Filsafat Aristoteles

advertisement
FILSAFAT ARISTOTELES DALAM USUL FIKIH:
Explorasi atas Latar Historis Perjalanan Usul Fikih
Taufikurrahman
Institut Dirosat Islamiah Al-Amien (IDIA) Prenduan Sumenep
e-mail: [email protected]
Abstrak: Usul fikih, seperti karya al-Sha>fi’i>
dan al-Sha>ti}bi>, diduga kuat banyak
mendapatkan pengaruh dari filsafat
Aristoteles yang masuk ke dunia pemikiran
Islam lewat proyek penerjemahan bukubuku Yunani ke dalam bahasa Arab pada
masa khalifah al-Ma’mu>n. Pengaruh
filsafat Aristoteles ini terlihat dalam
konstruk al-As}l dan ‘Illat Qiya>s al-Sha>fi’i>
yang memiliki substansi yang sama dengan
premis-premis dalam silogisme logika
Aristoteles. Unsur-unsur Maqa>s}id alShari>’ah al-Sha>ti}bi> memiliki kemiripan
dengan unsur-unsur prinsip kausalitas
Arsitoteles. Keagungan filsafat Aristoteles
ini mempengaruhi dunia pemikiran
keislaman saat itu. Hal ini menjadi sebuah
kewajaran pula jika kelak pemikir-pemikir
Muslim menjadikan ilmu-ilmu Yunani
sebagai rujukan utama dalam menentukan
arah baru peradaban Islam.
Abstract: Aristotle philosophy was assumed
to influence Islamic Jurisprudence such as
al-Sha>fi’i> and al-Sha>ti}bi through Greek
translation books into Arabic during Al
Ma’mun khalifah era. Mostly, they can be
seen from the similarity between al-As}l and
‘Illat Qiya>s al-Sha>fi’i> with the construction
of Aristoteles logic syllogism premises. The
element of Maqa>s}id al-Shari>’ah al-Sha>ti}bi> is
similar to the component of Aristotle's
causality principle. At that time, the
greatness of Aristotle philosophy influenced
Islamic thought. Therefore it is reasonable
that in the future, the Greek sciences and
knowledge will be used as references by
Islamic philosopher to determine the aim of
new Islamic civilization.
Keywords:Us}u>l al-Fiqh. Aristotle, Qiya>s,
Maqa>s}id al-Shari>’ah.
Kata Kunci: Usul Fikih, Aristoteles, Qiya>s,
Maqa>s}id al-Shari>’ah.
RELIGI, Vol. V, No. 1 | 13
Filsafat Aristoteles - Taufikurrahman
Pendahuluan
Kehidupan manusia pada dasarnya
merupakan
proses
berkelanjutan.
Kebudayaan yang ada di tengah-tengah
masyarakat tidak bisa dipisahkan dari
pengaruh kebudayaan masa lampau,
demikian
juga
perkembangan
ilmu
pengetahuan. Pada dasarnya perkembangan
ilmu pengetahuan merupakan proses
reformulasi dan rekonstruksi terhadap
tatanan pengetahuan di masa lampau. Hal
ini juga yang berlaku pada kebudayaan dan
khazana keilmuan umat Islam.
Ketika Islam lahir, bangsa Arab
telah dikelilingi oleh bangsa-bangsa yang
berkebudayaan tinggi seperti Persia,
Romawi, Yunani dan India. Sebagai
masyarakat yang baru lahir, Islam tentu saja
perlu mempelajari kebudayaan-kebudayaan
tersebut agar bisa memajukan dirinya dan
memiliki peradaban dan kebudayaan yang
tinggi juga. Upaya ini telah dilakukan oleh
umat Islam pada masa klasik, khususnya
pada masa Dinasti Umayyah dan mencapai
puncaknya pada masa Dinasti Abbasiyyah.1
Pemikiran Hellenistik atau Yunani
pertama kali menjadi perhatian umat Islam
setelah mereka tertarik kepada teologi.
Perdebatan antara umat Islam dan Kristen
yang diadakan di majelis-majelis oleh para
khalifah Dinasti Umayyah, menyebabkan
umat
Islam
mengenal
kebudayaan
Hellenistik, seperti istilah-istilah dalam
Hellenistik, argumen-argumen rasional dan
ilmu sastra.2
Ketertarikan ummat Islam terhadap
kebudayaan Yunani dilanjutkan dengan
adanya penerjemahan karya-karya Yunani
ke dalam Bahasa Arab. Penerjemahan bukubuku Yunani ke dalam bahasa Arab pertama
kali dilakukan pada masa Dinasti Umayyah.
Walaupun jumlah buku yang diterjemahkan
masih relatif sedikit, akan tetapi, hal
tersebut tetap memberikan satu warna
tersendiri dalam wacana interaksi antara
1
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam
(Jakarta:Logos, 1999), 26.
2
Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies
(Cambridge: Ccambridge University Press, 1991),
94; Lihat juga Asrohah, Sejarah Pendidikan, 28-29.
14 | RELIGI, Vol. V, No. 1
kebudayaan dan pengetahuan Yunani
dengan kebudayaan dan pengetahuan
Islam.3
Tahun 800-1000 M atau tepatnya
pada masa pemerintahan Khalifah Ha>ru>n alRashi>d (789-809 M) dan putranya alMa’mu>n (813-833 M), Khilafah Islamiyah
mencapai
puncak
kejayaannya.
Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan,
ilmu
pengetahuan,
kebudayaan
dan
kesusastraan
berada
pada
masa
keemasannya. Khalifah al-Ma’mu>n yang te
rkenal sangat cinta ilmu melakukan
proyek penerjemahan besar-besaran bukubuku Yunani ke dalam bahasa Arab.4
Begitu
banyaknya
karya-karya
warisan Yunani yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab, sehingga Bernard
sampai menyatakan bahwa Islam adalah
pewaris pusaka Hellenisme ketiga setelah
Greek
dan
Latin
Christendom.5
Penerjemahan buku-buku Yunani ini pada
gilirannya mempengaruhi pola pemikiran
yang berkembang di kalangan intelektual
Muslim pada masa itu. Gelombang
hellenisme mulai merambah dunia Islam.
Salah satu pemikir Yunani yang
banyak memberikan pengaruh pada
perkembangan pemikiran keislaman adalah
Aristoteles. Dari Aristoteleslah, para ulama
Islam banyak mengambil pengetahuan,
terutama metode berpikir sistematis dan
rasional di samping pengetahuan lainnya
seperti biologi, ilmu bumi, matematika dan
lain-lain. Mereka memandangnya sebagai
“al-Mu’allim al-Awwal” (Guru Pertama).
Aristotelianisme, dengan begitu, menjadi
bagian integral dari khazanah pemikiran
dalam Islam.6
Dalam tulisan singkat ini penulis
mencoba untuk menelaah tentang kontribusi
3
Ibid., 29.
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:
PT Raja grafindo Persada, 2000), 53. Lihat juga C.A.
