BAB I PENDAHULUAN Penyalahgunaan napza semakin

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
Penyalahgunaan napza semakin marak terjadi, dan generasi muda menjadi
sasaran yang paling potensial. Penyalahgunaan Napza merupakan suatu pola
penggunaan yang bersifat patologik, berlangsung dalam jangka waktu tertentu dan
menimbulkan gangguan fungsi sosial dan okupasional. Napza pada awalnya
adalah sejenis obat-obatan tertentu yang digunakan oleh kalangan kedokteran
untuk terapi misalnya untuk menghilangkan rasa nyeri. Namun pada
perkembangannya obat-obatan itu disalahgunakan (abuse) sehingga menimbulkan
ketergantungan (adiksi) (Esti Aryani, 2011). Napza dapat dikelompokkan dalam
golongan Opiat dan Non Opiat. Pada tahun 2010 dari seluruh pengguna napza
berjenis kelamin laki-laki, hampir separuhnya (48,6 %) adalah pengguna jenis
opiat, begitu pula dengan wanita yaitu 45,2 persen, sisanya adalah golongan non
opiat lainnya seperti kokain dan kannabis (BNNRI, 2004).
Opioid atau opiat berasal dari kata opium, jus dari bunga opium, Papaver
somniverum, yang mengandung kira-kira 20 alkaloid opium, termasuk morfin.
Nama Opioid juga digunakan untuk opiat, yaitu suatu preparat atau derivat dari
opium dan narkotik sintetik yang kerjanya menyerupai opiat tetapi tidak
didapatkan dari opium. Obat-obat yang termasuk dalam golongan opiat adalah
morfin, heroin, demerol, metadon. Semua obat-obat tersebut, jika disalahgunakan
dapat menimbulkan adiksi (kecanduan) (Retno, 2008).
Berdasarkan data yang dihimpun Badan Narkotika Nasional, jumlah kasus
narkoba meningkat dari sebanyak 3.478 kasus pada tahun 2000 menjadi 8.401
pada tahun 2004, atau meningkat rata-rata 28,9% pertahun. Jumlah tersangka
tindak kejahatan Narkoba pun meningkat dari 4.955 orang pada tahun 2000
menjadi 11.315 kasus pada tahun 2004, atau meningkat rata-rata 28,6% pertahun.
Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Puslitbang Info BNN, menyebutkan
jumlah penyalahguna narkoba yang teratur pakai dan pecandu di Indonesia tahun
2010 sekitar 3,2 juta orang dengan kisaran 2,9 sampai 3,6 juta orang. Data dari
Rumah Sakit ketergantungan obat tahun 2009, 80% pasien berusia antara 16-24
tahun. Angka kematian pecandu 1,5% per tahun.
1
Ada banyak alasan mengapa orang menggunakan Napza. Pada awalnya
ada yang hanya mencoba-coba atau sekedar ingin tahu, lama-kelamaan
mengalami ketergantungan sehingga akan muncul berbagai masalah dan
persoalan. Persoalan yang dapat muncul antara lain kepribadian adiksi, terinfeksi
berbagai penyakit (HIV/AIDS, Hepatitis B, C), reaksi putus obat (sakaw),
overdosis (OD), dan lain-lain (Retno, 2008).
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2
2.1 Opiat
2.1.1 Definisi dan Jenis Opiat
Opioid atau opiat berasal dari kata opium yaitu bubuk yang dihasilkan dari
tanaman Papaver somniverum. Opiat alami lain atau opiat yang disintesis dari
opiat alami adalah heroin (diacethylmorphine), kodein (3-methoxymorphine), dan
hydromorphone (Dilaudid) (Sardjono et al., 2000). Opioda yakni sekolompok zat
alamiah, semi sintesis dan sintesis yang mempunyai khasiat farmakologi
mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri (analgesik). Opioda meliputi Opioda
alamiah yaitu opium, morfin dan kodein. Opioda semi sintesis yaitu hidromorfin
dan heroin. Opioda sintesis meliputi meperidin, propoksifen, leforfanol (Setiadji,
2002).
Morfin yaitu opioda alamiah yang mempunyai daya analgesik yang kuat,
berbentuk kristal, berwarna putih dan berubah menjadi kecoklatan dan tidak
berbau. Morfin merupakan alkaloida utama dari opium ( C17H19NO3 ). Morfin
rasanya pahit, berbentuk tepung halus berwarna putih atau dalam bentuk cairan
berwarna. Pemakaiannya dengan cara dihisap dan disuntikkan.Sebagian besar
opium diolah menjadi morfin dan kodein (Sardjono et al., 2000).
