laporan hasil observasi lingkungan analisis peran hutan

advertisement
LAPORAN HASIL OBSERVASI LINGKUNGAN
ANALISIS PERAN HUTAN KOTA MALABAR SEBAGAI
PENGHASIL OKSIGEN KOTA MALANG
“Tugas Terstruktur Biologi”
Dosen Pengampu :
Angga Dheta Shirajuddin Aji, S.Si, M.Si
Disusun Oleh :
Riyadhul Badiah
125100600111004
Jatmiko Eko Witoyo
125100601111006
PROGRAM STUDI TEKNIK BIOPROSES
JURUSAN KETEKNIKAN PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013
1. Pendahuluan
Kebutuhan akan pembangunan infrastruktur dan terbatasnya ketersediaan lahan
menjadi salah satu faktor terjadinya disintegrasi dalam pembangunan di perkotaan. Berbagai
sektor aktivitas masyarakat kota seringkali memperebutkan lahan-lahan terbuka hijau di
kawasan perkotaan dan mengakibatkan semakin minimnya ruang terbuka hijau (RTH).
Keberadaan RTH di kawasan perkotaan sangat penting dalam mendukung keberlangsungan
sebuah kota ditinjau dari segi ekologis. Fungsi intrinsik (utama) RTH beragam, diantaranya
yaitu sebagai produsen (penghasil) oksigen. Oksigen merupakan kebutuhan dasar yang mutlak
diperlukan oleh sebuah kota baik oleh penduduk, kendaraan bermotor, hewan ternak, maupun
industri. Gas oksigen merupakan gas yang dibutuhkan oleh makhluk hidup untuk proses
respirasi.
Perkembangan Kota Malang telah banyak keluar dari rencana semula. Kota Malang
mengalami gejala yang sama yaitu perubahan fungsi lahan yang direncanakan sebagai ruang
terbuka hijau (RTH) menjadi kawasan terbangun. Kota Malang seharusnya mencadangkan
3.301,8 ha lahannya untuk dijadikan RTH, namun pada kondisi eksisting RTH Kota Malang
hanya 11,82% atau 1.303,19 ha (Masterplan RTH Kota Malang, 2005). Perkembangan Kota
Malang seperti yang telah dijelaskan di atas pada akhirnya mengakibatkan menurunnya
produksi oksigen yang mampu dihasilkan oleh RTH, karena pengalihfungsian lahan
menyebabkan meningkatnya area-area yang diperkeras dengan material yang tidak
memungkinkan bagi tanaman untuk tumbuh.
Apabila setiap 1 m2 ruang terbuka hijau mampu menghasilkan 50,625 gram
O2/m2/hari menurut Gerakis (1974) yang dimodifikasi dalam dalam Wisesa (1988), maka
untuk RTH seluas nm2 akan menghasilkan sebesar kg O2/hari. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa luas RTH berbanding lurus dengan besar/kecilnya produksi O2, yaitu semakin tinggi
luas RTH akan semakin besar jumlah O2 yang dihasilkan dan semakin rendah luas RTH akan
semakin sedikit jumlah O2 yang dihasilkan.
Pengalihfungsian ruang terbuka hijau menjadi kawasan terbangun di Kota Malang pada
akhirnya menyebabkan penurunan produksi oksigen.Konsumsi oksigen penduduk adalah
sebesar 0,864 kg/jiwa/hari (Herliani, 2007). Dengan jumlah penduduk sebanyak 816.637 jiwa
(Kota Malang Dalam Angka, 2008), maka konsumsi oksigen Kota Malang adalah 705,57 ton
O2/hari. Jika luas terbuka hijau (RTH) Kota Malang adalah 1.303,8 ha (Masterplan RTH Kota
Malang, 2005) maka produksi O2 yang mampu dihasilkan (Gerakis dalam Wisesa, 1988) oleh
RTH adalah sebesar 660,04 ton O2/hari sehingga Kota Malang memerlukan adanya
penambahan ruang terbuka hijau (RTH).
Hutan kota sebagai unsur RTH merupakan sub sistem kota, sebuah ekosistem dengan system
terbuka. Pemerintah Kota Malang melalui dinas pertamanan masih berupaya menyediakan
minimal dua unit hutan kota di masing-masing kecamatan. Namun, karena kondisinya yang
sudah padat bangunan di dua kecamatan (Kecamatan Sukun dan Lowokwaru) upaya tersebut
sulit dilakukan. Optimasi hutan kota merupakan jalan paling efektif yang dapat dilakukan.
Konsistensi pengembangan hutan kota diharapkan dapat menjadi gambaran upaya optimasi
yang dapat dilakukan dalam meningkatkan produksi oksigen yang mampu dihasilkan oleh
RTH khususnya hutan kota di Kota Malang. Tujuan dari observasi kali ini adalah untuk
mengetahui pengaruh hutan kota Malabar sebagai penghasil oksigen Kota Malang. Sehingga
akan membahas “Analisis Peran Hutan Kota Malabar Sebagai Penghasil Oksigen Kota
Malang”.
2. Tinjauan Pustaka
2.1.Hutan Kota
Pengembangan hutan kota sebagai bagian dari Ruang Terbuka Hijau sebuah
perkotaan berdasarkan ketentuan penataan ruang UU No. 26 Tahun 2007 menentukan luas
RTH suatu daerah adalah 30% dari luas total suatu daerah yang harus digunakan sebagai
RTH. Hutan kota sebagai unsur Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan komunitas
vegetasi yang tumbuh di lahan kota atau sekitar kota yang sangat penting keberadaannya
dalam menciptakan suatu lansekap kota yang berwawasan lingkungan. Menurut Eko
Budihardjo dkk (1998) Fungsi dan peranan hutan kota dengan vegetasi yang tumbuh di
atasnya merupakan elemen lunak (soft material) dalam perancangan suatu kota yang
berkelanjutan (kota ekologis)
Tanaman merupakan faktor utama dari elemen lunak disamping unsur lain seperti
air yang dapat memberikan efek psikologis rasa kelembutan bagi warganya, karena
tumbuhan tidak hanya mengandung nilai estetis saja, tetapi juga berfungsi untu menambah
kualitas lingkungan perkotaan.
Hutan kota menurut Djamal Irwan (2005) adalah komunitas vegetasi berupa pohon
dan asosiasinya yang tumbuh di lahan kota atau sekitar kota, berbentuk jalurk kecil
masyarakat yang memberikan tanggapan untuk kenyaman dan obyek wisata.
2.2.Hutan Kota Malabar
Hutan Kota Malabar ini ada di jalan Malabar, arah timur dari gereja jalan Ijen.
Hutan Kota ini luasnya adalah 16.718m2. Di tengah Hutan Kota Malabar terdapat kolam
air yang konon menjadi sumber untuk mengairi taman-taman di kota Malang
(Lestari,2013).
Begitu masuk ke dalam Hutan Kota Malabar ini, mulai terasa hawa yang sejuk dan
terdengar kicauan burung. Hutan Kota Malabar ini sudah mulai lebat pohonnya, sehingga
berada di dekatnya pun akan terasa hawa yang segar. Sebagai lahan penghijauan yang
berlokasi di tengah kota ini, selain sebagai paru-paru kota Malang, Hutan Kota Malabar ini
sebenarnya dapat juga dijadikan sebagai alternatif tempat rekreasi yang murah.
