BAB III KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

advertisement
BAB III
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
3.1 Landasan Teori
3.1.1 Initial Public Offering
Initial Public Offering (IPO) merupakan penawaran saham suatu perusahaan
private untuk pertama kalinya kepada publik. Sebagai perusahaan private maka
seluruh kepemilikan perusahaan itu dimiliki dan dikuasai oleh orang, keluarga atau
kelompok tertentu, sehingga perusahaan semacam ini seringkali disebut sebagai
perusahaan keluarga atau perusahaan tertutup. (Sri Sulistyanto, 2008: 69).
Penawaran perdana adalah kegiatan yang dilakukan oleh emiten untuk menjual
sekuritas kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang di atur undang-undang dan
peraturan pelaksanaannya. Perusahaan yang melakukan penawaran perdana telah
merudah statusnya mejnadi perusahaan publik. Harga penawaran perdana ditetapkan
atas dasar kesepakatan penjamin emisi dengan emiten. Penjamin emisi dalam
penawaran perdana memiliki tiga peran yaitu melakukan penjaminan terhadap
penjualan saham yang ditawarkan emiten (underwriting fuction), memberikan
nasehat dalam menetapkan harga dan waktu penawaran saham yang terbaik
(advisory function), dan melakukan distribusi penjualan saham kepada investor
(marketing function) (Muniya Alteza, 2012: 3).
Proses penawaran perdana terbagi atas periode primary market dan secondary
market. Primary market atau pasar perdana adalah pasar dimana penjamin emisi
menawarkan saham kepada investor melalui agen penjualan yang ditunjuk. Aktivitas
tersebut diikuti dengan penjatahan saham yaitu pengalokasian saham pesanan
investor sesuai dengan jumlah yang tersedia. Tahap selanjutnya yaitu secondary
market atau pasar sekunder dimana emiten mencatatkan saham di bursa dan
kemudian saham tersebut mulai diperdagangkan (Muniya Alteza, 2012: 3).
Go Public merupakan istilah yang sering digunakan untuk menyebut penawaran
umum atau sering disebut adalah kegiatan penawaran salah atau efek lainnya yang
dilakukan oleh emiten (perusahaan yang akan go public) untuk menjual saham atau
efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur oleh UU Pasar Modal dan
Peraturan Pelaksanaannya (Fakhruddin, 2008: 76).
Keuntungan-keuntungan yang diperoleh perusahaan ketika melakukan go public
antara lain (1) memperoleh dana segar dalam jumlah besar dan diterima secara
sekaligus.
Hal
ini
akan
memudahkan
manajemen
dalam
mengatur
dan
mengalokasikan dana segar yang diperoleh dari publik terlebih kebutuhan tersebut
ditujukan untuk proyek besar, (2)biaya go public termasuk ringan (low of cost of
fund) jika dibandingkan dengan sumber pendanaan dari bank atau lembaga keuangan
lainnya, (3) tidak memiliki kewajiban keuangan secara pasti seperti halnya dengan
menerbitkan obligasi, beban finansial berupa dividen bukan merupakan keharusan
(Fakhruddin, 2008: 77).
Sri Sulistyanto (2008: 69-70) mengemukakan bahwa selain dapat memperoleh
dana melalui penawaran saham perdana keuntungan lain bagi perusahaan adalah
dapat membagi-bagikan resiko sehingga resiko tidak ditanggung sendiri oleh
perusahaan.
A. Manfaat Dan Konsekuensi IPO
Seluruh perusahaan tertutup memiliki kesempatan untuk melakukan IPO ( Initial
Public Offering ) yang artinya menjual sebagian sahamnya kepada public dan
mencatatkan sahamnya di Bursa. Keputusan untuk melakukan IPO ( Initial Public
Offering ) merupakan keputusan busnis yang dipilih setelah memperhitungkan
berbagai manfaat dan konsekuensinya. Banyak sekali manfaat yang dapat diperoleh
perusahaan yang melakukan IPO ( Initial Public Offering ), namun ada beberapa
konsekuensi yang harus dipertimbangkan.
Pertanyaan yang kemudian sering muncul adalah apakah suatu perusahaan perlu
untuk go public dan kapankah saat yang tepat untuk melakukannya. Tidak ada aturan
yang baku mengenai hal tersebut, karena keputusan untuk go public akan kembali
kepada kebutuhan masing-masing perusahaan yang berbeda dan disesuaikan dengan
kepentingan para pemegang saham.
1. Manfaat IPO ( Initial Public Offering )
Dengan menjadi perusahaan publik, banyak sekali manfaat yang dapat diperoleh
perusahaan yaitu memperoleh sumber pendaan baru, dana untuk pengembangan,
baik untuk penambahan modal kerja maupun untuk ekspansi usaha, adalah faktor
yang sering menjadi kendala banyak perusahaan. Dengan menadi perusahaan publik,
kendala pendanaan tersebut akan lebih mudah diselesaikan dengan memperoleh dana
melalui hasil penjualan saham kepada publik. Dengan cara ini perusahaan dapat
memperoleh dana dalam jumlah besar dan diterima sekaligus dengan cost of fund
yang relative lebih kecil dibandingkan perolehan dana melalui perbankan.
Dengan mejadi perusahaan publik yang sahamnya diperdagangkan di bursa,
kalangan perbankan akan dapat mengenal perusahaan dan diberikan kepercayaan
lebih karena perusahaan sudah terdaftar di bursa. Dengan adanya perusahaan di
daftar bursa efek maka pihak perbankan dapat mengetahui kondisi perusahaan
melalui keterbukaan informasi yang tersedia di bursa efek. Dengan kondisi demikian,
tidak hanya proses pemberian pinjaman baru akan lebih mudah dibandingkan
pemberian pinjaman kepada perusahaan yang belum melakukan go public, namun
tingkat bunga yang di kenakan juga mungkin lebih rendah mengingat credit risk
perusahaan terbuka relatinf lebih kecil dibandingkan pada perusahaan tertutup.
