BAB III KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3.1 Landasan Teori 3.1.1 Initial Public Offering Initial Public Offering (IPO) merupakan penawaran saham suatu perusahaan private untuk pertama kalinya kepada publik. Sebagai perusahaan private maka seluruh kepemilikan perusahaan itu dimiliki dan dikuasai oleh orang, keluarga atau kelompok tertentu, sehingga perusahaan semacam ini seringkali disebut sebagai perusahaan keluarga atau perusahaan tertutup. (Sri Sulistyanto, 2008: 69). Penawaran perdana adalah kegiatan yang dilakukan oleh emiten untuk menjual sekuritas kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang di atur undang-undang dan peraturan pelaksanaannya. Perusahaan yang melakukan penawaran perdana telah merudah statusnya mejnadi perusahaan publik. Harga penawaran perdana ditetapkan atas dasar kesepakatan penjamin emisi dengan emiten. Penjamin emisi dalam penawaran perdana memiliki tiga peran yaitu melakukan penjaminan terhadap penjualan saham yang ditawarkan emiten (underwriting fuction), memberikan nasehat dalam menetapkan harga dan waktu penawaran saham yang terbaik (advisory function), dan melakukan distribusi penjualan saham kepada investor (marketing function) (Muniya Alteza, 2012: 3). Proses penawaran perdana terbagi atas periode primary market dan secondary market. Primary market atau pasar perdana adalah pasar dimana penjamin emisi menawarkan saham kepada investor melalui agen penjualan yang ditunjuk. Aktivitas tersebut diikuti dengan penjatahan saham yaitu pengalokasian saham pesanan investor sesuai dengan jumlah yang tersedia. Tahap selanjutnya yaitu secondary market atau pasar sekunder dimana emiten mencatatkan saham di bursa dan kemudian saham tersebut mulai diperdagangkan (Muniya Alteza, 2012: 3). Go Public merupakan istilah yang sering digunakan untuk menyebut penawaran umum atau sering disebut adalah kegiatan penawaran salah atau efek lainnya yang dilakukan oleh emiten (perusahaan yang akan go public) untuk menjual saham atau efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur oleh UU Pasar Modal dan Peraturan Pelaksanaannya (Fakhruddin, 2008: 76). Keuntungan-keuntungan yang diperoleh perusahaan ketika melakukan go public antara lain (1) memperoleh dana segar dalam jumlah besar dan diterima secara sekaligus. Hal ini akan memudahkan manajemen dalam mengatur dan mengalokasikan dana segar yang diperoleh dari publik terlebih kebutuhan tersebut ditujukan untuk proyek besar, (2)biaya go public termasuk ringan (low of cost of fund) jika dibandingkan dengan sumber pendanaan dari bank atau lembaga keuangan lainnya, (3) tidak memiliki kewajiban keuangan secara pasti seperti halnya dengan menerbitkan obligasi, beban finansial berupa dividen bukan merupakan keharusan (Fakhruddin, 2008: 77). Sri Sulistyanto (2008: 69-70) mengemukakan bahwa selain dapat memperoleh dana melalui penawaran saham perdana keuntungan lain bagi perusahaan adalah dapat membagi-bagikan resiko sehingga resiko tidak ditanggung sendiri oleh perusahaan. A. Manfaat Dan Konsekuensi IPO Seluruh perusahaan tertutup memiliki kesempatan untuk melakukan IPO ( Initial Public Offering ) yang artinya menjual sebagian sahamnya kepada public dan mencatatkan sahamnya di Bursa. Keputusan untuk melakukan IPO ( Initial Public Offering ) merupakan keputusan busnis yang dipilih setelah memperhitungkan berbagai manfaat dan konsekuensinya. Banyak sekali manfaat yang dapat diperoleh perusahaan yang melakukan IPO ( Initial Public Offering ), namun ada beberapa konsekuensi yang harus dipertimbangkan. Pertanyaan yang kemudian sering muncul adalah apakah suatu perusahaan perlu untuk go public dan kapankah saat yang tepat untuk melakukannya. Tidak ada aturan yang baku mengenai hal tersebut, karena keputusan untuk go public akan kembali kepada kebutuhan masing-masing perusahaan yang berbeda dan disesuaikan dengan kepentingan para pemegang saham. 1. Manfaat IPO ( Initial Public Offering ) Dengan menjadi perusahaan publik, banyak sekali manfaat yang dapat diperoleh perusahaan yaitu memperoleh sumber pendaan baru, dana untuk pengembangan, baik untuk penambahan modal kerja maupun untuk ekspansi usaha, adalah faktor yang sering menjadi kendala banyak perusahaan. Dengan menadi perusahaan publik, kendala pendanaan tersebut akan lebih mudah diselesaikan dengan memperoleh dana melalui hasil penjualan saham kepada publik. Dengan cara ini perusahaan dapat memperoleh dana dalam jumlah besar dan diterima sekaligus dengan cost of fund yang relative lebih kecil dibandingkan perolehan dana melalui perbankan. Dengan mejadi perusahaan publik yang sahamnya diperdagangkan di bursa, kalangan perbankan akan dapat mengenal perusahaan dan diberikan kepercayaan lebih karena perusahaan sudah terdaftar di bursa. Dengan adanya perusahaan di daftar bursa efek maka pihak perbankan dapat mengetahui kondisi perusahaan melalui keterbukaan informasi yang tersedia di bursa efek. Dengan kondisi demikian, tidak hanya proses pemberian pinjaman baru akan lebih mudah dibandingkan pemberian pinjaman kepada perusahaan yang belum melakukan go public, namun tingkat bunga yang di kenakan juga mungkin lebih rendah mengingat credit risk perusahaan terbuka relatinf lebih kecil dibandingkan pada perusahaan tertutup. Dengan menjadikan perusahaan terbuka, citra dan nama perusahaan dengan status Tbk ( Terbuka ) akan lebih dikenal dikomunitas keuangan. Kondisi demikian umumunya akan mempermudah perusahaan untuk masuk ke pasar uang melalui