BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sindroma Koroner Akut 2.1.1

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sindroma Koroner Akut
2.1.1 Definisi
Sindroma koroner akut (SKA) merupakan suatu istilah atau terminologi
yang digunakan untuk menggambarkan spektrum penyakit arteri koroner yang
bersifat trombotik. Kelainan dasarnya adalah aterosklerosis yang akan
menyebabkan terjadinya plaque aterom. Pecahnya plaque aterom ini akan
menimbulkan trombus yang nantinya dapat menyebabkan iskemia sampai infark
miokard (Achar, 2005).
Spektrum klinis dari SKA terdiri dari angina pektoris tidak stabil/APTS
(unstable angina/UA), infark miokard gelombang non-Q atau infark miokard
tanpa elevasi segmen ST (Non-ST elevation myocardial infarction/NSTEMI), dan
infark miokard gelombang Q atau infark miokard dengan elevasi segmen ST (ST
elevation myocardial infarction/STEMI) (Gambar 1) (PERKI, 2012).
Gambar 2.1 Spektrum dan Definisi dari SKA. (PERKI,2012)
Universitas Sumatera Utara
APTS dan NSTEMI mempunyai patogenesis dan presentasi klinik yang
sama, hanya berbeda dalam derajatnya. Bila ditemui petanda biokimia nekrosis
miokard (peningkatan troponin I, troponin T, atau CK-MB) maka diagnosis
adalah NSTEMI; sedangkan bila petanda biokimia ini tidak meninggi, maka
diagnosis adalah APTS (Hamm, 2004). Pada APTS dan NSTEMI pembuluh darah
terlibat tidak mengalami oklusi total/oklusi tidak total (patency), sehingga
dibutuhkan
stabilisasi
plak
untuk
mencegah
progresi,
trombosis
dan
vasokonstriksi. (Wright R, 2011). Sedangkan pada STEMI terjadi oklusi koroner
total yang bersifat akut sehingga diperlukan tindakan reperfusi segera, komplit
dan menetap dengan angioplasti primer atau terapi fibrinolitik (Levine, 2011).
2.1.2 Epidemiologi
Infark miokard akut merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering
di negara maju. Data dari GRACE 2001, didapatkan bahwa dari semua pasien
yang datang ke rumah sakit dengan keluhan nyeri dada ternyata penyebab
terbanyak adalah STEMI (34%), NSTEMI (31%) dan APTS (29%) (Budaj, 2003).
Angka mortalitas dalam rawatan rumah sakit pada STEMI ialah 7 %
sedangkan NSTEMI adalah 4%, tetapi pada jangka panjang (4 tahun), angka
kematian pasien NSTEMI ternyata 2 kali lebih tinggi dibanding pasien STEMI
(Budaj, 2003).
2.1.3 Faktor Risiko
Faktor risiko seseorang untuk menderita SKA ditentukan melalui interaksi
dua atau lebih faktor risiko.Faktor risiko SKA dibagi menjadi dua bagian besar
yaitu faktor yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor yang dapat dimodifikasi.
Universitas Sumatera Utara
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi antara lain seperti : merokok, hipertensi,
hiperlipidemia, diabetes mellitus, stress, diet tinggi lemak, dan kurangnya
aktivitas fisik. Faktor-faktor risiko ini masih dapat diubah, sehingga berpotensi
dapat memperlambat proses aterogenik Sedangkan faktor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi antara lain seperti : usia, jenis kelamin, suku/ras, dan riwayat
penyakit (Bender, 2011).
2.1.4 Patofisiologi
Aterosklerosis merupakan dasar penyebab utama terjadinya PJK.
Aterosklerosis merupakan suatu proses multifaktorial dengan mekanisme yang
saling terkait. Proses aterosklerosis awalnya ditandai dengan adanya kerusakan
pada lapisan endotel, pembentukan foam cell (sel busa) dan fatty streaks (kerak
lemak), pembentukan fibrouscap (lesi jaringan ikat) dan proses ruptur plak
aterosklerotik yang tidak stabil. Inflamasi memainkan peranan penting dalam
setiap tahapan aterosklerosis mulai dari perkembangan plak sampai terjadinya
ruptur plak yang dapat menyebabkan trombosis. Aterosklerosis dianggap sebagai
suatu penyakit inflamasi sebab sel yang berperan seperti makrofag yang berasal
dari monosit dan limfosit merupakan hasil proses inflamasi (Hansson, 2005).
Patogenesis aterosklerosis (aterogenesis) dimulai ketika terjadi kerusakan
(akibat berbagai faktor risiko dalam berbagai intensitas dan lama paparan yang
berbeda) pada endotel arteri, sehingga menimbulkan disfungsi endotel. Kerusakan
pada endotel akan memicu berbagai mekanisme yang menginduksi dan
mempromosi lesi aterosklerotik. Disfungsi endotel ini disebabkan oleh faktorfaktor risiko tradisional seperti dislipidemia, hipertensi, DM, obesitas dan
Universitas Sumatera Utara
merokok dan faktor-faktor risiko lain misalnya homosistein dan kelainan
hemostatik (Packard, 2008).