Kodein yakni opioda alamiah yang banyak digunakan untuk keperluan
medis. Kodein mempunyai khasiat analgesik lemah yang digunakan sebagai
peredam batuk yang kuat. Heroin adalah opioda semi sintesis berupa serbuk putih
yang berasa pahit (Satya, 2005). Heroin adalah obat bius yang sangat mudah
membuat seseorang kecanduan karena efeknya sangat kuat. Obat ini bisa
ditemukan dalam bentuk pil, bubuk, dan juga dalam cairan. Heroin memberikan
efek yang sangat cepat terhadap si pengguna, dan itu bisa secara fisik maupun
mental. Heroin mempunyai kekuatan yang dua kali lebih kuat dari morfin dan
merupakan jenis opiat yang paling sering disalahgunakan orang di Indonesia. Efek
pemakaian heroin: kejang-kejang, mual, hidung dan mata yang selalu berair,
kehilangan nafsu makan dan cairan tubuh, mengantuk, cadel, bicara tidak jelas,
tidak dapat berkonsentrasi. Putauw adalah nama jalanan dari heroin (Setiadji,
2002).
2.1.2 Efek Pemakaian Opiat
3
Efek yang ditimbulkan dari Opoid ini adalah mengalami perlambatan dan
kekacauan pada saat berbicara, kerusakan penglihatan pada malam hari,
mengalami kerusakan pada liver dan ginjal, peningkatan resiko terkena infeksi,
penurunan hasrat dalam hubungan sex, kebingungan dalam identitas seksual, dan
kematian karena overdosis (Schmitz, 2000).
Sedangkan gejala putus obat dalam menyebabkan terjadinya kram otot
parah dan nyeri tulang, diare berat, kram perut, dilatasi pupil, takikardia, demam,
disregulasi temperatur (Satya, 2005).
2.1.3 Neurobiologi Addiksi Opiat
Manusia umumnya akan suka mengulangi perilaku yang menghasilkan
sesuatu yang menyenangkan. Sesuatu yang menyebabkan rasa menyenangkan
dikatakan memiliki efek reinforcement positif. Reward bisa berasal secara alami,
seperti makanan, air, sex, kasih sayang, yang membuat orang merasakan senang
ketika makan, minum, disayang, dan lain-lain. Bisa juga berasal dari obat-obatan.
Pengaturan perasaan dan perilaku ini ada pada jalur tertentu di otak, yang disebut
reward pathway. Perilaku-perilaku yang didorong oleh reward alami ini
dibutuhkan oleh mahluk hidup untuk survived (mempertahankan kehidupan).
Bagian penting dari reward pathway adalah bagian otak yang disebut :
ventral tegmental area (VTA), nucleus accumbens, dan prefrontal cortex. VTA
terhubung dengan nucleus accumbens dan prefrontal cortex melalui jalur reward
yang akan mengirim informasi melalui saraf. Saraf di VTA mengandung
neurotransmitter dopamin, yang akan dilepaskan menuju nucleus accumbens dan
prefrontal cortex. Jalur reward ini akan teraktivasi jika ada stimulus yang memicu
pelepasan dopamin, yang kemudian akan bekerja pada system reward (Setiadji,
2002).
Reseptor opiat terdapat sekitar reward pathway (VTA, nucleus accumbens
dan cortex), dan juga pada pain pathway (jalur nyeri) yang meliputi thalamus,
brainstem, dan spinal cord. Ketika seseorang menggunakan obat-obat golongan
opiat seperti morfin, heroin, kodein, dll, maka obat akan mengikat reseptornya di
jalur reward, dan juga jalur nyeri. Pada jalur nyeri, obat-obat opiat akan
memberikan efek analgesia, sedangkan pada jalur reward akan memberikan
4
reinforcement positif (rasa senang, euphoria), yang menyebabkan orang ingin
menggunakan lagi. Hal ini karena ikatan obat opiat dengan reseptornya di nucleus
accumbens akan menyebabkan pelepasan dopamin yang terlibat dalam system
reward.
Opiat tidak mengakibatkan peningkatan aktivitas dopaminergik secara
langsung, akan tetapi ia menstimulasi sistem dopaminergik melalui tegmentum
ventral. Potensial aksi berawal dari tegmentum ventral dikonduksikan sepanjang
akson menuju sinaps terminal di nukleus akumbens, sehingga terdapat kompleks
impuls yang melepaskan dopamin. Peningkatan cetusan potensial aksi di
tegmentum ventral menyebabkan peningkatan pelepasan dopamin di nukleus
accumbens. Baik aktivitas opiat melalui tegmentum ventral maupun aktivitas
stimulan psychomotor di sinaps dopaminergik, keduanya dapat meningkatkan
neurotransmisi dopaminergik di nukleus accumbens (Satya, 2005).
2.1.4 Diagnosis Ketagihan Opiat
Diagnosa ketagihan opait dapat ditegakkan dari anamnesa, pemeriksaan
fisik,
dan
pemeriksaan
laboratorium.
Pada
anamnesa
dapat
dilakukan
autoanamnesa ataupun alloanamnesa pada keluarga yang dapat dipercaya. Pada
pemeriksaan fisik terkadang didapatkan penurunan kesadaran, gangguan otonom
(bradikardi, hipotermia, hipotensi, sianosis, pin point pupil), depresi pernapasan,
edema paru, kejang, sklera ikterik, bicara kaku. Didapatkan juga gejala
abstinensia yaitu pada kulit ditemukan bekas suntikan (hiperpigmentasi) di
sepanjang pembuluh vena lengan. Pada pemeriksaan laboratorium yang diperiksa
adalah urin. Untuk mengetahui zat yang dipakai oleh penderita. Urine harus
diperoleh tidak lebih dari 24 jam setelah pemakaian zat terakhir. Metode
pemeriksaan antara lain dengan cara paper chromatography, Thin Layer
Chromatography, Enzym Immunoassay.
Menurut KEPMENKES RI nomor 350/Menkes/SK/ IV/2008 kriteria diagnostik
untuk ketergantungan zat dan intoksikasi opioida mengacu pada kriteria yang ada
di ICD-X.
Kriteria Diagnostik untuk Ketergantungan Zat (ICD-X)
5
Definisi ketergantungan zat adalah suatu pola penggunaan zat yang
menyebabkan hendaya (difungsi) yang jelas secara klinis atau tertekan. Diagnosa
atas terjadinya ketergantungan zat diperlihatkan oleh 3 (tiga) atau lebih kriteria di
bawah ini, yang terjadi kapan saja selama periode 12 bulan yang sama:
1.
Toleransi, seperti yang dipastikan dengan adanya salah satu
tersebut di bawah ini :
a. kebutuhan akan penambahan dosis yang mencolok agar diperoleh keadaan
intoksikasi atau efek yang diinginkan
b. berkurangnya efek secara mencolok akibat penggunaan berulang dengan
dosis yang sama
2.
Gejala putus zat yang dipastikan dengan adanya salah satu yang tersebut di
bawah ini :
a.
b.
sindrom putus obat yang khas untuk zat tersebut.
zat yang sama (atau yang sangat berkaitan) harus digunakan untuk
menyembuhkan atau menghindari gejala putus zat.
3.
Adanya keinginan yang menetap atau usaha yang tak berhasil untuk
menghentikan atau mengendalikan penggunaannya.
4.
Sebagian besar waktunya dihabiskan untuk mencari zat (misalnya dengan
berobat pada banyak dokter atau mengendarai mobil jarak jauh),
menggunakan zat (misalnya terus-menerus merokok) atau pulih dari
pengaruh zat tersebut.
5.
Berkurang atau berhentinya kegiatan-kegiatan sosial, pekerjaan atau
rekreasi akibat penggunaan zat.
6.
Penggunaan zat berlanjut meskipun mengatahui adanya masalah jasmani
maupun psikologis yang diakibatkan karena penggunaan zat.
Diagnosis berdasarkan DSM IV dibedakan antara substance abuse dengan
Substance dependent. Substance abuse / penyalahgunaan zat adalah suatu pola
6
maladaptasi dari penggunaan zat yang membawa kearah gangguan klinis yang
bermakna sebagai akibat dari satu atau lebih dari hal dibawah ini yang timbul
dalam periode 12 bulan, yaitu:
1. Penggunaan obat secara berkala yang menyebabkan orang tersebut gagal
melaksanaan tugas di lingkungan pekerjaan, sekolah atau di rumah.
