ii. tinjauan pustaka

advertisement
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kulit
Kulit adalah bagian terluar dari struktur manusia, hewan atau tumbuhan.
Pada hewan atau manusia kulit adalah lapisan luar tubuh yang merupakan
suatu kerangka luar, tempat bulu tumbuh. Kulit berfungsi melindungi badan
atau tubuh dari pengaruh-pengaruh luar, misalnya panas, pengaruh yang
bersifat mekanis, kimiawi, serta merupakan alat penghantar suhu (Suardana et
al., 2008)
Menurut Judoamidjojo (1974), struktur kulit hewan dapat dibedakan
secara makroskopis dan mikroskopis (histology). Secara makroskopis, kulit
hewan dibagi atas beberapa daerah yaitu daerah krupon (croupon), kepala dan
leher, serta daerah kaki, ekor dan perut. Secara mikroskopis, kulit hewan
terdiri dari tiga lapisan, yaitu lapisan epidermis, korium, dan subkutis.
Keterangan : A,B Bagian kepala dan leher ; C,D
Krupon ; EF Ekor, perut, dan kaki
Gambar 1. Struktur kulit secara makroskopis (Suardana et al., 2008)
Pembagian kulit secara makroskopis adalah pembagian yang mengacu
kepada bagian-bagian kulit yang pada umumnya disamak dan menunjukkan
kualitas kulit. Daerah krupon adalah bagian terpenting dari kulit hewan
karena bagian ini meliputi 55% dari seluruh kulit. Pada bagian ini, terdapat
jaringan yang rapat dan kuat. Daerah kepala dan leher meliputi sekitar 23%
dari seluruh kulit. Ketebalan kulit pada daerah kepala dan leher relatif lebih
tebal dari daerah lainnya, tetapi mempunyai jaringan yang lebih longgar dari
3
daerah krupon. Daerah kaki, perut dan ekor, meliputi 22% dari seluruh kulit.
Pada daerah perut, ketebalan kulit relatif tipis dan jaringannya longgar,
sedangkan daerah kaki kulit lebih tebal dan jaringan lebih padat
(Judoamidjojo, 1974).
Kulit hewan secara mikroskoskopis (histologis) dibagi berdasarkan
struktur lapisan yang menyusun kulit. Kulit memiliki tiga lapisan utama yaitu
lapisan epidermis, korium, dan subkutis. Lapisan epidermis juga disebut
lapisan tanduk, yang berfungsi sebagai pelindung pada hewan hidup. Korium
merupakan tenunan kolagen kulit yang merupakan bahan utama dalam
proses-proses penyamakan. Korium sebagian besar dibangun oleh serat
kolagen yang merupakan benang-benang halus yang berkelok–kelok dalam
berkas-berkas yang terbungkus lembaran anyaman atau tenunan retikular.
Lapisan subkutis merupakan tenunan pengikat longgar yang menghubungkan
korium dengan bagian-bagian lain dari tubuh. Hipodermis sebagian besar
terdiri atas serat-serat kolagen dan elastin.
Keterangan :1. Rambut, 2. Lubang rambut, 3. Kelenjar lemak, 4. Kantong rambut, 5.
Kelenjar keringat, 6. Sel lemak, 7.Pembuluh darah, 8. Syaraf, 9. Serat Collagen, 10.
Tenunan lemak,
Gambar 2. Penampang kulit (Suardana et al., 2008).
