Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 Pasal 1 tentang Pemasyarakatan menjelaskan bahwa narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Berdasarkan Undang-undang Pemasyarakatan tahun 1995 Pasal 2 dijelaskan bahwa Sistem Pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Sanksi penjara tidak hanya sebagai bentuk hukuman, tetapi juga mencegah munculnya tindakan kriminal, bentuk rehabilitasi bagi pelaku, dan menciptakan masyarakat taat hukum (Tomar, 2013). Pada kenyataannya penahanan menimbulkan pengaruh negatif, terutama dampak kemunduran secara psikologis dan mayoritas narapidana merasakan dampak tersebut (Haney, 2001; Pickens, 2012; Travis & Waul, 2003; Tomar, 2013). Penahanan dirasakan sebagai sesuatu yang menyakitkan, penuh tekanan, tidak menyenangkan dan seringkali mempengaruhi interaksi narapidana dengan lingkungannya (Haney, 2001). Narapidana rentan mengalami tindakan kekerasan fisik dan kekerasan seksual dari tahanan lain bahkan dari petugas penjara, seperti: pemukulan dan pelecehan (Mbuba, 2012). Penahanan juga membuat seseorang dikucilkan dan mendapatkan stigma dari lingkungan (Travis & Waul, 2003). Penelitian Center for Public Mental Health Universitas Gadjah Mada (Hadjam, 2014) menemukan bahwa narapidana mengalami masalah kognitif, emosi, perilaku, dan sosial. Secara kognitif, narapidana membayangkan kehidupan yang tidak menyenangkan selama penahanan dan membayangkan bagaimana keadaan keluarga yang ditinggalkan. Narapidana merasakan emosi-emosi negatif seperti: merasa bersalah, menyesali perbuatan yang telah dilakukan, merasa belum menerima keadaan, cemas, takut, jenuh, dan merasa tidak berdaya menghadapi penahanan. Narapidana rentan mengalami permasalahan fisik dan perilaku yang mengarah pada kecemasan dan gejala psikosomatis. Narapidana juga mengalami masalah dalam relasi sosial dengan narapidana lain, petugas penjara, dan keluarga. Namun Kepala Lapas X Yogyakarta menuturkan bahwa Lembaga Pemasyarakatan belum mempunyai layanan psikologi yang dapat mengatasi permasalahan narapidana secara optimal (Wawancara, 18 Mei 2015). Permasalahan emosi yang banyak dialami narapidana adalah rasa bersalah, malu, menyesal dan sulit menerima diri (Hadjam, 2014; Hogan & Culleton 2012; Stevens, 2012). Malu, kecewa dan rasa bersalah adalah emosi yang muncul ketika seseorang gagal atau menyakiti orang lain. Emosi negatif tersebut dapat mempengaruhi kehidupan seseorang. Perasaan bersalah yang dimiliki seseorang akan semakin besar jika perbuatan yang dilakukan berkaitan dengan pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusian dan perasaan bersalah muncul terhadap Tuhan Yang Maha Esa, contohnya perbuatan melukai atau membunuh orang lain (Worthingthon, 2005). Sejumlah penelitian menemukan bahwa umumnya laki-laki menjadi pelaku dalam kasus pembunuhan. Umumnya pelaku rata-rata berusia muda, yaitu 29 tahun dan korban rata-rata berusia 33 tahun dan sebagian besar memiliki pendidikan rendah dan tidak mempunyai keahlian khusus. Ada dua skenario utama yang melatarbelakangi kasus pembunuhan, yaitu sebagai bentuk konfrontasi yang dilakukan tanpa perencanaan dan balas dendam yang biasanya telah direncanakan (Brookman, 2005). Ancaman hukuman terhadap kasus pembunuhan di Indonesia mulai dari empat tahun hingga maksimal pidana mati. Kejahatan seperti ini diatur dalam pasal 338 hingga 350 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Lamanya masa tahanan semakin menimbulkan penyesalan dan rasa bersalah karena narapidana merasa membebani keluarga yang