Seharusnya, pihak pemerintah daerah Malang lebih memperhatikan keserasian,
kenyamanan, dan keindahan Hutan Kota ini (Lestari,2013)
3. Metode Penelitian
3.1.Lokasi dan Waktu Penelitian/Observasi
Lokasi Observasi yang dipilih adalah Hutan Kota Malabar, Jalan Malabar, Kota
Malang. Observasi dilakukan pada tanggal 18 Mei 2013 mulai Pukul 08.00 – 11.00.
3.2.Metode Pengumpulan Data
3.2.1. Survey Primer/Langsung
Survey langsung bertujuan untuk mengetahui kondisi ataupun keadaan Hutan
Kota Malabar secara langsung termasuk vegetasi dan jumlah vegetasi Hutan Kota
Malabar, Luas Hutan Malabar, Serta Tahun Pendiriannya.
3.2.1. Survey sekunder
Metode yang dilakukan untukmengumpulkan data berupa dokumen, kebijakan
dan literatur yang berhubungan dengan pembahasan
4. Hasil dan Pembahasan
4.1.Vegetasi Hutan Kota Malabar
Hutan Kota Malabar mempunyai koleksi jenis tumbuhan berjumlah 113 jenis. Hal
ini menurut penuturan narasumber lapangan (P. Amin) yang merupakan Petugas Dinas
Pertamanan Kota Malang yang sedang bertugas saat itu.
Berikut ini adalah jenis
tumbuhan/vegetasi yang mendominasi/banyak terdapat pada Hutan Kota Malabar
1. Jati (Tectona grandis L.f.)
1.1.Tata Nama
Jati dengan nama ilmiah T. grandis L.f. termasuk ke dalam family
Verbenaceae. Jati dikenal pula dengan nama daerah sebagai berikut: deleg, dodokan,
jate, jatos, kiati dan kulidawa. Di berbagai negara, jati lebih dikenal dengan nama
gianti (Venezuela), teak (USA, Jerman), kyun (Birma), sagwan (India), mai sak
(Thailand), teek (Perancis) dan teca (Brazil) (Martawijaya etal., 1981).
1.2.Deskripsi Botanis
Tinggi pohon jati dapat mencapai antara 25 sampai dengan 30 meter, namun
apabila ditanam pada daerah yang subur dan mempunyai keadaaan lingkungan yang
cocok, tingginya mampu mencapai 50 meter dengan diameter lebih kurang 150 cm.
Batang jati pada umumnya berbentuk bulat dan lurus, batang yang besar berakar
dengan warna kulit agak kelabu muda dan agak tipis beralur memanjang agak ke dalam
(Ditjen kehutanan, 1976).
1.3. Penyebaran dan Habitat
Penyebaran pohon jati di Indonesia terdapat di beberapa daerah yakni pulau
Jawa, pulau Muna, Maluku (Wetar) dan Nusa Tenggara sedangkan di luar Indonesia
terdapat di India, Thailand dan Vietnam. Pertumbuhan pohon jati sangat baik pada
tanah sarang yang mengandung kapur. Pohon jati tumbuh pada daerah dengan musim
kering nyata. Umumnya pohon jati mempunyai pola pertumbuhan yang
mengelompok. Pada daerah dengan tipe curah hujan C-F Schmidt and Ferguson
dengan curah hujan rata-rata 1200 sampai dengan 2000 mm per tahun dan umumnya
tumbuh pada dataran rendah yakni pada ketinggian 0 – 700 mdpl (Martawijaya et al.,
1981).
Menurut Lemmens dan Soerienegara (2002), jati tumbuh paling baik dan
mencapai dimensi-dimensi terbesar dalam suatu iklim tropika lembab, tetapi pohon ini
memerlukan satu musim kemarau yang jelas. Hutan jati umumnya terletak pada daerah
berbukit-bukit atau bergelombang, tetapi juga dikenal pada dataran rata aluvial. Tanah
yang paling cocok adalah tanah aluvial-koluvial subur berdrainase baik dan dalam,
serta tanah tersebut mempunyai pH sekitar 6,5 – 8,0 dan kandungan Ca dan P yang
relatif tinggi.
1.4. Sifat-sifat Umum Kayu Jati (T. grandis L.f.)
Jati merupakan kayu bobot-sedang yang agak lunak dan mempunyai suatu
penampilan yang sangat khas. Kayu teras sering berwarna kekuningan kusam jika baru
dipotong, tetapi berubah menjadi cokelat keemasan atau kadang cokelat keabuan tua
setelah terkena udara. Sedangkan kayu gubalnya berwarna putih kekuningan atau
cokelat kekuningan pucat. Jika diraba kayu terasa berminyak dan mempunyai bau
seperti bahan penyamak yang mudah hilang. Lingkaran tumbuh nampak jelas, baik
pada bidang transversal maupun radial serta seringkali menimbulkan gambar atau
corak yang indah (Lemmens dan Soerienegara, 2002).
Pori-pori kayu jati sebagian besar atau hampir seluruhnya soliter dalam
susunan tata lingkar. Kayu jati mempunyai berat jenis sebesar 0,67 kg/m3 termasuk
ke dalam kelas kuat II dan kelas awet II. Kayu jati mudah dikerjakan, baik dengan
mesin ataupun dengan alat tangan (Martawijaya et al.,1981).
2. Sengon
2.1. Diskripsi Botanis
Pohon ini termasuk famili Fabaceae, yang dahulu dikenal dengan nama Albizia
falcataria (L) Fosberg, Albizia falcata Back atau A. moluccana Miq. Di Indonesia
dikenal dengan nama sengon laut (Jawa Timur dan Jawa Tengah); jeunjing (Jawa
Barat); Jing Laut (Madura); Tedehu Pute (Sulawesi), Tawasela (Ternate); seka, sika,
sikabot, sikas, tawa sela (Maluku); dan bae bai, wahogon, wai wikie (Irian Jaya)
(Alrasjid, 1973). Sengon berasal dari Maluku dan Irian Jaya, dan saat ini sudah
menyebar ke negara-negara Asia lainnya. Di Malaysia dan Brunai pohon ini dikenal
dengan nama puah, batai, atau kayu manis (Dephut, 1990).
Pohon sengon dapat mencapai tinggi 40 m dengan tinggi batang bebas cabang
10 - 30 m dan diameter batang sampai 80 cm. Kulit luar barwarna putih kelabu, tidak
beralur dan tidak mengelupas (Martawijaya et al. ,1989). Pohon sengon berdaun
majemuk, menyirip ganda, tangkai daun atau tangkai poros utama dengan satu atau
lebih kelenjar dan anak daun kecil. Bunga bulir seluruhnya atau sebagian besar
bercabang malai, berbulu halus, panjang kedudukan bunga 10 - 25 mm, kelopak bunga
2 - 2.5 mm, daun mahkota 5 -7 mm, berwarna putih, dibaliknya kuning muda, berbulu
rapat dan berbuah polong (Ditjen Kehutanan, 1976).
Tajuk berbentuk payung, tipis, jarang dan selalu hijau, berbunga sepanjang
tahun dan berbuah pada bulan Juni - November. Bijinya kecil dan berkulit keras.
