BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini, akan dibahas beberapa teori yang berkaitan dengan penelitian ini. Teori-teori tersebut menjadi dasar acuan bagi peneliti dalam melakukan penelitian ini. Beberapa teori yang akan dibahas pada bab ini antara lain teori terkait proses pemilihan pasangan, orientasi seksual, serta hubungan antara kedua teori tersebut. A. A.1. Proses Pemilihan Pasangan Pengertian Proses Pemilihan Pasangan Individu membutuhkan orang lain untuk membangun hubungan yang intim sebagai pusat dari sosialisasi dalam kehidupan. Memiliki pasangan dapat meningkatkan kesehatan individu secara fisik maupun psikis, sedangkan individu yang tidak memiliki pasangan akan cenderung kesepian dan memiliki tingkat kesehatan yang lebih rendah dibandingkan individu yang memiliki pasangan (Lehmiller, 2014). Sebuah hubungan bersifat sekuensial, yaitu menjalani beberapa tahap secara berurutan dengan sedikit kesempatan untuk lompat dari satu tahap ke tahapan berikutnya (Knapp & Vangelisti dalam Wisnuwardhani & Mashoedi, 2012). Hal ini mengindikasikan bahwa dalam hubungan individu dengan individu lainnya, terdapat suatu tahapan atau proses yang harus dilalui. Suatu hubungan umumnya diawali dengan komunikasi ringan antar individu yang ditujukan untuk saling mengenal satu dengan yang lainnya. Bila ditemui kecocokan antara kedua individu, komunikasi yang awalnya bersifat ringan dan tidak terlalu bersifat personal dapat diarahkan ke komunikasi yang lebih bertujuan untuk memelihara, mengembangkan, dan meningkatkan hubungan, terutama terkait dengan perbedaan- 16 17 perbedaan yang ada agar tetap dapat memberikan kepuasan bagi kedua belah pihak (Wisnuwardhani & Mashoedi, 2012). Proses yang dilalui individu dalam memilih pasangan ini dapat bergerak maju ataupun mundur, seperti contoh, dua orang yang dalam hubungan sebelumnya hanya sebatas kenalan dapat merubah hubungannya menjadi teman dekat atau sahabat, namun karena suatu permasalahan, hubungan diantara keduanya merenggang dan akhirnya masing-masing individu saling menjauhkan diri (Wisnuwardhani & Mashoedi, 2012). Dalam suatu proses pemilihan pasangan, individu tidak serta merta menjadi teman akrab dengan seseorang segera setelah pertemuan terjadi (Wisnuwardhani & Mashoedi, 2012). Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi proses pemilihan pasangan sehingga setiap individu melalui proses yang berbeda-beda. Dalam prosesnya, individu mengalami beragam konflik, mendapat dukungan, mengalami penolakan dan penerimaan, dimana semua hal tersebut akan mempengaruhi proses yang dilalui individu dalam memilih pasangan. Proses ini kemudian akan mengarahkan individu ke dalam suatu pola dalam memilih pasangan. Menurut pendapat Olson dan Defrain (2003), pemilihan pasangan mencakup serangkaian pola aktivitas yang dibentuk oleh masyarakat dalam menentukan pasangan yang tepat bagi seorang individu. Pola pemilihan pasangan berbeda-beda pada tiap budaya masing-masing individu, mulai dari mencari pasangan dengan ramalan, perjodohan, hingga pilihan personal atas keinginan individu sendiri, meski demikian, seluruh tipe pemilihan pasangan tersebut memiliki tujuan yang sama, yakni memenuhi fungsi kebutuhan individu untuk menikah dan menghasilkan keturunan. 18 A.2. Proses Pemilihan Pasangan Setiap individu melalui proses yang berbeda-beda dalam memilih pasangan. Proses- proses pemilihan pasangan dijabarkan dalam beberapa teori berikut: a) Stimulus-Value-Role Theory Murstein (dalam Duvall & Miller, 1985) menggabungkan teori ketertarikan interpersonal dan Filter Theory yang dikembangkan oleh Kerkoff & Davis (dalam Duvall & Miller, 1985) dalam suatu teori yang disebut Stimulus-Value-Role Theory (Teori SVR). Gambar 1. Proses Pemilihan Pasangan Stimulus-Value-Role Theory Sumber: Duvall & Miller (1985). 1. Interpersonal Attraction (Stimulus) Dalam gambar tersebut, Murstein (dalam Duvall & Miller, 1985) mengawali teori SVR dengan tahap masuknya stimulus dimana pada tahap tersebut individu 19 memilih calon pasangannya berdasarkan stimulus berupa ketertarikan interpersonal yang mencakup faktor fisik, sosial, dan stimulus lainnya. Tahap stimulus adalah tahap penyaringan pertama (first filter) yang mencakup stimulus berupa karakteristik fisik dan atribut personal individu. 2. Value Similarity Comparison Ketika pasangan sudah saling mengenal lebih jauh, kedua individu mulai mempelajari dan membandingkan kebiasaan serta nilai masing-masing. Perbandingan nilai dan prinsip umumnya meliputi topik-topik penting seperti jenis kelamin, agama, pernikahan, pekerjaan, anak-anak, dan isu lainnya. Jika pasangan memiliki kesamaan nilai, pasangan akan berhasil melewati tahap penyaringan nilai (value filter) dan melanjutkan hubungan. 3. Role “Fit” Pada proses akhir ini, kedua individu dalam suatu hubungan mulai mempertimbangkan perilaku pasangannya masing-masing di masa kini untuk hubungan mereka di masa depan. Pasangan yang mampu menetapkan peran yang seimbang akan memiliki kesempatan lebih baik untuk melanjutkan hubungannya dibandingkan dengan pasangan yang tidak memiliki peran seimbang, seperti contoh, seorang wanita membagi peran dalam mengurus rumah tangga dengan calon pasangannya. b) Model Hubungan Enam Tahap Devito (dalam Wisnuwardhani & Mashoedi, 2012) mengemukakan model hubungan enam tahap sebagai model umum dari proses pemilihan pasangan yang digambarkan melalui proses berikut ini. 20 Kontak - Persepsi - - Interaksi Keluar Kontak - Penjajakan - - Penguatan Keluar Keakraban - Komitmen antarpribadi - - Penguatan Keluar Pemulihan - Pemulihan dalam diri - - Pemulihan antarpribadi - Pemudaran Ketidakpuasan antarpribadi Pemudaran hubungan antarpribadi Pemutusan - Pemutusan pribadi - - Pemutusan sosial/publik Gambar 2. Proses Pemilihan Pasangan dengan Model Hubungan Enam Tahap Sumber: Devito (dalam Wisnuwardhani & Mashoedi, 2012). 1. Tahap Kontak (Contact) Fase pertama dalam proses ini diawali dengan terbentuknya persepsi individu terhadap orang lain berdasarkan apa yang dilihat dan didengar. Pada fase ini, menurut Wisnuwardhani & Mashoedi (2012), individu akan terfokus pada penampilan fisik seseorang. Penampilan yang menarik umumnya dikaitkan dengan kepribadian dan kualitas pribadi yang baik, seperti ramah, bersahabat, dan sebagainya. Dengan terungkapnya kualitas pribadi, maka akan mendorong individu untuk maju ke fase kedua dari tahap ini, yaitu menjalin interaksi. Interaksi yang terjalin umumnya masih bersifat ringan dan tidak personal. 21 Apabila ada kesesuaian antar individu, maka hubungan dapat dilanjutkan ke tahap berikutnya, namun apabila tidak ada kesesuaian, masing-masing individu akan tetap berada di tahap ini atau keluar dari hubungan. Sebagai contoh, seorang pria melihat seorang wanita yang berpenampilan menarik dan mengajaknya berkenalan. Setelah bercakap-cakap ringan, pria tersebut merasa tidak nyaman karena topik pembicaraan mereka sangat berbeda, sehingga pria tersebut memutuskan untuk tidak melanjutkan mendekati wanita itu. 2. Tahap Keterlibatan (Involvement) Berdasarkan penjelasan Wisnuwardhani & Mashoedi (2012), tahap ini merupakan fase pengenalan lebih lanjut ketika individu telah memutuskan untuk mengenal orang lain lebih dalam. Tahap ini diawali dengan adanya keterbukaan dari salah satu pihak atau kedua pihak sekaligus mengenai hal-hal personal dan pribadi individu. Pada tahap ini individu mulai melakukan kegiatan bersamasama dengan orang lain. Apabila individu tertarik untuk melanjutkan hubungannya, maka individu dan pasangannya akan melangkah ke fase berikutnya, namun bila tidak, individu dapat keluar dari hubungan atau kembali ke fase sebelumnya. Sebagai contoh, seorang pria yang sudah mengenal salah seorang teman wanitanya dalam waktu yang cukup lama memutuskan untuk menjalin hubungan yang lebih intim. 3. Tahap Keakraban (Intimacy) Menurut Wisnuwardhani & Mashoedi (2012), pada tahap ini, individu mulai melibatkan komitmen interpersonal dalam hubungannya dengan orang lain. Apabila tahap ini dapat dijalani dengan baik, maka individu dapat mempertahankan hubungannya secara harmonis dengan pasangannya, meski demikian, di tahap ini individu seringkali merasa bahwa dirinya sudah tidak 22 bahagia lagi dengan pasangannya sehingga menyebabkan hubungan menjadi renggang. 