II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kulit Kulit adalah bagian terluar dari struktur manusia, hewan atau tumbuhan. Pada hewan atau manusia kulit adalah lapisan luar tubuh yang merupakan suatu kerangka luar, tempat bulu tumbuh. Kulit berfungsi melindungi badan atau tubuh dari pengaruh-pengaruh luar, misalnya panas, pengaruh yang bersifat mekanis, kimiawi, serta merupakan alat penghantar suhu (Suardana et al., 2008) Menurut Judoamidjojo (1974), struktur kulit hewan dapat dibedakan secara makroskopis dan mikroskopis (histology). Secara makroskopis, kulit hewan dibagi atas beberapa daerah yaitu daerah krupon (croupon), kepala dan leher, serta daerah kaki, ekor dan perut. Secara mikroskopis, kulit hewan terdiri dari tiga lapisan, yaitu lapisan epidermis, korium, dan subkutis. Keterangan : A,B Bagian kepala dan leher ; C,D Krupon ; EF Ekor, perut, dan kaki Gambar 1. Struktur kulit secara makroskopis (Suardana et al., 2008) Pembagian kulit secara makroskopis adalah pembagian yang mengacu kepada bagian-bagian kulit yang pada umumnya disamak dan menunjukkan kualitas kulit. Daerah krupon adalah bagian terpenting dari kulit hewan karena bagian ini meliputi 55% dari seluruh kulit. Pada bagian ini, terdapat jaringan yang rapat dan kuat. Daerah kepala dan leher meliputi sekitar 23% dari seluruh kulit. Ketebalan kulit pada daerah kepala dan leher relatif lebih tebal dari daerah lainnya, tetapi mempunyai jaringan yang lebih longgar dari 3 daerah krupon. Daerah kaki, perut dan ekor, meliputi 22% dari seluruh kulit. Pada daerah perut, ketebalan kulit relatif tipis dan jaringannya longgar, sedangkan daerah kaki kulit lebih tebal dan jaringan lebih padat (Judoamidjojo, 1974). Kulit hewan secara mikroskoskopis (histologis) dibagi berdasarkan struktur lapisan yang menyusun kulit. Kulit memiliki tiga lapisan utama yaitu lapisan epidermis, korium, dan subkutis. Lapisan epidermis juga disebut lapisan tanduk, yang berfungsi sebagai pelindung pada hewan hidup. Korium merupakan tenunan kolagen kulit yang merupakan bahan utama dalam proses-proses penyamakan. Korium sebagian besar dibangun oleh serat kolagen yang merupakan benang-benang halus yang berkelok–kelok dalam berkas-berkas yang terbungkus lembaran anyaman atau tenunan retikular. Lapisan subkutis merupakan tenunan pengikat longgar yang menghubungkan korium dengan bagian-bagian lain dari tubuh. Hipodermis sebagian besar terdiri atas serat-serat kolagen dan elastin. Keterangan :1. Rambut, 2. Lubang rambut, 3. Kelenjar lemak, 4. Kantong rambut, 5. Kelenjar keringat, 6. Sel lemak, 7.Pembuluh darah, 8. Syaraf, 9. Serat Collagen, 10. Tenunan lemak, Gambar 2. Penampang kulit (Suardana et al., 2008). Komposisi kimia kulit terdiri dari dua golongan yaitu golongan protein dan golongan non protein. Protein berbentuk terdiri dari kolagen, elastin, dan keratin. Kolagen merupakan bagian terpenting dalam teknologi kulit, karena kolagen menjadi dasar susunan kulit samak dan dapat tahan terhadap enzim proteolitik. Protein tak berbentuk (globular protein) merupakan media bagi protein berbentuk, dapat larut dalam air dan mudah terdenaturasi karena pemanasan. Protein tak berbentuk terdiri dari albumin globulin. Golongan 4 non protein terdiri dari air, lipid, dan bahan mineral. Persentase kandungan kimia dalam kulit adalah air 65%, lemak 1,8%, bahan