1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap hari kita berbicara, berinteraksi, dan berkomunikasi dengan bahasa, tetapi kurang menyadari betapa pentingnya bahasa itu. Dalam diam pun manusia berbahasa. Ketika ditanyakan apa sebenarnya fungsi bahasa, jawaban yang paling umum yang sering kita dapatkan adalah bahasa sebagai alat komunikasi. Jawaban tersebut memang ada benarnya. Fungsi bahasa pada dasarnya sangat kompleks. Dalam kehidupan manusia, bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi bahasa juga menyertai proses berpikir manusia. Oleh karena itu, bahasa selain memiliki fungsi komunikatif, bahasa juga memiliki fungsi kognitif dan emotif (Kaelan, 2002:290). Demikian pentingnya bahasa, beberapa linguis menyatakan bahwa bahasa hampir sama pentingnya dengan bernafas. Dalam fungsi yang lebih luas, sistem simbol atau bahasa itu digunakan tidak mengungkapkan proposisi-proposisi saja, tetapi bahasa juga digunakan untuk mengungkapkan pembenaran (assertion), pertanyaan-pertanyaan, perintah, permohonan, salam, dan banyak lagi gejalagejala yang dapat diungkapkan dengan bahasa. Demikian pula halnya dengan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia adalah bahasa yang terpenting di wilayah Indonesia karena bahasa ini memegang peranan penting dalam komunikasi masyarakat Indonesia. Pentingnya peranan itu antara lain bersumber pada ikrar Sumpah Pemuda 1928 2 yang berbunyi “Kami poetera dan poeteri Indonesia menjoenjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia” dan pada Undang-Undang Dasar 1945 di dalamnya tercantum pasal khusus yang menyatakan bahwa “bahasa negara ialah bahasa Indonesia” (Alwi dkk., 1998:1). Di samping faktor tersebut, pentingnya peranan bahasa Indonesia juga dapat dilihat dari jumlah penutur, luas penyebaran, dan peranannya sebagai sarana ilmu, seni sastra, dan pengungkap budaya. Menurut Alwi dkk. (1998:2) jika menggunakan patokan jumlah penutur, mungkin penutur bahasa Indonesia tidak sebanyak bahasa Jawa, misalnya, jika pada jumlah itu ditambahkan penutur dwibahasawan yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama dan kedua, kedudukannya dalam deretan jumlah penutur termasuk dalam deretan pertama. Kemudian dari segi luas penyebaran, sudah barang tentu kita menempatkan bahasa Indonesia di baris terdepan. Hal ini terlihat dari digunakannya bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi di daerah-daerah Sumatera, Kepulauan Riau, dan Kalimantan. Jenis Kreol bahasa Indonesia-Melayu terdapat di daerah Jakarta, Manado, Ternate, Ambon, Larantuka, dan Kupang. Sebagai bahasa kedua, persebaranya mulai dari ujung barat sampai timur dari ujung utara sampai selatan negeri kita. Sebagai bahasa asing, bahasa Indonesia dipelajari oleh berbagai bangsa di dunia seperti Amerika, Australia, Belanda, Rusia, Korea, Cina dan sebagainya. Patokan yang ketiga adalah peranannya sebagai sarana ilmu, seni sastra, dan pengungkap kebudayaan, menunjukkan bahwa bahasa Indonesia telah benar-benar menjadi satu-satunya wahana dalam 3 penyampai ilmu pengetahuan serta media untuk pengungkapan seni sastra dan budaya bagi semua warga Indonesia dengan latar belakang budaya serta daerah yang berbeda-beda. Seluruh peranan tersebut di atas, tertuang dalam rumusan Politik Bahasa Nasional (1975) yang telah menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Salah satu butir menyatakan bahwa sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa pengantar dalam dunia pendidikan. Fungsi ini sesuai dengan patokan ketiga di atas yakni, peranan bahasa Indonesia sebagai satu-satunya wahana penyampai ilmu pengetahuan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam rangka penyelenggaraan pendidikan dan penyampai ilmu pengetahuan, bahasa Indonesialah yang memegang peranan utama. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, penelitian ini dilakukan untuk melihat karakteristik bahasa Indonesia dalam dunia pendidikan dan sebagai sarana penyampai ilmu. Sebagai bahasa yang hidup dan sebagai alat komunikasi, bahasa Indonesia memiliki berbagai ragam. Ragam bahasa adalah variasi bahasa yang terjadi karena pemakaian bahasa. Ragam bahasa terbagi atas dua kelompok yaitu ragam bahasa berdasarkan media pengantarnya dan ragam bahasa berdasarkan situasi pemakaiannya. Berdasarkan media pengantarnya, ragam bahasa dibedakan menjadi ragam tulis dan ragam lisan, sedangkan berdasarkan situasi pemakaiannya ragam bahasa ada ragam formal (resmi) dan nonformal (tak resmi) (Utorodewo, 2004:1). 4 Bahasa Indonesia ragam formal digunakan dalam situasi formal seperti dunia pendidikan, seminar, rapat dinas, proses belajar mengajar, pidato resmi kenegaraan, ujian-ujian resmi seperti ujian skripsi, tesis, disertasi, dan sebagainya. Bahasa Indonesia ragam informal digunakan dalam situasi tidak resmi seperti bahasa sehari-hari, dialog keluarga, bergurau, berkomunikasi di luar kantor antarteman, dan sebagainya. Kedua ragam tersebut, memiliki ciriciri tersendiri yang menandakan situasi yang menjadi latar penggunaan ragam bahasa tersebut. Sama halnya dengan ragam formal dan ragam informal, ragam lisan dan ragam tulis juga berbeda. Menurut Halliday (1995), perbedaan itu terlihat pada beberapa hal yakni, (a) sistem leksis ragam lisan cenderung lebih kongruen dibandingkan dengan ragam tulis; (b) gramatika ragam lisan lebih merujuk pada situasi dua arah misalnya, sistem vokatif; (c) sistem klausa ragam lisan lebih kompleks dibandingkan dengan ragam tulis karena klausa kompleks secara jelas menunjukkan hubungan logis antara kejadian yang satu dengan yang lain. Salah satu konteks resmi yang menggunakan bahasa Indonesia ragam lisan formal adalah ujian terbuka promosi doktor yang diselenggarakan oleh Program Pascasarjana di sebuah universitas. Untuk menggambarkan suatu konfigurasi kontekstual seperti ujian terbuka ini, Halliday (1995) menerapkan konsep medan (field), pelibat (tenor), dan sarana (mood). Medan, merujuk pada apa yang sedang terjadi, sifat-sifat proses sosial yang sedang terjadi; artinya, apa yang sedang dilakukan oleh partisipan dengan menggunakan bahasa 5 sebagai mediumnya. Medan juga menyangkut pertanyaan terkait dengan lingkungan kejadian seperti : kapan, di mana, bagaimana kejadian terjadi, mengapa kejadian itu terjadi, dan sebagainya. Pelibat, merujuk pada siapa yang berperan, sifat-sifat partisipan, termasuk status serta peran sosial yang dipegangnya. Sarana, merujuk pada bagian yang diperankan oleh bahasa. Dalam konteks ujian terbuka ini, medan (field) merujuk pada kegiatan yang dilakukan di Program Pascasarjana di sebuah universitas, yang bertujuan untuk mempromosikan lulusan doktor baru. Pelibat (tenor) adalah promovendus, penguji, audience, dan orang-orang yang terlibat sebagai penyelenggara dengan hubungan status antara promovendus dan penguji dalam konteks ini bersifat hirarkis atau vertikal. Sarana (mode) merujuk pada penggunaan bahasa Indonesia ragam lisan formal dan bersifat persuasif. Medium yang digunakan untuk mengekspresikan bahasa tersebut adalah dialog dengan komunikasi dua arah (two-way communication). Secara singkat dapat dikatakan, ujian terbuka adalah peristiwa promosi doktor baru di Program Pascasarjana suatu universitas. Kegiatan ini merupakan aktivitas sosial akademik yang dilakukan oleh promovendus, penguji, dan undangan, dengan mengikuti berbagai aturan yang telah ditetapkan. Aturan-aturan tersebut antara lain; tempat dan tata letak (proksemik), cara berdialog, sarana bahasa Indonesia ragam lisan formal dengan medium dialog komunikasi dua arah. Dalam menggunakan bahasa, pelaku tutur yaitu penguji dan promovendus mempertimbangkan dua elemen dasar yang berorientasi pada 6 motivasi dan nilai-nilai tuturan. Orientasi motivasi menunjuk pada keinginan pelaku tutur untuk memperbesar kepuasan dan menguangi kekecewaan, sedangkan orientasi nilai menunjuk pada standar-standar normatif yang mengendalikan pilihan-pilihan bahasa pelaku tutur serta prioritas, sehubungan dengan adanya kebutuhan-kebutuhan dan tujuan-tujuan dalam berkomunikasi. Oleh sebab itu, penggunaan bahasa tidaklah dilakukan secara manasuka, tetapi selalu dilakukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor sosiobudaya dan dinamika konteks situasi tutur selama ujian berlangsung. Dengan demikian, karakteristik (i) tempat, audience, dan suasana berinteraksi, (ii) status sosial penguji dan promovendus, (iii) tata hubungan interaksi, (iv) pesan dan maksud isi ujaran, sangatlah menentukan pemilihan kalimat, wujud verba, strategi penyampaian, kelancaran, dan keberhasilan komunikasi. Berdasarkan hal tersebut di atas, Ehlich dan Rehbein (1979,1986) dalam analisis pragmatik fungsional komunikasi institusional, menunjukkan bahwa dalam tindak komunikatif, penutur mengacu pada bentuk-bentuk komunikatif yang dikembangkan secara sosial dan bentuk-bentuk komunikatif tersebut ditentukan sesuai dengan tujuannya. Selanjutnya, dikatakan bahwa dalam pemahaman konkretnya, mediasi bahasa dan masyarakat berlangsung melalui institusi-institusi. Institusi dipandang sebagai konteks struktur yang kompleks, tempat yang digunakan para aktor untuk memproses tujuan-tujuan tindakan. Insitusi mengkarakterisasi sebagaian besar cara dan tempat kita bertindak secara linguistik. Dalam kata-kata Althusser, institusi merupakan ‘mesin sosial’ yang berfungsi untuk mengolah tujuan sosial. Dalam pengertian 7 ini, institusi itu sendiri merupakan mediator dari sasaran umum yang dimiliki suatu kelompok masyarakat atas tindakan sosial yang konkret, yakni tindakan para partisipan sosial (Ehlich,1991:136). Sehubungan dengan itu, insitusi yang dimaksud Ehlich (1991) jika dikaitkan dengan penelitian ini adalah program Pascasarjana sebagai penyelenggara ujian terbuka. Dalam ujian terbuka tersebut, para penguji dan promovendus menggunakan bahasa yang telah disesuaikan dengan karakter institusi untuk memperoleh tujuan-tujuan sosial yaitu mempromosikan para doktor baru dengan tindak linguistik. Karakterisasi institusi terlihat pada cara dan tempat bertindak secara linguistik. Penamaan tempat, partisipan, tata cara ujian, sapaan-sapan, seluruhnya merupakan karakterisasi linguistik. Artinya, ketika menggunakan istilah-istilah yang digunakan dalam ujian terbuka, secara pasti kita berada