Pendugaan Parameter Genetik Beberapa Karakter

advertisement
4
TINJAUAN PUSTAKA
Botani dan Morfologi Cabai
Cabai termasuk tanaman dalam kingdom Plantae, divisi Magnoliophyta,
kelas Magnoliopsida, ordo Solanales, famili Solanaceae, genus Capsicum dan
spesies Capsicum annuum L. Terdapat lima spesies cabai yang telah
dibudidayakan yaitu Capsicum annuum (cabai besar), Capsicum frutescens (cabai
rawit), Capsicum chinense, Capsicum baccatum, dan Capsicum pubescens (cabai
gendot). C. annuum, C. chinense dan C. frutescens mempunyai sifat yang mirip.
Terdapat sembilan varietas dalam Capsicum annuum yaitu Capsicum annuum var.
abreviatum, Capsicum annuum var. acuminatum, Capsicum annuum var.
cerasiforme, Capsicum annuum var. conoides, Capsicum annuum var.
fasciculatum, Capsicum annuum var. grossum, Capsicum annuum var. annuum,
Capsicum annuum var. glabriusculum dan Capsicum annuum var. longum (Irish
1898 dalam: Djarwaningsih 2005). Sembilan varietas tersebut dapat dibedakan
berdasarkan bentuk, ukuran, posisi buah (tegak atau menggantung), warna dan
rasanya.
Capsicum annuum L. berupa terna atau setengah perdu, dengan tinggi 45100 cm, biasanya hanya semusim. Bunga tunggal dan muncul di bagian ujung
ranting, posisinya menggantung, mahkota bunga berwarna putih atau ungu,
berbentuk seperti bintang. Kelopak seperti lonceng. Buah tunggal pada setiap
ruas, bervariasi dalam ukuran, bentuk, warna dan tingkat kepedasan; bentuk buah
seperti garis, menyerupai kerucut, seperti tabung memanjang, seperti lonceng atau
berbentuk bulat; warna buah setelah masak bervariasi dari merah, jingga, kuning
atau keunguan; posisi buah menggantung. Biji berwarna kuning pucat. C. annuum
var. glabriusculum diduga merupakan nenek moyang liar dari tanaman budidaya
C. annuum var. annuum dan di antara keduanya dapat terjadi persilangan secara
bebas dan mudah. Varietas glabriusculum ini mempunyai ciri-ciri buah dengan
rasa sangat pedas, garis tengah kurang dari 13 mm, posisi buah tegak dan mudah
luruh yang berlawanan dengan ciri-ciri budidayanya (Djarwaningsih 2005).
Capsicum baccatum L. berupa terna atau setengah perdu, dengan tinggi
45-75 cm, biasanya berumur hanya semusim. Bunga tunggal dan muncul di
5
bagian ujung ranting, posisinya tegak atau menggantung; mahkota bunga
berwarna putih dengan bercak-bercak kuning pada tabung mahkotanya, berbentuk
seperti bintang. Kelopak seperti lonceng. Buah tunggal pada setiap ruas; bentuk
buah bulat memanjang; warna buah ketika masih muda dapat merah, jingga,
kuning, hijau atau coklat dan setelah masakpun bervariasi dari jingga, kuning
sampai merah; posisi buah tegak atau menggantung. Biji berwarna kuning pucat.
Capsicum baccatum var. baccatum mempunyai ciri-ciri: mahkota bunga berwarna
putih dengan bercak kuning pada tabung mahkotanya, kepala sari berwarna
kuning, buahnya berwarna merah dengan posisi tegak dan mudah luruh bila sudah
masak. C. baccatum var. baccatum tersebut diduga merupakan nenek moyang liar
dari C. baccatum var. pendulum karena keduanya dapat menghasilkan hibrid fertil
(Djarwaningsih 2005).
Capsicum frutescens L. berupa terna atau setengah perdu, tinggi 50150 cm, hidupnya dapat mencapai 2 atau 3 tahun. Bunganya muncul berpasangan
atau bahkan lebih di bagian ujung ranting, posisinya tegak, mahkota bunga
berwarna kuning kehijauan, berbentuk seperti bintang. Buah muncul berpasangan
atau bahkan lebih pada setiap ruas, biasanya rasanya sangat pedas, kadang-kadang
mempunyai bentuk buah bulat memanjang atau berbentuk setengah kerucut.
Warna buah setelah masak adalah merah, posisi buah tegak. Biji berwarna kuning
pucat (Djarwaningsih 2005).
Capsicum pubescens, berupa perdu, tinggi 45-113 cm, biasanya hanya
semusim. Bunga tunggal atau kadang-kadang menggerombol berjumlah 2-3 pada
tiap ruas, posisinya tegak; mahkota bunga berwarna ungu, berbulu, berbentuk
seperti bintang. Kelopak berwarna hijau, berbulu. Buah tunggal atau muncul
bergerombol berjumlah 2-3 pada setiap ruas, rasanya pedas; buahnya berbentuk
bulat telur; warna buah setelah masak bervariasi ada yang merah, jingga atau
coklat; posisi buah menggantung, biji berwarna hitam (Djarwaningsih 2005).
Nenek moyang liarnya masih belum diketahui, tetapi jenis ini menunjukkan
kekerabatan yang erat dengan jenis-jenis liar dari Amerika Selatan yaitu C.
eximium, C. cardenasii dan C. tovari, dan salah satu di antaranya diduga
merupakan nenek moyang liarnya (Heiser 1986). Di Indonesia baru diketahui
6
ditanam di Jawa (Ciwidey, Sindanglaya, Cibodas dan dataran tinggi Dieng)
(Djarwaningsih 1986).
Capsicum chinense, berupa terna atau setengah perdu, tinggi 45-90 cm.
Bunga menggerombol berjumlah 3-5 pada tiap ruas, posisinya tegak atau
merunduk; mahkota bunga berwarna kuning kehijauan, berbentuk seperti bintang.
Buah muncul bergerombol berjumlah 3 -5 pada setiap ruas, panjangnya dapat
mencapai 12 cm, rasanya sangat pedas; mempunyai bentuk buah yang bervariasi
dari bulat dengan ujung berpapila, berbentuk seperti lonceng atau kerucut. Biji
berwarna kuning pucat (Djarwaningsih 2005). Jenis ini tersebar hampir meluas di
Amerika Selatan bagian utara dan India Barat serta dibudidayakan sangat umum
di daerah Amazone. Buahnya bervariasi dalam ukuran dan warna serta
mempunyai rasa yang sangat pedas. Sejauh ini nenek moyang liarnya belum
ditemukan, tetapi diduga berasal dari tipe liar C. frutescens. Hal ini dimungkinkan
karena C. chinense berkerabat dekat dengan C. frutescens (Heiser 1986).
Cabai termasuk tanaman dikotil yang berbentuk semak, batangnya
berkayu, tipe percabanganya tegak atau menyebar dengan karakter yang berbedabeda tergantung spesiesnya. Untuk membedakan ketiganya dapat mengamati
komposisi bunga dan buah dari masing-masing spesies (Kusandriani 1996).
Diantara kultivar-kultivar cabai terdapat perbedaan kepala putik terhadap kotak
sari yang disebut heterostyly. Tanaman cabai merupakan tanaman tropika yang
memiliki sifat menyerbuk sendiri dengan variasi penyerbukan silang yang tinggi
tergantung genotipe dan lingkungan (Dascalov 1998). Persilangan (crossing)
sering terjadi pada bunga yang memiliki tangkai putik (stilus) yang panjang dan
kepala putik (stigma) lebih tinggi dari pada kotak sari. Penyerbukan sendiri terjadi
pada bunga yang memiliki tangkai sari yang pendek, sehingga letak kepala putik
lebih rendah dari pada kepala sari (Kusandriani dan Permadi 1996).
Capsicum
annuum
L.
merupakan
spesies
yang
paling
banyak
dibudidayakan dan bernilai secara ekonomis. Spesies ini secara umum memiliki
ciri-ciri morfologi dengan struktur perakaran yang diawali dari akar tunggang
yang sangat kuat dan bercabang-cabang ke samping dengan akar-akar rambut
(Kusandriani 1996). Rubatzky dan Yamaguchi (1999) menyatakan bahwa akar
tunggang yang kuat pada cabai dapat menghujam ke dalam hingga mencapai
7
kedalaman satu meter bahkan lebih. Spesies ini diperkirakan mempunyai pusat
asal di Meksiko, kemudian menyebar ke daerah Amerika Selatan dan Tengah, ke
Eropa dan sekarang telah tersebar luas di daerah tropik dan subtropik.
