FILSAFAT ARISTOTELES DALAM USUL FIKIH: Explorasi atas Latar Historis Perjalanan Usul Fikih Taufikurrahman Institut Dirosat Islamiah Al-Amien (IDIA) Prenduan Sumenep e-mail: [email protected] Abstrak: Usul fikih, seperti karya al-Sha>fi’i> dan al-Sha>ti}bi>, diduga kuat banyak mendapatkan pengaruh dari filsafat Aristoteles yang masuk ke dunia pemikiran Islam lewat proyek penerjemahan bukubuku Yunani ke dalam bahasa Arab pada masa khalifah al-Ma’mu>n. Pengaruh filsafat Aristoteles ini terlihat dalam konstruk al-As}l dan ‘Illat Qiya>s al-Sha>fi’i> yang memiliki substansi yang sama dengan premis-premis dalam silogisme logika Aristoteles. Unsur-unsur Maqa>s}id alShari>’ah al-Sha>ti}bi> memiliki kemiripan dengan unsur-unsur prinsip kausalitas Arsitoteles. Keagungan filsafat Aristoteles ini mempengaruhi dunia pemikiran keislaman saat itu. Hal ini menjadi sebuah kewajaran pula jika kelak pemikir-pemikir Muslim menjadikan ilmu-ilmu Yunani sebagai rujukan utama dalam menentukan arah baru peradaban Islam. Abstract: Aristotle philosophy was assumed to influence Islamic Jurisprudence such as al-Sha>fi’i> and al-Sha>ti}bi through Greek translation books into Arabic during Al Ma’mun khalifah era. Mostly, they can be seen from the similarity between al-As}l and ‘Illat Qiya>s al-Sha>fi’i> with the construction of Aristoteles logic syllogism premises. The element of Maqa>s}id al-Shari>’ah al-Sha>ti}bi> is similar to the component of Aristotle's causality principle. At that time, the greatness of Aristotle philosophy influenced Islamic thought. Therefore it is reasonable that in the future, the Greek sciences and knowledge will be used as references by Islamic philosopher to determine the aim of new Islamic civilization. Keywords:Us}u>l al-Fiqh. Aristotle, Qiya>s, Maqa>s}id al-Shari>’ah. Kata Kunci: Usul Fikih, Aristoteles, Qiya>s, Maqa>s}id al-Shari>’ah. RELIGI, Vol. V, No. 1 | 13 Filsafat Aristoteles - Taufikurrahman Pendahuluan Kehidupan manusia pada dasarnya merupakan proses berkelanjutan. Kebudayaan yang ada di tengah-tengah masyarakat tidak bisa dipisahkan dari pengaruh kebudayaan masa lampau, demikian juga perkembangan ilmu pengetahuan. Pada dasarnya perkembangan ilmu pengetahuan merupakan proses reformulasi dan rekonstruksi terhadap tatanan pengetahuan di masa lampau. Hal ini juga yang berlaku pada kebudayaan dan khazana keilmuan umat Islam. Ketika Islam lahir, bangsa Arab telah dikelilingi oleh bangsa-bangsa yang berkebudayaan tinggi seperti Persia, Romawi, Yunani dan India. Sebagai masyarakat yang baru lahir, Islam tentu saja perlu mempelajari kebudayaan-kebudayaan tersebut agar bisa memajukan dirinya dan memiliki peradaban dan kebudayaan yang tinggi juga. Upaya ini telah dilakukan oleh umat Islam pada masa klasik, khususnya pada masa Dinasti Umayyah dan mencapai puncaknya pada masa Dinasti Abbasiyyah.1 Pemikiran Hellenistik atau Yunani pertama kali menjadi perhatian umat Islam setelah mereka tertarik kepada teologi. Perdebatan antara umat Islam dan Kristen yang diadakan di majelis-majelis oleh para khalifah Dinasti Umayyah, menyebabkan umat Islam mengenal kebudayaan Hellenistik, seperti istilah-istilah dalam Hellenistik, argumen-argumen rasional dan ilmu sastra.2 Ketertarikan ummat Islam terhadap kebudayaan Yunani dilanjutkan dengan adanya penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam Bahasa Arab. Penerjemahan bukubuku Yunani ke dalam bahasa Arab pertama kali dilakukan pada masa Dinasti Umayyah. Walaupun jumlah buku yang diterjemahkan masih relatif sedikit, akan tetapi, hal tersebut tetap memberikan satu warna tersendiri dalam wacana interaksi antara 1 Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta:Logos, 1999), 26. 2 Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies (Cambridge: Ccambridge University Press, 1991), 94; Lihat juga Asrohah, Sejarah Pendidikan, 28-29. 14 | RELIGI, Vol. V, No. 1 kebudayaan dan pengetahuan Yunani dengan kebudayaan dan pengetahuan Islam.3 Tahun 800-1000 M atau tepatnya pada masa pemerintahan Khalifah Ha>ru>n alRashi>d (789-809 M) dan putranya alMa’mu>n (813-833 M), Khilafah Islamiyah mencapai puncak kejayaannya. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, kebudayaan dan kesusastraan berada pada masa keemasannya. Khalifah al-Ma’mu>n yang te rkenal sangat cinta ilmu melakukan proyek penerjemahan besar-besaran bukubuku Yunani ke dalam bahasa Arab.4 Begitu banyaknya karya-karya warisan Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, sehingga Bernard sampai menyatakan bahwa Islam adalah pewaris pusaka Hellenisme ketiga setelah Greek dan Latin Christendom.5 Penerjemahan buku-buku Yunani ini pada gilirannya mempengaruhi pola pemikiran yang berkembang di kalangan intelektual Muslim pada masa itu. Gelombang hellenisme mulai merambah dunia Islam. Salah satu pemikir Yunani yang banyak memberikan pengaruh pada perkembangan pemikiran keislaman adalah Aristoteles. Dari Aristoteleslah, para ulama Islam banyak mengambil pengetahuan, terutama metode berpikir sistematis dan rasional di samping pengetahuan lainnya seperti biologi, ilmu bumi, matematika dan lain-lain. Mereka memandangnya sebagai “al-Mu’allim al-Awwal” (Guru Pertama). Aristotelianisme, dengan begitu, menjadi bagian integral dari khazanah pemikiran dalam Islam.6 Dalam tulisan singkat ini penulis mencoba untuk menelaah tentang kontribusi 3 Ibid., 29. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja grafindo Persada, 2000), 53. Lihat juga C.A. Van Peursen, Orientasi di Alam Filsafat, ter. Dick Hartoko (Jakarta: PT Gramedia, 1980), 132. 5 Bernard Lewis, Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah ter. Jamhuri (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1998), 140. 6 Nurkholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), 23-24. 4 Filsafat Aristoteles - Taufikurrahman filsafat Aristoteles terhadap pembentukan dan pengembangan disiplin usul fikih dalam khazanah pemikiran Islam. Sekilas tentang Aristoteles dan Bangunan Keilmuannya Aristoteles lahir di kota Stagira Semenanjung Kalkidike di Trasia (Balkan) pada tahun 384 SM. Ia adalah anak Nicomachus, seorang dokter Istana Macedonia pada masa pemerintahan Raja Amyntes II. Ayahnya meninggal ketika ia masih anak-anak.7 Kemudian ia diambil sebagai anak angkat oleh Proxenus yang memberikan pendidikan yang istimewa kepadanya. Ketika berusia 18 tahun, Aristoteles dikirim ke Athena untuk belajar di Akademia Plato. Di sana dia belajar selama kurang lebih 20 tahun sampai Plato meninggal dunia.8 Selain memperdalam filsafat kepada Plato, Aristoteles memperluas pengetahuannya dalam berbagai bidang di luar Akademia. Pelajaran matematika yang diperoleh di Akademia, diperdalam olehnya kepada guru-guru astronomi yang terkenal, yaitu Eudoxos dan Kalippos. Bahkan ia juga memperdalam retorika. Dengan demikian, Aristoteles memperoleh pengetahuan yang cukup luas. Kecerdasan yang dimilikinya juga memudahkan Arsitoteles menguasai sampai mendalam hampir semua ilmu yang ada di masanya. 9 Aristoteles menjadi lebih dikenal luas oleh masyarakat karena ia pernah menjadi tutor Alexander, putra Philip dari Macedonia, seorang diplomat ulung dan jenderal yang terkenal. Sebagai tutor Alexander, Aristoteles mempunyai pengaruh yang besar terhadap sejarah dunia. Segenap ide, rencana dan pola pikir Aristoteles banyak diterima dan diterapkan oleh Alexander. Antara tahun 340-335 SM Aristoteles menekuni riset di Stagira, dibantu oleh Theoprastus yang juga alumnus Athena. Riset yang dibiayai oleh Alexander ini menghasilkan kemajuan dalam sains dan filsafat.10 Ketika Alexander berperang di Asia pada tahun 334 SM Aristoteles kembali ke Athena dan mendirikan sekolah yang bernama Lyceun. Berdirinya Lyceun menyebabkan terjadinya persaingan antara Akademia dan Lyceun. Persaingan ini mendorong Aristoteles untuk meningkatkan penelitiannya. Hasilnya, ia tidak hanya dapat menjelaskan prinsip-prinsip sains, akan tetapi juga mengajarkan politik, retorika dan dialektika.11 Lama-kelamaan posisinya di Athena menjadi tidak nyaman karena ia adalah teman Alexander. Orang-orang Athena yang anti Macedonia memandang Aristoteles menyebarluaskan pengaruh yang bersifat subversif, sehingga Aristoteles kemudian meninggalkan Athena dan pindah ke Kalkis. Aristoteles meninggal di Kalkis pada tahun 322 SM.12 Walaupun banyak berguru kepada Plato, Aristoteles mempunyai pandangan yang berbeda dengan Plato. Latar belakang keluarganya yang mempunyai pola pikir saintifik mempunyai pengaruh besar terhadap pola pemikiran Aristoteles.13 Untuk mengetahui karakter dasar bangunan epistemologi Aristoteles dan posisi Aristoteles dalam hal metode pencapaian ilmu pengetahuan (episteme), akan lebih baik kalau kita melihat permasalahan krusial Yunani klasik, yaitu debat epistemologis antara Aristoteles dengan gurunya, Plato. Plato berpendapat bahwa sumber pengetahuan adalah alam ide yaitu alam yang telah ada sebelum manusia dilahirkan ke dunia. Dalam alam ini, jiwa manusia telah mengetahui banyak hal, namun pengetahuan yang telah ada itu menjadi 7 J.H. Rapas., Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Agustinus, Machiavelli (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), 139. 8 Muhammad Roy, Usul Fikih Madzhab Aristoteles (Yogyakarta: Safiria Insana Press, 2004), 89. 9 Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebeni, Filsafat Umum Dari Mitologi Sampai Teofilosofi (Bandung Pustaka Setia, 2008), 215. 10 Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2004), 60. 11 Ibid., lihat juga K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1998), 14. 12 Ibid. 13 Tafsir, Filsafat Umum, 59. RELIGI, Vol. V, No. 1 | 15 Filsafat Aristoteles - Taufikurrahman hilang ketika jiwa bersatu dengan jasad. Akan tetapi, pengetahuan yang tersimpan itu bisa dimunculkan kembali dengan jalan mengingat-ingat atau kontemplasi. Jadi pada intinya, proses pencapaian dan pencarian ilmu pengetahuan bagi manusia adalah melalui penggalian pada alam ide. Teori Plato ini merupakan cikal bakal lahirnya aliran Idealisme atau Rasionalisme. Sedangkan metode yang digunakan untuk mendapatkan pengetahuan baru, menurut Plato adalah deduksi yaitu menerapkan sesuatu yang umum untuk menjelaskan yang khusus.14 Aristoteles rupanya tidak sepakat dengan gurunya ini. Ia berpendapat bahwa kebaikan itu diperoleh dengan jalan alam, pembiasaan dan pembukaan akal. Sumber pengetahuan yang sebenarnya adalah pengetahuan inderawi yang didapat lewat pengalaman. Artinya bahwa ilmu pengetahuan itu hanya bisa didapatkan oleh panca indera manusia yang nyata, bukan melalui penerangan atau idea. Oleh karena itu, jika manusia tidak memiliki pengalaman dalam segala bentuknya, ia tidak akan mengetahui realitas apapun. Aristoteles tidak mengenal adanya pengetahuan ide atau rasio yang mendahului pengalaman, karena baginya hanya pengalaman empirik sebagai satu-satunya asas untuk mendapatkan penilaian yang benar.15 Pendapat Aristoteles ini menjadi embrio lahirnya Empirisisme. Metode yang digunakan Aristoteles dalam merumuskan sesuatu yang baru adalah induksi, yaitu penyimpulan dari hal-hal yang khusus yang ditangkap oleh indera menjadi sesuatu yang sifatnya umum atau universal. Metode induksi inilah yang dikembangkan oleh Aristoteles guna mendapatkan pengetahuan. Pandangan Aristoteles yang bersifat empiris kemudian juga menghasilkan suatu 14 Muhammad Roy, Usul Fikih, hal. 207; Lihat juga Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat vol. 1 (Yogyakarta: Kanisius, 1980), 40-41. 