1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara yang ikut meratifikasi The Convention on
the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) dan tertuang dalam Undang-Undang
Negara Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011. CRPD merupakan sebuah konvensi
internasional yang memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas, yaitu setiap
penyandang disabilitas harus bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang kejam, tidak
manusiawi, merendahkan martabat manusia, bebas dari eksploitasi, kekerasan dan
perlakuan semena-mena, serta memiliki hak untuk mendapatkan penghormatan atas
integritas mental dan fisiknya berdasarkan hak yang sama dengan orang lain.
Beberapa kota di Indonesia turut mendukung keputusan pemerintah untuk ikut
meratifikasi The Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD). Kota-kota
tersebut adalah Yogyakarta dan Surakarta. Yogyakarta merupakan salah satu kota yang
pertama kali mendeklarasikan sebagai kota inklusi. Kepala Badan Perencanaan dan
Pembangunan Daerah Bappeda Yogyakarta mengatakan bahwa akses yang akan
disediakan bukan hanya terbatas pada pemenuhan sarana dan prasarana fisik saja, namun
juga akan disediakan akses non fisik, seperti diberikannya kesempatan bekerja bagi
penyandang disabilitas (Widiyanto, 2015). Kota lain yang juga mendeklarasikan sebagai
kota inklusi adalah kota Surakarta. Tujuan dari pencanangan sebagai kota inklusi adalah
untuk mensosialisasikan pendidikan inklusi serta untuk mendukung Solo sebagai Kota
Layak Anak (KLA) (Putri, 2013).
Upaya untuk memperjuangkan hak-hak penyadang disabilitas menjadi suatu hal
yang penting karena jumlah penyandang disabilitas di Indonesia tidak sedikit, bahkan
Aravena (2013) menyatakan bahwa data mengenai jumlah penyandang disabilitas akan
1
2
terus meningkat seiring dengan meningkatnya umur seseorang, terjadinya kecelakaan, dan
berlangsungnya bencana alam. Jumlah penyadang disabilitas di Indonesia pada tahun 2012
ada sekitar 2.45 % dari total penduduk Indonesia, jadi jumlah penyandang disabilitas
kurang lebih ada sekitar 6 juta orang.
Selain itu, peran penyandang disabilitas di
masyarakat juga terbatas. Hal tersebut dibuktikan dengan jumlah penyandang disabilitas
yang tidak bekerja ada sekitar 1.389.420 orang dan hanya ada sekitar 320.841 penyandang
disabilitas yang bekerja (Kementrian Kesehatan RI, 2012).
Penyandang disabilitas juga hanya memperoleh kesempatan pendidikan yang
terbatas. Hal itu dibuktikan dengan data dari Pusdatin Kementrian Sosial RI (2012) yang
menyatakan bahwa ada sekitar 838.343 penyandang disabilitas yang tidak sekolah atau
tidak lulus SD dan hanya ada sekitar 551.176 penyadang disabilitas yang memperoleh
pendidikan. Tingkat pendidikan yang diperoleh para penyandang disabilitas didominasi
oleh tingkat pendidikan SD. Kondisi yang demikian itulah yang membutuhkan perhatian
khusus dan menjadi suatu hal yang penting untuk diteliti, mengingat Indonesia telah ikut
meratifikasi CRPD (The Convention on the Rights of Persons with Disabilities) untuk
memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas. Keputusan tersebut harus diimbangi
dengan adanya upaya nyata yang melibatkan semua pihak termasuk masyarakat,
penyandang disabilitas, serta pemerintah.
Salah satu disabilitas yang perlu memperoleh perhatian dari pemerintah dan
masyarakat adalah penyandang disabilitas daksa, khususnya remaja penyandang disabilitas
daksa karena jumlah remaja penyandang disabilitas daksa yang cukup banyak. Tahun
2010, jumlah penduduk usia 10-14 tahun yang mengalami disabilitas daksa tingkat parah
ada 11.688 untuk perempuan dan 8.978 untuk laki-laki. Sedangkan jumlah disabilitas
daksa tingkat parah pada usia 15-19 tahun ada 10.120 untuk perempuan dan laki-laki ada
7.886 orang.
3
Selain jumlah remaja penyandang disabilitas daksa yang cukup banyak, Santrock
(2011) juga menyatakan bahwa remaja mulai membangun diri ideal, sehingga remaja
mulai membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain berdasarkan diri ideal yang telah
dibuatnya. Oleh karena itu, seringkali remaja menjadi tidak realistis dengan kondisi
fisiknya. Hurlock (1999) juga menyatakan bahwa remaja seringkali khawatir terhadap
bentuk fisiknya yang tidak sesuai dengan standar budaya yang berlaku karena adanya
reaksi sosial dari masyarakat yang berbeda jika kondisi fisik mereka tidak sama dengan
standar budaya yang berlaku. Kondisi demikian yang sering dialami oleh remaja, tidak
terkecuali remaja penyandang disabilitas daksa.
