TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
DRACUNCULIASIS :
Suatu Infeksi Nematoda Jaringan
LAMBOK SIAHAAN
Bagian Parasitologi
Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
Abstract :
Dracunculiasis, also known as guinea worm disease, is caused by the large
female of nematode Dracunculus medinensis, which emerges painfully and
slowly from the skin, usually on the lower limbs. It is exclusively caught
from drinking water, usually from ponds.
Keywords : Dracunculiasis, Dracunculus medinensis
Pendahuluan
Dracunculiasis atau Dracontiasis adalah infeksi yang disebabkan oleh cacing
Dracunculus medinensis, nematoda jaringan yang sangat panjang. Nama ilmiah yang
pertama sekali diberikan pada cacing ini adalah Gordius medinensis Linnaeus, pada
tahun 1758. Nama umumnya adalah Dracunculus yang berarti ‘ular kecil’. Disebut
pula ‘Serpent worm’ atau ‘Dragon worm’ oleh karena bentuknya seperti ‘ular naga’.
Sebagian lagi menyebutnya ‘Medina worm’ atau ‘Guinea worm’ oleh karena daerah
tempat penyebarannya. Pada Helmintologi cacing ini masuk dalam Famili
Walau
masih
ada
sebagian
Dracunculidae
dan
subordo
Camallanina.1
2,4
menganggapnya termasuk filaria.
Dracunculiasis sudah dikenal sejak jaman dahulu oleh karena gejala klinisnya yang
sangat khas. Penyakit ini tersebar mulai dari daerah tropis Afrika sampai Timur
Tengah, India dan Srilanka. Juga secara sporadis terjadi di Burma, Malaysia dan
Indonesia. Berdasarkan perkiraan Stoll (1947) lebih dari 48 juta manusia di dunia
telah terinfeksi penyakit ini.1,2
Selain manusia, cacing ini juga dapat hidup pada anjing, carnivora dan beberapa
mamalia lainnya.2
Morfologi
Cacing ini berbentuk silindris dan memanjang seperti benang. Permukaan tubuh
berwarna putih susu dengan kutikula yang halus. Ujung anterior berbentuk bulat
tumpul sedangkan ujung posterior melengkung membentuk kait. Memiliki mulut
yang kecil dan ujung anteriornya dikelilingi paling sedikit 10 papila.
Cacing betina dewasa, termasuk nematoda terpanjang, memiliki ukuran panjang
mencapai 120 cm dan lebar hanya 1-2 mm. Bersifat viviparous dan memiliki dua
pasang organ genital. Dalam proses pematangannya, banyak organ yang menjadi
atropi dan akhirnya tubuh dipenuhi oleh uterus yang membesar dan tebal. Vulva
terletak dekat kepala dan tidak kelihatan oleh karena desakan uterus. Uterus
diperkirakan berisi 1-3 juta larva stadium pertama.4,5
Cacing jantan biasanya ditemukan pada binatang yang diobservasi, walau pernah
ditemukan pada seorang penderita di India.3,5 Hal ini terjadi karena cacing jantan
segera mati setelah kopulasi. Cacing ini memiliki panjang 12-40 mm dan lebar 0,4
mm, jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan betinanya. Pada ujung posteriornya
©2004 Digitized by USU digital library
1
terdapat 10 papila yang tersusun bilateral pada sisi ventral dan dua buah spikula
dengan ukuran yang hampir sama.3 Cacing ini diperkirakan dapat hidup pada hospes
terminalnya kurang dari 6 bulan.1,3,4,5
Larva stadium pertama, memiliki kepala bulat, badan mendatar/flat, ekor panjang
dan langsing dengan ukuran kurang lebih 1/3 panjang badan. Kutikula berstriae,
tidak memiliki selaput dan memiliki ukuran panjang 0,5-0,75 mm serta lebar 0,02
mm. Larva juga memiliki lekukan-lekukan melintang sepanjang permukaan
tubuhnya. Saluran pencernaannya terdiri dari oesophagus yang berbentuk bulat dan
anus yang belum sempurna. Di dalam air, larva berenang dengan cara bergulung
membentuk huruf ‘a’ kemudian lurus kembali. Dalam perkembangannya, larva
stadium pertama memerlukan Cyclops spp., sebagai hospes perantaranya. Larva
akan mati jika tidak dimakan oleh Cyclops.