mineral 0,2% dan protein 33% (Judoamidjojo, 1974) Air di dalam kulit ada dua macam yaitu air yang terikat dengan protein (polar) dan air yang bebas (kapiler). Air yang terikat kira-kira 1/3 bagian, sedangkan air yang bebas 2/3 bagian. Bagian kulit secara makroskopis yang mengandung air paling banyak adalah bagian perut, sedangkan bagian yang paling sedikit adalah bagian krupon. Bagian kulit secara mikroskopis yang memiliki kandungan air paling banyak adalah korium. Lipid paling banyak terdapat pada bagian subkutis kulit. Hewan yang memiliki bulu tebal pada umumnya memiliki kandungan lemak yang lebih banyak. Bahan mineral dalam kulit terdiri dari K, Ca, Fe, P, dan umumnya sebagian garam klorida, sulfat, karbonat, dan fosfat ; sedikit SiO2, Zn, Ni, As, Fe, dan S (Purnomo, 1985). Gambaran yang lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Penampakan kulit samak secara vertikal (Dempsey, 1974) B. Penyamakan Kulit Penyamakan adalah proses merubah sifat kulit yang tidak stabil (kulit mentah) menjadi stabil terhadap perlakuan-perlakuan tertentu seperti aksi bakteri, zat kimia dan pelakuan fisik (Anonim, 1985). Menurut Judoamidjojo (1974), penyamakan adalah suatu rangkaian pengerjaan terhadap kulit mentah dengan zat penyamak, sehingga kulit yang semula labil terhadap pengaruh kimia dan biologis menjadi stabil pada tingkat tertentu. Tujuan pokok dari 5 penyamakan kulit adalah untuk mengahasilkan kulit samak yang sesuai dengan mutu kulit yang dikehendaki. Dengan kata lain, penyamakan adalah proses memodifikasi struktur kolagen, komponen utama kulit, dengan mereaksikannya dengan berbagai bahan kimia (tanin atau bahan penyamak) yang pada umumnya meningkatkan stabilitas hidrotermal kulit tersebut dan kulit tersebut menjadi tahan terhadap mikroorganisme (Suparno et al., 2005). Kulit samak yang telah digunakan orang untuk berbagai keperluan sejak ribuan tahun lalu, mempunyai sifat istimewa yang tidak dimiliki oleh bahan alami maupun bahan buatan manusia yang lain. Kulit samak dapat mengeras tetapi dapat pula sangat lembut dan lugas seperti tekstil. Kulit samak tidak hanya kuat, tahan lama serta lugas tetapi juga mempunyai struktur berpori yang unik sehingga dapat bernapas (Judoamidjojo, 1981). Penyamakan bertujuan untuk mengubah kulit mentah yang mudah rusak oleh aktivitas mikroorganisme, kimia atau fisis menjadi kulit tersamak yang lebih tahan terhadap pengaruh-pengaruh tersebut. Mekanisme penyamakan kulit pada prinsipnya adalah memasukkan bahan tertentu yang disebut bahan penyamak ke dalam anyaman atau jaringan serat kulit, sehingga terjadi ikatan kimia antara bahan penyamak dengan serat kulit (Purnomo, 1991). Penyamakan dapat dilakukan dengan banyak cara tergantung bahan yang digunakan. Secara praktis penyamakan dapat digolongkan menjadi 5 sebagai berikut: a. Penyamakan nabati, yaitu penyamakan dengan bahan penyamak yang berasal dari tumbuhan, contohnya kulit akasia, segawe, tengguli, mahoni, kayu quebracho (Anonim, 1996). b. Penyamakan mineral, yaitu penyamakan dengan bahan penyamak mineral, contohnya kromium, besi, cobalt dan zirconium (Judoamidjojo, 1974). c. Penyamakan aldehid, yaitu penyamakan dengan bahan penyamak aldehid, contohnya formaldehida, glutaraldehida dan oksazolidin (Suparno, 2009). d. Penyamakan minyak, yaitu penyamakan dengan bahan penyamak yang berasal dari minyak ikan hiu atau ikan lain (Anonim, 1996). 