4. Tahap Pemudaran (Deterioration) Tahap ini ditandai dengan adanya ikatan (komitmen) yang semakin melemah di antara kedua belah pihak. Wisnuwardhani & Mashoedi (2012) mengatakan bahwa pada tahap ini, masing-masing individu mulai menyadari bahwa hubungannya tidak sepenting yang dibayangkan sebelumnya. Waktu yang dilalui bersama semakin sedikit, dan ketika bertemu, pasangan cenderung saling berdiam diri dan tidak lagi menunjukkan perhatian. 5. Tahap Pemulihan (Repair) Setelah melalui tahap pemudaran, masing-masing individu dapat melakukan usaha pemulihan agar hubungan dapat membaik. Usaha ini dapat berhasil maupun gagal. Apabila usaha pemulihan berhasil, maka hubungan akan kembali ke tahap keakraban (intimacy), namun bila gagal, hubungan akan berakhir (Wisnuwardhani & Mashoedi, 2012). 6. Tahap Pemutusan (Dissolution) Tahap pemutusan merupakan tahap dimana hubungan antara kedua individu berakhir. Pemutusan hubungan diawali dengan perpisahan diantara kedua orang yang memiliki hubungan atau disebut juga dengan perpisahan antarpribadi. Perpisahan tersebut akan diikuti dengan pemutusan hubungan dengan orangorang yang terkait dengan pasangan yang telah ditinggalkan, dimana perpisahan ini disebut dengan perpisahan sosial atau publik. Individu yang telah mengakhiri hubungannya dapat kembali lagi membina hubungan dengan orang yang sama dan menjalani proses dari awal (Wisnuwardhani & Mashoedi, 2012). 23 c) Premarital Dyadic Formation (PDF) Dalam proses pemilihan pasangan yang dikemukakan oleh Lewin (dalam Duvall & Miller, 1985), individu secara umum melalui enam tahapan dalam perjalanan pencarian pasangan dan menjalin hubungan. Proses PDF ini mencakup (1) menemukan kecocokan atau kesamaan, (2) membangun komunikasi yang baik, (3) menunjukkan keterbukaan terhadap pasangan, (4) menentukan pembagian peran dalam hubungan, (5) mencapai pembagian peran yang seimbang, serta tahapan yang terakhir yaitu (6) mencapai hubungan timbal balik yang intim dan terbuka. Dari hasil penelitian yang dilakukan Lewin (dalam Duvall & Miller, 1985), dapat disimpulkan bahwa pasangan yang berhasil melewati keenam proses ini akan mampu melanjutkan hubungan mereka dalam jangka waktu yang lebih lama dibandingkan dengan pasangan yang hanya mencapai beberapa tahap saja. A.3. Faktor yang Mempengaruhi Proses Pemilihan Pasangan Dalam pemilihan pasangan, setiap individu dipengaruhi oleh berbagai faktor yang mendasari proses pemilihan pasangan yang dilaluinya. Faktor pemilihan pasangan ini membantu individu dalam mengambil keputusan dan menentukan pasangan yang akan dipilihnya. Wisnuwardhani & Mashoedi (2012) menyampaikan tiga faktor yang mempengaruhi pemilihan pasangan, yaitu : 1. Faktor Internal Keinginan dan kriteria individu dalam memilih pasangan dapat dipengaruhi oleh faktor internal atau berasal dari dalam diri individu. a) Kebutuhan untuk Memiliki Setiap individu memiliki kebutuhan untuk menjadi bagian dari suatu kelompok. Hal tersebut ditunjukkan melalui perilaku saling bekerja sama, saling 24 mendukung, dan konformitas yang dilakukan sebagai usaha untuk mempertahankan suatu hubungan, bergabung dalam kelompok, berpartisipasi dalam kegiatan, atau menikmati aktivitas bersama keluarga dan teman dengan tujuan untuk mencapai kepuasan agar disukai atau diterima oleh orang lain (Wisnuwardhani & Mashoedi, 2012). Menurut Larsen, Ommundsen, dan Van Der Veer (2015), kebutuhan untuk diakui dan diterima oleh orang lain, secara sadar maupun tidak, memotivasi perilaku individu dalam mencari pasangan. b) Pengaruh Perasaan Wisnuwardhani & Mashoedi (2012) menyimpulkan bahwa ketika individu berada dalam kondisi perasaan senang dan bahagia, maka akan lebih mudah bagi individu untuk melakukan interaksi dengan orang lain dibandingkan jika individu berada dalam kondisi perasaan negatif yang dapat mendorong individu menjadi tertutup untuk melakukan komunikasi. 2. Faktor Eksternal Menurut Wisnuwardhani & Mashoedi (2012), faktor eksternal yang mempengaruhi dimulainya suatu hubungan interpersonal mencakup faktor kedekatan (proximity) dan daya tarik fisik. a) Proximity Kedekatan secara fisik antara dua orang yang tinggal dalam satu lingkungan yang sama seperti di kantor atau di kelas menunjukkan bahwa semakin dekat jarak geografis di antara mereka, maka akan semakin besar kemungkinan kedua orang tersebut akan sering bertemu satu sama lain. Baron, Byrne, & Branscombe (dalam Wisnuwardhani & Mashoedi, 2012) memaparkan bahwa pertemuan antara kedua orang tersebut akan dapat menghasilkan penilaian positif satu sama lain sehingga menimbulkan ketertarikan di antara mereka. Beberapa alasan lain 25 yang membuat faktor kedekatan menjadi penting dalam memulai suatu hubungan adalah : 1) Familiarity Dalam teori ini, dinyatakan bahwa alasan seseorang menyukai orang lain adalah fakta bahwa mereka merasa sudah familiar dengan orang tersebut. 2) Exposure Faktor terlihat atau terpaparkan (exposure) menunjukkan bahwa semakin sering seseorang tampil atau terlihat di hadapan orang lain, maka semakin besar kemungkinan orang lain akan menyukai orang tersebut. 3) Low Cost Potensi untuk saling mengenal menjadi lebih besar ketika individu dapat bertemu secara teratur dengan seseorang sehingga membutuhkan waktu yang lebih sedikit untuk saling mengenal di pertemuan berikutnya. 4) Expectation of Continued Interaction Ketika individu mempunyai harapan atau perkiraan dalam bertemu seseorang secara berulang kali, maka individu akan berusaha untuk melihat sisi baik orang tersebut dan membuka peluang dalam menjalin hubungan persahabatan. 5) Predictability Individu akan lebih merasa nyaman dalam menghadapi seseorang yang sudah sering ditemui dalam kesehariannya karena lebih mudah untuk mengenali dan memprediksi orang tersebut. 26 6) It Makes Evolutionary Sense Bumstein (dalam Wisnuwardhani & Mashoedi, 2012) menyatakan bahwa sesuai dengan teori evolusi, seseorang akan merasa lebih aman dalam membina hubungan dengan orang yang sudah dikenalnya sebelumnya. b) Daya Tarik Fisik Penelitian yang dilakukan oleh Dion & Dion serta Hatfield & Sprecher dalam Wisnuwardhani & Mashoedi (2012) menghasilkan kesimpulan bahwa sebagian besar orang percaya bahwa laki-laki dan perempuan yang menarik akan menampilkan ketenangan, mudah bergaul, mandiri, dominan, gembira, seksi, mudah beradaptasi, sukses, lebih maskulin (untuk laki-laki), dan lebih feminin (untuk wanita) dibandingkan dengan orang yang tidak menarik. 3. Faktor Interaksi a) Similarity – Dissimilarity Semakin banyak kesamaan antara seseorang dengan orang lain, maka mereka akan semakin saling menyukai. Di sisi lain, Jones (dalam Wisnuwardhani & Mashoedi, 2012) memaparkan bahwa individu juga dapat memiliki hubungan yang lebih menyenangkan ketika mereka mengetahui bahwa terdapat pandangan yang berbeda dengan pandangan yang dia miliki. Hal ini terjadi ketika mendapatkan seseorang yang menyukai individu padahal mereka memiliki opini yang berbeda, individu akan mengasumsikan bahwa orang tersebut menyukainya bukan berdasarkan opininya, tetapi karena menyukainya apa adanya. b) Reciprocal Liking Dalam suatu hubungan interpersonal, ada hubungan timbal balik terkait bagaimana seseorang menyukai orang lain, dan bagaimana orang lain juga menyukai orang tersebut. 27 Teori tersebut diperkuat pula oleh teori DeGenova (dalam Mirandita, 2011) yang mengemukakan dua faktor yang berpengaruh dalam pemilihan pasangan. Faktor tersebut antara lain : 1. Latar Belakang Keluarga a) Sosioekonomi Menurut teori yang dikemukakan oleh DeGenova (dalam Mirandita, 2011), pernikahan dikatakan memiliki tingkat kepuasan yang tinggi apabila pasangan hidup yang dipilih oleh individu memiliki tingkat atau status sosioekonomi yang baik, namun apabila pasangan yang dipilih memiliki status sosioekonomi rendah, maka kepuasan pernikahan akan berkurang. b) Pendidikan dan inteligensi Secara umum, pendidikan dan inteligensi menjadi hal yang diinginkan tiap individu dalam diri pasangannya. Dalam memilih pasangan, individu cenderung akan lebih memilih pasangan dengan latar belakang pendidikan yang sama atau setara dengannya (DeGenova dalam Mirandita, 2011) c) Agama Agama menentukan budaya dan tradisi dalam keluarga yang berpengaruh terhadap kebiasaan-kebiasaan calon pasangan dalam berkeluarga, oleh karena itu, individu cenderung akan memilih pasangan dengan latar belakang agama yang sama dengan asumsi bahwa pernikahan yang didasari oleh agama yang sama akan membuat hubungan menjadi lebih stabil dan memudahkan pasangan untuk mengajarkan prinsip yang sama kepada anak-anaknya. d) Pernikahan Antar Ras atau Suku Individu akan cenderung memilih pasangan yang berasal dari suku atau ras yang sama dengan mereka. Kecenderungan individu untuk memilih pasangan dari 28 suku atau ras yang sama biasanya berakar dari tuntutan keluarga atau masyarakat sekitar. Jika individu memilih pasangan dengan latar belakang ras atau suku yang sama, maka dukungan dari keluarga, teman, maupun masyarakat akan meningkat. Sebaliknya, jika memilih pasangan dengan latar belakang ras atau suku yang berbeda, dukungan dari lingkungan sosial akan berkurang dan hal ini akan berpengaruh terhadap kepuasan hubungan. 