Tanaman cabai memiliki tangkai daun yang panjang, daun tunggal dengan
helai daun berbentuk ovate atau lanceolate, agak kaku, berwarna hijau sampai
hijau tua dengan tepinya rata. Daun tumbuh pada tunas-tunas samping secara
berurutan, sedangkan pada batang utama daun tersebut tersusun secara spiral.
Daun berbulu lebat atau jarang, tergantung pada spesiesnya (Kusandriani 1996).
Bunga tanaman cabai umumnya bersifat tunggal dan tumbuh pada ujung
ruas, serta merupakan bunga sempurna (hermafrodit). Bunga jantan dan betina
terdapat pada satu bunga. Mahkota bunga berwarna putih atau ungu tergantung
kultivarnya, helaian mahkota bunga berjumlah lima atau enam helai. Pada dasar
bunga terdapat daun buah berjumlah lima helai kadang-kadang bergerigi. Setiap
bunga mempunyai satu putik, kepala putik berbentuk bulat. Benang sari berjumlah
lima sampai delapan helai benang sari dengan kepala sari berbentuk lonjong.
Ukuran buah cabai beragam dari pendek sampai panjang, sedangkan
ujungnya runcing atau tumpul. Bentuk buah umumnya memanjang. Kedudukan
buah adalah buah tunggal pada masing-masing ruas (ketiak daun) atau kadangkadang fasciculate (bergerombol). Permukaan kulit dan warna buah bervariasi
dari halus sampai bergelombang, warna mengkilat sampai kusam, hijau, kuning,
coklat atau kadang-kadang ungu pada waktu muda dan menjadi merah ketika
matang (Kusandriani 1996).
Syarat Tumbuh Cabai
Tanaman cabai dapat ditanam di dataran rendah maupun dataran tinggi
hingga mencapai ketinggian 1 400 m dpl, namun pertumbuhan cabai akan lebih
cepat pada dataran rendah (Sutarya dan Grubben 1995). Sumarni (1996)
menyatakan tanaman cabai dapat dibudidayakan pada daerah dengan ketinggian
tempat hingga 2 000 m dpl. Cabai tumbuh optimal di tanah regosol dan andosol.
Kadar keasaman (pH) tanah yang cocok untuk penanaman cabai secara intensif
adalah 6-7. Apabila ditanam pada tanah yang mempunyai pH lebih dari tujuh
maka tanaman cabai akan menyebabkan tanaman menjadi kerdil dan gejala
8
klorosis atau daun menguning yang disebabkan kekurangan unsur hara besi (Fe).
Pada tanah yang mempunyai pH yang kurang dari lima tanaman cabai juga akan
menjadi kerdil karena kekurangan unsur hara kalsium (Ca) dan Magnesium (Mg)
atau keracunan Aluminium (Al). Ketinggian tempat berpengaruh pada jenis hama
dan penyakit yang menyerang cabai. Di dataran tinggi, penyakit yang menyerang
biasanya disebabkan oleh cendawan. Di lahan dataran rendah biasanya penyakit
yang menyerang disebabkan oleh bakteri.
Curah hujan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan produksi buah
cabai. Curah hujan yang ideal untuk bertanam cabai adalah 1 000 mm/tahun.
Curah hujan yang rendah menyebabkan tanaman kekeringan dan membutuhkan
air untuk penyiraman. Sebaliknya, curah hujan yang tinggi bisa merusak tanaman
cabai serta membuat lahan penanaman dengan kelembaban yang tinggi.
Kelembaban yang cocok bagi tanaman cabai berkisar antara 70-80%, terutama
saat pembentukan bunga dan buah. Kelembaban yang melebihi 80% memacu
pertumbuhan cendawan yang berpotensi menyerang dan merusak tanaman.
Sebaliknya, iklim yang kurang dari 70% membuat cabai kering dan mengganggu
pertumbuhan generatifnya, terutama saat pembentukan bunga, penyerbukan, dan
pembentukan buah.