6 e. Penyamakan sintetis, yaitu penyamakan dengan bahan penyamak sintetis. Bahan penyamak sintetis terdiri dari dua bagian, yaitu bahan penyamak sintetis alifatis dan bahan penyamak sintetis aromatis (Judoamidjojo, 1974) Pemilihan metode penyamakan didasarkan pada sifat-sifat yang diperlukan dalam produk akhir kulit, biaya bahan-bahan kimia, pabrik atau peralatan yang tersedia, dan jenis bahan mentah (Sharpouse, 1995). C. Penyamakan Minyak Dasar penyamakan minyak modern adalah mengoksidasi minyak ikan yang sudah diaplikasikan pada kulit setelah penghilangan kapur (delimed pelt) dengan bantuan oksigen atmosfir pada kondisi terkendali. Bahan penyamak gliserida tak jenuh yang biasa digunakan adalah minyak cod dan minyak sardine. Asam-asam lemak tersebut memiliki sampai enam ikatan ganda dalam rantai alifatiknya yang memberikan produk reaksi dari oksidasi dan polimerisasi untuk memberikan efek penyamakan minyak pada kondisi penyamakan normal (Sharpouse, 1985). Penyamakan minyak, yaitu penyamakan dengan bahan penyamak yang berasal dari minyak ikan hiu atau ikan lain (Anonim, 1996). Penyamakan minyak adalah metode penyamakan kulit menggunakan minyak, biasanya minyak ikan, untuk menghasilkan kulit samak minyak (chamois leather). Kulit samak tersebut terkenal dengan sifatnya yang dapat menahan/menyerap air, yang berguna untuk pembersihan dan mengeringkan permukaan, misalnya jendela. Umumnya, penyamakan minyak dilakukan dengan oksidasi in situ minyak tidak jenuh, misalnya minyak hati cod. Penyamakan minyak merupakan salah salah satu contoh proses leathering, karena walaupun kulit samak minyak tahan serangan mikroorganisme, suhu pengerutan (shrinkage temperature/Ts)-nya tidak meningkat secara signifikan diatas suhu pengerutan kulit tersebut sebelum disamak. Proses tersebut melibatkan pengisian kulit basah dengan minyak tak jenuh, kemudian polimerisasi minyak in situ dengan oksidasi (Suparno, 2009). Metode tradisional pembuatan kulit chamois adalah mengimpregnasi kulit domba split basah dengan minyak ikan dalam fulling stocks dan 7 kemudian menggantungnya dalam stoves hangat untuk oksidasi minyak. Minyak yang teroksidasi tersebut memiliki kemampuan menyamak kulit. Kedua proses tersebut dapat diulang sampai kulit tersamak dengan memadai. Kelebihan minyak dari kulit dihilangkan dengan pengepresan hidrolik dilanjutkan dengan pencucian akhir dalam air alkalin hangat. Kulit tersebut kemudian digantung untuk pengeringan dan kemudian dilanjutkan ke finishing (Sharpouse, 1981; Dewhurst, 2004). Dalam finishing, kulit diwarnai dengan bahan pewarna (dye) untuk meningkatkan keindahannya atau untuk keperluan mode (fashion). Umumnya, warna diperoleh dengan cara menggunakan pewarna asam atau premetallised yang menghasilkan warnawarna cerah (Covington et al., 2005). Proses penyamakan dalam pembuatan kulit samoa memiliki dua tahapan. Tahapan pertama, kulit melalui proses penyamakan menggunakan aldehida. Beberapa aldehida memiliki reaktifitas terhadap serat kolagen dan mencegah pembusukan kulit hewan. Diantara aldehida, formaldehida (HCHO) telah diketahui sebagai bahan penyamak. Fiksasi formaldehida oleh protein pada serat-serat kolagen adalah diikuti dengan perubahan-perubahan dalam sifat-sifat fisik kulit, yakni peningkatan kestabilan termal dan resistansi terhadap