dalam situasi akademik yaitu ujian terbuka untuk mempromosikan doktor baru. Di samping itu, karakterisasi dalam tindak linguistik, juga tergambar dari wacana tuturan ujian terbuka ini yang berbentuk persuasi. Persuasi bertujuan untuk menjual produk, dalam hal ini persuasi bertujuan untuk mempromosikan doktor baru. Setiap tuturan yang disampaikan, memiliki motivasi-motivasi tertentu. Berkaitan dengan adanya motivasi dalam tindak komunikasi, Payne (1999:139) seorang tokoh aliran fungsionalis mengatakan, salah satu karakteristik aliran fungsionalis adalah tertarik memahami motivasi-motivasi penutur terhadap pilihan-pilihan sebuah proposisi yang memiliki hubungan dari segi fungsional dan struktur formal. Sebagai contoh, mengapa penguji cenderung 8 menggunakan kalimat pasif dalam imperatif. Pemilihan bentuk pasif berkaitan dengan kesantunan karena tidak ada penunjukkan secara langsung terhadap agen atau pelaku. Dengan demikian, pemilihan terhadap modus tuturan dalam ujian terbuka, dilatarbelakangi oleh motivasi dan tujuan tertentu. Di dalam pragmatik, bertutur merupakan aktivitas yang berorientasi pada tujuan (goal oriented activities). Bentuk-bentuk tuturan yang terealisasi secara formal lewat bermacam-macam kalimat, dapat menyatakan maksud yang sama. Sebaliknya, berbagai macam maksud dapat diutarakan dengan tuturan atau ujaran yang sama. Sebagai contoh, dapat dilihat pada kalimat berikut ini. (1) Mungkin perlu penjabaran kriteria penentuan kemungkinan high dan low function. (Teks IV, dek 184) (2) Silakan dicermati lagi, kalau memang tidak perlu mungkin bisa dihilangkan. (Teks IV, imp 6)) Berdasarkan bentuk sintaksisnya, kalimat (1) dan (2) berbeda, yakni (1) kalimat deklaratif, dan (2) kalimat imperatif. Namun, fungsinya sama yaitu sama-sama menginginkan petutur melakukan sesuatu sesuai dengan maksud penutur. Ditinjau dari kelangsungan dan ktidaklangsungan direktif, kalimat (1) merupakan direktif tidak langsung, sedangkan kalimat (2) adalah direktif langsung. Pemilihan salah satu tipe kalimat dalam berkomunikasi, memiliki alasan dan motivasi tertentu. Alasan-alasan inilah yang dikaji dalam pragmatik yakni bagian linguistik yang mengkaji representasi maksud atau intensi penutur. bahasa sebagai 9 Esensi penggunaan bahasa dalam ujian terbuka ini adalah dialog. Taylor dan Cameron (1987) mengatakan, limabelas tahun terakhir ini analisis percakapan atau dialog. telah menjadi salah satu bidang studi bahasa dan komunikasi yang berkembang teraktif dan tercepat. Analisis dialog atau percakapan merupakan fokus interdisiplin ilmu seperti psikologi, sosiologi, dan lingistik. Firth (1957:32) mengatakan, analisis percakapan atau bahasa lisan sebagai objek studi linguistik akan menemukan kunci pengertian yang lebih baik, apa sebenarnya bahasa itu dan bagaimana bahasa itu bekerja. Sehubungan dengan penggunaan bahasa dalam ujian terbuka ini, banyak fitur linguistik yang menarik untuk dikaji. Fitur-fitur linguistik tersebut sangat menarik dikaji secara komprehensif melalui kajian formal dan fungsional. Seperti yang dikatakan Leech (1983:70), untuk mendapatkan pembahasan yang komprehensif suatu objek kebahasaan, sebaiknya dilakukan dengan kajian formal dan fungsional. Oleh sebab itu, penggunaan bahasa dalam ujian terbuka ini akan dikaji dari dua sudut pandang yaitu formal dan fungsional. Secara formal, penggunaan bahasa dalam ujian terbuka ini dikaji pada tataran