Hallahan & Kauffman (1994) menyatakan bahwa seringkali remaja dengan cacat
fisik harus mengalami periode sulit dalam menerima kondisi dirinya. Cacat fisik
merupakan hal yang permanen dan mempengaruhi kondisi personal dan sosial, bahkan
bagi remaja dan individu dengan usia dewasa awal yang menyandang cacat fisik, memiliki
kemungkinan besar untuk mengalami depresi dan percobaan bunuh diri. Hal tersebut dapat
terjadi karena cacat fisik membuat stres secara psikologis. Kondisi yang demikian perlu
mendapat perhatian khusus, mengingat remaja sangat memperhatikan penampilan fisiknya,
sehingga kondisi disabilitas daksa pada remaja tersebut tidak berdampak negatif dalam
kehidupannya.
Terhambatnya fungsi organ juga dapat menghambat segala aktivitas dan partisipasi
sosial remaja penyandang disabilitas daksa. Berbagai hambatan yang mereka alami akan
menimbulkan berbagai permasalahan dalam dirinya maupun dalam interaksi sosialnya.
Berbagai penelitian menyatakan bahwa penyandang disabilitas daksa mengalami berbagai
permasalahan dalam kegiatan sosialnya, salah satunya adalah penyesuaian diri. Menurut
Gargiulo (2006) individu penyandang cacat fisik sering merasa sulit menyesuaikan diri.
Selain merasa sulit menyesuaikan diri, individu penyadang cacat juga merasa cemas,
4
menjadi lebih lemah, terganggu, terisolasi dan tidak bahagia, seringkali merasa menjadi
orang lain ketika harus berinteraksi dengan orang di sekitarnya. Mereka juga sering merasa
berbeda, merasa menjadi orang yang sangat kekurangan, serta sering merasa tidak sanggup
untuk hidup sama seperti anak-anak lainnya.
Hurlock (1999) juga menyatakan bahwa remaja yang mengalami cacat tubuh
seringkali terhambat aktivitasnya untuk melakukan hal-hal yang dapat dilakukan temanteman sebayanya. Akibatnya seringkali mereka merasa bahwa kemampuan mereka berbeda
dengan remaja yang memiliki kondisi fisik normal. Kondisi yang demikian seringkali
berpengaruh terhadap kemampuan penyesuaian dirinya. Pendapat tersebut juga didukung
oleh pendapat Hallahan & Kauffman (1994) yang menyatakan bahwa anak dengan cacat
tubuh menjadi lebih sulit beradaptasi, cemas, menjadi lebih lemah, dan terganggu dari
anak-anak yang menderita sakit stadium lanjut dan sudah tidak dapat disembuhkan.
Pernyataan-pernyataan tersebut didukung oleh kondisi yang ada di lapangan yang
menunjukkan bahwa beberapa remaja penyandang disabilitas daksa sulit berinteraksi
dengan remaja lainnya yang memiliki kondisi fisik normal. Remaja penyandang disabilitas
daksa lebih sering berinteraksi hanya dengan remaja sesama penyandang disabilitas daksa,
guru, dan keluarga mereka. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada tanggal 22
Januari 2015 dengan dua remaja penyandang disabilitas daksa, hasilnya menunjukkan
bahwa mereka jarang sekali menjalin hubungan dengan teman-teman sebayanya yang
memiliki kondisi fisik normal.
Wawancara pertama dilakukan dengan Ana (bukan nama asli) salah satu remaja
penyandang disabilitas daksa akibat MDP (Muscle Dystrophy Progressive). Subjek
mengatakan bahwa dirinya tidak pernah berinteraksi dengan teman-temannya yang ada di
rumah. Ana menceritakan bahwa teman-temannya menjauhinya semenjak dirinya lumpuh
dan harus berkursi roda. Hingga saat ini subjek hanya berinteraksi dengan teman-temannya
5
di sekolah dan keluarganya. Wawancara kedua dilakukan dengan Ayu (bukan nama asli),
remaja yang juga menggunakan kursi roda ini mengatakan bahwa dirinya tinggal di asrama
yang disediakan sekolah dan hanya berinteraksi dengan teman-teman asramanya dan guru
di sekolahnya. Subjek tidak pernah berinteraksi dengan orang di luar sekolah dan
asramanya.
Kondisi tersebut dapat memberikan gambaran bahwa interaksi mereka terhadap
lingkungan hanya terbatas pada lingkungan yang sama dengan mereka saja. Remaja
penyandang disabilitas daksa mengalami kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan
yang berbeda dari mereka. Hal tersebut akan menjadikan mereka mengalami kesulitan saat
harus keluar dari sekolah dan melanjutkan kehidupan mereka di lingkungan masyarakat
yang memiliki karakteristik beragam. Hal itu terjadi karena mereka memperkecil
interaksinya dengan masyarakat. Bahkan salah satu dari subjek yang diwawancara
mengungkapkan bahwa subjek malas berinteraksi dengan teman-teman di sekitar
rumahnya karena subjek merasa teman-temannya menjauhinya.