Jumlah biji sengon sekitar 40.000 biji/kg atau 36.000 biji per liter, dan daya
kecambahnya 80% dengan perlakuan perendaman pada air mendidih selama 24 jam
(Alrasjid, 1973). Perakaran terbentang melebar dan selain mempunyai susunan akar
agak dangkal, terdapat pula susunan akar yang berkembang masuk agak dalam (Panitia
Perancang Hutan Industri, 1958 dalam Alrasjid, 1973).
2.2. Daerah Penyebaran dan Tempat Tumbuh
Pohon sengon ditemukan di Kepulauan Maluku secara alami dan pada tahun
1871 jenis pohon ini mulai ditanam di Pulau Jawa. Pohon sengon terdapat juga di
daerah lain seperti di Toampala, Sulawesi Selatan dan Irian. Di luar Indonesia, jenis
ini telah ditanam di Serawak, Brunai, Kepong, Sri Lanka, dan di India (Alrasjid, 1973).
Sengon merupakan jenis pohon daerah tropik dengan suhu pertumbuhan
optimum berkisar 220C–290C. Tempat tumbuh terbaik ditemukan pada ketinggian
tempat 10 – 800 m dpl. Sengon tumbuh baik di daerah yang terletak antara 100 LS –
30 LU yang memiliki 15 hari hujan dalam 4 bulan kering. Curah hujan tahunan yang
diinginkan pohon ini adalah 2000 mm – 2700 mm, kelembaban udara yang dibutuhkan
untuk tumbuh berkisar 50% - 75% (Prihmantoro, 1991). Pohon ini dapat tumbuh pada
tanah yang kurang subur (bonita 1) dengan drainase yang kurang baik. Menurut
Prihmantoro (1991), sengon lebih menyukai topografi yang relatif datar. Namun pada
keadaan tertentu sengon dapat ditanam pada areal bergelombang dan miring dengan
kemiringan lereng mencapai 25%.
3. Gambilina (Gmelina arborea Roxb.)
3.1.Tata Nama
Gembilina yang mempunyai nama ilmiah (Gmelina arborea Robx) termasuk
dalam Famili Verbenaceae Di berbagai negara, gembilina lebih dikenal dengan nama
Jati
putih
(Indonesia),
gamari,
yemane(Myanmar) (Rachmawati,2002).
3.2. Deskripsi Botani
gumadi
(India),
gamar
(Bangladesh),
Pohon Gembilina berukuran sedang, tinggi dapat mencapai lebih (30 - 40) m,
batang silindris, diameter rata-rata 50 cm kadang-kadang mencapai 140 cm. Kulit
halus atau bersisik, warna coklat muda sampai abu-abu. Ranting halus licin atau
berbulu halus. Bunga kuning terang, mengelompok dalam tandan besar (30-350 bunga
per tandan). Daun bersilang, bergerigi atau bercuping, berbentuk jantung, ukuran 1025 cm x 5-18 cm. Bunga sempurna, panjang mencapai lebih 25 mm, berbentuk tabung
dengan 5 helai mahkota. Bunga mekar malam hari. Penyerbukan umumnya dilakukan
lebah (Rachmawati,2002).
3.3.Penyebaran habitat
Persebaran alami Pohon Gembilina terdapat
di Nepal, India, Pakistan,
Bangladesh, Sri Lanka, Myanmar, Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam dan Cina
Selatan. Di hutan alam jenis ini selalu tersebar dan berkelompok dengan jenis lain.
Dijumpai di hutan yang selalu hijau di Myanmar dan Bangladesh, dan hutan kering
menggugurkan daun di India Tengah. Sudah ditanam luas di berbagai negara Asia
Tenggara termasuk Indonesia, Afrika Barat dan Amerika Selatan ( Rahmawati,2002).
4.
Palem
4.1. Tata Nama
Palem adalah tanaman hias yang bersifat kosmopolitan, keberadaannya
ditemukan di daerah tropis dan subtropis, di dataran rendah dan tinggi, di pegunungan
dan di pantai, di tanah yang subur dan gersang. Secara Umum, Klasifikasi Tanaman
Palem adalah sebagai berikut :
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledonae
Keluarga
: Aracaceae (Palmaceae)
Genus
Spesies
: Mascarena Cyrtostachys, Roystonea
: Ravenea sp. (palem putri); Mascarena lagenicaulis atau
Hyophorbe lagenicaulis (palem botol), Cyrtostachys lakka
(palem merah), Roystonea sp. (palem raja)
(Depmenegristek,2000).
4.2. Deskripsi Botanis
Palem merupakan tumbuahan monokotil (berkeping satu) yang berbatang
tunggal (gambar 1a) maupun berumpun (gambar 1b). tinggi batangnya sangat
bervariasi, mulai dari yang tidak bercabang/stemless (Gambar 1c) sampai dengan
ketinggian 50 m. Berdasarkan tinggi batang, palem dapat digolongkan sebagai palem
yang berupa pohom tinggi ( < 10 m), pohon sedang ( 2 – 10 m) maupun semak (2m).
Batang palem ada yang tumbuh tegak adapula yang merambat pada pohon lain sebagai
liana, bentuk yang demikian terutama dari jenis – jenis rotan (Gamba 1d). Pada
umumnya jenis – jenis palem tidak bercabang,kecuali jenis – jenis Hyphaene ( Gambar
1e) dan kadang – kadang Dhypsis yang menghasilkan percabangan ( Hanan, dkk ,
2000).
Gambar 1. : Penampakan (Habistus) (Sumber : Uhl & Dransfield, 1987)
Bentuk batang palem sangat bervariasi, mulai dari silinder seperti Pritchardia,
Palem Aleksander/Archontophoenix ( Gambar 2a), membesar pada bagian pangkal atau
tengah batang seperti palem raja/Roystonea ( Gambar 2b),berbentuk seperti botol
seperti Palem Botol/Hyophorbe (Gambar 2c), akar akan tampak diatas tanah seperti
Drymophelous, Verschafelltia (Gambar 2d), maupun perakaran yang meluas di atas
permukaan tanah, seperti palem kurma/Phoenix (Gambar 2e). Bentuk permukaan
batang palem juga bervariasi , ada yang berduri, licin, 9ropic9 pula yang kasar
( Hanan,dkk,2000).
Gambar 2 : Bentuk Batang (Sumber : Uhl & Dransfield, 1987)
Daun Palem memiliki daun majemuk yang ukuran dan bentuknya bervariasi.
Daun palem tersusun atas pelepah (Gambar 3a), tangkai daun (Gambar 3b), tulang daun
( Gambar 3d), dan helai daun (Gambar 3d). Rangkaian dari pelepah daun ada yang
membentuk pelepah, seperti Pinang Merah (Crytostachys renda),Pinang (Pinagga spp)
da nada pula yang tidak, seperti kelapa (Cococs nucifera), Palas (Licuala spp). Bentuk
tangkai daun bervariassi mulai dri bentuk silinder, rata, cembung, maupun cekung.
Posisi bagian tepi ada yang berduri ada pula yang tidak. Tulang daun ada yang panjang
da nada pula yang pendek. Bentuk daun bermacam – macam, mulai dari yang menyirip
(Gaambar 4a), utuh (Gambar 4b), helaian daun utuh dan membentuk celah pada bagian
ujung (Gambar 4c), kipas (Gambar 4d), Kapas memanjang ( Gaambar 4e), maupun
menyirip ganda (Gambar 4f) (Hanan,dkk,2000).
