BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pediatri Pediatri berasal dari bahasa Yunani yaitu pedos yang berarti anak dan iatrica yang berarti pengobatan anak. Beberapa penyakit memerlukan penanganan khusus untuk pasien pediatrik. Anak adalah masa kanak-kanak menggambarkan suatu periode pertumbuhan dan perkembangan yang cepat. Penggunaan obat pada anak-anak tidaklah sama dengan orang dewasa, sehingga hanya terdapat sejumlah kecil obat yang telah diberi ijin untuk digunakan pada anak-anak, yang memiliki bentuk sediaan yang sesuai (Prest, 2003). Masa bayi dan anak merupakan periode pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat. Penggunaan obat untuk anak merupakan hal khusus yang terkait dengan perbedaan laju perkembangan organ, sistem enzim yang bertanggung jawab terhadap metabolisme dan ekskresi obat (Prest, 2003). Agar dapat menentukan dosis obat disarankan beberapa penggolongan untuk membagi masa anak-anak. The British Pediatric (BPA) mengusulkan rentang waktu berikut yang disarankan pada saat terjadinya perubahan-perubahan biologis (Prest, 2003). Neonatus : awal kelahiran sampai usia 1 bulan Bayi :1 bulan sampai 2 tahun Anak :2 tahun sampai 12 tahun Remaja :12 tahun sampai 18 tahun 6 Perubahan biologis yang diwakili oleh tiap rentang waktu tersebut adalah : Neonatus : terjadi perubahan klimakterik Bayi : awal pertumbuhan yang pesat Anak : masa pertumbuhan secara bertahap Remaja : akhir perkembangan secara pesat hingga menjadi orang dewasa 2.2 Pengertian Resep Resep adalah permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi, kepada apoteker, baik dalam bentuk paper maupun elektronik untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku (Depkes RI, 20014). Ukuran lembar resep umumnya berbentuk empat persegi panjang, ukuran ideal lembar 10-12 cm dan panjang 15-20 cm (Jas, 2009). 2.3 Tujuan Penulisan Resep Penulisan resep bertujuan untuk memudahkan dokter dalam pelayanan kesehatan di bidang farmasi sekaligus meminimalkan kesalahan dalam pemberian obat. Umumnya, waktu buka instalasi farmasi/apotek dalam pelayanan farmasi jauh lebih panjang daripada praktik dokter, sehingga dengan penulisan resep diharapkan akan memudahkan pasien dalam mengakses obat-obatan yang diperlukan sesuai dengan penyakitnya. Melalui penulisan resep pula, peran, dan tanggung jawab dokter dalam pengawasan distribusi obat kepada masyarakat dapat ditingkatkan karena tidak semua golongan obat dapat diserahkan kepada masyarakat bebas (Jas, 2009). 7 2.4 Peresepan Yang Rasional Pada konferensi Para Ahli pada Penggunaan Obat Rasional yang diselenggarakan oleh World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa penggunaan obat yang rasional terjadi ketika pasien mendapatkan obat dan dosis yang sesuai, dengan kebutuhan klinik pasien dalam periode waktu yang cukup dan dengan harga jangkauan untuk pasien dan komunitasnya (Santoso, 1996). Peresepan yang rasional menurut Kementrian Kesehatan RI (2011) memiliki kriteria antara lain: a. tepat diagnosa Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang tepat. Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka pemilihan obat akan terpaksa mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut. Akibatnya obat yang diberikan juga tidak akan sesuai dengan indikasi yang seharusnya. b. tepat indikasi penyakit Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik. Antibiotik, misalnya diindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian, pemberian obat ini hanya dianjurkan untuk pasien yang memberi gejala adanya infeksi bakteri. c. tepat pemilihan obat Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis ditegakkan dengan benar. Dengan demikian, obat yang dipilih harus yang memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit. d. tepat dosis Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang dengan 8 rentang terapi yang sempit, akan sangat beresiko timbulnya efek samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi yang diharapkan. e. tepat cara pemberiaan Obat Antasida seharusnya dikunyah dulu baru ditelan. Demikian pula antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu, karena akan membentuk ikatan, sehingga menjadi tidak dapat diabsorpsi dan menurunkan efektivitasnya. f. tepat interval waktu pemberiaan Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis, agar mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi pemberian obat per hari (misalnya 4 kali sehari), semakin rendah tingkat ketaatan minum obat. Obat yang harus diminum 3 x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut harus diminum dengan interval setiap 8 jam. g. tepat lama pemberiaan Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masing-masing. Untuk Tuberkulosis dan Kusta, lama pemberian paling singkat adalah 6 bulan. Lama pemberian kloramfenikol pada demam tifoid adalah 10-14 hari. Pemberian obat yang terlalu singkat atau terlalu lama dari yang seharusnya akan berpengaruh terhadap hasil pengobatan. h. waspada terhadap efek samping Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, karena itu muka merah setelah pemberian atropin bukan alergi, tetapi efek samping sehubungan vasodilatasi pembuluh darah di wajah. Pemberian tetrasiklin tidak boleh dilakukan 9 pada anak kurang dari 12 tahun, karena menimbulkan kelainan pada gigi dan tulang yang sedang tumbuh. i. tepat penilaian kondisi pasien Respon individu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini lebih jelas terlihat pada beberapa jenis obat seperti teofilin dan aminoglikosida. Pada penderita dengan kelainan ginjal, pemberian aminoglikosida sebaiknya dihindarkan, karena resiko terjadinya nefrotoksisitas pada kelompok ini meningkat secara bermakna. j. tepat informasi Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting dalam menunjang keberhasilan terapi. Sebagai contoh: 1. Peresepan rifampisin akan mengakibatkan urine penderita berwarna merah. Jika hal ini tidak diinformasikan, penderita kemungkinan besar akan menghentikan minum obat karena menduga obat tersebut menyebabkan kencing disertai darah. Padahal untuk penderita tuberkulosis, terapi dengan rifampisin harus diberikan dalam jangka panjang. 2. Peresepan antibiotik harus disertai informasi bahwa obat tersebut harus diminum sampai habis selama satu kurun waktu pengobatan (1 course of treatment), meskipun gejala-gejala klinik sudah mereda atau hilang sama sekali. Interval waktu minum obat juga harus tepat, bila 4 kali sehari berarti tiap 6 jam. Untuk antibiotik hal ini sangat penting, agar kadar obat dalam darah berada di atas kadar minimal yang dapat membunuh bakteri penyebab penyakit. k. tepat tindak lanjut (follow-up) Pada saat memutuskan pemberian terapi, harus sudah dipertimbangkan upaya tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh atau mengalami 10 efek samping. Sebagai contoh, terapi dengan teofi lin sering memberikan gejala takikardi. Jika hal ini terjadi, maka dosis obat perlu ditinjau ulang atau bisa saja obatnya diganti. Demikian pula dalam penatalaksanaan syok anafi