penguraian oleh enzim triptik. Kestabilan hidrotermal serat kolagen yang disamak dengan formaldehida adalah meningkat dengan peningkatan konsentrasi dan suhu dalam penyamakan. Suhu pengerutan kulit samak formaldehida samapai 80oC. Penyamakan dengan formaldehida menghasilkan kulit samak putih dan hidrofilik (Suparno, 2009). Senyawa beraldehida bereaksi dengan grup amino bebas lysine: Collagen-NH2 + HCHO Æ Collagen-NH-CH2OH Grup N-hidroksimetil sangat reaktif dan reaksi crooslinking terjadi pada grup amino kedua: Collagen-NH-CH2OH + H2N-Collagen Æ Collagen-NH-CH2-NH-Collagen Glutaraldehida (OCH-(CH2)3-CHO) adalah dialdehida yang dapat digunakan sebagai bahan penyamak kulit yang dapat meng-croos-link protein juga. Karena penggunaan formaldehida dalam penyamakan kulit menurun (berbahaya), penggunaan glutaraldehida sebagai bahan pengganti meningkat. 8 Gambar 4 menunjukkan struktur dialdehida alifatik tersebut dalam larutan. Struktur tersebut merupakan sebuah struktur penghubung antara 2 molekul glutaraldehida yang bereaksi (Gambar 5). + H 2O OH O O OH HO HO - H2O OH O O O O O n OH Gambar 6. Polimerisasi Glutaraldehida (Covington, 2009) Collagen-NH 2 + O HO N O O Collagen Collagen-N O stable Scif f base O O n N OH HO Collagen N Collagen OH Gambar 7. Reaksi Antara Protein dan Glutaraldehida (Covington, 2009) Glutaraldehida dapat memberikan softening effect pada kulit samak. Kulit samak yang dihasilkan dengan penyamak aldehida digunakan dalam pembuatan sarung tangan, pelapis (lining), insoles, sepatu dan kulit samoa (chamois leather) (Krishnan et al., 2005). Seperti formaldehida, kulit yang disamak dengan glutaraldehida memiliki sifat tahan cuci dan hidrofilik. Suhu pengerutannyapun mirip. Namun, warnanya berbeda, glutaraldehida menghasilkan warna kuning. Turunan glutaraldehida telah ditawarkan ke industri, yakni Relugan GTW, turunan tambahan bisulfit. Bahan tersebut menghasilkan kulit samak lebih pucat, tetapi tetap menghasilkan warna kuning. Produk lainnya adalah Relugan GT 50, yang merupakan larutan 50% 9 dari glutaraldehida yang digunakan sebagai pretanning, selftanning, dan retanning agents untuk seluruh jenis kulit samak. Produk tersebut diproduksi BASF (Suparno, 2009). Tahapan kedua, setelah disamak dengan aldehida kemudian kulit melalui proses penyamakan minyak. Proses penyamakan menggunakan aldehida menghasilkan kulit yang tegar dan kaku, agar menjadi lemas dan lentur maka kulit tersebut harus melalui proses penyamakan menggunakan minyak. Proses ini dilakukan dengan mengabsorbsi minyak ke dalam jaringan kulit. Selain itu, proses tersebut menyebabkan kulit memiliki daya serap air yang tinggi (Bayle, 1975). Hal ini disebabkan karena minyak yang telah terabsorsi membuat rongga antara serat-serat yang rapat oleh penyamakan aldehida. Rongga-rongga tersebut menciptakan retensi air yakni efek menjaga struktur serat berjauhan sehingga dapat menahan air berlebih (Covington, 2009). Reaksi dalam proses penyamakan minyak adalah belum jelas. Bahan aktifnya adalah minyak tak jenuh, yang dapat dimodelkan dengan asam linoleat. CH3(CH2)4CH=CHCH2CH=CH(CH2)7CO2OH, yang diketahui dapat berpolimerisasi. Sharpouse (1985) menyimpulkan penyamakan minyak sebagai fiksasi produk-produk oto-oksidasi resin atau minyak terhadap serat protein dalam bentuk seperti pembungkus. Hal ini mungkin dalam bentuk