara satu sama lain.
2) Disfungsi sosial atau pekerjaan
Adanya gangguan terhadap fungsi sosial atau
pekerjaan untuk jangka waktu yang signifikan.
3) Durasi :gejala karakteristik terjadi secara terus menerus
selama 6 bulan.
4) Gejala psikotik bukan karena gangguan mood seperti pada
bipolar
5) Gejala bukan karena penggunaan obat atau kondisi medik
tertentu.
16
2. Tatalaksana Terapi Skizofrenia
Tujuan terapi pada skizofrenia adalah mengembalikan
fungsi normal pasien dan mencegah kekambuhan. Sasaran terapi
bervariasi berdasarkan fase dan keparahan penyakit. Pada fase akut
sasarannya mengurangi atau menghilangkan geja psikotik dan
meningkatkan fungsi normal pasien. Sedangkan pada fase
stabilisasi sasarannya adalah mengurangi risiko kekambuhan dan
meningkatkan
adaptasi
pasien
terhadap
kehidupan
dalam
masyarakat.
Strategi terapi dapat dikelompokkan menjadi 3 tahap yaitu :
a. Terapi fase akut
Dilakukan saat terjadi episode akut yang melibatkan
gejala psikotik intens. Tujuan pengobatannya adalah
mengendalikan
gejala
psikotik
sehingga
tidak
membahayakan terhadap diri sendiri maupun orang lain.
Pengobatan dengan obat merupakan terapi utama pada fase
ini. Jika digunakan dengan dosis yang tepat, pengguanaan
antipsikotik dapat mengurangi gejala psikotik dalam waktu
6 minggu.
b. Terapi fase stabilisasi
Dilakukan
setelah
gejala
psikotik
dapat
dikendalikan. Pada fase ini pasien sangat rentan terhadap
kekambuhan.
Tujuan
17
pengobatan
adalah
mencegah
kekambuhan, mengurangi gejala dan mengarahkan pasien
ke dalam pemulihan yang lebih stabil
c. Terapi fase pemeliharaan
Merupakan terapi jangka panjang skizofrenia.
Bertujuan untuk mempertahankan kesembuhan, mengontrol
gejala, mengurangi risiko kekambuhan, dan mengajarkan
ketrampilan untuk hidup sehari-hari. Terapi pemeliharaan
biasanya melibatkan pengobatan dengan obat, terapi
suportif,
pendidikan
keluarga
dan
konseling,
serta
rehabilitasi pekerjaan dan sosial (Ikawati, 2011).
Ada terapi farmakologi dan non farmakologi yang
dapat dilakukan :
a. Terapi Non Farmakologi
Ada beberapa pendekatan psikososial yang dapat
digunakan untuk pengobatan skizofrenia. Intervensi
psikososial merupakan bagian dari perawatan yang
komprehensif dan dapat meningkatkan kesembuhan jika
diintegrasikan dengan terapi farmakologis. Intervensi
psikososial ditujukan untuk memberikan dukungan
emosional pada pasien. Pilihan pendekatan
dan
intervensi psikososial didasarkan kebutuhan khusus
pasien sesuai dengan keparahan penyakitnya.
18
1) Program
for
Assertive
Community
Treatment
(PACT)
PACT merupakan program rehabilitasi yang
terdiri dari manajemen kasus dan intervensi aktif
oleh satu tim menggunakan pendekatan yang sangat
terintegrasi. Program ini dirancang khusus untuk
pasien yang fungsi sosialnya buruk dan bertujuan
untuk mencegah kekambuhan dan memaksimalkan
fungsi sosial dan pekerjaan. Unsur-unsur kunci
dalam PACT adalah menekankan kekuatan pasien
dalam beradaptasi dengan kehidupan masyarakat,
penyediaan dukungan dan layanan konsultasi untuk
pasien, memastikan bahwa pasien tetap dalam
program
perawatan.