Komposisi kimia kulit terdiri dari dua golongan yaitu golongan protein
dan golongan non protein. Protein berbentuk terdiri dari kolagen, elastin, dan
keratin. Kolagen merupakan bagian terpenting dalam teknologi kulit, karena
kolagen menjadi dasar susunan kulit samak dan dapat tahan terhadap enzim
proteolitik. Protein tak berbentuk (globular protein) merupakan media bagi
protein berbentuk, dapat larut dalam air dan mudah terdenaturasi karena
pemanasan. Protein tak berbentuk terdiri dari albumin globulin. Golongan
4
non protein terdiri dari air, lipid, dan bahan mineral. Persentase kandungan
kimia dalam kulit adalah air 65%, lemak 1,8%, bahan mineral 0,2% dan
protein 33% (Judoamidjojo, 1974)
Air di dalam kulit ada dua macam yaitu air yang terikat dengan protein
(polar) dan air yang bebas (kapiler). Air yang terikat kira-kira 1/3 bagian,
sedangkan air yang bebas 2/3 bagian. Bagian kulit secara makroskopis yang
mengandung air paling banyak adalah bagian perut, sedangkan bagian yang
paling sedikit adalah bagian krupon. Bagian kulit secara mikroskopis yang
memiliki kandungan air paling banyak adalah korium. Lipid paling banyak
terdapat pada bagian subkutis kulit. Hewan yang memiliki bulu tebal pada
umumnya memiliki kandungan lemak yang lebih banyak. Bahan mineral
dalam kulit terdiri dari K, Ca, Fe, P, dan umumnya sebagian garam klorida,
sulfat, karbonat, dan fosfat ; sedikit SiO2, Zn, Ni, As, Fe, dan S (Purnomo,
1985). Gambaran yang lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Penampakan kulit samak secara vertikal (Dempsey, 1974)
B. Penyamakan Kulit
Penyamakan adalah proses merubah sifat kulit yang tidak stabil (kulit
mentah) menjadi stabil terhadap perlakuan-perlakuan tertentu seperti aksi
bakteri, zat kimia dan pelakuan fisik (Anonim, 1985). Menurut Judoamidjojo
(1974), penyamakan adalah suatu rangkaian pengerjaan terhadap kulit mentah
dengan zat penyamak, sehingga kulit yang semula labil terhadap pengaruh
kimia dan biologis menjadi stabil pada tingkat tertentu. Tujuan pokok dari
5
penyamakan kulit adalah untuk mengahasilkan kulit samak yang sesuai
dengan mutu kulit yang dikehendaki.
Dengan kata lain, penyamakan adalah proses memodifikasi struktur kolagen,
komponen utama kulit, dengan mereaksikannya dengan berbagai bahan kimia (tanin
atau bahan penyamak) yang pada umumnya meningkatkan stabilitas hidrotermal
kulit tersebut dan kulit tersebut menjadi tahan terhadap mikroorganisme (Suparno et
al., 2005).
Kulit samak yang telah digunakan orang untuk berbagai keperluan sejak
ribuan tahun lalu, mempunyai sifat istimewa yang tidak dimiliki oleh bahan alami
maupun bahan buatan manusia yang lain. Kulit samak dapat mengeras tetapi dapat
pula sangat lembut dan lugas seperti tekstil. Kulit samak tidak hanya kuat, tahan
lama serta lugas tetapi juga mempunyai struktur berpori yang unik sehingga dapat
bernapas (Judoamidjojo, 1981).
Penyamakan bertujuan untuk mengubah kulit mentah yang mudah rusak
oleh aktivitas mikroorganisme, kimia atau fisis menjadi kulit tersamak yang
lebih tahan terhadap pengaruh-pengaruh tersebut. Mekanisme penyamakan
kulit pada prinsipnya adalah memasukkan bahan tertentu yang disebut bahan
penyamak ke dalam anyaman atau jaringan serat kulit, sehingga terjadi ikatan
kimia antara bahan penyamak dengan serat kulit (Purnomo, 1991).
Penyamakan dapat dilakukan dengan banyak cara tergantung bahan
yang digunakan. Secara praktis penyamakan dapat digolongkan menjadi 5
sebagai berikut:
a. Penyamakan nabati, yaitu penyamakan dengan bahan penyamak yang
berasal dari tumbuhan, contohnya kulit akasia, segawe, tengguli, mahoni,
kayu quebracho (Anonim, 1996).
b. Penyamakan mineral, yaitu penyamakan dengan bahan penyamak
mineral, contohnya kromium, besi, cobalt dan zirconium (Judoamidjojo,
1974).
c. Penyamakan aldehid, yaitu penyamakan dengan bahan penyamak aldehid,
contohnya formaldehida, glutaraldehida dan oksazolidin (Suparno, 2009).
d. Penyamakan minyak, yaitu penyamakan dengan bahan penyamak yang
berasal dari minyak ikan hiu atau ikan lain (Anonim, 1996).
6
e. Penyamakan sintetis, yaitu penyamakan dengan bahan penyamak sintetis.