Van Peursen, Orientasi di Alam Filsafat, ter. Dick
Hartoko (Jakarta: PT Gramedia, 1980), 132.
5
Bernard Lewis, Bangsa Arab dalam Lintasan
Sejarah ter. Jamhuri (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,
1998), 140.
6
Nurkholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam
(Jakarta: Bulan Bintang, 1994), 23-24.
4
Filsafat Aristoteles - Taufikurrahman
filsafat Aristoteles terhadap pembentukan
dan pengembangan disiplin usul fikih dalam
khazanah pemikiran Islam.
Sekilas tentang Aristoteles dan
Bangunan Keilmuannya
Aristoteles lahir di kota Stagira
Semenanjung Kalkidike di Trasia (Balkan)
pada tahun 384 SM. Ia adalah anak
Nicomachus,
seorang
dokter
Istana
Macedonia pada masa pemerintahan Raja
Amyntes II. Ayahnya meninggal ketika ia
masih anak-anak.7 Kemudian ia diambil
sebagai anak angkat oleh Proxenus yang
memberikan pendidikan yang istimewa
kepadanya. Ketika berusia 18 tahun,
Aristoteles dikirim ke Athena untuk belajar
di Akademia Plato. Di sana dia belajar
selama kurang lebih 20 tahun sampai Plato
meninggal dunia.8
Selain memperdalam filsafat kepada
Plato,
Aristoteles
memperluas
pengetahuannya dalam berbagai bidang di
luar Akademia. Pelajaran matematika yang
diperoleh di Akademia, diperdalam olehnya
kepada guru-guru astronomi yang terkenal,
yaitu Eudoxos dan Kalippos. Bahkan ia juga
memperdalam retorika. Dengan demikian,
Aristoteles memperoleh pengetahuan yang
cukup luas. Kecerdasan yang dimilikinya
juga memudahkan Arsitoteles menguasai
sampai mendalam hampir semua ilmu yang
ada di masanya. 9
Aristoteles menjadi lebih dikenal
luas oleh masyarakat karena ia pernah
menjadi tutor Alexander, putra Philip dari
Macedonia, seorang diplomat ulung dan
jenderal yang terkenal. Sebagai tutor
Alexander,
Aristoteles
mempunyai
pengaruh yang besar terhadap sejarah dunia.
Segenap ide, rencana dan pola pikir
Aristoteles banyak diterima dan diterapkan
oleh Alexander. Antara tahun 340-335 SM
Aristoteles menekuni riset di Stagira,
dibantu oleh Theoprastus yang juga
alumnus Athena. Riset yang dibiayai oleh
Alexander ini menghasilkan kemajuan
dalam sains dan filsafat.10
Ketika Alexander berperang di Asia
pada tahun 334 SM Aristoteles kembali ke
Athena dan mendirikan sekolah yang
bernama Lyceun. Berdirinya
Lyceun
menyebabkan terjadinya persaingan antara
Akademia dan Lyceun. Persaingan ini
mendorong Aristoteles untuk meningkatkan
penelitiannya. Hasilnya, ia tidak hanya
dapat menjelaskan prinsip-prinsip sains,
akan tetapi juga mengajarkan politik,
retorika dan dialektika.11
Lama-kelamaan posisinya di Athena
menjadi tidak nyaman karena ia adalah
teman Alexander. Orang-orang Athena yang
anti Macedonia memandang Aristoteles
menyebarluaskan pengaruh yang bersifat
subversif, sehingga Aristoteles kemudian
meninggalkan Athena dan pindah ke Kalkis.
Aristoteles meninggal di Kalkis pada tahun
322 SM.12
Walaupun banyak berguru kepada
Plato, Aristoteles mempunyai pandangan
yang berbeda dengan Plato. Latar belakang
keluarganya yang mempunyai pola pikir
saintifik mempunyai pengaruh besar
terhadap pola pemikiran Aristoteles.13
Untuk mengetahui karakter dasar bangunan
epistemologi
Aristoteles
dan
posisi
Aristoteles dalam hal metode pencapaian
ilmu pengetahuan (episteme), akan lebih
baik kalau kita melihat permasalahan krusial
Yunani klasik, yaitu debat epistemologis
antara Aristoteles dengan gurunya, Plato.
Plato berpendapat bahwa sumber
pengetahuan adalah alam ide yaitu alam
yang telah ada sebelum manusia dilahirkan
ke dunia. Dalam alam ini, jiwa manusia
telah mengetahui banyak hal, namun
pengetahuan yang telah ada itu menjadi
7
J.H. Rapas., Filsafat Politik Plato, Aristoteles,
Agustinus, Machiavelli (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2001), 139.
8
Muhammad Roy, Usul Fikih Madzhab Aristoteles
(Yogyakarta: Safiria Insana Press, 2004), 89.
9
Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebeni,
Filsafat Umum Dari Mitologi Sampai Teofilosofi
(Bandung Pustaka Setia, 2008), 215.
10
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung: PT
Remaja Rosda Karya, 2004), 60.
11
Ibid., lihat juga K. Bertens, Ringkasan Sejarah
Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1998), 14.
12
Ibid.
13
Tafsir, Filsafat Umum, 59.
RELIGI, Vol. V, No. 1 | 15
Filsafat Aristoteles - Taufikurrahman
hilang ketika jiwa bersatu dengan jasad.
Akan tetapi, pengetahuan yang tersimpan itu
bisa dimunculkan kembali dengan jalan
mengingat-ingat atau kontemplasi. Jadi pada
intinya, proses pencapaian dan pencarian
ilmu pengetahuan bagi manusia adalah
melalui penggalian pada alam ide. Teori
Plato ini merupakan cikal bakal lahirnya
aliran Idealisme atau Rasionalisme.
Sedangkan metode yang digunakan untuk
mendapatkan pengetahuan baru, menurut
Plato adalah deduksi yaitu menerapkan
sesuatu yang umum untuk menjelaskan
yang khusus.14
Aristoteles rupanya tidak sepakat
dengan gurunya ini. Ia berpendapat bahwa
kebaikan itu diperoleh dengan jalan alam,
pembiasaan dan pembukaan akal. Sumber
pengetahuan yang sebenarnya adalah
pengetahuan inderawi yang didapat lewat
pengalaman.
Artinya
bahwa
ilmu
pengetahuan itu hanya bisa didapatkan oleh
panca indera manusia yang nyata, bukan
melalui penerangan atau idea. Oleh karena
itu, jika manusia tidak memiliki pengalaman
dalam segala bentuknya, ia tidak akan
mengetahui realitas apapun. Aristoteles
tidak mengenal adanya pengetahuan ide
atau rasio yang mendahului pengalaman,
karena baginya hanya pengalaman empirik
sebagai
satu-satunya
asas
untuk
mendapatkan penilaian yang benar.15
Pendapat Aristoteles ini menjadi embrio
lahirnya Empirisisme. Metode yang
digunakan Aristoteles dalam merumuskan
sesuatu yang baru adalah induksi, yaitu
penyimpulan dari hal-hal yang khusus yang
ditangkap oleh indera menjadi sesuatu yang
sifatnya umum atau universal. Metode
induksi inilah yang dikembangkan oleh
Aristoteles guna mendapatkan pengetahuan.
