hasil dan pembahasan

advertisement
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Pertumbuhan Streptomyces sp. AEP-1
Isolat Streptomyces sp. AEP-1 hanya dapat tumbuh baik pada media YMA
(Gambar 4), dengan waktu inkubasi 7-14 hari, sedangkan pada media WA, YSA,
dan OM isolat tersebut tidak tumbuh hingga 28 hari masa inkubasi. Pada media
cair YMB, waktu inkubasi yang dibutuhkan lebih cepat, hanya dalam 5 hari
inkubasi isolat sudah menghasilkan biomassa yang cukup banyak.
Gambar 4 Streptomyces sp. AEP-1 pada media YMA berumur 14 hari.
Komposisi media tumbuh yang berbeda berpengaruh pada pertumbuhan
Streptomyces. Isolat AEP-1 tumbuh baik pada media kaya gula YMA, media ini
mengandung ekstrak malt, ragi, dan glukosa tapi tidak mengandung mineral.
Menurut Shirling dan Gottlieb (1966) YMA merupakan media standar bagi
pertumbuhan Streptomyces. Media YSA, dan OM juga merupakan media kaya
hanya saja gulanya masih dalam bentuk polisakarida. Media WA adalah media
miskin yang tidak mengandung gula maupun mineral. Komposisi media dapat
menjadi selektif terhadap aktinomiset endofit yang ditumbuhkan (Araujo et al.
1999).
Tidak semua aktinomiset endofit tumbuh baik pada media kaya, ada
beberapa aktinomiset endofit yang justru tumbuh lebih baik pada media miskin
hara (El-Shatoury et al. 2006), bahkan ada yang mampu tumbuh pada substrat
yang sulit didegradasi seperti pektin, lignin, kitin, lateks, dan senyawa aromatik
(Prescott 1999). Aktinomiset endofit yang memiliki kemampuan tumbuh pada
media miskin untuk peremajaannya di luar tanaman inang akan lebih
menguntungkan, karena dapat mencegah tumbuhnya bakteri atau cendawan
kontaminan.
Waktu inkubasi yang dibutuhkan isolat AEP-1 untuk mendapatkan kultur
yang bagus adalah 7-14 hari. Hal ini menguatkan hasil penelitian yang
menyatakan bahwa aktinomiset endofit umumnya tumbuh dalam waktu 5-10 hari
masa inkubasi (Araujo et al. 2000, Tian et al 2004, El-Shatoury et al. 2006,
Gangwar et al. 2012). Streptomyces merupakan bakteri aerob, yang membutuhkan
oksigen untuk pertumbuhannya. Ketersediaan oksigen yang lebih banyak pada
media YMB yang digoyang membuat isolat AEP-1 lebih baik dan lebih cepat
tumbuh pada media ini dibandingkan pada media agar cawan. Lamanya waktu
yang dibutuhkan isolat AEP-1 untuk mencapai pertumbuhan yang baik membuat
media sering terkontaminsi oleh bakteri dan cendawan yang tumbuh lebih cepat
dari isolat AEP-1.
Aktivitas Senyawa Inhibitor ACE Streptomyces sp. AEP-1
Pengukuran terhadap aktivitas inhibitor ACE yang dihasilkan AEP-1
dipengaruhi oleh umur biakan. Pada hari ke-5 isolat sudah menghasilkan senyawa
inhibitor ACE dengan aktivitas sebesar 36,2%. Aktivitas optimum terdapat pada
hari panen ke-10 dengan aktivitas sebesar 86,8%. Aktivitas kemudian menurun
pada hari ke-15 dan 20 menjadi 41,3% dan 33,9% (Gambar 5). Tingginya
aktivitas inhibitor ACE berkorelasi positif dengan biomassa yang dihasilkan. Pada
hari ke-5 biomassa yang dihasilkan sebesar 0,036 g, lalu meningkat pada hari ke10 menjadi 0,060 g dan kemudian turun lagi menjadi 0,037 g dan 0,042 g pada
hari ke-15 dan 20 (Gambar 5).
Aktivitas inhibitor ACE yang diatas 85% menunjukkan tingginya aktivitas
penghambatan ACE yang dihasilkan isolat AEP-1 sehingga sangat potensial untuk
dikembangkan. Beberapa penelitian mengenai inhibitor ACE yang diperoleh dari
mikrob maupun tanaman memiliki aktivitas yang beragam, ada yang dibawah
80%, ada pula yang memiliki aktivitas di atas 80%.
