BAB II

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Otot Upper Trapezius
Otot trapezius merupakan salah satu otot terbesar dan paling superfisial yang
terletak pada daerah scapulothoraks. Dinamakan otot trapezius karena bentuk otot ini
mirip dengan bangun trapezium. Otot ini mudah dipalpasi karena memiliki banyak
fascia yang terletak di bawah kulit. Otot upper trapezius dibagi menjadi empat bagian
yaitu bagian I dan II membentuk otot upper trapezius yang berperan dalam gerakan
elevasi dan adduksi shoulder, bagian III membentuk middle trapezius berperan dalam
gerakan adduksi shoulder, dan bagian IV membentuk lower trapezius berperan dalam
gerakan depresi dan adduksi shoulder (Sudaryanto and Ansar, 2011).
Otot upper trapezius dapat dipalpasi antara occipital protuberance pada C6
dan lateral dari acromion terutama ketika gerakan elevasi shoulder. Serat otot pada
bagian upper trapezius tipis dan relatif lemah, melekat pada clavicula, sehingga
kepala bisa sepenuhnya memutar ke sisi yang berlawanan. Serat otot pada upper
trapezius akan membantu middle trapezius dan levator scapula dalam melakukan
gerakan elevasi serta rotasi, karena upper trapezius mempunyai serat otot yang tipis
dan lemah, serta membantu middle trapezius dalam melakukan gerakan membuat
bagian ini mudah sekali mengalami kelelahan dan ketegangan otot. Otot ini rentan
mengalami myofascial pain karena otot ini sering digunakan dalam jangka waktu
yang lama (Willms et al., 2005).
10
Middle trapezius dapat teraba dari C7 hingga T3, lateral acromion, scapula
spine terutama ketika posisi adduksi shoulder. Pada middle trapezius terdapat seratserat otot yang kuat dan tebal. Otot ini berkarakteristik kuat karena mempunyai peran
dalam memposisikan bahu sesuai postur tubuh yang benar. Lower trapezius dapat
dipalpasi pada bagian T4 hingga T12, bagian medial scapula tulang belakang
terutama ketika posisi depresi dan adduksi. Daerah lower trapezius terdapat otot yang
lemah dan bagian ini berperan dalam gerakan adduksi, depresi, dan rotasi (Willms et
al., 2005).
Upper trapezius berorigo pada eksternal occipital protuberance, bagian
medial ligamentum nuchae, dan berinsertio pada batas posterior dari 1/3 bagian
lateral clavicula dan acromion dari scapula. Otot ini dipersarafi oleh accessory nerve
(cranial nerve XI) dan nervus C3-C4 (Willms et al., 2005).
Terdapat dua tipe serabut otot yang utama yaitu serabut slow-twitch dan
serabut fast-twitch. Kedua tipe serabut tersebut terdapat didalam suatu otot tunggal.
Tipe serabut otot, ada dua dasar tipe yaitu (Sudaryanto and Ansar, 2011):
1. Tipe I atau slow twitch (tonik muscle fibers) atau yang biasa disebut red
muscle karena serabut ototnya berwarna merah atau lebih gelap dari otot
yang lainnya. Otot ini memiliki karakteristik tertentu, yaitu menghasilkan
kontraksi yang lambat, banyak mengandung kapiler pembuluh darah,
kekuatan motor unit yang rendah, tidak cepat mengalami kelelahan,
memiliki
kapasitas
aerobik
yang
tinggi
dan
berfungsi
untuk
11
mempertahankan sikap. Otot slow twitch ini berguna untuk olahraga yang
membutuhkan endurance yang tinggi seperti lari marathon, berenang.
Misalnya pada otot erector spine.
2. Tipe II atau fast twitch (phasic muscle fibers) juga disebut sebagai white
muscle karena serabut ototnya berwarna putih atau berwarna lebih pucat.
Otot ini memiliki karakteristik menghasilkan kontraksi yang cepat, mudah
mengalami kelelahan, memiliki kapasitas aerobik yang rendah, banyak
mengandung myofibril, durasi kontraksi lebih pendek dan memiliki fungsi
untuk melakukan gerakan yang cepat dan kuat. Otot fast twitch ini
diperlukan untuk olahraga yang membutuhkan kecepatan, kontraksi otot
yang sangat kuat dan cepat seperti lari cepat. Misalnya pada otot upper
trapezius.
Gambar 2.1 Otot upper trapezius
(Sumber: Nayak, 2013)
12
2.1.1 Biomekanik Terapan pada Upper Trapezius
Otot trapezius adalah salah satu grup otot besar pada tubuh manusia,
otot ini dibagi menjadi 3 bagian yaitu upper, middle dan lower trapezius. Otot
upper trapezius merupakan grup otot pada tubuh manusia yang berfungsi
untuk elevasi bahu, ekstensi dan lateral fleksi cervical. Otot upper trapezius
merupakan otot yang berperan sentral dapan stabilisasi postur kepala.
Stabilisasi tersebut dikarenakan adanya otot agonis dan antagonis yang
dimainkan oleh upper trapezius kiri dan kanan. Otot ini memberikan arah
tarikan ke inferolateral pada cervical sehingga dengan adanya suatu gangguan
pada otot ini akan menyebabkan postur kepala yang tidak seimbang antara
kanan dan kiri (Neuman, 2002).
Ekstensi cervical
Elevasi
Shoulder
Ekstensi
Cervical
Lateral Fleksi
Lateral Fleksi
Lateral Fleksi Cervical
Gambar 2.2 : Otot Upper Trapezius
(Sumber: Lippert, 2011)
13
2.2 Biomekanik dan Anatomi Terapan Cervical
Regio cervical disusun oleh 3 sendi penyusun yaitu atlanto-occipital joint
(C0-C1), atlanto-axial joint (C1-C2) dan vertebra joints (C2-C7). Regio ini
merupakan regio yang paling sering bergerak dari seluruh bagian tulang vertebra.
Hal itu dapat terlihat dari peranannya yaitu untuk mengatur sendi dan
memfasilitasi posisi dari kepala, termasuk penglihatan (vision), pendengaran,
penciuman dan keseimbangan tubuh. Adapun gerakan yang dihasilkan pada regio
ini yaitu fleksi-ektensi, rotasi dan lateral fleksi cervical (Neuman, 2002).
a. Atlanto-occipital Joint (C0-C1)
Atlanto-occipital Joint berperan dalam gerakan fleksi-ekstensi dan
lateral fleksi cervical. Arthrokinematika pada gerakan fleksi condylus yang
conveks akan slide ke arah belakang terhadap facet articularis yang concave
sebesar 10o. Sedangkan pada gerakan ekstensi condylus yang conveks akan
slide ke arah depan terhadap facet articularis yang concave sebesar 17o.