laksis, pemberian injeksi adrenalin yang kedua perlu segera dilakukan, jika pada pemberian pertama respons sirkulasi kardiovaskuler belum seperti yang diharapkan. l. tepat penyerahan obat (dispending) Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai penyerah obat dan pasien sendiri sebagai konsumen. Pada saat resep dibawa ke apotek atau tempat penyerahan obat di Puskesmas, apoteker/asisten apoteker menyiapkan obat yang dituliskan peresep pada lembar resep untuk kemudian diberikan kepada pasien. Proses penyiapan dan penyerahan harus dilakukan secara tepat, agar pasien mendapatkan obat sebagaimana harusnya. Dalam menyerahkan obat juga petugas harus memberikan informasi yang tepat kepada pasien (Depkes RI., 2011). 2.5 Penggunaan Obat Pada Pediatri Terapi obat pada pediatri berbeda dengan terapi obat pada orang dewasa karena perbedaan karakteristik. Perbedaan karakteristik ini akan mempengaruhi farmakokinetika obat yang pada akhirnya akan mempengaruhi efikasi dan/ atau toksisitas obat. 2.5.1 Farmakokinetika Kinetika obat dalam tubuh anak-anak berbeda dengan dewasa sesuai dengan pertambahan usianya. Beberapa perubahan farmakokinetika terjadi selama periode perkembangan dari masa anak-anak sampai masa dewasa yang menjadi pertimbangan dalam penetapan dosis untuk pediatri : 11 a. absorpsi Absorpsi obat melalui rute oral dan parenteral pada anak sebanding dengan pasien dewasa. Pada bayi dan anak sekresi asam lambung belum sebanyak pada dewasa, sehingga pH lambung menjadi lebih alkalis. Hal tersebut akan menurunkan absorbsi obat – obat yang bersifat asam lemah seperti fenobarbital dan fenitoin, sebaliknya akan meningkatkan absorbsi obat – obat yang bersifat basa lemah seperti penisilin dan eritromisin. Waktu pengosongan dan pH lambung akan mencapai tahap normal pada usia sekitar tiga tahun. Waktu pengosongan lambung pada bayi baru lahir yaitu 6-8 jam sedangkan dewasa 3-4 jam. Oleh karena itu harus diperhatikan pada pemberian obat yang di absorbsi di lambung. Peristaltik pada neonatus tidak beraturan dan mungkin lebih lambat karena itu absorbsi obat di usus halus sulit di prediksi. Absorpsi perkutan meningkat pada bayi dan anak-anak terutama pada bayi prematur karena kulitnya lebih tipis, lebih lembab, dan lebih besar dalam ratio luas permukaan tubuh per kilogram berat badan. b. distribusi Selama usisa bayi, kadar air total dalam tubuh terhadap berat badan total memiliki persentase yang lebih besar daripada anak yang lebih tua atau dewasa. Obat yang larut dalam air seharusnya diberikan dengan dosis yang lebih besar pada neonatus untuk mencapai efek terapeutik yang dikehendaki (Mohammed,dkk., 2003). Distribusi obat pada bayi dan anak berbeda dengan orang dewasa, karena adanya perbedaan volume cairan ekstraselluler, total air tubuh, komposisi jaringan lemak, dan ikatan protein (Depkes RI., 2011). 12 c. metabolisme Rendahnya metabolisme obat di hati pada neonatus disebabkan oleh rendahnya aliran darah ke hati, asupan obat oleh sel hati, kapasitas enzim hati dan ekskresi empedu. Sistem enzim di hati pada neonatus dan bayi belum sempurna, terutama pada proses oksidasi dan glukoronidase, sebaliknya pada jalur konjugasi dengan asam sulfat berlangsung sempurna. Meskipun metabolisme asetaminofen melalui jalur glukoronidase pada anak masih belum sempurna dibandingkan pada orang dewasa, sebagian kecil dari bagian ini dikompensasi melalui jalur konjugasi dengan asam sulfat. Jalur metabolisme ini mungkin berhubungan langsung dengan usia dan mungkin memerlukan waktu