ditinggalkan (Baggs, 2012). Narapidana berinisial B (38 tahun) yang melakukan kasus pembunuhan berencana yang peneliti temui saat orientasi lapangan menceritakan bahwa ia masih menyesali perbuatannya yang membuat ia divonis 15 tahun penjara (Komunikasi pribadi, 4 Juni 2015). Permasalahan yang dialami narapidana dapat memberikan pengaruh negatif terhadap kondisi psikologis sehingga mereka harus menemukan cara yang tepat untuk menghadapinya (Gussak, 2009). Kemampuan koping narapidana akan mempengaruhi penyesuaian dan kesejahteraan diri selama menjalani penahanan. Narapidana yang tidak memiliki strategi koping yang tepat akan sulit menyesuaikan diri dan kesejahteraan psikologisnya terganggu (Picken, 2012). Apabila permasalahan individu berkaitan dengan emosi negatif, maka intervensi yang tepat adalah membantu individu tersebut untuk memproses emosinya dan menyelesaikan permasalahan emosi dengan cara yang konstruktif (Worthingthon, 2005). Perasaan bersalah karena telah menyakiti orang lain dan merasa tidak melakukan sesuatu seperti yang seharusnya membuat individu perlu memaafkan dirinya (Lamb & Murphy, 2002; Luskin, 2007, Worthingthon, 2005). Pemaafan diri dapat menebus rasa bersalah, malu dan menyesal sehingga dapat menjadi pemulihan diri bagi narapidana dan mantan narapidana (Hogan & Culleton, 2012). Pemaafan diri dapat menjadi salah satu koping bagi narapidana (Lamb & Murphy, 2002) dan merupakan alat yang paling kuat untuk mengatasi emosi-emosi yang menyakitkan (Avery, 2008). Pemaafan diri didefinisikan secara beragam oleh sejumlah ahli. Enright dan North (1998) mendefinisikan pemaafan diri sebagai keinginan untuk melepaskan kebencian terhadap diri sendiri, mengaku bersalah, menumbuhkan belas kasihan, kemurahan hati, dan cinta terhadap diri sendiri. Hall dan Fincham (dalam Worthington, 2005) menjelaskan pemaafan diri adalah penurunan motivasi untuk menghukum diri serta peningkatan motivasi untuk bersikap baik terhadap diri sendiri. Thompson, dkk., (2005) mendefinisikan pemaafan diri sebagai bentuk penyusunan pikiran, emosi atau perilaku negatif terhadap diri sendiri menjadi lebih netral atau positif. Cornish (2014) memberikan definisi yang lebih menyeluruh dengan melibatkan adanya pertanggung-jawaban untuk memperbaiki kesalahan dan mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahan yang sama melalui komitmen baru untuk melakukan sesuatu sesuai dengan nilai-nilai yang ada. Pemaafan diri yang genuine dilihat dari adanya empat komponen, yaitu: tanggung jawab, penyesalan, pemulihan, dan pembaharuan (Cornish, 2014; Cornish & Wade, 2015). Upaya ini berawal dari kesadaran untuk mempertanggungjawabkan kesalahan, munculnya perasaan menyesal karena telah melakukan hal tersebut, usaha memperbaiki kesalahan, dan munculnya pembaharuan bagi orang yang melakukan kesalahan. Keempat komponen ini dapat menjadi strategi untuk membantu mengatasi konsekuensi negatif yang muncul setelah melakukan kesalahan. Woodyat dan Wenzel (2013) menjelaskan ada tiga hal yang muncul setelah seseorang melakukan kesalahan, yaitu: pelaku menghukum diri sendiri, berpura-pura memaafkan diri (pseudo self-forgiveness), dan benar-benar memaafkan diri (genuine self-forgiveness). Perilaku menghukum diri menimbulkan kerugian dalam konteks interpersonal sedangkan berpura-pura memaafkan diri merugikan orang lain karena individu tersebut menolak bertanggung-jawab atas perbuatannya. Dari tiga hal tersebut, genuine self-forgiveness memberikan pengaruh positif bagi individu yang bersangkutan dan bagi orang lain. Penelitian