penertiban surat hutang, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Umumnya pembeli surat hutang tentunya akan lebih menyukai jika perusahaan yang menerbitkan surat hutang tersebut sudah menjadi perusahaan public, tidak hanya membantu mempermudah penerbitan surat hutang, tetapi juga memungkinkan perusahaan untuk menerbitkan surat hutang dengan tingkat bunga yang lebih bersaing karena tingkat kepercayaan publik peningkat karena status perusahaan yang sudah terbuka. Melalui penjualan saham kepada public perusahaan berkesempatan untuk mengajak para partner kerjanya seperti pemasok ( supplier ) dan pembeli ( buyer ) untuk menanamkan modal ke perusahaan. Dengan demikian adanya hubungan yang kuat antara perusahaan dengan pemasok maupun dengan pembeli karena memiliki investasi di perusahaan yang sama dan akan menjadikan tingkat loyalitas dan kualitas menjadi yang lebih baik karena turut serta membantu dalam pengembangan perusahaan di masa yang akan datang. Dengan menjadikan perusahaan publik, perusahaan dituntut oleh banyak pihak untuk meningkatkan kualitas kerja operasionalnya. Adanya kemampuan going concern bagi perusahaan adalah kemampuan untuk tetap dapat bertahan dalam kondisi apapun termasuk dalam kondisi mengakibatkan kebangkrutan perusahaan, seperti terjadinya kegagalan pembayaran hutang kepada pihak ketiga, perpecahan di antara pemegang saham pendiri atau bahkan karena adanya perubahan dinamika pasar yang dapat mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk tetap dapat bertahan di bidang usahanya. B. Konsekuensi IPO ( Initial Public Offering ) Adanya konsekuensi bagi perusahaan yang melakukan IPO ( Initial Public Offering ) yaitu adanya berbai kepemilikan perusahaan, hal ini dapat di artikan bahwa prosentase kepemilikan akan berkurang. Banyak perusahaan yang hendak go public merasa enggan karena khawatir akan kehilangan kontrol/kendali perusahaan. Sebenernya hal ini tidak perlu di khawatirkan karena jumlah minimum saham yang di persyaratkan untuk menjual kepada public melalui penawaran umum tidak akan mengurangi kemampuan pemegang saham pendiri untuk tetap dapat mempertahankan kendali perusahaan. Pasar modal memang menerbitkan berbagai peraturan. Namun semua ketentuan tersebut pada dasarnya justru akan membantu perusahaan untuk dapat berkembang dengan cara yang baik di masa mendatang. Para pemegang saham,pendiri dan manajemen perusahaan tidak perlu khawatir dengan berbagai pemenuhan peraturan tersebut karena cukup banyak pihak professional yang dapat dimanfaatkan jasanya untuk membantu masalah ini. a. Proses IPO ( Initial Public Offering ) 1. Tahap Internal Pada tahap persiapan ini yang paling utama yang harus dilakukan sebuah perusahaan yang akan melakukan Penawaran Umum perdana saham adalah melakukan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) terlebih dulu. Penawaran Umum perdana saham harus disetujui terlebih dulu oleh pemegang saham. Karena Penawaran Umum perdana saham akan melibatkan pemodal baru di luar pemegang saham yang ada, maka perlu diputuskan apakah kehadiran pemodal baru itu nantinya akan mengubah masing-masing kepemilikan para pemegang saham lama. Berapa modal yang dibutuhkan, dan berapa modal yang akan disetor masing-masing pemegang saham harus terjawab dan memperoleh persetujuan oleh pemegang saham lama. Mekanisme RUPS yang dilakukan perusahaan yang akan melakukan Penawaran Umum perdana saham ini merupakan mekanisme RUPS sebagaimana yang ditetapkan oleh UU PT. Setelah memperoleh persetujuan untuk melakukan Penawaran Umum perdana saham ini maka perusahaan mulai mempersiapkan penjamin emisi (underwriter) dari perusahaan itu. Underwriter adalah Perusahaan Efek yang nantinya akan menjembatani perusahaan efek tersebut ke pasar modal. Sebagai penjamin emisi efek maka Perusahaan Efek itu akan menyiapkan dokumen dan bersama dengan perusahaan menunjuk pihak-pihak seperti akuntan publik, konsultan hukum, notaris, dan penilai (appraisal). 2. Tahap Pendaftaran ke OTORITAS JASA KEUANGAN ( OJK ) Untuk dapat melakukan Penawaran Umum Perdana Saham kepada masyarakat, Pernyataan Pendaftaran wajib disampaikan oleh calon Emiten kepada Otoritas Jasa Keuangan ( OJK ) dan LK untuk mendapatkan pernyataan efektif. Dokumen Pernyataan Pendaftaran yang disampaikan sesuai ketentuan yang berlaku selanjutnya akan ditelaah dan diberikan tanggapan secara tertulis oleh Otoritas Jasa Keuangan ( OJK ) dan LK. Dalam waktu paling lambat 10 hari, calon emiten wajib menyampaikan jawaban atau perbaikan atas tanggapan tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan ( OJK )-LK tersebut. Setelah semua tanggapan dipenuhi, maka Otoritas Jasa Keuangan ( OJK ) dan LK akan mengeluarkan surat ijin untuk mempublikasikan Prospektus Ringkas ke masyarakat. Dalam waktu paling lama 2 hari sejak keluarnya ijin tersebut, Prospektus Ringkas harus diumumkan disurat kabar dan sekaligus merupakan dimulainya masa penawaran awal (book building) untuk menjaring minat calon investor. Masa penawaran awal ini dapat dilakukan antara 7 sampai 21 hari kerja. Setelah masa penawaran awal berakhir, calon Emiten wajib menyampaikan konfirmasi mengenai harga penawaran serta keterbukaan informasi lain kepada Otoritas Jasa Keuangan ( OJK ) dan LK. Dengan diterimanya konfirmasi tersebut, Otoritas Jasa Keuangan ( OJK )-LK akan memberikan surat pernyataan efektifnya atas pernyataan pendaftaran dimaksud. Surat pernyataan efektif tersebut harus ditindaklanjuti Emiten dengan pengumuman kepada masyarakat mengenai perubahan atau tambahan atas Prospektus Ringkas yang telah diumumkan sebelumnya. Baru setelah itu, calon Emiten dapat mulai memasuki masa penawaran umum sahamnya kepada masyarakat. 