Pemasaran mebel kayu jati Jepara

advertisement
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Industri perkayuan mempunyai peranan yang sangat penting terhadap
perolehan devisa dan pembangunan ekonomi negara.
Perkembangan industri
kayu di Indonesia dimulai pada tahun 1970-an dengan mengekspor log. Pada
awal tahun 1980-an, industri perkayuan berkembang ke arah industri
pengergajian. Pada pertengahan tahun 1980-an pemerintah melarang ekspor log
dan kayu gergajian yang mendorong tumbuhnya industri kayu olahan. Namun
krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998 menyebabkan industrti kayu olahan
menjadi kurang berkembang. Hal ini disebabkan oleh kurang tersedianya bahan
baku (Nurrochmat et al. 2008).
Sejalan dengan penurunan ketersediaan bahan baku untuk industri dan
meningkatnya biaya tenaga kerja pada industri berbasis kayu, mebel kayu
merupakan industri kecil yang berpeluang untuk dikembangkan yang tidak hanya
diharapkan untuk memperoleh devisa tetapi juga akan menstimulasi pertumbuhan
ekonomi nasional karena
memiliki nilai tambah yang tinggi, mempunyai
keterkaitan yang cukup kuat dengan sektor lain, menciptakan lapangan kerja,
memiliki pertumbuhan pasar yang baik, dan berdaya saing cukup tinggi.
Berdasarkan data statistik tahun 2000 – 2005 industri mebel memberikan
kontribusi sebesar 17% terhadap penerimaan negara. Pada tahun 2005 ekspor
mebel mencapai US$ 1,78 milyar (ASMINDO dalam Departemen Kehutanan
2007a) dengan rincian mebel kayu 75%, mebel rotan 20% dan mebel dari logam
atau plastik 5%.
Ekspor dari mebel kayu memberikan kontribusi sebesar 2,6%
terhadap total pertumbuhan, dimana Indonesia berada pada peringkat ke-11 dari
20 besar eksportir mebel dunia. Negara tujuan ekspor mebel Indonesia yang
utama adalah Amerika Serikat (37%), Jepang (12%), Inggris (8%) dan Belanda
(8%), Jerman (7%), dan Perancis (7%). Selain itu, ekspor juga ditujukan ke
negara-negara Italia, Belgia, Spanyol, dan Australia.
Menurut data ASMINDO (2008) ekspor mebel dari Indonesia mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun.
Statistik UN COMTRADE (2008)
memperlihatkan peningkatan nilai perdagangan mebel kayu dari tahun 2003
2
sampai tahun 2007.
Pada tahun 2007 nilai perdagangan yang diperoleh dari
mebel kayu adalah sebesar US$ 1.100.910.720. Jumlah ini lebih besar dari nilai
perdagangan mebel tahun 2006 (US$ 1.051.207.049).
Gambar 1. Nilai perdagangan mebel kayu indonesia tahun 2003 – 2007 (US$)
Sumber: Data Statistik UN COMTRADE (Mebel dengan kode HS 1996)1
Sebagai sentra industri mebel kayu di Indonesia, Kabupaten Jepara
mempunyai peranan yang sangat penting di dalam perekonomian nasional.
Menurut Roda et al. (2007) industri mebel kayu yang terdapat di Jepara adalah
15.271 industri dan menyerap tenaga kerja sebanyak 176.470 orang. Berdasarkan
data BPS Kabupaten Jepara tahun 2007, total perdagangan mebel dari Jepara
untuk tahun 2007 mencapai 37.894.523,92 kg perabotan dengan nilai produksi
US$ 94.604.782,15.
Loebis dan Schmitz (2005) menyatakan bahwa industri mebel kayu adalah
salah satu industri yang sanggup bertahan ketika terjadi krisis ekonomi tahun
1997.
Hal ini diketahui dari pertumbuhan industri mebel kayu Jepara dan
peningkatan penyerapan tenaga kerja. Jumlah industri mebel kayu pada tahun
1997 sebanyak 2.439. Jumlah industri pada tahun 2007 meningkat menjadi 3.710
(Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Jepara, 2008). Begitu
juga dengan jumlah tenaga kerja pada tahun 1997 sebanyak 38.264 tenaga kerja
meningkat menjadi 49.192 tenaga kerja pada tahun 2007. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Roda et al (2007) memberikan hasil yang berbeda, dimana jumlah
1
kode HS1996 (furniture, woodes, nes (940360); Office furniture, wooden, nes (940330);
bedroom furniture, wooden, nes (940350); kitchen furniture, wooden, nes (940340)
3
industri dan tenaga kerja pada tahun 2002 adalah sebanyak 12.000 industri dan
140.000 tenaga kerja. Pertumbuhan industri mebel kayu pasca krisis ekonomi
memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi nasional.