tentang pemaafan terhadap orang lain sudah banyak dilakukan (Gull & Rana, 2013; Munoz, 2011; Toussaint & Friedman, 2009), tetapi penelitian yang berfokus pada pemaafan diri masih terbatas. Hall dan Fincham (2005) mengeksplorasi perbedaan dan persamaan antara pemaafan terhadap orang lain dengan pemaafan diri. Persamaan pemaafan diri dengan pemaaafan terhadap orang lain adalah kedua bentuk pemaafan ini muncul secara sadar dan terencana. Perbedaan pemaafan terhadap orang lain dengan pemaafan diri terletak pada fokus pemaafan yang dilakukan, ada atau tidaknya syarat dalam memaafkan, dan ada atau tidaknya rekonsiliasi. Beiter (2007) menemukan bahwa ketika seseorang ingin memaafkan orang lain, maka ia terlebih dahulu harus memaafkan dirinya. Seseorang dengan pemaafan diri tinggi akan lebih mudah memaafkan orang lain, demikian juga sebaliknya (Avery, 2008). Dalam konteks interpersonal, pemaafan dipengaruhi oleh empati terhadap pelaku, atribusi terhadap perilaku, tingkat kelukaan, karakteristik kepribadian dan kualitas hubungan (Latifah & Faturochman, 2015). Sementara pemaafan diri dipengaruhi oleh empati terhadap diri sendiri (Sherman, 2014), karakterisitik individu, persepsi tentang pemaafan dan kesalahan yang dilakukan, serta hubungan dengan korban atau pelaku (Worthingthon, 2005; Terzino, 2010). Pemaafan diri memiliki beberapa prediktor, yaitu adanya rasa cemas, malu dan marah, sementara prediktor pemaafan terhadap orang lain hanya rasa marah (Biron, 2006; Terzino, 2010). Pemaafan diri memberikan pengaruh positif terhadap kesejahteraan psikologis (Hall & Fincham, 2008), meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi gangguan suasana hati (Friedman, dkk,. 2010), serta berkorelasi dengan kepuasan hidup dan kesehatan mental seseorang (Avery, 2008; Macaskill, 2012). Pemaafan diri dapat membuat narapidana memberikan penilaian positif terhadap hidup dan menjadi cara mengkompensasi stres dengan positif (Randall & Bishop, 2013). Lawler-row, Scott, Raines, Edlis-Matityahou, dan Moore (2007) mengutarakan pemaafan kemungkinan lebih memberikan pengaruh positif pada laki-laki dibandingkan perempuan. Terapi pemaafan telah banyak dikembangkan dan terbukti efektif meningkatkan pemaafan seseorang (Enright, 1998; Worthingthon, 2005). Akan tetapi, narapidana laki-laki cenderung defensif dan tidak ingin menunjukkan emosinya secara terbuka (Gussak, 2007). Narapidana menggunakan “topeng baja” untuk melindungi diri mereka dari hal-hal yang dianggap rapuh dan lemah. Hal inilah yang menghambat narapidana untuk mengekspresikan emosi seperti: malu, sedih, dan takut (Karp, 2010). Karakteristik ini memungkinkan narapidana berpura-pura baik (faking good) saat mengikuti terapi. Terapi seni dapat menjadi pilihan untuk mengatasi hambatan dalam intervensi narapidana. Pada dasarnya terapi seni dapat diterapkan pada berbagai usia, mulai dari anak-anak hingga dewasa sesuai dengan kebutuhan klien (Malchiody, 2003; Gilroy, 2006). Proses terapi seni di penjara menjadi media melepaskan emosi seperti kemarahan dan frustrasi dan penyaluran kreativitas yang terpendam dalam diri narapidana (Casey & Dalley, 2005), serta dapat mengkomunikasikan pesan nonverbal yang sulit diungkapkan narapidana dengan terapi verbal (Gilroy, 2006; Gussak, 1997). Psikolog yang pernah memberikan intervensi di Lembaga Pemasyarakatan juga menunturkan bahwa karakterisitik narapidana yang cenderung defensif dan faking good lebih tepat diintervensi dengan terapi seni dibandingkan dengan konseling (Lisanias, komunikasi pribadi, 