Risalah Diskusi PPN Topik Pembahasan: a. Pedoman Pengkreditan PM bagi PKP yang melakukan penyerahan terutang Pajak dan yang Tidak Terutang Pajak sebagaimana diatur dalam Per Men Keu: 78/PMK.03/2010 b. Kerancuan dalam memahami istilah: a. menghasilkan dan penyerahan barang kena pajak; b. Makna kegiatan usaha terpadu sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan tersebut. c. Kaitannya dengan SE 95/PJ/2010 tentang Penegasan Perlakuan PPN BKP tertentu dan atau JKP tertentu dan atau BKP tertentu yang bersifat strategis yang diekspor dan atau Hasil Pertanian yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengnaan PPN. Diskusi tentang fakta di lapangan: a. Perusahaan dalam bidang perkebunan kelapa sawit, kakao, karet, teh dan kopi umumnya terdiri dari usaha perkebunan yang menyatu dengan pabrikasi, bukan bentuk usaha intergrated. b. Berdasarkan peraturan BKPM, setiap pabrik harus memiliki perkebunan sendiri (perkebunan dan pabrik pengolahan merupakan satu entitas usaha). Perkebunan dalam industri Kelapa Sawit memang menghasilkan produk (BTS); yang tergolong barang strategis, namun tidak melakukan penyerahan barang hasil perkebunan. c. Yang diserahkan oleh PKP (Pabrik CPO) adalah BKP berupa CPO; selain dari itu, karena harus memenuhi kuantum produk tertentu, kenyataannya pabrik tersebut justru: - menerima pasokan / penyerahan bahan baku dari pihak lain (usaha perkebunan kelapa sawit) - menerima bahan baku atas permintaan pihak lain untuk diolah jadi minyak - seringkali terjadi pabrik mengirim bahan baku ke pihak untuk diolah dan dikirim kembali ke pabrik(maklon). d. Dengan demikian, materi atau tema yang digunakan dan diatur dalam PMK-78-PMK.032010 menjadi tidak jelas (karena menyamakan makna menghasilkan dengan makna penyerahan terutang pajak), khususnya dilkaitkan dengan contoh PKP Pabrik Minyak Jagung. e. Varian kegiatan pada industri CPO adalah sebagai barikut: - menerima bahan baku/ TBS dari usaha perkebunan lain; - mengirim TBS ke pabrikan lain untuk diolah menjadi minyak (maklon), disebabkan lokasi perkebunan jauh dari pabrik. Kesulitan di dalam praktek: 1. PMK 78/PMK.03/2010 a. Dari uraian diatas jelas bahwa Judul Per Men Keu- 78/PMK.03/2010 dan contoh yang disajikan kurang tepat untuk dilaksanakan terhadap industri perkebunan seperti halnya industri CPO. b. Tidak tepat disebabkan terdapat kerancuan penggunaan istilah menghasilkan, penyerahan, menjual. Oleh karenanya pedoman pengkreditan PM yang diatur dalam PMK 78/2010 tersebut tidak dapat diberlakukan, karena penyerahan pabrik berupa BKP, dan tidak ada penyerahan bukan BKP. c. industri CPO, bukan merupakan perusahaan integrated. Produk dan barang yang diserahkan hanya satu jenis (CPO) yang merupakan BKP. Pabrik CPO tidak pernah menjual TBS, kalau terjadi pengiriman TBS ke pabrik lain hal itu semata mata dimaksudkan untuk diproses (jasa maklon). d. Menurut peraturan BKPM, setiap industri CPO harus memiliki kebun, sehingga usaha perkebunan sawit dan pabrik CPO pada dasarnya merupakan satu entitas. Oleh karenanya apakah mengirim hasil kebun ke pabrik untuk diolah merupakan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam UU PPN? 1 e. Terkait dengan saat melakukan pengkreditan PM, apakah sebelum ada penyerahan BKP sudah dapat mengkreditkan; f. Peraturan