Dengan menjadikan perusahaan terbuka, citra dan nama perusahaan dengan
status Tbk ( Terbuka ) akan lebih dikenal dikomunitas keuangan. Kondisi demikian
umumunya akan mempermudah perusahaan untuk masuk ke pasar uang melalui
penertiban surat hutang, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Umumnya
pembeli surat hutang tentunya akan lebih menyukai jika perusahaan yang
menerbitkan surat hutang tersebut sudah menjadi perusahaan public, tidak hanya
membantu mempermudah penerbitan surat hutang, tetapi juga memungkinkan
perusahaan untuk menerbitkan surat hutang dengan tingkat bunga yang lebih
bersaing karena tingkat kepercayaan publik peningkat karena status perusahaan yang
sudah terbuka.
Melalui penjualan saham kepada public perusahaan berkesempatan untuk
mengajak para partner kerjanya seperti pemasok ( supplier ) dan pembeli ( buyer )
untuk menanamkan modal ke perusahaan. Dengan demikian adanya hubungan yang
kuat antara perusahaan dengan pemasok maupun dengan pembeli karena memiliki
investasi di perusahaan yang sama dan akan menjadikan tingkat loyalitas dan
kualitas menjadi yang lebih baik karena turut serta membantu dalam pengembangan
perusahaan di masa yang akan datang. Dengan menjadikan perusahaan publik,
perusahaan dituntut oleh banyak pihak untuk meningkatkan kualitas kerja
operasionalnya.
Adanya kemampuan going concern bagi perusahaan adalah kemampuan untuk
tetap dapat bertahan dalam kondisi apapun termasuk dalam kondisi mengakibatkan
kebangkrutan perusahaan, seperti terjadinya kegagalan pembayaran hutang kepada
pihak ketiga, perpecahan di antara pemegang saham pendiri atau bahkan karena
adanya perubahan dinamika pasar yang dapat mempengaruhi kemampuan
perusahaan untuk tetap dapat bertahan di bidang usahanya.
B. Konsekuensi IPO ( Initial Public Offering )
Adanya konsekuensi bagi perusahaan yang melakukan IPO ( Initial Public
Offering ) yaitu adanya berbai kepemilikan perusahaan, hal ini dapat di artikan
bahwa prosentase kepemilikan akan berkurang. Banyak perusahaan yang hendak go
public merasa enggan karena khawatir akan kehilangan kontrol/kendali perusahaan.
Sebenernya hal ini tidak perlu di khawatirkan karena jumlah minimum saham yang
di persyaratkan untuk menjual kepada public melalui penawaran umum tidak akan
mengurangi
kemampuan
pemegang
saham
pendiri
untuk
tetap
dapat
mempertahankan kendali perusahaan.
Pasar modal memang menerbitkan berbagai peraturan. Namun semua ketentuan
tersebut pada dasarnya justru akan membantu perusahaan untuk dapat berkembang
dengan cara yang baik di masa mendatang. Para pemegang saham,pendiri dan
manajemen perusahaan tidak perlu khawatir dengan berbagai pemenuhan peraturan
tersebut karena cukup banyak pihak professional yang dapat dimanfaatkan jasanya
untuk membantu masalah ini.
a.
Proses IPO ( Initial Public Offering )
1. Tahap Internal
Pada tahap persiapan ini yang paling utama yang harus dilakukan
sebuah
perusahaan yang akan melakukan Penawaran Umum perdana saham adalah
melakukan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) terlebih dulu. Penawaran
Umum perdana saham harus disetujui terlebih dulu oleh pemegang saham.
Karena Penawaran Umum perdana saham akan melibatkan pemodal baru di luar
pemegang saham yang ada, maka perlu diputuskan apakah kehadiran pemodal
baru itu nantinya akan mengubah masing-masing kepemilikan para pemegang
saham lama. Berapa modal yang dibutuhkan, dan berapa modal yang akan
disetor masing-masing pemegang saham harus terjawab dan memperoleh
persetujuan oleh pemegang saham lama. Mekanisme RUPS yang dilakukan
perusahaan yang akan melakukan Penawaran Umum perdana saham ini
merupakan mekanisme RUPS sebagaimana yang ditetapkan oleh UU PT.
Setelah memperoleh persetujuan untuk melakukan Penawaran Umum perdana
saham ini maka perusahaan mulai mempersiapkan penjamin emisi (underwriter)
dari perusahaan itu. Underwriter adalah Perusahaan Efek yang nantinya akan
menjembatani perusahaan efek tersebut ke pasar modal. Sebagai penjamin emisi
efek maka Perusahaan Efek itu akan menyiapkan dokumen dan bersama dengan
perusahaan menunjuk pihak-pihak seperti akuntan publik, konsultan hukum,
notaris, dan penilai (appraisal).
2. Tahap Pendaftaran ke OTORITAS JASA KEUANGAN ( OJK )
Untuk dapat melakukan Penawaran Umum Perdana Saham kepada
masyarakat, Pernyataan Pendaftaran wajib disampaikan oleh calon Emiten
kepada Otoritas Jasa Keuangan ( OJK ) dan LK untuk mendapatkan pernyataan
efektif. Dokumen Pernyataan Pendaftaran yang disampaikan sesuai ketentuan
yang berlaku selanjutnya akan ditelaah dan diberikan tanggapan secara tertulis
oleh Otoritas Jasa Keuangan ( OJK ) dan LK. Dalam waktu paling lambat 10
hari, calon emiten wajib menyampaikan jawaban atau perbaikan atas tanggapan
tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan ( OJK )-LK tersebut. Setelah semua
tanggapan dipenuhi, maka Otoritas Jasa Keuangan ( OJK ) dan LK akan
mengeluarkan surat ijin untuk mempublikasikan Prospektus Ringkas ke
masyarakat. Dalam waktu paling lama 2 hari sejak keluarnya ijin tersebut,
Prospektus Ringkas harus diumumkan disurat kabar dan sekaligus merupakan
dimulainya masa penawaran awal (book building) untuk menjaring minat calon
investor. Masa penawaran awal ini dapat dilakukan antara 7 sampai 21 hari
kerja. Setelah masa
penawaran awal
berakhir,
calon Emiten
wajib
menyampaikan konfirmasi mengenai harga penawaran serta keterbukaan
informasi lain kepada Otoritas Jasa Keuangan ( OJK ) dan LK. Dengan
diterimanya konfirmasi tersebut, Otoritas Jasa Keuangan ( OJK )-LK akan
memberikan surat pernyataan efektifnya atas pernyataan pendaftaran dimaksud.