Kondisi tersebut sesuai dengan pernyataan Groce (2004) yang menyatakan bahwa
individu penyandang disabilitas daksa seringkali mendapatkan prasangka negatif dari
orang-orang akibatnya mereka merasa terisolasi dan mengalami diskriminasi. Pendapat
tersebut didukung oleh pendapat Cruickshank (1980) yang berpendapat bahwa individu
penyandang cacat seringkali dipandang sebagai individu yang tidak berkompeten atau
tidak menarik, sehingga orang lain cenderung ingin selalu membantu atau bahkan
cenderung ingin menghindarinya.
Penolakan dari teman-teman sebayanya memberikan dampak buruk bagi remaja
penyandang disabilitas daksa tersebut. Dampak yang mungkin muncul ketika remaja
mengalami
penolakan
dari
teman
sebayanya
adalah
kemungkinan
munculnya
psikopatologi. White (2005) mengatakan bahwa dampak yang muncul dari penolakan
6
teman sebaya antara lain, menarik diri, meningkatnya depresi, kecemasan, harga diri yang
negatif, penilaian diri negatif, meningkatnya agresivitas, kemungkinan akan mengalami
paranoid pada kehidupan mendatang
Dampak lain yang mungkin muncul adalah remaja merasa kesepian dan menurun
penilaian dirinya akibat gagal mengembangkan hubungan pertemanan (Santrock, 2011).
Erath, Kelly, Karen (2007) juga menyatakan bahwa rendahnya penerimaan teman sebaya
dapat membuat kecemasan sosial pada remaja sehingga muncul perasaan tidak berguna.
Perasaan tidak berguna akibat penolakan juga dapat lebih meningkat ketika orang-orang di
sekitar sering menganggap mereka tidak berdaya dan tidak dapat melakukan semuanya
sendiri. Kondisi yang demikian dapat memunculkan sikap untuk selalu menggantungkan
dirinya dengan orang lain.
Efendi (2006) menyatakan orang tua yang terlalu berlebihan dalam melindungi
individu penyandang disabilitas daksa dapat menyebabkan anak selalu mengandalkan
orang lain dalam segala hal, selain itu dapat menyebabkan individu penyandang disabilitas
daksa menjadi semakin tidak berdaya, sehingga kondisi tersebut menyebabkan penyandang
disabilitas daksa tidak mampu hidup mandiri.
Pendapat tersebut didukung oleh pendapat Bent, Tennant, Swift, Posnett, Scuffham,
& Chamberlain (2002) yang menyatakan bahwa anak muda dengan cacat fisik sering
mengalami kesulitan dalam mencapai otonomi pada saat mereka memasuki kehidupan
sebagai orang dewasa dan sebagai konsekuensinya adalah mereka masih terus
membutuhkan dukungan dari orang tua dan pelayanan sosial lainnya. Padahal otonomi
menjadi salah satu tugas perkembangan yang seringkali dituntut oleh remaja. Pernyataan
tersebut diperkuat oleh pendapat Hurlock (1980) yang menyatakan bahwa remaja ingin
melepaskan ketergantungannya terhadap orang tua atau orang dewasa di sekitarnya dengan
cara mencari rasa aman melalui kelompok sebayanya. Mereka seringkali merasa mandiri
7
sehingga remaja ingin mengatasi masalahnya sendiri, ingin merdeka, tidak suka diperintah
dan tidak mau mendapatkan bantuan dari orang tua ataupun gurunya. Kondisi yang
demikian sangat wajar dialami oleh remaja yang sedang mengalami perubahan sosial.
Hurlock (1980) diperkuat oleh pendapat Santrock (2003) menyatakan bahwa perubahan
sosial remaja lebih berfokus pada otonomi dan identitasnya.
Apabila tuntutan untuk memperoleh otonomi pada remaja penyandang disabilitas
daksa tidak terpenuhi, maka akan berdampak negatif kepada remaja itu sendiri. Remaja
penyandang disabilitas daksa dapat terus menggantungkan dirinya pada orang lain.
Fatimah (2008) menyatakan bahwa remaja yang seringkali mengalami konflik dalam
usahanya untuk memperoleh otonomi akan mengalami hambatan dalam penyesuaian diri
terhadap lingkungan sekitar.
Bynum & Kotchick pada tahun 2006 meneliti tentang kualitas hubungan ibu
dengan remaja dan otonomi sebagai prediktor dari penyesuaian psikososial pada remaja
Afrika Amerika. Hasilnya menunjukkan bahwa semakin tinggi otonomi remaja, maka
semakin tinggi pula penyesuaian psikososial remaja tersebut. Hal tersebut dijadikan
landasan asumsi bahwa otonomi yang tinggi pada remaja penyandang disabilitas daksa
dapat dihubungkan dengan penyesuaian diri remaja penyandang disabilitas daksa.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin melihat bagaimana hubungan antara penyesuaian
diri dengan otonomi pada remaja penyandang disabilitas daksa.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara otonomi pada remaja
penyandang disabilitas daksa dengan penyesuaian dirinya.
8
C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang mampu
memperluas perkembangan ilmu psikologi, terutama psikologi perkembangan untuk
menambah data-data empiris mengenai perkembangan remaja, khususnya remaja
penyandang disabilitas daksa.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi yang akan menjadi dasar
dalam menentukan kebijakan terkait dengan penyesuaian diri dan otonomi pada remaja
penyandang disabilitas daksa.
Download