18 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji tantang virus AI H5N1 pada dosis 10 4.0 EID50/0,1 ml per ekor secara intranasal menunjukkan bahwa virus ini menyebabkan mortalitas pada ayam sebagai hewan coba (Tabel 4). Ayam kelompok kontrol positif (K1) mengalami kematian 100% pada hari ke-7 pasca infeksi. Sebanyak 1 dari 8 ayam (12,5%) dalam kelompok P2 mati pada hari ke-6 pasca infeksi dan 4 dari 7 ayam (57,1%) dari kelompok P2 mati di hari ke-7 pasca infeksi virus. Data tersebut menunjukkan bahwa sambiloto mampu dalam menunda kematian ayam. Ekstrak sambiloto diaplikasikan per oral dengan dosis 1 ml per ekor pada ayam umur satu minggu selama tiga minggu sebelum ayam ditantang virus AI. Pada hari ke-7 pasca infeksi virus AI, ayam P2 yang masih hidup kemudian dieuthanasi dengan memasukan udara 3-5 ml intracardiac dan dinekropsi untuk koleksi sampelnya. Tabel 4 Hasil data kematian setelah uji tantang virus AI Perlakuan Sambiloto + infeksi virus Infeksi virus Jumlah Ayam Jumlah ayam mati pada hari kesetelah tantangan Virus AI 1 2 3 4 5 6 7 Persentase kematian 8 - - - - - 1 4 62,5 % 8 - - - - - - 8 100 % Berdasarkan data kematian diketahui bahwa bahan aktif dalam ekstrak sambiloto tidak mampu menginaktifkan virus AI, tetapi mampu menghambat virus untuk menginfeksi sel. Selanjutnya ayam yang mati sampai hari ke-7 pasca infeksi (tanpa dimatikan) kemungkinan telah terinfeksi virus AI. Kemampuan bahan aktif untuk menghambat infeksi virus dapat terjadi jika zat-zat yang terkandung dalam sambiloto dapat meningkatkan kekebalan tubuh hewan sehingga virus tidak mudah bereplikasi. Hal ini terbukti dengan 3 ekor dari 8 ekor ayam yang diberi ekstrak tanaman dan diuji tantang virus AI bertahan hidup sampai hari ke-7 pasca infeksi. 19 Tabel 5 Persentase kerusakan jaringan pada paru-paru Kelompok Perlakuan K1a K2bd Skor lesio histopatologi (%) 0 1 2 3 4 Infeksi virus 2 7,06 10,59 40 40,35 Tanpa perlakuan 40,69 45 11,31 2 0 P1 Ekstrak + Infeksi virus 9,58 30,94 21,02 31,42 8,04 P2d Ekstrak 48,14 32,14 10,93 5,77 3,02 c Keterangan : huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama adalah berbeda nyata (p<0,05) 0 = normal / tanpa perubahan 3 = hemorhagi dan vaskulitis 1 = kongesti / hiperemi 4 = infiltrasi sel radang hingga nekrosa 2 = edema Pada organ paru-paru ayam yang diinfeksi virus AI setelah pemberian ekstrak sambiloto (P1) ditemukan kerusakan jaringan yang lebih ringan dengan lesio yang dominan adalah 31,42% berupa hemorhagi dan vaskulitis dan rataan skoring adalah 2 (Tabel 5). Pada kelompok K1 (infeksi virus) kerusakan paling dominan adalah skor 4 yaitu infiltrasi sel radang hingga nekrosa jaringan. Nekrosa jaringan (Gambar 6) terjadi akibat sel-sel mati setelah ditempati agen, kemudian agen akan berpindah menuju sel normal lain untuk bereplikasi. Untuk itu, ayam dengan perlakuan berupa pemberian ekstrak sambiloto cenderung lebih ringan lesionya. Hal tersebut didukung oleh kelompok tidak ditantang dengan virus AI (K2) didominasi oleh jaringan dengan lesio berupa kongesti (Gambar 7) sejumlah 45%. Sedangkan ayam pada kelompok yang diberi ekstrak sambiloto (P2) menunjukkan kerusakan yang didominasi oleh sel normal (48,14%). Gambaran histopatologi paru-paru ayam yang diuji tantang virus AI, terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) antar semua kelompok perlakuan pada ayam berdasarkan analisis statistik non parametrik dengan uji Kruskal-Wallis (Tabel 5). Hanya pada kelompok K2 dan P2 setelah dilakukan uji lanjut tidak terdapat perbedaan yang nyata. Sedangkan melalui gambaran histopatologi pada kelompok P2 setelah diberi ekstrak sambiloto menunjukkan kerusakan yang paling ringan dan didominasi oleh sel normal (48.14%) (Tabel 5). Kemungkinan dikarenakan pengaruh ekstrak sambiloto yang dapat mengurangi lesio yang terjadi. 20 N I Gambar 6 Paru-paru ayam : Infiltrasi sel radang (I) dan nekrosa jaringan (N) pada kelompok ayam yang ditantsang virus AI (K1). Pewarnaan HE. Pembesaran 400x. K K K Gambar 7 Paru-paru ayam : Kongesti pembuluh darah (K) pada kelompok ayam diberi ekstrak sambiloto dan ditantang virus AI (P1-8). Pewarnaan HE. Pembesaran 50x. 21 E Gambar 8 Paru-paru ayam : Penimbunan cairan edema ekstravaskuler (E) pada kelompok ayam diberi ekstrak sambiloto dan ditantang virus AI (P1-2). Pewarnaan HE. Pembesaran 200x. H Ep Ep Gambar 9 Paru-paru ayam : Edema pulmonum (Ep) dan hemorhagi (H) pada kelompok ayam yang ditantang virus AI (K1). Pewarnaan HE. Pembesaran 200x. 22 Imunitas nonspesifik diduga merupakan mekanisme pertahanan terdepan yang dimiliki oleh zat aktif ekstrak sambiloto. Kemampuan imunitas ini meliputi komponen fisik berupa keutuhan kulit dan mukosa, komponen biokimiawi seperti asam lambung, lisozim, dan komplemen, serta komponen seluler nonspesifik yaitu sel limfosit, heterofil, eosinofil dan makrofag. Limfosit, heterofil, eosinofil, dan makrofag melakukan fagositosis terhadap benda asing dan memproduksi berbagai mediator untuk menarik sel-sel inflamasi lain ke daerah infeksi. Menurut Amroyan et al. (1999), mekanisme kerja dari andrografolid pada sambiloto berbeda dengan sediaan anti peradangan non steroid dan lebih dekat dengan anti thrombotic. Telah dilakukan percobaan menggunakan sambiloto secara in vitro dan in vivo yang dilakukan menggunakan zat aktif andrografolid dan ekstrak sambiloto dalam media larutan (cair) dengan menggunakan mencit. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa ekstrak sambiloto serta andrografolid yang terkandung di dalamnya dapat menstimulasi kekebalan tubuh terhadap antigen, umumnya yang imunitas nonspesifik (Mills dan Bone 2000). Hasil pengamatan histopatologi organ paru-paru ayam yang tidak diberi ekstrak sambiloto serta tidak diuji tantang dengan virus avian influenza H5N1 (P 2) menunjukkan kerusakan jaringan yang ringan. Bila dibandingkan dengan ayam yang tidak diberi ekstrak sambiloto kemudian diinfeksi virus avian influenza H5N1 (K 1) menunjukkan terdapatnya perbedaan yang nyata antara keduanya (Tabel 5). Terdapat peningkatan kerusakan jaringan pada kelompok kontrol positif (K1). Kerusakan jaringan yang paling mencolok ditemukan adalah hemorhagi dan vaskulitis serta infiltrasi sel radang hingga nekrosa jaringan. Kelompok kontrol positif (K1) memperlihatkan mekanisme infeksi virus yang jelas karena banyak lesio yang didominasi oleh infiltrasi sel radang hingga nekrosa jaringan. Menurut Easterday dan Hinshaw (1987) infeksi virus H5N1 pada ayam menyebabkan fokus peradangan dan infiltrasi sel radang pada organ paru-paru, myocardium, otak, mata, dan otot lurik. Kerusakan jaringan akibat infeksi virus di organ paru-paru diduga seperti mekanisme peradangan akibat infeksi. Dimulai dengan perlekatan virus pada reseptor (α-2-3 dan α-2-6), dilanjutkan dengan replikasi virus kemudian virus masuk sistem 23 sirkulasi (viremia) mengakibatkan peningkatan dilatasi pembuluh darah dan vaskularisasi pada jaringan, sehingga terjadi kongesti (Gambar 7). Kemudian kongesti menginduksi pelepasan sitokin (Interleukin-2, IFN, dan TNF), sehingga terjadi penurunan permeabilitas endotel. Akibatnya plasma darah keluar dari pembuluh darah menimbulkan penimbunan cairan edema (Gambar 8) dan endapan protein. Selanjutnya darah keluar dari pembuluhnya, disebut hemorhagi (Gambar 9). Biasanya hal tersebut disertai dengan vaskulitis atau peradangan pembuluh darah. Dengan meningkatnya aktivitas darah dan mediator peradangan menginduksi sel radang/sel pertahanan untuk masuk ke jaringan lewat pembuluh darah. Sel pertahanan akan memfagosit virus dalam jaringan dan melokalisir jaringan yang terinfeksi menjadi fokus radang. Bila virus gagal difagosit, sel tempat virus bereplikasi kemudian akan terjadi nekrosa (Gambar 6), dimulai dengan picnotis, kariorhexis, dan kariolisis. Kerusakan jaringan yang berlangsung kronis biasanya ditemukan pembentukan jaringan ikat (fibrosis). Dibandingkan kedua kelompok yang merupakan kontrol perlakuan yang tidak dicekok ekstrak sambiloto (K2) dan salah satu ditantang dengan virus AI H5N1 (K1). Terdapat perbedaan nyata antara keduanya ditinjau dari kerusakan jaringan organ paru-paru secara histopatologi (Tabel 5). Hal tersebut dikarenakan paru-paru memang merupakan salah satu organ target replikasi virus avian influenza dan merupakan organ yang kontak dengan lingkungan sehingga banyak ditemukan fokus peradangan serta infiltrasi sel radang (Easterday dan Tumova 1978). Berbeda halnya dengan keadaan jaringan pada paru-paru ayam yang tidak diberi perlakuan apapun (K2). Hanya sedikit sekali kerusakan jaringan yang ditimbulkan, karena memang kecenderungan jaringan masih normal (Tabel 5). Saat kedua perlakuan yang sama-sama diinfeksi dengan virus flu burung menunjukkan hasil yang berbeda nyata antara sampel yang diberi ekstrak sambiloto (P1) dan kelompok K1 tanpa ekstrak sambiloto (Tabel 5). Lesio jaringan pada ayam kelompok P1 lebih ringan dan didominasi oleh hemorhagi dan vaskulitis, sedangkan pada ayam kelompok K1 kerusakan lebih parah yang didominasi oleh infiltrasi sel radang hingga nekrosa. Potensi ekstrak sambiloto dalam menekan terjadinya 24 kerusakan jaringan masih belum jelas mekanismenya. Menurut Kardono et al. (2003), ekstrak sambiloto bermanfaat sebagai anti peradangan dengan kandungan aktif andrografolid. Andrografolid secara signifikan mampu menurunkan kadar histamin serum dan infiltrasi sel–sel radang pada saluran pernafasan. Mekanisme zat ini adalah meningkatkan produksi Glukokortikosteroid hormon glukokortikosteroid menghambat peradangan dari dengan kelenjar cara adrenal. menghambat pembentukan mediator peradangan seperti prostaglandin, histamin, thromboxanes, dan leukotriens. Kandungan anetol yang menyebabkan sambiloto mengeluarkan aroma dan rasa yang khas. Zat ini juga mempunyai kemampuan daya antibakteri. Cara kerjanya dalam membunuh mikroorganisme yaitu dengan mendenaturasi protein sel. Menurut Rohimah (1997), flavonoid merupakan salah satu zat yang terkandung dalam ekstrak sambiloto yang tersebar luas dalam senyawa-senyawa gllikon dan aglikon yang larut dalam air. Salah satu fungsi flavonoid adalah sebagai hormon pertumbuhan tanaman dan inhibitor pertumbuhan enzim dengan mengkompleks protein. Flavanoid dapat menghambat perkembangan agen dengan bertindak sebagai inhbitor enzim. Mekanisme penghambatan tersebut dengan cara menghambat produksi energi dan sintesis asam-asam nukleat atau protein. Melalui mekanisme tersebut pertumbuhan dan perkembangan agen dapat ditekan. Tingkat kerusakan jaringan secara histopatologi pada ayam dengan perlakuan pencekokan sambiloto kemudian diinfeksi virus avian influenza (P2) berbeda nyata dengan ayam dengan perlakuan P1 hanya diberi ekstrak sambiloto (Tabel 5). Kerusakan jaringan akibat infeksi virus AI lebih tinggi dibandingkan yang tidak diinfeksi. Hal ini dikarenakan kemampuan sambiloto dalam meningkatkan imunitas ayam melalui mekanisme kekebalan non spesifik. Dengan peningkatan sel pertahanan sehingga kerusakan jaringan dapat dicegah dan dikurangi frekuensinya. Dalam penelitian Chao dan Lin (2010), secara signifikan andrografolid menghambat pertumbuhan granuloma akibat infeksi agen. Hal itu disebabkan kemampuan peningkatan kekebalan non spesifik yang dapat menekan pertumbuhan agen. 25 Diperoleh hasil bahwa ayam kelompok kontrol tanpa perlakuan (K2) berbeda nyata dengan kelompok ayam P1 yang diberi ekstrak sambiloto kemudian diinfeksi virus AI (Tabel 5). Hal tersebut menunjukkan bahwa kerusakan jaringan tetap tinggi meskipun sudah diberi ekstrak sambiloto dibandingkan dengan sampel yang tanpa diinfeksi virus flu burung. Artinya infeksi virus dapat terjadi namun tingkat kerusakanya dapat dikurangi melalui aktivitas zat aktif ekstrak sambiloto dalam tubuh. Antioksidan juga dipercaya dapat mencegah terjadinya kerusakan jaringan. Hal tersebut sesuai dengan Kardono et al. (2003), yang menyatakan bahwa salah satu efek ekstrak sambiloto adalah antioksidan. Antioksidan berfungsi mengikat radikal bebas dalam jaringan. Efek radikal bebas dalam tubuh adalah memicu terjadinya kerusakan jaringan dengan berikatan pada sel, biasanya pada membran sel. Sel yang mulanya normal yang diikat radikal bebas dengan mengambil elektron dari sel tersebut dapat menyebabkan perubahan struktur asam nukleutid. Sebenarnya, tubuh ayam dapat menetralisir radikal bebas ini, hanya saja bila jumlahnya terlalu berlebihan, maka kemampuan untuk menetralisirnya akan lemah. Beberapa faktor bisa mempengaruhi metabolisme zat aktif dalam tubuh, pengaruh utama ini dapat dibagi dalam faktor internal dan faktor eksternal dari ayam. Faktor internal yang mungkin berpengaruh dalam hal ini adalah penyakit ayam, karena ayam yang digunakan dalam penelitian ini bukan ayam yang bebas patogen atau SPF (Spesific Pathogen Free). Faktor internal yang dapat mempengaruhi metabolisme obat adalah penyakit ayam. Faktor eksternal biasanya didominasi oleh temperatur kandang dan perlakuan terhadap ayam. Faktor tersebut memicu meningkatnya stres pada hewan. Dengan peningkatan stres maka kemampuan tubuh dalam menyerap zat aktif akan berkurang.