Surat pernyataan efektif tersebut harus ditindaklanjuti Emiten dengan
pengumuman kepada
masyarakat mengenai perubahan atau tambahan atas
Prospektus Ringkas yang telah diumumkan sebelumnya. Baru setelah itu, calon
Emiten dapat mulai memasuki masa
penawaran umum sahamnya kepada
masyarakat.
3. Tahap Masa Penawaran Umum
Masa Penawaran Umum saham perdana kepada masyarakat dibatasi
antara
1 sampai dengan 5 hari kerja saja. Setelah berakhirnya masa penawaran tersebut,
dalam waktu paling lambat 2 hari kerja, Emiten wajib menyelesaikan penjatahan
atas permintaan pemesanan saham yang disampaikan para investor. Dalam
waktu 2 hari setelah penjatahan, akan dilakukan distribusi saham kepada pihak
yang berhak dan pengembalian uang pemesanan (refund) terhadap investor.
Selanjutnya, tahapan berikutnya adalah pencatatan saham hasil IPO ke Bursa
Efek, apabila Emiten bermaksud agar sahamnya dapat diperdagangkan di bursa.
4. Tahap Pencatatan di Bursa Efek
Setelah melakukan penawaran umum, perusahaan yang sudah menjadi
emiten itu akan langsung mencatatkan sahamnya maka yang perlu diperhatikan
oleh perusahaan adalah apakah perusahaan yang melakukan IPO tersebut
memenuhi ketentuan dan persyaratan yang berlaku di BEI (listing requirement).
Pemenuhan
ketentuan
listing
ini
sebelumnya
sudah
dijajagi
dengan
penandatanganan perjanjian pendahuluan pencatatan efek antara calon emiten
dengan Bursa Efek. Apabila memenuhi persyaratan, maka perlu ditentukan
papan perdagangan yang menjadi papan pencatatan emiten itu. Papan pencatatan
yang tersedia di Bursa efek Indonesia terdiri dari dua: Papan Utama (Main
Board) dan Papan Pengembangan (Development Board). Sebagaimana
namanya, papan utama merupakan papan perdagangan bagi emiten yang volume
sahamnya cukup besar dengan kapitalisasi pasar yang besar, sedangkan papan
pengembangan adalah khusus bagi pencatatan saham-saham yang tengah
berkembang
3.1.2 Underpricing
Sebuah aset yang dijual dengan harga lebih rendah dari nilainya atau dijual
dibawah harga wajar disebut underpriced. Sedangkan aset yang dijual di atas
nilainya yaitu diatas harga wajar disebut overpriced (Basyaib, 2006: 180).
Underpricing adalah kondisi dimana harga saham pada saat penawaran perdana
lebih rendah dibandingkan dengan harga saham sebenarnya, sehingga saham dijual
dengan harga lebih rendah dibandingkan dengan harga pada saat diperdagangkan
untuk pertama kalinya di pasar sekunder (Muniya Alteza, 2012: 4). Underpricing
IPO Menurut ( Lin dan Chuang : 2011 ) mengacu pada tingkat pengembalian saham
yang dialami selama hari perdagangan awal pasar sekunder, mengurangi modal yang
diterima oleh sebuah perusahaan yang melakukan IPO.
Berbagai terori yang dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena underpricing
berdasarkan teori informasi asimetri yang diungkapkan oleh Rock (dalam Muniya
Alteza, 2012: 4-5) mengungkapkan bahwa underpricing terjadi akibat adanya
distribusi informasi yang tidak merata antar berbagai partisipan yang terlibat dalam
proses emisi perdana yaitu emiten, penjamin emisi dan investor. Berdasarkan asumsi
pasar modal efisien maka harga saham yang terjadi di pasar seharusnya
mencerminkan semua informasi yang relevan sehingga sesuai dengan nilai yang
sebenarnya. Pada kondisi ini semua partisipan di pasar memiliki pengharapan yang
sama (homogeneous expectation) karena informasi yang dimiliki setiap pihak adalah
sama. Namun apabila terjadi informasi asimetri di mana terdapat satu pihak atau
lebih yang memiliki informasi superior maka kemudian muncul berbagai
pengharapan di pasar (heterogeneous expectation) yang tercermin pada harga saham.
Semakin beragam harapan partisipan di pasar maka akan semakin besar tingkat
ketidakpastian mengenai harga saham tersebut di masa depan atau ex-ante
uncertainly sehingga semakin besar pula biaya informasi yang harus dikompensasi
melalui underpricing.
Teori informasi asimetri terjadi akibat adanya dua kelompok investor yang
berbeda di pasar. Kelompok pertama adalah investor yang memiliki informasi
(informed) dan kelompok kedua merupakan investor yang tidak memiliki informasi
(uniformed) mengenai kondisi dan prospek perusahaan dimasa yang akan datang.
Investor yang memiliki informasi mengetahui nilai perusahaan yang sebenarnya dan
hanya akan membeli saham apabila dijual dengan underprice. Sedangkan investor
yang tidak memiliki informasi akan membeli semua saham yang ditawarkan baik
underprice maupun overprice sehingga alokasi edaran saham yang diperoleh tidak
menguntungkan (Muniya Alteza, 2010: 5).
3.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Underpricing
Telah dijelaskan bahwa ketika suatu perusahaan melakukan Initial Public
Offering (IPO) maka secara rata-rata biasanya harga saham pertama diperdagangan
sekunder cenderung mengalami underpriced. Fenomena terjadinya underpricing
dijumpai hampir pada semua emiten yang melakukan go public . Setidaknya ada
beberapa faktor yang mempengaruhi underpricing, yaitu :
A. Return on Assets (ROA)
ROA (Return On Assets) merupakan salah satu ukuran profitabilitas
perusahaan, maka semakin tinggi ROA perusahaan akan semakin rendah tingkat
underpricing (selisih antara harga saham hari pertama listing dengan harga saham
perdana semakin rendah) karena investor akan menilai kinerja perusahaan lebih
baik dan bersedia membeli saham perdananya dengan harga yang lebih tinggi
(Su,2004:76)
Return on Assets (ROA) digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan
dalam menghasilkan laba yang berasal dari aktivitas investasi. ROA dapat
didefiniskan sebagai laba bersih dibagi dengan nilai buku asset ( Salim
Darmadi,2012:188 ) Cara menghitungnya adalah laba bersih dibagi dengan total
aktiva (Handono Mardiyanto, 2009: 6). Rasio ini mengukur tingkat pengembalian
dari bisnis atas seluruh aset yang ada. Rasio ini menggambarkan efisiensi pada
dana yang digunakan dalam perusahaan. Dengan rumus sebagai berikut :
ROA =
x 100%
Ardhyansyah (dalam Setiawan, 2011: 77) mengemukakan bahwa profitabilitas
perusahaan yang tinggi menunjukkan kemampuan perusahaan menghasillkan laba
di masa yang akan datang dan laba merupakan informasi penting bagi investor
sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan untuk investasi.