Menteri tersebut mengatur penyerahan BKP dan bukan BKP, tetapi tidak jelas mengatur siapa yang menyerahkan (apakah departemen perkebunan melakukan penyerahanh ke departemen pengolahan) ?; Dalam hal ini penyerahan yang dilakukan oleh PKP 100% merupakan BKP. Penghitungan ulang PM yang boleh dikreditkan (seandainya industri CPO memang dimaksudkan melakukan penyerahkan BKP dan non BKP), seharusnya dilakukan setelah penyerahan, bukan setelah menghasilkan. g. Bilamana dikaitkan dengan PP No 12 Tahun 2001 tentang barang tertentu yang bersifat strategis yang telah diubah dengan PP No 7 Tahun 2007 dan terakhir dengan PP No 31 Tahun 2007, produk perkebunan merupakan barang strategis yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN. h. Sejalan dengan pembahasan diatas, PPN yang dibayar atas perolehan barang seperti pupuk misalnya, memang tidak dapat dikreditkan. Akibatnya PPN yang dibayar harus dibebankan ke harga perolehan yang otomatis akan menambah harga pokok Dengan demikian, pengaturan tentang pembebasan PPN terhadap barang strategis justru kontra produktif dengan upaya pemerintah meningkatkan ekspor . i. Di sisi lain, penggunaan pupuk sangat vital untuk meningkatkan kualitas bahan baku. Dilihat dari tujuan tersebut, PPN yang dibayar oleh pengusaha atas perolehan pupuk seharusnya merupakan PM yang dapat dikreditkan seluruhnya. j. Terkait dengan ketentuan Pasal 3 PMK 78 tersebut, pupuk adalah bahan yang habis dikonsumsi dalam tahun berjalan, sehingga pedoman penghitungan kembali PM yang dikreditlkan tidak relevan untuk bidang usaha seperti pabrik CPO. k. Seharusnya PMK 78 dikaitkan dengan PMK yang mengatur tentang Penyerahan BKP secara Cuma Cuma untuk tujuan produktif. l. Contoh No 2 tentang Pengkreditan PM atas pengusaha yang menghasilkan sepatu, terkait dengan PM atas pembelian generator kurang relevan. Terhadap produksi listrik kurang dari 6,000 W tidak terutang PPN, sehingga PKP seharusnya minta SKB Bebas PPN; 2. SE 95/PJ/2010 a. Pada dasarnya SE 95/PJ/2010 memberikan penegasan bahwa fasilitas PPN tidak dipungut dan pembebasan pengenaan PPN atas impor dan penyerahan BKP atau JKP tertentu hanya berlaku terhadap impor dan penyerahan dalam daerah pabean. Menurut Pasal 16 ayat (3) UU PPN, atas PPN yang dibayar untuk mengghasilkan BKP atau JKP tertentu dan bersifat strategis tidak dapat dikreditkan. b. Namun demikian apabila BKP atau JKP tersebut diekspor, tetap berlaku ketentuan UU PPN, yaitu dikenakan PPN dengan tarif 0 %. Oleh karenanya atas Pajak Masukan yang dibayar untuk menghasilkan BKP dan JKP yang diekspor (PPN dapat dikreditkan. c. Pengaturan Pedoman Pengkreditan PM diatas bila dikaitkan dengan PP No 31 Tahun 2007 dan PP 146 Tahun 2000 yang telah diubah dengan PP 38 Tahun 2003, yang menetapkan bahwa hasil perkebunan tergolong barang strategis, dapat berdampak kontra produktif seperti uraian diatas. d. Agar ketentuan pada kedua Peraturan Pemerintah tersebut lebih efektif, dan sejalan dengan jiwa SE 95/PJ/2010, seyogyanya dilakukan perubahan pada kedua Peraturan Pemerintah trsebut. Kata dibebaskan dari pengenaan PPN diubah dengan PPN tidak dipungut. e. Dengan perubahan fasilitas tersebut, pelaksanaan Per Men Keu 78/PMK.03/2010 akan lebih sejalan dan tidak janggal Simpulan: a. Judul Per Men Keu 78/PMK.03/2010 perlu dibenahi. PMK