Pandangan Aristoteles yang bersifat
empiris kemudian juga menghasilkan suatu
14
Muhammad Roy, Usul Fikih, hal. 207; Lihat juga
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat vol. 1
(Yogyakarta: Kanisius, 1980), 40-41.
15
Louis O. Katsof, Pengantar Filsafat: sebuah buku
pegangan untuk mengenal Filsafat., ter. Soejono
Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996),
136-138.
16 | RELIGI, Vol. V, No. 1
prinsip kausalitas terhadap segala kejadian
di alam ini, yaitu bahwa segala kejadian
yang ada di alam ini merupakan hasil dari
suatu sebab dan akibat. Menurut Aristoteles
ada empat macam sebab yang harus
dipahami untuk mengartikan sebuah
kejadian. Keempat sebab itu adalah:
1. Sebab Efisien (Efficient Cause) yang
merupakan sumber kejadian. Sebab
efisien adalah faktor yang menjalankan
kejadian. Misalnya tukang kayu yang
membikin kursi.
2. Sebab Final (Final Cause) yaitu tujuan
yang menjadi arah seluruh kejadian.
Misalnya kursi dibuat agar orang dapat
duduk diatasnya.
3. Sebab Material (Material Cause) yaitu
bahan yang darinya suatu benda dibuat.
Misalnya kursi dibuat dari kayu.
4. Sebab Formal (Formal Cause) yaitu
bentuk yang menyusun bahan. Misalnya,
bentuk “kursi” di tambah pada kayu,
sehingga kayu tersebut menjadi sebuah
kursi.
Aristoteles memaksudkan bahwa dengan itu
ia memberikan daftar komplit yang memuat
semua faktor yang dapat menyebabkan
suatu kejadian.16
Pada perkembangannya, paham
empiris
Aristoteles
tidak
hanya
menggunakan metode induksi saja, akan
tetapi juga menggunakan metode deduksi,
yaitu suatu penalaran silogistik yang
berangkat dari pemikiran umum menuju
sesuatu yang khusus. Metode silogistik ini
merupakan perpanjangan dari penemuan
keilmuan yang premis mayornya diambil
dari penalaran induksi melalui pengamatan
inderawi terhadap realitas yang ada.17
Metode
deduktif-silogistik
ini
diambil dari adanya prinsip keteraturan
alam semesta menurut kaum empiris.
Artinya alam jagad raya ini pada dasarnya
mempunyai sifat teratur, konstan dan
seirama sejak dahulu sampai sekarang
bahkan sampai akhir nanti. Dengan
demikian, menurut kaum empiris, manusia
16
Sudarsono, Ilmu Filsafat: Suatu Pengantar
(Jakarta: PT Rineka Cipta, 2001), 51.
17
Muhammad Roy, Usul Fikih, 208.
Filsafat Aristoteles - Taufikurrahman
dapat membaca alam yang akan datang
berdasarkan gambaran yang telah terjadi
pada masa lalu atau sekarang.18
Selain prinsip keteraturan, metode
deduktif-silogistik juga diambil dari prinsip
keserupaan dalam menyimpulkan sesuatu.
Keserupaan berarti bahwa bila terdapat
gejala-gejala yang berdasarkan pengalaman
adalah identik atau sama, maka dapat
diambil kesimpulan yang sama pula.
Aristoteles
sebagai
Bapak
Empirisme pada kenyataannya sering
menggunakan kedua metode tersebut, yaitu
induksi dan deduksi dalam upaya
menemukan suatu pengetahuan baru.
Induksi digunakan untuk menyimpulkan
hal-hal universal yang ada di alam, yang
selanjutnya dijadikan sebagai suatu kaedah
umum dalam metode deduksi untuk
mengambil kesimpulan baru yang lebih
khusus berdasarkan prinsip keserupaan.
Dengan demikian, sebenarnya bangunan
epistemologi Aristoteles secara umum
adalah berangkat dari prinsip induksi yang
kemudian dilanjutkan dengan prinsip
deduksi.19
Pada perkembangan selanjutnya,
Aristoteles menyusun suatu ilmu baru yaitu
logika dengan tujuan agar manusia tidak
salah dalam mengambil kesimpulan. Prinsip
logika sesungguhnya berangkat dari metode
deduktif yang merupakan kelanjutan metode
induktif dalam bangunan epistemologi
Aristoteles. Salah satu kaedah logika
Aristoteles yang paling terkenal adalah
rumus silogisme yang terdiri dari premis
mayor, premis minor dan konklusi.20
Metode silogistik inilah yang sering
dinisbahkan pada Aristoteles sehingga
Aristoteles dianggap sebagai penganut teori
deduktif tanpa memperhatikan bahwa ia
juga seorang empiris yang menganut teori
induksi.
kata as}l yang berarti dasar atau asal,21 dan
kata fiqh yang berarti fahm (pemahaman).22
Jadi secara bahasa Usul Fikih berarti dasardasar pemahaman. Sedangkan secara istilah
Usul Fikih adalah pengetahuan tentang
kaedah dan penjabarannya yang dijadikan
pedoman dalam menetapkan hukum syariat
Islam mengenai perbuatan manusia, di mana
kaedah itu bersumber dari dalil-dalil agama
secara rinci dan jelas.23
Dasar-dasar Usul Fikih sebenarnya
sudah ada sejak masa Nabi Muhammad dan
generasi sahabat. Masalah utama yang
menjadi bagian Usul Fikih, seperti ijtiha>d,
Qiya>s, nasakh, dan takhs}i>s} sudah ada pada
zaman Rasulullah dan sahabat. Hanya saja
semua itu masih ada dalam tataran
pemikiran pada masing-masing pribadi dan
belum terkonstruk secara sistematis dalam
satu teori pemikiran.
Pada masa tabiin, cara istinbat> }
(menggali) hukum semakin berkembang. Di
antara mereka ada yang menempuh metode
mas}lah}ah atau metode Qiya>s di samping
berpegang pula pada fatwa sebelumnya.
Pada masa tabiin inilah mulai tampak
perbedaan-perbedaan mengenai hukum
sebagai konsekuensi logis dari perbedaan
metode yang digunakan oleh para ulama
ketika itu.
Al-Sha>fi’i> merupakan orang yang
dianggap sebagai peletak dasar Usul Fikih.
Hal ini karena al-Sha>fi’i>-lah yang pertama
kali menjelaskan konsep Usul Fikih secara
sistematis dalam kitab al-Risa>lah. Pasca alSha>fi’i>, Usul Fikih semakin berkembang
sebagai disiplin ilmu tersendiri.24
Secara global, kaidah-kaidah Usul
Fikih bersumber dari naql (al-Qur’an dan
Sunnah), ‘Aql (prinsip-prinsip dan nilainilai), bahasa (us}u>l al-tah}li>l al-lughawi>).