15 Louis O. Katsof, Pengantar Filsafat: sebuah buku pegangan untuk mengenal Filsafat., ter. Soejono Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), 136-138. 16 | RELIGI, Vol. V, No. 1 prinsip kausalitas terhadap segala kejadian di alam ini, yaitu bahwa segala kejadian yang ada di alam ini merupakan hasil dari suatu sebab dan akibat. Menurut Aristoteles ada empat macam sebab yang harus dipahami untuk mengartikan sebuah kejadian. Keempat sebab itu adalah: 1. Sebab Efisien (Efficient Cause) yang merupakan sumber kejadian. Sebab efisien adalah faktor yang menjalankan kejadian. Misalnya tukang kayu yang membikin kursi. 2. Sebab Final (Final Cause) yaitu tujuan yang menjadi arah seluruh kejadian. Misalnya kursi dibuat agar orang dapat duduk diatasnya. 3. Sebab Material (Material Cause) yaitu bahan yang darinya suatu benda dibuat. Misalnya kursi dibuat dari kayu. 4. Sebab Formal (Formal Cause) yaitu bentuk yang menyusun bahan. Misalnya, bentuk “kursi” di tambah pada kayu, sehingga kayu tersebut menjadi sebuah kursi. Aristoteles memaksudkan bahwa dengan itu ia memberikan daftar komplit yang memuat semua faktor yang dapat menyebabkan suatu kejadian.16 Pada perkembangannya, paham empiris Aristoteles tidak hanya menggunakan metode induksi saja, akan tetapi juga menggunakan metode deduksi, yaitu suatu penalaran silogistik yang berangkat dari pemikiran umum menuju sesuatu yang khusus. Metode silogistik ini merupakan perpanjangan dari penemuan keilmuan yang premis mayornya diambil dari penalaran induksi melalui pengamatan inderawi terhadap realitas yang ada.17 Metode deduktif-silogistik ini diambil dari adanya prinsip keteraturan alam semesta menurut kaum empiris. Artinya alam jagad raya ini pada dasarnya mempunyai sifat teratur, konstan dan seirama sejak dahulu sampai sekarang bahkan sampai akhir nanti. Dengan demikian, menurut kaum empiris, manusia 16 Sudarsono, Ilmu Filsafat: Suatu Pengantar (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2001), 51. 17 Muhammad Roy, Usul Fikih, 208. Filsafat Aristoteles - Taufikurrahman dapat membaca alam yang akan datang berdasarkan gambaran yang telah terjadi pada masa lalu atau sekarang.18 Selain prinsip keteraturan, metode deduktif-silogistik juga diambil dari prinsip keserupaan dalam menyimpulkan sesuatu. Keserupaan berarti bahwa bila terdapat gejala-gejala yang berdasarkan pengalaman adalah identik atau sama, maka dapat diambil kesimpulan yang sama pula. Aristoteles sebagai Bapak Empirisme pada kenyataannya sering menggunakan kedua metode tersebut, yaitu induksi dan deduksi dalam upaya menemukan suatu pengetahuan baru. Induksi digunakan untuk menyimpulkan hal-hal universal yang ada di alam, yang selanjutnya dijadikan sebagai suatu kaedah umum dalam metode deduksi untuk mengambil kesimpulan baru yang lebih khusus berdasarkan prinsip keserupaan. Dengan demikian, sebenarnya bangunan epistemologi Aristoteles secara umum adalah berangkat dari prinsip induksi yang kemudian dilanjutkan dengan prinsip deduksi.19 Pada perkembangan selanjutnya, Aristoteles menyusun suatu ilmu baru yaitu logika dengan tujuan agar manusia tidak salah dalam mengambil kesimpulan. Prinsip logika sesungguhnya berangkat dari metode deduktif yang merupakan kelanjutan metode induktif dalam bangunan epistemologi Aristoteles. Salah satu kaedah logika Aristoteles yang paling terkenal adalah rumus silogisme yang terdiri dari premis mayor, premis minor dan konklusi.20 Metode silogistik inilah yang sering dinisbahkan pada Aristoteles sehingga Aristoteles dianggap sebagai penganut teori deduktif tanpa memperhatikan bahwa ia juga seorang empiris yang menganut teori induksi. kata as}l yang berarti dasar atau asal,21 dan kata fiqh yang berarti fahm (pemahaman).22 Jadi secara bahasa Usul Fikih berarti dasardasar pemahaman. Sedangkan secara istilah Usul Fikih adalah pengetahuan tentang kaedah dan penjabarannya yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum syariat Islam mengenai perbuatan manusia, di mana kaedah itu bersumber dari dalil-dalil agama secara rinci dan jelas.23 Dasar-dasar Usul Fikih sebenarnya sudah ada sejak masa Nabi Muhammad dan generasi sahabat. Masalah utama yang menjadi bagian Usul Fikih, seperti ijtiha>d, Qiya>s, nasakh, dan takhs}i>s} sudah ada pada zaman Rasulullah dan sahabat. Hanya saja semua itu masih ada dalam tataran pemikiran pada masing-masing pribadi dan belum terkonstruk secara sistematis dalam satu teori pemikiran. Pada masa tabiin, cara istinbat> } (menggali) hukum semakin berkembang. Di antara mereka ada yang menempuh metode mas}lah}ah