B. Debt Equity Ratio (DER)
Financial leverage menunjukkan kemampuan perusahaan dalam membayar
hutangnya dengan equity yang dimilikinya (Tambunan, 2007). Sedangkan menurut
Kim et al. (1993), secara teoritis, financial leverage menunjukkan risiko suatu
perusahaan dan kondisi ketidakpastian. Rasio ini merupakan salah satu rasio yang
penting karena berkaitan dengan masalah trading on equity, yang dapat
memberikan pengaruh positif dan negatif terhadap rentabilitas modal sendiri dari
perusahaan tersebut. DER dihitung dengan membagi total kewajiban dengan total
modal (Sugiono, 2008: 71).
Debt Equity Ratio merupakan perbandingan antara total debt (total uang yang
berbunga atau interest-bearing debt, baik jangka panjang maupun jangka pendek)
dengan stockholders’equity (ekuitas pemegang saham).
DER =
x 100%
Rasio ini digunakan untuk mengukur permodalan perusahaan, dan secara tidak
langsung juga mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban
membayar utang (Tambunan, 2008: 149). Semakin besar financial leverage suatu
perusahaan, akan menimbulkan ketidakpastian harga saham perdana yang besar
pula, yang pada akhirnya akan mempengaruhi underpricing (Trisnawati, 2008:43)
Keputusan membeli saham harus mempertimbangkan risiko sistematik.
Perubahan harga saham dipengaruhi oleh perubahan risiko sistematik pula. Faktorfaktor yang dapat mempengaruhi risiko sistematik antara lain (Tanuwidjaja, 2008:
47-48) :
a. Cyclicality, menunjukkan seberapa jauh perusahaan dipengaruhi oleh
konjungtur atau gelombang naik turunnya perekonomian makro,
b. Operating leverage, yaitu proporsi fixed cost perusahaan terhadap total cost)
yang mencerminkan kemampuan perusahaan untuk mengelola biaya dalam
situasi tertentu,
c. Financial leverage ( proporsi utang perusahaan), financial leverage yang
tinggi menyebabkan risiko sistematik yang menjadi tinggi.
Berdasarkan penelitian Abdullah & Mohd (2004) ukuran perusahaan
berpengaruh positif terhadap underpricing. Sedangkan menurut penelitian Ritter
(1987) dan Hanley (1993) (dalam Sulistio, 2005) menunjukkan bahwa ukuran
perusahaan berpengaruh negatif terhadap underpricing.
C. Ukuran Perusahaan
Ukuran perusahaan dinyatakan sebagai determinan dari struktur keuangan
dalam hampir setiap studi dan untuj sejumlah alasan berbeda. Ukuran perusahaan
dapat menentukan tingkat kemudahan perusahaan memperoleh dana dari pasar
modal. Perusahaan kesil umumnya kekurangan akses ke pasar modal yang
terorganisir, baik untuk obligasi maupun saham. Ketika perusahaan kecil memiliki
akses ke pasar modal, namun biaya peluncuran dari penjualan sejumlah kecil
sekuritas dapat menjadi pengahambat. Jika penerbitan sekuritas dapat dilakukan,
sekuritas perusahaan kecil mungkin kurang dapat dipasarkan sehingga
membutuhkan penentuan harga sedemikian rupa agar investor memperoleh hasil
yang memberikan return lebih tinggi secara signifikan. (Sawir, 2004: 101-102).
Ukuran perusahaan yang besar mengindikasikan bahwa perusahaan dalam
keadaan yang stabil (Dianingsih, 2003). Menurut Siregar dan Utama (2006),
semakin besar ukuran perusahaan, informasi yang tersedia untuk investor dalam
pengambilan keputusan sehubungan dengan investasi saham semakin banyak.
Berdasarkan penelitian Abdullah & Mohd (2004) ukuran perusahaan berpengaruh
positif terhadap underpricing. Penelitian Ritter (1987) dan Hanley (1993) (dalam
Sulistio, 2005) menunjukkan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh negatif
terhadap underpricing.
Ukuran perusahaan menentukan kekuatan tawar-menawar (bargaining power)
dalam kontrak keuangan. Perusahaan besar biasanya dapat memilih pendanaan
dari
berbagai
bentuk
utang,
termasuk
penawaran
spesial
yang
lebih
menguntungkan dibandingkan yang ditawarkan oleh perusahaan kecil. Pada
akhirnya, ukuran diikuti oleh karakteristik lain yang mempengaruhi struktur
keuangan, yaitu perusahaan kecil sering tidak mempunyai staf khusus, tidak
menggunakan rencana keuangan, dan tidak mengembangkan sistem akuntansi
mereka menjadi suatu sistem informasi manajemen. Ukuran perusahaan dapat
ditentukan berdasarkan laba, aktiva, tenaga kerja dan lain-lain (Sawir, 2004: 102).
Hal ini akan mengurangi asimetri informasi pada perusahaan besar sehingga akan
mengurangi tingkat underpricing daripada perusahaan kecil karena penyebaran
informasi perusahaan kecil belum begitu banyak (Dewa, 2012:26)
D. Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi mempengaruhi kinerja suatu perusahaan karena
pertumbuhan ekonomi dapat mempengaruhi tingkat penghasilan pelanggan dan
oleh karena itu mempengaruhi permintaan akan produk-produk suatu perusahaan.