Inhibitor ACE yang
dihasilkan oleh khamir memiliki aktivitas antara 40%-80% (Roy et al. 2000; Kim
et al. 2004). Aktivitas inhibitor ACE yang tinggi sebesar 85,5% dihasilkan oleh
Lactobacillus animalis DPC6134 (Hayes et al. 2007). Senyawa inhibitor ACE
dari tanaman pegagan dapat berupa kuersetin (Hansen et al. 1995) dan protein
(Loh & Hadira 2011) yang masing-masing memilki aktivitas inhibitor ACE
120
0.07
100
0.06
0.05
80
0.04
60
0.03
40
Bobot (g)
Aktivitas (%)
sebesar 73% dan 48,4%.
0.02
20
0.01
0
0
0
5
10
15
20
Periode Panen Filtrat (Hari ke-)
Gambar 5 Aktivitas inhibitor ACE (
) dan biomassa (
) pada hari panen ke-
5, 10, 15, dan 20.
Senyawa inhibitor ACE yang dihasikan oleh AEP-1 nampaknya
merupakan metabolit sekunder ekstraseluler. Hal ini terlihat dari waktu optimum
produksi biomassa dan aktivitas tertinggi inhibitor ACE setelah biakan berumur
10 hari, dan kemudian diikuti penurunan produksi biomassa dan aktivitas ACE.
Metabolit yang dihasilkan pada fase ini kemungkinan merupakan metabolit yang
berperan dalam pertahanan diri atau adaptasi pada kondisi lingkungan yang
hanya dihasilkan pada jangka waktu tertentu, bukan untuk pertumbuhan. Mikrob
endofit diketahui bersinergi dengan tanaman inang dalam menghasilkan metabolit
sekunder yang digunakan untuk melindungi tanaman inang dari serangan penyakit
(Taechowisan et al. 2005). Aktinomiset sendiri dikenal akan kemampuannya
dalam menghasilkan beragam senyawa bioaktif baik sebagai antibakteri,
antifungi, maupun senyawa pengatur pertumbuhan tanaman (Gangwar et al.
2012).
Isolat AEP-1 terbukti mampu mengasilkan senyawa inhibitor ACE seperti
tanaman inangnya. Menurut Tan dan Zou (2001) tanaman tingkat tinggi dapat
mengandung sejumlah mikrob endofit yang mampu menghasilkan senyawa
bioaktif atau metabolit sekunder serupa dengan tanaman inangnya yang diduga
sebagai akibat koevolusi atau transfer genetik (genetic recombination) dari
tanaman inang ke dalam mikrob endofit.
Karakteristik Senyawa Inhibitor ACE Streptomyces sp. AEP-1
Pengujian kualitatif terhadap keberadaan flavonoid dalam ekstrak kasar
AEP-1 menunjukkan hasil negatif (Gambar 6). Isolat AEP-1 tidak menghasilkan
senyawa flavonoid seperti tanaman inangnya. Pada awalnya diduga bahwa
senyawa inhibitor ACE yang dihasilkan oleh isolat AEP-1 merupakan senyawa
flavonoid dan protein. Hal ini berdasarkan beberapa penelitian yang menunjukkan
bahwa tanaman pegagan menghasilkan senyawa kuersetin yang termasuk
golongan flavonoid yang dapat menghambat aktivitas ACE (Hansen et al. 1995),
sedangkan pada penelitian lain inhibitor ACE yang diproduksi dari bakteri
merupakan suatu peptida (Kim et al. 2004, Hayes et al. 2007). Berdasarkan
keberadaan flavonoid yang negatif, kemungkinan besar senyawa dalam ekstrak
kasar AEP-1 yang berperan sebagai inhibitor ACE ialah peptida atau protein
sehingga dilakukan isolasi protein untuk mendapatkan protein spesifik inhibitor
ACE.
Ekstrak
AEP-1
Kontrol
positif
Gambar 6 Hasil negatif keberadaan flavonoid pada ekstrak kasar AEP-1
ditunjukkan dari tidak adanya warna yang terbentuk pada lapisan
amil alkohol.
Pengendapan ekstrak kasar dengan menggunakan amonium sulfat 80%
dan aseton 80% dapat meningkatkan kadar protein yang terdapat dalam sampel
uji. Hal ini terlihat dari kadar protein yang meningkat dari 0,060 mg/ml pada
ekstrak kasar menjadi 0,126 mg/ml setelah diendapkan dengan aseton 80% dan
0,105 g jika menggunakan amonium sulfat
80% (Gambar7) (Lampiran 2).