Sedangkan objek pembahasan Usul Fikih
Sekilas tentang Usul Fikih
Secara bahasa Usul Fikih berasal
dari kata Usul yang merupakan jamak dari
21
18
Ibid.
Ibid.
20
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah, 47.
19
Louis Ma’lu>f, al-Munjid (Beirut: Da>r al-Mashriq,
2000), 12.
22
Ibid, 591.
23
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum
Islam, (terj.) Noer Iskandar (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1996), 3.
24
Rachmat Syafe’i, Ilmu Usul Fikih
(Bandung:Pustaka Setia, 1999), 27-30.
RELIGI, Vol. V, No. 1 | 17
Filsafat Aristoteles - Taufikurrahman
adalah dalil syariat yang umum dipandang
dari ketetapan-ketetapan hukum yang umum
pula.25 Menurut al-Ghazali objek kajian
Usul Fikih bisa diperinci menjadi empat hal
utama yaitu, pertama, buah ilmu Usul Fikih
(al-thamrah) yang meliputi hukum-hukum
dan yang berkaitan dengannya. Kedua,
pemberi buah (al-muthmirah) yang meliputi
dalil-dalil umum seperti al-Qur’an, Sunnah,
dan Ijma’. Ketiga, metode pengambilan
buah (turuq al-istithma>r) yang meliputi
metode kebahasaan dan kemaknaan.
Keempat, pengambil buah (al-muthathmir)
yang meliputi kriteria orang yang berhak
disebut mujtahid.26
Sedangkan manfaat dan kegunaan
ilmu Usul Fikih menurut Wahbah alZuh}ayli> antara lain adalah sebagai berikut:
1. Manfaat
secara
historis,
yaitu
mengetahui kaedah-kaedah dan caracara yang digunakan mujtahid dalam
memperoleh hukum melalui metode
ijtihad yang mereka susun.
2. Manfaat teoritis dan praktis, yaitu
memberikan gambaran mengenai syaratsyarat yang harus dimiliki seorang
mujtahid sehingga dapat menggali
hukum-hukum syara’ dan nash yang
tepat.
3. Manfaat dalam ijtihad yaitu menentukan
hukum melalui berbagai metode yang
dikembangkan para mujtahid sehingga
berbagai persoalan baru yang belum ada
dalam nash dan belum dibahas para
ulama terdahulu dapat ditentukan
hukumnya.
4. Manfaat komparatif, yaitu dapat
membandingkan tata cara pengambilan
hukum yang dilakukan para mujtahid,
sehingga dapat diketahui metode mana
yang terkuat diantara metode-metode
yang ada.
5. Manfaat sosial, yaitu dapat menyusun
kaedah-kaedah umum yang dapat
diterapkan dalam rangka menetapkan
hukum atas berbagai persoalan sosial
yang terus berkembang.27
Kontribusi Filsafat Aristoteles dalam
Pengembangan Usul Fikih.
Pada dasarnya perkembangan ilmu
pengetahuan merupakan proses reformulasi
dan
rekonstruksi
terhadap
tatanan
pengetahuan di masa lampau. Usul Fikih
sebagai ilmu yang berkembang di kalangan
ulama Muslim pada dasarnya juga tidak bisa
dipisahkan dari pengaruh peradaban yang
ada pada masa sebelumnya. Peradaban yang
berkembang sebelumnya menjadi salah satu
faktor eksternal, di samping faktor internal
yang ada dalam dunia pemikiran Islam
sendiri. Salah satu faktor eksternal yang
diduga kuat memberikan konstribusi yang
cukup besar terhadap perkembangan Usul
Fikih adalah filsafat Aristoteles. Filsafat ini
masuk ke dalam dunia pemikiran Islam
lewat proyek penerjemahan buku-buku
Yunani ke dalam bahasa Arab.
Pada paparan berikut penulis
memberikan
contoh
pengaruh
dan
konstribusi filsafat Aristoteles dalam
penyusunan dan pengembangan Usul Fikih
di dunia Islam.
Konsep Qiya>s
Salah satu teori Usul Fikih yang
diduga mendapatkan pengaruh pemikiran
Arsitoteles adalah konsep Qiya>s. Secara
sederhana, Qiya>s adalah perbandingan
antara dua hal yang sejajar dalam
keserupaannya.
Qiya>s
merupakan
sistemisasi dari ra’y (nalar) sebagai
pendapat yang bijaksana dan cermat dari
seseorang yang berhasrat mencapai suatu
keputusan yang cermat. Seperti halnya ra’y,
doktrin Qiya>s, menurut Hasan, muncul
akibat desakan kebutuhan sosial.28
Qiya>s dalam tahap awal sangat
sederhana dan tidak pelik. Gagasan tentang
premis mayor dan premis minor yang logis
dengan faktor esensial yang sama masih
Wahbah al-Zuh}ayli>, Us{u>l Fiqh al-Isla>mi>, Jilid 1
(Beirut: Da>r al-Fikr, 1986), 30-31.
28
Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup
(Bandung: Pustaka, 1994), 126.
27
25
Ibid.
26
Abu> H{a>mid al-Ghaza>li>, al-Mustas}fa> fi> ‘Ilm al-Us{u>l,
Jilid 1 (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1983), 9.
18 | RELIGI, Vol. V, No. 1
Filsafat Aristoteles - Taufikurrahman
belum ada. Qiya>s waktu itu hanya
merupakan preseden yang mirip atau sebuah
kasus yang analog. Ibnu Abbas, misalnya,
ketika ditanya tentang ganti rugi yang
ditetapkan bagi cacat pada gigi geraham,
menyatakan bahwa gigi geraham memiliki
nilai yang sama dengan gigi lainnya.
Sebagaimana jari-jari, yang nilainya sama,
tanpa memandang perbedaan ukuran. 29
Orang-orang
Madinah,
juga
menggunakan Qiya>s dalam memutuskan
kasus-kasus hukum, akan tetapi Qiyas>
mereka juga tidak formal dan kaku. Katakata seperti mathal, ka (seperti) dan bi
manzilah (sama dengan) merupakan istilah
yang umum dipakai untuk menyatakan
keserupaan antara dua persoalan yang
sejajar. Di Iraq, pada periode sebelum alSha>fi’i>, Qiya>s juga dilaksanakan dalam
pengertian yang lebih luas, yang familiar
dengan istilah ra’y.