Pada gerakan lateral fleksi cervical akan terjadi roll dari sisi-sisi pada
jumlah yang kecil pada condylis occipital yang conveks terhadap facet
articularis (atlas) yang concave sebesar 5o (Neuman, 2002).
b. Atlanto-axial Joint (C1-C2)
Gerakan utama pada atlanto-axial joint adalah gerakan rotasi cervical
ditambah dengan gerakan fleksi dan ekstensi. Pada gerakan fleksi akan
terjadi gerakan pivot ke depan dan sedikit berputar pada atlas terhadap axis
14
(C2) sebesar 15o sedangkan pada gerakan ekstensi gerakan pivot ke
belakang dan sedikit berputar pada atlas terhadap axis (C2). Gerakan rotasi
pada sendi ini sebesar 45o dimana atlas yang berbentuk cincin akan berputar
di sekitar procesus odonthoid bagian procesus articularis inferior atlas yang
sedikit concaf akan slide dengan arah sirkuler (melingkar) terhadap
procesus articularis superior axis (Neuman, 2002).
c. Vertebra Joints (C2-C7)
Pada vertebra joint terjadi gerakan fleksi-ekstensi, rotasi dan lateral
fleksi cervical. Pada gerakan fleksi permukaan processus articularis inferior
vertebra superior yang berbentuk concave akan slide ke arah atas dan depan
terhadap processus articularis superior vertebra inferior sebesar 40o,
sedangkan pada gerakan ekstensi permukaan procesus articularis inferior
vertebra superior yang berbentuk concave akan slide ke arah bawah dan
belakang terhadap processus articularis superior vertebra inferior sebesar
70o.
Pada gerakan rotasi akan terjadi slide pada processus articularis
inferior vertebra superior ke arah belakang dan bawah pada ipsilateral arah
rotasi dan akan terjadi slide ke arah depan atas pada sisi contralateral terhadap
processus articularis superior vertebra inferior sebesar 45o (Neuman, 2002).
Gerakan lateral fleksi cervical, processus articularis inferior vertebra
superior pada sisi ipsilateral slide ke arah bawah dan sedikit ke belakang dan
pada sisi contralateral akan slide ke arah atas dan sedikit kedepan sebesar 35 o.
15
Inlinasi pada bentuk facet joint akan menghasilkan gerakan coupling yang
searah dimana selama gerakan rotasi akan disertai dengan lateral fleksi yang
searah (Neuman, 2002).
Gambar 2.3 Gerakan Cervical
(Sumber : Rohman Azzam, 2014)
2.3 Aktivitas Laundry
Laundry merupakan salah satu jasa dalam perindustrian modern, yang dimana
laundry adalah salah satu pekerjaan manual maupun menggunakan mesin yang
dilakukan dalam posisi berdiri maupun duduk dengan posisi leher menunduk ataupun
menengadah secara statis selama beberapa waktu. Pekerjaan laundry yang dilakukan
berulang-ulang dan dalam waktu yang relatif lama dapat menyebabkan kelelahan
secara fisiologis, yang disebabkan karena aktivitas kerja dan mempertahankan tubuh
ketika bekerja. Pekerja laundry umumnya menggunakan proses dan sistem manual
16
ataupun dengan mesin. Berdasarkan analisis ilmu ergonomi pada pegawai laundry,
terdapat proses kerja yang terdiri dari 5 tahapan kegiatan yang dapat menimbulkan
permasalahan akibat pekerjaannya, diantaranya (Angkoso, 2012):
a. Penimbangan
Pakaian yang diterima oleh pekerja laundry dari pelanggan dilakukan
penimbangan terlebih dahulu. Setiap jenis pakaian yang dibawa oleh
pelanggan ditimbang dan hasilnya dicatat oleh pekerja laundry yang
menerima orderan pelanggan tersebut dengan posisi berdiri yang disesuaikan
dengan jenis timbangan masing-masing tempat laundry.
b. Pencucian dan pemerasan
Setelah dilakukan penimbangan, pakaian tersebut dipilah sesuai
klasifikasi menurut jenis dan karakteristik pakaian. Proses selanjutnya yaitu
pencucian, pekerja memasukkan air dan cairan pembersih serta pewangi
kedalam mesin cuci hingga pakaian tersebut terlihat bersih dan wangi.
Pakaian yang dicuci tersebut dimasukan kedalam mesin pemeras otomatis.
Beberapa jasa laundry membilas kembali pakaian tersebut dengan cara
manual. Pekerja laundry melakukan proses pengerjaan ini dengan posisi
berdiri dan melakukan aktivitasnya dengan kedua tangan. Waktu yang
dibutuhkan dalam proses ini berlangsung sekitar 45 menit, yang dilanjutkan
dengan memindahkan pakaian yang telah diperas kedalam wadah pakaian.
17
c. Pengeringan
Pada proses ini pakaian dimasukkan kedalam mesin pengering yang
berbeda dengan mesin cuci. Pakaian yang telah diproses kemudian dimasukan
kedalam mesin pengering dengan durasi waktu selama 1 jam. Postur kerja
selama melakukan proses ini yaitu dengan posisi berdiri, berjalan serta
menggunakan kedua tangan. Setelah pakaian kering, pakaian tersebut
dimasukan kedalam wadah untuk selanjutnya dilakukan proses setrika dan
pelipatan. Beberapa jasa laundry selain menggunakan mesin pengering, masih
ada yang menggunakan tenaga panas matahari untuk proses pengeringan
pakaian.
d. Seterika dan Pelipatan
Pakaian yang sudah kering diseterika menggunakan alat seterika
listrik. Ketika proses berlangsung sebelum pakaian diseterika, pakaian
disemprotkan pewangi dan pelembut. Pakaian tersebut lalu dilipat agar mudah
dikemas. Proses penyeterikaan dan pelipatan, terdapat pembedaan antara
posisi kerja dan alat bantu kerja.
1.
Posisi berdiri menggunakan meja seterika tanpa kursi
2.
Posisi duduk menggunakan meja seterika dan kursi sandaran
punggung
3.
Posisi duduk menggunakan meja setrika dan kursi tanpa
sandaran punggung
18
e. Pengemasan
Pakaian yang telah diseterika dan dilipat diatur kembali agar mudah
dikemas dalam wadah plastik bening dan diberi label. Proses pengemasan,
terdapat perbedaan posisi kerja yaitu:
1.
Pengemasan dilakukan dengan posisi berdiri, pakaian yang
akan dikemas diletakkan diatas meja setrika
2.
Pengemasan dilakukan dengan posisi duduk, pakaian yang
akan dikemas diletakkan dilantai
2.3.1 Ergonomi Postur Tubuh Pegawai Laundry
Istilah “ergonomi” berasal dari bahasa latin yaitu Ergon (Kerja) dan Nomos
(Hukum Alam) dan dapat didefinisikan sebagai studi tentang aspek-aspek manusia
dalam lingkungan yang ditinjau secara anatomi, fisiologi, psikologi, engineering,
manajemen dan desain atau perancangan (Nurmianto, 1998). Ergonomi postur tubuh
pegawai laundry menurut beberapa ahli yaitu:
a. Leher
Menurut Bridger (1995) leher tidak boleh fleksi dan ekstensi lebih dari
15o dan jika hal ini terjadi maka postural stress akan terjadi yang akhirnya dapat
memperburuk keadaan posisi leher fleksi dan berotasi.