3. Tahap Masa Penawaran Umum Masa Penawaran Umum saham perdana kepada masyarakat dibatasi antara 1 sampai dengan 5 hari kerja saja. Setelah berakhirnya masa penawaran tersebut, dalam waktu paling lambat 2 hari kerja, Emiten wajib menyelesaikan penjatahan atas permintaan pemesanan saham yang disampaikan para investor. Dalam waktu 2 hari setelah penjatahan, akan dilakukan distribusi saham kepada pihak yang berhak dan pengembalian uang pemesanan (refund) terhadap investor. Selanjutnya, tahapan berikutnya adalah pencatatan saham hasil IPO ke Bursa Efek, apabila Emiten bermaksud agar sahamnya dapat diperdagangkan di bursa. 4. Tahap Pencatatan di Bursa Efek Setelah melakukan penawaran umum, perusahaan yang sudah menjadi emiten itu akan langsung mencatatkan sahamnya maka yang perlu diperhatikan oleh perusahaan adalah apakah perusahaan yang melakukan IPO tersebut memenuhi ketentuan dan persyaratan yang berlaku di BEI (listing requirement). Pemenuhan ketentuan listing ini sebelumnya sudah dijajagi dengan penandatanganan perjanjian pendahuluan pencatatan efek antara calon emiten dengan Bursa Efek. Apabila memenuhi persyaratan, maka perlu ditentukan papan perdagangan yang menjadi papan pencatatan emiten itu. Papan pencatatan yang tersedia di Bursa efek Indonesia terdiri dari dua: Papan Utama (Main Board) dan Papan Pengembangan (Development Board). Sebagaimana namanya, papan utama merupakan papan perdagangan bagi emiten yang volume sahamnya cukup besar dengan kapitalisasi pasar yang besar, sedangkan papan pengembangan adalah khusus bagi pencatatan saham-saham yang tengah berkembang 3.1.2 Underpricing Sebuah aset yang dijual dengan harga lebih rendah dari nilainya atau dijual dibawah harga wajar disebut underpriced. Sedangkan aset yang dijual di atas nilainya yaitu diatas harga wajar disebut overpriced (Basyaib, 2006: 180). Underpricing adalah kondisi dimana harga saham pada saat penawaran perdana lebih rendah dibandingkan dengan harga saham sebenarnya, sehingga saham dijual dengan harga lebih rendah dibandingkan dengan harga pada saat diperdagangkan untuk pertama kalinya di pasar sekunder (Muniya Alteza, 2012: 4). Underpricing IPO Menurut ( Lin dan Chuang : 2011 ) mengacu pada tingkat pengembalian saham yang dialami selama hari perdagangan awal pasar sekunder, mengurangi modal yang diterima oleh sebuah perusahaan yang melakukan IPO. Berbagai terori yang dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena underpricing berdasarkan teori informasi asimetri yang diungkapkan oleh Rock (dalam Muniya Alteza, 2012: 4-5) mengungkapkan bahwa underpricing terjadi akibat adanya distribusi informasi yang tidak merata antar berbagai partisipan yang terlibat dalam proses emisi perdana yaitu emiten, penjamin emisi dan investor. Berdasarkan asumsi pasar modal efisien maka harga saham yang terjadi di pasar seharusnya mencerminkan semua informasi yang relevan sehingga sesuai dengan nilai yang sebenarnya. Pada kondisi ini semua partisipan di pasar memiliki pengharapan yang sama (homogeneous expectation) karena informasi yang dimiliki setiap pihak adalah sama. Namun apabila terjadi informasi asimetri di mana terdapat satu pihak atau lebih yang memiliki informasi superior maka kemudian muncul berbagai pengharapan di pasar (heterogeneous expectation) yang tercermin pada harga saham. Semakin beragam harapan partisipan di pasar maka akan semakin besar tingkat ketidakpastian mengenai harga saham tersebut di masa depan atau ex-ante uncertainly sehingga semakin besar pula biaya informasi yang harus dikompensasi melalui underpricing. Teori informasi asimetri terjadi akibat adanya dua kelompok investor yang berbeda di pasar. Kelompok pertama adalah investor yang memiliki informasi (informed) dan kelompok kedua merupakan investor yang tidak memiliki informasi (uniformed) mengenai kondisi dan prospek perusahaan dimasa yang akan datang. Investor yang memiliki informasi mengetahui nilai perusahaan yang sebenarnya dan hanya akan membeli saham apabila dijual dengan underprice. Sedangkan investor yang tidak memiliki informasi akan membeli semua saham yang ditawarkan baik underprice maupun overprice sehingga alokasi edaran saham yang diperoleh tidak menguntungkan (Muniya Alteza, 2010: 5). 3.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Underpricing Telah dijelaskan bahwa ketika suatu perusahaan melakukan Initial Public Offering (IPO) maka secara rata-rata biasanya harga saham pertama diperdagangan sekunder cenderung mengalami underpriced. Fenomena terjadinya underpricing dijumpai hampir pada semua emiten yang melakukan go public . Setidaknya ada beberapa faktor yang mempengaruhi underpricing, yaitu : A. Return on Assets (ROA) ROA (Return On Assets) merupakan salah satu ukuran profitabilitas perusahaan, maka semakin tinggi ROA perusahaan akan semakin rendah tingkat underpricing (selisih antara harga saham hari pertama listing dengan harga saham perdana semakin rendah) karena investor akan menilai kinerja perusahaan lebih baik dan bersedia membeli saham perdananya dengan harga yang lebih tinggi (Su,2004:76) Return on Assets (ROA) digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba yang berasal dari aktivitas investasi. ROA dapat didefiniskan sebagai laba bersih dibagi dengan nilai buku asset ( Salim Darmadi,2012:188 ) Cara menghitungnya adalah laba bersih dibagi dengan total aktiva (Handono Mardiyanto, 2009: 6). Rasio ini mengukur tingkat pengembalian dari bisnis atas seluruh aset yang ada. Rasio ini menggambarkan efisiensi pada dana yang digunakan dalam perusahaan. Dengan rumus sebagai berikut : ROA = x 100% Ardhyansyah (dalam Setiawan, 2011: 77) mengemukakan bahwa profitabilitas perusahaan yang tinggi menunjukkan kemampuan perusahaan menghasillkan laba di masa yang akan datang dan laba merupakan informasi penting bagi investor sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan untuk investasi. B. Debt Equity Ratio (DER) Financial leverage menunjukkan kemampuan perusahaan dalam membayar hutangnya dengan equity yang dimilikinya (Tambunan, 2007). Sedangkan menurut Kim et al. (1993), secara teoritis, financial leverage menunjukkan risiko suatu perusahaan dan kondisi ketidakpastian. Rasio ini merupakan salah satu rasio yang penting karena berkaitan dengan masalah trading on equity, yang dapat memberikan pengaruh positif dan negatif terhadap rentabilitas modal sendiri dari perusahaan tersebut. DER dihitung dengan membagi total kewajiban dengan total modal (Sugiono, 2008: 71). Debt Equity Ratio merupakan perbandingan antara total debt (total uang yang berbunga atau interest-bearing debt, baik jangka panjang maupun jangka pendek) dengan stockholders’equity (ekuitas pemegang saham). DER = x 100% Rasio ini digunakan untuk mengukur permodalan perusahaan, dan secara tidak langsung juga mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban membayar utang (Tambunan, 2008: 149). Semakin besar financial leverage suatu perusahaan, akan menimbulkan ketidakpastian harga saham perdana yang besar pula, yang pada akhirnya akan mempengaruhi underpricing (Trisnawati, 2008:43) Keputusan membeli saham harus mempertimbangkan risiko sistematik. Perubahan harga saham dipengaruhi oleh perubahan risiko sistematik pula. Faktorfaktor yang dapat mempengaruhi risiko sistematik antara lain (Tanuwidjaja, 2008: 47-48) : a. Cyclicality, menunjukkan seberapa jauh perusahaan dipengaruhi oleh konjungtur atau gelombang naik turunnya perekonomian makro, b. Operating leverage, yaitu proporsi fixed cost perusahaan terhadap total cost) yang mencerminkan kemampuan perusahaan untuk mengelola biaya dalam situasi tertentu, c. Financial leverage ( proporsi utang perusahaan), financial leverage yang tinggi menyebabkan risiko sistematik yang menjadi tinggi. Berdasarkan penelitian Abdullah & Mohd (2004) ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap underpricing. Sedangkan menurut penelitian Ritter (1987) dan Hanley (1993) (dalam Sulistio, 2005) menunjukkan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap underpricing. C. Ukuran Perusahaan Ukuran perusahaan dinyatakan sebagai determinan dari struktur keuangan dalam hampir setiap studi dan untuj sejumlah alasan berbeda. Ukuran perusahaan dapat menentukan tingkat kemudahan perusahaan memperoleh dana dari pasar modal. Perusahaan kesil umumnya kekurangan akses ke pasar modal yang terorganisir, baik untuk obligasi maupun saham. Ketika perusahaan kecil memiliki akses ke pasar modal, namun biaya peluncuran dari penjualan sejumlah kecil sekuritas dapat menjadi pengahambat. Jika penerbitan sekuritas dapat dilakukan, sekuritas perusahaan kecil mungkin kurang dapat dipasarkan sehingga membutuhkan penentuan harga sedemikian rupa agar investor memperoleh hasil yang memberikan return lebih tinggi secara signifikan. (Sawir, 2004: 101-102). Ukuran perusahaan yang besar mengindikasikan bahwa perusahaan dalam keadaan yang stabil (Dianingsih, 2003). Menurut Siregar dan Utama (2006), semakin besar ukuran perusahaan, informasi yang tersedia untuk investor dalam pengambilan keputusan sehubungan dengan investasi saham semakin banyak. Berdasarkan penelitian Abdullah & Mohd (2004) ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap underpricing. Penelitian Ritter (1987) dan Hanley (1993) (dalam Sulistio, 2005) menunjukkan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap underpricing. Ukuran perusahaan menentukan kekuatan tawar-menawar (bargaining power) dalam kontrak keuangan. Perusahaan besar biasanya dapat memilih pendanaan dari berbagai bentuk utang, termasuk penawaran spesial yang lebih menguntungkan dibandingkan yang ditawarkan oleh perusahaan kecil. Pada akhirnya, ukuran diikuti oleh karakteristik lain yang mempengaruhi struktur keuangan, yaitu perusahaan kecil sering tidak mempunyai staf khusus, tidak menggunakan rencana keuangan, dan tidak mengembangkan sistem akuntansi mereka menjadi suatu sistem informasi manajemen. Ukuran perusahaan dapat ditentukan berdasarkan laba, aktiva, tenaga kerja dan lain-lain (Sawir, 2004: 102). Hal ini akan mengurangi asimetri informasi pada perusahaan besar sehingga akan mengurangi tingkat underpricing daripada perusahaan kecil karena penyebaran informasi perusahaan kecil belum begitu banyak (Dewa, 2012:26) D. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi mempengaruhi kinerja suatu perusahaan karena pertumbuhan ekonomi dapat mempengaruhi tingkat penghasilan pelanggan dan oleh karena itu mempengaruhi permintaan akan produk-produk suatu perusahaan. Ketika perekonomian kuat maka perimintaan akan produk suatu perusahaan juga kuat, dan labanya menjadi relatif lebih tinggi. Ketika perekonomian lemah, permintaan akan produk suatu perusahaan juga lemah, dan labanya relatif lemah (Jeff Madura, 2007: 157). Perhitungan pertumbuhan ekonomi dapat dihitung dengan : Δ PDB = – x 100% Meningkatnya pertumbuhan ekonomi memberikan sinyak positif untuk investasi. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan daya beli konsumen sehingga dapat meningkatkan permintaan terhadap produk perusahaan yang nantinya akan meningkatkan profit dan dapat meningkatkan harga saham perusahaan (Kewal, 2012: 60). Produktivitas (productivity) terkait dengan hubungan antara barang dan jasa yang diproduksi di dalam suatu negara setiap tahunnya dan masukan yang dibutuhkan untuk memproduksinya. Seiring dengan meningkatnya produktivitas, maka pertumbuhan ekonomi dan kekayaan warga negaranya juga akan ikut meningkat. Suatu ukuran produktivitas yang umum dipergunakan adalah produk domestik bruto (PDB) atau disebut gross domestic product (GDP) suatu negara, yaitu jumlah seluruh barang dan jasa yang diproduksi per kapita dengan menjumlahkan jumlah total seluruh keluaran barang dan jasa yang diproduksi di dalam suatu negara, dan kemudian membagi keluaran tersebut dengan jumlah warga negara. PDB merupakan indikator yang penting dalam mengukur siklus bisnis suatu negara, karena PDB yang menyusut akan mengindikasikan adanya resesi (Boone dan Kurtz, 2007: 124). Breinlinger and Glogova (2002) menguji hubungan antara Initial Public Offering dan makro ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan suku bunga. Hasil penelitian menunjukan pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan terhadap underpricing. Sedangkan Hopp dan Dreher (2007) menjelaskan Pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh signifikan terhadap underpricing. E. Kurs Dolar Amerika ( USD ) Nilai kurs adalah suatu nilai tukar mata uang asing terhadap mata uang negara lain. Financial Accounting Standar Board (dalam Amin, 2012: 5) mendefinisikan nilai tukar sebagai rasio antara satu unit mata uang dan jumlah mata uang lainnya yang dapat ditukar pada suatu waktu tertentu. Nilai tukar tersebut merupakan harga dalam pertukaran, pertukaran antara dua mata uang yang berbeda akan terdapat perbandingan nilai atau harga antara kedua mata uan tersebut. Nilai kurs dollar (USD/IDR) adalah harga satu unit dollar (USD) yang ditunjukkan dalam mata uang rupiah. Ketika perekonomian dilanda crash, risiko meningkat tanpa diikuti kenaikan harapan keuntungan yang proposional. Faktor-faktor khusus yang mempengrauhi fluktuasi harga saham antara lain (Tanuwidjaja, 2008: 48-49): a. Kebijakan pemerintah yang berpengaruh langsung terhadap perekonomian, misalnya kebijakan suku bunga tinggi yang ditujukan untuk mengendalikan jumlah uang beredar. b. Naik-turunnya suku bunga sertifikat Bank Indonesia sebagai tolok ukur risk free investment. c. Naik-turunnya suku bunga overnight, yang menandakan situasi likuiditas perekonomian secara umum. d. Pergerakan kurs mata uang rupiah terhadap mata uang asing, khususnya mata uang dolar AS, dolar Singapura, euro, poundsterling Inggris, dan yen-Jepang. e. Bertiupnya sentimen-sentimen negatif yang mempengaruhi pasar, misalnya yang terkait dengan iklim sosial politik serta situasi keamanan dalam negeri yang dianggap berpengaruh signifikan terhadap dunia bisnis. f. Perkembangan teknologi baru yang secara signifikan mengubah proses bisnis pada suatu bidang tertentu. Sasono (2012: 89) menjelaskan bahwa dalam transaksi atau jual beli valas, dikenal: a. selling rate (kurs jual) yaitu kurs yang ditentukan oleh suatu bank penjualan valuta asing tertentu pada saat tertentu b. midlle rate (kurs tengah) , adalah kurs tengah antara kurs jual dan kurs beli valutas asing terhadap suatu mata uang nasional, yang ditetapkan oleh bank sentral pada suatu saat tertentu. c. buying rate (kurs beli), yaitu kurs yang ditentukan oleh suatu bank untuk pembelian valuta asing tertentu pada saat tertentu. d. flate rate (kurs flat), adalah kurs yang berlaku dalam transaksi jual beli bank notes dan travellers cheque, dimana dalam kurs tersebut sudah diperhitungkan provisi dan biaya-biayanya. Jika nilai tukar dollar melemah terhadap rupiah dan dapat diprediksi akan menguat kembali di masa mendatang, serta ketika alternaitf investasi lain dirasa kurang menjanjikan maka investor akan cenderung menginvestasikan dananya ke dalam bentuk mata uang dollar dengan harapan ketika kurs dollar terhadap rupiah meningkat investor akan menjualnya kembali dalam bentuk mata uang rupiah sehingga investor memperoleh gain dari selisih kurs (Amin,2012: 2). Kurs menggambarkan keadaan pasar. Pergerakan kurs yang dinamis dapat diperdagangkan dan dari kegiatan tersebut ada keuntungan yang diperoleh sehingga kurs menjadi salah satu pertimbangan dalam berinvestasi. Naik turunnya nilai Rupiah terhadap uang asing menyebabkan naik turunnya permintaan saham di pasar modal oleh investor. Penelitian yang dilakukan oleh Yolana dan Martani (2005) dalam (Isti,2003) menemukan bahwa rata-rata kurs berpengaruh signifikan terhadap underpricing. F. Reputasi Underwriter Underwriter merupakan salah satu unit usaha dari sebuah perusahaan Efek yang membantu dan melakukan penjaminan atas emisi saham maupun obligasi. Underwriter akan berperan penuh mulai dari persiapan ogo public, penawaran awal (book building), road show, proses marketing, penentuan harga perdana, penyiapan berbagai dokumen go publik, hingg pelaksanaan penawaran umum dan pencatatan saham di Bursa Efek. Menurut Suyatmin & Sujadi (2006) dan Dimovski & Brooks (2008) mengemukakan bahwa reputasi penjamin emisi (underwriter) berpengaruh negative terhadap underpricing. Underwriter menjadi motor bagi keberhasilan go public dan akan meningkatkan citra penjamin emisi di mata calon-calon emiten berikutnya. Keberhasilan underwriter dapat dilihat dari minat investor untuk membeli saham atau obligasi yang diterbitkan. (Fakhruddin, 23-24). Salah satu cara praktis menilai prospek saham pada saat IPO adalah bonafiditas dan reputasi perusahaan yang menjadi penjamin emisi (lead unerwriter). Asumsi bahwa semakin bonafide lead underwriter, akan semakin prospektif saham yang di-IPO-kan. Meskipun tidak selamanya, namun perusahaan sekuritas (lead underwriter) yang bonafide biasanya cenderung selektif dan ketat dalam memilik emiten yang akan di go public kan. Reputasi underwriter akan menjadi taruhan di kalangan praktisi investasi (Sapto Raharjo, 2006: 225-226). Irawati Junaeni dan Rendi Agustian (2013) menemukan reputasi underwriter saja yang mempengaruhi tingkat underpricing saham. Sedangkan emuan penelitian yang dilakukan I Dewa Ayu Kristiantari (2013) bahwa variabel reputasi underwriter secara signifikan berpengaruh pada underpricing dengan arah koefisien negatif. G. Persentase Saham yang Ditawarkan Salah satu dari keuntungan dari pemilikan saham adalah adanya dividen. Dividen merupakan bagian laba atau keuntungan perusahaan yang dibagikan kepada para pemilik saham sesuai dengan persentase kepemilikannya. Sebagai pemilik saham, kita memiliki hak untuk mendapatkan dividen sesuai dengan persentase kepemilikan (Salim, 2010: 41-42). Persentase saham yang ditawarkan kepada publik saat IPO menunjukkan besarnya private information yang harus di sharing-kan manajer ke pada publik. Private informasi tersebut merupakan informasi internal yang semula hanya diketahui oleh manajer, sebagai contoh standart yang dipakai dalam mengukur kinerja perusahaan, keberadaan perencanaan bonus dan sebagainya. Dalam melakukan penawaran perdana saat IPO maka manajer wajib memberikan informasi internal secara berkala kepada investor. Presentase Saham di Tawaran = x 100% Menurut penelitian yang dilakukan oleh Abdullah & Mohd (2004) menunjukkan persentase saham yang ditawarkan kepada publik berpengaruh positif terhadap underpricing. Persentase kepemilikan yang ditahan oleh pemilik (insiders) menunjukkan adanya private information yang dimiliki oleh pemilik/manajer (Leland & Phyle dalam Yasa, 2003). Enterpreneur akan tetap menginvestasikan modal pada perusahaannya apabila mereka yakin akan prospek pada masa mendatang. Pemilik tidak akan menginvestasikan modalnya pada perusahaan lain bila investasi di perusahaannya lebih baik (Leland & Phyle dalam Yasa, 2003). 2.2 Penelitian Terdahulu Banyak penelitian telah dilakukan mengenai fenomena underpricing. Sebab terjadinya underpricing juga telah dicoba dijelaskan oleh beberapa peneliti, namun peneliti empiris membuktikan penyebabnya berbeda-beda. Penelitian Sri Retno Handayani (2008) menguji Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Underpricing pada Penawaran Umum Perdana di Bursa Efek Jakarta. Variable yang digunakan dalam penelitian meliputi Debt to Equity Rasio, Return on Assets, Earning per Share, Umur perusahaan,Ukuran perusahaan, Prosentase Penawaran Saham. Hasil penelitian menunjukkan Secara parsial menunjukkan bahwa hanya Earning per Share yang berpengaruh secara signifikan terhadap underpricing. Sedangkan secara simultan diperoleh hasil variabel Debt to Equity Rasio, Return on Assets, Earning per Share, Umur Perusahaan, Ukuran Perusahaan, Prosentase Penawaran Saham tidak berpengaruh secara signifikan terhadap underpricing. Penelitian Beatrik Yosephine (2010) menguji Pengaruh Financial Leverage, Return on Equity(ROE), Ukuran Dan Umur Perusahaan Terhadap Tingkat Underpricing Pada Perusahaan Yang Melakukan IPO Di Bursa Efek Indonesia (BEI). Variable yang digunakan dalam penelitian meliputi Financial Leverage, Returnon Equity(ROE), Ukuran Dan Umur. Hasil penelitian menunjukkan Pada perusahaan yang melakukan IPO variabel Financial Leverage, Return on Equity dan umur perusahaan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat underpricing, sedangkan ukuran perusahaan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat underpricing. Penelitian Serniati Zebua (2012) menguji Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Fenomena Underpricing pada Penawaran Saham Perdana di Bursa Efek Indonesia dengan Reputasi Penjamin Emisi sebagai Variabel Moderating. Variable yang digunakan dalam penelitian meliputi Informasi akutansi yaitu Return on Assets, Earning Per Share, Debt Equity Ratio, Size dan Informasi non akutansi yaitu Nilai Penawaran Saham, Persentase Penawaran Saham, Jenis Industri, Reputasi Auditor) Hasil penelitian menunjukkan Informasi akutansi berpengaruh secara simultan terhadap underpricing sedangkan secara parsial variabel Return on Assets dan Persentase Penawaran Saham tidak berpengaruh secara signifikan terhadap underpricing. Reputasi penjamin sebagai variabel moderating tidak memperkuat hubungan antara variabel informasi akutansi dan non akutansi terhadap underpricing. Penelitian Irawati Junaeni dan Rendi Agustian (2013) menguji Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Underpricing Saham pada Perusahaan yang Melakukan Initial Public Offering di BEI . Variable yang digunakan dalam penelitian meliputi Reputasi underwriting Financial leverage/DER Proceeds Jenis industri. Hasil penelitian menunjukan Reputasi underwriting, Financial leverage/DER, Proceeds, Jenis industri memberikan