Aktivitas inhibitor ACE meningkat setelah diendapkan dengan menggunakan
aseton, dari 86,8% menjadi 127,6%, namun dengan pengendapan menggunakan
amonium sulfat aktivitas inhibitor ACE justru menurun menjadi 44,2% (Gambar
8).
140
0.14
120
0.12
Aktivitas (%)
Kadar Protein mg/ml
0.16
0.10
0.08
0.06
0.04
100
80
60
40
0.02
20
0.00
0
Ekstrak
Kasar
Ekstrak
Kasar
Aseton Amonium
Sulfat
Gambar 7 Konsentrasi protein hasil
Aseton Amonium
Sulfat
Gambar 8 Aktivitas inhibitor ACE
pengendapan.
hasil pengendapan.
Kedua metode pengendapan yang digunakan merupakan metode
pemisahan protein berdasarkan kelarutannya dengan prinsip salting out. Ketika
ditambahkan asam amino atau aseton ke dalam ekstrak, air yang ada akan
berikatan lebih kuat dengan amonium sulfat atau aseton, sehingga protein akan
kehilangan air dan terpisahkan. Kedua metode itu tidak mengubah struktur kimia
protein, sehingga protein yang terendapkan dapat dengan mudah larut kembali di
dalam air atau larutan dapar (Burgess 2008).
Pengendapan dengan menggunakan aseton merupakan metode yang baik
untuk mengisolasi protein yang berfungsi sebagai inhibitor ACE pada ekstrak
AEP-1. Protein dapat terendapkan tanpa mempengaruhi aktivitas inhibitor ACE.
Metode pengendapan menggunakan ammonium sulfat ternyata kurang tepat
untukdigunakan sebagai pemurnian senyawa inhibitor ACE isolat AEP-1. Garam
amonium sulfat ataupun pengadukan yang lama tidaklah merusak struktur protein
yang ada, namun dalam kasus ini hal tersebut dapat mengganggu aktivitas
inhibitor ACEnya. Proses pengadukan yang terlalu lama dan kuat dapat
menyebabkan hilangnya atau berkurangnya aktivitas suatau enzim (Bollag et
al.1996, Burgess 2008).
Penentuan fraksi aktif yang spesifik sebagai inhibitor ACE pada ekstrak
yang dihasilkan oleh isolat AEP-1 dengan menggunakan kromatografi filtrasi gel
menunjukkan adanya sembilan puncak serapan (Gambar 9). Daerah puncak
serapan menunjukkan kelompok protein dengan nisbah konsentrasi lebih tinggi
dari daerah lainnya. Kromatografi filtrasi gel menggunakan sephadex merupakan
metode pemisahan protein berdasarkan bobot molekulnya. Kelompok protein
dengan ukuran sama akan keluar menjadi satu fraksi, ukuran protein akan berbeda
pada setiap fraksi yang diperoleh.
0.700
60
Absorban
0.600
13
35
0.500
0.400
94
15
10-12
74
37
0.300
44-45
0.200
0.100
0.000
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
65
70
75
80
85
90
95 100
No Fraksi
Gambar 9 Serapan fraksi hasil kromatografi filtrasi gel protein Streptomyces sp.
AEP-1 pada panjang gelombang 215 nm.
Pemisahan suatu protein dari campuran beragam protein dapat dilakukan
karena beragamnya sifat kimia maupun fisik yang dimiliki oleh setiap protein.
Sifat ini sebagai akibat dari berbedanya sekuen dan jumlah asam amino pada
masing-masing protein. Residu asam amino yang menempel pada polipeptida
dapat bermuatan positif atau negatif, netral dan polar, atau netral dan hidrofobik.
Selain itu polipeptida juga dapat melipat membentuk struktur sekunder atau tersier
yang membuatnya sangat berbeda dari ukuran, bentuk, dan distribusi residu asam
amino pada permukaannya (Bollag et al. 1996, Burgess 2008). Dengan
mengetahui sifat protein seperti ukuran, bentuk, muatan, hidrofobisitas, kelarutan,
ligan dan logam yang berikatan, serta sekuennya dapat memudahkan dalam
menyusun metode isolasi suatu protein yang diinginkan. Masing-masing protein
memiliki sifat yang unik, sehingga untuk mengisolasinya membutuhkan
penanganan yang berbeda untuk setiap protein.