atau metode Qiya>s di samping berpegang pula pada fatwa sebelumnya. Pada masa tabiin inilah mulai tampak perbedaan-perbedaan mengenai hukum sebagai konsekuensi logis dari perbedaan metode yang digunakan oleh para ulama ketika itu. Al-Sha>fi’i> merupakan orang yang dianggap sebagai peletak dasar Usul Fikih. Hal ini karena al-Sha>fi’i>-lah yang pertama kali menjelaskan konsep Usul Fikih secara sistematis dalam kitab al-Risa>lah. Pasca alSha>fi’i>, Usul Fikih semakin berkembang sebagai disiplin ilmu tersendiri.24 Secara global, kaidah-kaidah Usul Fikih bersumber dari naql (al-Qur’an dan Sunnah), ‘Aql (prinsip-prinsip dan nilainilai), bahasa (us}u>l al-tah}li>l al-lughawi>). Sedangkan objek pembahasan Usul Fikih Sekilas tentang Usul Fikih Secara bahasa Usul Fikih berasal dari kata Usul yang merupakan jamak dari 21 18 Ibid. Ibid. 20 Harun Hadiwijono, Sari Sejarah, 47. 19 Louis Ma’lu>f, al-Munjid (Beirut: Da>r al-Mashriq, 2000), 12. 22 Ibid, 591. 23 Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, (terj.) Noer Iskandar (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), 3. 24 Rachmat Syafe’i, Ilmu Usul Fikih (Bandung:Pustaka Setia, 1999), 27-30. RELIGI, Vol. V, No. 1 | 17 Filsafat Aristoteles - Taufikurrahman adalah dalil syariat yang umum dipandang dari ketetapan-ketetapan hukum yang umum pula.25 Menurut al-Ghazali objek kajian Usul Fikih bisa diperinci menjadi empat hal utama yaitu, pertama, buah ilmu Usul Fikih (al-thamrah) yang meliputi hukum-hukum dan yang berkaitan dengannya. Kedua, pemberi buah (al-muthmirah) yang meliputi dalil-dalil umum seperti al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’. Ketiga, metode pengambilan buah (turuq al-istithma>r) yang meliputi metode kebahasaan dan kemaknaan. Keempat, pengambil buah (al-muthathmir) yang meliputi kriteria orang yang berhak disebut mujtahid.26 Sedangkan manfaat dan kegunaan ilmu Usul Fikih menurut Wahbah alZuh}ayli> antara lain adalah sebagai berikut: 1. Manfaat secara historis, yaitu mengetahui kaedah-kaedah dan caracara yang digunakan mujtahid dalam memperoleh hukum melalui metode ijtihad yang mereka susun. 2. Manfaat teoritis dan praktis, yaitu memberikan gambaran mengenai syaratsyarat yang harus dimiliki seorang mujtahid sehingga dapat menggali hukum-hukum syara’ dan nash yang tepat. 3. Manfaat dalam ijtihad yaitu menentukan hukum melalui berbagai metode yang dikembangkan para mujtahid sehingga berbagai persoalan baru yang belum ada dalam nash dan belum dibahas para ulama terdahulu dapat ditentukan hukumnya. 4. Manfaat komparatif, yaitu dapat membandingkan tata cara pengambilan hukum yang dilakukan para mujtahid, sehingga dapat diketahui metode mana yang terkuat diantara metode-metode yang ada. 5. Manfaat sosial, yaitu dapat menyusun kaedah-kaedah umum yang dapat diterapkan dalam rangka menetapkan hukum atas berbagai persoalan sosial yang terus berkembang.27 Kontribusi Filsafat Aristoteles dalam Pengembangan Usul Fikih. Pada dasarnya perkembangan ilmu pengetahuan merupakan proses reformulasi dan rekonstruksi terhadap tatanan pengetahuan di masa lampau. Usul Fikih sebagai ilmu yang berkembang di kalangan ulama Muslim pada dasarnya juga tidak bisa dipisahkan dari pengaruh peradaban yang ada pada masa sebelumnya. Peradaban yang berkembang sebelumnya menjadi salah satu faktor eksternal, di samping faktor internal yang ada dalam dunia pemikiran Islam sendiri. Salah satu faktor eksternal yang diduga kuat memberikan konstribusi yang cukup besar terhadap perkembangan Usul Fikih adalah filsafat Aristoteles. Filsafat ini masuk ke dalam dunia pemikiran Islam lewat proyek penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab. Pada paparan berikut penulis memberikan contoh pengaruh dan konstribusi filsafat Aristoteles dalam penyusunan dan pengembangan Usul Fikih di dunia Islam. Konsep Qiya>s Salah satu teori Usul Fikih yang diduga mendapatkan pengaruh pemikiran Arsitoteles adalah konsep Qiya>s. Secara sederhana, Qiya>s adalah perbandingan antara dua hal yang sejajar dalam keserupaannya. Qiya>s merupakan sistemisasi dari ra’y (nalar) sebagai pendapat yang bijaksana dan cermat dari seseorang yang berhasrat mencapai suatu keputusan yang cermat. Seperti halnya ra’y, doktrin Qiya>s, menurut Hasan, muncul akibat desakan kebutuhan sosial.28 Qiya>s dalam tahap awal sangat sederhana dan tidak pelik. Gagasan tentang premis mayor dan premis minor yang logis dengan faktor esensial yang sama masih Wahbah al-Zuh}ayli>, Us{u>l Fiqh al-Isla>mi>, Jilid 1 (Beirut: Da>r al-Fikr, 1986), 30-31. 28 Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup (Bandung: Pustaka, 1994), 126. 27 25 Ibid. 26 Abu> H{a>mid al-Ghaza>li>, al-Mustas}fa> fi> ‘Ilm al-Us{u>l, Jilid 1 (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983), 9. 18 | RELIGI, Vol. V, No. 1 Filsafat Aristoteles - Taufikurrahman belum ada. Qiya>s waktu itu hanya merupakan preseden yang mirip atau sebuah kasus yang analog. Ibnu Abbas, misalnya, ketika ditanya tentang ganti rugi yang ditetapkan bagi cacat pada gigi geraham, menyatakan bahwa gigi geraham memiliki nilai yang sama dengan gigi lainnya. Sebagaimana jari-jari, yang nilainya sama, tanpa memandang perbedaan ukuran. 