Gambar 3 : Bagian Daun (Sumber : Uhl & Dransfield, 1987)
Gambar 4 : Bentuk Daun (Sumber : Uhl & Dransfield, 1987)
Perbungaan pada palem berkaitan erat dengan siklus hidupnya. Palem
menghasilkan Perbungaan pada ujung batang(Corypha) (Gambar 5a) merupakan palem
yang bersifat hapaksantik (setelah berbunga dan berbuah lalu mati). Berdasarkan posisi
tumbuhnya perbungaan selain di ujung batang, perbungaa ada yang tumbuh diantara
daun (Interfoliar) yang makin ke atas Perbungaan makin muda (Gambar 5b), interfoliar
yang makin ke atasa makin tua (Basipetal) (Gambar 5c) maupun pada ruas batang
dibaah tajuk pelepah (Gambar 5d). Bentuk Perbungaan bermacam- macam ada yang
bercabang – cabang (Gambar 5e) 11ropic11 pula yang tidak bercabang
(Hanan,dkk,2000).
Gambar 5 : Perbungaan (Sumber : Uhl & Dransfield, 1987)
Buah Palem bervariasi baik bentuk, warna maupun ukurannya. Bentuk buah
palem dapat dilihat pada gambar 6. Jumlah biji yang terdaat pada buah yang bervariasi,
pada umumnya berbiji satu sampai tiga. Bentuk biji palem dapat dibedakan menjadi
dua macam, yaitu tropic (Gambar 7a) dan memamah (Gambar 7b) (Hanan,dkk,2000).
Gambar 6 : Bentuk Buah (Sumber : Uhl & Dransfield, 1987)
Gambar 7 : Bentuk Biji (Sumber : Uhl & Dransfield, 1987)
4.3. Penyebaran dan Habitat
Palem termasuk suku tumbuhan yang memiliki jumlah jenis yang tinggi. Di
dunia diperkirakan terdapat 2008 jenis, yang terdiri atas 200 marga. Palem memiliki
daerah penyebaran yang luas mulai dari daerah tropic,subtropik, sampai daerah yang
memiliki 4 musim (temperature). Palem tudak dapat tumbuh pada daerah yang ekstrim
dingin atau panas. Di daerah padang pasir, palem dapat tumbuh dengan baik jika di
dalam tanah terdapat aliran air yang dekat dengan permukaan tanah. Sebagian besar
jenis – jenis palem terdapat di daerah tropika, baik Asia, Afrika, maupun Amerika
Selatan. Penyebaran palem di dunia terdapat pada daerah 580 LU di Skotlandia sampai
440 LS di Seladia Baru (Hanan,dkk,2000).
Indonesia meruakan pusat keanekaragaman palem dunia. Dari 2.800 jenis
Palem dunia, 576 jenis diantaranya (46 marga) terdapat di hutan – hutan alam di
Indonesia. Dari 576 jenis,216 jenis diantaranya (29 marga) merupakan hutan palem
endemik. Jumlah tersebut kemungkinan akan bertambah mengingat masih luasnya
daeraah yang belum diinvestarisasikan keanekaragaman palemnya. Palem memiliki
toleransi ekologi yang cukup luas mulai dari hutan rawa,hutan bakau, hutan dataran
rendah sampai hutan – hutan di dataran tinggi. Palem juga dapat tumbuh dengan baik
pada berbagai tipe tanah mulai tanah berpasir,tanah gambut, tanah kapur, sampai tanah
berbatu dengan berbagai tingkat kemiringan, mulai tanah datar, tanah yang
berbukit,sampai tanah yang terjal di pegunungaan. Sebagian besar palem tumbuh pada
daerah yang basah dengan kelembaban udara,suhu, dan curah hujan yang tinggi.
Keadaan ini merupakan ciri utama dari hujan hujan tropic, sehingga keanekaragaman
palem berpusat pada daerah tersebut. Palem pada umumnya merupakan tumbuhan
bawah ( understory) pada struktur hutan hujan tropik (Hanan,dkk.,2000).
5.
Tanaman Asam Jawa (Tamarindus indica L.)
5.1.Tata Nama
Tanaman Asam Jawa yang bernama ilmiah Tamarindus indica L. memiliki
klasifikasi sebagai berikut :
Kingdom
: Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom
: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi
: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi
: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas
: Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas
: Rosidae
Ordo
: Fabales
Famili
: Fabaceae (suku polong-polongan)
Genus
: Tamarindus
Spesies
: Tamarindus indica L.
Tumbuhan Asam Jawa juga dikenal dengan nama Tamarindus occidentalis
Gaertn. T. Hook., T. umbrosa Salisb (Joker,2002).
5.2.Deskripsi Botanis
Pohon Asam Jawa mempunyai tinggi sampai 30 m dengan tajuk lebat dan
menyebar, cabang pendek. Panjang daun sampai 15 cm, duduk daun bergantian, daun
majemuk dengan 8 – 18 pasang anak daun, panjang anak daun 1 – 3,5 cm. Bunga kecil,
kuning dengan coretan merah muda, berjumlah 5 – 10 dalam tangkai sepanjang 3 – 5
cm (Joker,2002)
.
Gambar 8 : Bunga, daun dan buah Asam Jawa ( Sumber : Verheij EWM dan Coronel RE, 1991)
Buah berbentuk polong tidak merekah ketika kering, rapuh,panjang 5 – 15 cm,
agak melengkung dan membungkus biji. Terdapat 1 – 10 biji setiap polong, dibungkus
oleh daging buah yang lengket. Walaupun jenis yang selalu hijau, pohon ini
menggugurkan daun dalam periode singkat. Bunga biasanya muncul sejalan dengan
pertumbuhan daun baru, yang pada kebanyakan daerah terjadi selama musim semi dan
panas. Bunga mungkin diserbuki serangga. Pembentukan buah terjadi selama musim
hujan dan masak 6 bulan sesudahnya. Pohon asam mulai menghasilkan buah umur 8 –
12 tahun dan terus berbuah sampai umur 200 tahun (Joker,2002).
5.3.Penyebaran dan Habitat
Asal Usul Tanama Asam Jawa tidak diketahui secara pasti, mungkin jenis asli
savanna kering Afrika tropis. Jenis ini dahulu diintroduksi ke Asia yang menjadi tempat
tumbuh sekarang, dan belum lama diintroduksi ke tropis di belahan barat. Tumbuh baik
di daerah semi kering dan iklim muson basah, dapat tumbuh di kisaran tipe tanah yang
luas. Dapat hidup di tempat bersuhu sampai 47°C, tapi sangat sensitif terhadap es.
Umumnya tumbuh di daerah bercurah hujan 500 – 1.500 mm/tahun, bahkan tetap hidup
pada curah hujan 350 mm jika diberi irigasi saat penanaman. Di daerah tropika basah
bercurah hujan lebih dari 4.000 mm, pembungaan dan pembuahan menurun dengan
jelas. Jenis ini menghasilkan benih lebih banyak jika hidup di tempat dengan periode
kering yang panjang, berapapun curah hujan tahunannya (Joker,2002).
6. Tumbuhan Bintaro (Cerbera manghas L.)
6.1.Tata Nama
Tumbuhan Bintaro yang memiliki nama ilmiah Cerbera manghas L.
mempunyai klasifikasi ilmiah sebagai berikut :
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Bangsa
: Contortae
Suku
: Apocynaceae
Marga
: Cerbera
Jenis
: Cerbera manghas L
Tanaman Bintaro dikenal juga sebagai C. lactaria Ham ataupun C. odollam Gaertn.