Namun sifat Qiya>s yang cenderung
liberal ini kemudian dimodifikasi oleh alSha>fi’i>. Al-Sha>fi’i> memandang bahwa
penggunaan Qiya>s pada waktu itu
cenderung
terlalu
bebas
sehingga
dikhwatirkan akan keluar dari ketentuan
hukum yang sebenarnya sebagaimana yang
diinginkan Allah dan Rasul-Nya. Untuk itu,
al-Sha>fi’i> kemudian memberikan batasanbatasan yang ketat dalam penggunaan
Qiya>s, di antaranya adalah terpenuhinya
prinsip al-ashl, dan al-far’. Dengan konsep
ini al-Sha>fi’i> ingin membawa Qiya>s yang
dianggapnya terlalu bebas menjadi lebih
dekat kepada nas}. 30
Teori Qiya>s yang digagas oleh alSha>fi’i> diduga mendapat pengaruh dari
konsep logika Aristoteles. Konsep Qiyas>
yang dimunculkan oleh al-Sha>fi’i> ini
merupakan teori yang baru yaitu tata cara
pengambilan suatu hukum berdasarkan
beberapa syarat ketat yang disandarkan pada
nas} (al-Qur’an dan Hadis). Pembakuan
Qiya>s ini menjadikan sifat Qiya>s berbeda
dari sebelumnya, yang dipahami sebagai
legal reasoning yang fleksibel dan dinamis.
Dalam pembakuan teori Qiya>s ini, al-Sha>fi’i>
memang tidak pernah menyebutkan secara
eksplisit syarat-syarat khusus bagi Qiya>s,
namun berdasarkan contoh-contoh yang
diberikan, harus memenuhi empat syarat
seperti yang dikemukakan oleh ulama
sesudahnya yaitu as}l, far’. Hukum al-‘as}l
dan ‘Illat Qiya>s yang dicontohkan oleh alSha>fi’i> ternyata memiliki substansi yang
sama
dengan
premis-premis
dalam
silogisme logika Aristoteles yaitu, pertama,
keduanya menggunakan premis mayor,
premis minor dan pengambilan konklusi.
Kedua, fungsi masing-masing premis dalam
Qiya>s dan logika itu sama, yaitu mencari
sebuah kesimpulan yang logis dan benar.31
Dalam
kitabnya,
al-Risa>lah,
memang al-Sha>fi’i> tidak secara eksplisit
mengutip atau membicarakan filsafat dan
logika Aristoteles, akan tetapi metode yang
dipakai dalam penyusunan al-Risa>lah
menunjukkan adanya pengaruh logika
Aristoteles. Menurut Mustafa Basya, unsurunsur logika yang tampak pada kitab alRisa>lah adalah penggunaan terma-terma
yang dominan beserta klasifikasi sistematis
dalam
membahas
suatu
persoalan.
Penggunaan terma-terma beserta klasifikasi
ini mencerminkan kebiasaan ahli logika
pada masa itu. Lebih jauh, al-Sha>fi’i> juga
menggunakan metode diskusi dalam
menjelaskan suatu permasalahan, sehingga
seakan-akan ada dua orang yang berdebat
dalam permasalahan hukum tersebut.
Metode diskusi dalam al-Risa>lah ini banyak
sekali dipenuhi oleh bentuk-bentuk logika
seperti adanya inferensi, genus dan
spesies.32
Kenyataan
ini,
menurut
Margoliouth, menunjukkan bahwa al-Sha>fi’i>
sangat mengenal logika Arsitoteles.33
Walaupun Hasan menyangkal kemungkinan
al-Sha>fi’i>
terpengaruh
oleh
logika
Arsitoteles dalam pandangannya tentang
Qiya>s, namun pengetahuan al-Sha>fi’i>
tentang konsep-konsep logika Aristoteles,34
31
Muhammad Roy, Usul Fikih, 188-189.
Ibid., 188.
33
Margoliouth, The Early Development of
Muhammedanism (London:t.p., 1914), 97.
34
Hasan, Pintu Ijtihad, 186.
32
29
30
Ibid., 128.
Ibid., 127.
RELIGI, Vol. V, No. 1 | 19
Filsafat Aristoteles - Taufikurrahman
menunjukkan adanya kontribusi pemikiran
Aristoteles dalam produk pemikiran alSha>fi’i>.
Pengaruh filsafat Aristoteles dalam
Qiya>s al-Sha>fi’i>, menurut Roy, juga bisa
dilacak dari genealogi keilmuan yang
dimiliki oleh al-Sha>fi’i>. Berdasarkan guruguru
yang
banyak
mempengaruhi
keilmuannya, maka konsep Qiya>s al-Sha>fi’i>
terlacak bersumber dari metode tashbih>
(penyerupaan) dalam ilmu Balaghas (ilmu
sastra Arab). Metode ini pertama kali
dikenalkan oleh al-Khali>l b. Ah}mad alFaramdi> (w. 170 H) yang dilanjutkan oleh
muridnya Sibawayh (w. 180 H). Mereka
berdua adalah di antara para guru al-Sha>fi’i>,
terutama dalam bidang gramatikal bahasa.
Sementara, menurut al-Ja>biri>, al-Khalil dan
Sibawayh banyak terinspirasi ilmu-ilmu
Yunani termasuk logika Aristoteles dalam
menyusun gramatika bahasa Arab secara
umum.35 Artinya, walaupun tidak secara
pasti, genealogi keilmuan yang dimiliki alSha>fi’i> menunjukkan kemungkinan adanya
pengaruh pemikiran Aristoteles dalam
konsep-konsep pemikirannya, salah satunya
dalam bidang Usul Fikih, khususnya konsep
Qiya>s.
Pasca al-Sha>fi’i>, ternyata logika
Aristoteles semakin besar pengaruhnya
terhadap perkembangan Usul Fikih.
Terutama setelah al-Ghaza>li> secara terangterangan menfatwakan logika Aristoteles
sebagai salah satu syarat ijtihad. Berkaitan
dengan peran logika dalam agama, Imam alGhaza>li> menyatakan bahwa “Logika adalah
dasar ilmu pengetahuan, lebih dari sekedar
pendahuluan atau cabang ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu, siapa yang tidak
mengetahui logika, maka ilmunya tidak
dapat dipercaya”36
Berdasarkan fenomena diatas dapat
dikatakan bahwa konsep Qiya>s Usul Fikih
semenjak masa al-Sha>fi’i> diduga kuat sudah
mengandung unsur-unsur logika Aristoteles
dan semakin banyak teradopsi pada masa
setelah al-Ghaza>li>. Namun sayangnya,
masuknya
unsur
silogisme
logika
Aristoteles dalam Qiya>s semenjak masa alSha>fi’i>,
menurut
Hasan,
ternyata
menjadikan Qiya>s kurang berkembang dan
kurang dinamis. Padahal sebelumnya Qiyas>
merupakan suatu konsep penalaran yang
dinamis, liberal dan akomodatif dalam
menyikapi perkembangan hukum di
masyarakat.37 Salah satu sebabnya adalah
adanya pengadopsian yang parsial terhadap
filsafat Aristoteles, yaitu metode deduktifsilogistik
an sich
dan cenderung
mengabaikan
metode
induktif-empirik
sehingga
yang
terjadi
hanyalah
pengungkapan yang sudah ada tanpa adanya
peran akal untuk melakukan eksplorasi
inovatif dalam rangka menemukan ide-ide
baru yang orisinil.
Muh}ammad
‘A<bid
al-Ja>biri>,
Tradisionalisme
Islam,
ter.
Ahmad
(Yogyakarta: LKiS, 2000), 88.
36
al-Ghaza>li>, al-Mustas}fa>, hal. 10.