Ketika perekonomian kuat maka perimintaan akan produk suatu perusahaan juga
kuat, dan labanya menjadi relatif lebih tinggi. Ketika perekonomian lemah,
permintaan akan produk suatu perusahaan juga lemah, dan labanya relatif lemah
(Jeff Madura, 2007: 157). Perhitungan pertumbuhan ekonomi dapat dihitung
dengan :
Δ PDB =
–
x 100%
Meningkatnya pertumbuhan ekonomi memberikan sinyak positif untuk
investasi. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan daya beli
konsumen sehingga dapat meningkatkan permintaan terhadap produk perusahaan
yang nantinya akan meningkatkan profit dan dapat meningkatkan harga saham
perusahaan (Kewal, 2012: 60).
Produktivitas (productivity) terkait dengan hubungan antara barang dan jasa
yang diproduksi di dalam suatu negara setiap tahunnya dan masukan yang
dibutuhkan untuk memproduksinya. Seiring dengan meningkatnya produktivitas,
maka pertumbuhan ekonomi dan kekayaan warga negaranya juga akan ikut
meningkat. Suatu ukuran produktivitas yang umum dipergunakan adalah produk
domestik bruto (PDB) atau disebut gross domestic product (GDP) suatu negara,
yaitu jumlah seluruh barang dan jasa yang diproduksi per kapita dengan
menjumlahkan jumlah total seluruh keluaran barang dan jasa yang diproduksi di
dalam suatu negara, dan kemudian membagi keluaran tersebut dengan jumlah
warga negara. PDB merupakan indikator yang penting dalam mengukur siklus
bisnis suatu negara, karena PDB yang menyusut akan mengindikasikan adanya
resesi (Boone dan Kurtz, 2007: 124).
Breinlinger and Glogova (2002) menguji hubungan antara Initial Public
Offering dan makro ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan suku
bunga. Hasil penelitian menunjukan pertumbuhan ekonomi berpengaruh
signifikan terhadap underpricing. Sedangkan Hopp dan Dreher (2007)
menjelaskan Pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh signifikan terhadap
underpricing.
E. Kurs Dolar Amerika ( USD )
Nilai kurs adalah suatu nilai tukar mata uang asing terhadap mata uang negara
lain. Financial Accounting Standar Board (dalam Amin, 2012: 5) mendefinisikan
nilai tukar sebagai rasio antara satu unit mata uang dan jumlah mata uang lainnya
yang dapat ditukar pada suatu waktu tertentu. Nilai tukar tersebut merupakan
harga dalam pertukaran, pertukaran antara dua mata uang yang berbeda akan
terdapat perbandingan nilai atau harga antara kedua mata uan tersebut. Nilai kurs
dollar (USD/IDR) adalah harga satu unit dollar (USD) yang ditunjukkan dalam
mata uang rupiah.
Ketika perekonomian dilanda crash, risiko meningkat tanpa diikuti kenaikan
harapan keuntungan yang proposional. Faktor-faktor khusus yang mempengrauhi
fluktuasi harga saham antara lain (Tanuwidjaja, 2008: 48-49):
a. Kebijakan pemerintah yang berpengaruh langsung terhadap perekonomian,
misalnya kebijakan suku bunga tinggi yang ditujukan untuk mengendalikan
jumlah uang beredar.
b. Naik-turunnya suku bunga sertifikat Bank Indonesia sebagai tolok ukur risk
free investment.
c. Naik-turunnya suku bunga overnight, yang menandakan situasi likuiditas
perekonomian secara umum.
d. Pergerakan kurs mata uang rupiah terhadap mata uang asing, khususnya mata
uang dolar AS, dolar Singapura, euro, poundsterling Inggris, dan yen-Jepang.
e. Bertiupnya sentimen-sentimen negatif yang mempengaruhi pasar, misalnya
yang terkait dengan iklim sosial politik serta situasi keamanan dalam negeri
yang dianggap berpengaruh signifikan terhadap dunia bisnis.
f. Perkembangan teknologi baru yang secara signifikan mengubah proses bisnis
pada suatu bidang tertentu.
Sasono (2012: 89) menjelaskan bahwa dalam transaksi atau jual beli valas,
dikenal:
a. selling rate (kurs jual) yaitu kurs yang ditentukan oleh suatu bank penjualan
valuta asing tertentu pada saat tertentu
b. midlle rate (kurs tengah) , adalah kurs tengah antara kurs jual dan kurs beli
valutas asing terhadap suatu mata uang nasional, yang ditetapkan oleh bank
sentral pada suatu saat tertentu.
c. buying rate (kurs beli), yaitu kurs yang ditentukan oleh suatu bank untuk
pembelian valuta asing tertentu pada saat tertentu.
d. flate rate (kurs flat), adalah kurs yang berlaku dalam transaksi jual beli bank
notes
dan
travellers
cheque,
dimana
dalam
kurs
tersebut
sudah
diperhitungkan provisi dan biaya-biayanya.
Jika nilai tukar dollar melemah terhadap rupiah dan dapat diprediksi akan
menguat kembali di masa mendatang, serta ketika alternaitf investasi lain dirasa
kurang menjanjikan maka investor akan cenderung menginvestasikan dananya ke
dalam bentuk mata uang dollar dengan harapan ketika kurs dollar terhadap rupiah
meningkat investor akan menjualnya kembali dalam bentuk mata uang rupiah
sehingga investor memperoleh gain dari selisih kurs (Amin,2012: 2). Kurs
menggambarkan
keadaan
pasar.
Pergerakan
kurs
yang
dinamis
dapat
diperdagangkan dan dari kegiatan tersebut ada keuntungan yang diperoleh
sehingga kurs menjadi salah satu pertimbangan dalam berinvestasi. Naik turunnya
nilai Rupiah terhadap uang asing menyebabkan naik turunnya permintaan saham
di pasar modal oleh investor. Penelitian yang dilakukan oleh Yolana dan Martani
(2005) dalam (Isti,2003) menemukan bahwa rata-rata kurs berpengaruh signifikan
terhadap underpricing.
F. Reputasi Underwriter
Underwriter merupakan salah satu unit usaha dari sebuah perusahaan Efek
yang membantu dan melakukan penjaminan atas emisi saham maupun obligasi.
Underwriter akan berperan penuh mulai dari persiapan ogo public, penawaran
awal (book building), road show, proses marketing, penentuan harga perdana,
penyiapan berbagai dokumen go publik, hingg pelaksanaan penawaran umum dan
pencatatan saham di Bursa Efek. Menurut Suyatmin & Sujadi (2006) dan
Dimovski & Brooks (2008) mengemukakan bahwa reputasi penjamin emisi
(underwriter) berpengaruh negative terhadap underpricing.