Bahan penyamak sintetis terdiri dari dua bagian, yaitu bahan penyamak
sintetis alifatis dan bahan penyamak sintetis aromatis (Judoamidjojo,
1974)
Pemilihan metode penyamakan didasarkan pada sifat-sifat yang
diperlukan dalam produk akhir kulit, biaya bahan-bahan kimia, pabrik atau
peralatan yang tersedia, dan jenis bahan mentah (Sharpouse, 1995).
C. Penyamakan Minyak
Dasar penyamakan minyak modern adalah mengoksidasi minyak ikan
yang sudah diaplikasikan pada kulit setelah penghilangan kapur (delimed
pelt) dengan bantuan oksigen atmosfir pada kondisi terkendali. Bahan
penyamak gliserida tak jenuh yang biasa digunakan adalah minyak cod dan
minyak sardine. Asam-asam lemak tersebut memiliki sampai enam ikatan
ganda dalam rantai alifatiknya yang memberikan produk reaksi dari oksidasi
dan polimerisasi untuk memberikan efek penyamakan minyak pada kondisi
penyamakan normal (Sharpouse, 1985).
Penyamakan minyak, yaitu penyamakan dengan bahan penyamak yang
berasal dari minyak ikan hiu atau ikan lain (Anonim, 1996). Penyamakan
minyak adalah metode penyamakan kulit menggunakan minyak, biasanya
minyak ikan, untuk menghasilkan kulit samak minyak (chamois leather).
Kulit samak tersebut terkenal dengan sifatnya yang dapat menahan/menyerap
air, yang berguna untuk pembersihan dan mengeringkan permukaan,
misalnya jendela. Umumnya, penyamakan minyak dilakukan dengan oksidasi
in situ minyak tidak jenuh, misalnya minyak hati cod. Penyamakan minyak
merupakan salah salah satu contoh proses leathering, karena walaupun kulit
samak minyak tahan serangan mikroorganisme, suhu pengerutan (shrinkage
temperature/Ts)-nya
tidak
meningkat
secara
signifikan
diatas
suhu
pengerutan kulit tersebut sebelum disamak. Proses tersebut melibatkan
pengisian kulit basah dengan minyak tak jenuh, kemudian polimerisasi
minyak in situ dengan oksidasi (Suparno, 2009).
Metode tradisional pembuatan kulit chamois adalah mengimpregnasi
kulit domba split basah dengan minyak ikan dalam fulling stocks dan
7
kemudian menggantungnya dalam stoves hangat untuk oksidasi minyak.
Minyak yang teroksidasi tersebut memiliki kemampuan menyamak kulit.
Kedua proses tersebut dapat diulang sampai kulit tersamak dengan memadai.
Kelebihan minyak dari kulit dihilangkan dengan pengepresan hidrolik
dilanjutkan dengan pencucian akhir dalam air alkalin hangat. Kulit tersebut
kemudian digantung untuk pengeringan dan kemudian dilanjutkan ke
finishing (Sharpouse, 1981; Dewhurst, 2004). Dalam finishing, kulit diwarnai
dengan bahan pewarna (dye) untuk meningkatkan keindahannya atau untuk
keperluan mode (fashion).
Umumnya, warna diperoleh dengan cara
menggunakan pewarna asam atau premetallised yang menghasilkan warnawarna cerah (Covington et al., 2005).
Proses penyamakan dalam pembuatan kulit samoa memiliki dua
tahapan. Tahapan pertama, kulit melalui proses penyamakan menggunakan
aldehida. Beberapa aldehida memiliki reaktifitas terhadap serat kolagen dan
mencegah pembusukan kulit hewan. Diantara aldehida, formaldehida
(HCHO) telah diketahui sebagai bahan penyamak. Fiksasi formaldehida oleh
protein pada serat-serat kolagen adalah diikuti dengan perubahan-perubahan
dalam sifat-sifat fisik kulit, yakni peningkatan kestabilan termal dan resistansi
terhadap penguraian oleh enzim triptik. Kestabilan hidrotermal serat kolagen
yang disamak dengan formaldehida adalah meningkat dengan peningkatan
konsentrasi dan suhu dalam penyamakan. Suhu pengerutan kulit samak
formaldehida samapai 80oC. Penyamakan dengan formaldehida menghasilkan
kulit samak putih dan hidrofilik (Suparno, 2009).