100
90
80
Aktivitas (%)
70
60
50
40
30
20
10
0
10,11,12
13
15
35
37
44,45
60
74
94
cap 0,01 cap 0,02
mg/ml mg/ml
Fraksi
Gambar 10 Aktivitas inhibitor ACE 9 fraksi hasil kromatografi filtrasi gel yang
memiliki serapan puncak pada panjang gelombang 215nm.
Hasil uji aktivitas inhibitor ACE terhadap kesembilan fraksi, menunjukkan
adanya aktivitas.
Empat fraksi yaitu fraksi 35, 44-45, 60, dan 74 memiliki
aktivitas inhibitor ACE yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol positif
Captopril 0,01 mg/ml dan 0,02 mg/ml yang memiliki aktivitas sebesar 39,3% dan
53,1%, sedangkan lima fraksi lainnya memiliki aktivitas yang lebih rendah dari
kontrol positif. Dosis Captopril yang biasanya diresepkan dokter bagi penderita
hipertensi adalah 25 mg atau setara dengan 0,005 mg/ml. Rendahnya aktivitas
Captopril pada pengujian ini disebabkan Captoptril yang digunakan bukanlah
Captopril murni, melainkan Captopril yang dijual sebagai obat umum sehingga
masih terdapat bahan-bahan lain yang digunakan untuk membentuknya, sehingga
walaupun konsentrasi yang digunakan tinggi namun aktivitasnya masih lebih
kecil. Aktivitas inhibitor ACE terbaik dimiliki fraksi nomor 74 sebesar 86,6%
(Gambar 10).
Protein yang berfungsi sebagai inhibitor ACE sudah terpisah
dengan protein-protein lainnya dan terkumpul pada fraksi ini.
Marker
Fraksi No. 74
58,76 kDa
40
25
30,42 kDa
15
10
4,6
Gambar 11 Bobot molekul fraksi no.74 yang diduga sebagai inhibitor ACE.
Berdasarkan pita yang terlihat dari hasil SDS-PAGE fraksi 74, bobot
molekul protein dari AEP-1 yang berperan sebagai inhibitor ACE adalah 30,42
kDa dan 58,76 kDa (Gambar 11) (Lampiran 3). Penggunaan sephadex-G25
sebagai gel pemisah pada kromatografi ekstrak Streptomyces sp. AEP-1 bertujuan
untuk mengisolasi protein dengan bobot melekul kecil antara 1-5 kDa
sebagaimana karakter gel tersebut yang diperuntukkan bagi pemisahan protein
kecil. Namun demikian protein inhibitor ACE yang di dapat dari hasil fraksinasi
bukanlah protein kecil, melainkan memilki bobot yang cukup besar. Menurut
Burgess (2008), hal ini dapat terjadi karena protein besar juga dapat keluar
melewati kolom secara eksklusi melewati pori antar gel, bukan di dalam gel.
Sementara itu, protein dengan ukuran kecil terpisah melalui pori gel. Protein
dengan bobot melekul besar akan keluar terlebih dahulu baru kemudian diikuti
protein yang lebih kecil. Protein-protein dengan BM kecil kemungkinan terdapat
pada fraksi-fraksi akhir kromatografi, namun SDS-PAGE pada fraksi-fraksi
tersebut tidak dilakukan pada penelitian ini.
Pengujian aktivitas inhibitor ACE terhadap kedua pita dilakukan untuk
memastikan bahwa protein pada pita tersebut merupakan protein target. Hasil uji
menunjukkan adanya aktivitas pada kedua pita protein (Gambar 12). Protein
dengan BM 30,42 kDa memiliki aktivitas sebesar 39,04%, sedangkan protein
dengan BM 58,76 memiliki aktivitas sebesar 53,07%. Berdasarkan adanya
aktivitas inhibitor ACE pada kedua pita tersebut diduga protein yang berperan
sebagai inhibitor ACE merupakan komplek protein. Komplek protein pada
umumnya terbentuk dari interaksi antar protein, namun ada juga yang terbentuk
dari interaksi protein dengan molekul non protein seperti DNA, RNA, atau
metabolit lain. Interaksi yang sangat menentukan fungsi biologisnya ini dapat
bersifat sementara ataupun tetap. Suatu komplek protein dapat memiliki aktivitas
biologis yang sama dengan fungsi pada kondisi tunggalnya namun dapat juga
berbeda dan membentuk aktivitas baru (Gingras et al. 2005).