Suhu optimum untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman cabai yaitu
20 – 250C untuk siang hari dan 200C untuk malam hari. Tanaman dan buah cabai
rentan terhadap kerusakan suhu dingin. Suhu rendah cenderung membatasi
perkembangan aroma dan warna. Penyerbukan dan pembuahan optimum pada
suhu antara 20 – 250C, namun bunga tidak akan terbuahi pada suhu di bawah
160C atau di atas 320C karena produksi tepung sari yang tidak baik (Rubatzky dan
Yamaguchi 1997). Menurut Pitojo (2003) curah hujan yang terlalu tinggi dapat
menyebabkan kelembaban udara meningkat dan mendorong pertumbuhan
penyakit tanaman.
Pemuliaan Tanaman Cabai
Cabai termasuk jenis tanaman menyerbuk sendiri, walaupun ada
kemungkinan menyerbuk silang, dimana penyerbukan silang sering terjadi di
lapangan, terutama oleh serangga atau angin. Proses pemuliaan tanaman cabai
9
diawali dengan mendapatkan variabilitas genetik, kemudian melalui kegiatan
seleksi pada sumber genetik yang bervariasi dilakukan persilangan dan seleksi
lanjutan (Kusandriani dan Permadi 1996). Proses selanjutnya adalah pemurnian,
uji generasi lanjut, uji multilokasi, kemudian pelepasan varietas.
Salah satu kegiatan pemuliaan yang sangat penting adalah menciptakan
keragaman genetik. Sumber keragaman genetik dapat diperoleh dengan cara
introduksi, hibridisasi, mutasi dan lain-lain. Hibridisasi antara tanaman dengan
sifat yang berbeda merupakan cara yang umum dilakukan untuk mendapatkan
variasi genetik dalam populasi. Menurut Hilmayanti et al. (2006) pada umumnya
pemuliaan tanaman cabai dilakukan melalui hibridisasi yang diikuti dengan
seleksi. Poehlman dan Sleper (1995) menyatakan keragaman genetik juga dapat
terjadi melalui mutasi, poliploidisasi, persilangan interspesifik dan rekayasa
genetika.
Setelah terbentuk keragaman genetik maka perlu dilakukan tahapan
seleksi. Kusandriani dan Permadi (1996) mengemukkan bahwa metode pemuliaan
pada tanaman cabai yang digunakan pada umumnya adalah seleksi massa, seleksi
galur murni, silang balik (backcross), seleksi pedigree, dan SSD (Single Seed
Descent). Seleksi merupakan inti dari pemuliaan tanaman yang memiliki
hubungan erat dengan tujuan pemuliaan tanaman. Allard (1960) menyatakan
bahwa kenaikan hasil merupakan tujuan utama bagi pemuliaan tanaman dan
upaya untuk meningkatkan hasil atau perbaikan sifat tanaman, diperlukan
kegiatan pemuliaan tanaman. Hal tersebut dapat dilakukan dengan melakukan
seleksi, namun kegiatan seleksi memerlukan informasi tentang genetik dan
pewarisannya sehingga seleksi dapat efektif dan efisien.
Karakter kualitatif dan kuantitatif
Karakter kualitatif adalah karakter yang dapat dibedakan berdasarkan
kelas atau jenis, misal: warna bunga, ketahanan terhadap penyakit, bentuk buah
dan lain-lain. Bentuk sebaran karakter kualitatif adalah tegas, gen pengendali
karakter kualitatif berupa gen mayor, serta karakter kualitatif sangat sedikit
dipengaruhi oleh lingkungan. Mangoendidjojo (2003) menyatakan bahwa cara
pengambilan data pada karakter kualitatif dapat dilakukan secara visualisasi baik
10
dengan kontrol yang telah distandarisasi maupun dengan skoring (penilaian).
Karakter kualitatif lebih cenderung mengikuti sebaran Mendel yaitu sebarannya
tidak normal.