19
b. Bahu dan Tangan
Menurut Pheasant (1991) posisi bahu ditinggikan atau lengan dijauhkan
juga menyebabkan Neck Pain. Menurut Nurmianto (1998) sudut optimal lengan
bawah berkisar antara 90o-120o. Posisi pergelangan tangan fleksi 10o dan
ekstensi 35o merupakan posisi yang masih dapat diterima oleh sendi
pergelangan tangan untuk melakukan aktivitas sehari-hari (Brumfield et al,.
1984).
c. Genggaman
Menggunakan kekuatan jari atau yang disebut dengan finger grip yang
dimana menurut Kumar (2001) hal tersebut memilik resiko ergonomi karena
mengangkat objek tidak boleh hanya mengandalkan kekuatan jari saja. Menurut
Kumar (2001) posisi genggaman yang baik adalah posisi menggunakan
kekuatan genggaman tangan.
d. Siku
Menurut Bridger (2003) pembebanan pada siku serta posisi statis pada
siku menyebabkan sendi siku injury atau cedera.
e. Punggung
Menurut
Bridger
(2003)
postur
ektrim
pada
punggung
akan
menyebabkan peregangan pada lumbar dan penekanan otot perut sehingga
terjadi kompresi tulang belakang apabila punggung dalam keadaan fleksi 10o
ditambah postur punggung yang miring.
20
f. Posisi Duduk
Grandjean (1993) dalam Tawarka (2004) berpendapat bahwa bekerja
dalam posisi duduk mempunyai keuntungan yaitu pembebanan pada kaki,
pemakaian energi dan keperluan untuk sirkulasi darah dapat di kurangi.
g. Posisi Kedua Kaki
Posisi kedua kaki statis pada saat menyeterika dengan posisi berdiri
menurut Bridger (2003) akan menyebabkan penekanan pada otot perut sehingga
terjadi kompresi tulang belakang.
h. Pembebanan
Menurut rekomendasi Humantech (1995) bahwa beban yang beresiko
apabila beban melebihi 4,5 kg.
i. Frekuensi pekerjaan
Berdasarkan metode REBA yang dikembangkan oleh Hignett, Sue dan
Mc Attamney (2000) kegiatan yang menghendaki gerakan yang berulang >4x
permenit menambah resiko cedera akibat ergonomi.
2.4 Anatomi Myofascia
Fascia merupakan tipe jaringan yang membungkus tendon, ligament,
aponeurosis dan jaringan parut. Fascia terdapat di seluruh tubuh, sebagai perantara
dari semua sistem yang ada pada tubuh dan memberikan bentuk untuk sistem tubuh
seperti sistem sirkulasi darah, sistem saraf dan sistem limfatik. Fascia berfungsi
untuk dapat membentuk dan menunjang bagian tubuh dan menahan agar tetap berada
21
pada tempatnya, memberikan lubrikasi (pelumas) sehingga otot akan bebas bergerak
tanpa menimbulkan suatu gesekan yang bisa menyebabkan adanya injury pada otot
(Clay, 2008).
Fascia dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu fascia superficialis, fascia
profunda (deep), dan deepest fascia. Fascia superficialis merupakan lapisan jaringan
ikat longgar yang terletak pada lapisan bawah dermis kulit dan kadang disebut
sebagai jaringan subkutan. Fascia ini berfungsi sebagai jalur untuk saraf dan darah
menuju otot rangka dan berbagai jaringan adiposa. Fascia superficialis lebih
menonjol pada bagian belakang tubuh daripada bagian depan. Fungsi utama lapisan
ini yaitu sebagai pelindung deformasi mekanikal dan memberikan jalur untuk saraf
dan dinding pembuluh saraf. Deep fascia adalah lapisan fibrosa pada jaringan ikat
yang ditemukan di bawah superficialis fascia. Deep fascia berfungsi sebagai jalur
untuk saraf dan pembuluh darah dan sebagai tempat untuk mengembangkan otot dan
struktur internal lainnya. Deepest fascia dikenal sebagai dural tube yang mengelilingi
dan melindungi otak dan sumsum tulang belakang (Lindsay and Robertson, 2008).
Berdasarkan tempat ditemukannya fascia di dalam otot, maka fascia dibagi
menjadi 3 yaitu epimysium, perymisium dan endomysium. Ketiga lapisan tersebut
merupakan perluasan dari deep fascia. Epimysium merupakan jaringan myofascial
terluas yang melapisi seluruh otot dan mengikat seluruh fasikel. Perimysium
merupakan jaringan fascia yang membungkus sekelompok serabut otot ke dalam satu
22
fasikel. Endomysium merupakan jaringan fascia terdalam yang memisahkan seratserat otot (Alter, 2004).
Fascia dapat mengalami ketegangan karena adanya kontraksi otot yang
menyebabkan otot menjadi melebar. Ketegangan yang terjadi pada fascia akan
mengalami peningkatan akibat adanya otot yang hipertropi secara sekunder karena
latihan, atau dalam kondisi konstan hipertonus akibat dari postur yang jelek. Ketika
timbul nyeri yang hebat, maka mengurangi jumlah suplai darah dan mengalami
penyembuhan yang lambat sehingga menyebabkan fascia menjadi menyusut serta
mengerut (Cantu and Grodin, 2001).
Gambar 2.4 Struktur myofascia
(Sumber: John F. Barners, 2014)
2.4.1 Epidemologi Myofascia
Di Amerika Serikat, nyeri myofascial diperkirakan sering terjadi pada
populasi umum. Sebanyak 21% dari pasien pada klinik ortopedi umum mengalami
nyeri myofascial. Pada pasien terlihat di pusat-pusat khusus manajemen nyeri, 8593% pasien memiliki komponen nyeri myofascial (Phillips, 2012).
23
2.4.2 Etiologi Myofascia
Nyeri myofascial diperkirakan terjadi akibat penggunaan otot yang berlebihan
atau trauma pada otot-otot yang menyokong bahu dan leher. Penyebab umum yang
terjadi di antara pasien ini adalah karena kecelakaan kendaraan bermotor atau
kegiatan berulang pada ekstremitas atas. Pada tulang belakang servikal, otot-otot
yang paling sering terlibat pada nyeri myofascial adalah m. trapezius, m. levator
scapula, m. rhomboids, m. supraspinatus, dan infraspinatus. Nyeri myofascial
trapezius biasanya terjadi ketika seseorang yang melakukan pekerjaan di depan meja
kerja yang tidak memiliki lengan kursi yang sesuai atau harus bekerja mengetik pada
keyboard yang terlalu tinggi. Faktor-faktor lain yang memungkinkan berperan pada
gambaran klinis nyeri myofascial termasuk disfungsi endokrin, infeksi kronis,
kekurangan gizi, postur tubuh yang buruk, dan stres psikologis (Phillips, 2012).