Underwriter menjadi motor bagi keberhasilan go public dan akan
meningkatkan citra penjamin emisi di mata calon-calon emiten berikutnya.
Keberhasilan underwriter dapat dilihat dari minat investor untuk membeli saham
atau obligasi yang diterbitkan. (Fakhruddin, 23-24).
Salah satu cara praktis menilai prospek saham pada saat IPO adalah
bonafiditas dan reputasi perusahaan yang menjadi penjamin emisi (lead
unerwriter). Asumsi bahwa semakin bonafide lead underwriter, akan semakin
prospektif saham yang di-IPO-kan. Meskipun tidak selamanya, namun perusahaan
sekuritas (lead underwriter) yang bonafide biasanya cenderung selektif dan ketat
dalam memilik emiten yang akan di go public kan. Reputasi underwriter akan
menjadi taruhan di kalangan praktisi investasi (Sapto Raharjo, 2006: 225-226).
Irawati Junaeni dan Rendi Agustian (2013) menemukan reputasi underwriter
saja yang mempengaruhi tingkat underpricing saham. Sedangkan emuan penelitian
yang dilakukan I Dewa Ayu Kristiantari (2013) bahwa variabel reputasi
underwriter secara signifikan berpengaruh pada underpricing dengan arah koefisien
negatif.
G. Persentase Saham yang Ditawarkan
Salah satu dari keuntungan dari pemilikan saham adalah adanya dividen.
Dividen merupakan bagian laba atau keuntungan perusahaan yang dibagikan
kepada para pemilik saham sesuai dengan persentase kepemilikannya. Sebagai
pemilik saham, kita memiliki hak untuk mendapatkan dividen sesuai dengan
persentase kepemilikan (Salim, 2010: 41-42).
Persentase saham yang ditawarkan kepada publik saat IPO menunjukkan
besarnya private information yang harus di sharing-kan manajer ke pada publik.
Private informasi tersebut merupakan informasi internal yang semula hanya
diketahui oleh manajer, sebagai contoh standart yang dipakai dalam mengukur
kinerja perusahaan, keberadaan perencanaan bonus dan sebagainya. Dalam
melakukan penawaran perdana saat IPO maka manajer wajib memberikan
informasi internal secara berkala kepada investor.
Presentase Saham di Tawaran =
x 100%
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Abdullah & Mohd (2004)
menunjukkan persentase saham yang ditawarkan kepada publik berpengaruh
positif terhadap underpricing. Persentase kepemilikan yang ditahan oleh pemilik
(insiders) menunjukkan adanya
private information
yang dimiliki
oleh
pemilik/manajer (Leland & Phyle dalam Yasa, 2003). Enterpreneur akan tetap
menginvestasikan modal pada perusahaannya apabila mereka yakin akan prospek
pada masa mendatang. Pemilik tidak akan menginvestasikan modalnya pada
perusahaan lain bila investasi di perusahaannya lebih baik (Leland & Phyle dalam
Yasa, 2003).
2.2 Penelitian Terdahulu
Banyak penelitian telah dilakukan mengenai fenomena underpricing. Sebab terjadinya
underpricing juga telah dicoba dijelaskan oleh beberapa peneliti, namun peneliti empiris
membuktikan penyebabnya berbeda-beda.
Penelitian Sri Retno Handayani (2008) menguji Analisis Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Underpricing pada Penawaran Umum Perdana di Bursa Efek Jakarta.
Variable yang digunakan dalam penelitian meliputi Debt to Equity Rasio, Return on Assets,
Earning per Share, Umur perusahaan,Ukuran perusahaan, Prosentase Penawaran Saham.
Hasil penelitian menunjukkan Secara parsial menunjukkan bahwa hanya Earning per Share
yang berpengaruh secara signifikan terhadap underpricing. Sedangkan secara simultan
diperoleh hasil variabel Debt to Equity Rasio, Return on Assets, Earning per Share, Umur
Perusahaan, Ukuran Perusahaan, Prosentase Penawaran Saham tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap underpricing.
Penelitian Beatrik Yosephine (2010) menguji Pengaruh Financial Leverage, Return on
Equity(ROE), Ukuran Dan Umur Perusahaan Terhadap Tingkat Underpricing Pada
Perusahaan Yang Melakukan IPO Di Bursa Efek Indonesia (BEI). Variable yang digunakan
dalam penelitian meliputi Financial Leverage, Returnon Equity(ROE), Ukuran Dan Umur.
Hasil penelitian menunjukkan Pada perusahaan yang melakukan IPO variabel Financial
Leverage, Return on Equity dan umur perusahaan tidak memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap tingkat underpricing, sedangkan ukuran perusahaan memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap tingkat underpricing.
Penelitian Serniati Zebua (2012) menguji Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Fenomena
Underpricing pada Penawaran Saham Perdana di Bursa Efek Indonesia dengan Reputasi
Penjamin Emisi sebagai Variabel Moderating. Variable yang digunakan dalam penelitian
meliputi Informasi akutansi yaitu Return on Assets, Earning Per Share, Debt Equity Ratio,
Size dan Informasi non akutansi yaitu Nilai Penawaran Saham, Persentase Penawaran Saham,
Jenis Industri, Reputasi Auditor)
Hasil penelitian menunjukkan Informasi akutansi
berpengaruh secara simultan terhadap underpricing sedangkan secara parsial variabel Return
on Assets dan Persentase Penawaran Saham tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
underpricing. Reputasi penjamin sebagai variabel moderating tidak memperkuat hubungan
antara variabel informasi akutansi dan non akutansi terhadap underpricing.
Penelitian Irawati Junaeni dan Rendi Agustian (2013) menguji Analisis Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Tingkat Underpricing Saham pada Perusahaan yang Melakukan Initial
Public Offering di BEI . Variable yang digunakan dalam penelitian meliputi Reputasi
underwriting Financial leverage/DER Proceeds Jenis industri. Hasil penelitian menunjukan
Reputasi underwriting, Financial leverage/DER, Proceeds, Jenis industri memberikan
pengaruh secara simultan terhadap tingkat underpricing saham perusahaan. Sedangkan hasil
pengujian secara parsial diperoleh bahwa hanya reputasi underwriter saja yang
mempengaruhi tingkat underpricing saham.