Pembentukan aterosklerosis terdiri dari beberapa fase yang saling
berhubungan. Fase awal terjadi akumulasi dan modifikasi lipid (oksidasi, agregasi
dan proteolisis) dalam dinding arteri yang selanjutnya mengakibatkan aktivasi
inflamasi endotel. Pada fase selanjutnya terjadi rekrutmen elemen - elemen
inflamasi seperti monosit ke dalam tunika intima. Awalnya monosit akan
mengalami adhesi pada endotel, penempelan endotel ini diperantarai oleh
beberapa molekul adhesi pada permukaan sel endotel, yaitu Inter Cellular
Adhesion Molecule-1 (ICAM-1), Vascular Cell Adhesion Molecule -1 (VCAM-1)
dan Selectin. Molekul adhesi ini diatur oleh sejumlah faktor yaitu produk bakteri
lipopolisakarida, prostaglandin dan sitokin. Setelah berikatan dengan endotel
kemudian monosit bermigrasi ke lapisan lebih dalam dibawah lapisan intima.
Monosit-monosit yang telah memasuki dinding arteri ini akan teraktivasi menjadi
makrofag dan mengikat LDL yang telah dioksidasi melalui reseptor scavenger.
Hasil fagositosis ini akan membentuk sel busa atau "foam cell" dan selanjutnya
akan menjadi “fattystreaks”. Aktivasi ini menghasilkan sitokin dan growth factor
yang akan merangsang proliferasi dan migrasi sel-sel otot polos dari tunika media
ke tunika intima dan penumpukan molekul matriks ekstraselular seperti elastin
dan kolagen, yang mengakibatkan pembesaran plak dan terbentuk fibrous cap.
Pada tahap ini proses aterosklerosis sudah sampai pada tahap lanjut dan
disebut sebagai plak aterosklerotik. Pembentukan plak aterosklerotik akan
menyebabkan penyempitan lumen arteri, akibatnya terjadi penurunan aliran darah.
Universitas Sumatera Utara
Trombosis sering terjadi setelah rupturnya plak aterosklerosis, terjadi pengaktifan
platelet dan jalur koagulasi. Apabila plak pecah, robek atau terjadi perdarahan
subendotel, mulailah proses trombogenik, yang menyumbat sebagian atau
keseluruhan suatu arteri koroner. Pada saat inilah muncul berbagai presentasi
klinik seperti angina atau infark miokard. Proses aterosklerosis ini dapat stabil,
tetapi dapat juga tidak stabil atau progresif. Konsekuensi yang dapat
menyebabkan kematian adalah proses aterosklerosis yang bersifat tidak
stabil/progresif yang dikenal juga dengan sindroma koroner akut.(Packard, 2008).
Gambar 2.2 Patogenesis Inflamasi pada Aterosklerosis (Packard 2008).
Universitas Sumatera Utara
Ruptur plak memegang peranan penting untuk terjadinya sindroma
koroner akut. Resiko terjadinya ruptur plak tergantung dari kerentanan atau
ketidakstabilan plak. Ciri-ciri plak yang tidak stabil antara lain gumpalan lipid
(lipid core) besar menempati > 40% volume plak, fibrous cap tipis yang
mengandung sedikit kolagen dan sel otot polos serta aktivitas dan jumlah sel
makrofag, limfosit T dan sel mast yang meningkat. Trombosis akut yang terjadi
pada plak yang mengalami ruptur memegang peran penting dalam kejadian
sindroma koroner akut. Setelah plak mengalami ruptur, komponen trombogenik
akan menstimulasi adhesi, agregasi dan aktivasi trombosit, pembentukan trombin
dan pembentukan trombus (Ismail, 2001, Therax,1998).
Trombus yang terbentuk mengakibatkan oklusi atau suboklusi pembuluh
koroner dengan manifestasi klinis angina pektoris tidak stabil atau sindroma
koroner lainnya. Bukti angiografi menunjukkan pembentukan trombus koroner
pada > 90% pasien STEMI, dan sekitar 35-75% pada pasien UAP dan NSTEMI
(Antman, 2004).
Pada APTS terjadi erosi atau fisur pada plak aterosklerosis yang relatif
kecil dan menimbulkan oklusi trombus yang transien. Trombus biasanya labil dan
menyebabkan oklusi sementara yang berlangsung antara 10-20 menit. Pada
NSTEMI kerusakan plak lebih berat dan menimbulkan oklusi trombus yang lebih
persisten dan berlangsung lebih dari 1 jam. Pada sekitar 25% pasien NSTEMI
terjadi oklusi trombus yang berlangsung > 1 jam, tetapi distal dari penyumbatan
terjadi kolateral. Pada STEMI disrupsi plak terjadi pada daerah yang lebih besar
dan menyebabkan terbentuknya trombus yang menetap yang menyebabkan
Universitas Sumatera Utara
perfusi miokard terhenti secara tiba-tiba yang berlangsung > 1 jam dan
menyebabkan nekrosis miokard transmural (Ismail, 2001, Antman, 2004).