Di dalam Cyclops, larva tidak mengalami pertambahan ukuran, tetapi mengalami
metamorfosis sebanyak dua kali, sebelum menjadi larva stadium ketiga. Ekor
terabsorbsi, striae kutikula hilang dan digantikan oleh selaput pembungkus yang
lembut. Perkembangan ini memerlukan waktu 4-6 minggu. Larva stadium ketiga
berbentuk silindris, memiliki otot oesophagus yang sederhana dan ekor yang
memendek . Larva ini dapat bertahan dalam Cyclops sampai 4 bulan lamanya, dan
merupakan bentuk infektif bagi hospes terminalnya.3,5,8
Siklus Hidup
Siklus hidup Dracunculus medinensis akan berlanjut bila manusia atau hospes
terminal lain termakan Cyclops yang mengandung larva stadium tiga. Larva akan
keluar dari Cyclops dengan bantuan cairan lambung penderita. Selanjutnya larva
akan menembus mukosa usus penderita dan bermigrasi melalui dinding saluran
pencernaan menuju jaringan ikat longgar, biasanya jaringan retroperitoneal.
Disanalah larva stadium tiga tersebut berkembang menjadi cacing dewasa, jantan
dan betina. Waktu yang diperlukan untuk proses tersebut sekitar 8-12 bulan.
Kopulasi cacing jantan dan betina juga terjadi di jaringan ikat longgar, bukan di
saluran cerna.
Cacing betina yang telah dibuahi/gravid juga mengalami proses pematangan di
jaringan retro-peritoneal. Hampir keseluruhan tubuh cacing betina gravid ini dipenuhi
oleh uterus yang berkembang dan berisi dengan larva stadium pertama. Selanjutnya
cacing tersebut akan bermigrasi ke jaringan subcutan dan permukaan kulit, terutama
bagian tubuh yang banyak kontak dengan air.
Saat ujung kepala cacing betina gravid mencapai kulit, terbentuklah lesi berupa
papula. Hal ini terjadi karena dikeluarkannya sejumlah toksin yang merusak jaringan
disekitar cacing itu berada. Dalam waktu 24 jam, lesi dapat berubah menjadi
vesikula tetapi terkadang dapat pula membesar sampai beberapa hari sebelum
menjadi vesikula. Dan dalam waktu 2 minggu, vesikula tersebut akan pecah dan
membentuk ulkus. Uterus cacing akan keluar melalui bagian terdepan dari dinding
vesikula yang pecah dan kemudian mengeluarkan larva stadium pertama. Proses
pengeluaran larva ini berlangsung sampai beberapa kali hingga semua larva habis
dan uterus benar-benar kosong. Diperkirakan proses ini terjadi selama 3 minggu.
Seekor cacing betina gravid dapat mengeluarkan larva stadium pertama sampai 3
juta ekor. Larva tersebut dapat bertahan hidup 1-2 minggu, dan akan mati bila tidak
dimakan oleh Cyclops.
©2004 Digitized by USU digital library
2
Larva yang dimakan oleh Cyclops masuk ke dalam saluran pencernaan dan
mengalami dua kali perubahan sampai menjadi bentuk infektif. Proses perubahan ini
memerlukan waktu sekitar 14 hari, pada suhu 26oC dan larva tidak akan menjadi
infektif jika tidak mengalami metamorfosis. Dalam kondisi normal Cyclops dapat
bertahan hidup sampai 3 bulan dan mampu memakan 15-20 larva. Bila Cyclops tidak
dimakan oleh hospes terminal, dengan sendirinya Cyclops dan larva di dalamnya
akan mati. Siklus ini berlangsung terus seperti diatas.3,5,6,7,8
Sementara itu, cacing betina gravid yang gagal mencapai permukaan kulit, akan
mati dan mengalami proses pengapsulan di jaringan ikat. Begitu pula cacing jantan
dewasa yang mati akan mengalami proses yang sama.
Patologi dan Simptomatik
Umumnya tidak ada proses patologik yang berarti saat invasi larva di mukosa usus
penderita, migrasi larva ke dalam jaringan organ dalam, serta perkembangannya
menjadi cacing dewasa.3
Gejala-gejala mulai muncul segera setelah cacing betina gravid mulai bermigrasi ke
kulit. Reaksi alergi yang luas dapat terjadi karena toksin, mirip histamin, yang
dilepaskan oleh cacing ke dalam tubuh penderita. Proses ini timbul beberapa jam
sebelum perkembangan lesi pada kulit. Gejala-gejala yang muncul antara lain :
demam, eritema, urtikaria, nausea, muntah, diare, dispnoe, bahkan pingsan .
Penderita biasanya mengalami gejala-gejala tersebut sampai beberapa bulan.8
Toksin tersebut juga berperan pada pembentukan papula kemerahan, suatu lesi
yang menonjol pada kulit, dan kemudian berkembang menjadi vesikula. Timbulnya
erupsi pada kulit ini biasanya terjadi malam hari.