29 Orang-orang Madinah, juga menggunakan Qiya>s dalam memutuskan kasus-kasus hukum, akan tetapi Qiyas> mereka juga tidak formal dan kaku. Katakata seperti mathal, ka (seperti) dan bi manzilah (sama dengan) merupakan istilah yang umum dipakai untuk menyatakan keserupaan antara dua persoalan yang sejajar. Di Iraq, pada periode sebelum alSha>fi’i>, Qiya>s juga dilaksanakan dalam pengertian yang lebih luas, yang familiar dengan istilah ra’y. Namun sifat Qiya>s yang cenderung liberal ini kemudian dimodifikasi oleh alSha>fi’i>. Al-Sha>fi’i> memandang bahwa penggunaan Qiya>s pada waktu itu cenderung terlalu bebas sehingga dikhwatirkan akan keluar dari ketentuan hukum yang sebenarnya sebagaimana yang diinginkan Allah dan Rasul-Nya. Untuk itu, al-Sha>fi’i> kemudian memberikan batasanbatasan yang ketat dalam penggunaan Qiya>s, di antaranya adalah terpenuhinya prinsip al-ashl, dan al-far’. Dengan konsep ini al-Sha>fi’i> ingin membawa Qiya>s yang dianggapnya terlalu bebas menjadi lebih dekat kepada nas}. 30 Teori Qiya>s yang digagas oleh alSha>fi’i> diduga mendapat pengaruh dari konsep logika Aristoteles. Konsep Qiyas> yang dimunculkan oleh al-Sha>fi’i> ini merupakan teori yang baru yaitu tata cara pengambilan suatu hukum berdasarkan beberapa syarat ketat yang disandarkan pada nas} (al-Qur’an dan Hadis). Pembakuan Qiya>s ini menjadikan sifat Qiya>s berbeda dari sebelumnya, yang dipahami sebagai legal reasoning yang fleksibel dan dinamis. Dalam pembakuan teori Qiya>s ini, al-Sha>fi’i> memang tidak pernah menyebutkan secara eksplisit syarat-syarat khusus bagi Qiya>s, namun berdasarkan contoh-contoh yang diberikan, harus memenuhi empat syarat seperti yang dikemukakan oleh ulama sesudahnya yaitu as}l, far’. Hukum al-‘as}l dan ‘Illat Qiya>s yang dicontohkan oleh alSha>fi’i> ternyata memiliki substansi yang sama dengan premis-premis dalam silogisme logika Aristoteles yaitu, pertama, keduanya menggunakan premis mayor, premis minor dan pengambilan konklusi. Kedua, fungsi masing-masing premis dalam Qiya>s dan logika itu sama, yaitu mencari sebuah kesimpulan yang logis dan benar.31 Dalam kitabnya, al-Risa>lah, memang al-Sha>fi’i> tidak secara eksplisit mengutip atau membicarakan filsafat dan logika Aristoteles, akan tetapi metode yang dipakai dalam penyusunan al-Risa>lah menunjukkan adanya pengaruh logika Aristoteles. Menurut Mustafa Basya, unsurunsur logika yang tampak pada kitab alRisa>lah adalah penggunaan terma-terma yang dominan beserta klasifikasi sistematis dalam membahas suatu persoalan. Penggunaan terma-terma beserta klasifikasi ini mencerminkan kebiasaan ahli logika pada masa itu. Lebih jauh, al-Sha>fi’i> juga menggunakan metode diskusi dalam menjelaskan suatu permasalahan, sehingga seakan-akan ada dua orang yang berdebat dalam permasalahan hukum tersebut. Metode diskusi dalam al-Risa>lah ini banyak sekali dipenuhi oleh bentuk-bentuk logika seperti adanya inferensi, genus dan spesies.32 Kenyataan ini, menurut Margoliouth, menunjukkan bahwa al-Sha>fi’i> sangat mengenal logika Arsitoteles.33 Walaupun Hasan menyangkal kemungkinan al-Sha>fi’i> terpengaruh oleh logika Arsitoteles dalam pandangannya tentang Qiya>s, namun pengetahuan al-Sha>fi’i> tentang konsep-konsep logika Aristoteles,34 31 Muhammad Roy, Usul Fikih, 188-189. Ibid., 188. 33 Margoliouth, The Early Development of Muhammedanism (London:t.p., 1914), 97. 34 Hasan, Pintu Ijtihad, 186. 32 29 30 Ibid., 128. Ibid., 127. RELIGI, Vol. V, No. 1 | 19 Filsafat Aristoteles - Taufikurrahman menunjukkan adanya kontribusi pemikiran Aristoteles dalam produk pemikiran alSha>fi’i>. Pengaruh filsafat Aristoteles dalam Qiya>s al-Sha>fi’i>, menurut Roy, juga bisa dilacak dari genealogi keilmuan yang dimiliki oleh al-Sha>fi’i>. Berdasarkan guruguru yang banyak mempengaruhi keilmuannya, maka konsep Qiya>s al-Sha>fi’i> terlacak bersumber dari metode tashbih> (penyerupaan) dalam ilmu Balaghas (ilmu sastra Arab). Metode ini pertama kali dikenalkan oleh al-Khali>l b. Ah}mad alFaramdi> (w. 170 H) yang dilanjutkan oleh muridnya Sibawayh (w. 180 H). Mereka berdua adalah di antara para guru al-Sha>fi’i>, terutama dalam bidang gramatikal bahasa. Sementara, menurut al-Ja>biri>, al-Khalil dan Sibawayh banyak terinspirasi ilmu-ilmu Yunani termasuk logika Aristoteles dalam menyusun gramatika bahasa Arab secara umum.35 Artinya, walaupun tidak secara pasti, genealogi keilmuan yang dimiliki alSha>fi’i> menunjukkan kemungkinan adanya pengaruh pemikiran Aristoteles dalam konsep-konsep pemikirannya, salah satunya dalam bidang Usul Fikih, khususnya konsep Qiya>s. Pasca al-Sha>fi’i>, ternyata logika Aristoteles semakin besar pengaruhnya terhadap perkembangan Usul Fikih. Terutama setelah al-Ghaza>li> secara terangterangan menfatwakan logika Aristoteles sebagai salah satu syarat ijtihad. Berkaitan dengan peran logika dalam agama, Imam alGhaza>li> menyatakan bahwa “Logika adalah dasar ilmu pengetahuan, lebih dari sekedar pendahuluan atau cabang ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, siapa yang tidak mengetahui logika, maka ilmunya tidak dapat dipercaya”36 Berdasarkan fenomena diatas dapat dikatakan bahwa konsep Qiya>s Usul Fikih semenjak masa al-Sha>fi’i> diduga kuat sudah mengandung unsur-unsur logika Aristoteles dan semakin banyak teradopsi pada masa setelah al-Ghaza>li>. Namun sayangnya, masuknya unsur silogisme logika Aristoteles dalam Qiya>s semenjak masa alSha>fi’i>, menurut Hasan, ternyata menjadikan Qiya>s kurang berkembang dan kurang dinamis. Padahal sebelumnya Qiyas> merupakan suatu konsep penalaran yang dinamis, liberal dan akomodatif dalam menyikapi perkembangan hukum di masyarakat.37 Salah satu sebabnya adalah adanya pengadopsian yang parsial terhadap filsafat Aristoteles, yaitu metode deduktifsilogistik an sich dan cenderung mengabaikan metode induktif-empirik sehingga yang terjadi hanyalah pengungkapan yang sudah ada tanpa adanya peran akal untuk melakukan eksplorasi inovatif dalam rangka menemukan ide-ide baru yang orisinil. Muh}ammad ‘A<bid al-Ja>biri>, Tradisionalisme Islam, ter. Ahmad (Yogyakarta: LKiS, 2000), 88. 