Tanaman pada generasi F2 akan mengalami segregasi sesuai dengan
hukum Mendel. Aksi dan interaksi gen yang berbeda akan membuat pola
segregasi berbeda. Tipe aksi gen dapat dibedakan menjadi dua, yaitu interaksi
antar alel pada lokus yang berbeda (interlokus) dan interaksi antar alel pada lokus
yang sama (intralokus). Karakter kualitatif yang dikendalikan oleh satu lokus dua
alel per lokus maka interaksi intralokus dominan akan menghasilkan
perbandingan segregasi fenotipe 3 : 1 pada keturunan F2, sedangkan jika tidak ada
dominansi menghasilkan nisbah 1 : 2 : 1. Pada karakter yang dikendalikan dua
lokus dengan dua alel per lokus akan menghasilkan nisbah 12 : 3 : 1 jika interaksi
interlokus epistasis dominan, 9 : 3 : 4 untuk epistasis resesif, 15 : 1 untuk
duplikasi epistasis dominan, 9 : 7 untuk duplikasi epistasis resesif, dan 13 : 3
untuk interaksi inhibitor/epistasis dominan-resesif (Welsh 1991). Tabel 1,
menunjukkan contoh nisbah sebaran fenotipik populasi F2 pada karakter resistensi
tanaman terhadap penyakit.
Tabel 1. Nisbah Sebaran Populasi F2 pada Karakter Resistensi Tanaman Terhadap
Penyakit (Roy 2000 dimodifikasi oleh Yunianti 2007)
Tipe Ketahanan
1. Dikendalikan 1 pasang gen
a. Dominan
b. Resesif
2. Dikendalikan 2 pasang gen
a. Dominan
b. Epistasis resesif
c. Epistasis dominan
d. Epistasis dominan-resesif
e. Epistasis resesif duplikat
f. Epistasis dominan duplikat
g. Interaksi duplikat
h. Interaksi kompleks
Tahan
Agak
Tahan
Rentan
Sangat
Rentan
3
1
-
-
1
3
9
9
12
13
9
15
9
10
3
3
6
3
3
3
-
1
4
1
3
7
1
1
3
Karakter kuantitatif adalah karakter yang dapat dibedakan berdasarkan
dari segi nilai ukuran dan bukan jenisnya, atau karakter-karakter yang
berhubungan dengan pertumbuhan tanaman atau hasil panen, umumnya
11
merupakan karakter-karakter yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Hal ini
dapat terjadi karena karakter-karakter ini dikendalikan oleh sejumlah gen dimana
pengaruh masing-masing gen terhadap penampilan karakter (fenotipe) lebih kecil
dibandingkan pengaruh lingkungan, walaupun secara bersama-sama gen-gen
tersebut dapat mempunyai pengaruh yang lebih besar dari pengaruh lingkungan.
Gen-gen yang demikian disebut gen minor. Mangoendidjojo (2003) menyatakan
bahwa pada karakter kuantitatif, pengambilan data memerlukan pengukuran
terhadap peubah yang diamati. Karakter kuantitatif lebih cenderung mengikuti
sebaran normal. Pada penelitian Hari et al. (2005) menunjukkan bahwa sebaran
frekuensi karakter panjang dan diameter buah pada populasi F2 tanaman tomat
menyebar normal dan dikendalikan oleh banyak gen.
Karakter kuantitatif cenderung mengikuti sebaran normal dan kontinyu.
Pantalone et al. (1996) menyatakan bahwa data yang bersifat poligenik
mempunyai sebaran normal dan bersifat kontinyu. Selanjutnya Roy (2000)
menambahkan bahwa karakter yang dikendalikan oleh banyak gen ditunjukkan
oleh nilai kurtosis < 3 (berbentuk platykurtic), sedangkan karakter yang
dikendalikan oleh sedikit gen ditunjukkan oleh nilai kurtosis > 3 (berbentuk
leptokurtic). Karakter yang dikendalikan oleh aksi gen aditif dengan pengaruh
aksi gen epistasis duplikat ditunjukkan oleh sebaran yang tidak normal dan nilai
skewness yang bertanda negatif, sedangkan karakter yang dikendalikan oleh aksi
gen aditif dengan pengaruh aksi gen epistasis komplementer ditunjukkan oleh
sebaran yang tidak normal dan nilai skewness yang bertanda positif.