2.4.3 Patofisiologi Myofascia
Nyeri myofascial muncul dari otot yang hipersensitif yang disebut trigger
points. Jaringan otot pada area ini, perlekatan tendon, atau keduanya seringkali
dirasakan sebagai pita taut (taut band) yang ketika dipalpasi, akan menghasilkan
nyeri. Asal dari trigger points tidak diketahui. Tetapi, diperkirakan karena adanya
ujung saraf di otot tersensitisasi oleh substansi algogenik yang menghasilkan zona
hipersensitif (Williams and Wilkins, 1992)
24
Menurut ulasan dari Hong dan Simon (1998) tentang patofisiologi dan
mekanisme elektropsikologi trigger points, pengamatan berikut akan membantu
untuk mendefinisikannya lebih lanjut:
1) Trigger points dikenal dapat menyebabkan nyeri lokal dan/atau nyeri alih
dengan distribusi yang spesifik
2) Palpasi dengan cara yang cepat (yaitu, palpasi gertakan) dapat menimbulkan
respon kedutan lokal, suatu kontraksi cepat dari serat otot atau sekitar pita
taut, respon kedutan lokal juga dapat ditimbulkan dengan penyisipan jarum
secara cepat ke trigger points
3) ROM yang terbatas dan meningkatnya kepekaan untuk meregangkan serat
otot dalam suatu pita taut sering terjadi
4) Otot dengan trigger points mungkin menjadi lemah karena nyeri, biasanya,
tidak ada perubahan atrofi yang diamati
5) Pasien dengan trigger points mungkin dapat terkait dengan fenomena otonom
lokal (misalnya, vasokonstriksi, respon pilomotor, ptosis, hipersekresi)
6) Suatu trigger points myofascial aktif adalah suatu tempat yang ditandai
dengan generasi nyeri spontan atau nyeri dalam menanggapi gerakan,
sebaliknya, trigger points laten mungkin tidak menghasilkan nyeri hingga
dikompresi.
25
2.5 Myofascial Pain Syndrome
2.5.1 Definisi Myofascial Pain Syndrome
Myofascial pain syndrome adalah suatu keadaan yang menimbulkan nyeri
lokal dan menjalar yang dikarakteristikkan dengan adanya ketidaknormalan pada
motoris (taut band yang keras di dalam otot) dan ketidaknormalan pada sensoris
(nyeri tekan dan nyeri menjalar). Myofascial pain syndrome dikarakteristikkan
sebagai nyeri musculosceletal yang bersifat akut atau kronis. Hal ini bisa
menyebabkan timbulnya nyeri lokal, atau gangguan sekunder yang terjadi sebagai
akibat dari beberapa kondisi. Ketika myofascial menjadi kronis, tidak cukup untuk
diobati dengan teknik injeksi, namun membutuhkan perhatian postural, ergonomi,
dan faktor – faktor struktural (Gerwin et al., 2004). Myofascial pain syndrome
biasanya berupa nyeri regang (taut pain) dan nyeri tekan (tenderness pain).
Myofascial pain syndrome sering terjadi pada area yang memiliki sistem transportasi
metabolisme yang kurang baik. Daerah tersebut merupakan titik – titik nyeri (trigger
points) yang mudah terangsang oleh sisa metabolisme (Ladopurab, 2012).
Myofascial pain syndrome didefinisikan sebagai suatu keadaan yang
dikarakteristikkan dengan kondisi otot yang sakit bersifat kronis yang hypersensitive
jika diberikan penekanan. Tipe dari nyeri ini pada umumnya bersifat dalam (deep)
dan tumpul, terasa nyeri pada otot yang terkena dan jika dilakukan palpasi, maka
nyerinya sering menyebar ke area nonspesifik disekitar otot. Sekelompok otot yang
mengalami ketegangan dan dapat diraba ini disebut dengan trigger point. Taut band
yang terdapat di dalam otot skeletal sangat sensitif terhadap suatu tekanan sehingga
26
ketika diberikan penekanan tepat pada titik nyeri tersebut, maka penderita akan
merasakan nyeri yang tajam. Nyeri yang dirasakan oleh penderita tidak akan terasa
hingga ke persendian akan tetapi lingkup gerak sendi akan menjadi berkurang akibat
dari otot penggeraknya yang mengalami masalah (Werenski, 2011).
Kebanyakan orang tidak menyadari keberadaan dari trigger point. Ketika akut
trigger point menjadi kronis maka lama kesembuhan yang didapatkan pasien menjadi
lebih lama. Akut trigger point terjadi karena adanya cedera secara langsung dan
menjadi kronis akibat adanya trauma dalam jangka waktu yang panjang. Fisiologi
yang mendasari tentang mekanisme terjadinya myofascial syndrome ini tidak dapat
dipahami dengan jelas. Beberapa mekanisme telah disampikan dalam literaturliteratur tentang penyebab akut ataupun kronis. Adanya retikulum sarkoplasma yang
mengalami perobekan sehingga akan melepaskan kalsium. Pelepasan kalsium dan
ATP menyebabkan sarkomer mengalami kontraksi yang lebih pendek pada daerah
yang terdapat taut band. Hal tersebut akan meningkatkan aktivitas metabolik, adanya
iskemik dan adanya pelepasan zat tersebut menyebabkan iritasi yang berlebihan pada
ujung saraf sensorik dan akhirnya menimbulkan nyeri (Simons et al., 1999).
Myofascial pain syndrome ditandai dengan adanya myofascial trigger point
(Fernandez et al., 2005). Komponen klinis utama pada nyeri myofascial, yang
terpenting adalah adanya titik picu (trigger points), taut band, dan local twitch
response (Simons et al., 1999).
27
Trigger point adalah suatu nodul hipersensitive yang terdapat dalam taut band
pada otot skeletal. Karakteristik utama dari trigger points yaitu adanya nodul pada
taut band. Nodul ini menyebabkan hyperalgesia yang merupakan respon nyeri yang
berlebihan ketika diberikan suatu rangsangan normal dan adanya allodynia yang
merupakan persepsi nyeri dalam menanggapi rangsangan normal (Gerwin,1999).
Trigger point dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu aktif trigger point
dan pasif trigger point. Aktif trigger point terjadi ketika pasien mengalami nyeri
spontan pada saat pasien istirahat yang dapat memicu adanya reffered pain ketika
diberikan suatu penekanan. Pasif trigger point terjadi ketika pasien tidak mengalami
nyeri secara spontan tetapi dapat menyebabkan adanya keterbatasan gerakan dan
kelemahan otot, tapi ketika trigger point tersebut mendapat penekanan maka pasien
akan merasakankan nyeri pada daerah yang diberikan penekanan. Pasif trigger point
dapat menjadi aktif jika adanya stimulasi seperti posture tubuh yang tidak benar,
penggunaan otot secara berlebihan tanpa adanya istirahat dan dengan posisi statik,
ergonomi tubuh yang tidak benar ketika melakukan pekerjaan (Werenski, 2011).