selama beberapa bulan sampai satu tahun agar berkembang sempurna. Hal ini terlihat dari peningkatan klirens pada usia setelah satu tahun. Dosis beberapa jenis antiepilepsi dan teofilin untuk bayi lebih besar daripada dosis dewasa agar tercapai konsentrasi plasma terapeutik. Hal ini disebabkan bayi belum mampu melakukan metabolisme senyawa tersebut menjadi bentuk metabolit aktifnya (Depkes RI., 2009). d. eliminasi melalui ginjal Filtrasi glomerulus, sekresi tubulus, reabsorbsi tubulus menurun dan bersihan (clearance) obat tidak dapat di prediksi, tergantung cara eliminasi obat tersebut di ginjal. Pada umumnya obat dan metabolitnya dieliminasi melalui ginjal. Kecepatan filtrasi glomerulus pada neonatus adalah 0,6–0,8 mL/menit per 1,73 m2 dan pada bayi adalah 2-4 mL/menit per 1,73 m2. Proses filtrasi glomerulus, sekresi tubuler dan reabsorpsi tubuler akan menunjukkan efisiensi ekskresi ginjal. Proses perkembangan ini akan berlangsung sekitar beberapa minggu sampai satu tahun setelah kelahiran (Depkes RI., 2009). 13 2.6 Antibiotik 2.6.1 Definisi Antibiotika (L. Anti = lawan, bios = hidup) adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman (Tjay dan Rahardja, 2007). 2.6.2 Mekanisme Aksi Antibiotik Antibiotik bisa diklasifikasikan berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu: a. Menghambat sintesis atau merusak dinding sel bakteri. Contohnya betalaktam (penisilin, sefalosporin, monobaktam, karbapenem, inhibitor betalaktamase), basitrasin, dan vankomisin. b. Merusak membran sel. Contohnya polimiksin, ketokonazol. c. Memodifikasi aminoglikosid, atau menghambat kloramfenikol, sintesis tetrasiklin, protein. makrolida Contohnya (eritromisin, azitromisin, klaritromisin), klindamisin, mupirosin, dan spektinomisin. d. Menghambat enzim-enzim esensial dalam metabolisme folat. Contohnya trimetoprim dan sulfonamid. e. Mempengaruhi sintesis atau metabolisme asam nukleat. Contohnya kuinolon, nitrofurantoin, rifampin (Setiabudy, 2007). 2.6.3 Aktivitas Antibiotik a. antibiotika kerja luas (broad spectrum), yaitu agen yang dapat menghambat pertumbuhan dan mematikan bakteri gram positif maupun bakteri gram negatif. Golongan ini diharapkan dapat menghambat pertumbuhan dan mematikan sebagian besar bakteri. Yang termasuk 14 golongan ini adalah tetrasiklin dan derivatnya, kloramfenikol, ampisilin, sefalosporin, carbapenemdan lain-lain. b. antibiotika kerja sempit (narrow spectrum) adalah golongan ini hanya aktif terhadap beberapa bakteri saja. Yang termasuk golongan ini adalah penisilina, streptomisin, neomisin, basitrasin (Tan Rahardja, 2008). 2.6.4 Jenis Antibiotik a. penisillin Penisilin merupakan derivat β-laktam terutama yang memiliki aksi bakterisida dengan mekanisme kerja menghambat sintesis dinding sel bakteri dan penisilin merupakan antibiotik efektif yang paling banyak digunakan dan juga merupakan obat yang paling sedikit toksik, tetapi peningkatan resistensi telah membatasi penggunaan obat ini (Harvey,dkk., 2013). b. sefalosporin Sefalosporin termasuk antibiotik β-laktam yang bekerja dengan cara menghambat sintesis dinding sel mikroba. Sefalosporin aktif terhadap kuman gram positif dan gram negatif, tapi spektrum antimikroba masing-masing derivat bervariasi. Farmakologi sefalosporin mirip dengan penisillin. Sefalosporin diklasifikasikan berdasarkan generasinya. Sefalosporin generasi pertama: sefaleksin, sefradin, sefadroxil Aktivitasnya: antibiotik yang efektif terhadap gram positif dan memiliki aktivitas sedang terhadap gram negatif. Golongan