pengaruh secara simultan terhadap tingkat underpricing saham perusahaan. Sedangkan hasil pengujian secara parsial diperoleh bahwa hanya reputasi underwriter saja yang mempengaruhi tingkat underpricing saham. Penelitian Kristian (2013) Analisi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi underpricing saham pada penawaran saham perdana di bursa efek Indonesia . Variable yang digunakan dalam penelitian meliputi Reputasi underwriter, reputasi auditor, umur perusahaan, ukuran perusahaan, tujuan penggunaan dana untuk investasi profitabilitas perusahaan (ROA) financial leverage, jenis industri. Sedangkan hasil pengujian Variabel reputasi underwriter, ukuran perusahaan dan tujuan penggunaan dana untuk investasi secara signifikan berpengaruh pada underpricing dengan arah koefisien negatif untuk ketiga variabel. Sedangkan variabel reputasi auditor, umur perusahaan, profitabilitas perusahaan (ROA), financial leverage, dan jenis industri terbukti tidak memiliki pengaruh signifikan pada terjadinya underpricing. Tabel 1 : Penelitian Terdahulu Nama Peneliti Judul Penelitian Variable Hasil Penelitian Sri Retno Handayani Analisis Faktor- - Debt to Equity Rasio Secara parsial (2008) Faktor yang - Return on Assets menunjukkan bahwa hanya Mempengaruhi - Earning per Share Earning per Share yang Underpricing pada - Umur perusahaan berpengaruh Penawaran Umum - Ukuran perusahaan secara signifikan terhadap Perdana - Prosentase Penawaran underpricing. Sedangkan Saham secara simultan diperoleh hasil variabel Debt to Equity Rasio, Return on Assets, Earning per Share, Umur Perusahaan, Ukuran Perusahaan, Prosentase Penawaran Saham tidak berpengaruh secara signifikan terhadap underpricing. Beatrik Yosephine Pengaruh Financial - Financial leverage Pada perusahaan yang (2010) Leverage, Return on - Return on Assets melakukan IPO variabel Equity(ROE), Ukuran - Ukuran Perusahaan Financial Leverage, Return Dan Umur Perusahaan - Umur perusahaan on Equity dan umur Terhadap Tingkat perusahaan tidak memiliki Underpricing Pada pengaruh yang signifikan Perusahaan Yang terhadap tingkat Melakukan IPO Di underpricing, sedangkan Bursa Efek Indonesia ukuran perusahaan (BEI) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat underpricing. Serniati Zebua Faktor-Faktor yang - Informasi akutansi: Return Informasi akutansi (2012) Mempengaruhi on Assets, Earning Per berpengaruh secara simultan Fenomena Share, Debt Equity Ratio, terhadap underpricing Underpricing pada Size sedangkan secara parsial Penawaran Saham - Informasi non akutansi: variabel Return on Assets Perdana di Bursa Efek Nilai Penawaran Saham, Indonesia dengan Persentase Penawaran Reputasi Penjamin Saham, Jenis Industri, Emisi sebagai Reputasi Auditor) dan Persentase Penawaran Saham tidak berpengaruh secara signifikan terhadap underpricing. Reputasi penjamin sebagai variabel Variabel Moderating moderating tidak memperkuat hubungan antara variabel informasi akutansi dan non akutansi terhadap underpricing. Irawati Junaeni dan Analisis Faktor- - Reputasi underwriting Reputasi underwriting, Rendi Agustian Faktor yang - Financial leverage/DER Financial leverage/DER, (2013) Mempengaruhi - Proceeds Proceeds, Jenis industri Tingkat Underpricing - Jenis industri memberikan pengaruh Saham pada secara simultan terhadap Perusahaan yang tingkat underpricing saham Melakukan Initial perusahaan. Sedangkan Public Offering di hasil pengujian secara BEI parsial diperoleh bahwa hanya reputasi underwriter saja yang mempengaruhi tingkat underpricing saham. I Dewa Ayu Kristian Analisi Faktor-Faktor - Reputasi underwriter, Variabel reputasi (2013) yang Mempengaruhi - reputasi auditor, umur underwriter, ukuran Underpricing perusahaan, perusahaan dan Saham pada - ukuran perusahaan tujuan penggunaan dana Penawaran Saham - tujuan penggunaan dana untuk investasi secara Perdana di Bursa Efek untuk investasi signifikan berpengaruh Indonesia - profitabilitas perusahaan pada underpricing dengan (ROA) arah koefisien negatif untuk - financial leverage ketiga variabel. Sedangkan - jenis industri variabel reputasi auditor, umur perusahaan, profitabilitas perusahaan (ROA), financial leverage, dan jenis industri terbukti tidak memiliki pengaruh signifikan pada terjadinya underpricing. 3.3 Kerangka Pemikiran Penelitian ini bertujuan untuk memberikan bukti empiris tentang dampak variabel mikro keuangan, variabel makro keuangan dan variabel non keuangan terhadap tingkat underpricing yang dialami perusahaan-perusahaan yang akan memutuskan untuk melakukan initial public offering (IPO). Variabel-variabel tersebut adalah Return on Asset (ROA), Debt Equity Ratio (DER), pertumbuhan ekonomi, kurs dolar, underwriter dan persentase penawaran saham terhadap tingkat underpricing saham perdana perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI). Tabel 2 : Kerangka Pemikiran Variabel Independent Return on Asset (ROA) Debt Equity Ratio Ukuran Perusahaan Variabel Dependent Pertumbuhan Ekonomi Tingkat Underpricing Kurs dolar Reputasi Underwriter 3.4 Hipotesis Persentase Saham yang Ditawarkan Profitabilitas yang tinggi dari suatu perusahaan akan mengurangi ketidakpastian bagi investor sehingga akan menurunkan tingkat underpricing (Ghozali, 2002). Penelitian yang dilakukan Su (2004) menunjukkan hasil bahwa ROA berpengaruh negative terhadap underpricing. Namun hasil temuan Beatrik Yosephine Sitorus (2010) variabel profitabilitas perusahaan (ROA) terbukti tidak memiliki pengaruh signifikan pada terjadinya