36 al-Ghaza>li>, al-Mustas}fa>, hal. 10. 37 35 20 | RELIGI, Vol. V, No. 1 Post Baso Konsep Maqa>s}id al-Shari>’ah Teori Usul Fikih lainnya, yang diduga mendapatkan pengaruh pemikiran Aristoteles adalah teori Maqa>shid alShari>’ah. Kata al-maqa>shid sendiri menurut Ahmad Raisuni, pertama kali digunakan oleh at-Turmudhi> al-H}a>kim, ulama yang hidup pada abad ke-3. Dialah, menurut Raisuni, yang pertama kali menyuarakan Maqa>sid al-Shari>’ah melalui buku-bukunya, al-S{ala>h wa Maqa>siduh, alH{ajj wa Asra>ruh, al-‘Illah, ‘Ilal al-Shari>’ah, ‘Ilal al-‘Ubu>diyyah dan juga bukunya alFuruq yang kemudian diadopsi oleh Imam al-Qarafi> menjadi judul buku 38 karangannya. Setelah al-H}a>kim kemudian muncul Abu> Mans}u>r al-Ma>turi>di>> (w. 333) dengan karyanya Ma’khad al-Shar’ disusul Abu> Bakr al-Qaffa>l al-Sha>shi> (w.365) dengan bukunya Us}u>l al-Fiqh dan Mah}a>sin alShari>’ah. Setelah al-Qaffal muncul Abu> Bakr al-Abhari> (w.375) dan al-Ba>qilla>ni> (w. 403) masing-masing dengan karyanya, diantaranya, Mas’alah al-Jawa>b wa al- Hasan, Pintu Ijtihad, 127. Ah}mad Raisu>ni>, Naz}ariyyat al-Maqa>s}id ‘inda alIma>m al-Sha>t}ibi> (Beirut: al-Muassasah al-Ja>mi’iyyah li al-Dira>sa>t wa al-Nashr wa al-Tawzi>‘, 1992), 32 38 Filsafat Aristoteles - Taufikurrahman Dala>il wa al ‘Illah dan al-Taqri>b wa alIrsha>d fi> Tarti>b T{uruq al-Ijtiha>d. Sepeninggal al-Ba>qilla>ni> muncullah alJuwayni>, al-Ghaza>li>, al-Ra>zi>, al-A<<midi>, Ibn Ha>jib, al-Bayd}a>wi>, al-Asnawi>, Ibn Subuki>, Ibn ‘Abd al-Sala>m, al-Qara>fi>, al-T{u>fi>, Ibn Taymiyyah dan Ibn Qayyim.39 Di belahan barat dunia Islam, teori maqa>sid al-shari>’ah dikembangkan oleh para ilmuwan muslim seperti Ibn Rushd dan mencapai formulasi yang cukup sitematis di tangan al-Sha>t}ibi>. Ibn Rushd, salah seorang fuqaha pengagum Aristoteles pernah menyatakan bahwa agama dan filsafat tidak akan pernah bertentangan. احلكمة يه صاحب الرشيعة واالخت الرضيعة “Filsafat merupakan sahabat karib syari’ah dan teman sesusuannya” Singkatnya, menurut Ibn Rushd, filsafat tidak bertentangan dengan agama. Bila di permukaan tampak perbedaan atau pertentangan, maka hal itu lebih karena faktor kekeliruan atau kekurangpahaman dalam menafsirkannya karena target atau sasaran yang dihadapi oleh agama adalah seluruh manusia, baik dari kalangan awam maupun tokoh-tokoh terpelajarnya. Maka sarana yang dipakai adalah sesuai dengan ukuran pemahaman kaum awam yaitu metode retorika (khit}a>biyyah), metode dialektika (jadaliyyah) dan metode persuasif (iqna>’iyyah). Meskipun demikian, agama tidaklah menafikan metode rasionalisme (burha>ni>), bahkan menganjurkannya agar menjadi sarana efektif bagi kalangan ulama atau kaum rasionalis (ash}a>b al-burha>n) untuk memahami agama secara rasional. Misalnya dengan metode ta’wil atau penafsiran rasional.40 Prinsip dasar yang harus dipatuhi oleh bentuk penafsiran rasional adalah maqa>s}id al-sha>ri’ (tujuan atau alasan-alasan mendasar pembuat syari’at). Prinsip dasar dalam disiplin agama ini serupa dengan yang berlaku dalam disiplin filsafat yaitu prinsip kausalita. Prinsip maqa>s}id al-sha>ri’ juga tergolong dalam kategori al-sabab algha>’i> (sebab akhir, final cause) sebagaimana yang diungkapkan Aristoteles. Jadi kalau dimensi rasionalitas disiplin ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu metafisika dibangun atas dasar prinsip kausalitas maka dimensi rasionalitas agama dibangun atas dasar prinsip maqa>sid alsha>ri’. Proyek yang diangkat oleh Ibn Rusyd ini, khususnya mengenai hubungan antara agama dan filsafat menawarkan satu pandangan baru yang sama sekali orisinil dan rasional. Dalam arti mampu menangkap dimensi rasionalitas dalam agama maupun dalam filsafat. Rasionalitas filsafat dibangun atas landasan keteraturan dan keajegan alam ini serta juga pada prinsip kausalitas, sedangkan rasionalitas agama dibangun atas dasar maksud dan tujuan sang pembuat syariah yang bermuara pada upaya membawa manusia kepada nilai-nilai kebajikan yang kemudian dirumuskan dalam bentuk konsep maqa>s}id al-shari>’ah. Di sinilah kita melihat konstribusi filsafat Aristoteles terhadap konsep awal maqa>s}id al-shari>ah.41 Pandangan sistemik-aksiomatik dan berpegang teguh pada maqa>s}id sebagai acuan membangun rasionalisme ini, kemudian dilanjutkan oleh al-Sha>t}ibi> dalam kerangka proyek pembaharuan disiplin Usul Fikih. Dalam proyek pengembangan disiplin Usul Fikih ini, al-Sha>t}ibi>, sebagaimana Ibnu Rusyd, banyak terinspirasi oleh filsafat Aristoteles. Persoalan yang muncul adalah, bagaimana mungkin membangun dimensi rasionalitas dalam agama atas dasar prinsip al-qat}i> (kepastian) yang sebanding dengan prinsip al-yaqi>n (keyakinan) dalam filsafat, sedangkan dalam agama sesuatu yang qat}’i> berasal dari teks agama, bukan dari penalaran. Menghadapi persoalan ini alSha>t}ibi> kemudian mengatakan bahwa 39 Aep Saepullah Darusmanwiati, Imam Syathibi: Bapak Maqa>s}id al-Shari>’ah Pertama http://Islamlib.com/id/idex.php?page=archive&made =author&id=76, Diakses 7 Nopember 2010. 