Laporan
dari
bebarapa
penelitian menunjukan bahwa PACT efektif untuk
memperbaiki gejala, mengurangi lama perawatan di
rumah sakit dan memperbaiki kondisi kehidupan
secara umum.
2) Intervensi keluarga
Prinsipnya adalah bahwa keluarga pasien
harus dilibatkan dan terlibat dalam penyembuhan
pasien. Anggota keluarga diharapkan berkontribusi
untuk
perawatan
19
pasien
dan
memerlukan
pendidikan,
bimbingan
dan
dukungan
serta
pelatihan membantu mereka mengoptimalkan peran
mereka.
3) Terapi perilaku kognitif
Dalam terapi ini dilakukan koreksi atau
modifikasi terhadap keyakinan (delusi), fokus
terhadap halusinasi pendengaran dan menormalkan
pengalaman psikotik pasien sehingga mereka bisa
tampil
secara
normal.
Beberapa
penelitian
menunjukkan bahwa terapi perilaku efektif dalam
mengurangi frekuensi dan keparahan gejala positif.
Namun ada risiko penolakkan yang mungkin
disebabkan
oleh
pertemuan
mingguan
yang
mungkin terlalu membebani pasien-pasien dengan
gejala negatif yang berat.
4) Terapi pelatihan ketrampilan sosial
Terapi ini didefinisikan sebagai pengguanaan
teknik perilaku atau kegiatan pembelajaran yang
memungkinkan pasien untuk memenuhi tuntutan
interpersonal, perawatan diri dan menghadapi
tunutan masyarakat. Tujuannya adalah memperbaiki
kekurangan tertentu dalam fungsi sosial pasien.
20
Terapi
ini
tidak
efektif
untuk
mencegah
kekambuhan atau mengurangi gejala.
5) Terapi Elektrokonvulsif (ECT)
Dalam sebuah kajian sistematik menyatakan
bahwa pengguan ECT dan kombinasi dengan obatobat antipsikotik dapat dipertimbangkan sebagai
pilihan bagi penderita skizofrenia terutama jika
menginginkan perbaikan umum dan pengurangan
gejala yang cepat (American Psychiatric Assosiated,
2012).
b. Terapi farmakologi
Secara umum, terapi penderita skizofrenia
dibagi menjadi tiga tahap yakni terapi akut, terapi
stabilisasi dan terapi pemeliharaan. Terapi
akut
dilakukan pada tujuh hari pertama dengan tujuan
mengurangi agitasi, agresi, ansietas, dll. Benzodiazepin
biasanya digunakan dalam terapi akut. Penggunaan
benzodiazepin akan mengurangi dosis penggunaan obat
antipsikotik.
Terapi stabilisasi dimulai pada minggu kedua
atau
ketiga.
Terapi
stabilisasi
bertujuan
untuk
meningkatkan sosialisasi serta perbaikan kebiasaaan
dan perasaan. Pengobatan pada tahap ini dilakukan
21
dengan obat-obat antipsikotik. Terapi pemeliharaan
bertujuan untuk mencegah kekambuhan. Dosis pada
terapi pemeliharaan dapat diberikan setengah dosis
akut. Klozapin merupakan antipsikotik yang hanya
digunakan apabila pasien mengalami resistensi terhadap
antipsikotik yang lain (Crismon dkk., 2008).
Gambar 1. Algoritma terapi skizofrenia (Crismon dkk., 2008)
22
Selain dengan benzodiazepin, antipsikotik dapat
dikombinasi dengan antikonvulsan, penstabil mood,
antikolinergik, ataupun antidepresan. Obat-obat tersebut
dapat ditambahkan pada keadaan kurangnya respon
yang efektif :
1) Untuk kontrol perilaku
2) Untuk pengobatan efek samping antipsikotik.
3) Untuk
pengobatan
komorbid
atau
masalah
kejiwaan sekunder (Ikawati, 2011).