Gambar 2.5 Trigger Point Complex
(Sumber: Shah and Heimur, 2012)
28
Taut band merupakan satu bendel muscle belly yang mengeras, kaku dan
ketika diraba akan terasa berbeda dengan bagian otot yang lain. Adanya taut band
dalam otot akan mengakibatkan penurunan ekstensibilitas dan fleksibilitas pada otot
tersebut. Adanya perlengketan dalam struktur otot yang terjadi pada fascia dan
myofilament dalam sarcomer taut band maka akan terjadi peningkatan konsentrasi
secara abnormal dari asetilkolin dalam end plate tautband. Perlengketan ini
menyebabkan sirkulasi darah pada otot menjadi berkurang sehingga kebutuhan nutrisi
dan oksigen pada area taut band berkurang (Gerwin et al., 2004).
Local Twitch Response (LTR) merupakan tekanan mendadak yang terasa
mengejutkan atau tertusuk jarum dan sel otot berkontraksi dalam taut band. Elektrik
pada LTR terjadi secara spontan dalam taut band tanpa adanya stimulasi saraf
motorik disebut end plate noise yang terdapat pada ujung saraf yang dekat dengan
zona trigger point. Pelepasan elektrik terjadi dengan frekuensi 10-100 kali lebih dari
potensial elektrik motor end plate normal. Sehingga merupakan aktivasi saraf
simpatik yang mempengaruhi pelepasan secara spontan Ach karena aktivitas adreno
reseptors dari ujung saraf motorik (Mc Partland, 1996).
2.5.2
Tanda dan gejala Myofascial Pain Syndrome
Menurut Azizah dan Hardjono, 2006 tanda dan gejala yang menyebabkan
terjadinya myofascial pain syndrome otot upper trapezius yaitu:
1. Nyeri yang terlokalisir pada otot upper trapezius.
29
2. Terdapat taut band pada otot dan fascia serta jaringan ikat longgar
(connective tissue).
3. Nyeri yang menjalar umumnya dengan pola yang dapat di prediksi.
4. Adanya titik tenderness pada suatu tempat sepanjang taut band yang
disebut sebagai trigger point/jump sign.
5. Tightness pada otot yang terkena sehingga menyebabkan keterbatasan
lingkup gerak sendi.
6. Spasme otot akibat dari adanya rasa nyeri yang timbul dan juga akibat dari
penumpukan zat-zat iritan/zat metabolit.
7. Perubahan otonomik seperti vasokonstriksi pembuluh darah dan keringat
yang berlebihan di sepanjang area reffered pain.
Gambar 2.6 Reffered pain otot upper trapezius
(Sumber: Nayak, 2013)
30
2.5.3 Penyebab Myofascial Pain Syndrome Otot Upper Trapezius
Myofascial pain syndrome dapat disebabkan oleh berbagai faktor yaitu (Azizah
dan Hardjono, 2006):
1. Postur tubuh
Pada postur tubuh yang tidak bagus dapat menyebabkan stress dan strain
pada otot upper trapezius seperti forward head posture yaitu posisi
seseorang yang melakukan posisi kerja statis terus menerus pada saat
aktivitas dalam posisi duduk atau berdiri.
2. Ergonomi kerja yang buruk
Ergonomi tubuh yang tidak baik seperti penggunaan otot yang berlangsung
lama, mekanisme kerja yang buruk pada leher dan bahu menggambarkan
beban kerja otot upper trapezius lebih berat, posisi tempat kerja yang tidak
sesuai dengan ergonomi.
3. Trauma pada jaringan myofascial
Trauma pada jaringan myofascial dapat dibagi menjadi dua, yaitu trauma
makro dan trauma mikro. Trauma makro yaitu suatu cidera yang mengenai
otot atau fasia. Ketika jaringan myofascial mengalami cidera maka akan
terjadi proses inflamasi, ketegangan serabut kolagen, dan pemendekan
serabut kolagen. Ketika serabut kolagen mengalami pemendekan
menyebabkan tekanan pada jaringan myofascial akan meningkat.
Sedangkan trauma mikro merupakan suatu cidera yang berulang (repetitive
31
injury) akibat dari suatu kerja dalam jangka waktu lama dan dengan beban
yang berlebih.
4. Usia
Myofascial pain syndrome kebanyakan terjadi pada orang dewasa pada usia
pertengahan karena kemampuan otot pada usia muda lebih baik dalam
menangani stress mekanikal. Pada usia dewasa ke atas, telah terjadi
penurunan fungsi akibat dari degenerasi jaringan sehingga otot akan
menjadi sulit dalam menangani stress.
2.5.4 Mekanisme Myofascial Pain Syndrome
Pada myofascial pain syndrome terdapat taut band yang didalamnya berisi
trigger point. Taut band dalam otot ini dapat menyebabkan penurunan dari tingkat
fleksibilitas dan ekstensibilitas otot. Adanya perlengketan ini dapat berdampak pada
penurunan sirkulasi darah sehingga menyebabkan kebutuhan akan nutrisi dan oksigen
pada area taut band berkurang. Dampaknya terjadi hiperkontraksi sel otot yang akan
mempengaruhi peningkatan metabolisme bersifat lokal serta teraktivasinya saraf
simpatik yang berakibat vasokontriksi pada pembuluh darah kapiler (Gerwin et al.,
2004).
Otot upper trapezius merupakan otot tipe 1 (slow twitch) atau postural yang
berfungsi sebagai stabilisator scapula ketika lengan beraktivitas, mempertahankan
posisi kepala yang cenderung jatuh ke depan karena adanya kekuatan otot gravitasi.
Dilihat dari fungsinya yaitu sebagai otot stabilitator, apabila terjadi suatu patologis
32
otot ini mudah sekali terjadi gangguan berupa thigtness dan kontraktur. Kerja otot ini
akan semakin memburuk apabila adanya postur yang buruk, penggunaan otot dalam
kondisi statis lama, mekanisme kerja yang buruk pada leher dan bahu. Akibat yang
dapat ditimbulkan yaitu adanya fase kompresi dan ketegangan lebih lama daripada
rileksasi yang menyebabkan otot cepat mengalami kelelahan (Sherwood, 2006).