underpricing. Nilai ROA yang semakin tinggi akan menunjukkan bahwa perusahaan mampu menghasilkan laba di masa yang akan datang dan laba merupakan informasi penting bagi investor sebagai pertimbangan dalam menanamkan modalnya. Untuk itu diajukan hipotesis sebagai berikut: H1 : Return on Assets (ROA) berpengaruh negatif terhadap tingkat underpricing Penelitian yang Sri Retno Handayani (2008) secara parsial menunjukkan bahwa Debt to Equity Rasio tidak berpengaruh secara signifikan terhadap underpricing. Temuan penelitian yang dilakukan I Dewa Ayu Kristiantari (2013) financial leverage (DER), dan jenis industri terbukti tidak memiliki pengaruh signifikan pada terjadinya underpricing. Untuk itu diajukan hipotesis sebagai berikut: H2 : Debt Equity Ratio (DER) berpengaruh negatif terhadap tingkat underpricing Karena perusahaan yang berskala besar umumnya lebih dikenal oleh masyarakat daripada perusahaan yang berskala kecil. Karena lebih dikenal, maka informasi mengenai perusahaan besar lebih banyak dibandingkan perusahaan yang berukuran kecil. Berdasarkan penelitian Abdullah & Mohd (2004) ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap underpricing. Sedangkan menurut penelitian Ritter (1987) dan Hanley (1993) (dalam Sulistio, 2005) menunjukkan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap underpricing. Untuk itu diajukan hipotesis sebagai berikut: H3 : Ukuran Perusahaan berpengaruh negatif terhadap tingkat underpricing Meningkatnya pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan daya beli konsumen sehingga dapat meningkatkan permintaan terhadap produk perusahaan yang nantinya akan meningkatkan profit dan dapat meningkatkan harga saham perusahaan (Kewal, 2012: 60). Breinlinger and Glogova (2002) menguji hubungan antara Initial Public Offering dan makro ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan suku bunga. Hasil penelitian menunjukan pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan terhadap underpricing. Sedangkan Hopp dan Dreher (2007) menjelaskan Pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh signifikan terhadap underpricing. Untuk itu diajukan hipotesis sebagai berikut: H4 : Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh negatif terhadap tingkat underpricing Financial Accounting Standar Board (dalam Amin, 2012: 5) mendefinisikan nilai tukar sebagai rasio antara satu unit mata uang dan jumlah mata uang lainnya yang dapat ditukar pada suatu waktu tertentu. Nilai tukar tersebut merupakan harga dalam pertukaran, pertukaran antara dua mata uang yang berbeda akan terdapat perbandingan nilai atau harga antara kedua mata uan tersebut. Muhammad Fahmi (2010) menemukan variabel ekonomi makro yaitu suku bunga, inflasi dan nilai tukar US$ secara silmultan tidak berpengaruh signifikan terhadap initial return, namun secara parsial variabel suku bunga dan inflasi berpengaruh signifikan terhadap inital return. Penelitian yang dilakukan oleh Yolana dan Martani (2005) dalam (Isti,2003) menemukan bahwa rata-rata kurs berpengaruh signifikan terhadap underpricing. Untuk itu diajukan hipotesis sebagai berikut : H5 : Kurs Dolar USD berpengaruh negatif terhadap tingkat underpricing Underwriter menjadi motor bagi keberhasilan go public dan akan meningkatkan citra penjamin emisi di mata calon-calon emiten berikutnya. Keberhasilan underwriter dapat dilihat dari minat investor untuk membeli saham atau obligasi yang diterbitkan. (Fakhruddin, 23-24). Irawati Junaeni dan Rendi Agustian (2013) menemukan reputasi underwriter saja yang mempengaruhi tingkat underpricing saham. Sedangkan temuan penelitian yang dilakukan I Dewa Ayu Kristiantari (2013) bahwa variabel reputasi underwriter secara signifikan berpengaruh pada underpricing dengan arah koefisien negatif. Untuk itu diajukan hipotesis sebagai berikut : H6 : Reputasi underwriter berpengaruh negatif terhadap tingkat underpricing Persentase saham yang ditawarkan kepada publik saat IPO menunjukkan besarnya private information yang harus di sharing-kan manajer ke pada publik. Private informasi tersebut merupakan informasi internal yang semula hanya diketahui oleh manajer, sebagai contoh standart yang dipakai dalam mengukur kinerja perusahaan, keberadaan perencanaan bonus dan sebagainya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Abdullah & Mohd (2004) menunjukkan persentase saham yang ditawarkan kepada publik berpengaruh positif terhadap underpricing. Persentase kepemilikan yang ditahan oleh pemilik (insiders) menunjukkan adanya private information yang dimiliki oleh pemilik/manajer (Leland & Phyle dalam Yasa, 2003). Enterpreneur akan tetap menginvestasikan modal pada perusahaannya apabila mereka yakin akan prospek pada masa mendatang. Pemilik tidak akan menginvestasikan modalnya pada perusahaan lain bila investasi di perusahaannya lebih baik (Leland & Phyle dalam Yasa, 2003). Untuk itu diajukan hipotesis sebagai berikut: H7 : Presentase saham yang ditawarkan underpricing berpengaruh negatif terhadap tingkat Irawati Junaeni dan Rendi Agustian (2013) menemukan bahwa reputasi underwriting, Financial leverage/DER, Proceeds, Jenis industri memberikan pengaruh secara simultan terhadap tingkat underpricing saham perusahaan. Sedangkan Beatrik Yosephine Sitorus (2010) menemukan bahwa pada perusahaan yang melakukan IPO variabel Financial Leverage, Return on Equity dan umur perusahaan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat underpricing. Untuk itu diajukan hipotesis sebagai berikut: