BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Otot Upper Trapezius Otot trapezius merupakan salah satu otot terbesar dan paling superfisial yang terletak pada daerah scapulothoraks. Dinamakan otot trapezius karena bentuk otot ini mirip dengan bangun trapezium. Otot ini mudah dipalpasi karena memiliki banyak fascia yang terletak di bawah kulit. Otot upper trapezius dibagi menjadi empat bagian yaitu bagian I dan II membentuk otot upper trapezius yang berperan dalam gerakan elevasi dan adduksi shoulder, bagian III membentuk middle trapezius berperan dalam gerakan adduksi shoulder, dan bagian IV membentuk lower trapezius berperan dalam gerakan depresi dan adduksi shoulder (Sudaryanto and Ansar, 2011). Otot upper trapezius dapat dipalpasi antara occipital protuberance pada C6 dan lateral dari acromion terutama ketika gerakan elevasi shoulder. Serat otot pada bagian upper trapezius tipis dan relatif lemah, melekat pada clavicula, sehingga kepala bisa sepenuhnya memutar ke sisi yang berlawanan. Serat otot pada upper trapezius akan membantu middle trapezius dan levator scapula dalam melakukan gerakan elevasi serta rotasi, karena upper trapezius mempunyai serat otot yang tipis dan lemah, serta membantu middle trapezius dalam melakukan gerakan membuat bagian ini mudah sekali mengalami kelelahan dan ketegangan otot. Otot ini rentan mengalami myofascial pain karena otot ini sering digunakan dalam jangka waktu yang lama (Willms et al., 2005). 10 Middle trapezius dapat teraba dari C7 hingga T3, lateral acromion, scapula spine terutama ketika posisi adduksi shoulder. Pada middle trapezius terdapat seratserat otot yang kuat dan tebal. Otot ini berkarakteristik kuat karena mempunyai peran dalam memposisikan bahu sesuai postur tubuh yang benar. Lower trapezius dapat dipalpasi pada bagian T4 hingga T12, bagian medial scapula tulang belakang terutama ketika posisi depresi dan adduksi. Daerah lower trapezius terdapat otot yang lemah dan bagian ini berperan dalam gerakan adduksi, depresi, dan rotasi (Willms et al., 2005). Upper trapezius berorigo pada eksternal occipital protuberance, bagian medial ligamentum nuchae, dan berinsertio pada batas posterior dari 1/3 bagian lateral clavicula dan acromion dari scapula. Otot ini dipersarafi oleh accessory nerve (cranial nerve XI) dan nervus C3-C4 (Willms et al., 2005). Terdapat dua tipe serabut otot yang utama yaitu serabut slow-twitch dan serabut fast-twitch. Kedua tipe serabut tersebut terdapat didalam suatu otot tunggal. Tipe serabut otot, ada dua dasar tipe yaitu (Sudaryanto and Ansar, 2011): 1. Tipe I atau slow twitch (tonik muscle fibers) atau yang biasa disebut red muscle karena serabut ototnya berwarna merah atau lebih gelap dari otot yang lainnya. Otot ini memiliki karakteristik tertentu, yaitu menghasilkan kontraksi yang lambat, banyak mengandung kapiler pembuluh darah, kekuatan motor unit yang rendah, tidak cepat mengalami kelelahan, memiliki kapasitas aerobik yang tinggi dan berfungsi untuk 11 mempertahankan sikap. Otot slow twitch ini berguna untuk olahraga yang membutuhkan endurance yang tinggi seperti lari marathon, berenang. Misalnya pada otot erector spine. 2. Tipe II atau fast twitch (phasic muscle fibers) juga disebut sebagai white muscle karena serabut ototnya berwarna putih atau berwarna lebih pucat. Otot ini memiliki karakteristik menghasilkan kontraksi yang cepat, mudah mengalami kelelahan, memiliki kapasitas aerobik yang rendah, banyak mengandung myofibril, durasi kontraksi lebih pendek dan memiliki fungsi untuk melakukan gerakan yang cepat dan kuat. Otot fast twitch ini diperlukan untuk olahraga yang membutuhkan kecepatan, kontraksi otot yang sangat kuat dan cepat seperti lari cepat. Misalnya pada otot upper trapezius. Gambar 2.1 Otot upper trapezius (Sumber: Nayak, 2013) 12 2.1.1 Biomekanik Terapan pada Upper Trapezius Otot trapezius adalah salah satu grup otot besar pada tubuh manusia, otot ini dibagi menjadi 3 bagian yaitu upper, middle dan lower trapezius. Otot upper trapezius merupakan grup otot pada tubuh manusia yang berfungsi untuk elevasi bahu, ekstensi dan lateral fleksi cervical. Otot upper trapezius merupakan otot yang berperan sentral dapan stabilisasi postur kepala. Stabilisasi tersebut dikarenakan adanya otot agonis dan antagonis yang dimainkan oleh upper trapezius kiri dan kanan. Otot ini memberikan arah tarikan ke inferolateral pada cervical sehingga dengan adanya suatu gangguan pada otot ini akan menyebabkan postur kepala yang tidak seimbang antara kanan dan kiri (Neuman, 2002). Ekstensi cervical Elevasi Shoulder Ekstensi Cervical Lateral Fleksi Lateral Fleksi Lateral Fleksi Cervical Gambar 2.2 : Otot Upper Trapezius (Sumber: Lippert, 2011) 13 2.2 Biomekanik dan Anatomi Terapan Cervical Regio cervical disusun oleh 3 sendi penyusun yaitu atlanto-occipital joint (C0-C1), atlanto-axial joint (C1-C2) dan vertebra joints (C2-C7). Regio ini merupakan regio yang paling sering bergerak dari seluruh bagian tulang vertebra. Hal itu dapat terlihat dari peranannya yaitu untuk mengatur sendi dan memfasilitasi posisi dari kepala, termasuk penglihatan (vision), pendengaran, penciuman dan keseimbangan tubuh. Adapun gerakan yang dihasilkan pada regio ini yaitu fleksi-ektensi, rotasi dan lateral fleksi cervical (Neuman, 2002). a. Atlanto-occipital Joint (C0-C1) Atlanto-occipital Joint berperan dalam gerakan fleksi-ekstensi dan lateral fleksi cervical. Arthrokinematika pada gerakan fleksi condylus yang conveks akan slide ke arah belakang terhadap facet articularis yang concave sebesar 10o. Sedangkan pada gerakan ekstensi condylus yang conveks akan slide ke arah depan terhadap facet articularis yang concave sebesar 17o. Pada gerakan lateral fleksi cervical akan terjadi roll dari sisi-sisi pada jumlah yang kecil pada condylis occipital yang conveks terhadap facet articularis (atlas) yang concave sebesar 5o (Neuman, 2002). b. Atlanto-axial Joint (C1-C2) Gerakan utama pada atlanto-axial joint adalah gerakan rotasi cervical ditambah dengan gerakan fleksi dan ekstensi. Pada gerakan fleksi akan terjadi gerakan pivot ke depan dan sedikit berputar pada atlas terhadap axis 14 (C2) sebesar 15o sedangkan pada gerakan ekstensi gerakan pivot ke belakang dan sedikit berputar pada atlas terhadap axis (C2). Gerakan rotasi pada sendi ini sebesar 45o dimana atlas yang berbentuk cincin akan berputar di sekitar procesus odonthoid bagian procesus articularis inferior atlas yang sedikit concaf akan slide dengan arah sirkuler (melingkar) terhadap procesus articularis superior axis (Neuman, 2002). c. Vertebra Joints (C2-C7) Pada vertebra joint terjadi gerakan fleksi-ekstensi, rotasi dan lateral fleksi cervical. Pada gerakan fleksi permukaan processus articularis inferior vertebra superior yang berbentuk concave akan slide ke arah atas dan depan terhadap processus articularis superior vertebra inferior sebesar 40o, sedangkan pada gerakan ekstensi permukaan procesus articularis inferior vertebra superior yang berbentuk concave akan slide ke arah bawah dan belakang terhadap processus articularis superior vertebra inferior sebesar 70o. Pada gerakan rotasi akan terjadi slide pada processus articularis inferior vertebra superior ke arah belakang dan bawah pada ipsilateral arah rotasi dan akan terjadi slide ke arah depan atas pada sisi contralateral terhadap processus articularis superior vertebra inferior sebesar 45o (Neuman, 2002). Gerakan lateral fleksi cervical, processus articularis inferior vertebra superior pada sisi ipsilateral slide ke arah bawah dan sedikit ke belakang dan pada sisi contralateral akan slide ke arah atas dan sedikit kedepan sebesar 35 o. 15 Inlinasi pada bentuk facet joint akan menghasilkan gerakan coupling yang searah dimana selama gerakan rotasi akan disertai dengan lateral fleksi yang searah (Neuman, 2002). Gambar 2.3 Gerakan Cervical (Sumber : Rohman Azzam, 2014) 2.3 Aktivitas Laundry Laundry merupakan salah satu jasa dalam perindustrian modern, yang dimana laundry adalah salah satu pekerjaan manual maupun menggunakan mesin yang dilakukan dalam posisi berdiri maupun duduk dengan posisi leher menunduk ataupun menengadah secara statis selama beberapa waktu. Pekerjaan laundry yang dilakukan berulang-ulang dan dalam waktu yang relatif lama dapat menyebabkan kelelahan secara fisiologis, yang disebabkan karena aktivitas kerja dan mempertahankan tubuh ketika bekerja. Pekerja laundry umumnya menggunakan proses dan sistem manual 16 ataupun dengan mesin. Berdasarkan analisis ilmu ergonomi pada pegawai laundry, terdapat proses kerja yang terdiri dari 5 tahapan kegiatan yang dapat menimbulkan permasalahan akibat pekerjaannya, diantaranya (Angkoso, 2012): a. Penimbangan Pakaian yang diterima oleh pekerja laundry dari pelanggan dilakukan penimbangan terlebih dahulu. Setiap jenis pakaian yang dibawa oleh pelanggan ditimbang dan hasilnya dicatat oleh pekerja laundry yang menerima orderan pelanggan tersebut dengan posisi berdiri yang disesuaikan dengan jenis timbangan masing-masing tempat laundry. b. Pencucian dan pemerasan Setelah dilakukan penimbangan, pakaian tersebut dipilah sesuai klasifikasi menurut jenis dan karakteristik pakaian. Proses selanjutnya yaitu pencucian, pekerja memasukkan air dan cairan pembersih serta pewangi kedalam mesin cuci hingga pakaian tersebut terlihat bersih dan wangi. Pakaian yang dicuci tersebut dimasukan kedalam mesin pemeras otomatis. Beberapa jasa laundry membilas kembali pakaian tersebut dengan cara manual. Pekerja laundry melakukan proses pengerjaan ini dengan posisi berdiri dan melakukan aktivitasnya dengan kedua tangan. Waktu yang dibutuhkan dalam proses ini berlangsung sekitar 45 menit, yang dilanjutkan dengan memindahkan pakaian yang telah diperas kedalam wadah pakaian. 17 c. Pengeringan Pada proses ini pakaian dimasukkan kedalam mesin pengering yang berbeda dengan mesin cuci. Pakaian yang telah diproses kemudian dimasukan kedalam mesin pengering dengan durasi waktu selama 1 jam. Postur kerja selama melakukan proses ini yaitu dengan posisi berdiri, berjalan serta menggunakan kedua tangan. Setelah pakaian kering, pakaian tersebut dimasukan kedalam wadah untuk selanjutnya dilakukan proses setrika dan pelipatan. Beberapa jasa laundry selain menggunakan mesin pengering, masih ada yang menggunakan tenaga panas matahari untuk proses pengeringan pakaian. d. Seterika dan Pelipatan Pakaian yang sudah kering diseterika menggunakan alat seterika listrik. Ketika proses berlangsung sebelum pakaian diseterika, pakaian disemprotkan pewangi dan pelembut. Pakaian tersebut lalu dilipat agar mudah dikemas. Proses penyeterikaan dan pelipatan, terdapat pembedaan antara posisi kerja dan alat bantu kerja. 1. Posisi berdiri menggunakan meja seterika tanpa kursi 2. Posisi duduk menggunakan meja seterika dan kursi sandaran punggung 3. Posisi duduk menggunakan meja setrika dan kursi tanpa sandaran punggung 18 e. Pengemasan Pakaian yang telah diseterika dan dilipat diatur kembali agar mudah dikemas dalam wadah plastik bening dan diberi label. Proses pengemasan, terdapat perbedaan posisi kerja yaitu: 1. Pengemasan dilakukan dengan posisi berdiri, pakaian yang akan dikemas diletakkan diatas meja setrika 2. Pengemasan dilakukan dengan posisi duduk, pakaian yang akan dikemas diletakkan dilantai 2.3.1 Ergonomi Postur Tubuh Pegawai Laundry Istilah “ergonomi” berasal dari bahasa latin yaitu Ergon (Kerja) dan Nomos (Hukum Alam) dan dapat didefinisikan sebagai studi tentang aspek-aspek manusia dalam lingkungan yang ditinjau secara anatomi, fisiologi, psikologi, engineering, manajemen dan desain atau perancangan (Nurmianto, 1998). Ergonomi postur tubuh pegawai laundry menurut beberapa ahli yaitu: a. Leher Menurut Bridger (1995) leher tidak boleh fleksi dan ekstensi lebih dari 15o dan jika hal ini terjadi maka postural stress akan terjadi yang akhirnya dapat memperburuk keadaan posisi leher fleksi dan berotasi. 19 b. Bahu dan Tangan Menurut Pheasant (1991) posisi bahu ditinggikan atau lengan dijauhkan juga menyebabkan Neck Pain. Menurut Nurmianto (1998) sudut optimal lengan bawah berkisar antara 90o-120o. Posisi pergelangan tangan fleksi 10o dan ekstensi 35o merupakan posisi yang masih dapat diterima oleh sendi pergelangan tangan untuk melakukan aktivitas sehari-hari (Brumfield et al,. 1984). c. Genggaman Menggunakan kekuatan jari atau yang disebut dengan finger grip yang dimana menurut Kumar (2001) hal tersebut memilik resiko ergonomi karena mengangkat objek tidak boleh hanya mengandalkan kekuatan jari saja. Menurut Kumar (2001) posisi genggaman yang baik adalah posisi menggunakan kekuatan genggaman tangan. d. Siku Menurut Bridger (2003) pembebanan pada siku serta posisi statis pada siku menyebabkan sendi siku injury atau cedera. e. Punggung Menurut Bridger (2003) postur ektrim pada punggung akan menyebabkan peregangan pada lumbar dan penekanan otot perut sehingga terjadi kompresi tulang belakang apabila punggung dalam keadaan fleksi 10o ditambah postur punggung yang miring. 20 f. Posisi Duduk Grandjean (1993) dalam Tawarka (2004) berpendapat bahwa bekerja dalam posisi duduk mempunyai keuntungan yaitu pembebanan pada kaki, pemakaian energi dan keperluan untuk sirkulasi darah dapat di kurangi. g. Posisi Kedua Kaki Posisi kedua kaki statis pada saat menyeterika dengan posisi berdiri menurut Bridger (2003) akan menyebabkan penekanan pada otot perut sehingga terjadi kompresi tulang belakang. h. Pembebanan Menurut rekomendasi Humantech (1995) bahwa beban yang beresiko apabila beban melebihi 4,5 kg. i. Frekuensi pekerjaan Berdasarkan metode REBA yang dikembangkan oleh Hignett, Sue dan Mc Attamney (2000) kegiatan yang menghendaki gerakan yang berulang >4x permenit menambah resiko cedera akibat ergonomi. 2.4 Anatomi Myofascia Fascia merupakan tipe jaringan yang membungkus tendon, ligament, aponeurosis dan jaringan parut. Fascia terdapat di seluruh tubuh, sebagai perantara dari semua sistem yang ada pada tubuh dan memberikan bentuk untuk sistem tubuh seperti sistem sirkulasi darah, sistem saraf dan sistem limfatik. Fascia berfungsi untuk dapat membentuk dan menunjang bagian tubuh dan menahan agar tetap berada 21 pada tempatnya, memberikan lubrikasi (pelumas) sehingga otot akan bebas bergerak tanpa menimbulkan suatu gesekan yang bisa menyebabkan adanya injury pada otot (Clay, 2008). Fascia dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu fascia superficialis, fascia profunda (deep), dan deepest fascia. Fascia superficialis merupakan lapisan jaringan ikat longgar yang terletak pada lapisan bawah dermis kulit dan kadang disebut sebagai jaringan subkutan. Fascia ini berfungsi sebagai jalur untuk saraf dan darah menuju otot rangka dan berbagai jaringan adiposa. Fascia superficialis lebih menonjol pada bagian belakang tubuh daripada bagian depan. Fungsi utama lapisan ini yaitu sebagai pelindung deformasi mekanikal dan memberikan jalur untuk saraf dan dinding pembuluh saraf. Deep fascia adalah lapisan fibrosa pada jaringan ikat yang ditemukan di bawah superficialis fascia. Deep fascia berfungsi sebagai jalur untuk saraf dan pembuluh darah dan sebagai tempat untuk mengembangkan otot dan struktur internal lainnya. Deepest fascia dikenal sebagai dural tube yang mengelilingi dan melindungi otak dan sumsum tulang belakang (Lindsay and Robertson, 2008). Berdasarkan tempat ditemukannya fascia di dalam otot, maka fascia dibagi menjadi 3 yaitu epimysium, perymisium dan endomysium. Ketiga lapisan tersebut merupakan perluasan dari deep fascia. Epimysium merupakan jaringan myofascial terluas yang melapisi seluruh otot dan mengikat seluruh fasikel. Perimysium merupakan jaringan fascia yang membungkus sekelompok serabut otot ke dalam satu 22 fasikel. Endomysium merupakan jaringan fascia terdalam yang memisahkan seratserat otot (Alter, 2004). Fascia dapat mengalami ketegangan karena adanya kontraksi otot yang menyebabkan otot menjadi melebar. Ketegangan yang terjadi pada fascia akan mengalami peningkatan akibat adanya otot yang hipertropi secara sekunder karena latihan, atau dalam kondisi konstan hipertonus akibat dari postur yang jelek. Ketika timbul nyeri yang hebat, maka mengurangi jumlah suplai darah dan mengalami penyembuhan yang lambat sehingga menyebabkan fascia menjadi menyusut serta mengerut (Cantu and Grodin, 2001). Gambar 2.4 Struktur myofascia (Sumber: John F. Barners, 2014) 2.4.1 Epidemologi Myofascia Di Amerika Serikat, nyeri myofascial diperkirakan sering terjadi pada populasi umum. Sebanyak 21% dari pasien pada klinik ortopedi umum mengalami nyeri myofascial. Pada pasien terlihat di pusat-pusat khusus manajemen nyeri, 8593% pasien memiliki komponen nyeri myofascial (Phillips, 2012). 23 2.4.2 Etiologi Myofascia Nyeri myofascial diperkirakan terjadi akibat penggunaan otot yang berlebihan atau trauma pada otot-otot yang menyokong bahu dan leher. Penyebab umum yang terjadi di antara pasien ini adalah karena kecelakaan kendaraan bermotor atau kegiatan berulang pada ekstremitas atas. Pada tulang belakang servikal, otot-otot yang paling sering terlibat pada nyeri myofascial adalah m. trapezius, m. levator scapula, m. rhomboids, m. supraspinatus, dan infraspinatus. Nyeri myofascial trapezius biasanya terjadi ketika seseorang yang melakukan pekerjaan di depan meja kerja yang tidak memiliki lengan kursi yang sesuai atau harus bekerja mengetik pada keyboard yang terlalu tinggi. Faktor-faktor lain yang memungkinkan berperan pada gambaran klinis nyeri myofascial termasuk disfungsi endokrin, infeksi kronis, kekurangan gizi, postur tubuh yang buruk, dan stres psikologis (Phillips, 2012). 2.4.3 Patofisiologi Myofascia Nyeri myofascial muncul dari otot yang hipersensitif yang disebut trigger points. Jaringan otot pada area ini, perlekatan tendon, atau keduanya seringkali dirasakan sebagai pita taut (taut band) yang ketika dipalpasi, akan menghasilkan nyeri. Asal dari trigger points tidak diketahui. Tetapi, diperkirakan karena adanya ujung saraf di otot tersensitisasi oleh substansi algogenik yang menghasilkan zona hipersensitif (Williams and Wilkins, 1992) 24 Menurut ulasan dari Hong dan Simon (1998) tentang patofisiologi dan mekanisme elektropsikologi trigger points, pengamatan berikut akan membantu untuk mendefinisikannya lebih lanjut: 1) Trigger points dikenal dapat menyebabkan nyeri lokal dan/atau nyeri alih dengan distribusi yang spesifik 2) Palpasi dengan cara yang cepat (yaitu, palpasi gertakan) dapat menimbulkan respon kedutan lokal, suatu kontraksi cepat dari serat otot atau sekitar pita taut, respon kedutan lokal juga dapat ditimbulkan dengan penyisipan jarum secara cepat ke trigger points 3) ROM yang terbatas dan meningkatnya kepekaan untuk meregangkan serat otot dalam suatu pita taut sering terjadi 4) Otot dengan trigger points mungkin menjadi lemah karena nyeri, biasanya, tidak ada perubahan atrofi yang diamati 5) Pasien dengan trigger points mungkin dapat terkait dengan fenomena otonom lokal (misalnya, vasokonstriksi, respon pilomotor, ptosis, hipersekresi) 6) Suatu trigger points myofascial aktif adalah suatu tempat yang ditandai dengan generasi nyeri spontan atau nyeri dalam menanggapi gerakan, sebaliknya, trigger points laten mungkin tidak menghasilkan nyeri hingga dikompresi. 25 2.5 Myofascial Pain Syndrome 2.5.1 Definisi Myofascial Pain Syndrome Myofascial pain syndrome adalah suatu keadaan yang menimbulkan nyeri lokal dan menjalar yang dikarakteristikkan dengan adanya ketidaknormalan pada motoris (taut band yang keras di dalam otot) dan ketidaknormalan pada sensoris (nyeri tekan dan nyeri menjalar). Myofascial pain syndrome dikarakteristikkan sebagai nyeri musculosceletal yang bersifat akut atau kronis. Hal ini bisa menyebabkan timbulnya nyeri lokal, atau gangguan sekunder yang terjadi sebagai akibat dari beberapa kondisi. Ketika myofascial menjadi kronis, tidak cukup untuk diobati dengan teknik injeksi, namun membutuhkan perhatian postural, ergonomi, dan faktor – faktor struktural (Gerwin et al., 2004). Myofascial pain syndrome biasanya berupa nyeri regang (taut pain) dan nyeri tekan (tenderness pain). Myofascial pain syndrome sering terjadi pada area yang memiliki sistem transportasi metabolisme yang kurang baik. Daerah tersebut merupakan titik – titik nyeri (trigger points) yang mudah terangsang oleh sisa metabolisme (Ladopurab, 2012). Myofascial pain syndrome didefinisikan sebagai suatu keadaan yang dikarakteristikkan dengan kondisi otot yang sakit bersifat kronis yang hypersensitive jika diberikan penekanan. Tipe dari nyeri ini pada umumnya bersifat dalam (deep) dan tumpul, terasa nyeri pada otot yang terkena dan jika dilakukan palpasi, maka nyerinya sering menyebar ke area nonspesifik disekitar otot. Sekelompok otot yang mengalami ketegangan dan dapat diraba ini disebut dengan trigger point. Taut band yang terdapat di dalam otot skeletal sangat sensitif terhadap suatu tekanan sehingga 26 ketika diberikan penekanan tepat pada titik nyeri tersebut, maka penderita akan merasakan nyeri yang tajam. Nyeri yang dirasakan oleh penderita tidak akan terasa hingga ke persendian akan tetapi lingkup gerak sendi akan menjadi berkurang akibat dari otot penggeraknya yang mengalami masalah (Werenski, 2011). Kebanyakan orang tidak menyadari keberadaan dari trigger point. Ketika akut trigger point menjadi kronis maka lama kesembuhan yang didapatkan pasien menjadi lebih lama. Akut trigger point terjadi karena adanya cedera secara langsung dan menjadi kronis akibat adanya trauma dalam jangka waktu yang panjang. Fisiologi yang mendasari tentang mekanisme terjadinya myofascial syndrome ini tidak dapat dipahami dengan jelas. Beberapa mekanisme telah disampikan dalam literaturliteratur tentang penyebab akut ataupun kronis. Adanya retikulum sarkoplasma yang mengalami perobekan sehingga akan melepaskan kalsium. Pelepasan kalsium dan ATP menyebabkan sarkomer mengalami kontraksi yang lebih pendek pada daerah yang terdapat taut band. Hal tersebut akan meningkatkan aktivitas metabolik, adanya iskemik dan adanya pelepasan zat tersebut menyebabkan iritasi yang berlebihan pada ujung saraf sensorik dan akhirnya menimbulkan nyeri (Simons et al., 1999). Myofascial pain syndrome ditandai dengan adanya myofascial trigger point (Fernandez et al., 2005). Komponen klinis utama pada nyeri myofascial, yang terpenting adalah adanya titik picu (trigger points), taut band, dan local twitch response (Simons et al., 1999). 27 Trigger point adalah suatu nodul hipersensitive yang terdapat dalam taut band pada otot skeletal. Karakteristik utama dari trigger points yaitu adanya nodul pada taut band. Nodul ini menyebabkan hyperalgesia yang merupakan respon nyeri yang berlebihan ketika diberikan suatu rangsangan normal dan adanya allodynia yang merupakan persepsi nyeri dalam menanggapi rangsangan normal (Gerwin,1999). Trigger point dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu aktif trigger point dan pasif trigger point. Aktif trigger point terjadi ketika pasien mengalami nyeri spontan pada saat pasien istirahat yang dapat memicu adanya reffered pain ketika diberikan suatu penekanan. Pasif trigger point terjadi ketika pasien tidak mengalami nyeri secara spontan tetapi dapat menyebabkan adanya keterbatasan gerakan dan kelemahan otot, tapi ketika trigger point tersebut mendapat penekanan maka pasien akan merasakankan nyeri pada daerah yang diberikan penekanan. Pasif trigger point dapat menjadi aktif jika adanya stimulasi seperti posture tubuh yang tidak benar, penggunaan otot secara berlebihan tanpa adanya istirahat dan dengan posisi statik, ergonomi tubuh yang tidak benar ketika melakukan pekerjaan (Werenski, 2011). Gambar 2.5 Trigger Point Complex (Sumber: Shah and Heimur, 2012) 28 Taut band merupakan satu bendel muscle belly yang mengeras, kaku dan ketika diraba akan terasa berbeda dengan bagian otot yang lain. Adanya taut band dalam otot akan mengakibatkan penurunan ekstensibilitas dan fleksibilitas pada otot tersebut. Adanya perlengketan dalam struktur otot yang terjadi pada fascia dan myofilament dalam sarcomer taut band maka akan terjadi peningkatan konsentrasi secara abnormal dari asetilkolin dalam end plate tautband. Perlengketan ini menyebabkan sirkulasi darah pada otot menjadi berkurang sehingga kebutuhan nutrisi dan oksigen pada area taut band berkurang (Gerwin et al., 2004). Local Twitch Response (LTR) merupakan tekanan mendadak yang terasa mengejutkan atau tertusuk jarum dan sel otot berkontraksi dalam taut band. Elektrik pada LTR terjadi secara spontan dalam taut band tanpa adanya stimulasi saraf motorik disebut end plate noise yang terdapat pada ujung saraf yang dekat dengan zona trigger point. Pelepasan elektrik terjadi dengan frekuensi 10-100 kali lebih dari potensial elektrik motor end plate normal. Sehingga merupakan aktivasi saraf simpatik yang mempengaruhi pelepasan secara spontan Ach karena aktivitas adreno reseptors dari ujung saraf motorik (Mc Partland, 1996). 2.5.2 Tanda dan gejala Myofascial Pain Syndrome Menurut Azizah dan Hardjono, 2006 tanda dan gejala yang menyebabkan terjadinya myofascial pain syndrome otot upper trapezius yaitu: 1. Nyeri yang terlokalisir pada otot upper trapezius. 29 2. Terdapat taut band pada otot dan fascia serta jaringan ikat longgar (connective tissue). 3. Nyeri yang menjalar umumnya dengan pola yang dapat di prediksi. 4. Adanya titik tenderness pada suatu tempat sepanjang taut band yang disebut sebagai trigger point/jump sign. 5. Tightness pada otot yang terkena sehingga menyebabkan keterbatasan lingkup gerak sendi. 6. Spasme otot akibat dari adanya rasa nyeri yang timbul dan juga akibat dari penumpukan zat-zat iritan/zat metabolit. 7. Perubahan otonomik seperti vasokonstriksi pembuluh darah dan keringat yang berlebihan di sepanjang area reffered pain. Gambar 2.6 Reffered pain otot upper trapezius (Sumber: Nayak, 2013) 30 2.5.3 Penyebab Myofascial Pain Syndrome Otot Upper Trapezius Myofascial pain syndrome dapat disebabkan oleh berbagai faktor yaitu (Azizah dan Hardjono, 2006): 1. Postur tubuh Pada postur tubuh yang tidak bagus dapat menyebabkan stress dan strain pada otot upper trapezius seperti forward head posture yaitu posisi seseorang yang melakukan posisi kerja statis terus menerus pada saat aktivitas dalam posisi duduk atau berdiri. 2. Ergonomi kerja yang buruk Ergonomi tubuh yang tidak baik seperti penggunaan otot yang berlangsung lama, mekanisme kerja yang buruk pada leher dan bahu menggambarkan beban kerja otot upper trapezius lebih berat, posisi tempat kerja yang tidak sesuai dengan ergonomi. 3. Trauma pada jaringan myofascial Trauma pada jaringan myofascial dapat dibagi menjadi dua, yaitu trauma makro dan trauma mikro. Trauma makro yaitu suatu cidera yang mengenai otot atau fasia. Ketika jaringan myofascial mengalami cidera maka akan terjadi proses inflamasi, ketegangan serabut kolagen, dan pemendekan serabut kolagen. Ketika serabut kolagen mengalami pemendekan menyebabkan tekanan pada jaringan myofascial akan meningkat. Sedangkan trauma mikro merupakan suatu cidera yang berulang (repetitive 31 injury) akibat dari suatu kerja dalam jangka waktu lama dan dengan beban yang berlebih. 4. Usia Myofascial pain syndrome kebanyakan terjadi pada orang dewasa pada usia pertengahan karena kemampuan otot pada usia muda lebih baik dalam menangani stress mekanikal. Pada usia dewasa ke atas, telah terjadi penurunan fungsi akibat dari degenerasi jaringan sehingga otot akan menjadi sulit dalam menangani stress. 2.5.4 Mekanisme Myofascial Pain Syndrome Pada myofascial pain syndrome terdapat taut band yang didalamnya berisi trigger point. Taut band dalam otot ini dapat menyebabkan penurunan dari tingkat fleksibilitas dan ekstensibilitas otot. Adanya perlengketan ini dapat berdampak pada penurunan sirkulasi darah sehingga menyebabkan kebutuhan akan nutrisi dan oksigen pada area taut band berkurang. Dampaknya terjadi hiperkontraksi sel otot yang akan mempengaruhi peningkatan metabolisme bersifat lokal serta teraktivasinya saraf simpatik yang berakibat vasokontriksi pada pembuluh darah kapiler (Gerwin et al., 2004). Otot upper trapezius merupakan otot tipe 1 (slow twitch) atau postural yang berfungsi sebagai stabilisator scapula ketika lengan beraktivitas, mempertahankan posisi kepala yang cenderung jatuh ke depan karena adanya kekuatan otot gravitasi. Dilihat dari fungsinya yaitu sebagai otot stabilitator, apabila terjadi suatu patologis 32 otot ini mudah sekali terjadi gangguan berupa thigtness dan kontraktur. Kerja otot ini akan semakin memburuk apabila adanya postur yang buruk, penggunaan otot dalam kondisi statis lama, mekanisme kerja yang buruk pada leher dan bahu. Akibat yang dapat ditimbulkan yaitu adanya fase kompresi dan ketegangan lebih lama daripada rileksasi yang menyebabkan otot cepat mengalami kelelahan (Sherwood, 2006). Ketika otot mengalami ketegangan ataupun kontraksi secara terus menerus, maka akan menurunkan mobilitas dari jaringan myofascial sehingga juga akan