Lesi berupa papula, vesikula dan ulkus terjadi pada bagian tubuh yang sering kontak
dengan air. Biasanya pada kaki, tangan, badan, pantat, sendi panggul, bahu, sendi
rahang atau mungkin juga di kepala dan terkadang terjadi pada skrotum. Hampir
85% kasus terjadi pada bagian bawah ekstremitas yaitu bagian dorsal dan ventral
kaki, yang merupakan bagian tubuh yang paling mudah kontak dengan genangan
air. Di India, lesi banyak ditemukan di bagian punggung penderita , umumnya terjadi
pada para pemikul air.
Saat ujung anterior cacing betina gravid berusaha mencapai permukaan kulit,
timbullah sensasi rasa gatal dan rasa terbakar. Sensasi ini mendorong penderita
memasukan bagian tubuh tersebut ke dalam air. Papula yang telah berkembang
menjadi vesikula, segera pecah dan akan terlihat ulkus kecil pada permukaan kulit.
Ulkus ini biasanya dapat sembuh dengan sendirinya bila tidak terjadi infeksi
sekunder.
Pada bagian tengah ulkus akan terlihat kepala atau bagian uterus cacing yang
muncul menonjol keluar. Dengan rangsangan air, bagian tersebut akan
mengeluarkan cairan, awalnya jernih kemudian berwarna kesusuan. Cairan itu
bersifat steril dan berisi toksin, eosinofil, neutrofil, monosit dan larva stadium
pertama. Selain cairan , uteruspun keluar akibat gerakan kontraksi cacing, sebagai
respon dari rangsangan air tersebut. Gejala sistemik akan berkurang setelah vesikula
pecah. Hal ini disebabkan karena berkurangnya cairan vesikula tersebut dalam tubuh
penderita.
©2004 Digitized by USU digital library
3
Cacing betina gravid biasanya dapat keluar dengan sendirinya setelah 3-6 minggu
kemudian. Waktu tersebut dapat dipersingkat dengan cara menarik keluar cacing
dengan bantuan tongkat. Namun apabila cacing terputus, larva dan toksin dapat
tersebar di sepanjang saluran cacing. Hal ini dapat memperberat proses inflamasi
dan menyebabkan infeksi sekunder. Kondisi ini dapat berlanjut menjadi sepsis atau
tetanus.
Kebanyakan infeksi cacing yang terjadi, merupakan infeksi tunggal. Tetapi pada
daerah endemis, reinfeksi berulangkali merupakan hal yang biasa. Bahkan pernah
dilaporkan seorang penderita terinfeksi lebih dari 50 ekor cacing.
Kalsifikasi/pengapsulan yang terjadi pada cacing yang mati baik cacing jantan,
maupun cacing betina yang gagal menembus kulit, dapat menimbulkan gejala
antara lain : arthritis, synovitis, ankylosis dan kontraktur, tergantung lokasi jaringan
ikat dimana proses kalsifikasi terjadi.
Diagnosa dan Terapi
Manifestasi lesi pada infeksi ini, mirip dengan infeksi kulit seperti karbunkel, selulitis
yang dalam, gumma, onchocercarian, dan beberapa penyakit lain. Diagnosa klinis
dapat dibuat bila terdapat ‘garis linier’ berliku-liku pada permukaan kulit dan
ditemukannya papula atau vesikula pada salah satu ujung garis tersebut serta
munculnya gejala prodromal /sistemik. Tanda dan gejala tersebut biasanya terdapat
pada infeksi cacing ini.
Komplikasi kronik seperti arthritis, synovitis, ankylosis dan kontraktur ditambah
riwayat pernah memasuki daerah endemis, juga dapat dipakai untuk membuat
diagnosa klinis penyakit ini.
Diagnosa pasti biasanya dibuat berdasarkan :9
1. Ditemukannya cacing dewasa, baik dengan penyinaran cahaya maupun saat
ujung anterior cacing betina gravid sampai pada permukaan kulit.
2. Ditemukannya larva pada cairan vesikula yang diperiksa secara mikroskopik.
3. Ditemukannya kalsifikasi pada jaringan subcutan pada pemeriksaan
radiologis.
4. Tes intradermal dengan cara menyuntikkan antigen cacing.
5. Eosinofilia pada pemeriksaan darah rutin.
Pilihan pertama dalam pengobatan Dracunculiasis adalah Niridazole (Ambilhar). Obat
ini sangat efektif dan diberikan secara oral dengan dosis 25 mg/bb/hari selama 15
hari. Pada anak-anak diberikan dalam dosis bagi. Dosis maksimal adalah 1,5
gram/hari. Obat ini memiliki efek samping seperti rasa mual, muntah, diare, kram,
pusing, rash pada kulit, insomnia, paraestesia dan gangguan gambaran listrik
jantung. Pada penderita defisiensi G-6-PD dapat menimbulkan anemia hemolitika.