Ketika otot mengalami ketegangan ataupun kontraksi secara terus menerus,
maka akan menurunkan mobilitas dari jaringan myofascial sehingga juga akan
mempermudah terjadinya pemendekan serabut kolagen dan menimbulkan stres
mekanis. Jika ketegangan otot tersebut terjadi dalam waktu yang lama maka akan
menstimulasi nociceptor yang terdapat di dalam otot. Semakin sering dan kuat
nociceptor tersebut terstimulasi maka akan semakin kuat pula aktivitas refleks dari
ketegangan otot tersebut, akibatnya pada jaringan myofascial terjadi penumpukan zatzat nutrisi dan oksigen ke jaringan sehingga akan menimbulkan iskemia pada jaringan
myofascial. Ketika adanya iskemia maka aliran darah yang menuju jaringan akan
terhambat, jaringan yang mengalami iskemia beberapa menit saja dapat menimbulkan
nyeri yang sangat dalam (Guyton and Hall, 2008).
Selain itu, jaringan myofascial akan berkontraksi, sehingga akan merangsang
substansi P hingga menjadi suatu peradangan kronis yang menghasilkan zat algogen
berupa prostaglandin, histamin, bradikinin dan serotonin yang dapat meningkatkan
sensitivitas nyeri (Guyton and Hall, 2008). Proses radang dapat juga menimbulkan
respon neuromuskular berupa ketegangan otot disekitar area yang mengalami
kerusakan otot tersebut, sehingga timbullah viscous circle of pain, yaitu spasme
33
menimbulkan iskemik, iskemik menimbulkan nyeri dan nyeri menimbulkan spasme
dan seterusnya (Guyton and Hall, 2008).
Pada umumnya ketika ada rasa nyeri, pasien tidak mau menggerakan bagian
tersebut (immobilisasi) akibatnya akan menjadi kontraktur sehingga akan terbentuk
taut band dan trigger point Ketika jaringan myofascial berada dalam kondisi
immobilisasi untuk beberapa waktu sekurang-kurangnya empat minggu ikatan
melintang dapat terbentuk di antara molekul-molekul tipe I kolagen. Tipe I kolagen
adalah unsur kolagen normal dari jaringan ikat. Ikatan melintang (cross binding) ini
akan menurunkan fleksibilitas fascia dan juga membatasi gliding antara lembaran
fasia. Ketika jaringan ikat dalam keadaan immobilisasi maka akan terjadi perubahan
pada substansi dan serabut kolagen. Protein-karbohidrat kompleks dalam substansi
dasar akan mengikat air dan menjadikan banyak gel yang tidak berbentuk (water
binding complex mucopolysacharides) atau lebih dikenal dengan glikosaminoglikans
(Guyton and Hall, 2008).
Dalam kondisi immobilisasi kandungan air akan berkurang dan bagian
terbesar dari substansi dasar akan menurun. Akibatnya serabut kolagen akan saling
berdempetan. Ketika jarak dari satu molekul kolagen ke molekul kolagen yang lain
menurun hingga pada ambang kritis, yang terjadi adalah molekul mulai membentuk
ikatan menyilang (cross binding). Jaringan ikat juga menjadi kurang elastis karena
serabut kolagen dan lapisan fasia kehilangan pelumas. Hal ini akan menyebabkan
molekul dari lembaran fasia ternyata terikat bersama-sama. Keadaan imobilisasi dari
jaringan myofascial ini banyak disebabkan misalnya oleh ergonomi yang jelek,
34
dimana keadaan ini akan mencetuskan timbunan fibroblas dan banyak kolagen
membuat ikatan tali (cross links). Cross links kolagen akan secara fisiologis timbul
perlahan-lahan dan perlahan-lahan pula akan menyebabkan tekanan dalam jaringan.
Akibatnya akan menurunkan jarak kritis pada area tersebut. Aliran darah pada area
tadi juga akan menurun bahkan hingga tingkat iskemia yang akan mengiritasi serabut
saraf Aδ dan C sehingga akan mencetuskan timbulnya nyeri (Guyton and Hall, 2008).
Traktus paleospinotalamikus merupakan sistem yang menjalarkan rasa nyeri
terutama dari serabut tipe C lambat-kronik perifer. Walaupun jaras ini juga
menjalarkan beberapa sinyal dari serabut tipe Aδ juga. Serabut-serabut perifer
berakhir di dalam medula spinalis hampir seluruhnya di lamina II dan III kornu
dorsalis, yang bersama-sama disebut substansia gelatinosa. Sebagian besar sinyal
kemudian melewati satu atau lebih neuron serabut pendek tambahan di dalam kornu
dorsalisnya sebelum memasuki lamina V, juga di kornu dorsalis. Disini neuronneuron terakhir dalam rangkaian merangsang akson-akson panjang yang sebagian
besar menyambungkan serabut-serabut dari jaras rasa nyeri cepat (Guyton and Hall,
2008).
Ujung serabut nyeri tipe C yang memasuki medula spinalis kemungkinan
mengeluarkan transmiter glutamat dan transmiter substansi P. Transmiter glutamat
bekerja secara cepat dan hanya berlangsung beberapa milidetik. Substansi P
dilepaskan jauh lebih lambat. Inilah mengapa seseorang bisa merasakan nyeri ganda.
Lokalisasi nyeri yang dijalarkan lewat jalur jaras paleospinotalamikus bersifat buruk,
35
sehingga seringkali pasien memiliki kesulitan dalam melokalisasikan sumber
beberapa nyeri jenis kronik (Guyton and Hall, 2008).
2.6 Lingkup Gerak Sendi Leher
Lingkup gerak sendi atau Range Of Motion (ROM) adalah luasnya gerakan
sendi yang terjadi pada saat sendi bergerak dari satu posisi ke posisi lain, baik secara
pasif maupun aktif. Lingkup gerak sendi dapat juga diartikan sebagai ruang
gerak/batas-batas gerakan dari suatu kontraksi otot dalam melakukan gerakan, apakah
otot tersebut dapat memendek atau memanjang secara penuh atau tidak (Deuster et
al., 2007).
Lingkup gerak sendi berhubungan dengan fleksibilitas. Fleksibilitas adalah
kemampuan suatu jaringan atau otot untuk memanjang semaksimal mungkin
sehingga tubuh dapat bergerak dengan lingkup gerak sendi yang penuh, tanpa disertai
rasa nyeri. Gerakan leher yang utama adalah fleksi yaitu membawa dagu kearah dada,
ekstensi yaitu memutar kepala kebelakang untuk melihat langit-langit, dan lateral
fleksi yaitu membawa telinga kearah bahu. Stabilitas tulang belakang cervical
disediakan oleh kombinasi sendi zygapophyseal, banyak ligament dan otot. Ekstensi,
fleksi, gerakan lateral, dan rotasi diinduksi oleh orientasisendi zygapophyseal
(Weerapong et al., 2005).
Pengukuran dari lingkup gerak sendi leher tersebut dapat diukur dengan
menggunakan alat berupa goniometer. Dengan cara meletakan axis (fulcrum) di posisi
36
ataupun di suatu titik pengukuran kemudian lengan proksimal (stationary arm) posisi
diam dan lengan distal (moving arm) bergerak mengikuti gerakan sendi. Sudut yang
ditunjukan pada goniometer diinterpretasikan sebagai lingkup gerak sendi dari sendi
tersebut (Reese and Bandy, 2002). Berikut adalah gambar dari alat ukur goniometer.