37
35
20 | RELIGI, Vol. V, No. 1
Post
Baso
Konsep Maqa>s}id al-Shari>’ah
Teori Usul Fikih lainnya, yang
diduga mendapatkan pengaruh pemikiran
Aristoteles adalah teori Maqa>shid alShari>’ah.
Kata al-maqa>shid sendiri
menurut Ahmad Raisuni, pertama kali
digunakan oleh at-Turmudhi> al-H}a>kim,
ulama yang hidup pada abad ke-3. Dialah,
menurut Raisuni, yang pertama kali
menyuarakan Maqa>sid al-Shari>’ah melalui
buku-bukunya, al-S{ala>h wa Maqa>siduh, alH{ajj wa Asra>ruh, al-‘Illah, ‘Ilal al-Shari>’ah,
‘Ilal al-‘Ubu>diyyah dan juga bukunya alFuruq yang kemudian diadopsi oleh Imam
al-Qarafi>
menjadi
judul
buku
38
karangannya.
Setelah al-H}a>kim kemudian muncul
Abu> Mans}u>r al-Ma>turi>di>> (w. 333) dengan
karyanya Ma’khad al-Shar’ disusul Abu>
Bakr al-Qaffa>l al-Sha>shi> (w.365) dengan
bukunya Us}u>l al-Fiqh dan Mah}a>sin alShari>’ah. Setelah al-Qaffal muncul Abu>
Bakr al-Abhari> (w.375) dan al-Ba>qilla>ni> (w.
403) masing-masing dengan karyanya,
diantaranya, Mas’alah al-Jawa>b wa al-
Hasan, Pintu Ijtihad, 127.
Ah}mad Raisu>ni>, Naz}ariyyat al-Maqa>s}id ‘inda alIma>m al-Sha>t}ibi> (Beirut: al-Muassasah al-Ja>mi’iyyah
li al-Dira>sa>t wa al-Nashr wa al-Tawzi>‘, 1992), 32
38
Filsafat Aristoteles - Taufikurrahman
Dala>il wa al ‘Illah dan al-Taqri>b wa alIrsha>d fi> Tarti>b T{uruq al-Ijtiha>d.
Sepeninggal al-Ba>qilla>ni> muncullah alJuwayni>, al-Ghaza>li>, al-Ra>zi>, al-A<<midi>, Ibn
Ha>jib, al-Bayd}a>wi>, al-Asnawi>, Ibn Subuki>,
Ibn ‘Abd al-Sala>m, al-Qara>fi>, al-T{u>fi>, Ibn
Taymiyyah dan Ibn Qayyim.39
Di belahan barat dunia Islam, teori
maqa>sid al-shari>’ah dikembangkan oleh
para ilmuwan muslim seperti Ibn Rushd dan
mencapai formulasi yang cukup sitematis di
tangan al-Sha>t}ibi>. Ibn Rushd, salah seorang
fuqaha pengagum Aristoteles pernah
menyatakan bahwa agama dan filsafat tidak
akan pernah bertentangan.
‫احلكمة يه صاحب الرشيعة واالخت الرضيعة‬
“Filsafat merupakan sahabat karib
syari’ah dan teman sesusuannya”
Singkatnya, menurut Ibn Rushd,
filsafat tidak bertentangan dengan agama.
Bila di permukaan tampak perbedaan atau
pertentangan, maka hal itu lebih karena
faktor kekeliruan atau kekurangpahaman
dalam menafsirkannya karena target atau
sasaran yang dihadapi oleh agama adalah
seluruh manusia, baik dari kalangan awam
maupun tokoh-tokoh terpelajarnya. Maka
sarana yang dipakai adalah sesuai dengan
ukuran pemahaman kaum awam yaitu
metode retorika (khit}a>biyyah), metode
dialektika (jadaliyyah) dan metode persuasif
(iqna>’iyyah). Meskipun demikian, agama
tidaklah menafikan metode rasionalisme
(burha>ni>), bahkan menganjurkannya agar
menjadi sarana efektif bagi kalangan ulama
atau kaum rasionalis (ash}a>b al-burha>n)
untuk memahami agama secara rasional.
Misalnya dengan metode ta’wil atau
penafsiran rasional.40
Prinsip dasar yang harus dipatuhi
oleh bentuk penafsiran rasional adalah
maqa>s}id al-sha>ri’ (tujuan atau alasan-alasan
mendasar pembuat syari’at). Prinsip dasar
dalam disiplin agama ini serupa dengan
yang berlaku dalam disiplin filsafat yaitu
prinsip kausalita. Prinsip maqa>s}id al-sha>ri’
juga tergolong dalam kategori al-sabab algha>’i> (sebab akhir, final cause) sebagaimana
yang diungkapkan Aristoteles.
Jadi kalau dimensi rasionalitas
disiplin ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu
metafisika dibangun atas dasar prinsip
kausalitas maka dimensi rasionalitas agama
dibangun atas dasar prinsip maqa>sid alsha>ri’. Proyek yang diangkat oleh Ibn
Rusyd ini, khususnya mengenai hubungan
antara agama dan filsafat menawarkan satu
pandangan baru yang sama sekali orisinil
dan rasional. Dalam arti mampu menangkap
dimensi rasionalitas dalam agama maupun
dalam filsafat. Rasionalitas filsafat dibangun
atas landasan keteraturan dan keajegan alam
ini serta juga pada prinsip kausalitas,
sedangkan rasionalitas agama dibangun atas
dasar maksud dan tujuan sang pembuat
syariah yang bermuara pada upaya
membawa manusia kepada nilai-nilai
kebajikan yang kemudian dirumuskan
dalam bentuk konsep maqa>s}id al-shari>’ah.
Di sinilah kita melihat konstribusi filsafat
Aristoteles terhadap konsep awal maqa>s}id
al-shari>ah.41
Pandangan sistemik-aksiomatik dan
berpegang teguh pada maqa>s}id sebagai
acuan membangun rasionalisme ini,
kemudian dilanjutkan oleh al-Sha>t}ibi> dalam
kerangka proyek pembaharuan disiplin Usul
Fikih. Dalam proyek pengembangan disiplin
Usul Fikih ini, al-Sha>t}ibi>, sebagaimana Ibnu
Rusyd, banyak terinspirasi oleh filsafat
Aristoteles.
Persoalan yang muncul adalah,
bagaimana mungkin membangun dimensi
rasionalitas dalam agama atas dasar prinsip
al-qat}i> (kepastian) yang sebanding dengan
prinsip al-yaqi>n (keyakinan) dalam filsafat,
sedangkan dalam agama sesuatu yang qat}’i>
berasal dari teks agama, bukan dari
penalaran. Menghadapi persoalan ini alSha>t}ibi> kemudian mengatakan bahwa
39
Aep Saepullah Darusmanwiati, Imam Syathibi:
Bapak
Maqa>s}id
al-Shari>’ah
Pertama
http://Islamlib.com/id/idex.php?page=archive&made
=author&id=76, Diakses 7 Nopember 2010.