Senyawa beraldehida bereaksi dengan grup amino bebas lysine:
Collagen-NH2 + HCHO Æ Collagen-NH-CH2OH
Grup N-hidroksimetil sangat reaktif dan reaksi crooslinking terjadi pada
grup amino kedua:
Collagen-NH-CH2OH + H2N-Collagen Æ Collagen-NH-CH2-NH-Collagen
Glutaraldehida (OCH-(CH2)3-CHO) adalah dialdehida yang dapat
digunakan sebagai bahan penyamak kulit yang dapat meng-croos-link protein
juga. Karena penggunaan formaldehida dalam penyamakan kulit menurun
(berbahaya), penggunaan glutaraldehida sebagai bahan pengganti meningkat.
8
Gambar 4 menunjukkan struktur dialdehida alifatik tersebut dalam larutan.
Struktur tersebut merupakan sebuah struktur penghubung antara 2 molekul
glutaraldehida yang bereaksi (Gambar 5).
+ H 2O
OH
O
O
OH
HO HO
- H2O
OH
O
O
O
O
O
n
OH
Gambar 6. Polimerisasi Glutaraldehida (Covington, 2009)
Collagen-NH 2 +
O
HO
N
O
O
Collagen
Collagen-N
O
stable Scif f base
O
O
n
N
OH
HO
Collagen
N
Collagen
OH
Gambar 7. Reaksi Antara Protein dan Glutaraldehida (Covington, 2009)
Glutaraldehida dapat memberikan softening effect pada kulit samak.
Kulit samak yang dihasilkan dengan penyamak aldehida digunakan dalam
pembuatan sarung tangan, pelapis (lining), insoles, sepatu dan kulit samoa
(chamois leather) (Krishnan et al., 2005). Seperti formaldehida, kulit yang
disamak dengan glutaraldehida memiliki sifat tahan cuci dan hidrofilik. Suhu
pengerutannyapun
mirip.
Namun,
warnanya
berbeda,
glutaraldehida
menghasilkan warna kuning. Turunan glutaraldehida telah ditawarkan ke
industri, yakni Relugan GTW, turunan tambahan bisulfit. Bahan tersebut
menghasilkan kulit samak lebih pucat, tetapi tetap menghasilkan warna
kuning. Produk lainnya adalah Relugan GT 50, yang merupakan larutan 50%
9
dari glutaraldehida yang digunakan sebagai pretanning, selftanning, dan
retanning agents untuk seluruh jenis kulit samak. Produk tersebut diproduksi
BASF (Suparno, 2009).
Tahapan kedua,
setelah disamak dengan aldehida kemudian kulit
melalui proses penyamakan minyak. Proses penyamakan menggunakan
aldehida menghasilkan kulit yang tegar dan kaku, agar menjadi lemas dan
lentur maka kulit tersebut harus melalui proses penyamakan menggunakan
minyak.
Proses ini dilakukan dengan mengabsorbsi minyak ke dalam
jaringan kulit. Selain itu, proses tersebut menyebabkan kulit memiliki daya
serap air yang tinggi (Bayle, 1975). Hal ini disebabkan karena minyak yang
telah terabsorsi membuat rongga antara serat-serat yang rapat oleh
penyamakan aldehida. Rongga-rongga tersebut menciptakan retensi air yakni
efek menjaga struktur serat berjauhan sehingga dapat menahan air berlebih
(Covington, 2009).
Reaksi dalam proses penyamakan minyak adalah belum jelas. Bahan
aktifnya adalah minyak tak jenuh, yang dapat dimodelkan dengan asam
linoleat. CH3(CH2)4CH=CHCH2CH=CH(CH2)7CO2OH, yang diketahui dapat
berpolimerisasi. Sharpouse (1985) menyimpulkan penyamakan minyak
sebagai fiksasi produk-produk oto-oksidasi resin atau minyak terhadap serat
protein dalam bentuk seperti pembungkus. Hal ini mungkin dalam bentuk
polimer dan tahan terhadap air pencuci basa dan pelarut-pelarut umum. Hal
tersebut yang membedakan antara penyamakan aldehida dan penyamak
samoa “full oil” (Suparno, 2009).