sintaksis, sedangkan secara fungsional akan mengkaji aspek tindak tutur dan aspek kesantunan yang termasuk dalam bidang pragmatik. Kajian ini bertumpu pada data linguistik mikro yaitu sintaksis, untuk menganalisis makna secara makrolinguistik yaitu implikasi atau makna pragmatiknya. Dengan kata lain, struktur gramatika dapat mempresentasikan aspek-aspek pragmatik seperti seperti kesantunan. Hal ini menunjukkan, bagaimana gramatika dan pragmatik bergabung bersama-sama dalam wacana 10 alamiah dan bagaimana pragmatik memanfaatkan gramatika dalam waktu yang bersamaan. Pada dasarnya gramatika dan pragmatik adalah dua hal yang saling melengkapi dan memiliki hubungan yang kompleks. Ariel (2008) mengatakan, ketika menggunakan bahasa, banyak aspek pesan yang tertinggal secara implisit dalam tuturan. Oleh sebab itu, kajian gramatika dan pragmatik sebaiknya diterapkan secara bersama-sama. Gramatika merupakan seperangkat kode yang berhubungan dengan pernyataan secara ekspilisit, sedangkan pragmatik sebagai suatu perangkat penarikan kesimpulan diturunkan dari basis atau dasar-dasar kode tersebut, mampu menyimpulkan makna. Untuk memahami eratnya hubungan sintaksis dan pragmatik, Morgan (1975) yang menganut aliran transformasi mengatakan bahwa kaidah-kaidah sintaksis dan pragmatik saling memengaruhi. Artinya, hubungan antarkalimat dianggap sebagai hubungan transformasi, kaidah transformasi ini dipengaruhi oleh pragmatik dan hubungan pragmatiknya juga dipengaruhi oleh kaidah sintaksis. Tujuan suatu tuturan dapat diturunkan dari basis gramatika. Gramatika dapat menjadi dasar untuk menjelaskan atau menyimpulkan makna secara pragmatik. Penelitian pragmatik pada dasarnya adalah penelitian hubungan antara bahasa dan konteks yang ditatabahasakan atau konteks yang dikodekan pada struktur bahasa khususnya sintaksis. Hubungan sintaksis dan pragmatik juga dapat dilihat pada implikasi pragmatik terhadap pemilihan salah satu tipe kalimat. Salah satu implikasi pragmatik terhadap pilihan tipe kalimat tertentu adalah menjaga muka petutur (Gunarwan,1995). Pertimbangan-pertimbangan 11 itu, menyebabkan penutur memilih bentuk tuturan yang paling sedikit berpotensi mengancam muka petutur. Perlu diingat bahwa berkomunikasi tidak sekadar menyampaikan informasi saja, tetapi juga memelihara hubungan dan kerukunan sosial. Berdasarkan hal tersebut di atas, peneliti sangat tertarik meneliti BIRLF dalam ujian terbuka dengan model kajian sintaksis-pragmatik. Pada tataran sintaksis, penelitian ini membahas tipe-tipe kalimat BIRLF berdasarkan bentuk sintaksis dan bentuk-bentuk verba BIRLF. Dengan demikian, kajian ini mendasarkan diri pada data linguistik berupa kalimat-kalimat yang digunakan dalam ujian terbuka, kemudian menghubungkannya dengan aspek-aspek pragmatik. Dengan model tersebut, penelitian ini mencoba mengkonstruksi struktur gramatika bahasa Indonesia ragam lisan formal dan membahas implikasi pragmatik terhadap pilihan salah tipe kalimat. Dari penelusuran pustaka yang peneliti lakukan, belum ada penelitian bahasa Indonesia ragam lisan formal dengan model kajian sintaksis-pragmatik. Pemaduan kajian sintaksis dan pragmatik ini adalah kajian yang relatif baru dan belum ada kajian yang komprehensif untuk hal itu. Oleh sebab itu, peneliti merasa tertarik dan tertantang untuk menelitinya lebih lanjut. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Tipe-tipe kalimat bahasa Indonesia apa sajakah yang digunakan dalam ujian terbuka di Unair dan Unesa? 