Heritabilitas
Heritabilitas adalah hubungan antara ragam genotipe dengan ragam
fenotipenya (potensi suatu individu untuk mewariskan karakter tertentu pada
keturunannya). Seberapa besar keragaman fenotipe yang terwariskan, diukur oleh
parameter yang disebut heritabilitas (Sujiprihati et al. 2003). Hubungan ini
menggambarkan seberapa jauh fenotipe yang tampak merupakan refleksi dari
genotipe. Sesuai dengan komponen ragam genetiknya. heritabilitas dibedakan
menjadi dua yaitu heritabilitas dalam arti luas (broad-sense heritability) dan
heritabilitas dalam arti sempit (narrow-sense heritability). Heritabilitas dalam arti
12
luas merupakan perbandingan antara ragam genetik total dengan ragam fenotipe
(h2bs = σ2g / σ2p). Poehlman (1995) menambahkan ragam genetik total (σ2g)
terdiri dari ragam genetik aditif (σ2a) ragam genetik dominan (σ2d) dan ragam
genetik epistasis (σ2i). Heritabilitas dalam arti sempit merupakan perbandingan
antara ragam aditif dan ragam fenotipe (h2ns = σ2a / σ2p).
Umumnya heritabilitas dalam arti sempit banyak mendapatkan perhatian
karena pengaruh aditif dari tiap alelnya diwariskan dari tetua kepada
keturunannya. Kontribusi penampilan tidak tergantung pada adanya interaksi antar
alel. Dalam pemuliaan tanaman, seleksi sifat-sifat yang dikendalikan oleh gen
aditif diharapkan mendapatkan kemajuan seleksi yang besar dan cepat.
Pada tanaman, ada banyak metode untuk menduga nilai heritabilitas dan
komponen ragam. Heritabilitas dapat diduga dengan menggunakan cara antara
lain dengan perhitungan ragam turunan, dengan regresi parent offspring dan
dengan perhitungan komponen ragam dari analisis ragam. Metode yang
digunakan untuk menduga nilai tersebut tergantung dari populasi yang dimiliki
oleh pemulia dan tujuan yang ingin dicapai. Nilai heritabilitas dikatakan rendah
apabila kurang dari 20%, cukup tinggi pada 20-50%, tinggi jika lebih dari 50%.
Akan tetapi nilai-nilai ini sangat tergantung dari metode dan populasi yang
digunakan (Sujiprihati et al. 2003).
Nilai heritabilitas sangat diperlukan dalam memilih karakter yang akan
dijadikan kriteria seleksi. Seleksi dapat dilakukan secara langsung terhadap
karakter yang ingin diperbaiki atau secara tidak langsung dengan menggunakan
karakter yang lainnya, misalnya seleksi untuk meningkatkan daya hasil dapat
dilakukan secara langsung dengan memilih genotipe yang mempunyai daya hasil
tinggi jika daya hasil mempunyai nilai heritabilitas tergolong sedang atau tinggi.
Jika daya hasil mempunyai nilai heritabilitas rendah maka lebih baik seleksi
dilakukan secara tidak langsung menggunakan karakter yang lain. Pemilihan
karakter selain daya hasil untuk dijadikan kriteria seleksi adalah berdasarkan nilai
heritabilitas dan keeratan hubungan masing-masing karakter dengan daya hasil.
13
Pewarisan Ekstrakromosomal
Yunianti
dan
Sujiprihati
(2006)
menyatakan
bahwa
pewarisan
ekstrakromosomal adalah pewarisan yang dikendalikan oleh gen yang ada di luar
inti. Ciri-ciri suatu karakter diwariskan secara ekstrakromosomal adalah (1) zuriat
hasil persilangan berbeda dengan zuriat hasil persilangan resiprokalnya, (2) tetua
betina memberikan sumbangan yang lebih besar kepada zuriatnya dibandingkan
tetua jantan, sehingga karakter-karakter keturunan mewarisi karakter dari tetua
betinanya, (3) karakter-karakter tersebut tidak dapat dipetakan pada kromosom
atau kelompok keterpautan tertentu, (4) tidak terjadi segregasi pada karakter
tersebut, (5) nisbah segregasi tidak mengikuti hukum Mendel.
Terdapat tiga kategori pewarisan ekstrakromosomal, yaitu pewarisan
menular, pewarisan sitoplasmik (pewarisan maternal) dan efek maternal (Yunianti
dan Sujiprihati 2006). Pada tanaman umumnya hanya dikenal 2 tipe yaitu
pewarisan sitoplasmik dan efek maternal.