Melihat kontribusi yang diberikan oleh industri mebel maka industri mebel
harus mendapatkan perhatian tidak hanya pada aspek pasar mebel kayu jati di
Jepara tetapi juga aspek pemasarannya. Pada aspek pasar mebel kayu jati Jepara
yang perlu diketahui adalah saluran pemasaran mebel kayu jati, marjin pemasaran,
struktur pasar dan rasio keuntungan terhadap biaya. Dalam kaitannya dengan
pemasaran mebel kayu Jepara, hal lain yang perlu diketahui adalah preferensi
konsumen rumah tangga terhadap mebel kayu Jepara. Selain itu, penelitian ini
juga akan menganalisis manajemen usaha pengrajin.
1.2. Perumusan masalah
Secara umum, permasalahan yang dihadapi industri kayu Jepara dapat
dibedakan menjadi dua kategori, yaitu masalah internal dan masalah eksternal.
Masalah internal yang terdapat pada pengrajin adalah perilaku pengrajin dalam
mengelola keuangan yang mengakibatkan pengrajin mengalami kesulitan modal
untuk kelangsungan usaha jangka panjang.
Masalah internal lainnya adalah
ketidakmampuan pengrajin dalam mencari informasi untuk mengembangkan
pasar. Ketidakmampuan ini mengakibatkan pengrajin tidak bisa mengantisipasi
perubahan-perubahan yang terjadi, dimana perubahan harga mebel di tingkat
pengrajin jauh lebih rendah dari perubahan harga di tingkat lembaga pemasaran
akhir. Lembaga pemasaran yang sekaligus melakukan kegiatan finishing pada
produk akhir memperoleh keuntungan tertinggi yaitu antara 22% sampai 75%
(Nurrochmat et al. 2008; Purnomo 2006) sedangkan pengrajin hanya memperoleh
keuntungan antara 4% sampai 15% (Nurrochmat et al. 2008; Purnomo 2006).
Permintaan mebel yang tinggi telah mendorong pertumbuhan industri
mebel dan industri pendukung mebel. Kondisi ini menyebabkan banyak pelaku
baru memasuki usaha industri mebel. Keadaan ini didukung dengan terjadinya
krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 yang mengakibatkan peningkatan
nilai dollar terhadap rupiah dan peningkatan keuntungan dari ekspor. Sesuai
dengan teori harga, peningkatan harga menyebabkan banyak pelaku-pelaku baru
4
memasuki industri tersebut sehingga pada satu sisi mencerahkan dunia usaha
mebel.
Namun disisi lain menyebabkan harga produk menjadi tereduksi
disebabkan terjadinya persaingan di antara sesama produsen.
Loebis dan Schmitz (2005) menyatakan jumlah industri mebel mengalami
peningkatan dari 2.439 industri pada tahun 1997 menjadi 12.000 industri pada
tahun 2007 (Roda et al. 2007). Perkembangan industri mebel ini mengakibatkan
tingkat persaingan yang semakin tinggi antara industri mebel kayu Jepara dengan
industri mebel kayu non Jepara.
Seiring dengan kenaikan suplai mebel
menyebabkan harga-harga mebel menjadi tereduksi. Bahkan dampak yang
diakibatkan oleh kelebihan suplai mebel juga menyebabkan keuntungan yang
diperoleh pengrajin mebel menjadi sedikit. Selain itu terdapat juga pengrajin
yang menutup usaha mebelnya disebabkan keuntungan yang diperoleh tidak dapat
menutupi biaya produksi. Hal ini juga dipengaruhi oleh kenaikan harga bahan
baku yang mencapai 70% tetapi kenaikan harga mebel hanya 30%. Penjelasan
permasalahan di atas merupakan permasalahan eksternal yang terdapat pada
industri mebel kayu Jepara. Masalah eksternal lainnya adalah produksi pengrajin
yang berbasis order dari pedagang perantara.
Pola produksi pengrajin yang
berbasiskan order mengakibatkan pola produksi intermetan atau tidak kontinue
sehingga volume produksi pengrajin tergantung pada perkembangan permintaan.
Keadaan ini menimbulkan tidak adanya suatu pola manajemen bahan baku dalam
mengantisipasi perkembangan permintaan.
Pada sistem ini pengrajin tidak
berada pada posisi tawar yang kuat dalam menentukan harga. Jumlah pengrajin
yang banyak menyebabkan pembeli mempunyai banyak pilihan terhadap
pengrajin lainnya, jika pengrajin yang dituju tidak sepakat dengan harga yang
ditawarkan.
Adanya desakan kebutuhan ekonomi menyebabkan pengrajin
menerima harga yang ditetapkan oleh pembeli atau pedagang perantara.
Keberhasilan pemasaran mebel tidak terlepas dari penguasaan produsen
terhadap preferensi konsumen. Tingkat persaingan yang tinggi di sektor mebel
mengharuskan produsen untuk mengetahui keinginan konsumen.