Lipid core mengandung bahan-bahan yang bersifat sangat trombogenik
karena mengandung banyak tissue factor yang diproduksi oleh makrofag.Tissue
factor adalah suatu protein prokoagulan yang akan mengaktifkan kaskade
pembekuan ekstrinsik sehingga paling kuat sifat trombogeniknya. Faktor jaringan
akan membentuk komplek dengan faktor Vva dan akan mengaktifkan faktor IX
dan faktor X yang selanjutnya terjadi mata rantai pembentukan trombus. (Rauch,
2001).
Vasokonstriksi pembuluh darah koroner juga ikut berperan pada
patogenesis sindroma koroner akut. Ini terjadi sebagai respon terhadap disrupsi
plak khususnya trombus yang kaya platelet dari lesi itu sendiri. Endotel berfungsi
mengatur tonus vaskuler dengan melepaskan faktor relaksasi yaitu nitrit oksida
(NO) yang dikenal dengan Endothelium Derived Relaxing Factor (EDRF),
prostasiklin dan faktor kontraksi seperti endothelin-1, thromboxan A2,
prostaglandin H2. Trombus kaya platelet yang mengalami disrupsi, terjadi platelet
dependent vasoconstriction yang diperantarai serotonin dan thromboxan A2
sehingga menginduksi vasokonstriksi pada daerah ruptur plak atau mikrosirkulasi
(Therax, 1998).
2.1.5 Diagnosis Sindroma Koroner Akut
Diagnosis sindroma koroner akut ditegakkan berdasarkan adanya
presentasi klinis nyeri dada yang khas, perubahan elektrokardiografi dan
peningkatan enzim jantung. Nyeri dada khas angina biasanya berupa nyeri dada
Universitas Sumatera Utara
dengan rasa berat/ditindih/dihimpit didaerah retrosternal yang dapat menjalar
kelengan kiri, leher rasa tercekik atau rasa ngilu rahang bawah dimana nyeri
biasanya berdurasi > 20 menit dan berkurang dengan istirahat dan pemberian
nitrat. Nyeri dada juga biasanya disertai gejala sistemik lain berupa mual, muntah
dan keringat dingin.
Pada pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) dapat dijumpai perubahan
berupa depresi ST segmen atau T inversi, elevasi segmen ST, dimana pada awal
masih dapat berupa hiperakut T yang kemudian berubah menjadi ST elevasi,
dapat dijumpai LBBB baru yang juga merupakan tanda terjadinya infark
gelombang Q. Marker yang biasa dipakai sebagai penanda adanya kerusakan
miokard ialah enzim CK (Creatinine kinase) dan CK-MB (Creatinine kinase
myocardial band). Enzim ini akan meningkat setelah 4 jam serangan. Sehingga
pada awal serangan nilainya masih dalam batas normal. Selain enzim tersebut,
juga dapat dinilai Troponin T dan I yang biasanya meningkat 3-12 jam setelah
infark (Kumar, 2009).
Diagnosis angina pektoris tidak stabil (APTS) dapat ditegakkan apabila
dijumpai kriteria sebagai berikut yaitu adanya angina pada waktu istirahat/
aktivitas ringan serta pada EKG dapat dijumpai gambaran depresi segmen ST
≥
0,05 mV atau inversi gelombang T > 0,1 mV pada dua lead yang berdampingan
serta enzim jantung yang tidak meningkat.
Diagnosis Non-ST elevation myocardial infarction (NSTEMI) dapat
ditegakkan apabila dijumpai adanya nyeri dada khas infark pada saat istirahat
selama > 20 menit, gambaran depresi segmen ST≥ 0,05 mV atau inversi
Universitas Sumatera Utara
gelombang T > 0,1 mV pada dua lead yang berdampingan dengan prominent R
atau rasio R/S >1 dan peningkatan enzim jantung.
Diagnosis ST elevation myocardial infarction (STEMI) dapat ditegakkan
apabila didapatkan adanya nyeri dada khas infark yang terjadi pada saat istirahat
selama > 20 menit, Elevasi segmen ST baru pada J point pada 2 lead yang
berdampingan dengan cut point ≥ 0,1 mV pada semua lead selain V2-V3 dimana
pada lead V2-V3 cut point ialah ≥ 0,2 mV pada pria atau ≥ 0,15 mV pada wanita
dan peningkatan serial dari enzim jantung (Kumar 2009, Thygesen, 2012).