polimer dan tahan terhadap air pencuci basa dan pelarut-pelarut umum. Hal tersebut yang membedakan antara penyamakan aldehida dan penyamak samoa “full oil” (Suparno, 2009). Hasil dari penyamakan tersebut sebagai sebuah matrik polimer dalam matrik kolagen. Tidak ada kepastian reaksi antara polimer tersebut dan kolagen, tidak seperti hasil dari penyamakan aldehida. Dengan demikian, sistem tersebut dapat digambarkan sebagai suatu matriks dari ikatan-ikatan hidrokarbon terpolimerisasi, menahan struktur serat kolagen terpisah/berjauhan, sebagai sebuah bentuk lubrikasi ekstrim untuk mencegah struktur serat tersebut bersatu dan lengket. Model tersebut memberikan sebuah rasional untuk menerangkan tiga ciri-ciri penting kulit samak minyak (Covington, 2009) : 10 1. Stabilitas hidrotermal. Suhu pengerutan kulit samak minyak adalah sedikit berubah daripada bahan awalnya. Dengan demikian, pandangan konvensinal mengenai penyamakan tidak berlaku. Pada penyamakan minyak, sedikit interaksi antara bahan penyamak dan serat kolagen. Ini merupakan salah satu contoh bahan penyamak yang memiliki afinitas lebih besar untuk dirinya sendiri daripada substratnya. 2. Retensi air. Efek menjaga struktur serat berjauhan berarti kolagen dapat dihidrasi dan menahan air berlebih dalam matrik minyak polimerisasi hidrofobik. 3. Efek Ewald. Kulit samak minyak adalah salah satu dari sedikit kasus yang kulit samak menunjukkan suatu reversibilitas pengerutan hidrotermal. Jika kulit tersebut segera dimasukkan ke dalam air dingin, kulit tersebut kembali mendapatkan sekitar 90% dari luas awalnya. D. Kulit Samak Minyak (chamois leather) Kulit chamois merupakan artikel kulit yang populer dalam perdagangan (Sharpouse, 1995). Permintaan akan kulit chamois di pasaran global terus meningkat (Krishnan et al., 2005). Kulit jenis tersebut biasanya dihasilkan baik dari kulit kambing atau domba setelah penghilangan kapur (delimed pelt) dan lapisan grain. Kulit samoa memiliki sifat-sifat yang istimewa, yakni memiliki berat jenis yang sangat rendah, absorpsi air yang tinggi, kelembutan, dan kenyamanan (Wachsmann, 1999). Penggunaan utama kulit samak minyak adalah sebagai alat pencuci, yang memiliki kelebihan diantaranya adalah kapasitas mengabsorpsi air yang tinggi, pengeluaran air dengan mudah, dan sebagian besar kotoran mudah dicuci dari kulit tersebut. Penggunaan lainnya adalah untuk pembuatan sarung tangan, untuk penyaringan air dari minyak bumi, dan orthopaedic leather (Sharpouse, 1995; John, 1996). Persyaratan-persyaratan penting kulit samoa yang diperlukan, misalnya persyaratan kulit samoa menurut SNI disajikan dalam Tabel 1, persyaratan untuk pembuatan sarung tangan disajikan dalam Tabel 2, dan persyaratan untuk orthopaedic leather disajikan pada Tabel 3. 11 Tabel 1. Persyaratan mutu kulit chamois menurut SNI 06-1752-1990 Parameter Persyaratan Satuan Keterangan Minimal Maksimal Sifat Kimia: Kadar minyak (%) - - 10 - Kadar Abu (%) - - 5 - pH - - 8 sesudah disarikan minyaknya Parameter Persyaratan Satuan Keterangan Minimal Maksimal Sifat Fisis: Tebal mm 0,3 1,2 - Kekuatan tarik N/mm2 7,5 - - Kemuluran (%) - 50 - - Kekuatan jahit N/mm2 40 - - Kekuatan sobek N/mm 15 - - Penyerapan air (%) - 2 jam - 100 - - - 24 jam - 200 - - Organoleptis: Keadaan kulit - halus Warna - kuning muda/ seperti beledu mendekati putih Sumber: Badan