2. Karakteristik Personal a) Sikap dan Tingkah Laku Individu DeGenova (dalam Mirandita, 2011) mengemukakan bahwa sikap dan tingkah laku individu adalah hal yang pertama kali menjadi perhatian dan dasar penilaian bagi individu lainnya dalam memilih pasangan. Sikap dan tingkah laku individu mencakup karakteristik fisik, sikap, perilaku, dan faktor kesehatan mental maupun fisik. Karakteristik fisik berupa bentuk wajah, tinggi badan, berat badan, jenis kelamin, dan karakteristik fisik lainnya juga menjadi hal penting bagi individu dalam menentukan pasangan (Atwater, 1983). Orientasi seksual memiliki peranan penting dalam menentukan karakteristik fisik dari pasangan yang diinginkan oleh individu. Dengan adanya orientasi seksual, individu menentukan kriteria pasangan yang diinginkannya, khususnya dalam penentuan jenis kelamin. b) Perbedaan Usia Sebagian orang menetapkan standar usia yang mereka harapkan dari pasangannya. Secara umum, rata-rata perbedaan usia yang dimiliki oleh setiap pasangan adalah dua tahun. Beberapa pertimbangan yang didasari oleh usia biasanya berupa keputusan individu untuk memilih pasangan dengan usia yang lebih tua, lebih muda, atau bahkan setara (DeGenova, 2008). 29 c) Memiliki Kesamaan Sikap dan Nilai Kesamaan sikap dan nilai dapat meningkatkan kecocokan pasangan dalam membangun hubungan. Sikap dan nilai yang sama antara kedua individu sebagai pasangan dapat memudahkan penyesuaian diri yang dilakukan individu dengan pasangannya, sehingga pasangan akan merasa lebih nyaman. d) Peran Gender dan Kebiasaan Pribadi Dalam semua hubungan, setiap pasangan menentukan peran gender yang harus diperankan oleh masing-masing pasangan (DeGenova dalam Mirandita, 2011). Ketentuan akan adanya peran ini berlangsung pada setiap hubungan, baik yang dibangun oleh pasangan heteroseksual, homoseksual, maupun biseksual. Peran gender yang dimaksud dapat berupa peran maskulin dan feminin. Hubungan akan terasa lebih memuaskan apabila pasangan dapat memahami dan mampu berperan sesuai dengan perannya masing-masing. A.4. Pola Pemilihan Pasangan Setiap individu memiliki pola-pola tertentu dalam memilih pasangan. Pola ini dapat dipengaruhi oleh faktor budaya, lingkungan, maupun dorongan internal. Pola pemilihan pasangan pada individu terbagi ke dalam beberapa kelompok pola sebagai berikut. a) Homogamy Menurut Lamanna, Riedmann, & Stewart (2014), sebagian individu memilih pasangan berdasarkan kesamaan yang mereka miliki. Pemilihan pasangan ini dilandasi oleh kriteria tiap individu yang menginginkan pasangan dengan latar belakang dan prinsip yang sama dengan dirinya. Cara memilih pasangan yang didasari pada kesamaan yang dimiliki oleh individu dengan pasangannya dikenal 30 dengan istilah homogamy. Pemilihan pasangan berdasarkan teori homogamy terdiri dari beberapa tahapan yang mengerucut yang ditunjukkan pada gambar berikut ini. Gambar 3. Tipe Pola Pemilihan Pasangan Homogamy Sumber: Lamanna, dkk (2014). 1. Pool Eligibles Pool Eligibles terdiri dari sekelompok individu yang belum memiliki pasangan dan belum menikah yang sedang berproses dalam mencari dan memilih pasangan hidup. 2. Propinquity Filter Individu akan cenderung mencari pasangan dengan latar belakang geografis yang sama dengan dirinya, sebagai contoh, orang-orang dengan kelas sosial menengah 31 ke atas akan menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah yang sama dengan anak dari orang-orang kelas sosial menengah ke atas lainnya, sehingga anak-anak mereka akan cenderung berpasangan dengan orang dari kelas sosial yang sama. 3. Demographic & Social Filter Individu cenderung membangun hubungan yang berkomitmen dengan orangorang yang berasal dari ras, usia, edukasi, latar belakang agama, dan kelas sosial yang sama, misalnya, seseorang yang beragama Hindu akan menikah dengan orang lain yang juga beragam Hindu, sama halnya seperti tradisi Muslim, Katolik, dan Kristen. 4. Physical Attraction Filter Setelah melalui proses sebelumnya, menurut Lamanna, dkk (2014), individu akan melangkah ke proses berikutnya dengan memilih dan membangun ketertarikan dengan orang lain yang mempunyai daya tarik fisik sesuai kriteria pasangan yang diharapkannya, sebagai contoh, individu menyukai orang yang sedikit gemuk dengan postur badan yang tinggi, maka individu akan cenderung memilih orang dengan kriteria fisik yang sama dengan yang disukainya tersebut. 5. Personality & Life-Style Filter Individu akan melihat kesamaan dan kecocokan kepribadian serta gaya hidup yang ada pada dirinya dengan kepribadian dan gaya hidup pada orang lain. Apabila ada kecocokan, individu akan memilih orang tersebut sebagai pasangan hidupnya, sebagai contoh, individu yang mempunyai gaya hidup disiplin dan rapi akan menolak untuk membangun hubungan dengan orang lain yang mempunyai gaya hidup santai dan spontan. 32 6. Engagement and/or Cohabitation Melalui beragam kecocokan individu dengan orang yang dipilih sebagai pasangannya, individu kemudian melanjutkan hubungan ke tahap yang lebih tinggi seperti bertunangan atau melakukan kohabitasi dengan tinggal bersama sebelum melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan. b) Homogamy vs. Complementary Untuk melengkapi teori Homogamy yang dikemukakan Lamanna, dkk. (2014), Winch (dalam Olson & Defrain, 2003) juga mengemukakan teori Homogamy dan Complementary. Homogamy menurut Winch (dalam Olson & Defrain, 2003) memiliki arti yang cukup sama dengan teori yang dikemukakan Lamanna, dkk. (2014), yaitu kecenderungan individu dalam mencari pasangan berdasarkan kesamaan antara individu dan pasangannya, sedangkan Complementary merujuk pada teori yang bertolak belakang dengan Homogamy, yaitu kecenderungan individu dalam mencari pasangan berdasarkan perbedaan-perbedaan yang ada di antara individu dan pasangannya. c) The Filter Theory Menurut Filter Theory, individu melakukan seleksi terhadap orang-orang di sekitarnya kemudian memilih orang-orang yang memiliki kriteria sesuai dengan yang diinginkannya. Individu semakin mempersempit jumlah orang dengan kriteria yang ia inginkan sebagai pasangan hingga akhirnya menyisakan satu orang yang telah di seleksi untuk menjadi pasangannya (Kerckhoff & Davis dalam Olson & Defrain, 2003). Proses seleksi dalam Filter Theory terdiri dari tahapan berikut. 33 Gambar 4. Tipe Pola Pemilihan Pasangan melalui The Filter Theory Sumber: Olson & Defrain, 2003. 1. All Eligible Dating Partners Pada tahap seleksi ini, individu menentukan sekelompok orang yang sesuai dengan kriteria yang diinginkan untuk menjadi pasangan hidup bagi individu. Seleksi terhadap kriteria yang diinginkan mencakup makna yang cukup luas, seperti seleksi terhadap jenis kelamin ideal dari pasangan. 2. Eligible People You Know Individu melakukan seleksi terhadap kelompok orang yang sesuai dengan kriterianya dengan hanya memilih orang-orang yang sudah dikenalnya, sebagai contoh, dari seluruh pria yang ada, seorang wanita akan memilih untuk melakukan pendekatan hanya dengan orang-orang yang sudah menjadi temannya atau sudah dikenalnya sejak dulu. 34 3. People Similar in Background Individu memilih salah satu orang dengan latar belakang yang sama dengannya dan mengembangkan ketertarikan. Latar belakang tersebut dapat mencakup daerah asal, agama, ras, pendidikan, ataupun kelas sosial, seperti contoh, individu yang berasal dari Surabaya akan lebih cenderung mencari pasangan yang berasal dari daerah Surabaya juga (Olson & Defrain, 2003). 4. Couple Attracted to Each Other Ketika latar belakang telah dirasa cocok, pasangan akan mulai mengembangkan ketertarikan terhadap satu sama lain yang dapat dimulai dengan tahap pendekatan awal atau berkencan. 5. Compatibility Personality Individu dan pasangannya saling menyesuaikan diri dengan karakteristik kepribadian masing-masing, seperti misalnya mencocokkan gaya hidup, kebiasaan, dan lain sebagainya. Lamanna, dkk. (2014) menyatakan bahwa penyesuaian kebiasaan umumnya dilakukan melalui kohabitasi atau hidup bersama dengan pasangan untuk saling mendalami kepribadian satu sama lain. 6. Mutually Committed to Each Other Individu dan pasangannya menjalani hubungan yang berkomitmen melalui pernikahan. d) Teori Psikodinamika Teori ini menyatakan bahwa pemilihan pasangan pada individu dipengaruhi oleh pengalaman di masa kecil dan latar belakang keluarga (Wisnuwardhani & Mashoedi, 2012). Dalam teori ini terdapat dua subteori yang mendasarinya, yaitu : 35 1. Parent Image Theory Menurut Wisnuwardhani & Mashoedi (2012), teori ini didasari oleh konsep psikoanalisis Oedipus Complex dan Electra Complex milik Freud dimana pria dikatakan cenderung akan menikahi orang yang mirip ibunya, sebaliknya, wanita cenderunga akan menikah dengan orang yang mirip dengan ayahnya. 2. Ideal Mate Theory Individu membentuk kriteria mengenai pasangan yang ideal berdasarkan pada pengalaman masa awal kanak-kanak mereka. Schwartz & Schwartz (dalam Wisnuwardhani & Mashoedi, 2012) menyatakan bahwa individu membentuk bayangan mengenai hubungan yang ideal berdasarkan bentuk kedekatan mereka dengan orang disekitarnya ketika mereka masih kecil. e) The Stimulus-Value-Role Theory Murstein (dalam Olson & Defrain, 2003) menyatakan pada teori Stimulus-ValueRole bahwa individu memilih pasangan berdasarkan pertimbangan terhadap stimulus, nilai-nilai, serta peran dari pasangan. Stimulus mencakup ketertarikan terhadap kriteria individu yang dianggap menarik secara fisik. Setelah menemukan calon pasangan yang sesuai kriteria, individu mulai mencocokkan kesamaan nilai dan keyakinan mereka. Selama membandingkan nilai-nilai yang mereka miliki, individu juga mempertimbangkan peran yang mereka harapkan dari calon pasangan mereka. Sebagai contoh, seorang pria akan memilih seorang wanita yang berpenampilan menarik, kemudian melakukan perkenalan dengan wanita tersebut untuk mengetahui latar belakang dan nilai-nilai budaya wanita tersebut. Apabila keduanya merasa cocok, hubungan dapat dilanjutkan ke tahap yang lebih tinggi untuk kemudian menentukan peran masing-masing dalam hubungan (Murstein dalam Olson & Defrain, 2003). 36 f) Teori Kebutuhan (Needs Theory) Winch (dalam Wisnuwardhani & Mashoedi, 2012), dalam teorinya Complementary Needs, menyatakan bahwa individu akan memilih pasangan yang memiliki karakter berlawanan, namun dapat saling melengkapi kebutuhan satu sama lain. g) Reiss’ Wheel Theory of Love Individu mencari pasangan melalui tahapan-tahapan sebagai pemenuhan kebutuhan dalam berinteraksi sosial. Pola pencarian pasangan pada teori ini meliputi tahapan membangun rapor, kesadaran akan kriteria pasangan yang diinginkannya, perasaan saling ketergantungan, hingga pada tahap pemenuhan kebutuhan akan kedekatan (Reiss & Lee dalam Olson & Defrain, 2003). 1. Rapport Mencakup proses komunikasi dimana dua individu saling mengembangkan pemahaman dan kedekatan terhadap satu sama lain. Ketika individu dapat membangun rapport yang baik, individu dan pasangannya akan mampu membangun penilaian baik dan saling mendengarkan untuk dapat memahami satu sama lain. 2. Self-Revelation Rapport yang baik akan membantu pasangan dalam mengembangkan selfrevelation. Dalam self-revelation, masing-masing individu mulai membuka diri dan menceritakan rahasia-rahasia kecil mereka terhadap pasangannya sebagai tahap awal munculnya rasa percaya, namun jika rapport antara kedua pasangan buruk, masing-masing individu akan tetap menutup diri terhadap satu sama lain. 3. Mutual Dependency Rapport yang baik dapat mengembangkan self-revelation, yang kemudian juga memicu munculnya mutual dependency, yaitu sebuah hubungan dimana setiap 37 individu menginginkan dan membutuhkan pasangan mereka dalam hidupnya. Tanpa rapport dan self-revelation yang berkembang dengan baik, masingmasing individu tidak akan merasakan ketergantungan terhadap satu sama lain dan mereka dapat merasa baik-baik saja meski jika pasangan mereka tidak bersama mereka (Reiss & Lee dalam Olson & Defrain, 2003). Sebagai contoh, seorang wanita yang sering di tinggal bepergian oleh pasangannya akan merasa terbiasa untuk melakukan segala sesuatunya sendirian dan tidak terlalu merasakan dampak akan kehadiran pasangannya. Gambar 5. Tipe Pola Pemilihan Pasangan Reiss’ Wheel Theory of Love Sumber: Olson & Defrain, 2003 4. Intimacy Need Fulfillment Tahap ini merupakan proses akhir dalam tipe pola pemilihan pasangan ini yang mencakup kepuasan yang didapatkan masing-masing pasangan ketika kebutuhan pribadinya terpenuhi sehingga akan membangun kedekatan yang lebih besar pada pasangan. Sebaliknya, jika ketiga proses sebelumnya tidak terpenuhi dengan baik, maka pasangan tidak akan mampu mencapai tahap kedekatan ini 38 (Reiss & Lee dalam Olson & Defrain, 2003). Contohnya, sepasang kekasih memiliki pola hubungan dan cara berkomunikasi yang baik serta merasa saling membutuhkan satu sama lain setiap harinya, namun, masing-masing dari mereka belum terbuka sepenuhnya terhadap pasangan mereka akan rahasia-rahasia yang mereka miliki. Dengan demikian, pasangan ini dikatakan belum mencapai tahap Intimacy Need Fulfillment. h) Exchange Theory Individu akan memilih untuk menjalin hubungan dengan orang lain yang memiliki sumber daya yang individu tersebut hargai. Mereka saling menumbuhkan ketertarikan karena adanya persetujuan timbal balik yang adil terkait apa yang bisa mereka dapatkan dan apa yang harus mereka berikan terhadap satu sama lain (Wisnuwardhani & Mashoedi, 2012). Sebagai contoh, seorang wanita menyukai seorang pria karena pria tersebut pandai dan stabil secara finansial, sementara pria tersebut juga merasakan ketertarikan terhadap si wanita karena wanita tersebut cantik dan pandai mengurus keluarga. Dalam pola pemilihan pasangan, orientasi seksual memegang peranan penting bagi individu dalam menentukan kriteria pasangan ideal yang mereka harapkan. Pada individu biseksual, pola pemilihan pasangan berbeda dengan individu heteroseksual dan homoseksual sehingga bahasan tersebut menjadi hal yang menarik untuk diteliti terkait dengan pola pemilihan pasangan pada biseksual. Berdasarkan hal tersebut, pada subbab berikut akan dibahas teori-teori yang terkait dengan orientasi seksual pada individu, berikut uraiannya. A.5. Komitmen Komitmen adalah suatu faktor yang membantu pasangan untuk mempertahankan hubungan, dalam keadaan yang lebih baik atau lebih buruk, yang terbentuk dari rasa cinta, 39 kasih sayang, kewajiban, tanggung jawab, maupun tekanan sosial (Strong & Cohen, 2014). Menurut Lehmiller (2014), komitmen mencakup dimensi kognitif dalam menghadapi suatu hubungan. Fungsi komitmen adalah untuk membantu individu dalam mengambil keputusan secara sadar dalam mempertahankan hubungan. Wisnuwardhani & Mashoedi (2012) mengungkapkan bahwa komitmen juga dapat diartikan sebagai keinginan untuk mencurahkan perhatian, melakukan sesuatu untuk menjaga suatu hubungan agar tetap langgeng, melindungi hubungan tersebut dari bahaya, dan memperbaiki bila hubungan dalam keadaan kritis. Sebagai akhir dari masa pemilihan pasangan, individu akan memasuki hubungan yang berkomitmen. Hubungan yang berkomitmen umumnya terdiri dari komponen seksual serta keterlibatan emosional dan keintiman yang mendalam dalam hubungan (Lehmiller, 2014). Berkembangnya komitmen yang diikuti dengan keintiman terjadi ketika hasrat dan nafsu yang awalnya melandasi hubungan telah memudar. Dengan adanya komitmen dan keintiman, hubungan cenderung akan lebih stabil dan bertahan dalam jangka waktu yang lama. Dalam masyarakat umum, pernikahan dianggap sebagai suatu simbol komitmen yang mengikat pasangan terhadap satu sama lain (Strong & Cohen, 2014). Dengan berlandaskan pada komitmen, individu mulai memikirkan tentang