ini efektif terhadap sebagian besar S. Aureus dan Streptococcus StreptococcusPyogenes,StreptococcusViridans dan termasuk StreptococcusPneumoniae. Bakteri gram positif yang juga sensitif adalah Streptococcus anaerob, Clostridium 15 perfringens, Listeria Monocytogenesdan Corinebacterium diphteria. Obat ini diindikasikan untuk infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas, sinusitis, infeksi kulit dan jaringan lunak Sefalosporin generasi kedua: sefuroksim, sefoktasim, sefmetazol, sefprozil Aktivitasnya: kurang aktif terhadap bakteri gram positif tapi lebih aktif terhadap gram negatif, misalnya H.influenza, Pr Mirabilis, E. Coli dan Klebsiella. Sefalosporin generasi ketiga: cefixime, seftradizin, seftriakson Aktivitasnya: Sefalosporin ini telah memiliki peran memiliki peran penting dalam penatalaksanaan penyakit infeksius. Aktivitas kurang aktif terhadap gram positif dibandingkan generasi 1 tetapi lebih tinggi melawan gram negatif. Sefalosporin generasi keempat: sefepim, sefpirom Aktivitasnya: lebih luas dibandingkan generasi III dan tahan terhadap betalaktamase (Depkes RI., 2011). c. sulfonamida Sulfonamida merupakan salah satu antimikroba tertua yang masih digunakan. Preparat sulfonamida yang paling banyak digunakan adalah kombinasi trimethoprim dengan sulfametazol yang lebih dikenal dengan nama cotrimoksazol. Mekanisme kerja sulfamektazol adalah menghambat sintesis asam folat, sedangkan trimethoprim menghambat reduksi asam dihydrofolat menjadi tetrahydrofolat sehingga menghambat enzim pada alur sintesis asam folat. Kombinasi yang bersifat sinergis ini menyebabkan pemakaian yang luas pada infeksi seperti sinusitis, otitis media, infeksi saluran kemih (Depkes RI., 2005). 16 d. makrolida Golongan makrolida menghambat sintesis protein kuman dengan jalan berikatan secara reversible dengan sub unit 50S, dan umumnya bersifat bakterisidal untuk kuman yang sangat peka (Setiabudy, 2007). Eritromisin adalah obat pertama dari kelompok makrolida yang digunakan secara klinis baik sebagai obat pilihan pertama maupun sebagai alternatif untuk penisillin pada orang yang alergi terhadap antibioika beta-lactam. Obat ini diindikasikan untuk infeksi saluran nafas, pertusis (Setiabudy, 2007). e. metronidazol Metronidazol suatu nitroimidazol terutama digunakan untuk amubiasis dan infeksi bakteri anaerob. Metronidazol adalah obat yang terpilih untuk pengobatan kolitis pseudomembranosa yang disebabkan oleh basil gram-positif anaerob. Clostridiumdifficile dan juga efektif dalam pengobatan abses otak akibat organisme ini. f. isoniazid Isoniazid yang sering disingkat dengan INH adalah antimikroba yang sangat efektif terhadap Mycobacterium tuberculosis. Isoniazid masih tetap merupakan obat yang sangat penting untuk mengobati semua tipe tuberkulosis untuk tujuan terapi obat ini harus digunakan bersama obat tuberkulosis lainnya (Setiabudy, 2007). g. rifampisin Rifampisin menghambat pertumbuhan berbagai kuman gram positif dan gram negatif. Terhadap kuman gram positif kerjanya kurang kuat dibandingkan 17 penisilin. Rifampisin merupakan obat yang sangat efektif untuk pengobatan tuberkulosis dan sering digunakan bersama isoniazid untuk terapi tuberkulosis jangka pendek (Setiabudy, 2007). 