3. Obat Antipsikotik
Obat antipsikotik dibagi menjadi dua macam yaitu generasi
pertama dan generasi kedua. Obat generasi pertama biasa disebut
dengan obat antipsikotik tipikal sedangkan golongan kedua disebut
atipikal. Mekanisme kerja kedua golongan obat tersebut berbeda.
Obat generasi pertama bekerja pada reseptor dopamin sedangkan
obat generasi kedua bekerja pada reseptor serotonin.
Contoh obat generasi pertama (antipsikotik tipikal) adalah
klorpromazin, flufenazin, haloperidol, loksapin, ferfenazin dan
yang lainnya. Semua obat antipskotik tipikal memiliki khasiat yang
sama dalam sekelompok pasien ketika diberikan dalam dosis yang
potensinya sama (Equipotent) obat yang mengalami potensi tinggi
seperti haloperidol mempunyai efek yang sama dengan obat yang
23
potensinya rendah dan sangat menimbulkan efek sedasi seperti
klorpromazin di dalam mengatasi agitasi akut. Ekuivalensi dosis
sangat bermanfaat ketika hendak mengganti penggunaan suatau
obat ke obat lain dalam satu golongan antipsikotik tipikal.
Obat-obat antipsikotik atipikal seperti klozapin, olanzapin,
quetiapin, risperidon menunjukkan penurunan potensi efek
samping ekstrapiramidal, mengatasi gejala negatif skizofrenia,
tidak ada peningkatan prolaktin setelah digunakan secara kronis
dan efektif untuk pasien yang resisten terhadap pengobatan.
Masing-masing obat memiliki profil efek samping yang
khas, tetapi secara umum obat-obat ini lebih aman daripada obat
antipsikotik tipikal. Hal ini dapat dijelaskan dari perbedaan
mekanisme aksinya.
Tabel III. Ekuvalensi Dosis Obat-obat Antipsikotik tipikal (Crismon dkk., 2008)
24
4. Perubahan metabolisme
Di Amerika Serikat, risiko diabetes tipe 2 berkembang pada
populasi. Para peneliti menyadari bahwa penyakit seperti bipolar
dan skizofrenia berasosiasi dengan meningkatnya risiko diabetes.
Perubahan metabolik ini dimungkinkan merupakan risiko pada
penggunaan obat-obat antipsikotik. Perubahan fisik seperti
penambahan berat badan juga mungkin merupakan indikasi
perubahan metabolisme pada pasien yang diterapi dengan
antipsikotik (Lieberman, 2004).
Penggunaan antipsikotik berasosiasi dengan efek samping
metabolisme termasuk penambahan berat badan, dislipidemia dan
diabetes tipe 2. Walaupun sangat sulit untuk membedakan
perubahan metabolisme yang terjadi karena pengobatannnya
ataupun karena pola hidup pasien (Chon dkk., 2006).
Penggunaan antipsikotik tidak hanya menyebabkan risiko
diabetes namun juga sindrom metabolik. Sindrom metabolik adalah
kombinasi gangguan medis yang meningkatkan risiko terkenanya
penyakit kardiovaskuler dan diabetes. Sindrom metabolik termasuk
peningkatan berat badan dan peningkatan kadar lemak yang
berhubungan dengan peningkatan insulin, glukosa dan lemak.
Meskipun diperkirakan bahwa genetik dan lingkungan pasien dapat
berkontribusi terhadap sindrom metabolik namun tidak tidak
diketahui secara pasti mengapa beberapa pasien mengalami
25
sindrom metabolik sementara yang lain tidak (Grundi dkk., 2004 ;
Liberman, 2004).
Resistensi insulin dan obesitas dianggap elemen penting
dalam
penting
dalam
perkembangan
sindrom
metabolik.