pernikahan. Alasan utama bagi individu untuk melakukan pernikahan adalah karena adanya cinta dan komitmen yang dibagi dan dibentuk bersama pasangan (Turner & Helms dalam Wisnuwardhani & Mashoedi, 2012). B. Orientasi Seksual B.1. Pengertian Orientasi Seksual Menurut Lehmiller (2014), orientasi seksual adalah pola yang unik dari dorongan seksual dan romantis, perilaku, dan identitas yang diekspresikan oleh individu. Wiener dan 40 Breslin (dalam Lang, 2015) menyatakan bahwa orientasi seksual terbentuk dari beberapa faktor yang mempengaruhinya, seperti sistem hormonal, neurofisiologi, sosiokultural (termasuk budaya, keluarga, perbedaan sosioekonomi, dan pendekatan religius), serta faktor psikologis lainnya seperti pengalaman seksual dan trauma seksual individu. Orientasi seksual berbeda dengan identitas gender. Nevid, Rathus, & Greene (2003) berpendapat bahwa orientasi seksual pada individu ditandai dengan minat erotis terhadap anggota gender dari lawan jenis maupun sesama jenis, tetapi identitas gender (perasaan subjektif sebagai pria atau wanita) konsisten dengan anatomi seks mereka. Menurut Kalat (2010), sebagian besar individu tidak memtuskan atau memilih orientasi seksual mereka, tetapi mereka ‘menemukan’ orientasi seksualnya dengan sendirinya. Secara umum, orientasi seksual terdiri dari tiga kategori, yaitu heteroseksual, homoseksual, dan biseksual. Heteroseksual adalah kecenderungan individu untuk memiliki ketertarikan seksual dan romantis dengan anggota dari lawan jenis, homoseksual mengacu pada ketertarikan individu secara seksual dan romantis terhadap anggota dari sesama jenis kelamin, sedangkan biseksual merupakan ketertarikan individu terhadap anggota dari lawan jenis maupun sesama jenis kelamin. Di pihak lain, Kinsey, Pomeroy, & Martin (dalam Lehmiller, 2014) menegaskan bahwa orientasi seksual tidak hanya ditentukan dengan tiga kategori tersebut, melainkan dengan kontinum yang dapat menjabarkan tipe orientasi seksual yang kompleks. Kontinum Kinsey Scale terdiri dari rentang angka 0 (kriteria perilaku dan ketertarikan heteroseksual) hingga 6 (kriteria perilaku dan ketertarikan homoseksual). Kontinum Kinsey Scale dapat dilihat pada Gambar 6. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha menemukan subjek berdasarkan kontinum tersebut. 41 (0) (1) (2) (3) (4) (5) (6) Heteroseksual Heteroseksual namun terkadang homoseksual Heteroseksual dengan pengalaman homoseksual Heteroseksual maupun homoseksual Homoseksual dengan pengalaman heteroseksual Homoseksual namun terkadang heteroseksual Homoseksual Gambar 6. Kontinum Orientasi Seksual Kinsey Sumber: Kinsey, dkk. dalam Lehmiller, 2014 Menurut Lehmiller (2014), kontinum Kinsey pada skala pertama yang bernilai 0 menunjukkan bahwa individu memiliki orientasi heteroseksual. Hal ini berarti individu menyukai individu lain dari lawan jenis. Individu tidak pernah memiliki atau membangun kontak fisik yang didasari oleh gairah seksual atau merespon secara fisik terhadap individu dari sesama jenis kelamin. Heteroseksual adalah orientasi seksual yang paling umum ditemui dalam masyarakat. Dalam orientasi heteroseksual, wanita menyukai pria seperti pada umumnya. Kontinum Kinsey pada skala 1 menunjukkan bahwa individu secara umum memiliki orientasi heteroseksual sekaligus homoseksual yang diakibatkan oleh peristiwa yang terjadi secara kebetulan. Individu memiliki kontak homoseksual yang melibatkan respon fisik atau psikis tanpa ada kontak secara fisik (Lehmiller, 2014). Dalam skala ini, secara garis besar, wanita menyukai lawan jenis, namun ketika melihat teman wanitanya memiliki karakteristik fisik yang menarik, dia menjadi tertarik kepada teman wanitanya tersebut. Kontinum Kinsey pada skala 2 menunjukkan bahwa individu juga memiliki orientasi heteroseksual namun pernah memiliki pengalaman berhubungan sebagai homoseksual (Lehmiller, 2014). Contoh nyata dalam orientasi pada kontinum ini dapat dilihat seperti pada kasus berikut. Seorang wanita menyukai pria seperti pada umumnya. Dia memiliki teman wanita dengan orientasi homoseksual. Teman wanitanya menyukainya dan menyatakan ingin menjadi pacarnya. Karena wanita tersebut memang sudah lama melajang dan dia melihat bahwa teman wanitanya adalah sosok orang yang cukup baik, maka dia mau 42 menerimanya sebagai pacarnya meski orientasi seksualnya secara garis besar adalah heteroseksual. Dalam Weinrich & Klein, 2008), orientasi ini disebut juga bi-heteroseksual. Pada skala 3, menurut Kinsey dkk., (dalam Lehmiller, 2014), individu menampilkan level heteroseksual dan homoseksual pada tingkat yang sama. Pada kontinum inilah individu dapat dikatakan biseksual secara utuh. Pada level biseksual, individu pernah membangun hubungan atau kontak fisik yang melibatkan gairah seksual, baik dengan pria maupun wanita (Lehmiller, 2014). Dalam Weinrich & Klein, 2008), orientasi ini disebut juga bi-biseksual. Skala 4 pada kontinum Kinsey menunjukkan bahwa individu memiliki orientasi homoseksual namun pernah memiliki pengalaman dalam melakukan kontak fisik dengan lawan jenis (Lehmiller, 2014). Dalam skala ini, wanita secara garis besar menyukai sesama jenis, yaitu wanita, namun pada satu waktu ketika dia disakiti oleh wanita, dia beralih ke laki-laki dan membangun hubungan dengan laki-laki hanya sebagai pemulihan. Dalam Weinrich & Klein, 2008), orientasi ini disebut juga bi-homoseksual. Pada skala 5 di kontinum Kinsey, individu secara garis besar memiliki orientasi homoseksual, namun secara kebetulan pernah menjadi heteroseksual. Skala ini melibatkan adanya stimulus dari lawan jenis yang mengakibatkan munculnya respon secara fisik maupun psikis tanpa ada kontak fisik sebelumnya (Lehmiller, 2014). Seorang wanita dengan orientasi homoseksual yang mengidolakan seorang pria yang maskulin dapat menggambarkan skala orientasi seksual pada kontinum ini. Kontinum Kinsey pada skala 6 menunjukkan bahwa individu memiliki orientasi homoseksual. Individu tidak pernah memiliki atau membangun kontak fisik yang didasari oleh gairah seksual atau merespon secara fisik terhadap individu dari jenis kelamin yang berbeda. Pada orientasi homoseksual, individu secara terbuka menunjukkan respon fisik terhadap individu dengan jenis kelamin yang sama serta memiliki pengalaman-pengalaman dalam membangun hubungan dengan sesama jenis kelamin (Lehmiller, 2014). 43 Berdasarkan kontinum Kinsey, dalam penelitian ini akan melibatkan 3 orang subjek wanita dimana satu orang memiliki orientasi seksual pada skala 2 kontinum Kinsey (biheteroseksual), yang berarti individu adalah heteroseksual namun pernah memiliki pengalaman berhubungan sebagai homoseksual, satu orang subjek memiliki orientasi seksual pada skala 3 kontinum Kinsey (bi-biseksual), yang berarti individu memiliki level homoseksualitas dan heteroseksualitas yang setara sebagai biseksual, dan satu orang subjek yang memiliki orientasi seksual pada skala 4 kontinum Kinsey (bi-homoseksual), yang berarti individu berorientasi homoseksual tetapi pernah memiliki pengalaman dalam berinteraksi dengan lawan jenis (Kinsey dalam Lehmiller, 2014). Pemilihan subjek yang didasari oleh kategori dalam kontinum Kinsey dilakukan berdasarkan asumsi peneliti bahwa adanya perbedaan taraf biseksualitas pada individu akan mengarahkan individu pada proses pemilihan pasangan yang berbeda. Hal ini didukung pula oleh pernyataan Kinsey (dalam Lehmiller, 2014) bahwa perbedaan taraf biseksualitas ini memungkinkan masing-masing individu pada tiap kontinum untuk memiliki pola ketertarikan, perilaku, dan identitas yang berbeda dan dapat berubah seiring waktu. Pemilihan subjek dengan taraf biseksualitas pada skala 3 dilakukan karena individu pada skala ini menyukai pria dan wanita dengan tingkat ketertarikan yang sama sehingga mereka seringkali dikaitkan dengan dilema dalam memilih pasangan. Pemilihan subjek dengan taraf biseksualitas pada skala 2 dan 4 dilakukan karena individu pada taraf ini mendekati taraf biseksualitas pada skala 3 sehingga turut diasumsikan mengalami kesulitan dan dilema yang sama dalam proses pemilihan pasangan. Pemilihan ketiga subjek ini dilakukan untuk memperdalam data terkait pengalaman ketiga subjek dalam menjalani proses pemilihan pasangan melalui perbandingan di antara ketiga subjek tersebut. 