2.2
Kejadian Klinis Kardiovaskular Mayor (KKvM) pada Sindrom
Koroner Akut
Pada studi randomisasi yang ada, angka mortalitas jangka pendek pada
pasien SKA yang telah mendapatkan terapi farmakologi yang agresif adalah
berkisar 6,5-7,5% dimana berdasarkan data observasional didapatkan presentasi
mortalitas pasien SKA di komunitas ialah 15-20%. kejadian klinis kardiovaskular
mayor (KKvM) merupakan hasil endpoint yang terdiri dan kematian oleh sebab
apapun, infark miokard berulang, tindakan intervensi perkutan kononer berulang
dikarenakan adanya gejala, dan stroke yang dialami pasien setelah mengalami
onset SKA (Antman EM, 2012).
2.2.1 Definisi Kematian Kardiovaskular
Kematian kardiovaskular meliputi kematian yang berasal dari infark
miokard akut, kematian jantung tiba-tiba, kematian akibat gagal jantung, kematian
akibat stroke, dan kématian akibat penyebab kardiovaskular lainnya.
Universitas Sumatera Utara
• Kematian akibat infark miokard akut merujuk pada kematian oleh berbagai
mekanisme (aritmia, gagal jantung, low output ) selama 30 hari setelah onset
IMA. Kematian yangterjadi berhubungan dengan konsekuensi imediet dan
IMA, seperti gagal jantung kongesti, cardiac output yang tidak adekuat, atau
aritmia yang sulit diatasi. Kematian yang diakibatkan dan prosedur intervensi
koroner perkutan atau untuk penatalaksanaan terhadap komplikasi dan IMA
juga harus dipertimbangkan sebagai kematian akibat IMA. Kematian akibat
prosedur dalam penatalaksanaan angina atau kematian akibat infark miokard
yang terjadi sebagai akibat langsung dari investigasi, prosedur atau operasi
harus dipertimbangkan sebagai kematian akibat sebab kardiovaskular.
• Sudden Cardiac death merujuk pada kematian yang tidak terduga, yang tidak
mengikuti IMA dan termasuk kematian berikut:
a.
Kematian disaksikan dan seketika tanpa adanya perburukan gejala atau
gejala baru.
b.
Kematian yang disaksikan diantara 60 menit dari onset perburukan gejala
atau adanya gejala baru, kecuali gejala merujuk pada IMA.
c.
Kematian yang disaksikan dan dihubungkan dengan aritmia.
d.
Kematian setelah resusitasi cardiac arrest yang gagal.
e.
Kematian setelah resusitasi dan cardiac arrest yang berhasil dan tanpa
adanya sebab non-kardiovaskular.
f. Kematian yang tidak disaksikan tanpa sebab kematian lain.
Universitas Sumatera Utara
• Kematian akibat gagal jantung atau syok kardiogenik merujuk pada kematian
yang terjadi dalam kontek perburukan gejala klinis atau adanya tanda gagal
jantung tanpa adanya penyebab lain kematian dan tidak ada tanda diikuti IMA.
• Kematian akibat Stroke merujuk pada kematian yang terjadi 30 hari setelah
stroke atau stroke atau yang diakibatkan oleh komplikasi stroke.
• Kematian akibat penyebab kardiovaskular lain merujuk pada kematian
kardiovaskular yang tidak termasuk kategori di atas (seperti: disritmia, emboli
paru, intervensi kardiovaskular, aneurisma aorta, dll) (Hicks K A, 2010).
2.2.2 Kematian Non-Kardiovaskular
Kematian non-kardiovaskular digambarkan sebagai kematian yang tidak
terpikirkan untuk diakibatkan oleh sebab kardiovaskular. Berikut daftar kematian
non-kardiovaskular:
• Penyebab Non-malignan
a. Paru
b. Ginjal
c. Gastrointestinal
d. Hepatobiliari
e. Pankreatik
f. Infeksi (termasuk sepsis)
g. Non-infeksi (systemic inflammatory response syndrome (SIRS))
h. Hemoragik, bukan intrakranial
i. Kegagalan sistem organ selain kardiovaskular (contoh: gagal hati, gagal
ginjal)
Universitas Sumatera Utara
j. Bedah non-kardiovaskular
k. Kecelakaan atau trauma
l. Bunuh diri
m. Overdosis obat
• Sebab Malignan
a. Kematian akibat kanker langsung atau
b. Kematian akibat komplikasi kanker itu sendiri
c. Kematian akibat penarikan semua terapi (Hicks K A, 2010)
2.2.3 Kematian yang tidak Terdefinisikan
Kematian yang tidak dapat ditentukan penyebabnya adalah kematian yang
tidak dapat dikategorikan kematian kardiovaskular dan kematian nonkardiovaskular. Hal ini mungkin terjadi akibat kurangnya informasi (Hicks K A,
2010).