Penelitian Kristian (2013) Analisi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi underpricing saham
pada penawaran saham perdana di bursa efek Indonesia . Variable yang digunakan dalam
penelitian meliputi Reputasi underwriter, reputasi auditor, umur perusahaan, ukuran
perusahaan, tujuan penggunaan dana untuk investasi profitabilitas perusahaan (ROA)
financial leverage, jenis industri. Sedangkan hasil pengujian Variabel reputasi underwriter,
ukuran perusahaan dan tujuan penggunaan dana untuk investasi secara signifikan
berpengaruh pada underpricing dengan arah koefisien negatif untuk ketiga variabel.
Sedangkan variabel reputasi auditor, umur perusahaan, profitabilitas perusahaan (ROA),
financial leverage, dan jenis industri terbukti tidak memiliki pengaruh signifikan pada
terjadinya underpricing.
Tabel 1 : Penelitian Terdahulu
Nama Peneliti
Judul Penelitian
Variable
Hasil Penelitian
Sri Retno Handayani
Analisis Faktor-
- Debt to Equity Rasio
Secara parsial
(2008)
Faktor yang
- Return on Assets
menunjukkan bahwa hanya
Mempengaruhi
- Earning per Share
Earning per Share yang
Underpricing pada
- Umur perusahaan
berpengaruh
Penawaran Umum
- Ukuran perusahaan
secara signifikan terhadap
Perdana
- Prosentase Penawaran
underpricing. Sedangkan
Saham
secara simultan diperoleh
hasil variabel Debt to
Equity Rasio, Return on
Assets, Earning per Share,
Umur Perusahaan, Ukuran
Perusahaan, Prosentase
Penawaran Saham tidak
berpengaruh secara
signifikan terhadap
underpricing.
Beatrik Yosephine
Pengaruh Financial
- Financial leverage
Pada perusahaan yang
(2010)
Leverage, Return on
- Return on Assets
melakukan IPO variabel
Equity(ROE), Ukuran
- Ukuran Perusahaan
Financial Leverage, Return
Dan Umur Perusahaan
- Umur perusahaan
on Equity dan umur
Terhadap Tingkat
perusahaan tidak memiliki
Underpricing Pada
pengaruh yang signifikan
Perusahaan Yang
terhadap tingkat
Melakukan IPO Di
underpricing, sedangkan
Bursa Efek Indonesia
ukuran perusahaan
(BEI)
memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap tingkat
underpricing.
Serniati Zebua
Faktor-Faktor yang
- Informasi akutansi: Return
Informasi akutansi
(2012)
Mempengaruhi
on Assets, Earning Per
berpengaruh secara simultan
Fenomena
Share, Debt Equity Ratio,
terhadap underpricing
Underpricing pada
Size
sedangkan secara parsial
Penawaran Saham
- Informasi non akutansi:
variabel Return on Assets
Perdana di Bursa Efek
Nilai Penawaran Saham,
Indonesia dengan
Persentase Penawaran
Reputasi Penjamin
Saham, Jenis Industri,
Emisi sebagai
Reputasi Auditor)
dan Persentase Penawaran
Saham tidak berpengaruh
secara signifikan terhadap
underpricing. Reputasi
penjamin sebagai variabel
Variabel Moderating
moderating tidak
memperkuat hubungan
antara variabel informasi
akutansi dan non akutansi
terhadap underpricing.
Irawati Junaeni dan
Analisis Faktor-
- Reputasi underwriting
Reputasi underwriting,
Rendi Agustian
Faktor yang
- Financial leverage/DER
Financial leverage/DER,
(2013)
Mempengaruhi
- Proceeds
Proceeds, Jenis industri
Tingkat Underpricing
- Jenis industri
memberikan pengaruh
Saham pada
secara simultan terhadap
Perusahaan yang
tingkat underpricing saham
Melakukan Initial
perusahaan. Sedangkan
Public Offering di
hasil pengujian secara
BEI
parsial diperoleh bahwa
hanya reputasi underwriter
saja yang mempengaruhi
tingkat underpricing saham.
I Dewa Ayu Kristian
Analisi Faktor-Faktor
- Reputasi underwriter,
Variabel reputasi
(2013)
yang Mempengaruhi
- reputasi auditor, umur
underwriter, ukuran
Underpricing
perusahaan,
perusahaan dan
Saham pada
- ukuran perusahaan
tujuan penggunaan dana
Penawaran Saham
- tujuan penggunaan dana
untuk investasi secara
Perdana di Bursa Efek
untuk investasi
signifikan berpengaruh
Indonesia
- profitabilitas perusahaan
pada underpricing dengan
(ROA)
arah koefisien negatif untuk
- financial leverage
ketiga variabel. Sedangkan
- jenis industri
variabel reputasi auditor,
umur perusahaan,
profitabilitas perusahaan
(ROA), financial leverage,
dan jenis industri terbukti
tidak memiliki pengaruh
signifikan pada terjadinya
underpricing.
3.3 Kerangka Pemikiran
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan bukti empiris tentang dampak variabel mikro
keuangan, variabel makro keuangan dan variabel non keuangan terhadap tingkat underpricing
yang dialami perusahaan-perusahaan yang akan memutuskan untuk melakukan initial public
offering (IPO). Variabel-variabel tersebut adalah Return on Asset (ROA), Debt Equity Ratio
(DER), pertumbuhan ekonomi, kurs dolar, underwriter dan persentase penawaran saham
terhadap tingkat underpricing saham perdana perusahaan yang tercatat di Bursa Efek
Indonesia (BEI).
Tabel 2 : Kerangka Pemikiran
Variabel Independent
Return on Asset (ROA)
Debt Equity Ratio
Ukuran Perusahaan
Variabel Dependent
Pertumbuhan Ekonomi
Tingkat
Underpricing
Kurs dolar
Reputasi Underwriter
3.4 Hipotesis
Persentase Saham yang
Ditawarkan
Profitabilitas yang tinggi dari suatu perusahaan akan mengurangi ketidakpastian bagi
investor sehingga akan menurunkan tingkat underpricing (Ghozali, 2002). Penelitian yang
dilakukan Su (2004) menunjukkan hasil bahwa ROA berpengaruh negative terhadap
underpricing. Namun hasil temuan Beatrik Yosephine Sitorus (2010) variabel profitabilitas
perusahaan (ROA) terbukti tidak memiliki pengaruh signifikan pada terjadinya underpricing.