2. Pada situasi dimana hal tersebut dapat membahayakan fisiknya
3. Yang berkaitan dengan masalah legalsasi
4. Terus menerus dan orang tersebut mempunyai masalah interpersonal dan
social sementara atau menetap, yang dicetuskan kembali efek zat tersebut
Substance dependent/ketergantungan zat adalah suatu pola maladaptasi
dari penyalahgunaan zat yang membawa kepada gangguan klinis yang
bermakna , sebagai akibat dari tiga atau lebih hal dibawah ini yang terjadi kapan
saja dalam periode 12 bulan yang sama, yaitu:
1. Toleransi , didefinisikan sebagai berikut:
1. Peningkatan kebutuhan yang bermakna untuk mencapai intoksikasi
atau efek yang diinginkan
2. Tidak adanya
reaksi yang bermakna dengan penggunaan
berkelanjutan dalam jumlah yang sama.
3. Withdrawal, didefinisikan sebagai berikut:
4. Adanya karakteristik sindroma ketergantungan
5. Zat yang sama atau berkaita digunakan untuk menghilangkan atau
mencegah gejala yang timbul.
6. Zat yang sering digunakan dalam jumlah lebih besar atau over
dosis dalam jangka waktu yang lebih singkat.
7. Terdapat keinginan untuk memutus atau mengontrol substance
abuse tetapi usaha itu gagal
7
8. Jangka waktu yang lama dibutuhkan dalam usaha untuk sembuh
dari efek substance abuse
9. Aktivitas social, pekerjaan atau rekreasi menjadi terhenti atau
berkurang karena pemakaian zat itu.
10. Pemakaian zat tersebut tetap dilanjutkan walaupun terdapat
masalah fisik sementara atau menetap, atau masalah psikologis
yang disebabkan zat tersebut. ( Hartanto F, 2008)
Selain itu kita juga perlu mengetahui tentang intoksikasi opioid dan putus opioid
- Kriteria diagnosis intoksikasi opioid (ICD X)
1. Baru saja mengkonsumsi opioid atau heroin (termasuk heroin)
2. Perilaku maladaptif yang secara klinis mencolok atau adanya perubahan
psikologis (misalnya euforia pada permulaan diikuti apatis, disforia,
agitatif atau retardasi psikomotor, hendaya dalam daya penilaian, fungsi
sosial atau pekerjaan, yang berkembang atau segera setelah mengkonsumsi
opioid).
3. Konstriksi pupil (atau dilatasi pupil disebabkan karena anoksia akibat
overdosis yangt berat) dan satu (atau lebih) dari gejala berikut yang timbul
tidak lama setelah mengkonsumsi opioid:
1. kesadaran menurun atau koma
2. cadel
3. hendaya (disfungsi) pada perhatian atau daya ingat
4. Gejala tersebut tidak diakibatkan karena kondisi medik umum dan
bukan disebabkan karena gangguan jiwa lain.
-Kriteria diagnosis putus opioid (ICD X)
1. salah satu dari dari yang tersebut di bawah ini
8
1. berhenti dan mengurangi penggunaan opioit yang berat dan lama
(beberapa minggu atau lebih)
2. pemberian suatu antagonis opioid sesudah periode penggunaan
opioid.
3. Tiga atau lebih dari yag tersebut di bawah ini, terjadi dalam
hitungan menit sampai beberapa hari
•
perasaan diforik
•
mual atau muntah
•
nyeri otot
•
lakrimasi atau rinore
•
pupil melebar, piloreksi atau berkeringat
•
diare
•
menguap berkali-kali
•
demam
•
insomnia
1. Gejala-gejala pada kriteria B secara klinins menyebabkan tekanan batin
yang jelas atau hendaya (difungsi), dalam fungsi sosial , pekerjaan, fungsi
penting lainnya.
2. Gejala-gejala tersebut tidak disebabkan karena kondisi medik umum dan
tidak disebabkan karena gangguan jiwa lain.
2.1.5 Tata Laksana
Terapi dan rehabilitasi, dengan tujuan:
9
1. Abstinensia atau menghentikan sama sekali penggunaan NAPZA. Tujuan
ini tergolong sangat ideal, namun banyak orang tidak mampu atau
mempunyai motivasi untuk mencapai tujuan ini. Rehabilitasi ini diberikan
terutama kalau ia baru menggunakan NAPZA pada fase-fase awal.