40
al-Ja>biri>, Post Tradisionalisme, 163.
Ibid, hal. 164-166; lihat juga Muh}ammad ‘A>bid
al-Ja>biri>, Kritik Pemikiran Islam, terj. Burhan
(Yoyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003), 164-166.
41
RELIGI, Vol. V, No. 1 | 21
Filsafat Aristoteles - Taufikurrahman
semuanya bisa terjadi jika mengacu pada
metode rasionalisme sehingga disiplin Usul
Fikih pun didasarkan pada prinsip kulliyya>t
al-shari>’ah (ajaran-ajaran universal agama)
dan prinsip maqa>s}id al-shari>’ah. Prinsip
kulliyya>t al-shari>’ah mempunyai posisi
yang sama dengan al-kulliyyah al-‘aqliyyah
(prinsip-prinsip universal) dalam filsafat,
sedangkan maqa>s}id al-shari>’ah serupa
dengan posisi al-sabab al-gha>’i> (final
cause) yang berfungsi sebagai pembentuk
unsur-unsur penalaran rasional.42
Metode yang digunakan untuk
mencapai kulliyya>t al-Shari>’ah adalah
metode induksi (istiqra>’iyyah) yaitu dengan
meneliti sejumlah kasus-kasus spesifik
(juz’iyyah) dalam masalah-masalah agama,
utamanya masalah perintah dan larangan.
Kemudian ditarik beberapa prinsip universal
yang sifatnya universal-kuantitatif, namun
tetap mengandung arti pasti (qat}’i>), karena
ditarik dari sesuatu yang qat}’i> pula.
Universalitas syariah ini tetap mengandung
arti pasti dan yakin (al-qat}’i>), karena
metode induksi yang berlaku di dalamnya
dibangun atas dasar yang serupa dengan
prinsip-prinsip dasar yang berlaku dalam
tradisi ilmu-ilmu rasional.43
Menurut al-Sha>t}ibi>, setidaknya ada
tiga prinsip dasar yang membuat
universalitas syariah mengandung arti pasti
dan yakin, yaitu:
1. Prinsip keumuman dan keterjangkauan,
yaitu bahwa hukum-hukum agama
bersifat umum, luas dan menjangkau
semua objek takli>f (pembebanan), dan
tidak berlaku spesifik untuk satu waktu
dan tempat tertentu saja.
2. Prinsip kepastian dan ketidak-berubahan,
yaitu bahwa hukum-hukum agama
demikian juga, yang wajib tetap wajib,
yang haram tetap haram. Apa yang
menjadi sebab, tetap akan menjadi sebab,
demikian juga dengan syariah akan tetap
menjadi syariah.
3. Prinsip legalitas, yaitu bahwa posisi
disiplin keilmuan ini menjadi penentu
bukan malah didikte atau ditentukan oleh
selainnya. Disiplin syariah terdiri atas
perintah-perintah dan larangan yang
tidak mungkin ada yang mengatasinya.
Jadi sejumlah syarat yang harus dipenuhi
dalam disiplin ilmu-ilmu rasional
terpenuhi di dalamnya.44
Selanjutnya mengenai maqa>s}id alshari>’ah, al-Sha>t}ibi> mengatakan bahwa
maqa>s}id al-shari>’ah terdiri dari empat unsur
pokok, yaitu:
Pertama, syariat Islam diturunkan
dalam rangka kemaslahatan umat manusia.
Kemaslahatan manusia tersebut terbagi
dalam
tiga
tingkatan:
d}aru>riyyah
(kepentingan primer), h}a>jiyyah (kepentingan
sekunder) dan tah}si>niyyah (kepentingan
tersier/pelengkap).
Kepentingan primer merupakan
kepentingan yang harus selalu dipenuhi
dalam kehidupan manusia mencakup lima
kepentingan dasar (al-d}aru>riyyah al-khams)
yaitu memelihara agama (h}ifz} al-di>n),
memelihara jiwa (h}ifz} al-nafs), memelihara
akal (h}ifz} al-‘aql), memelihara keturunan
(h}ifz} al-nasl), dan memelihara harta benda
(h}ifz} al-amwa>l). H{a>jiyyah atau kepentingan
sekunder meliputi jumlah tak terbatas,
seperti kebutuhan sandang, papan, dsb.
Sedangkan tahsi>niyyah atau kepentingan
tersier meliputi kebutuhan rekreasi.45
Kedua, syariat Islam diberlakukan
untuk dipahami dan dihayati oleh umat
manusia, karena Islam diturunkan dalam
bahasa Arab dan dalam lingkungan sosial
masyarakat
Arab,
maka
untuk
memahaminya perlu merujuk kepada apa
yang dikenal oleh bangsa Arab baik
mengenai bahasa maupun realitas sosial
mereka.46
Ketiga, unsur ketiga dari maqa>sid alshari>’ah adalah takli>f yaitu pembebanan
hukum-hukum agama kepada manusia.
Rumusannya adalah setiap hukum yang
42
44
43
45
Ibid., 167.
Abu> Isha>q al-Sha>t}ibi}, al-Muwa>faqa>t fi Us}u>l alShari>’ah, Jilid 2 (Beirut: Da>r al-Ma’rifah, t.th.), 53.
22 | RELIGI, Vol. V, No. 1
Ibid., Jilid 1, 77-78.
Ibid., Jilid 2, 8.
46
Ibid., 69-82.
Filsafat Aristoteles - Taufikurrahman
berada di luar kesanggupan mukallaf (orang
yang dibebani), secara syariah tidak akan
dibebankan
kepadanya,
meskipun
dimungkinkan oleh akal, karena Allah swt
tidak akan membebani seseorang di luar
kemampuan dan kesanggupannya.47
Keempat, unsur keempat atau
terakhir dari maqa>s}id al-shari>’ah adalah
melepaskan mukallaf dari belenggu
dorongan hawa nafsunya sehingga ia akan
menjadi hamba Allah secara kreatif
sebagaimana ia menjadi hamba Allah secara
kodrati.48
Hal yang menarik dari pemikiran alSha>t}ibi> tentang maqa>s}id al-shari>’ah adalah
adanya kemiripan dengan beberapa konsep
pemikiran Aristoteles. Kemiripan tersebut
dapat dilihat pertama dari pola perumusan
maqa>s}id al-shari>’ah yang menggunakan
metode induksi (istiqra>’iyyah) yaitu dengan
meneliti sejumlah kasus-kasus spesifik
(juz’iyyah) dalam masalah-masalah agama.
Pola pemikiran induktif, jika dilacak dari
sejarah
pemikiran
merupakan
hasil
pemikiran Aristoteles yang berbasis pada
empirisme dalam rangka merumuskan
pengetahuan yang berasal dari alam. Jika
Aristoteles menjadikan data-data yang ada
di alam dalam rangka mengambil satu
kesimpulan tentang konsep pengetahuan,
maka al-Sha>t}ibi> menjadikan dalil-dalil naqli>
dari al-Qur’an dan Hadis sebagai data awal
untuk dirumuskan menjadi satu prinsip
universal tentang maqa>s}id al-shari>’ah.