Kepuasan
konsumen terhadap suatu produk mebel dari Jepara akan berujung kepada
peningkatan
pangsa
pasar
dari
mebel
tersebut.
Untuk
tetap
dapat
mempertahankan pangsa pasar mebel kayu Jepara, maka produsen harus
5
menerapkan satu strategi untuk menarik minat konsumen membeli produk mebel
kayu dari Jepara. Produsen harus senantiasa memahami konsumen, mengetahui
apa yang dibutuhkan konsumen, selera konsumen dan bagaimana mengambil
keputusan sehingga perusahaan mampu mengambil strategi yang tepat untuk
memberikan kepuasan kepada konsumen.
Berdasarkan kendala-kendala internal dan eksternal, yaitu kendala
manajemen usaha pengrajin, kendala pasar dan kendala pemasaran sebagaimana
yang diuraikan tersebut di atas, diperlukan langkah penyesuaian agar industri
mebel dapat bertahan dan berkembang serta dapat mendukung perekonomian
rumah tangga pengrajin.
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah tersebut di atas maka penelitian ini bertujuan
untuk:
1.
Menganalisis
keterkaitan
manajemen
usaha
pengrajin
terhadap
keberlangsungan industri mebel pengrajin.
2.
Menganalisis pasar (margin pemasaran, struktur pasar, dan rasio keuntungan
terhadap biaya) dan pemasaran produk mebel (saluran pemasaran, preferensi
konsumen dan preferensi produsen).
1.4. Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah:
1.
Kekurangtepatan manajemen usaha pengrajin mebel jati mengakibatkan
terhambatnya perkembangan industri mebel.
2.
Perubahan-perubahan yang perlu dilakukan dalam pasar dan pemasaran akan
dapat mendorong perkembangan industri mebel kayu jati sehingga pengrajin
mempunyai kesempatan untuk berkembang dan bertahan.
1.5. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi
pengambil kebijakan dalam merencanakan, membentuk dan mengevaluasi sistem
6
pemasaran mebel kayu jati Jepara dalam rangka meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan pengrajin.
1.6. Ruang Lingkup Penelitian
Aspek yang dipelajari dalam penelitian ini meliputi semua unsur-unsur di
dalam bisnis mebel yang mencakup manajemen usaha pengrajin, pasar (margin
pemasaran, struktur pasar, dan rasio keuntungan terhadap biaya), dan pemasaran
(saluran pemasaran, preferensi konsumen dan preferensi produsen) dengan
batasan penelitian sebagai berikut :
1. Lokasi penelitian untuk manajemen usaha pengrajin dan pasar mebel kayu jati
meliputi pengrajin mebel jati, toko mebel dan eksportir mebel di Kabupaten
Jepara. Sedangkan lokasi penelitian preferensi konsumen dilakukan di Bogor
dan Jakarta.
2. Lingkup pelaku pemasaran mebel kayu meliputi pengrajin, pedagang
pengumpul, toko/showroom di Jepara dan di luar Jepara.
1.7. Kerangka Pemikiran
Industri mebel kayu jati Jepara memberikan konstribusi yang cukup besar
tidak hanya untuk perekonomian kabupaten Jepara tetapi juga untuk
perekonomian nasional.
Perkembangan industri mebel kayu jati Jepara dan
tingginya tingkat persaingan menyebabkan produksi mebel menjadi berkurang
seiring dengan menurunnya tingkat keuntungan yang diperoleh pengrajin.
Analisis manajemen usaha pengrajin meliputi analisis pengenai pengelolaan
keuangan pengrajin dan analisis perencanaan produksi pengrajin. Adapun analisis
pasar berupa analisis margin pasar, rasio keuntungan terhadap biaya dan struktur
pasar. Untuk pemasaran produk mebel dilakukan dengan menganalisis saluran
pemasaran, preferensi konsumen dan preferensi produsen.
Keseluruhan hasil
analisis ini akan dipergunakan untuk mengembangkan usaha pengrajin mebel
kayu jati Jepara.
Kerangka pemikiran dari penelitian Pemasaran Mebel Kayu Jati Jepara seperti
terlihat pada Gambar 2.
7
-
Analisis :
pemasaran (marketing mix)
potensi pasar dan struktur
pasar
manajemen usaha pengrajin
Pengembangan usaha
pengrajin mebel
Preferensi konsumen dan
preferensi produsen
Lembaga pemasaran:
- Pengumpul
- Toko/showroom
- Eksportir
Arus permintaan
Arus distribusi produk
-struktur pasar
-margin pemasaran
-rasio keuntungan terhadap biaya
-manajemen usaha pengrajin
Kondisi saat ini
Konsumen akhir
Pengrajin
Pedagang Kayu
Gambar 2. Bagan kerangka pemikiran penelitian pemasaran mebel kayu Jepara
Download