40 al-Ja>biri>, Post Tradisionalisme, 163. Ibid, hal. 164-166; lihat juga Muh}ammad ‘A>bid al-Ja>biri>, Kritik Pemikiran Islam, terj. Burhan (Yoyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003), 164-166. 41 RELIGI, Vol. V, No. 1 | 21 Filsafat Aristoteles - Taufikurrahman semuanya bisa terjadi jika mengacu pada metode rasionalisme sehingga disiplin Usul Fikih pun didasarkan pada prinsip kulliyya>t al-shari>’ah (ajaran-ajaran universal agama) dan prinsip maqa>s}id al-shari>’ah. Prinsip kulliyya>t al-shari>’ah mempunyai posisi yang sama dengan al-kulliyyah al-‘aqliyyah (prinsip-prinsip universal) dalam filsafat, sedangkan maqa>s}id al-shari>’ah serupa dengan posisi al-sabab al-gha>’i> (final cause) yang berfungsi sebagai pembentuk unsur-unsur penalaran rasional.42 Metode yang digunakan untuk mencapai kulliyya>t al-Shari>’ah adalah metode induksi (istiqra>’iyyah) yaitu dengan meneliti sejumlah kasus-kasus spesifik (juz’iyyah) dalam masalah-masalah agama, utamanya masalah perintah dan larangan. Kemudian ditarik beberapa prinsip universal yang sifatnya universal-kuantitatif, namun tetap mengandung arti pasti (qat}’i>), karena ditarik dari sesuatu yang qat}’i> pula. Universalitas syariah ini tetap mengandung arti pasti dan yakin (al-qat}’i>), karena metode induksi yang berlaku di dalamnya dibangun atas dasar yang serupa dengan prinsip-prinsip dasar yang berlaku dalam tradisi ilmu-ilmu rasional.43 Menurut al-Sha>t}ibi>, setidaknya ada tiga prinsip dasar yang membuat universalitas syariah mengandung arti pasti dan yakin, yaitu: 1. Prinsip keumuman dan keterjangkauan, yaitu bahwa hukum-hukum agama bersifat umum, luas dan menjangkau semua objek takli>f (pembebanan), dan tidak berlaku spesifik untuk satu waktu dan tempat tertentu saja. 2. Prinsip kepastian dan ketidak-berubahan, yaitu bahwa hukum-hukum agama demikian juga, yang wajib tetap wajib, yang haram tetap haram. Apa yang menjadi sebab, tetap akan menjadi sebab, demikian juga dengan syariah akan tetap menjadi syariah. 3. Prinsip legalitas, yaitu bahwa posisi disiplin keilmuan ini menjadi penentu bukan malah didikte atau ditentukan oleh selainnya. Disiplin syariah terdiri atas perintah-perintah dan larangan yang tidak mungkin ada yang mengatasinya. Jadi sejumlah syarat yang harus dipenuhi dalam disiplin ilmu-ilmu rasional terpenuhi di dalamnya.44 Selanjutnya mengenai maqa>s}id alshari>’ah, al-Sha>t}ibi> mengatakan bahwa maqa>s}id al-shari>’ah terdiri dari empat unsur pokok, yaitu: Pertama, syariat Islam diturunkan dalam rangka kemaslahatan umat manusia. Kemaslahatan manusia tersebut terbagi dalam tiga tingkatan: d}aru>riyyah (kepentingan primer), h}a>jiyyah (kepentingan sekunder) dan tah}si>niyyah (kepentingan tersier/pelengkap). Kepentingan primer merupakan kepentingan yang harus selalu dipenuhi dalam kehidupan manusia mencakup lima kepentingan dasar (al-d}aru>riyyah al-khams) yaitu memelihara agama (h}ifz} al-di>n), memelihara jiwa (h}ifz} al-nafs), memelihara akal (h}ifz} al-‘aql), memelihara keturunan (h}ifz} al-nasl), dan memelihara harta benda (h}ifz} al-amwa>l). H{a>jiyyah atau kepentingan sekunder meliputi jumlah tak terbatas, seperti kebutuhan sandang, papan, dsb. Sedangkan tahsi>niyyah atau kepentingan tersier meliputi kebutuhan rekreasi.45 Kedua, syariat Islam diberlakukan untuk dipahami dan dihayati oleh umat manusia, karena Islam diturunkan dalam bahasa Arab dan dalam lingkungan sosial masyarakat Arab, maka untuk memahaminya perlu merujuk kepada apa yang dikenal oleh bangsa Arab baik mengenai bahasa maupun realitas sosial mereka.46 Ketiga, unsur ketiga dari maqa>sid alshari>’ah adalah takli>f yaitu pembebanan hukum-hukum agama kepada manusia. Rumusannya adalah setiap hukum yang 42 44 43 45 Ibid., 167. Abu> Isha>q al-Sha>t}ibi}, al-Muwa>faqa>t fi Us}u>l alShari>’ah, Jilid 2 (Beirut: Da>r al-Ma’rifah, t.th.), 53. 22 | RELIGI, Vol. V, No. 1 Ibid., Jilid 1, 77-78. Ibid., Jilid 2, 8. 46 Ibid., 69-82. Filsafat Aristoteles - Taufikurrahman berada di luar kesanggupan mukallaf (orang yang dibebani), secara syariah tidak akan dibebankan kepadanya, meskipun dimungkinkan oleh akal, karena Allah swt tidak akan membebani seseorang di luar kemampuan dan kesanggupannya.47 Keempat, unsur keempat atau terakhir dari maqa>s}id al-shari>’ah adalah melepaskan mukallaf dari belenggu dorongan hawa nafsunya sehingga ia akan menjadi hamba Allah secara kreatif sebagaimana ia menjadi hamba Allah secara kodrati.48 Hal yang menarik dari pemikiran alSha>t}ibi> tentang maqa>s}id al-shari>’ah adalah adanya kemiripan dengan beberapa konsep pemikiran Aristoteles. Kemiripan tersebut dapat dilihat pertama dari pola perumusan maqa>s}id al-shari>’ah yang menggunakan metode induksi (istiqra>’iyyah) yaitu dengan meneliti sejumlah kasus-kasus spesifik (juz’iyyah) dalam masalah-masalah agama. Pola pemikiran induktif, jika dilacak dari sejarah pemikiran merupakan hasil pemikiran Aristoteles yang berbasis pada empirisme dalam rangka merumuskan pengetahuan yang berasal dari alam. Jika Aristoteles menjadikan data-data yang ada di alam dalam rangka mengambil satu kesimpulan tentang konsep pengetahuan, maka