Taanaman bintaro dikenal berbeda dan sangat beragam , antara lain bintan,buta – buta
badak, goro –goro (Manado),kayu gurita, kayu susu, manga brabu (Maluku), madang
kapo (Minangkabau), bintaro (Jawa dan Sunda), kenyeri putih (Bali), darli utama
(Sangir), kadong (Sulawesi Utara), lambuto (Ambon), dan goro – goro guwae (Ternate)
(Balittro,2011).
6.2.Deskripsi Botani
Secara taksonomi, tumbuhan yang diperbanyak dengan biji ini memiliki tinggi
mencapai 10 – 20 m (Gambar 9a). Batang bintaro tegak berkayu, berbentuk bulat, dan
berbintik – bintik hitam. Kulit batang bintaro tebal dan berkerak. Daun bintaro
merupakan daun tunggal dan berbentuk lonjong, tepi daun rata, ujung dan pangkalnya
meruncing, pertulangan daun menyirip,permukaan licin, dengan ukuran panjang 15 –
20 cm, lebar 3 -5 cm, dan berwarna hijau (Gambar 9). Daun Bintaro biasanya berjejalan
di ujung cabang. Bunga bintaro berwarna putih,berbau harum,dan terletak di ujung
batang ( Gambar 9c). bunga tanaman ini merupakan bunga majemuk berkelamin dua,
dengan panjang tangkai putik 2 – 2,5 cm. kepala sari bagian bunga berwarna coklat,
sedangkan kepala putiknya hijau keputih – putihan. Buah bintaro berbiji dan berbentuk
oval mirip dengan buah manga. Daging buah berserat dan tidak dapat dimakan karena
beracun (Gambar 9). Biji Bintaro berbentuk pipih, panjang, dan berwarna putih
(Gambar 9e). Akar tanaman ini merupakan akar tunggang dan berwarna coklat. Seluruh
bagian tanaman bintaro mengandung getah berwarna putih seperti susu (
Balittro,2011).
Gambar 9 : Tumbuhan Bintaro (Cerbera manghas L.);a) pohon, b) daun, c) Bunga, d) Buah , dan e) Biji
( Sumber: Balittro,2011)
6.3.Penyebaran dan Habitat
Pohon Bintaro (Cerbera manghas L.) juga disebut sebagai pong – pong tree
atau Indian suicide tree, termasuk dalam tumbuhan non pangan atau tidak untuk
dimakan. Tanaman ini termasuk mangrove yang berasal dari daerah tropis, yaitu Asia,
Australia, Madagaskar, dan Kepulauan Samudra Pasifik Bagian Barat. Di Indonesia,
bintaro juga terdapat di daerah Riau, lebih tepatnya di Teluk Meranti dan Palawan.
Tanaman bintaro banyak tumbuh di tepi pantai, daerah payau, dan pekarangan rumah
warga. Vegetasi tanaman ini berbentuk pohon yang rindang dan buah berbentuk seperti
bola. Tanaman bintaro cukup populer sebagai tanaman penghijauan kota dan daunnya
yang rimbun, sangat cocok untuk peneduh ( Soesanthy,2011).
7. Tanaman Bungur (Lagerstroemia speciosa PERS)
7.1.Tata Nama
Tanaman Bungur yang memiliki nama ilmiah Lagerstroemia speciosa PERS
termasuk kedalam keluarga /family Lythraceae. Tanaman Bungur juga di kenal dengan
nama L. reginae Roxb., L. flos-reginae Retz., L. loudoni T. & B., Adanzbea glabra
Lamk. Tanaman Bungur memiliki banyak nama daerah, di daerah Sumatera dikenal
dengan bungur (Melayu), bungur kuwal, bungur bener (Lampung), bungur tekuyung
(Palembang). Jawa: bungur (Sunda), ketangi, laban, wungu (Jawa Tengah), dan
bhungor, wungur (Madura) (Heyne,1987).
7.2.Deskripsi Botani
Pohon berukuran besar kadang – kadang tingginya mencapai 45 m dan diameter
batangnya 150 cm, tetapi pada umumnya tingginya 25 – 30 m dan diameter batangnya
60 – 80 cm. Batang bulat, berwarna cokelat muda, biasanya agak bengkok tetapi pada
tempat - tempat tumbuh yang baik dan dalam tegakan yang rapat batangnya tumbuh
lurus, beralur agak dalam, percabangannya dimulai dari bagian pangkalnya (Gambar
10a) (Heyne,1987).
Daun tunggal, bertangkai pendek. Helaian daun berbentuk oval, elips, atau
memanjang, tebal seperti kulit, panjang 9-28 cm, lebar 4-12 cm, berwarna hijau tua.
Serat daun melingkar kearah ujung dengan jumlah 12 – 13. Pada bagian pangkal
tangkai elastis memiliki lutut (Gambar 10b). Bunga majemuk berwarna ungu, tersusun
dalam malai yang panjangnya 10-50 cm, keluar dari ketiak daun atau ujung ranting.
Bungur berbunga 2 kali dalam satu tahun yaitu akhir Nopember – Desember dan bulan
Mei – Juni tetapi pernah dijumpai diluar musim tersebut diatas ( Gambar 10c). buah
bungur berbentuk bulat, ujungnya runcing seperti jarum dengan panjang 0,3 mm. Buah
bungur panjangnya 1,8 – 2,5 cm, diameternya 1,5 – 2 cm. Jika masih muda berwarna
hijau dan setelah masak berwarna coklat (Gambar 10 d.2). Buah masak memerlukan
waktu 3,5 - 4 bulan, bila berbunga bulan Nopember atau Desember maka berbuah bulan
Pebruari atau Maret dan bila berbunga bulan Mei atau Juni maka berbuah bulan
Agustus atau September. Buah masak pada saat musim kemarau akan lebih cepat
masak 15 – 20 hari jika dibandingkan buah masak pada saat musim penghujan (Gambar
10 d.1) (Heyne,1987).
A
C
Gambar 10 : Tanaman Bungur (Lagerstroemia speciosa PERS); a) Batang, b) Daun, c) Bunga, d) Buah
(d1 : Buah Tua ; d2 : Buah Muda) ( Sumber : Syarah, 2010).
7.3.Penyebaran dan Habitat
Bungur dapat ditemukan di hutan jati, baik di tanah gersang maupun di tanah
subur hutan heterogen berbatang tinggi. Kadang-kadang, bungur ditanam sebagai
pohon hias atau pohon pelindung di tepi jalan. Di Jawa, bungur dapat tumbuh sampai
ketinggian 800 m dpl. Selain itu, bungur banyak ditemukan pada ketinggian di bawah
300 m. Di Sumatera Selatan bungur tumbuh di tempat yang pada musim hujan
tergenang air namun tidak sampai terjadi pembentukan gambut. Sama seperti di Jawa,
Bungur di Palembang juga tumbuh terpencar – pencar tetapi di Lampung Bungur
terdapat dalam hutan – hutan murni (Heyne,1987).