Obat alternatif lain adalah :
• Metronidazole, diberikan dengan dosis 3x250 mg pada dewasa dan 25 mg/bb
dalam dosis bagi 3 pada anak-anak, selama 10 hari.
• Thiabendazole 50 mg/bb/hari selama 2 hari. Obat ini memiliki efek samping
yang lebih minimal daripada Metronidazole.
©2004 Digitized by USU digital library
4
Obat-obat diatas umumnya lebih bersifat menekan peradangan daripada aksi spesifik
terhadap cacing dewasanya.
Tindakan operasi mengeluarkan cacing, merupakan tindakan yang paling tepat untuk
memperkecil terjadinya infeksi sekunder dan mempercepat proses penyembuhan
yang sempurna.
Prognosa penyakit ini umumnya baik, kecuali bila terjadi infeksi sekunder. Kematian
pada Dracunculiasis biasanya disebabkan oleh infeksi sekunder.
Pemberantasan dan pencegahan
Penularan penyakit ini tergantung pada faktor :
1. sumber air minum yang terkontaminasi Cyclops
2. kontak langsung / penggunaan sumber air yang terkontaminasi
3. penularan dari penderita ke sumber air
Di beberapa daerah di dunia, jenis sumber air tertentu sangat memungkinan untuk
terjadinya penularan, misalnya pada sumur bertingkat (step wells) di India, tangki
air (covered cisterns) di Iran dan kolam-kolam di Ghana.
Pernah dilaporkan, bahwa dengan menaikkan beberapa derajat suhu air , dapat
mengurangi jumlah Cyclops pada sumber air tersebut. Pemberian zat kimia seperti
Kalium Karbonat, diperkirakan sama efektifnya dengan menaikkan suhu air. Begitu
pula dengan pemberian perkhlorida setiap 14 hari pada sumber air minum juga
dapat mengontrol Cyclops.
Pemberantasan secara biologis terkadang juga dilakukan yaitu dengan memelihara
ikan Barbus puckelli, predator Cyclops, yang sangat rakus memangsa Cyclops.
Tindakan pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari kontak pada sumber air
yang terkontaminasi atau dengan tidak menggunakan air yang mengandung Cyclops.
Tindakan pemberantasan yang dilakukan secara baik dan serentak sangat besar
pengaruhnya terhadap eradikasi Cyclops. Hopkins (1983) yakin bahwa penyakit ini
dapat dielliminasi dalam kurun waktu 1-2 tahun dengan penyediaan air minum yang
bersih dan aman.
Penutup
Walaupun di Indonesia insiden penyakit ini bersifat sporadis, namun bahayanya
tetap saja ada, mengingat Cyclops juga terdapat di Indonesia. Pada era globalisasi
saat ini, sangat memungkinkan bagi seorang penderita dari daerah endemik masuk
ke wilayah Indonesia dan kontak dengan sumber air, terutama di daerah wisata
berbasiskan air. Juga masih adanya daerah di Indonesia yang belum memiliki
sumber air minum yang benar-benar bebas dari Cyclops.
©2004 Digitized by USU digital library
5
Kepustakaan :
1.
Miyazaki I, An Illustrated Book of Helminthic Zoonoses, Tokyo, 1991 : 438-442
2.
Markell E, Voge M, John D, Medical Parasitology, Sixth Edition, Philadelphia,
1985 :267-270
3.
Faust EC, Russel, Clinical Parasitology, Seveth Edition, Philadelphia, 1964 :
492-499
4.
Sandy C, Muller R, Zagaria N, Dracunculiasis (Guinea Worm Disease) and the
Eradication Initiative. Available from URL : CMR online
5.
Chatterjee K.D, Protozoology and Helminthology, Tenth Edition, Calcutta, 1975
: 202-205
6.
Lynne S, David A, Diagnostik Parasitologi Kedokteran, EGC, 1996 : 171-173
7.
Stitts’ , Diagnosis, Prevention and Treatment of Tropical Diseases, Seventh
Edition, Philadelphia, 1945 : 1379-1393
8.
Manson, Wilcocks, Manson’s Tropical Diseases, Seventeenth Edition, London,
1972 : 237-246, 1058-1061
9.
Harold B, Franklin A, Basic Clinical Parasitology, Fifth Edition, USA,1983 :160162
10. James M, Steckelberg, Walter R Wilson, Current Diagnostic and Treatment in
Infectious Diseases, Nematodes , International Edition, 2001 : 861-862
11. Ghosh Shuvo, Dracunculiasis. Available from URL : eMedicine.com
12. Dracunculus
medinensis.
Available
from
URL
:
http
:
//ucdnema.ucdavis.edu/imagemap/ent156html/nemas/dracunculusmedinensis
©2004 Digitized by USU digital library
6
Download