2. Pengurangan frekuensi dan keparahan relaps Sasaran utamanya adalah
pencegahan relaps. Bila pasien pernah menggunakan satu kali saja setelah
“clean” maka ia disebut “slip”. Bila ia menyadari kekeliruannya, dan ia
memang telah dibekali ketrampilan untuk mencegah pengulangan
penggunaan kembali, pasien akan tetap mencoba bertahan untuk selalu
abstinensia. Pelatihan relapse prevention programe, Program terapi
kognitif, Opiate antagonist maintenance therapy dengan naltreson
merupakan beberapa alternatif untuk mencegah relaps.
3. Memperbaiki fungsi psikologi dan fungsi adaptasi sosial. Dalam kelompok
ini,abstinensia bukan merupakan sasaran utama. Terapi rumatan
(maintence) metadon merupakan pilihan untuk mencapai sasaran terapi
golongan ini.
Sedangkan tahap penanganan secara umum adalah:
•
Penanganan kegawatan : tatalaksana ABC (airway, brathing, circulation)
•
Pemberian antidotum
•
Detoksifikasi:
•
a.
Detoksifikasi dengan pemutusan segera (abrupt withdrawal)
b.
Detoksifikasi simptomatik
c.
Detoksifikasi substitusi
Terapi rumatan penyalahgunaan
a.
Psikoterapi individu
b.
Psikoterapi kelompok
10
•
Rehabilitasi
a.
Rehabilitasi di rumah / keluarga
b.
Rehabilitasi di institusi/lembaga
BAB III
KESIMPULAN
Opiat
merupakan
sesuatu
yang
dapat
membahayakan
jika
disalahgunakan. Penyalahgunaan opiat dapat menyebabkan ketergantungan, dan
dapat menimbulkan gangguan psikotik serta otonom. Peningkatan pecandu opiat
semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pecandu opiat kebanyakan dari kalangan
usia muda. Jika dibiarkan, hal ini dapat menyebabkan rusaknya generasi bangsa.
Keadaan ini harus ditanggapi serius oleh semua pihak yaitu keluarga, masyarakat,
tenaga medis, tenaga penegak hukum, dan pemerintah. Keluarga, yang merupakan
pihak yang paling bertanggung jawab harus selalu memberikan dukungan, kasih
sayang, serta pengawasan terhadap semua anggotanya. Tenaga medis juga
bertanggung jawab untuk menekan peningkatan pemakai opiat. Tenaga medis
seharusnya mempertimbangkan segala aspek jika ingin menggunakan opiat dalam
terapi, dan melakukan terapi secara tuntas pada pecandu opiat.
11
DAFTAR PUSTAKA
Allen K.M. 2000 Nursing Care of the Addicted Client. Philadelphia: Lippincott.
Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia, 2004. Pedoman Pencegahan
Penyalahgunaan Narkoba Bagi Pemuda. Jakarta.
Esti Aryani. 2011. Penyalahgunaan Narkotika dan Aturan Hukumnya.
Wacana Hukum Vol IX, 2 Oktober 2011. Jakarta.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 350/Menkes/SK/IV/2008
Muttaqin Akhmad. 2007. Relapse Opiat di Rumah Sakit Ketergantungan Obat
Jakarta, Tahun 2003-2005. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional
(KESMAS) vol. 1 no. 5. Jakarta.
Retno Gitawati. 2008. Interaksi Obat dan Beberapa Implikasinya.Media
Litbang Kesehatan Volume XVIII Nomor 4 Tahun 2008. Jakarta.
Sardjono, Santoso dan Hadi. 2000. Farmakologi dan Terapi, Farmakologi FKUI, Jakarta.
12
Satya Joewana, 2005. Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan
Zat Psikoaktif. EGC. Jakarta
Schmitz, G. dkk., 2000. Farmakologi dan Toksikologi. EGC, Jakarta
Setiadji, V Sutarmo. 2002. Opiat Masalah Medis dan Penatalaksanaanya.
Penerbit FKUI. Jakarta.
The Indonesian Florence Nightingale Foundation.
Penanggulangan
dan Penyalahgunaan Ketergantungan NAPZA. Jakarta.
2009.
Kiat
13
Download