mempermudah terjadinya pemendekan serabut kolagen dan menimbulkan stres mekanis. Jika ketegangan otot tersebut terjadi dalam waktu yang lama maka akan menstimulasi nociceptor yang terdapat di dalam otot. Semakin sering dan kuat nociceptor tersebut terstimulasi maka akan semakin kuat pula aktivitas refleks dari ketegangan otot tersebut, akibatnya pada jaringan myofascial terjadi penumpukan zatzat nutrisi dan oksigen ke jaringan sehingga akan menimbulkan iskemia pada jaringan myofascial. Ketika adanya iskemia maka aliran darah yang menuju jaringan akan terhambat, jaringan yang mengalami iskemia beberapa menit saja dapat menimbulkan nyeri yang sangat dalam (Guyton and Hall, 2008). Selain itu, jaringan myofascial akan berkontraksi, sehingga akan merangsang substansi P hingga menjadi suatu peradangan kronis yang menghasilkan zat algogen berupa prostaglandin, histamin, bradikinin dan serotonin yang dapat meningkatkan sensitivitas nyeri (Guyton and Hall, 2008). Proses radang dapat juga menimbulkan respon neuromuskular berupa ketegangan otot disekitar area yang mengalami kerusakan otot tersebut, sehingga timbullah viscous circle of pain, yaitu spasme 33 menimbulkan iskemik, iskemik menimbulkan nyeri dan nyeri menimbulkan spasme dan seterusnya (Guyton and Hall, 2008). Pada umumnya ketika ada rasa nyeri, pasien tidak mau menggerakan bagian tersebut (immobilisasi) akibatnya akan menjadi kontraktur sehingga akan terbentuk taut band dan trigger point Ketika jaringan myofascial berada dalam kondisi immobilisasi untuk beberapa waktu sekurang-kurangnya empat minggu ikatan melintang dapat terbentuk di antara molekul-molekul tipe I kolagen. Tipe I kolagen adalah unsur kolagen normal dari jaringan ikat. Ikatan melintang (cross binding) ini akan menurunkan fleksibilitas fascia dan juga membatasi gliding antara lembaran fasia. Ketika jaringan ikat dalam keadaan immobilisasi maka akan terjadi perubahan pada substansi dan serabut kolagen. Protein-karbohidrat kompleks dalam substansi dasar akan mengikat air dan menjadikan banyak gel yang tidak berbentuk (water binding complex mucopolysacharides) atau lebih dikenal dengan glikosaminoglikans (Guyton and Hall, 2008). Dalam kondisi immobilisasi kandungan air akan berkurang dan bagian terbesar dari substansi dasar akan menurun. Akibatnya serabut kolagen akan saling berdempetan. Ketika jarak dari satu molekul kolagen ke molekul kolagen yang lain menurun hingga pada ambang kritis, yang terjadi adalah molekul mulai membentuk ikatan menyilang (cross binding). Jaringan ikat juga menjadi kurang elastis karena serabut kolagen dan lapisan fasia kehilangan pelumas. Hal ini akan menyebabkan molekul dari lembaran fasia ternyata terikat bersama-sama. Keadaan imobilisasi dari jaringan myofascial ini banyak disebabkan misalnya oleh ergonomi yang jelek, 34 dimana keadaan ini akan mencetuskan timbunan fibroblas dan banyak kolagen membuat ikatan tali (cross links). Cross links kolagen akan secara fisiologis timbul perlahan-lahan dan perlahan-lahan pula akan menyebabkan tekanan dalam jaringan. Akibatnya akan menurunkan jarak kritis pada area tersebut. Aliran darah pada area tadi juga akan menurun bahkan hingga tingkat iskemia yang akan mengiritasi serabut saraf Aδ dan C sehingga akan mencetuskan timbulnya nyeri (Guyton and Hall, 2008). Traktus paleospinotalamikus merupakan sistem yang menjalarkan rasa nyeri terutama dari serabut tipe C lambat-kronik perifer. Walaupun jaras ini juga menjalarkan beberapa sinyal dari serabut tipe Aδ juga. Serabut-serabut perifer berakhir di dalam medula spinalis hampir seluruhnya di lamina II dan III kornu dorsalis, yang bersama-sama disebut substansia gelatinosa. Sebagian besar sinyal kemudian melewati satu atau lebih neuron serabut pendek tambahan di dalam kornu dorsalisnya sebelum memasuki lamina V, juga di kornu dorsalis. Disini neuronneuron terakhir dalam rangkaian merangsang akson-akson panjang yang sebagian besar menyambungkan serabut-serabut dari jaras rasa nyeri cepat (Guyton and Hall, 2008). Ujung serabut nyeri tipe C yang memasuki medula spinalis kemungkinan mengeluarkan transmiter glutamat dan transmiter substansi P. Transmiter glutamat bekerja secara cepat dan hanya berlangsung beberapa milidetik. Substansi P dilepaskan jauh lebih lambat. Inilah mengapa seseorang bisa merasakan nyeri ganda. Lokalisasi nyeri yang dijalarkan lewat jalur jaras paleospinotalamikus bersifat buruk, 35 sehingga seringkali pasien memiliki kesulitan dalam melokalisasikan sumber beberapa nyeri jenis kronik (Guyton and Hall, 2008). 2.6 Lingkup Gerak Sendi Leher Lingkup gerak sendi atau Range Of Motion (ROM) adalah luasnya gerakan sendi yang terjadi pada saat sendi bergerak dari satu posisi ke posisi lain, baik secara pasif maupun aktif. Lingkup gerak sendi dapat juga diartikan sebagai ruang gerak/batas-batas gerakan dari suatu kontraksi otot dalam melakukan gerakan, apakah otot tersebut dapat memendek atau memanjang secara penuh atau tidak (Deuster et al., 2007). Lingkup gerak sendi berhubungan dengan fleksibilitas. Fleksibilitas adalah kemampuan suatu jaringan atau otot untuk memanjang semaksimal mungkin sehingga tubuh dapat bergerak dengan lingkup gerak sendi yang penuh, tanpa disertai rasa nyeri. Gerakan leher yang utama adalah fleksi yaitu membawa dagu kearah dada, ekstensi yaitu memutar kepala kebelakang untuk melihat langit-langit, dan lateral fleksi yaitu membawa telinga kearah bahu. Stabilitas tulang belakang cervical disediakan oleh kombinasi sendi zygapophyseal, banyak ligament dan otot. Ekstensi, fleksi, gerakan lateral, dan rotasi diinduksi oleh orientasisendi zygapophyseal (Weerapong et al., 2005). Pengukuran dari lingkup gerak sendi leher tersebut dapat diukur dengan menggunakan alat berupa goniometer. Dengan cara meletakan axis (fulcrum) di