Pewarisan sitoplasmik terjadi apabila faktor yang menentukan karakter
zuriat terdapat di luar nukleus. Pemindahan faktor tersebut hanya berlangsung
melalui sitoplasma dan bertahan selama beberapa generasi. Organel di luar
nukleus yang berpotensi sebagai pembawa faktor pewarisan sitoplasmik pada
tanaman adalah kloroplas dan mitokondria. Menurut Mogensen dan Rusche
(2000) plastid pada tanaman dapat diwariskan dari tetua kepada zuriat melalui tiga
cara yaitu maternal, paternal dan biparental. Namun studi pada kebanyakan
tanaman berbunga menunjukkan bahwa plastid tanaman diwariskan secara
maternal. Disamping itu menurut Russel (1998) pewarisan sitoplasmik terjadi
karena jumlah sitoplasma gamet betina biasanya jauh lebih banyak daripada
sitoplasma gamet jantan.
Efek maternal terjadi apabila genotipe nukleus dari tetua betina
menentukan fenotipe zuriatnya, tanpa dipengaruhi oleh tetua jantan, sehingga
apapun genotipe zuriatnya, fenotipenya akan sama dengan tetua betina. Biasanya
efek ini hanya berpengaruh pada satu generasi. Roach dan Wuff (1987)
mengemukakan terdapat tiga tipe efek maternal yaitu genetik sitoplasmik,
fenotipik maternal dan pembuahan ganda. Yunianti dan Sujiprihati (2006)
menyatakan bahwa terdapat efek maternal pada pewarisan rasa pahit pada
14
kecambah
tanaman
lupin.
Efek
maternal
dapat
terlihat
dengan
cara
membandingkan turunan pertama (F1) dan turunan pertama resiprokal (F1R).
Menurut Stansfield (1991) apabila suatu karakter dipengaruhi oleh tetua betina
maka keturunan persilangan resiprokalnya akan memberikan hasil yang berbeda,
dan keturunannya hanya memperlihatkan ciri dari tetua betina. Gardner dan
Snustad (1984) menyatakan bahwa antara keturunan F1 dengan keturunan F1
resiproknya tidak dapat digabung karena segregasi populasi F2 akan berbeda dan
tidak mengikuti hukum Mendel. Sebaliknya, apabila tidak terdapat pengaruh tetua
betina (dikendalikan oleh gen inti), persilangan resiprokal dapat digabungkan
untuk memperoleh keturunan berikutnya dan segregasi F2 akan mengikuti hukum
Mendel.
Derajat Dominansi dan Jumlah Gen Pengendali
Derajat dominansi terkait dengan besaran nilai potensi gen tetua yang
terwariskan kepada zuriat. Terdapat dua tipe derajat dominansi yaitu derajat
dominansi yang berupa interaksi alel pada lokus yang sama (intralokus) dan
derajat dominansi yang berupa interaksi alel pada lokus yang berbeda (interlokus).
Gen yang saling berinteraksi memiliki beberapa kemungkinan pengaruh
derajat dominansi yaitu derajat dominansi aditif, dominan dan epistasis. Derajat
dominansi aditif merupakan besarnya nilai tengah populasi heterozigot (F1) yang
sama dengan rataan nilai tengah antar populasi homozigot/tetua (MP). Derajat
dominansi dominan merupakan besarnya populasi heterozigot (F1) yang melebihi
rataan nilai tengah populasi tetua/MP (dominan parsial) atau setara dengan nilai
tengah populasi tetua (dominan lengkap) atau melebihi nilai tengah populasi tetua
(over dominan). Mangoendidjojo (2003) mengemukakan derajat dominansi
epistasis memiliki pola perbandingan nilai tengah F1 yang beragam terhadap nilai
tengah populasi tetua, hal ini disebabkan derajat dominansi pada suatu lokus yang
bersifat saling menutupi pengaruh gen pada lokus lain.
Derajat dominansi dapat diduga dengan menghitung nilai potensi rasio
(hp). Menurut Petr dan Frey (1966) jika nilai hp suatu karakter yang berada pada
kisaran 0 dan 1 menunjukkan bahwa karakter tersebut dikendalikan oleh aksi gen
dominan positif tidak sempurna, jika nilai hp suatu karakter yang berada pada
15
kisaran -1 dan 0 menunjukkan bahwa karakter tersebut dikendalikan oleh aksi gen
dominan negatif tidak sempurna, jika nilai hp = 0 menunjukkan karakter tesebut
tidak ada dominansi, jika hp = 1 atau hp = -1 menunjukkan karakter tersebut
dikendalikan aksi gen dominan sempurna dan jika hp < -1 atau
hp > 1
menunjukkan karakter tersebut dikendalikan aksi gen over dominan.