24 April 2015). Penerapan terapi seni di penjara memiliki keuntungan terapeutik, keuntungan edukasi, keuntungan bagi institusi, dan keuntungan bagi masyarakat (Johnson, 2008). Terapi seni dapat menyelesaikan konflik emosional, meningkatkan kesadaran diri, mengembangkan keterampilan sosial, mengontrol perilaku, menyelesaikan permasalahan, mengurangi kecemasan, mengarahkan realitas, dan meningkatkan harga diri (Slayton dkk., 2010). Terapi seni juga dapat memberikan pengaruh positif dalam meningkatkan kualitas hidup dan peningkatan kesehatan fisik dan psikologis (Svensk, dkk., 2008), serta memunculkan perubahan perilaku seperti kesadaran emosi (Mekuums & Daniel, 2011). Menggambar adalah suatu aktivitas seni yang dikenal luas oleh masyarakat. Narapidana yang terlibat dalam terapi seni dengan teknik menggambar menunjukkan perubahan positif dalam sikap dan interaksinya dengan tahanan lain dan para sipir (Gussak, 2004). Terapi menggambar dapat membantu melepaskan emosi (Malchiody, 2005), dan mengembangkan serta menstimulasi komunikasi tahanan (Sinapius, 2013). Terapi Menggambar dapat menurunkan depresi, meningkatkan mood, dan keterampilan sosial narapidana (Gussak, 2007; 2009), menjadi kegiatan yang menyenangkan, mengurangi stres, dan menjadi manifestasi kebutuhan-kebutuhan narapidana yang tidak terpuaskan, seperti: kebutuhan untuk mendapatkan rasa aman, kesenangan, kebebasan, kasih sayang orang tua, dan lain-lain (Persons, 2009) serta menjadi media melihat perubahan harga diri tahanan lanjut usia (De Guzman, 2010). Salah satu pendekatan dalam Terapi Menggambar adalah Person-centered yang menekankan pentingnya eksplorasi dan penemuan diri sendiri (Rogers dalam Malchiody, 2003). Prinsip utama Person-centered adalah terapis mampu “melihat” individu secara aktif dan penuh empati dengan mendengarkan dan memahami secara mendalam serta memberikan penerimaan tanpa syarat. Pendekatan person-centered meyakini seseorang lebih mampu mengekspresikan dibandingkan menekan ketidakmampuannya dalam menyesuaikan diri dan dapat bergerak menuju kehidupan yang lebih baik. Pendekatan ini juga meyakini seseorang memiliki sumber kreatifitas dalam diri yang membuat seseorang mencapai insight dan kebaikan dalam sebuah proses terapi (Malchiody, 2003). Terapi Menggambar dengan pendekatan Person-centered dirancang berdasarkan terapi yang dikembangkan oleh Malchiody (2003), Rubin (2010), dan Buchalter (2009). Aktivitas menggambar dalam terapi ini memiliki beberapa tema. Terapi diawali dengan menggambar bebas atau (free-drawing) yang bertujuan untuk membuat partisipan nyaman dengan aktivitas menggambar dan mendorong klien dapat menceritakan gambar yang dibuat (Malchiody, 2003). Tema kedua adalah Egg and Cave Drawing yang bertujuan menstimulasi partisipan agar dapat bercerita tentang imajinasi yang digambarkan. Gambar telur merupakan metafora gambaran diri individu, sedangkan gua adalah metafora dari tempat aman, gambaran konflik dan cara penyelesaiannya (Tanaka, Kakuyama, & Urhasusen dalam Malchiody, 2003). Tema ketiga adalah Human Figure yang dapat menjadi simbol permasalahan penting dalam diri partisipan (Rubin, 2010). Tema keempat, Best & Worst Self menjadi simbol identifikasi tentang kondisi terbaik dan terburuk dalam diri partisipan yang akan membantu subjek untuk lebih memahami dirinya (Buchalter, 2009). Drawing Your Challenges adalah tema kelima yang bertujuan membantu partisipan mengilustrasikan tantangan yang pernah atau sedang dialami (Buchalter, 2009). Terapi Menggambar dalam penelitian ini diberikan