Hasil dari penyamakan tersebut sebagai sebuah matrik polimer dalam
matrik kolagen. Tidak ada kepastian reaksi antara polimer tersebut dan
kolagen, tidak seperti hasil dari penyamakan aldehida. Dengan demikian,
sistem tersebut dapat digambarkan sebagai suatu matriks dari ikatan-ikatan
hidrokarbon
terpolimerisasi,
menahan
struktur
serat
kolagen
terpisah/berjauhan, sebagai sebuah bentuk lubrikasi ekstrim untuk mencegah
struktur serat tersebut bersatu dan lengket. Model tersebut memberikan
sebuah rasional untuk menerangkan tiga ciri-ciri penting kulit samak minyak
(Covington, 2009) :
10
1. Stabilitas hidrotermal. Suhu pengerutan kulit samak minyak adalah
sedikit berubah daripada bahan awalnya. Dengan demikian, pandangan
konvensinal mengenai penyamakan tidak berlaku. Pada penyamakan
minyak, sedikit interaksi antara bahan penyamak dan serat kolagen. Ini
merupakan salah satu contoh bahan penyamak yang memiliki afinitas
lebih besar untuk dirinya sendiri daripada substratnya.
2. Retensi air. Efek menjaga struktur serat berjauhan berarti kolagen dapat
dihidrasi dan menahan air berlebih dalam matrik minyak polimerisasi
hidrofobik.
3. Efek Ewald. Kulit samak minyak adalah salah satu dari sedikit kasus
yang kulit samak menunjukkan suatu reversibilitas pengerutan
hidrotermal. Jika kulit tersebut segera dimasukkan ke dalam air dingin,
kulit tersebut kembali mendapatkan sekitar 90% dari luas awalnya.
D. Kulit Samak Minyak (chamois leather)
Kulit chamois merupakan artikel kulit yang populer dalam perdagangan
(Sharpouse, 1995). Permintaan akan kulit chamois di pasaran global terus
meningkat (Krishnan et al., 2005). Kulit jenis tersebut biasanya dihasilkan
baik dari kulit kambing atau domba setelah penghilangan kapur (delimed pelt)
dan lapisan grain.
Kulit samoa memiliki sifat-sifat yang istimewa, yakni memiliki berat
jenis yang sangat rendah, absorpsi air yang tinggi, kelembutan, dan
kenyamanan (Wachsmann, 1999). Penggunaan utama kulit samak minyak
adalah sebagai alat pencuci, yang memiliki kelebihan diantaranya adalah
kapasitas mengabsorpsi air yang tinggi, pengeluaran air dengan mudah, dan
sebagian besar kotoran mudah dicuci dari kulit tersebut. Penggunaan lainnya
adalah untuk pembuatan sarung tangan, untuk penyaringan air dari minyak
bumi, dan orthopaedic leather (Sharpouse, 1995; John, 1996).
Persyaratan-persyaratan penting kulit samoa yang diperlukan, misalnya
persyaratan kulit samoa menurut SNI disajikan dalam Tabel 1, persyaratan
untuk pembuatan sarung tangan disajikan dalam Tabel 2, dan persyaratan
untuk orthopaedic leather disajikan pada Tabel 3.
11
Tabel 1. Persyaratan mutu kulit chamois menurut SNI 06-1752-1990
Parameter
Persyaratan
Satuan
Keterangan
Minimal Maksimal
Sifat Kimia:
ƒ
Kadar minyak (%)
-
-
10
-
ƒ
Kadar Abu (%)
-
-
5
-
ƒ
pH
-
-
8
sesudah disarikan
minyaknya
Parameter
Persyaratan
Satuan
Keterangan
Minimal Maksimal
Sifat Fisis:
ƒ
Tebal
mm
0,3
1,2
-
ƒ
Kekuatan tarik
N/mm2
7,5
-
-
ƒ
Kemuluran (%)
-
50
-
-
ƒ
Kekuatan jahit
N/mm2
40
-
-
ƒ
Kekuatan sobek
N/mm
15
-
-
ƒ
Penyerapan air (%)
- 2 jam
-
100
-
-
- 24 jam
-
200
-
-
Organoleptis:
ƒ
Keadaan kulit
-
halus
ƒ
Warna
-
kuning
muda/ seperti beledu
mendekati putih
Sumber: Badan Standardisasi Nasional (1990)
Tabel 2. Persyaratan mutu kulit chamois untuk kulit sarung tangan