2.2.4 Stroke
Stroke didefinisikan sebagai episode akut dan disfungsi neurologis yang
disebabkan oleh injuri vaskular fokal ataupun global pada otak, korda spina, atau
retinal. Stroke dapat dklasifikasikan menjadi 3 jenis, yaitu: stroke iskemik yang
diakibatkan oleh adanya area infark pada system saraf pusat; stroke hemoragik
yang diakibatkan oleh hemoragik pada subaraknoid, intraventrikular ataupun
intraparenkimal; dan stroke yang tidak diketahui sebabnya yang mungkin
diakibatkan oleh kurangnya informasi untuk menegakkan diagnosis stroke
iskemik ataupun stroke hemoragik (Hicks K A, 2010).
Universitas Sumatera Utara
2.2.5 Revaskularisasi Intervensi Koroner Perkutan Berulang
Prosedur revaskularisasi koroner merupakan prosedur yang menggunakan
kateter untuk memperbaiki aliran darah miokardial. Peralatan kateterisasi (balloon
catheter, cutting balloons, atherectomy devices, lasers, bare metal stent, dan
drug-eluting stents) digunakan untuk memperbaiki aliran darah miokardial dengan
meningkatkan area luminal pada daerah lesi koroner yang mengalami obstruksi.
Tindakan prosedur intervensi koroner perkutan berulang harus dilakukan pada
pasien dengan perburukan gejala angina (Hicks K A, 2010).
2.2.6 Faktor Prediktor Terjadinya Kejadian Klinis Kardiovaskular Mayor
(KKvM)
Terdapat beberapa faktor prediktor terhadap terjadinya kejadian klinis
kardiovaskular mayor (KKvM) seperti usia tua > 65 tahun dengan OR 3,70 (95%
IK 2,51-5,44) pada pasien usia 65-74 tahun dan terus meningkat seiring
bertambah usia tua ; Jenis kelamin perempuan juga memberikan risiko terhadap
kejadian KKvM dengan OR 1,90 (95% IK 1,60-2,26); riwayat keluarga dengan
penyakit jantung koroner juga meningkatkan risiko dengan HR 1,41 dan p=0,009
27; Gula darah pada saat masuk perawatan > 130,5 mg/dl meningkatkan risiko
dengan OR 2,61 (95% IK 1,11-6,10) ; Hiperurisemia saat masuk perawatan
meningkatkan risiko dengan RR 3,3 (95% IK 1,02-10,64) dan OR 3,76 pada short
term mortality (Bita Omdivar, 2012); tekanan darah sistolik yang rendah, setiap
turun 20 mmHg meningkatkan risiko terjadinya KKvM dengan OR 1,35 (1,271,45); frekuensi jantung yang tinggi akan meningkatkan risiko setiap 30x/menit
dengan OR 1,20 (1,10-1,40); peningkatan enzim jantung saat masuk
perawatan juga meningkatkan risiko terjadinya KKvM dengan OR 1,50 (1,26-
Universitas Sumatera Utara
1,90); peningkatan kadar kreatinin serum saat masuk perawatan, setiap 1 mg/dl
juga memberikan risiko dengan OR 1,23 (1,14-1,34); gambaran deviasi segmen
ST pada masuk perawatan juga meningkatkan risiko dengan OR 1,80 (1,33-2,40);
Nilai Kelas Killip yang cenderung tinggi juga akan menigkatkan risiko KKvM
setiap naik satu kelas dengan OR 1,97 (1,76-2,23) .Christopher P, 2003).
2.3 Asam Urat
2.3.1 Pengertian Asam Urat
Asam urat adalah produk akhir atau produk buangan yang dihasilkan dari
metabolisme/pemecahan purin. Asam urat sebenarnya merupakan antioksidan dari
manusia dan hewan, tetapi bila dalam jumlah berlebihan dalam darah akan
mengalami pengkristalan dan dapat menimbulkan gout. Asam urat mempunyai
peran sebagai antioksidan bila kadarnya tidak berlebihan dalam darah, namun bila
kadarnya berlebih asam urat akan berperan sebagai prooksidan (McCrudden
Francis H. 2000).
Kadar asam urat dapat diketahui melalui hasil pemeriksaan darah dan urin.
Hiperurisemia didefinisikan sebagai peningkatan kadar asam urat dalam darah.
Batasan hiperurisemia untuk pria dan wanita tidak sama. Seorang pria dikatakan
menderita hiperurisemia bila kadar asam urat serumnya lebih dari 7,0 mg/dl.
Sedangkan hiperurisemia pada wanita terjadi bila kadar asam urat serum di atas
6,0 mg/dl (Berry, 2004;Hediger, 2005; Putra, 2006).
2.3.2 Sifat dan Struktur Kimia Asam Urat
Asam urat merupakan asam lemah dengan pKa 5,8. Asam urat cenderung
berada di cairan plasma ekstraselular. Sehingga membentuk ion urat pada pH 7.4.