secara berkelompok agar partisipan dapat membangun dukungan dan saling membantu dalam menyelesaikan masalah (Liebmann, 2004). Pendekatan Person-centered dalam terapi kelompok menekankan pentingnya hubungan terapiutik antara terapis dengan anggota kelompok dan membantu anggota kelompok dapat mengekspresikan diri serta berada dalam keadaan “disini” dan “saat ini” sehingga dapat menjadi individu yang lebih baik (Corey, Corey & Corey, 2010). Prinsip “melihat” dengan aktif dan empatik serta penerimaan yang ditunjukkan oleh fasilitator akan mendorong narapidana untuk mengeksplorasi diri dengan bebas, tanpa merasa dinilai dengan negatif (Malchiody, 2003). Terapi Menggambar dengan pendekatan Person-centered menekankan setiap orang dapat mengekspresikan permasalahan dan perasaan yang terpendam. Kesempatan untuk mengekspresikan emosi dengan cara konstruktif dan munculnya rekognisi terhadap diri dapat menumbuhkan kesadaran mempertanggung-jawabkan kesalahan, penyesalan, upaya untuk memperbaiki kesalahan, dan munculnya pandangan baru yang lebih positif terhadap diri, sebagai bagian dari pemaafan diri yang sesungguhnya (Cornish & Wade, 2015). Adanya tanggung-jawab dan pelepasan rasa bersalah adalah hal yang penting dalam memaafkan diri (Fisher & Exline, 2010). Penurunan emosi negatif seperti marah, benci, dan cemas dalam diri seseorang menunjukkan peningkatan keinginan untuk memaafkan dan mengurangi emosi tersebut adalah hal yang penting untuk berhasilnya pemaafan (Avery, 2008; Harris, 2007; Snyder & Thompson, dalam Lopez & Snyder, 2004). Penerimaan diri juga merupakan hal penting untuk dapat memaafkan diri (Bowman, 2003). Berdasarkan paparan di atas, terlihat bahwa narapidana memiliki emosi-emosi negatif yang terpendam dan sulit menerima diri. Peneliti merancang Terapi Menggambar dengan pendekatan Person-centered secara berkelompok untuk membantu narapidana melepaskan emosi-emosi negatif dan lebih mengenali dirinya. Pelaksanaan secara kelompok diharapkan dapat menciptakan suasana saling mendukung dan memberikan masukan diantara anggota kelompok. Kerangka konspetual penelitian tertera pada Gambar 1. Hipotesis dalam penelitian ini adalah “Terapi Menggambar dengan pendekatan Person-centered dapat meningkatkan pemaafan diri narapidana”. Penelitian ini bertujuan mengetahui efektifitas Terapi Menggambar dalam meningkatkan pemaafan diri narapidana. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pengembangan ilmu psikologi terutama psikologi klinis, positif, dan forensik serta menjadi salah satu pilihan terapi bagi narapidana. Karakteristik - Sulit mengekspresikan emosi dengan terbuka - defensif Permasalahan Narapidana - merasa bersalah, malu, menyesal. - Tidak dapat menerima diri. Pemaafan diri terhambat Terapi Menggambar dengan pendekatan Person-centered “Melihat” dengan aktif dan empati Penerimaan - - Tujuan : Membantu narapidana mengekspresikan pikiran dan perasaan yang dipendam Membantu narapidana untuk lebih mengenal diri sendiri emosi negatif terhadap diri dilepaskan dan mendapatkan pemahaman tentang diri Penuruna n emosi negatif dengan konstruktif dan proses rekognisi tentang diri Keterangan : Saling mempengaruhi Intervensi/perlakuan yang Pemaafan Diri Meningkat Kesadaran untuk mempertanggung-jawabkan kesalahan, penyesalan, berupaya memperbaiki kesalahan, dan munculnya pemahaman baru untuk bersikap positif pada diri diberikan Output setelah perlakuan Gambar 1. Kerangka Konseptual Terapi Menggambar dengan Pendekatan Person Centered untuk Meningkatkan Pemaafan Diri Narapidana