Abnormalitas regulasi glukosa merupakan hal yang pertama kali
dilaporkan pada pasien skizofrenia pada penggunaan/pengobatan
antipsikotik yaitu resistensi insulin yang tidak terobati. Namun
penggunaan antipsikotik juga terkait dengan peningkatan berat
badan, metabolisme glukosa, onset baru DM tipe 2 dan diabetes
ketoasidosis. Terjadinya satu atau semua metabolik sindrom ini
akibat dari sindrom metabolik (Liberman, 2004).
a. Sindrom Metabolik
Penggunaan antipsikotik meningkatkan tidak hanya
risiko diabetes tapi juga sindrom metabolik. Sindrom metabolik
meliputi penambahan berat badan, hipertigliserida bersamaan
dengan peningkatan insulin, glukosa dan level LDH. Resistensi
insulin dan obesitas berkontibusi pada perkembangan sindrom
metabolik. Walaupun hal ini juga dapat terjadi karena faktor
genetik pasien dan faktor lingkungan.
Sindrom metabolik dapat menjadi risiko terjadinya
penyakit
dan
komplikasi.
Sindrom
metabolik
dapat
meningkatkan risiko penyakit jantung. Dalam beberapa
26
penelitian menunjukan adanya risiko coronary heart disease,
stroke (Lieberman, 2004).
b. Faktor Risiko Sindrom Metabolik
Abnormalitas
pengaturan
glukosa
pertama
kali
dilaporkan pada pasien dengan skizofrenia dan bipolar dengan
pengobatan antipsikotik. Hal ini berkaitan dengan adanya
resistensi insulin pada pasien. Pasien dengan terapi antipsikotik
juga berasosiasi dengan penambahan berat badan, lemahnya
metabolisme glukosa pada diabetes tipe 1 dan 2, onset baru
pada diabetes tipe 2 dan diabetes ketoasidosis (Lieberman,
2004).
c.
Penambahan Berat badan
Penambahan berat badan menggambarkan signal dari
adanya
sindrom
metabolik.
Walaupun
tanpa
adanya
perkembangan diabetes atau sindrom metabolik, penambahan
berat badan yang signifikan terjadi pada pasien dengan terapi
antipsikotik.penambahan berat badan ini dapat berkontibusi
dalam berbagai kondisi seperti hipertensi dan coronary artery
disease (Lieberman, 2004).
d.
Hiperglikemia dan Level Glukosa
Hiperglikemia dan lemahnya regulasi glukosa sering
terlihat pada pasien dengan diabetes atau sindrom metabolik.
Antipsikotik dapat meningkatkan risiko hiperglikemia dan level
27
glukosa dan juga dapat meningkatkan risiko sindrom metabolik
(Lieberman, 2004).
Hiperglikemia dan gangguan level glukosa merupakan
efek samping metabolisme akibat penggunaan antipsikotik
yang
paling
sering
ditemukan.
Hiperglikemia
adalah
komplikasi mematikan dari skizofrenia. Hiperglikemia dapat
menyebabkan atau berkontribusi pada pengobatan yang lama
akibat kompilkasi seperti neuropati, retinopati dan nepropati.
Hiperglikemia juga dapat menyebabkan penyakit-penyakit
kardiovaskuler. Sehingga pasien-pasien yang diterapi dengan
antipsikotik perlu secara rutin dilakukan pengukuran kadar
glukosa darah, dikonsultasi tentang bagaimana menurunkan
gula darah dan dilakukan intevensi sedini mungkin (Henderson,
2005 ; Liberman dkk., 2004 ; Newcomer dkk., 2002).
Penelitian tentang perubahan kadar glukosa darah akibat
penggunaan antipiskotik telah banyak dilakukan sebelumnya.
Dalam berbagai penelitian juga menunjukan bahwa perubahan
kadar gula darah pada pasien dengan pengobatan atipikal lebih
besar kenaikan kadar glukosa darah daripada pada pasien
dengan pengobatan tipikal. Penelitian yang dilakukan Savoy
dkk., (2008) akut administrasi antipsikotik klozapin, olanzapin,
quetiapin,
pherphenazin
28
(atipikal)
dan
haloperidol,
clorpromazin (tipikal) dengan dosis tinggi menyebabkan
peningkatan plasma glukosa darah 100-140 % dari level basal.