Universitas Sumatera Utara
ion urat mudah disaring dari plasma. Kadar urat di darah tergantung usia dan jenis
kelamin. Kadar asam urat akan meningkat dengan bertambahnya usia dan
gangguan fungsi ginjal (McCrudden Francis H, 2000).
Di bawah mikroskop kristal urat menyerupai jarum - jarum renik yang
tajam, berwarna putih, dan berbau busuk.
Gambar 2.3 Struktur Kimia Asam Urat
2.3.3 Metabolisme Asam Urat
Purin berasal dari metabolisme makanan dan asam nukleat endogen, dan
terdegradasi menjadi asam urat pada manusia, melalui kerja dari enzim xanthine
oxidase. Asam urata dalah asam lemah dengan pH 5,8 di distribusikan ke seluruh
kompartemen cairan ekstra selular sebagai natrium urat dan dibersihkan dari
Plasma melalui filtrasiglomerulus. Sekitar 90% dari asam urat direabsorpsi dari
tubulus ginjal proksimal sedangkan sekresi aktif dalam tubulus distal melalui
mekanisme ATP-ase yang berkontribusi terhadap clearence secara keseluruhan
(Waring, 2000; Steele, 1999).
Konsentrasi asam urat serum pada populasi memiliki distribusi Gaussian,
dengan kisaran antara 120-420 umol/l. Untuk individu, konsentrasi urat
ditentukan oleh kombinasi dari tingkat metabolism purin (baik eksogen dan
Universitas Sumatera Utara
endogen) dan efisiensi clearence ginjal. Metabolisme purin ini dipengaruhi oleh
diet dan faktor genetik yang mengatur pergantian sel.
Asam urat bersifat larut dalam media cair dan paparan terus-menerus
terhadap kadar serum yang tinggi merupakan predisposisi deposisi kristal urat
dalam jaringan lunak (Waring l, 2000; Emmerson, 1996). Manusia dan kera
mengekspresikan
urat
oksidase,
enzim
yang
bertanggungjawab
untuk
metabolisme lebih lanjut asam urat menjadi produk allantoin, limbah yang lebih
mudah larut sebelum ekskresi. Pathway biokimia dari metabolism purin
digambarkan pada Gambar 3.
Gambar 2.4 Asam Urat sebagai Produk Akhir Metabolisme Purin pada Manusia
dan Spesies lainnya (Sivakumar,2014)
Universitas Sumatera Utara
2.3.4 Peningkatan Kadar Asam Urat (Hiperurisemia)
Beberapa hal di bawah ini menyebabkan peningkatan kadar asam urat
dalam tubuh :
a. Kandungan makanan tinggi purin karena meningkatkan produk asam urat dan
kandungan minuman tinggi fruktosa.
b. Ekskresi asam urat berkurang karena fungsi ginjal terganggu misalnya
kegagalan fungsi glomerulus atau adanya obstruksi sehingga kadar asam urat
dalam darah meningkat. Kondisi ini disebut hiperurisemia, dan dapat
membentuk kristal asam urat/batu ginjal yang akan membentuk sumbatan pada
ureter (Mandell Brian F. 2008).
c. Penyakit tertentu seperti gout, Lesch-Nyhan syndrome, endogenous nucleic acid
metabolism, kanker, kadar abnormal eritrosit dalam darah karena destruksi sel
darah merah, polisitemia, anemia pernisiosa, leukemia, gangguan genetik
metabolisme purin, gangguan metabolik asam urat bawaan (peningkatan
sintesis asam urat endogen), alkoholisme yang meningkatkan laktikasidemia,
hipertrigliseridemia, gangguan pada fungsi ginjal dan obesitas, asidosis ketotik,
asidosis laktat, ketoasidosis, laktosidosis, dan psoriasis (Murray Robert K,
dkk.2006).
d. Beberapa macam obat seperti obat pelancar kencing (diuretika golongan
tiazid),
asetosal
dosis
rendah,
fenilbutazon
dan
pirazinamid
dapat
meningkatkan ekskresi cairan tubuh, namun menurunkan eksresi.
Universitas Sumatera Utara
2.3.5 Penurunan Kadar Asam Urat (Hipourisemia)
Beberapa kondisi yang menyebabkan terjadinya penurunan kadar asam
urat :
a.
Kegagalan fungsi tubulus ginjal dalam melakukan reabsorpsi asam urat dari
tubulus ginjal, sehingga ekskresi asam urat melalui ginjal akan ditingkatkan
dan kadar asam urat dalam darah akan turun. (Weller Seward, E. Miller,
2002).
b. Rendahnya kadar tiroid, penyakitginjal kronik ,toksemia kehamilan dan
alcoholism.
c.