12 2) Bagaimanakah bentuk-bentuk verba kalimat bahasa Indonesia yang digunakan dalam ujian terbuka di Unair dan Unesa? 3) Bagaimanakah bentuk-bentuk tindak tutur yang digunakan dalam ujian terbuka di Unair dan Unesa? 4) Bagaimanakah bentuk-bentuk kesantunan dalam ujian terbuka di Unair dan Unesa? 1.3 Tujuan Tujuan penelitian ini dibedakan menjadi dua yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Kedua tujuan tersebut akan dijelaskan sebagai berikut. 1.3.1 Tujuan umum Tujuan umum penelitian ini adalah membahas fenomena kebahasaan dalam ujian terbuka promosi doktor dengan cara mengkonstruksi struktur gramatika bahasa Indonesia ragam lisan formal (BIRLF) dalam ujian terbuka promosi doktor dan membahas fungsinya secara pragmatik atau menganalisis aspek pragmatik berdasarkan struktur sintaksis. Dengan berbasiskan struktur gramatika yaitu sintaksis dapat diketahui motivasi dan tujuan penggunaan modus kalimat tertentu dalam ujian terbuka promosi doktor. 1.3.2 Tujuan khusus Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut. (a) Menganalisis tipe-tipe kalimat BIRLF dalam ujian terbuka promosi doktor di Unair dan Unesa; (b) Mengkaji bentuk-bentuk verba BIRLF dalam ujian terbuka promosi doktor di Unair dan Unesa; 13 (c) Menganalisis tindak tutur yang ada dalam ujian terbuka promosi doktor di Unair dan Unesa; (d) Mendeskripsikan kesantunan yang terdapat dalam ujian terbuka promosi doktor di Unair dan Unesa. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dua manfaat yaitu manfaat teoretis dan praktis. Berikut akan dijelaskan kedua manfaat tersebut. 1.4.1 Manfaat teoretis Penelitian ini diharapkan dapat (i) memperjelas, memperluas dan memperkaya kajian-kajian dan hasil-hasil penelitian bidang sintaksis dan pragmatik; (ii) memotivasi kajian aspek-aspek linguistik dalam bidang sintaksis-pragmatik yang lain karena kajian dalam bidang ini belum banyak menarik minat para peneliti bahasa. Oleh sebab itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dipakai sebagai rujukan atau acuan dan bahan-bahan tambahan dalam penelitian sejenis. Dengan banyaknya pemaduan analisis dalam bidang sintaksis dan pragmatik, diharapkan ilmu ini dapat berkembang dalam rangka memahami manusia dengan segala tingkah lakunya terutama dalam bertutur. 1.4.2 Manfaat Praktis Hasil atau temuan yang didapatkan dalam penelitian ini, diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap perkembangan bahasa Indonesia yaitu sumbangan struktur gramatika BIRLF. Lebih jauh lagi diharapkan, penelitian 14 ini memberikan pemahaman terhadap interaksi manusia dalam berbahasa terutama dalam etika berkomunikasi dalam ujian terbuka. Fungsi komunikatif dalam bahasa Indonesia ragam lisan formal sangat penting karena dengan memahami fungsi-komunikatif dialog akademik, diharapkan seluruh masyarakat akademik dapat memilih strategi berkomunikasi yang tepat agar dapat menjaga hubungan baik antarpartisipan dalam ujian terbuka. Di tengah kondisi masyarakat Indonesia yang gampang tersulut emosi, manajemen hubungan perlu dibina agar dapat saling memahami satu dengan yang lainnya dengan baik. Dengan memahami hakikat komunikasi beserta strategi dalam kesantunannya dengan baik diharapkan masyarakat Indonesia khususnya masyarakat dalam dunia akademik menjadi lebih santun dan beretika pada saat berinteraksi baik secara verbal maupun nonverbal.