Dalam penelitian lainnya, perubahan kadar glukosa dan
level kolesterol yang dilakukan oleh Lindenmayer (2003)
disimpulkan bahwa penggunaan klozapin, olanzapin dan
haloperidol berasosiasi pada peningkatan kadar glukosa
plasma. Dan penggunaan klozapin dan olanzapin berasosiasi
dengan peningkatan kadar kolesterol. Terdapat 14% pasien
yang mengalami perubahan kadar glukosa yang tinggi selama
penelitian dilakukan.
Laporan yang dibuat oleh FDA (Food and Drug
Adminstration) mempublikasi adanya hubungan penggunaan
klozapin, olanzapin, risperidon dan quetiapin dengan kenaikan
glukosa darah. Kenaikan risiko diabetes lebih besar pada
populasi yang mendapat pengobatan antipsikotik daripada yang
tidak diterapi dengan antipsikotik. Juga dilaporkan insidensi
diabetes lebih besar pada pasien dengan atipikal dibandingkan
dengan tipikal. Dibandingkan dengan antipsikotik generasi
pertama, beberapa antipsikotik atipikal (olanzapin, risperidon,
quetiapin, ziprasidon, olanzapin) efek terhadap perkembangan
metabolik sindrom lebih konsisten (Scheen dan De Hert, 2007)
Mekanisme yang mengakibatkan adanya gangguan
regulasi glukosa belum diketahui secara pasti. Antipsikotik
29
dapat
mengakibatkan
hiperglikemia,
resistensi
insulin
ketoasidosis, dan onset baru diabates tipe 2. Penggunaan obat
antipsikotik yang lama, terutama atipikal, dapat menyebabkan
kenaikan berat badan, dimana keadaan ini dapat menginduksi
resistansi insulin di jaringan perifer. Mekanisme lain,
antipsikotik juga mempunyai kemungkinan
mengganggu
regulasi level serum glukosa melalui mekanisme antagonis
dopamin di hipotalamus (Llorente dan Urrutia, 2006 ; Smith
dkk, 2008).
Teori
lain
menyebutkan
adanya
efek
antagonis
muskarinik dari obat antipsikotik. Dari beberapa antipsikotik
yang dapat menyebabkan kenaikan kadar glukosa darah,
olanzapin dan klozapinlah yang memilik efek paling besar
daripada
antipsikotik
lainnya.
Keduanya
merupakan
antipsikotik ini memilik efek antagonis muskarinik paling
poten. Olanzapin dan klozapin menghambat induksi sekresi
insulin dengan menghambat aktivitas reseptor muskarinik M3.
Penemuan ini menunjukkan kemungkinan adanya fungsi
aktivitas antikolinergik yang poten sebagai faktor yang
berkontribusi dalam perkembangan diabetes (Johnson dkk.,
2005 ; Llorente dan Urrutia, 2006).
Mengingat
pentingnya
asetilkolin
dalam
regulasi
fisiologis sekresi insulin, efek ini merupakan mekanisme yang
30
masuk akal dalam kontribusinya meningkatkan risiko diabetes.
Namun mekanisme ini belum menjadi mekanisme yang pasti
karena obat-obat lain yang juga memiliki mekanisme antagonis
muskarinik tidak dilaporkan memiliki efek samping diabetes.
Faktor-faktor
inilah
yang
menyebabkan
belum
adanya
mekanisme yang pasti antipsikotik dapat menyebabkan
hiperglikemia. Tetapi dengan adanya teori-teori ini pemahaman
terhadap
efek
samping
antipsikotik
terhadap
risiko
hiperglikemia lebih baik (Llorente dan Urrutia, 2006).
e.