Kemiripan ini kemudian dilanjutkan
dengan rumusan maqa>s}id al-shari>’ah yang
dijadikan sebagai titik ukur dalam
memandang persoalan-persoalan spesifik
berikutnya yang mungkin timbul di tengah
masyarakat. Pola pemikiran seperti ini
memiliki kemiripan dengan pola pemikiran
Aristoteles yang bersifat deduktif silogistik
sebagai tindak lanjut dari pola pemikiran
induktif .
Kemiripan kedua adalah pada empat
unsur maqa>s}id al-shari>’ah yang digagas alSha>t}ibi>. Jika diperhatikan, empat unsur
47
48
Ibid., 107-111.
Ibid., 168-170.
maqa>s}id al-shari>’ah yang digagas alSha>t}ibi>, memiliki keserupaan dengan empat
unsur konsep kausalitas Aristoteles. Hal ini
menunjukkan adanya kemungkinan korelasi
konsep maqa>s}id al-shari>’ah dengan konsep
kausalitas Aristoteles yang juga terdiri dari
empat unsur, yaitu:
1. Antara “sebab efisien (efficient cause)”
dengan “pelepasan mukallaf dari
belenggu hawa nafsu”.
2. Antara “sebab final (final cause)”
dengan “kemaslahatan umat manusia”.
3. Antara “sebab material (material
cause)” dengan “kemampuan mukallaf”.
4. Antara “sebab formal (formal cause)”
dengan
“kondisi
sosio-historis
masyarakat Arab”.
Adanya kemiripan di atas menunjukkan
adanya satu bukti tentang kontribusi filsafat
Ariostoteles dalam pengembangan konsep
maqa>s}id al-shari>’ah dalam disiplin Usul
Fikih.
Penutup
Dari paparan di atas kita dapat
melihat pengaruh filsafat Aristoteles
terhadap pembentukan dan pengembangan
disiplin Usul Fikih. Al-Sha>fi’i> dan alGhaza>li> mewakili belahan Timur dunia
Islam sedangkan Ibn Rushd dan al-Sha>t}ibi>
mewakili belahan Barat dunia Islam. Satu
hal yang patut dicermati adalah bahwa
masuknya filsafat Aristoteles dalam kedua
wilayah tersebut memberikan pengaruh
yang berbeda. Di belahan Timur, filsafat
Aristoteles menjadi inspirasi lahirnya
konsep Qiya>s yang ternyata menjadi konsep
logika yang kontraproduktif, konsumtif dan
cenderung tunduk pada hegemoni teks-teks
agama. Sedangkan di belahan Barat
menghasilkan konsep maqa>s}id al-shari>’ah
yang inovatif dan produktif, yang ternyata
banyak mewarnai perkembangan pemikiran
fikih pada masa sesudahnya. Hal ini terjadi
karena di belahan timur filsafat Aristoteles
cenderung diambil secara parsial, yaitu
logika formal yang bersifat deduktifsilogistik dan mengabaikan konsep induktifempiriknya, sedangkan di belahan Barat
filsafat Aristoteles bisa ditampilkan secara
RELIGI, Vol. V, No. 1 | 23
Filsafat Aristoteles - Taufikurrahman
lebih utuh baik yang bersifat induktif
maupun yang bersifat deduktif.
Daftar Pustaka
Asrohah, Hanun. 1999. Sejarah Pendidikan
Islam. Jakarta: Logos.
Bertens, K. 1998. Ringkasan Sejarah
Filsafat. Yogyakarta: Kanisius
Darusmanwiati, Aep Saepullah.
Imam
Syathibi:Bapak
Maqa>shid
alShari>’ah
Pertama
http://Islamlib.com/id/idex.php?page
=archive&made=
author&id=76,
diakses 7 Nopember 2010.
Ghaza>li> (al), Abu> H{a>mid. 1983. Al-Mustas}fa
fi> ‘Ilm al-Us}ul. Beirut: Da>r al-Kutub
al-‘Ilmiyyah.
Hadiwijono, Harun. 1980. Sari Sejarah
Filsafat
Barat.
Yogyakarta:
Kanisius.
Hakim, Atang Abdul dkk. 2008. Filsafat
Umum dari Mitologi sampai
Teofilosofi. Bandung: Pustaka Setia.
Hasan, Ahmad. 1994. Pintu Ijtihad
Sebelum Tertutup. Bandung:
Pustaka.
Ja>biri> (al), Muh}ammad ‘A>bid. 2000. Post
Tradisionalisme Islam. terj. Ahmad
Baso. Yogyakarta: LKiS.
___________. 2003. Kritik Pemikiran
Islam, terj. Burhan. Yoyakarta: Fajar
Pustaka Baru.
Katsof, Louis O. 1996. Pengantar Filsafat:
Sebuah Buku Pegangan untuk
Mengenal Filsafat., terj. Soejono
Soemargono. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Khallaf, Abdul Wahhab. 1996. Kaidahkaidah Hukum Islam. terj. Noer
Iskandar. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Lapidus, Ira M. 1991. A History of Islamic
Societies. Cambridge: Ccambridge
University Press.
Lewis, Bernard. 1998. Bangsa Arab dalam
Lintasan Sejarah. terj. Jamhuri.
Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
Ma’lu>f, Louis. 2000. al-Munjid. Beirut: Da>r
al-Mashriq.
24 | RELIGI, Vol. V, No. 1
Madjid, Nurkholish. 1994. Khazanah
Intelektual Islam. Jakarta: Bulan
Bintang.
Margoliouth. 1941. The Early Development
of Muhammedanism. London: tp.
Peursen, C.A. Van. 1980. Orientasi di Alam
Filsafat. terj. Dick Hartoko. Jakarta:
PT. Gramedia.
Raisuni, Ahmad. 1992. Naz}ariyyat alMaqa>s}id ‘inda al-Ima>m al-Sha>t}ibi>.
Beirut: al-Muassasah al-Ja>mi’iyyah
li al-Dira>sa>t wa al-Nashr wa alTawzi>’.
Rapas, J.H. 2001. Filsafat Politik Plato,
Aristoteles, Agustinus, Machiavelli.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Roy, Muhammad. 2004. Usul Fikih
Madzhab Aristoteles. Yogyakarta:
Safiria Insana Press.
Sudarsono. 2001. Ilmu Filsafat: Suatu
Pengantar. Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
Syafe’i, Rachmat. 1999. Ilmu Usul Fikih.
Bandung: Pustaka Setia.
Sha>t}ibi> (al), Abu> Ish}a>q. t.th. Al-Muwa>faqa>t
fi> Us}u>l al-Shari>’ah. Beirut: Da>r alMa’rifah.
Tafsir, Ahmad. 2004. Filsafat Umum.
Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
Yatim, Badri. 2000. Sejarah Peradaban
Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Zuh}ayli> (al), Wahbah. 1986. Us}u>l Fiqh alIsla>mi>. Beirut: Da>r al-Fikr.
Download