44 B.2. Pengertian Biseksual Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, biseksual dinyatakan sebagai individu yang mempunyai sifat kedua jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) dan memiliki ketertarikan kepada kedua jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan. Berdasarkan penelitian, menurut Herek dkk. (dalam Institute of Medicine of the National Academies, 2011), individu dengan kecenderungan biseksual umumnya mengidentifikasikan orientasi dirinya dalam bentuk yang bervariasi. Beberapa individu biseksual rata-rata menunjukkan ketertarikan yang merata terhadap laki-laki maupun perempuan, sementara para biseksual lain menunjukkan level preferensi yang bervariasi terhadap satu jenis kelamin dibandingkan jenis kelamin lainnya. Beberapa individu biseksual juga dapat menunjukkan derajat identitas heteroseksual, homoseksual, dan biseksual yang berbeda-beda (Kinsey dalam Lehmiller, 2014). Identitas diri biseksual sangat bervariasi dan berbeda-beda pada tiap budaya, suku, ras, status sosial dan ekonomi, serta usia. Identifikasi diri biseksual juga berbeda pada tiap situasi dan dapat berubah setiap waktu. Rosario, dkk. (2007) mengklasifikasikan biseksual berdasarkan perannya, yakni sebagai femme dan butch. Butch adalah suatu istilah yang mencerminkan wanita dengan karakteristik maskulin secara umum, sedangkan femme mencerminkan wanita dengan karakteristik yang feminin. Menurut Rosario, dkk. (2007), peran biseksual terbagi menjadi dua, yaitu bisexual femme dan bisexual butch. Berdasarkan orientasinya, Weinrich & Klein (2008) membagi biseksual ke dalam tiga jenis, yaitu Bi-Heterosexual untuk biseksual pada skala 2 yang memiliki ketertarikan lebih tinggi pada lawan jenis, Bi-Bisexual untuk biseksual pada skala 3 yang memiliki ketertarikan setara terhadap sesama dan lawan jenis, serta BiHomosexual untuk biseksual pada skala 4 yang memiliki ketertarikan lebih tinggi terhadap 45 sesama jenis, dengan skala-skala tersebut yang disesuaikan dengan kontinum Kinsey (dalam Lehmiller, 2014). Brannon (2011) menyatakan bahwa jumlah individu biseksual masih tergolong rendah dan secara umum sulit dideteksi. Rendahnya jumlah individu yang berorientasi biseksual membuat orientasi itu sendiri tidak memiliki komunitas untuk mendukung para individunya. B.3. Pengertian Wanita Biseksual Penelitian ini melibatkan subjek dengan jenis kelamin wanita yang berusia 18-40 tahun. Kriteria usia tersebut dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa individu pada usia tersebut berada pada masa dewasa awal dimana individu dewasa awal memiliki tugas perkembangan dalam membentuk relasi personal dengan orang lain guna mencari pasangan hidup (Hurlock, 1980). Orang dewasa awal mencari keintiman emosional dan fisik kepada teman sebaya atau pasangan romantis. Keterampilan dalam menjalin hubungan, seperti kesadaran diri, empati, kemampuan mengkomunikasikan emosi, pembuatan keputusan seksual, penyelesaian konflik, dan kemampuan mempertahankan komitmen sudah dimiliki oleh orang dewasa awal dimana keterampilan ini akan membantu mereka dalam mengambil keputusan untuk menikah, membentuk pasangan yang tidak terikat pernikahan atau pasangan sesama jenis, hidup seorang diri, atau memutuskan memiliki atau tidak memiliki anak (Lambeth & Hallett dalam Papalia, dkk., 2011). Dalam penelitian yang dilakukan oleh tim psikolog dari Northwestern University, AS, yang dipimpin oleh Chivers dan Michael Bailey (dalam Lehmiller, 2014) dengan mempertontonkan film erotis kepada wanita heteroseksual, biseksual, dan lesbian untuk mengukur rangsangan subjektif dari genital, Bailey menyimpulkan bahwa tidak seperti pria, wanita selalu bergairah terhadap adegan seks antara perempuan dan perempuan, laki-laki 46 dan laki-laki, serta laki-laki dan perempuan (Lehmiller, 2014). Berdasarkan hal tersebut disimpulkan bahwa wanita lebih memiliki kecenderungan biseksual dibandingkan laki-laki. Pada pasangan sesama jenis, dalam hal ini sesama wanita, terdapat pembagian peran dari masing-masing pasangan. Salah satu pasangan berperan sebagai butch dan salah satunya berperan sebagai femme. Butch adalah suatu istilah yang mencerminkan wanita dengan karakteristik maskulin secara umum, sedangkan femme mencerminkan wanita dengan karakteristik yang feminin (Rosario, dkk., 2007). Berdasarkan hasil penelitian gabungan dalam penelitian Rosario dkk. (2007) yang dilakukan terhadap 76 wanita lesbian dan biseksual dengan rentang usia 14-21 tahun, 43% wanita tergolong sebagai butch dan 51% wanita tergolong sebagai femme. Hampir sebagian besar butch diidentifikasikan lesbian, sedangkan sebagian femme diidentifikasi dengan orientasi biseksual. Wanita biseksual memiliki perilaku dan orientasi kognitif seksual yang berfokus pada pria maupun wanita dalam derajat yang sama. Wanita yang berperan sebagai femme pada umumnya juga memiliki ketertarikan terhadap laki-laki, sehingga dapat dikatakan memiliki orientasi biseksual (Rosario, dkk., 2007). Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini akan melibatkan subjek dengan orientasi biseksual yang berperan sebagai femme dalam orientasi biseksualnya. B.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Orientasi Biseksual Kinsey (dalam Lehmiller, 2014) menyatakan bahwa orientasi seksual tidak hanya terbagi ke dalam tiga kategori, yaitu heteroseksual, homoseksual, dan biseksual, namun terbagi ke dalam 7 kategori yang lebih kompleks dalam sebuah kontinum karena sifatnya yang sulit diidentifikasi dan mudah berubah. Setiap individu memiliki orientasi seksual yang berbeda. Untuk menjelaskan perbedaan orientasi seksual pada individu, maka dibutuhkan beberapa teori yang mencakup faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan orientasi 47 seksual. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku biseksual secara khusus dijabarkan dalam beberapa teori berikut: a) Teori Psikologi Freud (dalam Lehmiller, 2014) mengemukakan bahwa setiap individu memiliki kecenderungan biseksual dalam dirinya, sementara kecenderungan untuk menjadi homoseksual disebabkan oleh pengalaman buruk dalam hubungan heteroseksual. Dengan alasan psikologis, biseksualitas dikatakan dapat terbentuk bukan karena adanya pengaruh eksternal, tetapi murni karena pengaruh dan dorongan internal dari dalam diri individu yang mengarahkan mereka pada orientasi tersebut (Freud dalam Lehmiller, 2014). b) Faktor Sosial Lubis (2013) menyatakan bahwa faktor sosial atau pergaulan merupakan faktor terbesar yang menjadi penyebab homoseksual. Dalam hal ini, jika individu pernah mengalami atau merasakan hubungan seksual sesama jenis (seperti sodomi), akan menyebabkan timbulnya kecenderungan homoseksual pada individu yang tidak utuh, dengan kata lain, individu akan mengembangkan orientasi seksual ganda atau biseksual. c) Teori Biologis dan Hormon Teori Biologis yang dikemukakan Simon LeVay (dalam Lehmiller, 2014) menyatakan bahwa ada perbedaan struktur otak antara individu heteroseksual dengan homoseksual. Pada heteroseksual, bagian interstitial nuclous of the anterior hypothalamus ketiga (INAH3) dua kali lipat lebih besar dibandingkan dengan homoseksual. INAH3 pada pria homoseksual itu sendiri memiliki ukuran yang sama dengan ukuran INAH3 pada wanita heteroseksual. Selain itu, bentuk simetris wajah juga dapat meramalkan identitas seksual pada individu (Hughes & Bremme dalam 48 Lehmiller, 2014). Individu heteroseksual cenderung memiliki wajah yang lebih simetris dibandingkan dengan homoseksual dan biseksual. Penelitian berikutnya dari Lalumiere, Blanchard & Zucker, dalam Lehmiller, 2014) mengemukakan bahwa seksual orientasi dapat terlihat dari tangan individu. Sebagian besar homoseksual cenderung kidal dibandingkan dengan heteroseksual. d) Trauma Masa Lalu Menurut Lubis (2013), pada beberapa kasus homoseksual dan biseksual, ditemukan kesamaan latar belakang riwayat pada mereka yang berorientasi homoseksual bahwa mereka pernah mengalami penyiksaan pada masa kecilnya atau pernah mengalami pelecehan seksual oleh orang-orang terdekat. Meski jarang ditemui pada biseksual, namun trauma dan pengalaman homoseksual di masa lalu juga dapat menjadi awal bagi individu untuk mengenal hubungan sesama jenis sehingga memberikan pengalaman biseksualitas pada individu yang dapat berkelanjutan. e) Teori Evolusi Wanita memiliki seksualitas fleksibel yang dapat berubah-ubah antara ketertarikan pada pria dan pada wanita. Pemikiran bahwa pria bukan sosok yang dapat diandalkan dalam membesarkan anak mendukung kecenderungan wanita untuk mengembangkan ketertarikan terhadap sesama wanita (Lehmiller, 2014). f) Faktor Herediter Meski jarang terjadi, namun menurut Lubis (2013), homoseksual atau biseksualitas dapat terjadi karena faktor keturunan. Homoseksualitas dalam hal ini terjadi karena proses genetis dimana individu terlahir dengan susunan kromosom yang tidak pada umumnya. Kecenderungan ini dapat pula diwariskan melalui garis keturunan keluarga individu yang memiliki riwayat homoseksual atau biseksual. 