8. Salak (Salacca edulis Reinw)
8.1.Tata Nama
Tanaman
salak
dapat
diklasifikasikan
sebagai
berikut
(Steenis,
1975;
Tjitrosoepomo, 1988):
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Klas
: Monocotyledoneae
Ordo
: Principes
Familia
: Palmae
Genus
: Salacca
Spesies
: Salacca zalacca (Gaert.) Voss.
Sinonim
: Salacca edulis Reinw.
Masyarakat Deli, Sunda, Jawa, Madura, Bali menyebutnya salak, masyarakat
Minang, Makasar dan Bugis menamainya sala, sedang masyarakat Kalimantan
menyebutnya hakam atau tusum (Wahyuningdari,2000)
8.2.Deskripsi Botanis
Tanaman salak termasuk golongan pohon palem rendah yang tumbuh
berumpun. Batang hampir tidak kelihatan karena tertutup pelepah daun yang sangat
rapat. Batang, pangkalm pelepah, tepi daun dan permukaan buahnya berduri tempel.
Pada umur 1-2 tahun batang dapat tumbuh ke samping membentuk beberapa tunas yang
akan menjadi anakan atau tunas bunga. Tanaman salak dapat tumbuh bertahun-tahun
hingga ketinggiannya mencapai tinggi 7 m (Wahyuningdari, 1992; Santoso, 1990).
Daun tersusun roset, bersirip terputus, panjang 2,5-7 m (Santoso, 1990). Anak
daun tersusun majemuk, helai daun lanset, ujung meruncing, pangkal menyempit.
Bagian bawah dan tepi tangkai berduri tajam. Ukuran dan warna daun tergantung
varietas (Wahyuningdari,2000). Tanaman salak termasuk tumbuhan berumah dua,
bunga kecil muncul di ketiak pelepah, mekar selama 1-3 hari. Ketika masih muda
diselubungi seludang yang berbentuk perahu. Simetri radial, mempunyai tiga daun
kelopak dan tiga daun mahkota, kadangkadang struktur kelopak dan mahkota tidak
dapat dibedakan. Kuntum bunga dibedakan menjadi kuntum besar dan kecil. Keduanya
bersatu dalam satu dasar bunga yang memiliki satu putik dengan satu bakal biji. Bunga
jantan, terdiri dari stamen tanpa putik, banyak, rapat, panjang, tersusun seperti genteng,
simetri radial. Bunga mempunyai mahkota dan mata tunas bunga kecil-kecil yang rapat,
satu kelompok terdiri dari 4-14 malai. Satu malai terdiri dari ribuan serbuk sari. Panjang
seluruh bunga sekitar 15-35 cm, sedang panjang malai 7-15 cm. Bunga betina hanya
menghasilkan putik, berbentuk agak bulat. Mempunyai mahkota dan mata tunas
dengan satu putik dan bakal biji yang tersusun dalam kuntum. Satu kelompok terdiri
dari 1-3 malai, setiap malai mengandung 10-20 bakal buah. Panjang bunga seluruhnya
20-30 cm, panjang malai 7-10 cm. Warna hijau kekuningan lalu merah dan sebelum
mekar sempurna bunga sudah berwarna kehitaman. Selain bunga jantan dan betina
terdapat pula bunga hermaprodit (Wahyuningdari,2000; Steenis, 1975; Backer dan
Bakhuizen v.d. Brink, 1968).
Akar serabut, menjalar datar di bawah tanah. Daerah perakaran tidak luas,
dangkal dan mudah rusak jika kekeringan atau kelebihan air. Perkembangan akar
sangat dipengaruhi oleh cara pengolahan tanah, pemupukan, tekstur tanah, sifat fisik
tanah, sifat kimia tanah, air tanah dan lain-lain. Untuk menjaga akar tetap tumbuh,
maka perlu diadakan penimbunan dan setelah muncul akar-akar muda, akar yang tua
dipotong (Tjahjadi, 1995; Santoso, 1990).
Buah umumnya berbentuk segitiga, bulat telur terbalik, bulat atau lonjong
dengan ujung runcing, terangkai rapat dalam tandan buah di ketiak pelepah daun. Kulit
buah tersusun seperti sisik-sisik/genteng berwarna cokelat kekuningan sampai
kehitaman. Daging buah tidak berserat, warna dan rasa tergantung varietasnya. Dalam
satu buah terdapat 1-3 biji. Biji keras, berbentuk dua sisi, sisi dalam datardan sisi luar
cembung (Wahyuningdari, 2000; Steenis, 1975).
8.3. Penyebaran dan Habitat
Tanaman salak (Salacca zalacca (Gaert.) Voss.) diduga berasal dari Pulau Jawa
dan sudah dibudidayakan sejak ratusan tahun silam. Pada masa penjajahan, tanaman
ini dibawa ke pulau-pulau lain dan akhirnya tersebar luas sampai ke Filipina, Malaysia,
Brunei dan Thailand (Nazarudin dan Kristiawati, 1997).
Daerah sebarannya yang luas menyebabkan banyak ragam varietas salak.
Keragaman ini semakin meningkat sejalan dengan penggunaan biji sebagai sarana
pembiakan. Varietas salak umumnya dikenal berdasarkan daerah tumbuhnya. Salak
pondoh dan salak bali merupakan varietas yang memiliki nilai komersial tinggi
(Kusumo dkk., 1995).
Tanaman salak memerlukan curah hujan rata-rata 200-400 mm per bulan.
Tanaman ini tidak menyukai penyinaran penuh, intensitas sinar yang dibutuhkan
berkisar 50-70%, sehingga perlu tumbuhan penaung. Salak tumbuh dengan baik pada
tempat beriklim basah dengan pH sekitar 6,5, berupa tanah pasir atau lempung yang
kaya bahan organik, dapat menyimpan air dan tidak tergenang, karena sistem
perakarannya dangkal (Wahyuningdari,2000 ; Santoso, 1990). Temperatur optimal 2030oC, apabila kurang dari 20oC perbungaan akan lambat, bila terlalu tinggi akan
menyebabkan buah dan biji membusuk (Santoso, 1990). Salak tumbuh baik dari
dataran rendah sampai ketinggian sekitar 700 m dpl dan dapat berbuah sepanjang tahun,
khususnya pada bulan Oktober dan Januari (Sastroprodjo, 1980).
9. Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq)
9.1. Tata Nama
Taksonomi kelapa sawit adalah sebagai berikut :
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Angiopspermae
Sub kelas
: Monocotyledoneae
Ordo
: Spadiciflorae
Keluarga
: Palmaceae
Sub keluarga
: Cocoideae
Genus
: Elaeis
Spesies
: Elaeis guineensis Jacq
( Lubis,1992).
9.2.Deskripsi Botanis
Kelapa sawit termasuk tanaman monokotil. Batangnya lurus, tidak bercabang
dan tidak mempunyai kambium tingginya dapat mencapai 15-20 m (Lubis, 1992).
Tanaman ini berumah satu atau monoecious, bunga jantan dan bunga betina berada
pada satu pohon. Bagian vegetatif terdiri atas akar, batang, dan daun, sedangkan bagian
generatifnya yakni bunga dan buah (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2008).
Calon akar muncul dari biji kelapa sawit yang dikecambahkan disebut radikula,
panjangnya dapat mencapai 15 cm dan mampu bertahan sampai 6 bulan (Lubis, 1992).
