BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Masalah Salah satu mata pelajaran yang wajib diajarkan dari bangku sekolah dasar sampai sekolah menengah atas adalah pelajaran matematika. Bahkan di beberapa jurusan di perguruan tinggi, matematika menjadi mata kuliah yang wajib ditempuh oleh mahasiswa. Matematika wajib untuk dipelajari karena matematika mempunyai peran penting dalam berbagai bidang kehidupan, terlebih dalam era teknologi modern saat ini. Matematika juga tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya dapat dilihat dalam aktivitas jual-beli. Selain itu, matematika juga berkaitan dengan pelajaran yang lain yang diajarkan di sekolah, misalnya biologi, kimia dan fisika. National Concil of Teachers of Mathematic (NCTM) pada tahun 2000 merekomendasikan agar semua siswa mempelajari matematika selama masa SMA, dikarenakan walaupun siswa akan berubah minatnya di SMA, namun mereka tetap akan mendapatkan manfaat dari pelajaran matematika. Siswa diharuskan mempelajari kemampuan aljabar, geometri, statistik, probabilitas dan matematika deskrit. Siswa juga harus pandai dalam memvisualisasikan, mendeskripsikan, dan menganalisis situasi dalam term matematika, selain itu siswa juga harus mampu menjastifikasi dan membuktikan ide-ide berbasis matematika (Santrock, 2010). Matematika merupakan ilmu yang bersifat universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan mengembangkan daya pikir manusia. Perkembangan pesat di bidang 1 2 teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini dilandasi oleh perkembangan matematika di bidang teori bilangan, aljabar, analisis, teori peluang dan matematika diskrit. Untuk menguasai dan mencipta teknologi di masa depan diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini. Mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif, serta kemampuan bekerja sama. Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti dan kompetitif (Badan Standar Nasional Pendidikan, 2006). Salah satu parameter untuk melihat keberhasilan seseorang adalah dengan melihat prestasinya. Begitu pula dalam bidang matematika, keberhasilan penguasaan di bidang matematika dapat dilihat dari prestasi belajar matematika. Berdasarkan hasil survei dari PISA (Programme for International Student Assessment), prestasi matematika siswa Indonesia pada tahun 2006 berada pada peringkat 50 dari 57 negara peserta dengan nilai rata-rata 391. Pada tahun 2009 Indonesia berada pada peringkat 61 dari 65 negara peserta dengan skor rata-rata 371 (Badan Litbang Kemdikbud, 2011). Adapun hasil PISA tahun 2012 menunjukkan bahwa diantara 65 negara peserta, Indonesia menduduki peringkat kedua dari bawah. Hal ini merupakan penurunan dari hasil PISA tahun 2009 dimana saat itu Indonesia menduduki peringkat 57 (Mailizar, 2013). Selain itu, berdasarkan hasil survei dari Trends International Mathematics and Science Study (TIMSS), prestasi matematika siswa Indonesia belum bisa dikatakan berhasil dengan baik. TIMSS merupakan studi yang diselenggarakan 3 setiap empat tahun sekali sejak tahun 1995 dan Indonesia mulai berpartisipasi tahun 1999. Hasil skor matematika siswa Indonesia pada tahun 1999 adalah 403, berada pada peringkat 34 dari 38 negara. Pada tahun 2003, skor matematika siswa Indonesia adalah 411, berada pada peringkat 35 dari 46 negara peserta. Pada tahun 2007 skor matematika siswa Indonesia adalah 397, berada pada peringkat 36 dari 49 negara peserta (Badan Litbang Kemdikbud, 2011). Begitu juga hasil survey TIMSS pada tahun 2011 untuk nilai rata-rata siswa Indonesia bidang matematika adalah 386 dan berada pada peringkat 38 dari 63 negara. Semua skor yang dicapai Indonesia masih berada di bawah skor rata-rata internasional yaitu 500 (Napitupulu, 2012). Selanjutnya, dari hasil UN siswa SMA tahun 2012 menunjukkan bahwa siswa SMA yang tidak lulus UN mencapai 7.579 siswa dari 1.524.704 peserta UN. Dari seluruh siswa yang tidak lulus UN, sebanyak 5.300 siswa atau sebanyak 69,4%, nilai akhir rata-ratanya tidak mencapai 5,5 dan sebanyak 30,6% dari siswa yang tidak lulus UN, ada satu atau lebih mata pelajaran yang nilainya kurang dari 4. Dari data yang diperoleh, kebanyakan siswa yang tidak lulus karena memiliki nilai yang kurang pada pelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika (Fajri, 2012). Berdasarkan data Analisis dan Pemanfaatan Hasil Ujian Nasional SMA Sederajat Tahun 2013-2014 (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan & Tempo, 2014) menyebutkan data bahwa daya serap nasional mata pelajaran jurusan IPA adalah sebagai berikut: 1) Bahasa Indonesia (71,20%); 2) Fisika (64,51%); 3) Bahasa Inggris (64,33%); 4) Biologi (61,02%); 5) Matematika (60,12%); dan 6) Kimia (59,82%). Mata pelajaran Matematika pada siswa SMA 4 jurusan IPA dapat dikategorikan rendah dibandingkan dengan mata pelajaran lainnya, meskipun bukan yang terendah. Data dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan bahwa beberapa Sekolah Menengah Atas Negeri di Yogyakarta pada Ujian Nasional tahun 2011 dan 2012 untuk mata pelajaran matematika siswa jurusan IPA, hasilnya masih belum memuaskan dengan ratarata masih berkisar pada angka antara 6 sampai 7. Bahkan masih banyak sekolah baik negeri maupun swasta menunjukkan nilai UN pelajaran matematika yang masih di bawah angka minimal untuk mencapai kelulusan yaitu 5,5. Selanjutnya, berdasarkan hasil wawancara dengan Wakil Kepala Sekolah bagian kurikulum di salah satu SMA Negeri di Yogyakarta diperoleh keterangan bahwa nilai UN siswa yang lulus dari sekolah tersebut untuk pelajaran matematika, dalam dua tahun terakhir (2012-2013) masih stagnant berkisar pada angka 6 dan nilai ini berada di bawah rata-rata nilai yang dicapai untuk SMA Negeri di Yogyakarta. Belum tercapainya hasil belajar matematika yang memuaskan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Seperti dikatakan oleh Suryabrata (2013) bahwa keberhasilan seseorang dalam belajar dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari luar diri siswa dan faktor internal yaitu faktor yang berasal dari dalam diri siswa. Salah satu faktor yang berasal dari luar adalah faktor sosial yaitu manusia, baik manusia itu hadir secara langsung maupun tidak langsung pada saat siswa sedang belajar. Manusia yang dimaksud di sini salah satunya adalah guru yang mengajar siswa. Guru berperan sekali dalam keseluruhan proses pembelajaran di dalam kelas. Berperan sebagai guru mengandung tantangan, 5 karena di satu pihak guru harus ramah, sabar, menunjukkan pengertian, memberikan kepercayaan dan menciptakan suasana aman, di lain pihak guru harus memberikan tugas, mendorong siswa untuk berusaha mencapai tujuan, mengadakan koreksi, menegur dan menilai. Dengan kehadirannya di kelas, guru sudah memberikan pengaruh terhadap perkembangan siswa (Winkel, 2012). Dari hasil wawancara dengan beberapa guru Bimbingan dan Konseling di beberapa SMA, diperoleh keterangan bahwa salah satu faktor yang berperan dalam menentukan prestasi seorang siswa adalah faktor dari guru yaitu komunikasi guru dengan siswa dan kesukaan siswa terhadap guru. Jika guru dapat berkomunikasi dengan baik terhadap siswa, maka siswa akan termotivasi, merasa dihargai, sehingga minumbulkan minat siswa terhadap mata pelajaran yang diajarkan oleh guru, yang akhirnya dapat menimbulkan semangat belajar siswa. Jika siswa mempunyai semangat belajar yang tinggi, bukan hal yang mustahil siswa dapat meraih nilai yang memuaskan. Dalam proses pembelajaran di dalam kelas terjadi hubungan interpersonal atau interaksi antara guru dengan siswanya. Dikatakan oleh Telli, Brok & Cakiroglu (2007) bahwa perilaku interpersonal guru (teacher interpersonal behavior) yaitu perilaku guru dalam berinteraksi dengan siswa adalah elemen penting dalam proses belajar-mengajar dan merupakan komponen utama dari manajemen kelas. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa persepsi siswa terhadap perilaku interpersonal guru berkaitan erat dengan prestasi siswa dan motivasi siswa dalam semua bidang pelajaran (Wubbels & Brekelmans, 2005; Brok, Brekelmans & Wubbels, 2006). Saat ini perilaku guru di Indonesia sedang menjadi sorotan berbagai pihak karena banyak peristiwa di sekolah yang terjadi akibat perilaku guru yang 6 negatif. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada tahun 2012 lalu, pernah melansir fakta yang mencengangkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 80% guru di Indonesia pada tahun 2011, menggunakan hukuman badan atau melakukan kekerasan verbal terhadap anak. Kekerasan verbal itu meliputi berbagai jenis, antara lain umpatan atau penghinaan, penolakan, ancaman fisik, mengkambinghitamkan, hingga sarkastik (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional & Solopos, 2013). Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa siswa di salah satu SMA di Yogyakarta diperoleh keterangan bahwa guru matematika yang mengajar di kelas XI sering menjelaskan pelajaran tanpa melihat ke arah siswa, kadangkadang menjelaskan sambil menulis di papan tulis, sehingga seolah-olah seperti berbicara sendiri tanpa memperhatikan siswa di dalam kelas sehingga banyak penjelasan dari guru yang kurang dapat dipahami oleh siswa. Guru matematika juga kurang mampu mengatur kelas dengan baik, sering membiarkan suasana kelas yang ramai pada saat pelajaran sedang berlangsung. Menurut siswa hal ini mengakibatkan siswa sulit memahami materi yang diajarkan sehingga hasil ulangan tidak memuaskan. Selanjutnya dari hasil wawancara dengan siswa SMA kelas XI di sekolah yang berbeda, diperoleh keterangan bahwa guru matematikanya ‘nggak enak’, seringkali kurang jelas dalam menerangkan suatu materi, bersikap kaku dan kurang memahami siswa. Bahkan guru bersikap kurang ramah dan mudah marah sehingga suasana belajar menjadi kurang menyenangkan, akibatnya siswa sulit memahami materi yang diberikan. Penelitian yang dilakukan oleh Upadhyay, Viljaranta, Lerkkanen, Poikkeus dan Nurmi (2011) disebutkan bahwa guru dipandang sebagai penyebab kemungkinan keberhasilan dan kegagalan yang dicapai siswanya. 7 Bantuan yang diberikan oleh guru kepada siswa akan menciptakan hubungan antara guru dengan siswa yang harmonis dan jika hal ini terus berjalan dengan baik akan mempengaruhi perilaku dan prestasi siswa di sekolah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Al-Agili, Mamat, Abdullah dan Maad (2013) diperoleh hasil bahwa sifat-sifat dan karakteristik guru merupakan prediktor yang kuat terhadap prestasi belajar matematika. Sifat dan karakteristik guru yang tampak dalam perilakunya di dalam kelas turut membentuk lingkungan belajar siswa yang dapat memberikan dampak bagi prestasi belajar siswa. Rosenfeld, Richman & Bowen (2000) menemukan bahwa siswa akan mencapai hasil yang lebih baik ketika guru menunjukkan perilaku yang positif terhadap siswa. Perilaku positif guru terhadap siswa ditunjukkan dengan sikap peduli, menghargai dan tanggung jawab, yang membuat siswa merasa lebih dekat dengan guru sehingga akan memberikan dampak positif terhadap prestasi akademik dan perilaku siswa di dalam kelas. Hasil penelitian Poll Ill (2010) juga menunjukkan bahwa perilaku interpersonal guru yang positif meliputi perilaku guru yang memimpin, membantu dan memahami siswanya merupakan prediktor prestasi belajar matematika. Begitu pula dengan Sivan dan Chan (2013) yang menemukan bahwa terdapat hubungan yang positif antara persepsi siswa terhadap perilaku interpersonal guru dengan prestasi matematika pada siswa sekolah menengah di Hong Kong. Perilaku interpersonal guru yang mendukung prestasi belajar siswa adalah perilaku guru yang mampu memimpin atau mengelola kelas, membantu siswa, memahami siswa dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanggung jawab terhadap aktivitasnya. Hal ini berarti bahwa perilaku 8 interpersonal guru merupakan prediktor bagi prestasi belajar siswa, bahkan tidak hanya untuk pelajaran matematika, tetapi juga pelajaran yang lain. Seperti yang telah disebutkan oleh Suryabrata (2013), bahwa selain faktor eksternal juga ada faktor internal yang mempengaruhi prestasi belajar siswa. Faktor yang berasal dari dalam diri siswa salah satunya adalah harga diri (self-esteem) siswa sebagai salah satu aspek dari kepribadian. Govindarajan (2013) menyebutkan bahwa harga diri merupakan faktor penting yang turut mempengaruhi prestasi akademik seorang siswa. Oleh karena itu, harga diri dapat dipertimbangkan sebagai faktor penentu keberhasilan dan kegagalan siswa dalam bidang akademik. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru Bimbingan dan Konseling di beberapa SMA di Yogyakarta diperoleh keterangan bahwa selain faktor guru, faktor lain yang juga turut mempengaruhi prestasi siswa adalah faktor dari dalam diri siswa yaitu rasa percaya diri, harga diri dan motivasi diri. Perasaan rendah diri yang dimiliki seorang siswa, menjadikan siswa tersebut merasa ‘minder’ sehingga kurang maksimal dalam belajarnya yang akibatnya dapat mempengaruhi prestasi belajarnya. Salah seorang guru BK mengatakan bahwa di sekolah tempatnya mengajar, setiap tahun di setiap kelas pasti ada siswa yang dikucilkan dan tidak disukai oleh teman-temannya. Siswa tersebut menjadi rendah diri, tidak percaya diri, cenderung pesimis dan kurang tangguh dalam menghadapi tantangan, sehingga siswa yang sebenarnya secara potensi mempunyai kemampuan yang cukup baik, tetapi prestasi belajarnya lebih rendah dari potensi yang dimilikinya. Dikatakan oleh Ahmad, Zeb, Ullah & Ali (2013), dari beberapa penelitian ditemukan bahwa siswa dengan harga diri yang tinggi lebih antusias dalam 9 proses pembelajaran. Siswa dengan harga diri tinggi lebih percaya diri, aktif dan termotivasi terhadap pembelajaran. Siswa dengan harga diri tinggi juga memberikan penilaian yang lebih baik terhadap dirinya dibandingkan dengan siswa yang memiliki harga diri rendah. Siswa rendah diri tidak berpartisipasi secara aktif dalam proses pembelajaran. Mereka tetap diam, pasif dan memiliki sikap penarikan diri terhadap kegiatan pembelajaran. Siswa yang rendah diri tidak mempunyai keinginan untuk mengambil bagian dalam proses pembelajaran secara aktif. Selanjutnya, dari penelitian yang dilakukan oleh Shahzad, Ahmed, Jaffari & Khilji (2012) pada siswa sekolah menengah ditemukan bahwa ada hubungan positif antara harga diri dengan performansi siswa. Harga diri mempunyai hubungan postif yang kuat dan signifikan terhadap performansi siswa. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Coppersmith (dalam Smith, Sapp, Farrel & Johnson, 1998) bahwa harga diri dapat dipertimbangkan sebagai indikator perilaku manusia. Secara umum, harga diri tinggi membantu individu untuk melihat diri mereka sebagai orang-orang yang aktif dan mampu menghadapi perubahan melalui usaha dan menetapkan tujuan yang lebih tinggi yang membuat mereka mau untuk belajar hal-hal baru. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa salah satu cara terbaik untuk meningkatkan prestasi belajar siswa adalah dengan meningkatkan harga diri mereka (Rubie et al., dalam Aryana, 2010). Dari penelitian yang dilakukan oleh Aryana (2010), diperoleh hasil bahwa ada hubungan yang signifikan antara harga diri dan prestasi belajar. Siswa yang mempunyai harga diri yang lebih tinggi menunjukkan prestasi akademik yang lebih tinggi. Selanjutnya, dari penelitian yang dilakukan oleh Govindarajan (2013) tentang hubungan antara harga diri dengan prestasi akademik dalam bidang 10 matematika pada siswa sekolah menengah, diperoleh hasil bahwa ada hubungan yang signifikan antara harga diri dan prestasi di bidang matematika. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku interpersonal guru dan harga diri siswa merupakan faktor penting yang turut menentukan prestasi belajar matematika bagi siswa di sekolah. Dengan demikian maka kedua faktor tersebut dapat dipertimbangkan sebagai prediktor terhadap prestasi belajar matematika. B. Rumusan Permasalahan Berdasarkan latar belakang permasalahan, maka permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah: Apakah prestasi belajar matematika dapat diprediksi oleh perilaku interpersonal guru dan harga diri siswa? C. Tujuan dan Manfaat Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah menguji secara empirik apakah prestasi belajar matematika dapat diprediksi oleh perilaku interpersonal guru dan harga diri siswa. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat teoritis hasil penelitian ini yaitu dapat memberikan pengetahuan dan data empirik tentang perilaku interpersonal guru dan harga diri sebagai prediktor prestasi belajar matematika, sehingga dapat menambah khasanah keilmuan di bidang psikologi pendidikan terutama yang berkaitan dengan prestasi belajar matematika. 2. Manfaat praktis hasil penelitian ini yaitu dapat memberikan tambahan informasi bagi pihak sekolah tentang keterkaitan antara perilaku interpersonal 11 guru dan harga diri dengan prestasi belajar matematika, sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu bahan pertimbangan untuk meningkatkan prestasi belajar matematika. D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Sampai saat ini telah banyak dilakukan penelitian tentang variabel perilaku interpersonal guru, harga diri dan prestasi belajar oleh beberapa peneliti di berbagai wilayah di dunia. Meskipun demikian, penelitian tentang variabel perilaku interpersonal guru dan harga diri sebagai prediktor prestasi belajar matematika masih belum banyak dilakukan. Beberapa penelitian yang telah dilakukan antara lain: 1. Penelitian Ahmad dan Sahak (2009) tentang kelekatan antara guru dengan siswa dalam menciptakan atmosfer yang positif di dalam kelas. Guru yang mempunyai komukasi yang positif dengan siswanya dapat mendukung guru dalam memberikan feedback. Interaksi guru dengan siswa menjadi faktor yang sangat penting di sekolah. 2. Penelitian Rickards dan Fisher (1999) tentang interaksi guru dengan siswa ditinjau dari perbedaan jenis kelamin dan latar belakang budaya. Penelitian ini menyelidiki hubungan antara latar belakang budaya, perbedaan jenis kelamin, dan interaksi guru-siswa dalam lingkungan belajar dengan alat ukur Questionnaire on Teacher Interaction (QTI) yang disusun oleh Wubbels dan Leavy (1993) di Australia. 3. Penelitian Wei, Brok & Zhou (2009) tentang pengaruh perilaku interpersonal guru terhadap prestasi dalam pelajaran bahasa Inggris pada siswa kelas 8 di China. Penelitian ini menggunakan alat ukur Questionnaire on Teacher 12 Interaction (QTI) dari Wubbels. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketidakpastian (uncertain) guru berkorelasi negatif dengan prestasi siswa. 4. Penelitian Telli, Brok & Cakiroglu (2007) Penelitian ini meneliti persepsi siswa terhadap perilaku interpersonal guru dalam konteks pendidikan menengah di Turki. Dalam penelitian ini digunakan Questionnaire on Teacher Interaction (QTI) dari Wubbels. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa QTI cukup reliabel dan valid untuk konteks Turki. QTI versi Turki menunjukkan validitas prediktif yang memadai karena berkorelasi positif dengan prestasi siswa. 5. Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad, Zeb, Ullah & Ali (2013) tentang hubungan antara harga diri dan prestasi akademik. Penelitian ini merupakan suatu studi kasus di sekolah menengah negeri di Pakistan. Penelitian ini mencoba menjawab beberapa permasalahan antara lain tentang persepsi guru terhadap hubungan harga diri dengan prestasi akademik siswa, pengaruh harga diri terhadap prestasi belajar siswa, manfaat harga diri yang tinggi bagi siswa dan cara meningkatkan harga diri siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas guru sangat setuju bahwa siswa dengan harga diri yang tinggi memiliki : motivasi untuk belajar, menunjukkan kreativitas dalam kinerja pendidikan, memiliki keterampilan sosial di kelas selama proses belajar mengajar, antusias berpartisipasi dalam kegiatan kelas, mengerjakan tugas kelas dengan baik dan mampu bekerja sama dengan para guru dalam proses belajar mengajar dengan melakukan tugas yang diberikan secara efektif dan efisien. 6. Penelitian Shahzad, Ahmed, Jaffari & Khilji (2012) tentang pengaruh harga diri dan dukungan sosial terhadap performansi siswa. Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya hubungan positif antara harga diri dan dukungan 13 dengan performansi siswa. Harga diri mempunyai hubungan positif yang kuat dan lebih signifikan terhadap performansi dibandingkan dengan dukungan sosial. 7. Penelitian Smith, Sapp, Farrel & Johnson (1998) tentang hubungan antara locus of control, harga diri, prestasi belajar dan harga diri akademik. Hasil analisis statistik secara signifikan menunjukkan hubungan antara academic self-esteem dan prestasi akademik. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi siswa terhadap kemampuan akademiknya adalah prediktor dari performansi akademik siswa. 8. Penelitian Govindarajan (2013) tentang hubungan antara harga diri dengan prestasi akademik dalam bidang matematika. Penelitian dilakukan di sekolah menengah Distric Dharmapuri India. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara harga diri dan prestasi di bidang matematika. Hasil penelitian yang lain menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan harga diri dan prestasi matematika antara siswa laki-laki dan perempuan.