al-Sha>t}ibi> menjadikan dalil-dalil naqli> dari al-Qur’an dan Hadis sebagai data awal untuk dirumuskan menjadi satu prinsip universal tentang maqa>s}id al-shari>’ah. Kemiripan ini kemudian dilanjutkan dengan rumusan maqa>s}id al-shari>’ah yang dijadikan sebagai titik ukur dalam memandang persoalan-persoalan spesifik berikutnya yang mungkin timbul di tengah masyarakat. Pola pemikiran seperti ini memiliki kemiripan dengan pola pemikiran Aristoteles yang bersifat deduktif silogistik sebagai tindak lanjut dari pola pemikiran induktif . Kemiripan kedua adalah pada empat unsur maqa>s}id al-shari>’ah yang digagas alSha>t}ibi>. Jika diperhatikan, empat unsur 47 48 Ibid., 107-111. Ibid., 168-170. maqa>s}id al-shari>’ah yang digagas alSha>t}ibi>, memiliki keserupaan dengan empat unsur konsep kausalitas Aristoteles. Hal ini menunjukkan adanya kemungkinan korelasi konsep maqa>s}id al-shari>’ah dengan konsep kausalitas Aristoteles yang juga terdiri dari empat unsur, yaitu: 1. Antara “sebab efisien (efficient cause)” dengan “pelepasan mukallaf dari belenggu hawa nafsu”. 2. Antara “sebab final (final cause)” dengan “kemaslahatan umat manusia”. 3. Antara “sebab material (material cause)” dengan “kemampuan mukallaf”. 4. Antara “sebab formal (formal cause)” dengan “kondisi sosio-historis masyarakat Arab”. Adanya kemiripan di atas menunjukkan adanya satu bukti tentang kontribusi filsafat Ariostoteles dalam pengembangan konsep maqa>s}id al-shari>’ah dalam disiplin Usul Fikih. Penutup Dari paparan di atas kita dapat melihat pengaruh filsafat Aristoteles terhadap pembentukan dan pengembangan disiplin Usul Fikih. Al-Sha>fi’i> dan alGhaza>li> mewakili belahan Timur dunia Islam sedangkan Ibn Rushd dan al-Sha>t}ibi> mewakili belahan Barat dunia Islam. Satu hal yang patut dicermati adalah bahwa masuknya filsafat Aristoteles dalam kedua wilayah tersebut memberikan pengaruh yang berbeda. Di belahan Timur, filsafat Aristoteles menjadi inspirasi lahirnya konsep Qiya>s yang ternyata menjadi konsep logika yang kontraproduktif, konsumtif dan cenderung tunduk pada hegemoni teks-teks agama. Sedangkan di belahan Barat menghasilkan konsep maqa>s}id al-shari>’ah yang inovatif dan produktif, yang ternyata banyak mewarnai perkembangan pemikiran fikih pada masa sesudahnya. Hal ini terjadi karena di belahan timur filsafat Aristoteles cenderung diambil secara parsial, yaitu logika formal yang bersifat deduktifsilogistik dan mengabaikan konsep induktifempiriknya, sedangkan di belahan Barat filsafat Aristoteles bisa ditampilkan secara RELIGI, Vol. V, No. 1 | 23 Filsafat Aristoteles - Taufikurrahman lebih utuh baik yang bersifat induktif maupun yang bersifat deduktif. Daftar Pustaka Asrohah, Hanun. 1999. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Logos. Bertens, K. 1998. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius Darusmanwiati, Aep Saepullah. Imam Syathibi:Bapak Maqa>shid alShari>’ah Pertama http://Islamlib.com/id/idex.php?page =archive&made= author&id=76, diakses 7 Nopember 2010. Ghaza>li> (al), Abu> H{a>mid. 1983. Al-Mustas}fa fi> ‘Ilm al-Us}ul. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Hadiwijono, Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Kanisius. Hakim, Atang Abdul dkk. 2008. Filsafat Umum dari Mitologi sampai Teofilosofi. Bandung: Pustaka Setia. Hasan, Ahmad. 1994. Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup. Bandung: Pustaka. Ja>biri> (al), Muh}ammad ‘A>bid. 2000. Post Tradisionalisme Islam. terj. Ahmad Baso. Yogyakarta: LKiS. ___________. 2003. Kritik Pemikiran Islam, terj. Burhan. Yoyakarta: Fajar Pustaka Baru. Katsof, Louis O. 1996. Pengantar Filsafat: Sebuah Buku Pegangan untuk Mengenal Filsafat., terj. Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana. Khallaf, Abdul Wahhab. 1996. Kaidahkaidah Hukum Islam. terj. Noer Iskandar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Lapidus, Ira M. 1991. A History of Islamic Societies. Cambridge: Ccambridge University Press. Lewis, Bernard. 1998. Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah. terj. Jamhuri. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. Ma’lu>f, Louis. 2000. al-Munjid. Beirut: Da>r al-Mashriq. 24 | RELIGI, Vol. V, No. 1 Madjid, Nurkholish. 1994. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Margoliouth. 1941. The Early Development of Muhammedanism. London: tp. Peursen, C.A. Van. 1980. Orientasi di Alam Filsafat. terj. Dick Hartoko. Jakarta: PT. Gramedia. Raisuni, Ahmad. 1992. Naz}ariyyat alMaqa>s}id ‘inda al-Ima>m al-Sha>t}ibi>. Beirut: al-Muassasah al-Ja>mi’iyyah li al-Dira>sa>t wa al-Nashr wa alTawzi>’. Rapas, J.H. 2001. Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Agustinus, Machiavelli. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Roy, Muhammad. 2004. Usul Fikih Madzhab Aristoteles. Yogyakarta: Safiria Insana Press. Sudarsono. 2001. Ilmu Filsafat: Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Syafe’i, Rachmat. 1999. Ilmu Usul Fikih. Bandung: Pustaka Setia. Sha>t}ibi> (al), Abu> Ish}a>q. t.th. Al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l al-Shari>’ah. Beirut: Da>r alMa’rifah. Tafsir, Ahmad. 2004. Filsafat Umum. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Yatim, Badri. 2000. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Zuh}ayli> (al), Wahbah. 1986. Us}u>l Fiqh alIsla>mi>. Beirut: Da>r al-Fikr.