TINJAUAN PUSTAKA Salmonellosis Populasi ayam broiler semakin meningkat, yaitu dari tahun 2007 adalah 891.659.345 ekor menjadi 1.075.884.785 ekor di tahun 2008 (Direktorat Jenderal Peternakan, 2008). Ayam broiler merupakan jenis ayam ras unggul yang mampu berproduksi dalam waktu singkat dan efisien dalam mengubah makanan menjadi daging karena memiliki nilai konversi ransum yang rendah. Salah satu kendala yang dihadapi dalam pemeliharaan ayam broiler adalah rentan terhadap penyakit. Salmonellosis merupakan penyebab penyakit yang sering muncul dalam peternakan dan disebabkan oleh bakteri gram negatif seperti Salmonella typhimurium dan Salmonella enteritidis yang bersifat infeksius dan septikemik. Kerugian yang dihadapi secara ekonomi oleh peternak akibat infeksi Salmonella sp ini diantaranya adalah tingkat kematian yang tinggi (sampai 80%) dan pertambahan bobot badan ayam broiler yang rendah. Selain itu, infeksi Salmonella sp ini dapat ditransmisikan pada bahan pangan (telur dan daging unggas) sehingga membahayakan kesehatan manusia. Penyakit Salmonellosis rentan terjadi pada ayam berumur 7-21 hari, pada ayam umur lebih dari tiga minggu jarang menimbulkan gejala klinis karena memiliki kekebalan tubuh yang lebih baik tetapi dapat menjadi pembawa (carrier) yang dapat menularkan penyakit pada manusia (Rofiq, 2003). Salmonella sp adalah salah satu serovar atau serotipe dari subspesies Salmonella dan termasuk dalam anggota famili Enterobacteriaceae Universitas Sumatera Utara (Office International Des Epizooties, 2000). Habitat utamanya berada dalam saluran pencernaan hewan ternak dan manusia (Portillo, 2000). Salmonella sp ditemukan pada spesies unggas dan dengan mudah dapat ditularkan ke manusia melalui telur atau daging ayam yang terkontaminasi (Agricultural Research Service, 2002). Infeksi bakteri ini pada hewan atau manusia dapat mengakibatkan penyakit dengan gangguan pada bagian saluran pencernaan atau gastroenteritis dan penyakit akibat infeksi Salmonella sp disebut salmonellosis (Serbeniuk, 2002). Induk ayam petelur atau pedaging yang terinfeksi Salmonella sp secara transovarial dapat menularkan bakteri tersebut melalui produk telurnya (Duguid Dan North, 1991; Miyamoto et al.,, 1998). Ayam petelur dapat terinfeksi S. enteritidis dari flok ayam pembibit yang terinfeksi, pakan yang terkontaminasi atau melalui vektor rodensia. Selain itu, burung puyuh dan burung liar juga dapat bertindak sebagai sumber penularan Salmonella sp secara horizontal (Davison et al.,1995; Gast, 1997) Patogenesis Habitat bakteri salmonella adalah di dalam alat pencernaan manusia, hewan, dan bangsa burung. Oleh karena itu cara penularannya adalah melalui mulut karena makan/minum bahan yang tercemar oleh keluaran alat pencernaan penderita. Salmonella sp akan berkambang biak di dalam alat pencernaan penderita, sehingga terjadi radang usus (enteritis). Radang usus serta penghancuran Lamina propria alat pencernaan oleh penyusupan (proliferasi) Salmonella sp inilah yang menimbulkan diare, karena Salmonella sp menghasilkan racun yang disebut Cytotoxin dan Enterotoxin (Dharmojono, 2001). Universitas Sumatera Utara Salmonella sp mungkin terdapat pada makanan dalam jumlah tinggi, tetapi tidak selalu menimbulkan perubahan-perubahan dalam hal warna, bau maupun rasa dari makanan tersebut. Semakin tinggi jumlah salmonella di dalam suatu makanan, semakin besar timbulnya gejala infeksi yang mengkonsumsi makanan tersebut dan semakin cepat waktu inkubasi sampai timbulnya gejala infeksi. Makanan-makanan yang sering terkontaminasi oleh Salmonella sp yaitu telur dan hasil olahannya, ikan dan hasil olehannya, daging ayam, daging sapi serta susu dan hasil olahannya seperti