Jumlah gen pengendali menunjukkan jumlah gen-gen yang efektif yang
mengendalikan ekspresi suatu karakter. Jumlah gen yang sebenarnya tidak dapat
diketahui, hanya menduga jumlah gen-gen yang berkumpul dalam mengendalikan
ekspresi suatu karakter.
Aksi Gen
Aksi gen adalah bagaimana gen mengendalikan ekspresi fenotipe. Aksi
gen ditentukan oleh bentuk interaksi yang terjadi baik interaksi antar alel pada
lokus yang sama (dominan), maupun interaksi antar alel pada lokus yang berbeda
(epistasis). Untuk karakter kuantitatif maka interaksi gen dapat terlihat dari
perbedaan penambahan nilai oleh suatu alel pada total nilai suatu genotipe.
Menurut Mather dan Jink (1982) untuk menentukan tipe dan besaran aksi
gen yang terlibat pada suatu pewarisan karakter kuantitatif dapat dilakukan
dengan menguji kesesuaian model aditif dan dominan dengan uji skala individu
dan uji skala gabungan. Uji nyata secara statistik untuk berbagai efek gen dari
model ini ditentukan dengan perhitungan galat baku dari ragam nilai tengah
populasi-populasi yang bersangkutan.
Jika model aditif-dominan dapat menjelaskan pengaruh gen terhadap nilai
tengah suatu generasi dan tidak terdapat interaksi antar lokus, maka selisih antara
nilai tengah yang diamati dengan nilai harapan suatu generasi sama dengan nol.
Dalam penentuan model genetik dengan menggunakan komponen rata-rata
generasi harus memenuhi beberapa asumsi antara lain kedua tetua homozigot,
pola pewarisan diploid, tidak ada keterpautan gen, tidak ada pengaruh tetua
betina, tidak ada interaksi antara genotipe dengan lingkungan dan interaksi hanya
terjadi antara dua gen dengan dua alel (Allard 1960).
Mather dan Jink (1982) menyatakan terdapat enam komponen genetik
dalam menentukan suatu model genetik yang lengkap yaitu pengaruh rata-rata
16
[m], jumlah pengaruh aditif [d], jumlah pengaruh dominan [h], jumlah pengaruh
interaksi aditif x aditif [i], jumlah pengaruh interaksi aditif x dominan [j] dan
jumlah pengaruh interaksi dominan x dominan [l]. Model genetik yang diuji
adalah kombinasi dari keenam komponen genetik tersebut. Ada maksimum
delapan model genetik yang dapat diuji yaitu satu model dua komponen genetik
(m[d]), satu model tiga komponen (m[d][h]) yang merupakan model aditifdominan, tiga model empat komponen (m[d][h][i], m[d][h][j], dan m[d][h][l]),
tiga model lima komponen (m[d][h][i][j], m[d][h][i][l], dan m[d][h][j][l]),
sedangkan model genetik enam komponen tidak dapat diuji.
Apabila model menunjukkan kesesuaian dengan model aditif-dominan
(m[d][h]) dengan uji-t, maka pengujian tidak dilanjutkan ke model selanjutnya
karena dianggap tidak ada interaksi non alelik (Hill et al. 1998). Apabila model
aditif-dominan tidak sesuai maka dilakukan pengujian secara bertahap mulai dari
model dua, tiga, empat, hingga lima komponen genetik. Model paling sesuai jika
nilai X2hitung menunjukkan nilai terkecil dan lebih kecil dari X2tabel.
Berdasarkan model genetik yang paling sesuai, maka dapat diduga
besarnya nilai komponen genetik tersebut beserta dengan galat bakunya. Nyata
tidaknya peran komponen genetik tersebut diuji dengan membandingkan t-hitung
dengan t-tabel = 1.96, seperti pada uji skala individu (Singh dan Chaudhary 1979;
Mather dan Jink 1982).
Download