posisi 36 ataupun di suatu titik pengukuran kemudian lengan proksimal (stationary arm) posisi diam dan lengan distal (moving arm) bergerak mengikuti gerakan sendi. Sudut yang ditunjukan pada goniometer diinterpretasikan sebagai lingkup gerak sendi dari sendi tersebut (Reese and Bandy, 2002). Berikut adalah gambar dari alat ukur goniometer. Gambar 2.7 Goniometer (Sumber: Reese and Bandy, 2002) 2.4 Patofisiologi Penurunan Lingkup Gerak Sendi Cervical Masalah penurunan lingkup gerak sendi pada tubuh manusia salah satunya sering terjadi pada otot upper trapezius karena otot ini sering ditemukan mengalami gangguan. Otot upper trapezius adalah otot tipe I atau tonik dan juga merupakan otot postural yang berfungsi melakukan gerakan elevasi bahu, ekstensi dan lateral fleksi servikal. Kelainan yang terjadi pada tipe otot ini cenderung tegang dan memendek. Itu sebabnya jika otot upper trapezius berkontraksi dalam jangka waktu lama, maka jaringan ototnya menjadi tegang, timbul nyeri dan dalam waktu lama mengakibatkan penurunan lingkup gerak sendi. Kerja otot upper trapezius akan bertambah berat dengan adanya postur yang buruk, mikro dan makro trauma (Makmuriyah & Sugijanto, 2013). 37 Kondisi kontraksi pada otot yang berlangsung dalam waktu lama mengakibatkan keadaaan yang dikenal sebagai kelelahan otot. Hal ini disebabkan karena menurunnya jumlah ATP, sehingga tidak adanya ketersediaan energi untuk menggeser aktindan miosin. Kontraksi yang terjadi semakin lama akan semakin lemah, walaupun saraf masih bekerja dengan baik dan potensial aksi masih menyebar pada serabu-serabut otot (Guyton & Hall, 2008). Pada penelitian ini akan digunakan gerakan lateral fleksi cervical sebagai interpretasi lingkup gerak sendi dimana otot upper trapezius berperan sebagai main muscle atau otot yang paling dominan bekerja pada gerakan tersebut. Lingkup gerak sendi lateral fleksi cervical yang normal adalah lebih dari 45º. Otot upper trapezius terdiri dari dua bagian yaitu kanan dan kiri dimana pelatihan otot dapat dioptimalkan dengan memberikan intervensi dengan gerakan yang spesifik seperti lateral fleksi (Neuman, 2002). 2.8 Teknik Massage Effleurage 2.8.1 Definisi Massage Effleurage Effleurage adalah suatu pergerakan stroking dalam atau dangkal, effleurage pada umumnya digunakan untuk membantu pengembalian kandungan getah bening dan pembuluh darah di dalam ekstrimitas tersebut. Effleurage juga digunakan untuk memeriksa dan mengevaluasi area nyeri dan ketidak teraturan jaringan lunak atau peregangan kelompok otot yang spesifik (Hollis, 1998). Robin (2010) menambahkan 38 bahwa efflurage adalah salah satu gerakan utama pijat yang dapat dilakukan pada setiap area tubuh 2.8.2 Efek Massage Effleurage menurunkan nyeri dan meningkatkan LGS akibat Myofascial Pain Syndrome Kusdinar (2011) mengatakan bahawa efek massage terhadap jaringan dapat bersifat mekanis, reflektoris dan khemis. a. Efek mekanis: Dengan teknik menekan dan mendorong secara bergantian menyebabkan terjadinya pengosongan dan pengisian pembuluh vena dan lymph, sehingga membantu dengan cara mendistribusikan minyak secara merata ketubuh kemudian kedua telapak tangan meluncur di atas permukaan kulit dengan sedikit tekanan memperlancar sirkulasi, membantu sekresi, dan pemberian nutrisi kedalam jaringan b. Efek reflektoris: Massage menimbulkan pacuan terhadap syaraf, peredaran darah yang menimbulkan proses vasso kontriksi yang diikuti dengan vasso dilatasi lokal sehingga memperlancar peredaran darah. Selain itu syaraf motorik yang terangsang meningkatkan tonus otot. c. Efek khemis: Massage menyebabkan terbebasnya suatu zat sejenis histamin yang memberi efek dilatasi terhadap pembuluh darah kapiler. Sementara itu menurut Brain (2010) massage effleurage memiliki beberapa efek, diantaranya adalah: 1. Menambah kondisi relaksasi. 39 2. Memiliki aksi obat penenang dan sangat bermanfaat untuk menenangkan saraf, stres dan ketegangan bisa dikurangi, sakit kepala , tegang terhalau dan pola insomnia rusak. 3. Effleurage dapat menghidupkan kembali dan merangsang sistem saraf pusat. 4. Jaringan akan menghangatkan tubuh dan meningkatkan sirkulasi. 5. Aliran getah bening meningkat, membantu untuk menyingkirkan limbah dan zat beracun. 6. Effleurage memperbaiki kulit, mendorong kulit sehat dan bersinar. Menurut Fatmawati (2013) massage effleurage memiliki efektivitas untuk menurunkan nyeri dan disabilitas pada myofascial pain symdrome otot upper trapezius bagian atas ini didukung dengan oleh pernyataan Onofrio (2013) menjelaskan massage adalah tindakan penekanan oleh tangan pada jaringan lunak, biasanya otot tendon atau ligamen, tanpa menyebabkan pergeseran atau perubahan posisi sendi guna menurunkan nyeri, menghasilkan relaksasi, dan/atau meningkatkan sirkulasi. Gerakan-gerakan dasar yang meliputi gerakan memutar yang dilakukan oleh telapak tangan, gerakan menekan dan mendorong ke depan dan ke belakang menggunakan tenaga, menepuk-nepuk, memotong-motong, meremas-remas, dan gerakan meliuk-liuk. Setiap gerakan -gerakan menghasilkan tekanan, arah, kecepatan, posisi tangan dan gerakan yang berbeda-beda untuk menghasilkan efek yang diinginkan pada jaringan yang di bawahnya (Onofrio, 2013). 