Akar primer yang tumbuh dari pangkal batang (bole) ribuan jumlahnya, diameternya
berkisar antara 8 dan 10 mm. panjangnya dapat mencapai 18 cm. Akar sekunder
tumbuh dari akar primer, diameternya 2-4 mm. Dari akar sekunder tumbuh akar tersier
berdiameter 0.7-1.5 mm dan panjangnya dapat mencapai 15 cm (Lubis, 1992).
Batang membengkak pada pangkal (bole), bongkol ini dapat memperkokoh
posisi pohon pada tanah agar dapat berdiri tegak (Sastrosayono, 2008). Dalam satu
sampai dua tahun pertama pertumbuhan batang lebih mengarah kesamping, diameter
batang dapat mencapai 60 cm. setelah itu perkembangan ke atas dapat mencapai 10 –
11 m dengan diameter 40 cm. Menurut Lubis (1992) pertumbuhan meninggi ini
berbeda - beda untuk setiap varietas.
Daun pertama yang tumbuh pada stadium benih berbentuk lanset (lanceolate),
kemudian muncul bifurcate dan setelah dewasa berbentuk menyirip (pinnate) ( Lubis,
1992). Pada tanaman dewasa dapat menghasilkan 40-60 daun dengan laju dua daun
/bulan dan satu helai daun hidup fungsional dua tahun. Panjang daun bisa mencapai 57 m terdiri dari : satu tulang daun (rachis), 100-160 pasang anak daun linear, dan satu
tangkai daun (petiole) yang berduri (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2008).
Tanaman kelapa sawit mulai berbunga pada umur 12-14 bulan, tetapi baru
ekonomis untuk di panen pada umur 2,5 tahun (Lubis, 1992). Bunga kelapa sawit
merupakan monoecious, bunga jantan dan bunga betina dalam satu pohon. Satu inflor
dibentuk dari ketiak setiap daun setelah diferensiasi dari pucuk batang. Jenis kelamin
jantan atau betina ditentukan 9 bulan setelah inisiasi dan selang 24 bulan baru inflor
bunga berkembang sempurna. Bunga-bunga betina dalam satu inflor membuka dalam
tiga hari dan siap dibuahi selama 3-4 hari. sedangkan bungabunga yang berasal dari
inflor jantan melepaskan serbuk sarinya dalam lima hari. Penyerbukan yang umum
terjadi biasanya penyerbukan silang namun kadang juga sendiri (Mangoensoekarjo dan
Semangun, 2008).
Buah kelapa sawit adalah buah batu yang sessile (sessile drup), menempel dan
menggerombol pada tandan buah. Jumlah per tandan dapat mencapai 1600, berbentuk
lonjong membulat. Panjang buah 2-3 cm, beratnya 30 gram. Bagian – bagian buah
terdiri atas eksokarp atau kulit buah dan mesokrap atau sabut dan biji. Eksokarp dan
mesokarp disebut perikarp. Biji terdiri atas endocarp atau cangkang, dan inti atau
kernel. Sedangkan inti tersebut terdiri dari endosperma dan embrio (Mangoensoekarjo
dan Semangun, 2008).
Biji merupakan bagian buah yang telah terpisah dari daging buah dan sering
disebut noten atau nut yang memiliki berbagai ukuran tergantung tipe tanaman (Lubis,
1992). Biji kelapa sawit terdiri atas cangkang, embryo dan inti atau endosperm. Embrio
panjangnya 3 mm berdiameter 1,2 mm berbentuk silinderis seperti peluru dan memiliki
dua bagian utama. Bagian yang tumpul permukaannya berwarna kuning dan bagian
lain agak berwarna kuning. Endosperm merupakan cadangan makanan bagi
pertumbuhan embryo. Pada perkecambahan embrio berkembang dan akan keluar
melalui lubang cangkang (germpore). Bagian pertama yang muncul adalah radikula
(akar) dan menyusul plumula (batang) (Lubis, 1992).
9.3.Penyebaran dan Habitat
Kelapa sawit adalah tanaman perkebunan/industri berupa pohon batang lurus
dari famili Palmae. Tanaman tropis ini dikenal sebagai penghasil minyak sayur yang
berasal dari Amerika. Asal tanaman kelapa sawit (Elaeis giuneensis jacq.) secara pasti
belum bisa diketahui. Namun, ada dugaan kuat tanaman ini berasal dari dua tempat,
yaitu Amerika Selatan dan Afrika (Guenia). Spesies Elaeis melanococca atau Elaeis
oleivera diduga berasal dari Amerika Selatan dan spesies Elaeis guineensis berasal dari
Afrika (Guenia). Brazil dipercaya sebagai tempat di mana pertama kali kelapa sawit
tumbuh. Dari tempat asalnya, tanaman ini menyebar ke Afrika, Amerika Equatorial,
Asia Tenggara, dan Pasifik Selatan. Bibit kelapa sawit pertama kali masuk ke Indonesia
tahun 1848 berasal dari Mauritus dan Amsterdam sebanyak empat tanaman yang
kemudian ditanam di Kebun Raya Bogor dan selanjutnya disebarkan ke Deli Sumatera
Utara (Lubis, 1992). Perkebunan kelapa sawit pertama dibangun di Tanahitam, Hulu
Sumatera Utara oleh Schad (Jerman) pada tahun 1911.
4.2. Karakteristik Vegetasi Hutan Kota Malabar
Menurut Anggraeni (2011), Karakteristik Vegetasi Hutan Kota Malabar terdiri dari
2 elemen yaitu elemen lunak (soft element) berupa vegetasi yang terbagi 4 stratum pada
hutan kota malabar Kota Malang adalah Sebagai berikut :
Tabel 1. Karakteristik Vegetasi Hutan Kota Malabar, Kota Malang ( Anggraeni,2011)
Elemen keras (hard element) merupakan elemen minoritas pada hutan
kota,termasuk Hutan Kota Malabar terlihat pada gambar berikut:
Keterangan :
1) Elemen keras (hard element)
2) Elemen lunak (soft element)
Gambar : Proporsi Elemen Keras terhadap Elemen Lunak pada Hutan Kota Malang (Anggraeni,2011)
4.3.Produksi Oksigen Hutan Kota
Pada kondisi eksisting hutan kota Malang dengan kemampuan menghasilkan
oksigen tertinggi adalah hutan kota Malabar, yaitu sebesar 7.868.795,46 gram/hari dan
hutan kota Indragiri merupakan hutan kota dengan kemampuan menghasilkan oksigen
terendah hutan kota Malang, yaitu sebesar 946.941,24 gram/hari yaitu pada hutan kota
Indragiri.
Tabel 2 : Kemampuan Hutan Kota Malang sebagai Penghasil Oksigen (Anggraeni,2011)
Dalam menghasilkan Oksigen elemen keras (hard element) mempunyai
pengaruh besar. Jika diasumsikan bahwa seluruh bagian hutan kota Malang tidak
memiliki elemen keras, maka besar produksi oksigen yang mampu dihasilkan oleh
vegetasi tegakan (stratum B, C dan D) hutan kota Malang adalah sebesar 65.432.548,80
gram/hari atau 3.268.182,18 gram/hari lebih tinggi dibanding dengan produksi oksigen
pada kondisi eksisting 62.164.366,63 gram/hari.