tersebut relevan terhadap pengusaha yang nyata-nyata melakukan penyerahan BKP dan Non BKP (penyerahan tidak terutang PPN), 2 b. Hal mana berbeda dengan pengusaha CPO, karena produk yang diserahkan hanya satu (CPO) yang jelas merupakan BKP; Sedangkan dalam PMK tersebut tidak diberikan contoh bilamana yang diserahkan hanya BKP. c. Perlu penegasan lebih lanjut mengenai jenis usaha yang diistilahkan dengan kegiatan usaha yang intergrated. Tentunya harus terdiri dari suatu intitas yang didalamnya terdiri dari dua pengusaha (bukan dua departemen dalam satu entitas). d. Terdapat kerancuan dalam penggunaan istilah menghasilkan, penyerahan, dan penjualan. Akibatnya, produk dari departemen perkebunan (menghasilkan) diperlakukan sebagai penyerahan sebagaimana dimaksud dalam UU PPN. Dampaknya terjadi kekeliruan pelaksanaan pengkreditan PM, yaitu pengkreditan PM terjadi sebelum penyerahan dilakukan e. Perlu dikaji keterkaitan pengkreditan tersebut dengan PP 31 Tahun 2007 dan PP 38 Tahun 2003 terkait pemberian fasilitas pembebasan pengenaan PPN terhadap barang yang dikategorikan barang strategis, dengan mengubah fasilitas dari pembebasan pengenaan PPN, menjadi PPN tidak dipungut. f. Perubahan dimaksud pada butir e akan sejalan dengan kebijakan yang diatur dalam SE 95/PJ/2010. Saran yang perlu disampaikan ke DJP: Berdasarkan hasil diskusi, dipandang perlu untuk ditindak lanjuti dengan membuat usul ke Direktorat Jenderal Pajak berupa: a. Penyempurnaan dan perubahan Per Men 78/PMK.03/2010 agar lebih sesuai dengan kondisi pengusaha dilapangan. b. Perubahan PMK tersebut tidak dapat dilakukan sendiri sendiri, namun perlu dilakukan perubahan pemberian fasilitas pada peraturan lain yang terkait, yaitu fasilitas pembebasan dari pengenaan PPN atas barang hasil perkebunan pada dasarnya tergolong pengertian barang strategis sebagimana diatur dalam PP 31 Tahun 2007 dan PP 146 Tahun 2003. c. Fasilitas pengenaan PPN dikaitkan dengan ketentuan Pasal 16 B, yaitu berupa PPN tidak dipungut. Dengan demikian fasilitas tersebu akan sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan daya saing atas ekspornya d. Fasilitas yang pembebasan PPN perlu diubah dengan diberikan fasilitas PPN tidak dipungut, sehingga bila produknya dieskpor atas PPN yang dibayar saat perolehan dapat dikreditkan. e. Perlu mengubah ketentuan PP 38 Tahun 2003 dan PP 31 Tahun 2007 tentang pembebasan PPN terhadap barang yang dikategorikan barang tertentu yang bersifat strategis, menjadi PPN tidak dipungut. f. Dengan demikian SE 95 /PJ/2010 menjadi sejalan dengan jiwa PP setelah dirubah. g. Saran lain lain: a. Seyogyanya menggunakan istilah merupakan bahasa sehari hari, bukan bahasa hukum yang dilaksanakan secara konsisten. b. Terhadap istilah hukum perlu diberikan penafsiran yang baku sesuai dengan metoda penafsiran dalam ilmu hukum; c. Harus dihindarkan penerbitan peraturan yang berlaku surut, karena: i. Sifat hukum administrasi tidak boleh berlaku surut; ii. mengacaukan dunia usaha, dan berdampak sangat luas yang akan merugikan masyarakat. h. Pedoman pengkreditan PM dalam PMK 78 perlu disesuaikan dengan variasi transaksi yang mungkin dilakukan oleh pengusaha, dan dikaitkan dengan peraturan lain yang mengatur hal serupa. Jakarta (Jumat 22 Oktober 2010) Dept Litbang & Standar Profesi 3