es krim dan keju (Supardi dan Sukamto, 1999). Jay (2000) menjelaskan bahwa khusus untuk S. enteritidis dapat ditemukan di dalam telur dan ovarium ayam yang bertelur, dengan kemungkinan jalur penularannya sebagai berikut: (1) transovarium; (2) translokasi dari peritonium ke kantong kuning telur atau oviduk; (3) mempenetrasi kerabang telur sewaktu telur bergulir menuju kloaka; (4) pencucian telur; (5) pengolahan makanan. Salmonella sp akan berpenetrasi ke dalam telur dan terperangkap di dalam membran, kemudian akan diingesti oleh embrio. Habitat utama Salmonella sp pada ayam adalah saluran pencernaan, termasuk caecum. Apabila Salmonella sp ada di dalam tubuh ayam, maka ayam akan bertindak sebagai carrier sepanjang hidupnya. Pengendalian Salmonella Pengobatan salmonellosis acap kali mengunakan kloramfenikol, obat ini digunakan sejak tahun 1948 dan sampai saat ini masih digunakan sebagai obat pilihan di Indonesia khususnya di RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan RSU Dr. Saiful Anwar Malang, karena efektvitasnya terhadap Salmonella typhi masih tinggi disamping harga obat yang relatif murah (Musnelina, 2004). Dari Universitas Sumatera Utara kajian tingkat molekuler dikemukakan bahwa bakteri Salmonella typhi menjadi resisten terhadap Kloramfenikol akibat adanya plasmid yang memproduksi enzim Chloramphenicol Acetyltransferase (CAT) yang mengaktivasi Kloramfenikol (Balbi, 2004). Hal ini membuat para ahli mencari alternatif obat lain yang terbaik untuk demam tifoid antara lain Seftriakson (Musnelina, 2004). Tabel 1. Frekuensi dan Persentase Respon Sensitivitas Antibiotik Jenis Anti Biotik Frekuensi Sensitiv Antibiotik Jumlah Presentase Sensitiv Antibiotik Jumlah Amikasina Sensitif 16 Intermediet 5 Resisten 11 32 Sensitif 50 Intermediet 15.6 Resisten 34.4 100 Amoksilina 8 0 24 32 25 0 75 100 Amoksisilinasama 14 9 9 32 43.8 28.1 28.1 100 Klavulanata 9 3 20 32 28.1 9,4 62.5 100 Seftriaksona 9 1 22 32 28.1 3.1 68.8 100 Sefotaksima Siprofloksasin 28 1 3 32 87.5 3.1 9.4 100 a 31 0 1 32 96.9 0 3.1 100 a 15 1 16 32 46.9 3.1 50 100 18 6 28 52 34 10 28 100 41 7 4 52 79 14 4 100 41 11 0 52 79 21 0 100 Kloromfenikol Ampisilin b b Sefikasim Azitromosin b Keterangan : a b Suswanti dan Ayu di RSUD Dr. Sutomo (2009) Hartoyo et al., di RSUD Ulin (2006) Aktivitas antimikroba dilaporkan terdapat juga dalam cacing tanah Eisenia foetida mempunyai glikolipoprotein campuran G-90 dan mempunyai daya hambat terhadap Staphylococcus sp. yang lebih tinggi dibandingkan antibiotik Gentamicin 10 μg dan Enrofl oxacin 20 μg (Popovic et al.,, 2006). Cacing tanah E. foetida juga mempunyai Peptida OEP3122 yang dilaporkan bersifat antimikroba (Liu et al.,, 2004). Cacing Nereis diversicolor mempunyai peptida histidin yang bersifat antibakteri terhadap S. aureus dan Vibrio alginolyticus resisten methicillin (Tasiemski et al.,, 2006). Tepung cacing tanah (L. rubellus) terbukti mempunyai daya antimikroba dengan spektrum luas terhadap bakteri gram positif S. aureus, bakteri gram negatif E. coli dan S. Pullorum serta fungi C. Universitas Sumatera Utara albicans (Damayanti et al., 2009). Peptida Lumbricin I dilaporkan sebagai senyawa yang bertanggung jawab atas aktivitas antimikroba spektrum luas pada cacing tanah (L. rubellus) (cho et al.,, 1998). Hasil penelitian Gast (1997) menunjukkan bahwa uji serologis terhadap ayam yang diinfeksi S. Pullorum menghasilkan persentase sampel ayam positif yang mempunyai antibodi lebih tinggi terjadi pada pengambilan sampel minggu ke 5–6 pasca infeksi dibandingkan pengambilan sampel pada minggu ke 1–2 pasca infeksi yang di beri pakan imbuhan cacing tanah. Cacing Tanah (Lumbricus rubellus) Deskripsi Cacing Tanah Lumbricus