2.7 Jenis Penyakit Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada masyarakat. Infeksi saluran napas berdasarkan wilayah infeksinya terbagi menjadi infeksi saluran napas atas dan infeksi saluran napas bawah. Infeksi saluran napas atas meliputi rhinitis, sinusitis, faringitis, laringitis, epiglotitis, tonsilitis, otitis. Sedangkan infeksi saluran napas bawah meliputi infeksi pada bronkhus, alveoli seperti bronkhitis, bronkhiolitis, pneumonia. Infeksi saluran napas atas bila tidak diatasi dengan baik dapat berkembang menyebabkan infeksi saluran nafas bawah. Infeksi saluran nafas atas yang paling banyak terjadi serta perlunya penanganan dengan baik karena dampak komplikasinya yang membahayakan adalah otitis, sinusitis, dan faringitis. 2.7.1 Bronkhitis Bronkhitis adalah kondisi peradangan pada daerah trakheobronkhial. Peradangan tidak meluas sampai alveoli. Bronkhitis seringkali diklasifikasikansebagai akut dan kronik. Bronkhitis akut mungkin terjadi pada semua usia, namun bronkhitis kronik umumnya hanya dijumpai pada dewasa. Pada bayi penyakit ini dikenal dengan nama bronkhiolitis. Bronkhitis akut umumnya terjadi pada musim dingin, hujan, kehadiran polutan yang mengiritasi seperti polusi udara, dan rokok. Penyebab bronkhitis akut umumnya virus seperti rhinovirus, influenza A dan B, coronavirus, parainfluenza, dan respiratory synctial virus (RSV). Ada pula 18 bakteri atypical yang menjadi penyebab bronkhitis yaitu Chlamydia pneumoniae ataupun Mycoplasma pneumoniae yang sering dijumpai padaanak-anak, remaja dan dewasa. Bakteri atypical sulit terdiagnosis, tetapimungkin menginvasi pada sindroma yang lama yaitu lebih dari 10 hari. Penyebab bronkhitis kronik berkaitan dengan penyakit paru obstruktif, merokok, paparan terhadap debu,polusi udara, infeksi bakteri. Terapi antibiotik pada bronkitis akut tidak dianjurkan kecuali bila disertai demam dan batuk yang menetap lebih dari 6 hari, karena dicurigai adanya keterlibatan bakteri saluran napas seperti S. pneumoniae, H. Influenzae.Untuk batuk yang menetap > 10 hari diduga adanya keterlibatan Mycobacterium pneumoniae sehingga penggunaan antibiotik disarankan. Antibiotik yang dapat digunakan dengan lama terapi 5-14 hari sedangkan pada bronkhitis kronik optimalnya selama 14 hari (Depkes RI., 2005). 2.7.2 Faringitis Faringitis adalah peradangan pada mukosa faring dan sering meluas ke jaringan sekitarnya. Faringitis banyak diderita anak-anak usia 5-15 th di daerah dengan iklim panas. Faringitis dijumpai pula pada dewasa yang masih memiliki anak usia sekolah atau bekerja di lingkungan anak-anak. Sejumlah antibiotik terbukti efektif pada terapi faringitis oleh Streptococcus grup A, yaitu mulai dari Penicillin dan derivatnya, sefalosporin maupun makrolida. Penicillin tetap menjadi pilihan karena efektivitas dan keamanannya sudah terbukti, spektrum sempit serta harga yang terjangkau. Amoksisilin menempati tempat yang sama dengan penicilin, khususnya pada anak dan menunjukkan efektivitas yang setara. Lama terapi dengan antibiotik oral rata-rata 19 selama 10 hari untuk memastikan eradikasi Streptococcus, kecuali pada azitromisin hanya 5 hari (Depkes RI., 2005). 2.7.3 Pneumonia Pneumonia merupakan infeksi di ujung bronkhiol dan alveoli yang dapat disebabkan oleh berbagai patogen seperti bakteri, jamur, virus dan parasit. Penatalaksanaan pneumonia yang disebabkan oleh bakteri sama seperti infeksi pada umumnya yaitu dengan pemberian antibiotik yang dimulai secara empiris dengan antibiotik spektrum luas sambil menunggu hasil kultur. Setelah bakteri pathogen diketahui, antibiotik diubah menjadi antibiotik yang berspektrum sempit sesuai patogen (Depkes RI., 2005). 