Dislipidemia
Metabolisme lemak pada pasien skizofrenia yang paling
dapat dilihat secara pemerikasaan fisik adalah adanya
peningkatan berat badan. Peningkatan berat badan merupakan
sinyal yang terlihat dari sindrom metabolik dan biasanya
menjadi masalah yang membuat stres di antara pasien.
Peningkatan berat badan yang dramatis dapat menjadi rambu
penting terhadap komplikasi masalah medis. Bahkan tanpa
perkembangan diabetas, peningkatan berat badan
yang
bermakna terkait dengan pengobatan antipsikotik
dapat
membahayakan kondisi pasien dengan berkontribusi dengan
kormobiditas seperti hipertensi dan penyakit jantung koroner
(Must dkk., 1999).
31
Dislipidemia dikarakteristik dengan meningkatnya asam
lemak bebas, triglliserida, LDL (Low Density Lipoprotein),
HDL (High Density Lipoprotein), kolesterol, dan peningkatan
apolipoprotein B. Penelitian perbandingan antipsikotik atipikal
klozapin, olanzapin, risperidon, quetiapin dengan yang
menggunakan antipsikotik tipikal (haloperidol). Hasilnya
menunjukan peningkatan yang signifikan 56% level trigliserida
pada pasien yang diterapi dengan klozapin, 39% dengan
olanzapin, 21% dengan risperidon, 8% dengan quetiapin.
Sedangkan pada penggunaan haloperidol tidak menunjukan
kenaikan kadar trigliserida secara signifikan. Namun jika
dibandingan
dengan
pasien
yang
tidak
memperoleh
antipsikotik, antipsikotik tipikal risiko hiperlipidemianya lebih
besar (Koro dkk., 2002 ; Tschoner dkk., 2007)
Olanzapin dan klozapin memiliki risiko peningkatan
kadar lipid paling besar dibandingkan dengan antipsikotik
lainnya. Olanzapin dan klozapin menunjukkan efek yang
negatif terhadap kolesterol total dan trigleserida. Peningkatan
kadar serum lipid dapat terlihat setelah 4 minggu penggunaan
olanzapin dan klozapin (Liberman, 2005)
Peningkatan kadar trigliserida dapat menjadi faktor
risiko terjadinya arteriosklerosis koroner. Peningkatan adiposa
dapat menyebabkan peningkatan pelepasan asam lemak bebas
32
dari adiposa hipertropik yang menyebabkan peningkatan
konsentrasi asam lemak bebas di dalam darah. Asam lemak
bebas akan menginduksi resistensi insulin di otot dan hepar,
disfungsi sel prankeas dan dapat meningkatkan VLDL.
Peningkatan VLDL dapat menyeabkan peningkatan LDL
sehingga dapat menyebabkan hiperlipidemia (Tschoner dkk.,
2007).
Karena adanya kemungkinan terkenanya hiperlipidemia,
direkomendasikan adanya pemeriksaan profil lipid puasa.
NCEP ATP (National Cholesterol Education Program Adult
Treatment Panel) merekomendasikan pemeriksaan profil lipid
puasa pada 3 bulan setelah penggunaan antipsikotik dan
kemudian tiap 5 tahun pada pasien yang memiliki kadar lipid
yang normal. Pemeriksaan kadar lipid puasa termasuk
pemeriksaan kadar kolesterol total, LDL, HDL dan trigliserida
( Balf dkk., 2008).
F.
KETERANGAN EMPIRIS
Efek samping antipiskotik tipikal terhadap metabolisme
sudah banyak diteliti dan dilaporkan. Namun di Indonesia efek
samping ini belum banyak mendapat perhatian yang lebih.
Padahal apabila gangguan metabolisme ini tidak diterapi akan
33
berbahaya karena dapat mengakibatkan penyakit-penyakit lain
seperti diabetes dan hiperkolesterol.
Melalui penelitian ini diharapkan diperoleh hasil
mengenai perubahan metabolisme gula darah dan kolesterol
pada pasien rawat inap di Instalansi Rumah Sakit Ghrasia
Yogyakarta.
34
Download