60
Aktivitas (%)
50
40
30
20
10
0
30.42
58.76
Bobot Molekul Protein
Gambar 12 Aktivitas inhibitor ACE dua pita protein hasil SDS-PAGE.
SDS-PAGE merupkan salah satu teknik yang biasa digunakan untuk
memisahkan komplek protein. Sodium dodesil sulfat merupakan deterjen ionik
yang dapat menghambat interaksi hidrofobik dan merusak ikatan hidrogen dan
disulfida pada struktur sekunder, tersier, dan kuartener protein, sehingga komplek
protein terdenaturasi menjadi struktur primernya berupa polipeptida (Scopes
1994, Gingras et al. 2005). Proses separasi menggunakan metode ini memisahkan
komplek protein inhibitor ACE pada fraksi 74 menjadi dua molekul protein
seperti yang terlihat pada penampakan pita.
Aktivitas inhibitor ACE gabungan kedua protein pada fraksi 74 lebih besar
jika dibandingkan dengan aktivitas protein dalam keadaan terpisah. Hal ini
menunjukkan bahwa kedua protein tersebut memiliki situs aktif yang dapat
berikatan dengan ACE pada kondisi tunggal, namun aktivitasnya akan lebih
optimal jika protein tersebut membentuk komplek. Struktur dan tingkat aktivitas
interaksi ACE dengan inhibitornya sangat dipengaruhi oleh residu tripeptida pada
C-terminal (Ondetti & Cushman 1982). ACE lebih menyukai substrat yang
mengandung residu asam amino hidrofobik seperti prolin, fenilalanin, dan tirosin.
Sebagian besar peptida inhibitor ACE alami mengandung prolin pada Cterminalnya (Cheung et al. 1980).
Salah satu protein inhibitor ACE isolat AEP-1 yang berhasil diisolasi
memiliki bobot melekul sekitar 30 kDa, hal ini menguatkan penelitian Roy et al.
(2000) yang memperoleh protein inhibor ACE dari fermentasi susu skim oleh
khamir dengan BM 33 kDa. Namun demikian, kebanyakan inhibitor ACE yang
telah diteliti baik dari bakteri, tanaman, maupun hewan memiliki BM yang kecil
karena berupa oligopeptida (Byun & Kim 2002, Kim et al. 2004, Quiro’s et al.
2005, Hayes et al. 2007, Gao et al. 2010). Kim et al. (2004) mendapatkan
inhibitor ACE dari Saccharomyces cerevisiae berupa dekapeptida dengan BM
1,178 kDa, inhibitor ACE berupa tetrapeptida dengan BM 10 kDa diperoleh dari
fermentasi Lactobacillus animalis DPC6134 (Hayes et al. 2007), sedangkan Gao
et al. (2010) mengisolasi inhihitor ACE dari biji kapuk dengan BM 0,82-2,43
kDa. Sampai saat ini belum dilaporkan adanya inhibitor ACE berupa komplek
protein seperti yang didapatkan pada penelitian ini.
Senyawa inhibitor ACE yang dihasilkan oleh AEP-1 bukanlah senyawa
kuersetin seperti yang dihasilkan oleh pegagan sebagai tanaman inangnya
(Hansen et al 1995) melainkan berupa protein. Tan dan Zou (2001) menyatakan
bahwa kemampuan mikrob dalam menghasilkan senyawa yang sama dengan
tanaman inang merupakan hasil koevolusi atau transfer genetik. Uji yang
dilakukan Sari (2011) terhadap tanaman pegagan hasil kultur jaringan,
menunjukkan tidak adanya aktivitas inhibitor ACE pada pegagan bebas endofit,
yang mengindikasikan bahwa aktinomiset endofit tanaman pegagan berperan
penting dalam menghasilkan senyawa inhibitor ACE. Mekanisme lain
kemungkinan melalui interaksi antara tanaman inang dengan mikrob endofitnya.
Dalam keadaan terpisah baik tanaman maupun mikrob endofitnya tidak mampu
menghasilkan senyawa tersebut. Fenomena ini terjadi pada proses terbentuknya
bau harum khas strowberry. Bau harum strawberry tersebut tidak dapat terbentuk
pada tanaman strawberry tanpa adanya mikrob endofit, dan mikrob endofit pun
juga tidak mampu menghasilkan bau khas tersebut dalam keadaan hidup bebas.
Tanaman membutuhkan senyawa prekursor yang dihasilkan mikrob endofit untuk
kemudian dapat memproduksi senyawa yang diinginkan (Zabetakis 1997).
Download