Pemberian obat-obatan penurun kadar asam urat. Penurunan kadar asam urat
dilakukan dengan pemberian obat-obatan yang meningkatkan ekskresi asam
urat atau menghambat pembentukan asam urat, (Steele Thomas H, 1979) cara
kerja allopurinol merupakan struktur isomer dari hipoxanthin dan merupakan
penghambat enzim. Fungsi allopurinol yaitu menempati sisi aktif pada enzim
xanthine oxidase yang biasa ditempati oleh hypoxanthine. Allopurinol
menghambat aktivitas enzim secara irreversible dengan mengurangi.
2.4 Hubungan Asam Urat dengan Sindroma Koroner Akut
Adenosin disintesis dan dirilis oleh miosit jantung dan pembuluh darah,
dan berikatan dengan reseptor adenosin tertentu menyebabkan relaksasi otot polos
pembuluh darah dan vasodilatasi arteriol. Adenosin memberikan kontribusi kecil
untuk tonus pembuluh darah yang normal, karena antagonis kompetitif pada
reseptor adenosin oleh methylxanthine seperti teofilin, mengurangi respon aliran
darah ke tempat iskemia pada pembuluh darah (Berne, 1980;Costa ,1999).
Universitas Sumatera Utara
Kondisi iskemia pada jantung dan viseral menyebabkan peningkatan
pembentukan adenosin, yang dapat berfungsi sebagai mekanisme pengaturan
penting untuk memulihkan aliran darah dan membatasi daerah iskemia tersebut.
Adenosine disintesis secara lokal oleh otot polos pembuluh darah dalam jaringan
jantung dan terdegradasi secara cepat oleh endothelium menjadi asam urat, yang
mengalami aliran keluar secara cepat kelumen pembuluh darah oleh karena pH
intra seluler yang rendah dan potensial membrane yang negative (Fredholm dan
Sollevi, 1986).
Aktivitas xantine oksidase (Kroll etal., 1992) dan sintesis
asam urat
(Castelli, 1995) meningkat secara in vivo pada kondisi iskemik dan oleh karena
itu peningkatan asam urat serum dapat bertindak sebagai penanda iskemia
jaringan. Dalam sirkulasi koroner manusia, hipoksia yang disebabkan oleh oklusi
arteri koroner yang sementara, menyebabkan peningkatan konsentrasi asam urat
lokal. Sehingga asam urat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
kapasitas antioksidan serum, namun bisa juga mengarah secara langsung atau
tidak langsung terhadap cedera pembuluh darah.
Beberapa penelitian mendapatkan adanya hubungan asam urat dengan
reactive
oxygen
species
(ROS)
yang
menyebabkan
disfungsi
endotel,
meningkatkan proses klasifikasi plak intrakoroner, meningkatkan terjadinya
proses aterosklerosis melalui oksidasi sel adiposit, dan menyebabkan gagal
jantung melalui hipertrofi otot ventrikel (Engberding, 2004; Rodrigues, 2010;
Krishnan, 2008). Sebaliknya peningkatan asam urat bisa diharapkan untuk
Universitas Sumatera Utara
memberikan efek protektif antioksidan, tetapi manfaat potensial mungkin
dikaburkan oleh efek yang merugikan di tempat lain.
Beberapa
studi
prospektif
telah
menunjukkan
hubungan
antara
hiperurisemia dan insiden penyakit jantung koroner, penyakit kardiovaskular dan
kematian. Walaupun studi-studi ini sangat baik sekali dalam studi klinis, namun
tak ada satupun yang mengevaluasi hubungan antara hiperurisemia dan kematian
jangka pendek setelah IMA. Peningkatan produksi asam urat pada IMA
disebabkan karena nekrosis sel miokard dan perusakan adenosin trifosfat.
Infark miokard yang luas dan disfungsi ventrikel kiri dapat menurunkan
curah jantung, aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus sehingga dapat
menyebabkan pengurangan ekskresi asam urat. Berkurangnya perfusi jaringan
akibat syok kardiogenik yang menyebabkan asidosis metabolik dan dapat
meningkatkan produksi laktat, yang berkompetisi dengan sekresi asam urat di
dalam tubulus proksimal ginjal dan dapat menurunkan ekskresi asam urat.
Pada pasien dengan IMA, volume darah dapat menurun akibat keluarnya
keringat, muntah dan gangguan mekanisme haus, terutama pada usia tua, yang
dapat meningkatkan reabsorbsi asam urat setelah sekresi ditubulus ginjal. Jadi,
tingkat asam urat bisa menjadi salah satu indikator status hemodinamik setelah
IMA (Homayounfar, 2007;Brand, 1985).
Hiperurisemia mencetuskan untuk terjadinya plak intra koroner melalui
peningkatan aktivitas inflamasi mencetuskan kondisi protrombotik. Hiperurisemia
ditemukan pada penderita infark miokard akut dan menjadi acuan sebagai
prognosa penderita yang mengalami infark miokard akut (Kojima, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Penelitian NHANES mendapatkan peningkatan kadar asam urat dapat
meningkatkan resiko terjadinya penyakit jantung iskemik akibat peningkatan
platelet adhesiveness, pembentukan radikal bebas dan stres oksidatif (Culleton,
1999).