Gambar 2.7 Goniometer
(Sumber: Reese and Bandy, 2002)
2.4 Patofisiologi Penurunan Lingkup Gerak Sendi Cervical
Masalah penurunan lingkup gerak sendi pada tubuh manusia salah satunya
sering terjadi pada otot upper trapezius karena otot ini sering ditemukan mengalami
gangguan. Otot upper trapezius adalah otot tipe I atau tonik dan juga merupakan otot
postural yang berfungsi melakukan gerakan elevasi bahu, ekstensi dan lateral fleksi
servikal. Kelainan yang terjadi pada tipe otot ini cenderung tegang dan memendek.
Itu sebabnya jika otot upper trapezius berkontraksi dalam jangka waktu lama, maka
jaringan ototnya menjadi tegang, timbul nyeri dan dalam waktu lama mengakibatkan
penurunan lingkup gerak sendi. Kerja otot upper trapezius akan bertambah berat
dengan adanya postur yang buruk, mikro dan makro trauma (Makmuriyah &
Sugijanto, 2013).
37
Kondisi kontraksi pada otot yang berlangsung dalam waktu lama
mengakibatkan keadaaan yang dikenal sebagai kelelahan otot. Hal ini disebabkan
karena menurunnya jumlah ATP, sehingga tidak adanya ketersediaan energi untuk
menggeser aktindan miosin. Kontraksi yang terjadi semakin lama akan semakin
lemah, walaupun saraf masih bekerja dengan baik dan potensial aksi masih menyebar
pada serabu-serabut otot (Guyton & Hall, 2008).
Pada penelitian ini akan digunakan gerakan lateral fleksi cervical sebagai
interpretasi lingkup gerak sendi dimana otot upper trapezius berperan sebagai main
muscle atau otot yang paling dominan bekerja pada gerakan tersebut. Lingkup gerak
sendi lateral fleksi cervical yang normal adalah lebih dari 45º. Otot upper trapezius
terdiri dari dua bagian yaitu kanan dan kiri dimana pelatihan otot dapat dioptimalkan
dengan memberikan intervensi dengan gerakan yang spesifik seperti lateral fleksi
(Neuman, 2002).
2.8 Teknik Massage Effleurage
2.8.1 Definisi Massage Effleurage
Effleurage adalah suatu pergerakan stroking dalam atau dangkal, effleurage
pada umumnya digunakan untuk membantu pengembalian kandungan getah bening
dan pembuluh darah di dalam ekstrimitas tersebut. Effleurage juga digunakan untuk
memeriksa dan mengevaluasi area nyeri dan ketidak teraturan jaringan lunak atau
peregangan kelompok otot yang spesifik (Hollis, 1998). Robin (2010) menambahkan
38
bahwa efflurage adalah salah satu gerakan utama pijat yang dapat dilakukan pada
setiap area tubuh
2.8.2 Efek Massage Effleurage menurunkan nyeri dan meningkatkan LGS akibat
Myofascial Pain Syndrome
Kusdinar (2011) mengatakan bahawa efek massage terhadap jaringan
dapat bersifat mekanis, reflektoris dan khemis.
a. Efek mekanis: Dengan teknik menekan dan mendorong secara bergantian
menyebabkan terjadinya pengosongan dan pengisian pembuluh vena dan
lymph, sehingga membantu dengan cara mendistribusikan minyak secara
merata ketubuh kemudian kedua telapak tangan meluncur di atas permukaan
kulit dengan sedikit tekanan memperlancar sirkulasi, membantu sekresi, dan
pemberian nutrisi kedalam jaringan
b. Efek reflektoris: Massage menimbulkan pacuan terhadap syaraf, peredaran
darah yang menimbulkan proses vasso kontriksi yang diikuti dengan vasso
dilatasi lokal sehingga memperlancar peredaran darah. Selain itu syaraf
motorik yang terangsang meningkatkan tonus otot.
c. Efek khemis: Massage menyebabkan terbebasnya suatu zat sejenis histamin
yang memberi efek dilatasi terhadap pembuluh darah kapiler.
Sementara itu menurut Brain (2010) massage effleurage memiliki beberapa efek,
diantaranya adalah:
1. Menambah kondisi relaksasi.
39
2. Memiliki aksi obat penenang dan sangat bermanfaat untuk menenangkan
saraf, stres dan ketegangan bisa dikurangi, sakit kepala , tegang terhalau dan
pola insomnia rusak.
3. Effleurage dapat menghidupkan kembali dan merangsang sistem saraf pusat.
4. Jaringan akan menghangatkan tubuh dan meningkatkan sirkulasi.
5. Aliran getah bening meningkat, membantu untuk menyingkirkan limbah dan
zat beracun.
6. Effleurage memperbaiki kulit, mendorong kulit sehat dan bersinar.
Menurut Fatmawati (2013) massage effleurage memiliki efektivitas untuk
menurunkan nyeri dan disabilitas pada myofascial pain symdrome otot upper
trapezius bagian atas ini didukung dengan oleh pernyataan Onofrio (2013)
menjelaskan massage adalah tindakan penekanan oleh tangan pada jaringan lunak,
biasanya otot tendon atau ligamen, tanpa menyebabkan pergeseran atau perubahan
posisi sendi guna menurunkan nyeri, menghasilkan relaksasi, dan/atau meningkatkan
sirkulasi. Gerakan-gerakan dasar yang meliputi gerakan memutar yang dilakukan
oleh telapak tangan, gerakan menekan dan mendorong ke depan dan ke belakang
menggunakan tenaga, menepuk-nepuk, memotong-motong, meremas-remas, dan
gerakan meliuk-liuk. Setiap gerakan -gerakan menghasilkan tekanan, arah, kecepatan,
posisi tangan dan gerakan yang berbeda-beda untuk menghasilkan efek yang
diinginkan pada jaringan yang di bawahnya (Onofrio, 2013).
40
2.8.3 Aplikasi Massage Effleurage
Effleurage merupakan teknik masasge yang aman, mudah untuk dilakukan,
tidak memerlukan banyak alat, tidak memerlukan biaya, tidak memiliki efek samping
dan dapat dilakukan sendiri atau dengan bantuan orang lain (Ekowati, 2011).
Tindakan utama massage effleurage merupakan aplikasi dari teori Gate Control yang
dapat “menutup gerbang” untuk menghambat perjalanan rangsang nyeri pada pusat
yang lebih tinggi pada sistem saraf pusat. Langkah-langkah melakukan teknik ini
adalah kedua telapak tangan melakukan usapan ringan, tegas dan konstan dengan
pola lurus pada sisi yang mengalami nyeri, dimulai dari leher bagian atas hingga ke
bagian bahu. Ulangi gerakan di atas selama 3–5 menit dan berikan lotion atau
minyak/baby oil tambahan jika dibutuhkan (Ekowati, 2011).
Gambar 2.8 Gerakan Massage Effleurage
(Sumber: eastbourne, 1996)
41
Gambar 2.9 Gerakan Massage Effleurage
(Sumber: John Hooper, 2012)
Gambar 2.10 Gerakan Massage Effleurage
(Sumber: Suciati 2014)
Gambar 2.11 Teknik Massage Effleurage
(Sumber: Swedish massage, 2016)
42
2.8.4 Indikasi dan Kontra indikasi Massage
Menurut Tappan (1998) Indikasi dan Kontraindikasi Massage yaitu:
a. Indikasi pemberian massage Beberapa kondisi yang merupakan
indikasi pemberian massage antara lain:
(1) Kasus-kasus yang memerlukan relaksasi otot,
(2) Kasus oedem pada kondisi pasca operasi,
(3) Kasus perlengketan jaringan terutama pada kondisi pasca operasi,
(4) Kasus yang memerlukan perbaikan sirkulasi darah.
b. Kontra
indikasi
pemberian
massage
Beberapa
kondisi
yang
merupakan kontra indikasi pemberian massage antara lain:
1)
Penyakit yang penyebarannya melalui kulit, limfe dan pembuluh
darah,
2)
Daerah perdarahan,
3)
Daerah peradangan akut,
4)
Daerah dengan gangguan sensibilitas,
5)
Penyakit dengan gangguan sistem kekebalan tubuh.
2.9 Teknik Deep Transverse Friction
2.9.1 Definisi Deep Transverse Friction
Deep transverse friction merupakan sebuah teknik yang dipopulerkan Dr. James
Cyriax untuk kondisi nyeri dan inflamasi musculoskeletal (Brosseau, et al., 2009).
43
Deep transverse friction menggunakan aplikasi gesekan dan tekanan pada kedalaman
lesi tertentu yang dianggap menjadi penyebab rasa nyeri atau penurunan fungsi yang
digunakan untuk mengurangi perlengketan fibrosa yang abnormal (Doley et al.,
2013).
2.9.2 Efek Pemberian Deep Transverse Friction menurunkan nyeri dan meningkatkan
LGS akibat Myofascial Pain Syndrome
Deep transverse friction menyebabkan taut band dan trigger point berkurang
karena energi yang dibutuhkan dapat terpenuhi. Deep transverse friction diterapkan
tegak lurus terhadap serat dalam upaya untuk memisahkan masing-masing serat pada
daerah trigger point yang memberikan efek mekanis, hiperemia lokal, analgesia, dan
pengurangan jaringan parut terhadap struktur ligamen, tendon dan otot. Deep
transverse friction dapat menyebabkan stimulasi ujung nosiseptif terhubung ke serat
Aδ dan mekanoreseptor ditemukan di jaringan lunak yang terhubung ke diameter
besar serat Aβ (Doley et al., 2013).
Serat berdiameter besar ini memiliki efek pada sel-sel di tanduk posterior dari
kabel serta cenderung menghambat transmisi informasi nosiseptif berdiameter kecil,
sehingga gerbang nyeri ditutup (Doley et al., 2013). Akibatnya, dalam hal modulasi
nyeri, deep transverse friction akan menyebabkan penghambatan presinaptik di
tingkat kabel dan menghambat rasa sakit dengan produksi pusat encephalin (Doley
et al., 2013). Sehingga akan meningkatkan sirkulasi darah dalam jaringan lunak,
44
akhirnya meningkatkan ekskresi laktat atau zat inflamasi dan memfasilitasi sekresi
opiat endogen, sehingga nyeri akan berkurang dan disabilitas juga berkurang (Yoon,
2013).
Ramadan Hafez, et al., (2014) dalam penelitian The Effect of Longitudinal
Stretching of Muscles and Nerve versus Deep Transverse Friction Massage in the
Management of Patient with Carpal Tunnel Syndrome menyimpulkan bahwa teknik
Deep Transverse Friction Massage menunjukan hasil adanya peningkatan ROM
walaupun hasilnya tidak begitu drastis peningkatannya, tetapi dengan berkurangnya
nyeri pada pasien akan memudahkan pasien untuk menggerakan daerah yang
mengalami keterbatasan.
2.9.3 Aplikasi Deep Transverse Friction
Aplikasi Teknik Deep Transverse Friction menggunakan ibu jari dalam
proses penekanan dengan arah melingkar dari leher bagian atas menuju leher bagian
bawah (Journal of Therapy Rehabilitation, 2014). Lakukan stretching ringan seperti
menoleh ke kanan atau ke kiri serta menunduk atau menengadah yang dimana
stretching berfungsi untuk memanjangkan otot tanpa adanya ketegangan yang dapat
menyebabkan kesulitan penestrasi (Riggs and Grant, 2009). Ulangi gerakan di atas
selama 3–5 menit dan berikan lotion atau minyak/baby oil tambahan jika dibutuhkan
Ramadan Hafez, et al., (2014)
45
Gambar 2.12 Gerakan Deep Transverse Friction
(Sumber: suciati 2014)
Gambar 2.13 Teknik Deep Transverse Friction
(Sumber : Swedish massage, 2016)
2.9.4 Indikasi dan Kontra indikasi Deep Transverse Friction
Menurut Tappan (1998) Indikasi dan Kontraindikasi Massage yaitu:
a. Indikasi pemberian massage Beberapa kondisi yang merupakan
indikasi pemberian massage antara lain:
46
(1) Kasus-kasus yang memerlukan relaksasi otot,
(2) Kasus oedem pada kondisi pasca operasi,
(3) Kasus perlengketan jaringan terutama pada kondisi pasca operasi,
(4) Kasus yang memerlukan perbaikan sirkulasi darah.
b. Kontraindikasi pemberian massage Beberapa kondisi yang merupakan
kontra indikasi pemberian massage antara lain:
1)
Penyakit yang penyebarannya melalui kulit, limfe dan pembuluh
darah,
2)
Daerah perdarahan,
3)
Daerah peradangan akut,
4)
Daerah dengan gangguan sensibilitas,
5)
Penyakit dengan gangguan sistem kekebalan tubuh,
Massage adalah tindakan penekanan oleh tangan pada jaringan lunak,
biasanya otot tendon atau ligamen, tanpa menyebabkan pergeseran atau perubahan
posisi sendi guna menurunkan nyeri, menghasilkan relaksasi, dan/atau meningkatkan
sirkulasi. Gerakan-gerakan dasar yang meliputi gerakan memutar yang dilakukan oleh
telapak tangan, gerakan menekan dan mendorong kedepan dan kebelakang
menggunakan tenaga, menepuk-nepuk, memotong-motong, meremas-remas, dan
gerakan meliuk-liuk. Setiap gerakan- gerakan menghasilkan tekanan, arah, kecepatan,
posisi tangan dan gerakan yang berbeda-beda untuk menghasilkan efek yang di
inginkan pada jaringan yang dibawahnya (Onofrio, 2013).
Download