Tabel 3 : Pengaruh Elemen Keras terhadap Produksi Oksigen Hutan Kota Malang (Anggraeni,2011)
Berdasarkan tabel 3, dapat disimpulkan bahwa elemen keras berpengaruh
terhadap produksi oksigen hutan kota Malang. Jika masing-masing hutan kota Malang
tidak memiliki elemen keras maka besar produksi oksigen yang seharusnya mampu
dihasilkan oleh vegetasi hutan kota Malabar adalah 18.220.278,09 gram/hari, sebesar
9.725.259,83 gram/hari pada hutan kota Jakarta, sebesar 5.267.574,92 gram/hari pada
hutan kota Indragiri, sebesar 22.781.030,77 gram/hari pada hutan kota Velodrom dan
sebesar 19.241.993,73 gram/hari pada hutan kota Buper Hamid Rusdi.
5. Penutup
5.1.Kesimpulan
1) Hutan Kota Malabar mempunyai peranan penting sebagai penyedian O2 di Kota
Malang dengan jumlah sebesar 7.868.795,46 gram/hari
2) Berdasarkan karakterstik Vegetasi , Hutan Kota Malabar terdiri dari 4 vegetasi yaitu
vegetasi Stratum B,C,D, dan E
3) Berdasarkan Elemen Penyusunnya, Hutan Kota Malabar terdiri dari Elemen Keras
(Hard Element) sebesar 16.535,70 dan Elemen Lunak (soft element) sebesar 948,32
4) Elemen Keras (Hard Element) berpengaruh terhadap produksi okgin hutan Kota
Malabar, jika tanpa Elemen Keras (Hard Element) produksi oksigen mencapai
18.220.278,09
5.2.Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, rekomendasi yang dapat dikemukakan adalah
peningkatan dan peran aktif seluruh stakeholder dalam upaya pelestarian lingkungan untuk
mendukung keberlangsungan fungsi ekologis hutan kota, yaitu dengan:
1) Membangun pola berfikir masyarakat akan lingkungan hidup, bahwa lingkungan hidup
merupakan aset yang harus dipertahankan kelestariannya bukan untuk kepentingan
jangka pendek melainkan untuk masa yang akan datang.
2) Peran aktif pemerintah dalam mendukung upaya pelestarian ruang terbuka hijau
utamanya hutan kota mengingat banyak terjadinya konversi perubahan ruang terbuka
hijau kota Malang yang semakin pesat akibat perebutan kepentingan penggunakaan
lahan dari berbagai sektor aktivitas kota Malang. Untuk itu perlu adanya upaya
optimasi demi mengoptimumkan fungsi ekologis pada hutan kota yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Alrasjid, H. 1973. Beberapa Keterangan Tentang Albizia falcataria. Laporan No 157. LPH :
Bogor.
Anggraeni,Mustika,Niti Sesanti, dan Eddi Basuki Kurniawan. 2011. Optimasi Hutan Sebagai
Penghasil Oksigen Kota Malang. Jurnal Tata Kota dan Daerah Vol. 3, No. 1
Barittro,Rahimatun dan Sondang Suriati. 2011. Bintaro ( Cerbera manghas) sebagai Pestisida
Alami. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri Balai Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Vol.17, No.1, April 2011
Backer, C.A. dan R.C. Bakhuizen van den Brink. 1968. Flora of Java. Volume III. Groningen:
Wolters Noordhoff
Budihardjo, Eko & Djoko Suharto. 1998. Geomorfologi Gunung Galunggung ( Berdasarkan
Penyelidikan Pengindraan Jauh ) Kabupaten Tasikmalaya Jawa Barat. Bandung :
Direktorat Vulkanologi , Departemen Energi & Sumberdaya Mineral.
Departemen Kehutanan. 1990. Peta Kesesuaian Pengembangan Hutan Tanaman Industri
Sengon (Albizia falcataria) di Pulau Jawa. Kerjasama Perhimpunan
Meteorologi Pertanian Indonesia Dengan Badan Penelitian Dan
Pengembangan Kehutanan
Deputi menegristek. 2000. PALEM (Palem Putri, Botol, Merah dan Raja). Jakarta : Deputi
Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Direktorat Jenderal (Ditjen) Kehutanan. 1976. Vademeccum Kehutanan Indonesia. Departemen Pertanian : Jakarta
Djamal Irwan, Zoer’aini.2005. Tantangan Lingkungan & Lanskep Hutan Kota. Jakarta : Bumi
Aksara
Hanan, Abdul,dkk. 2000. Koleksi Palem Kebun Raya Bogor. Jakarta : Unit Pelaksana Teknis
Balai Pengembangan Kebun Raya LIPI
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid III. Jakarta : Badan Litbang Kehutanan
Joker, Dorthe. 2002. Tamarindus indica L. dalam Informasi Singkat Benih No. 21, Mei 2002.
Bandung : Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan
Kusumo, S., A.B. Farid, S. Sulihanti, K. Yusri, Suhardjo dan T. Sudaryono. 1995. Teknologi
Produksi Salak. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Holtikultural Badan
Peneltian dan Pengembangan Departemen Pertanian
Lemmens, R.H.M.J. dan I.Soerianegara. 2002. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara No.5(1)
Pohon Penghasil Kayu Perdagangan Utama. PT Balai Pustaka Prosesa Indonesia
: Bogor.
Lestari, Juwita Amanda. 2013. Observasi Hutan Kota Malabar, Malang. Malang : Fakultas
Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya
Martawijaya, A. , I. Kartasujana, K. Kadir dan S.A.Prawira. 1981. Atlas Kayu Indonesia Jilid
I. Balai Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan : Bogor.
________. 1989. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehuta
-nan : Bogor.
Nazaruddin dan Kristiawati. 1997. Varietas Salak. Jakarta: Penebar Swadaya
Prihmantoro, H. 1991. Budidaya Albizia. Jakarta Info Agribisnis. Trubus Edisi Juni : 34-36.
Rachmawati, Henny, Djoko Iriantoro, dan Christian P. Hansen. 2002. Gmelina arborea Roxb
dalam Informasi Singkat Benih No. 16, Januari 2002. Bandung : Direktorat
Perbenihan Tanaman Hutan
Santoso, H.B. 1990. Salak Pondoh. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Sastroprodjo, S. 1980. Fruits. IBPGR Scretariat Home
Steenis, C.G.G.J. van. 1975. Flora Untuk Sekolah di Indonesia. Jakarta: PT. Pradnya Paramita
Soesanthy, Funny dan Gusti Indiarti.2011. Hama Ulat Pemakan Daun Tanaman (Cerbera
manghas). Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri Balai Penelitian
dan Pengembangan Pertanian Vol.17, No.1, April 2011
Syrah, Mey dan Suradji.2010. Lagerstroemia speciosa PERS dalam Informasi Singkat Benih
No. 105. Palembang : BPTH Sumatra
Tjahjadi, N. 1995. Bertanam Salak. Yogyakarta: Kanisius
Tjitrosoepomo, G. 1988. Taksonomi Tumbuhan Spermatophyta. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Uhl,N.W. & J. Dreasfield.1987. Genera Palmarum, A Classification of Palms Based On The
Work of Harold E. Moore. Jr. The L.H. Bailey Hortorium and The International Palm
Society. Lawrence, Kansas- USA : Allen Press
Verheij, EWM and Coronel RE, eds, 1991. Plant Resources of South-East Asia. No.2. Edible
fruits and nuts. PROSEA Foundation. Wageningen, Netherlands: Pudoc.
Download