BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Konsumsi protein penduduk Indonesia telah meningkat dengan rata- rata 9 gram/kapita/hari pada tahun 2011 dari pada tahun sebelumnya sebesar 8,8 gram/kapita/hari. Sebagian besar sumber protein masih didominasi oleh protein nabati, terutama yang bersumber dari beras, sayur, dan kacang - kacangan. Rata rata konsumsi protein hewani tahun 2011 yang berasal dari produk peternakan seperti daging, susu dan produk perikanan jauh lebih kecil dibandingkan dengan protein yang berasal komoditas lainnya seperti padi-padian, dan hasil hortikultura sekitar 4,7 gram/kapita/hari (Ariani, 2013). Jumlah produksi susu segar nasional pada tahun 2011 adalah 674.331 ton/tahun. Angka tersebut masih sangat jauh dari standar yang telah ditetapkan di Indonesia yaitu sebanyak 1.470.273 ton/tahun (Farid, 2011). Produk olahan asal hewan yang paling diminati di Indonesia adalah sosis, bakso, dan susu. Data Badan Pusat Statistika DIY, 2013 menunjukkan bahwa konsumen di Indonesia cenderung mengonsumsi sosis dan bakso sebanyak 2,36% dari total produk olahan daging yang lain. Bakso dan sosis mempunyai komponen nutrisi yaitu karbohidrat maksimal 9%, protein minimal 3% lemak minimal 2%, serta kandungan air maksimal 70% (Badan Standardisasi Nasional, 1995). Umumnya proses pembuatan produk pangan asal hewan yang digunakan berasal dari daging sapi, daging ayam dan susu seringkali ditambahkan antibiotika untuk 1 2 meminimalkan angka mikroorganisme yang ada di produk tersebut (Anonim, 2015). Di Indonesia berbagai macam upaya peningkatan efisiensi dan produktivitas peternakan dilakukan. Salah satunya dengan penggunaan antibiotika untuk pengobatan penyakit dan pemacu pertumbuhan. Dari golongan antibiotik dilaporkan nilainya sebesar 921 milyar rupiah pada tahun 2010 dan meningkat sebesar 980 milyar rupiah pada tahun 2011 atau 45% dari total kebutuhan obat hewan (Ditjennak, 2014). Meningkatnya penggunaan antibiotika tersebut, maka meningkat pula manfaat dan risiko yang mungkin ditimbulkan. Risiko yang ditimbulkan berupa residu antibiotika pada hasil-hasil ternak (daging, susu, dan telur) akibat penggunaan antibiotika yang tidak sesuai dengan dosis atau tidak memperhatikan waktu henti obat (withdrawal time). Menurut Yogaswara (2009), bahwa di Provinsi Jawa Barat terdapat 21 sampel susu sapi yang ditemukan di supermarket, positif mengandung antibiotik golongan penisilin. Penisilin adalah golongan antibiotika spektrum luas yang merusak lapisan peptidoglikan yang menyusun dinding sel bakteri gram positif maupun gram negatif. Penisilin memiliki mekanisme kerja dengan mencegah ikatan silang peptidoglikan pada tahap akhir sintesis dinding sel, yaitu dengan menghambat protein pengikat penisilin (Penicilin Binding Protein) (Pratiwi, 2008). Beberapa antiobiotik juga memiliki karakteristik masing-masing. Salah satunya rentan terhadap pemanasan selama pengolahan khususnya pada daging dan susu. Susu pasteurisasi misalnya, susu yang beredar di Indonesia umumnya telah mengalami proses pasteurisasi baik secara High Temperature Short Time 3 (HTST) 90OC selama 15 detik atau diolah secara Low Temperature Long Time (LTLT) 63OC 30 menit dan evaporasi untuk pembuatan susu kental manis yang sedikit banyak mempengaruhi kadar antibiotik tersebut (Harlia dkk, 2010) Keberadaan residu penisilin dalam produk olahan daging perlu mendapat perhatian dari sisi kesehatan konsumen. Dampak ekonomi lain dari keberadaan residu penisilin pada produk hewan berakibat salah satunya pada penolakan produk terutama pada komoditas ekspor (Zahid dkk. 2005). Penelitian tentang residu penilisin pada produk pangan asal hewan sosis, bakso, dan susu pasteurisasi di Yogyakarta belum banyak dilakukan. Informasi tentang hal ini akan bermanfaat bagi beberapa pihak terkait. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi residu penisilin pada produk pangan asal hewan yaitu sosis, bakso dan susu pasteurisasi di Yogyakarta Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah sekaligus menjadi sumber inspirasi penelitian selanjutnya di waktu mendatang. Adanya residu di dalam produk pangan asal hewan juga diharapkan menjadi pengetahuan untuk konsumen agar lebih berhati-hati dalam membeli produk tersebut.