2.7.4 Sinusitis Sinusitis merupakan peradangan pada mukosa sinus paranasal. Peradangan ini banyak dijumpai pada anak dan dewasa yang biasanya didahului oleh infeksi saluran napas atas. Sinusitis dibedakan menjadi sinusitis akut yaitu infeksi pada sinus paranasal sampai dengan selama 30 hari baik dengan gejala yang menetap maupun berat. Sinusitis berikutnya adalah sinusitis subakut dengan gejala yang menetap selama 30-90 hari. Sinusitis kronik didiagnosis bila gejala sinusitis terus berlanjut hingga lebih dari 6 minggu. Bakteri yang paling umum menjadi penyebab sinusitis akut adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilusinfluenzae dan Moraxella catarrhalis. Patogen yang menginfeksi pada sinusitis kronik sama seperti pada sinusitis akut dengan ditambah adanya keterlibatan bakteri anaerob dan S. aureus. Terapi pokok meliputi pemberian antibiotika dengan lama terapi 10-14 hari, kecuali bila menggunakan azitromisin. Untuk gejala yang menetap setelah 10-14 20 hari maka antibiotik dapat diperpanjang hingga 10-14 hari lagi. Pada kasus yang kompleks diperlukan tindakan operasi (Depkes RI., 2005). 2.7.5 Demam Tifoid Demam tifoid adalah penyakit infeksi sistemik yang bersifat akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi (Soedarmo dkk., 2002). Demam tifoid masih merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini termasuk penyakit menular yang tercantum dalam undang-undang No. 6 tahun 1962 tentang wabah, yaitu: kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah (Widodo, 2006). Salmonella typhi masuk tubuh manusia melalaui makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan mencapai jaringan limfoid. Endotoksin Salmonella thypi berperan dalam proses inflamasi local pada jaringan tempat kuman tersebut berkembang biak. Salmonella typhi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen dan leukosit pada jaringan yang meradang, sehingga terjadi demam (Mansjoer, 2001). Terapi untuk pengobatan demam tifoid antara lain yaitu terapi non farmokologis meliputi tirah baring dan makan makanan lunak yang rendah serat. Untuk terapi non farmakologinya yaitu terapi simptomatis dapat diberikan untuk perbaikan keadaan umum pasien yakni vitamin, antipiretik (penurun panas) untuk kenyamanan penderita terutama anak. Untuk antimikroba digunakan kloramfenikol dan untuk antibiotika yang lain yaitu tiamfenikol, kotrimoksazol, ampicillin, amoksisilin, sefalosporin generasi III. 21 2.7.6 Infeksi Saluran Kemih Infeksi saluran kemih (ISK) adalah infeksi bakteri yang terjadi pada saluran kemih (mencakup organ-organ saluran kemih, yaitu ginjal, ureter, kandung kemih, dan uretra). Infeksi Saluran Kemih adalah istilah umum yang menunjukkan keberadaan mikroorganisme dalam urin. Walaupun terdiri dari berbagai cairan, garam, dan produk buangan, biasanya urin tidak mengandung bakteri. Jika bakteri menuju kandung kemih atau ginjal dan berkembang biak dalam urin, terjadilah Infeksi Saluran Kemih. Pilihan antibiotik yang dapat digunakan adalah ampisilin,trimetoprim,kotrimoksazol, fluorokuinolon, sefalosporin generasi ketiga, aminoglikosida. 2.7.7 Tuberkulosis Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Obat yang digunakan adalah: Rifampisin, INH, Pirazinamid, Streptomisin, Etambutol (Depkes RI., 2005). 2.7.8 Infeksi Saluran Pencernaan Infeksi yang lebih umumnya terjadi diseluruh dunia yang menyebabkan mobiditas dan mortalitas. Sebagian terbesar disebabkan oleh usus dan sebagian lagi oleh bakteri atau organism lain. Pada Negara berkembang dan Negara maju Gastroenteritis akut meliputi diare yaitu penyebab utama mortalitas pada bayi dan anak-anak (Elin, dkk., 2008). 22