rubellus, atau red wriggler atau cacing tanah merah ini berwarna kemerahan, dengan panjang berkisar antara 7,5 –10 cm. Segmen berkisar antara 90-145 segmen, klitelium (penebalan dari dinding tubuh cacing tanah) terletak di segmen 27-32, berbentuk seperti sadel. Pergerakannya kurang aktif bila dibandingkan dengan spesies dari pheritima, tubuhnya bulat namun agak gepeng (Catalan, 1981). Biologi cacing tanah, Spesies : Lumbricus rubellus, Genus : Lumbricus, Family : Lumbricidae, Ordo : Oligochaeta, Class : Chaetopoda, Phylum : Annelida, Divisi : Vermes, Kingdom : Animal. Tepung cacing tanah ((L. rubellus)) mengandung zat aktif antibakteri (Julendra, 2003), enzim lysozyme, agglutinin, faktor litik (Puwaningroom, 2010) dan kandungan protein yang cukup tinggi, yaitu sebesar 64-76 % dari bahan kering (BK) (Palungkun, 2008) serta mengandung asam amino prolin sekitar 15 % dari 62 asam amino (Cho et al.,, 1998). Aktivitas antibakteri (L. rubellus) berasal dari Lumbricin I yang merupakan senyawa peptida antimikroba yang berhasil Universitas Sumatera Utara diisolasi dan dikarakterisasi dari cacing tanah ((L. rubellus)) (Cho et al.,, 1998). Cho et al., (1998) menyatakan bahwa hasil uji in vitro menunjukkan Lumbricin I mempunyai aktivitas antimikroba berspektrum luas, yaitu menghambat bakteri Gram positif, bakteri Gram negatif dan jamur. Pembuatan Tepung Cacing Tanah (L. rubellus) Cacing tanah (L. rubellus) yang digunakan dalam penelitian ini berumur ± 3 bulan, diperoleh dari peternak cacing. Tepung cacing tanah dibuat dengan metode Edwards (1985) dan Mihara et al.,. (1991). Cacing tanah dibersihkan dari media tumbuhnya dan kotoran lain yang menempel, kemudian dicuci dengan air mengalir. Cacing yang telah bersih disimpan dalam lemari (inkubator) pada suhu 400C selama + 12 jam. Selanjutnya cacing tanah dicampur dengan larutan asam format (80%) sebanyak 3 ml per 100 g bobot cacing dan dihaluskan hingga menjadi pasta. Pasta kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 50-700C selama 4-6 jam. Setelah kering digiling dengan ukuran partikel ± 40 mesh kemudian diambil sampelnya. Penyiapan Larutan Tepung Cacing Tanah (L. rubellus) Tepung cacing tanah ((L. rubellus)) yang akan digunakan dalam penelitian ini dilarutkan dalam aquades karena bahan aktif yang terkandung dalam tepung cacing tanah, Lumbricin ,merupakan asam amino yang kaya akan prolin yang bersifat larut dalam air (Gold Biotechnology, 2009). Konsentrasi tepung cacing tanah (L. rubellus) yang akan diuji cobakan mengacu pada penelitian sebelumnya (Damayanti et al.,, 2009; Julendra dan Sofyan, 2007) yaitu sebesar 25% (b/v). Dimana % b/v menyatakan jumlah gram zat dalam 100 ml larutan, sebagai pelarut dapat digunakan air/ pelarut lain (Departemen Kesehatan, 1995). Universitas Sumatera Utara Pengisian Kertas Disk Kertas disk disterilkan terlebih dahulu dengan meletakkan kertas disk dalam cawan petri dan disterilkan dalam autoclave selama 15-20 menit pada suhu 1210C (Windyaanita, 2006). Selanjutnya kertas disk yang telah disterilkan, dimasukkan ke dalam 5 tabung reaksi yang berisi supernatan tepung cacing tanah dengan konsentrasi berbeda yang telah disiapkan sebelumnya. Setiap tabung berisi tiga buah kertas disk, dan dibiarkan selama 15-20 menit agar zat aktif dalam supernatan tepung cacing tanah dapat meresap ke dalam kertas disk (Windyaanita, 2006). Untuk perlakuan kontrol positif digunakan kertas disk yang telah berisi antibiotika kloramfenikol, karena kloramfenikol memiliki sensitivitas yang sangat tinggi (Uma et al.,, 2005), dimana pada dosis 30 μg/kertas disk mampu menghasilkan diameter zona hambat sebesar 25-31 mm (Rattanachuay et al.,, 2010). Universitas Sumatera Utara