Pola kenaikan kadar asam urat diteliti pada 316 subjek penderita penyakit
jantung koroner yang menderita sindrom koroner akut didapatkan pola kadar asam
urat meningkat pada satu minggu pertama pada saat serangan akut penyakit
jantung koroner dan menurun secara gradual sampai bulan ketiga setelah serangan
jantung, Hal ini terutama ditemukan pada pasien pria daripada wanita (london,
1967).
Pada studi MY Nadkar dkk, menunjukkan bahwa kadar asam urat adalah
lebih tinggi pada pasien infark miokard akut dan kadar asam urat berhubungan
dengan killip kelas dimana pasien-pasien dengan kelas killip yang lebih tinggi
memiliki kadar asam urat yang tinggi dan kombinasi kelas killip dan kadar asam
urat setelah infark miokard akut adalah prediktor yang baik terhadap mortalitas
setelah infark miokard akut (MY Nadkar, 2008).
Studi Li Chen dkk menunjukkan bahwa kadar asam urat berhubungan
positif dengan kadar serum trigliserida tetapi tidak dengan keparahan penyakit
arteri koroner. Pasien hiperurisemia dengan IMA STE kecenderungan memiliki
disfungsi sistolik ventrikel kiri dan disfungsi diastolik yang lebih tinggi dan lebih
mungkin memiliki kejadian klinis kardiovaskular mayor (KKvM) di rumah sakit
yang lebih tinggi (Li Chen,2012)
Universitas Sumatera Utara
Studi Kaya, mendapatkan kadar asam urat meningkat sebesar 26.94%
pada 2,249 penderita IMA STE yang mengalami intervensi koroner perkutan.
Mortalitas selama perawatan didapatkan meningkat jika kadar asam urat lebih dari
8.5 gr/dL (Kaya,2012).
Untuk
penelitian
yang menghubungkan
kadar asam
urat
dapat
memprediksi banyaknya pembuluh darah yang terkena pada penderita serangan
jantung, ditunjukkan pada penelitian Duran dkk, Studi pada 246 subjek yang
mengalami sindroma koroner akut subyek penelitian tidak mempunyai faktor
risiko diabetes mellitus dan hipertensi. Hasil mendapatkan pasien dengan
hiperurisemia mempunyai derajat stenosis koroner yang berat yang dinilai dari
tingginya skor Gensini. Pasien dengan hiperurisemia mengenai lebih banyak
pembuluh darah yang terkena, banyaknya lesi kritikal dan oklusi total koroner.
Studi ini menyimpulkan bahwa kadar serum asam urat merupakan faktor risiko
independen untuk terjadinya lesi multivessel. (Duran,2012).
Akanda dkk, meneliti 180 pasien angina pektoris, kemudian dilakukan
angiogram dibedakan antara ada atau tidaknya stenosis. Hasil penelitian
mendapatakan kadar asam urat yang tinggi (asam urat > 7 mg/dL pada pria dan
asam urat > 6 mg/dL pada wanita) pada penderita yang mempunyai stenosis
koroner. Dengan analisis spearman didapatkan adanya korelasi (r = 0.39, p ≤
0.001) antara kadar asam urat yang tinggi dengan derajat stenosis koroner yang
dikategorikan melalui skor gensini (Akanda,2012).
Universitas Sumatera Utara
2.5 Kerangka Teori
-
Gelatinase ↑↑
Elastase ↑↑
Kolagenase ↑↑Mieloperoksidase ↑↑
ROS ↑↑
Produksi NO↓↓
Aktivasi IL-2, IL-6, TNF
Aktivasi Vaskulogenesis ↑↑
Aktivasi makrofag ↑↑
Aterosklerosis
Oklusi arteri koroner pada SKA
Peningkatan pembentukan Adenosin
v
Peningkatan aktivitas xanthine oksidase
v
Peningkatan sintesis asam urat (hiperurisemia)
v
Kejadian klinis kardiovaskular
mayor(KKvM)selama perawatan :
•
Gagal jantung akut
•
Syok kardiogenik
•
Aritmia
•
Kematian
Gambar 2.5 Diagram Kerangka Teori (Sivakumar K dkk, 2014)
Universitas Sumatera Utara
2.6 Kerangka Konsep
Sindroma Koroner Akut (IMA STE,
IMA NSTE, APTS)
Kadar Asam Urat
Normal
Kadar Asam Urat
Tinggi (Hiperurisemia
Kejadian klinis kardiovaskular
mayor (KKvM) selama perawatan :
• Gagal jantung akut
• Syok kardiogenik
• Aritmia
• Kematian
Gambar 2.6 Diagram Kerangka Konsep
Universitas Sumatera Utara
Download