Standardisasi Nasional (1990) Tabel 2. Persyaratan mutu kulit chamois untuk kulit sarung tangan Parameter Persyaratan Kadar abu Maksimal 6,0 % Bahan-bahan lemak Maksimal 10 % Kekuatan tarik Minimal 10 N/cm2 Ektensi pada 2 N/cm Minimal 30 Elongation at break Minimal 50 % 12 Kemampuan cuci Maksimum suhu pencucian 30 ± 2 oC Nilai pH Aqueous extract (1:20), ≤ 8,5 Sumber: John (1996) Tabel 3. Persyaratan mutu kulit chamois untuk orthopaedic leather Parameter Persyaratan Bahan-bahan lemak Maksimal 20 % Kadar abu total Maksimal 6 % Nilai pH (ekstrak) 4,0-8,0 Kekuatan tarik Minimal 1000 N/cm2 Elongation at break Minimal 50 % Absorpsi air - setelah 2 menit Minimal 150 % - setelah 1 jam Minimal 175 % Tidak Bahan-bahan berbahaya mengandung bahan-bahan berbahaya Sumber: John (1996) E. Minyak Biji Karet Biji karet terdiri atas 45 – 50% kulit biji yang keras berwarna coklat dan 50 – 55% daging biji yang berwarna putih (Nadarajah,1969 dalam Silam,1998). Biji karet segar terdiri atas 34,1% kulit, 41,2 % isi dan 24,4 % air, sedangkan biji karet yang telah dijemur dua hari terdiri atas 41,6% kulit, 8% kadar air, 15,3% minyak dan 35,1 % bahan kering (Nadarajapillat dan Wijewantha, 1967). Tabel 4. Komposisi kimia daging biji karet Komponen Persentase a) Persentase b) Kadar air 14,5 7,6 Protein kasar 22,5 21,7 Serat kasar 3,8 2,8 Lemak kasar 49,5 39,0 Kadar abu 3,5 3,1 Sumber : a) Bahasuan (1984) di dalam Aritonang (1986) b) Stosic dan Kaykay (1981) di dalam Aritonang (1986) 13 Kandungan minyak dalam daging biji karet atau inti biji karet 45 – 50 persen dengan komposisi 17 – 22 persen asam lemak jenuh yang terdiri atas asam palmitat, stearat, arakhidat, serta asam lemak tidak jenuh sebesar 77 – 82 persen yang terdiri atas asam oleat, linoleat, dan linoleat (Hardjosuwito dan Hoesnan, 1976). Minyak biji karet merupakan salah satu jenis minyak mengering (drying oil), yakni minyak yang mempunyai sifat dapat mengering jika terkena oksidasi dan akan berubah menjadi lapisan tebal, bersifat kental dan membentuk sejenis selaput jika dibiarkan di udara terbuka (Ketaren, 1986). F. Natrium Perkarbonat Nama "natrium perkarbonat" tidak mencerminkan struktur agen oksidasi, yang pada kenyataannya merupakan karbonat perhidrat: 2Na2CO3•3H2O2. Walaupun natrium perkarbonat sangat stabil disimpan jika kering, bahan padat tersebut mempunyai sedikit tekanan uap hidrogen peroksida untuk bertukar dengan air atau bereaksi dengan hebat untuk mengoksidasi substrat, bahkan dalam keadaan padat. Natrium perkarbonat merupakan bahan yang mempunyai sumber hidrogen peroksida berkonsentrasi tinggi pada sistem non-berair, bahkan jika bahan tersebut tidak sepenuhnya larut. Penambahan sejumlah kecil air atau sonication dapat meningkatkan laju oksidasi. Sebagai contoh, natrium perkarbonat memungkinkan persiapan yang nyaman peroxyacids dari asam klorida, dan bahkan dari asam sendiri. (Anonim, 2009). Natrium perkarbonat adalah bahan dapat larut dalam air berbentuk kristal putih yang mengandung bahan kimia sodium karbonat dan hidrogen peroksida. Bahan ini merupakan oksidasi agen. Meskipun begitu, ini merupakan karbonat perhidrat yang terurai dalam air melepaskan H2O2 dan abu soda (natrium karbonat): 2Na2CO3·3H2O2 → 2 Na2CO3 + 3 H2O2 Natrium perkarbonat merupakan bahan serbuk yang aktif dalam berbagai hal eco-friendly bleach (Anonim, 2009). 14