Parameter
Persyaratan
Kadar abu
Maksimal 6,0 %
Bahan-bahan lemak
Maksimal 10 %
Kekuatan tarik
Minimal 10 N/cm2
Ektensi pada 2 N/cm
Minimal 30
Elongation at break
Minimal 50 %
12
Kemampuan cuci
Maksimum suhu pencucian 30 ± 2 oC
Nilai pH
Aqueous extract (1:20), ≤ 8,5
Sumber: John (1996)
Tabel 3. Persyaratan mutu kulit chamois untuk orthopaedic leather
Parameter
Persyaratan
Bahan-bahan lemak
Maksimal 20 %
Kadar abu total
Maksimal 6 %
Nilai pH (ekstrak)
4,0-8,0
Kekuatan tarik
Minimal 1000 N/cm2
Elongation at break
Minimal 50 %
Absorpsi air
- setelah 2 menit
Minimal 150 %
- setelah 1 jam
Minimal 175 %
Tidak
Bahan-bahan berbahaya
mengandung
bahan-bahan
berbahaya
Sumber: John (1996)
E. Minyak Biji Karet
Biji karet terdiri atas 45 – 50% kulit biji yang keras berwarna coklat dan
50 – 55% daging biji yang berwarna putih (Nadarajah,1969 dalam
Silam,1998). Biji karet segar terdiri atas 34,1% kulit, 41,2 % isi dan 24,4 %
air, sedangkan biji karet yang telah dijemur dua hari terdiri atas 41,6% kulit,
8% kadar air, 15,3% minyak dan 35,1 % bahan kering (Nadarajapillat dan
Wijewantha, 1967).
Tabel 4. Komposisi kimia daging biji karet
Komponen
Persentase a)
Persentase b)
Kadar air
14,5
7,6
Protein kasar
22,5
21,7
Serat kasar
3,8
2,8
Lemak kasar
49,5
39,0
Kadar abu
3,5
3,1
Sumber : a) Bahasuan (1984) di dalam Aritonang (1986)
b) Stosic dan Kaykay (1981) di dalam Aritonang (1986)
13
Kandungan minyak dalam daging biji karet atau inti biji karet 45 – 50
persen dengan komposisi 17 – 22 persen asam lemak jenuh yang terdiri atas
asam palmitat, stearat, arakhidat, serta asam lemak tidak jenuh sebesar 77 –
82 persen yang terdiri atas asam oleat, linoleat, dan linoleat (Hardjosuwito
dan Hoesnan, 1976). Minyak biji karet merupakan salah satu jenis minyak
mengering (drying oil), yakni minyak yang mempunyai sifat dapat mengering
jika terkena oksidasi dan akan berubah menjadi lapisan tebal, bersifat kental
dan membentuk sejenis selaput jika dibiarkan di udara terbuka (Ketaren,
1986).
F. Natrium Perkarbonat
Nama "natrium perkarbonat" tidak mencerminkan struktur agen
oksidasi,
yang
pada
kenyataannya
merupakan
karbonat
perhidrat:
2Na2CO3•3H2O2. Walaupun natrium perkarbonat sangat stabil disimpan jika
kering, bahan padat tersebut mempunyai sedikit tekanan uap hidrogen
peroksida untuk bertukar dengan air atau bereaksi dengan hebat untuk
mengoksidasi substrat, bahkan dalam keadaan padat.
Natrium perkarbonat merupakan bahan yang mempunyai sumber
hidrogen peroksida berkonsentrasi tinggi pada sistem non-berair, bahkan jika
bahan tersebut tidak sepenuhnya larut. Penambahan sejumlah kecil air atau
sonication dapat meningkatkan laju oksidasi. Sebagai contoh, natrium
perkarbonat memungkinkan persiapan yang nyaman peroxyacids dari asam
klorida, dan bahkan dari asam sendiri. (Anonim, 2009).
Natrium perkarbonat adalah bahan dapat larut dalam air berbentuk
kristal putih yang mengandung bahan kimia sodium karbonat dan hidrogen
peroksida. Bahan ini merupakan oksidasi agen. Meskipun begitu, ini
merupakan karbonat perhidrat yang terurai dalam air melepaskan H2O2 dan
abu soda (natrium karbonat):
2Na2CO3·3H2O2 → 2 Na2CO3 + 3 H2O2
Natrium perkarbonat merupakan bahan serbuk yang aktif dalam berbagai hal
eco-friendly bleach (Anonim, 2009).
14
Download