Nilai ROA yang semakin tinggi akan menunjukkan bahwa perusahaan mampu menghasilkan
laba di masa yang akan datang dan laba merupakan informasi penting bagi investor sebagai
pertimbangan dalam menanamkan modalnya. Untuk itu diajukan hipotesis sebagai berikut:
H1 : Return on Assets (ROA) berpengaruh negatif terhadap tingkat underpricing
Penelitian yang Sri Retno Handayani (2008) secara parsial menunjukkan bahwa Debt to
Equity Rasio tidak berpengaruh secara signifikan terhadap underpricing. Temuan penelitian
yang dilakukan I Dewa Ayu Kristiantari (2013) financial leverage (DER), dan jenis industri
terbukti tidak memiliki pengaruh signifikan pada terjadinya underpricing. Untuk itu diajukan
hipotesis sebagai berikut:
H2 : Debt Equity Ratio (DER) berpengaruh negatif terhadap tingkat underpricing
Karena perusahaan yang berskala besar umumnya lebih dikenal oleh masyarakat daripada
perusahaan yang berskala kecil. Karena lebih dikenal, maka informasi mengenai perusahaan
besar lebih banyak dibandingkan perusahaan yang berukuran kecil. Berdasarkan penelitian
Abdullah & Mohd (2004) ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap underpricing.
Sedangkan menurut penelitian Ritter (1987) dan Hanley (1993) (dalam Sulistio, 2005)
menunjukkan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap underpricing. Untuk
itu diajukan hipotesis sebagai berikut:
H3 : Ukuran Perusahaan berpengaruh negatif terhadap tingkat underpricing
Meningkatnya pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan daya beli konsumen sehingga
dapat meningkatkan permintaan terhadap produk perusahaan yang nantinya akan
meningkatkan profit dan dapat meningkatkan harga saham perusahaan (Kewal, 2012: 60).
Breinlinger and Glogova (2002) menguji hubungan antara Initial Public Offering dan
makro ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan suku bunga. Hasil penelitian
menunjukan pertumbuhan ekonomi
berpengaruh signifikan terhadap
underpricing.
Sedangkan Hopp dan Dreher (2007) menjelaskan Pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh
signifikan terhadap underpricing. Untuk itu diajukan hipotesis sebagai berikut:
H4 : Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh negatif terhadap tingkat underpricing
Financial Accounting Standar Board (dalam Amin, 2012: 5) mendefinisikan nilai tukar
sebagai rasio antara satu unit mata uang dan jumlah mata uang lainnya yang dapat ditukar
pada suatu waktu tertentu. Nilai tukar tersebut merupakan harga dalam pertukaran,
pertukaran antara dua mata uang yang berbeda akan terdapat perbandingan nilai atau harga
antara kedua mata uan tersebut. Muhammad Fahmi (2010) menemukan variabel ekonomi
makro yaitu suku bunga, inflasi dan nilai tukar US$ secara silmultan tidak berpengaruh
signifikan terhadap initial return, namun secara parsial variabel suku bunga dan inflasi
berpengaruh signifikan terhadap inital return. Penelitian yang dilakukan oleh Yolana dan
Martani (2005) dalam (Isti,2003) menemukan bahwa rata-rata kurs berpengaruh signifikan
terhadap underpricing. Untuk itu diajukan hipotesis sebagai berikut :
H5 : Kurs Dolar USD berpengaruh negatif terhadap tingkat underpricing
Underwriter menjadi motor bagi keberhasilan go public dan akan meningkatkan citra
penjamin emisi di mata calon-calon emiten berikutnya. Keberhasilan underwriter dapat
dilihat dari minat investor untuk membeli saham atau obligasi yang diterbitkan. (Fakhruddin,
23-24).
Irawati Junaeni dan Rendi Agustian (2013) menemukan reputasi underwriter saja yang
mempengaruhi tingkat underpricing saham. Sedangkan temuan penelitian yang dilakukan I
Dewa Ayu Kristiantari (2013) bahwa variabel reputasi underwriter secara signifikan
berpengaruh pada underpricing dengan arah koefisien negatif. Untuk itu diajukan hipotesis
sebagai berikut :
H6 : Reputasi underwriter berpengaruh negatif terhadap tingkat underpricing
Persentase saham yang ditawarkan kepada publik saat IPO menunjukkan besarnya private
information yang harus di sharing-kan manajer ke pada publik. Private informasi tersebut
merupakan informasi internal yang semula hanya diketahui oleh manajer, sebagai contoh
standart yang dipakai dalam mengukur kinerja perusahaan, keberadaan perencanaan bonus
dan sebagainya. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Abdullah & Mohd (2004)
menunjukkan persentase saham yang ditawarkan kepada publik berpengaruh positif terhadap
underpricing. Persentase kepemilikan yang ditahan oleh pemilik (insiders) menunjukkan
adanya private information yang dimiliki oleh pemilik/manajer (Leland & Phyle dalam Yasa,
2003). Enterpreneur akan tetap menginvestasikan modal pada perusahaannya apabila mereka
yakin akan prospek pada masa mendatang. Pemilik tidak akan menginvestasikan modalnya
pada perusahaan lain bila investasi di perusahaannya lebih baik (Leland & Phyle dalam Yasa,
2003). Untuk itu diajukan hipotesis sebagai berikut:
H7 :
Presentase saham yang ditawarkan
underpricing
berpengaruh negatif terhadap tingkat
Irawati Junaeni dan Rendi Agustian (2013) menemukan bahwa reputasi underwriting,
Financial leverage/DER, Proceeds, Jenis industri memberikan pengaruh secara simultan
terhadap tingkat underpricing saham perusahaan. Sedangkan Beatrik Yosephine Sitorus
(2010) menemukan bahwa pada perusahaan yang melakukan IPO variabel Financial
Leverage, Return on Equity dan umur perusahaan tidak memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap tingkat underpricing. Untuk itu diajukan hipotesis sebagai berikut:
Download