40 2.8.3 Aplikasi Massage Effleurage Effleurage merupakan teknik masasge yang aman, mudah untuk dilakukan, tidak memerlukan banyak alat, tidak memerlukan biaya, tidak memiliki efek samping dan dapat dilakukan sendiri atau dengan bantuan orang lain (Ekowati, 2011). Tindakan utama massage effleurage merupakan aplikasi dari teori Gate Control yang dapat “menutup gerbang” untuk menghambat perjalanan rangsang nyeri pada pusat yang lebih tinggi pada sistem saraf pusat. Langkah-langkah melakukan teknik ini adalah kedua telapak tangan melakukan usapan ringan, tegas dan konstan dengan pola lurus pada sisi yang mengalami nyeri, dimulai dari leher bagian atas hingga ke bagian bahu. Ulangi gerakan di atas selama 3–5 menit dan berikan lotion atau minyak/baby oil tambahan jika dibutuhkan (Ekowati, 2011). Gambar 2.8 Gerakan Massage Effleurage (Sumber: eastbourne, 1996) 41 Gambar 2.9 Gerakan Massage Effleurage (Sumber: John Hooper, 2012) Gambar 2.10 Gerakan Massage Effleurage (Sumber: Suciati 2014) Gambar 2.11 Teknik Massage Effleurage (Sumber: Swedish massage, 2016) 42 2.8.4 Indikasi dan Kontra indikasi Massage Menurut Tappan (1998) Indikasi dan Kontraindikasi Massage yaitu: a. Indikasi pemberian massage Beberapa kondisi yang merupakan indikasi pemberian massage antara lain: (1) Kasus-kasus yang memerlukan relaksasi otot, (2) Kasus oedem pada kondisi pasca operasi, (3) Kasus perlengketan jaringan terutama pada kondisi pasca operasi, (4) Kasus yang memerlukan perbaikan sirkulasi darah. b. Kontra indikasi pemberian massage Beberapa kondisi yang merupakan kontra indikasi pemberian massage antara lain: 1) Penyakit yang penyebarannya melalui kulit, limfe dan pembuluh darah, 2) Daerah perdarahan, 3) Daerah peradangan akut, 4) Daerah dengan gangguan sensibilitas, 5) Penyakit dengan gangguan sistem kekebalan tubuh. 2.9 Teknik Deep Transverse Friction 2.9.1 Definisi Deep Transverse Friction Deep transverse friction merupakan sebuah teknik yang dipopulerkan Dr. James Cyriax untuk kondisi nyeri dan inflamasi musculoskeletal (Brosseau, et al., 2009). 43 Deep transverse friction menggunakan aplikasi gesekan dan tekanan pada kedalaman lesi tertentu yang dianggap menjadi penyebab rasa nyeri atau penurunan fungsi yang digunakan untuk mengurangi perlengketan fibrosa yang abnormal (Doley et al., 2013). 2.9.2 Efek Pemberian Deep Transverse Friction menurunkan nyeri dan meningkatkan LGS akibat Myofascial Pain Syndrome Deep transverse friction menyebabkan taut band dan trigger point berkurang karena energi yang dibutuhkan dapat terpenuhi. Deep transverse friction diterapkan tegak lurus terhadap serat dalam upaya untuk memisahkan masing-masing serat pada daerah trigger point yang memberikan efek mekanis, hiperemia lokal, analgesia, dan pengurangan jaringan parut terhadap struktur ligamen, tendon dan otot. Deep transverse friction dapat menyebabkan stimulasi ujung nosiseptif terhubung ke serat Aδ dan mekanoreseptor ditemukan di jaringan lunak yang terhubung ke diameter besar serat Aβ (Doley et al., 2013). Serat berdiameter besar ini memiliki efek pada sel-sel di tanduk posterior dari kabel serta cenderung menghambat transmisi informasi nosiseptif berdiameter kecil, sehingga gerbang nyeri ditutup (Doley et al., 2013). Akibatnya, dalam hal modulasi nyeri, deep transverse friction akan menyebabkan penghambatan presinaptik di tingkat kabel dan menghambat rasa sakit dengan produksi pusat encephalin (Doley et al., 2013). Sehingga akan meningkatkan sirkulasi darah dalam jaringan lunak, 44 akhirnya meningkatkan ekskresi laktat atau zat inflamasi dan memfasilitasi sekresi opiat endogen, sehingga nyeri akan berkurang dan disabilitas juga berkurang (Yoon, 2013). Ramadan Hafez, et al., (2014) dalam penelitian The Effect of Longitudinal Stretching of Muscles and Nerve versus Deep Transverse Friction Massage in the Management of Patient with Carpal Tunnel Syndrome menyimpulkan bahwa teknik Deep Transverse Friction Massage menunjukan hasil adanya peningkatan ROM walaupun hasilnya tidak begitu drastis peningkatannya, tetapi dengan berkurangnya nyeri pada pasien akan memudahkan pasien untuk menggerakan daerah yang mengalami keterbatasan. 2.9.3 Aplikasi Deep Transverse Friction Aplikasi Teknik Deep Transverse Friction menggunakan ibu jari dalam proses penekanan dengan arah melingkar dari leher bagian atas menuju leher bagian bawah (Journal of Therapy Rehabilitation, 2014). Lakukan stretching ringan seperti menoleh ke kanan atau ke kiri serta menunduk atau menengadah yang dimana stretching berfungsi untuk memanjangkan otot tanpa adanya ketegangan yang dapat menyebabkan kesulitan penestrasi (Riggs and Grant, 2009). Ulangi gerakan di atas selama 3–5 menit dan berikan lotion atau minyak/baby oil tambahan jika dibutuhkan Ramadan Hafez, et al., (2014) 45 Gambar 2.12 Gerakan Deep Transverse Friction (Sumber: suciati 2014) Gambar 2.13 Teknik Deep Transverse Friction (Sumber : Swedish massage, 2016) 2.9.4 Indikasi dan Kontra indikasi Deep Transverse Friction Menurut Tappan (1998) Indikasi dan Kontraindikasi Massage yaitu: a. Indikasi pemberian massage Beberapa kondisi yang merupakan indikasi pemberian massage antara lain: 46 (1) Kasus-kasus yang memerlukan relaksasi otot, (2) Kasus oedem pada kondisi pasca operasi, (3) Kasus perlengketan jaringan terutama pada kondisi pasca operasi, (4) Kasus yang memerlukan perbaikan sirkulasi darah. b. Kontraindikasi pemberian massage Beberapa kondisi yang merupakan kontra indikasi pemberian massage antara lain: 1) Penyakit yang penyebarannya melalui kulit, limfe dan pembuluh darah, 2) Daerah perdarahan, 3) Daerah peradangan akut, 4) Daerah dengan gangguan sensibilitas, 5) Penyakit dengan gangguan sistem kekebalan tubuh, Massage adalah tindakan penekanan oleh tangan pada jaringan lunak, biasanya otot tendon atau ligamen, tanpa menyebabkan pergeseran atau perubahan posisi sendi guna menurunkan nyeri, menghasilkan relaksasi, dan/atau meningkatkan sirkulasi. Gerakan-gerakan dasar yang meliputi gerakan memutar yang dilakukan oleh telapak tangan, gerakan menekan dan mendorong kedepan dan kebelakang menggunakan tenaga, menepuk-nepuk, memotong-motong, meremas-remas, dan gerakan meliuk-liuk. Setiap gerakan- gerakan menghasilkan tekanan, arah, kecepatan, posisi tangan dan gerakan yang berbeda-beda untuk menghasilkan efek yang di inginkan pada jaringan yang dibawahnya (Onofrio, 2013).