49 g) Teori Biopsikososial Daryl Bem (dalam Lehmiller, 2014) mengungkapkan bahwa individu terlahir dengan temperamen yang mengarahkan pada aktivitas sosial terkait dengan maskulinitas dan femininitas. Beberapa individu terlahir dengan temperamen yang mengarahkan individu pada aktivitas yang biasa dilakukan oleh individu di luar jenis kelaminnya. Ketika individu melihat bahwa individu dari jenis kelamin yang sama melakukan aktivitas yang berbeda dengannya, individu akan melihat hal tersebut sebagai hal yang eksotis. Melalui pubertas, ketertarikan akan hal eksotis ini berubah menjadi ketertarikan erotis secara seksual. B.5. Tahap Perkembangan Identitas Biseksual D’Augelli (dalam Hill, 2008) mengemukakan tahap perkembangan identitas yang secara umum sesuai bagi para lesbian, gay, dan biseksual. D’Augelli (dalam Hill, 2008) menolak pandangan esensial yang memandang identitas seksual sebagai suatu hal yang baru disadari oleh individu yang menampilkan sifat-sifat alami individu yang sudah ada sebelumnya atau kualitas dalam diri individu yang harus ditampilkan pada kehidupannya secara nyata dan terbuka. Pada kenyataannya, khususnya bagi wanita lesbian dan biseksual, menurut D’Augelli (dalam Hill, 2008), individu yang berbeda memiliki pengalaman ketertarikan seksual dan membangun identitas lesbian atau biseksual dengan alur yang sama namun pada waktu yang berbeda-beda. Tahap perkembangan identitas biseksual yang dikemukakan D’Augelli (dalam Hill, 2008) terdiri dari beberapa langkah, antara lain: a) Melepaskan diri dari identitas heteroseksual Pada tahap ini, individu mengadopsi identitas non-heteroseksual dan menampilkan identitas barunya secara terbuka. Proses ini disebut juga dengan coming out. 50 b) Mengembangkan status identitas personal sebagai lesbian, gay, atau biseksual Tahap ini menjelaskan bagaimana individu mulai mengubah pandangan terhadap identitas seksual yang didasari oleh hasil interaksi dengan orang lain, khususnya sesama lesbian, gay, atau biseksual. c) Mengembangkan status identitas sosial sebagai lesbian, gay, atau biseksual Individu mulai membentuk kelompok pergaulan dengan orang yang sadar akan identitas orientasi seksualnya serta dengan orang-orang yang setuju dan mendukung individu. d) Menampilkan diri dalam keluarga sebagai lesbian, gay, atau biseksual Berusaha mengarahkan keluarga untuk melewati sikap toleransi menuju ke sikap penerimaan dan persetujuan terhadap orientasi seksual individu. e) Mengembangkan hubungan intim dengan sesama jenis Individu berusaha mengatasi masalah-masalah sosial untuk dapat membangun hubungan yang memuaskan dengan sesama jenis. f) Memasuki komunitas lesbian, gay, atau biseksual Individu membangun komunitas lesbian, gay, atau biseksual dengan orang lain yang juga memiliki orientasi seksual serupa untuk melindungi anggota komunitas dari hambatan sosial. McCarn dan Fassinger (dalam Hill, 2008) mengembangkan tahap perkembangan identitas seksual lainnya yang lebih berfokus pada tipe aktivitas dibandingkan dengan konten perkembangan pada area spesifik sebagai perbandingan dengan teori D’Augelli (dalam Hill, 2008). Menurut Schneider (dalam Hill, 2008), wanita lebih cenderung berfokus pada hubungan dalam kehidupan seksual mereka, serta lebih fleksibel dalam mengembangkan atau menunjukkan ekspresi mereka dibandingkan laki-laki. Berdasarkan hal tersebut, McCarn dan Fassinger (dalam Hill, 2008) mendalami tahap perkembangan identitas 51 seksualnya pada wanita lesbian dan biseksual dengan model yang berbeda dari tahap perkembangan pada laki-laki homoseksual. Tahap perkembangan McCarn dan Fassinger dijelaskan sebagai berikut. a) The Awareness Phase : Kesadaran akan adanya ketertarikan terhadap orang lain dari jenis kelamin yang sama. b) The Exploration Phase : Secara sadar mulai mengamati identitas gender dari orang lain dengan jenis kelamin yang sama. c) Deepening and Commitment : Memahami pikiran, perasaan, dan keinginan personal yang mendalam. d) Internalization and Synthesis : Menyatukan perasaan cinta dan hasrat individu terhadap wanita ke dalam pemahaman diri dan mengatur konsep diri dengan cara yang bermakna. B.6. Permasalahan yang Dihadapi Biseksual dalam Membangun Hubungan Seperti layaknya kehidupan hubungan heteroseksual, para homoseksual dan biseksual juga memiliki kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam membangun sebuah hubungan. Kehidupan berhubungan homoseksual menjadi sulit ketika sebagian besar masyarakat masih menganggap hubungan homoseksual sebagai hal yang tabu (UNDP & USAID, 2014). Kehidupan berhubungan pada biseksual sendiri jauh lebih kompleks dibandingkan kehidupan heteroseksual maupun homoseksual. Weinberg, dkk. (1995) memaparkan bahwa biseksual tidak selalu memiliki preferensi yang khusus terhadap sesama ataupun lawan jenis. Terkadang mereka tertarik pada sesama jenis dan lawan jenis dalam periode waktu yang sama, atau mereka menyukai lawan jenis selama bertahun-tahun, namun kemudian beralih menyukai sesama jenis, atau mereka akan beralih pada sesama dan lawan jenis secara berulang tanpa pola yang jelas. 52 Sebagian besar masyarakat masih menganggap homoseksual dan biseksual sebagai perilaku seks menyimpang yang tidak sesuai dengan norma agama dan budaya. Kehidupan kelompok homoseksual dan biseksual yang bertolak belakang dengan kebiasaan kehidupan individu heteroseksual dalam berperilaku dan menentukan sikap membuat komunitas maupun individu homoseksual itu sendiri tidak mendapat tempat di masyarakat. Fakta bahwa seksualitas pria dan wanita dapat beragam sementara terdapat tekanan sangat kuat untuk mendirikan keluarga, heteroseksual menimbulkan masalah yang lebih kompleks seiring dengan diterimanya biseksualitas sebagai hal yang cukup umum, namun tidak demikian halnya dengan identitas biseksual itu sendiri (UNDP & USAID, 2014). Selain dengan adanya penolakan dari masyarakat, biseksual juga mengalami pertentangan dan dilema dalam dirinya. Bigner dan Wetchler (2012) menyatakan bahwa krisis terbesar pada pasangan dengan heterogen muncul karena pengungkapan bahwa salah satu pasangannya memiliki orientasi biseksual yang disertai perselingkuhan dengan sesama jenis. Pasangan biseksual adalah pasangan yang paling sering berhadapan dengan rasa percaya yang telah hancur, rasa syok, rasa bersalah, serta sakit hati bagi kedua belah pihak karena adanya perselingkuhan. Beberapa individu heteroseksual menemukan bahwa pasangan mereka adalah biseksual dan telah memiliki hubungan dengan sesama jenis yang mereka pikir hanya teman pasangannya. Tidak hanya pada individu heteroseksual, individu dengan orientasi homoseksual, baik lesbian maupun gay, juga akan merasakan sakit hati yang sama dari pengkhianatan yang dilakukan oleh biseksual melalui perselingkuhannya dengan lawan jenis (Bigner & Wetchler, 2012). Perselingkuhan yang dilakukan oleh biseksual ini disebabkan karena dilema yang ada dalam diri biseksual dalam memilih pasangannya. Pernyataan ini didukung pula oleh George & Mclean (dalam Armstrong & Reissing, 2014) yang menyatakan bahwa biseksual umumnya dikaitkan dengan gaya hidup non-monogami, dalam artian, biseksual 53 tidak menginginkan hubungan jangka panjang hanya dengan satu pasangan saja. Rust (dalam Galupo, 2009) menyatakan bahwa seorang biseksual akan cenderung menghindari pernikahan karena tidak ingin terikat dalam hubungan non-monogami. Penolakan terhadap biseksual, khususnya pada biseksual wanita, tidak hanya ditemukan berasal dari kalangan heteroseksual ataupun masyarakat umum, tetapi juga dari kalangan homoseksual wanita (lesbian). Dari hasil penelitian yang dilakukan Hutchins & Ka’ahumanu dan Weise (dalam Rust, 1995), biseksual mengaku bahwa mereka sering menjadi objek hinaan dan pengabaian oleh lesbian, yang seringkali memandang mereka sebagai ‘pengkhianat’ atau pengacau yang tidak diharapkan dalam komunitas lesbian. Stone (dalam Caldwell, 2010) juga menemukan banyak kelompok-kelompok lesbian feminis yang mengejek atau menjelek-jelekan kelompok biseksual. Beberapa lesbian berkata bahwa pengalaman biseksual dalam menjalin hubungan dengan wanita adalah hal yang menyimpang dan tidak kompeten untuk disebut sebagai orientasi seksual (Stone dalam Caldwell, 2010). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mathy, Cochran, Olsen, & Mays (2009) menyimpulkan bahwa kecenderungan untuk bunuh diri lebih banyak ditemui pada orangorang biseksual, sama halnya seperti lesbian dan gay, dibandingkan dengan orang heteroseksual yang menikah atau telah bercerai. Mereka mengalami banyak penolakan terkait budaya atas hubungan sesama jenis yang dilakukan, bahkan di negeri dimana LGBT didukung secara hukum. Penolakan ini diperkirakan menjadi penyebab morbiditas psikologis para biseksual yang merujuk pada depresi dan akhirnya memunculkan motif dan perilaku bunuh diri. 54 C. Perspektif Teoretis Pada hakekatnya, manusia selalu membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan sosialnya. Manusia akan menjalin hubungan dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya akan penerimaan, rasa cinta, dan kasih sayang (Wisnuwardhani & Mashoedi, 2012). Menemukan orang lain sebagai pasangan dan pendamping hidup menjadi pusat dari interaksi sosial yang dilakukan manusia dalam kesehariannya (Atwater, 1983). Untuk menemukan seseorang yang ideal sebagai pasangan, setiap individu melalui proses yang beragam. Dalam proses ini, individu bertemu dan berkenalan dengan ribuan orang lainnya dan hanya akan memilih satu dari ribuan orang tersebut untuk dijadikan sebagai pasangan hidup. Proses ini terjadi melalui berbagai tahapan yang secara umum dilakukan melalui interaksi sosial, menemukan kecocokan dan kesamaan prinsip dengan orang lain, membangun komunikasi yang baik, menunjukkan keterbukaan, menentukan peran dalam hubungan, menetapkan peran yang setara, serta menjalin hubungan intim yang terbuka (Lewis dalam Duvall & Miller, 1985). Kriteria masing-masing individu dalam memilih sosok pasangan yang mereka harapkan memberikan pengaruh besar dalam perbedaan proses pemilihan pasangan yang dijalani individu. Dalam usaha untuk menemukan pasangan hidup, individu membentuk kriteria-kriteria pasangan ideal yang mereka inginkan. Kriteria ini mencakup daya tarik fisik, kemiripan, kesamaan latar belakang, kedekatan, serta perasaan-perasaan positif yang dikembangkan oleh individu. Kriteria ini menjadi acuan bagi individu dalam memilih pasangan (Atwater, 1983). Dalam memilih pasangan, setiap proses yang dijalani akan mengarahkan individu pada penerapan pola yang berbeda-beda. Pola pemilihan pasangan menurut (Olson & Defrain, 2003) dapat dilakukan melalui proses berkencan, perjodohan, pertemuan dalam one night stand, atau mengikuti proses dalam teori Filter dan Stimulus-Role-Value dengan kriteria pemilihan pasangan secara homogamy atau complementary. Wisnuwardhani & 55 Mashoedi (2012) mengemukakan beberapa pola pemilihan pasangan yang juga dapat dilakukan oleh individu, yakni pemilihan pasangan yang didasari oleh teori Psikodinamika, teori Kebutuhan, serta teori Exchange. Proses pemilihan pasangan ini dapat dipengaruhi oleh banyak hal, khususnya orientasi seksual. Orientasi seksual adalah pola yang unik dari dorongan seksual dan romantis, perilaku, dan identitas yang di ekspresikan oleh individu (Lehmiller, 2014). Berdasarkan kontinum Kinsey (dalam Lehmiller, 2014), orientasi seksual dibedakan ke dalam 7 kategori, yaitu heteroseksual (skala 0), heteroseksual dengan kecenderungan homoseksual (skala 1), heteroseksual dengan pengalaman homoseksual (skala 2), heteroseksual sekaligus homoseksual (biseksual yang berada pada skala 3), homoseksual dengan pengalaman heteroseksual (skala 4), homoseksual dengan kecenderungan heteroseksual (skala 5), dan homoseksual (skala 6), dimana peneliti akan melibatkan 3 subjek wanita dengan masingmasing orientasi seksual yang berada pada skala 2, 3, dan 4 pada kontinum Kinsey. Orientasi seksual menentukan kriteria individu terhadap pasangan ideal mereka sehingga berdampak terhadap proses pemilihan pasangan. Pada heteroseksual, individu secara jelas memiliki kecenderungan untuk tertarik secara seksual kepada lawan jenis yang dianggapnya sebagai kriteria pasangan ideal, homoseksual memiliki ketertarikan seksual terhadap sesama jenis, sedangkan biseksual memiliki ketertarikan seksual terhadap sesama jenis dan lawan jenis (Weinberg, dkk., 1995). Dari hasil penelitian yang dilakukan Lippa (2013), individu dengan orientasi biseksual menampilkan pola ketertarikan ganda terhadap model pria maupun wanita berdasarkan foto-foto dari para model yang telah ditampilkan, sehingga hal ini membedakan pola ketertarikan mereka dengan pola ketertarikan pada partisipan homoseksual dan heteroseksual. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Mu’allafah (2012), kecenderungan biseksual muncul dari dinamika kepribadian individu yang didominasi oleh id, yaitu dorongan dan 56 hasrat dalam diri individu, serta kondisi ego (kesadaran) dan superego (nilai-nilai moral) yang lemah. Kondisi ini memperkuat keinginan individu dalam melakukan aktivitas seksual dengan lawan jenis maupun sesama jenis (Mu’allafah, 2012). Beberapa biseksual dapat memilih apakah mereka akan menjadi homoseksual atau heteroseksual untuk seterusnya. Hal ini dibuktikan dalam penelitian Widiarto (2010) dimana subjek penelitiannya yang merupakan seorang wanita biseksual memutuskan untuk kembali menjadi heteroseksual dengan memulihkan kembali kepercayaan dirinya dengan adanya kondisi locus of control internal yang lebih dominan dibandingkan locus of control eksternal. Luasnya kriteria pasangan ideal bagi biseksual dapat menimbulkan dilema bagi para biseksual dalam memilih pasangan hidup. Dilema yang dialami biseksual ini juga dapat mengarah pada berbagai konflik, seperti konflik komitmen, perselingkuhan, serta konflik sosial budaya sehingga menumbuhkan kondisi psikologis khusus pada biseksual, seperti yang dikatakan Herma (2013) dalam penelitiannya terkait kondisi psikologis pada biseksual. Dalam penelitian ini, subjek menunjukkan kecemasan yang diakibatkan kebimbangan dalam menampilkan perilaku umum dan perilaku seksualnya serta kurangnya penerimaan sosial dari masyarakat (Herma, 2013). Kondisi ini didukung oleh penelitian Vitasandy & Zulkaida (2006) yang dalam hasil penelitiannya memberikan kesimpulan bahwa konsep diri seorang biseksual dipengaruhi oleh konflik-konflik terkait orientasinya, dimana konflik yang dialami akan mengarahkan individu biseksual pada konsep diri negatif, dan jika tidak terjadi konflik, maka individu akan memiliki konsep diri yang positif. Konflik komitmen, menurut Bigner dan Wetchler (2012) adalah hal yang paling sering terjadi pada pasangan dengan salah satu individunya yang berorientasi biseksual. Seringkali, ketika pasangan heteroseksual telah menjalani hubungan monogami dalam jangka waktu yang lama, masalah muncul secara tiba-tiba ketika salah satu pasangan mengakui dirinya adalah biseksual. Hal itu diperparah karena pengakuan salah satu pasangan tersebut didasari 57 oleh perselingkuhannya dengan sesama jenis yang belakangan baru diketahui oleh pasangannya (Armstrong & Reissing, 2014). Konflik komitmen dan perselingkuhan ini cukup sering ditemui dan seringkali merugikan kedua belah pihak, baik individu heteroseksual atau homoseksual yang terlibat hubungan dengan individu biseksual maupun individu biseksual itu sendiri. Konflik ini dapat menyebabkan trauma atas rasa percaya terhadap pasangan, trauma dalam membangun hubungan, rasa bersalah, kecewa, serta sakit hati yang berkepanjangan. Penelitian yang dilakukan Armstrong & Reissing (2014) juga menghasilkan kesimpulan bahwa sebagian besar pria tidak menginginkan untuk berada dalam hubungan romantis dan berkomitmen dengan wanita biseksual dan akan lebih memilih untuk membangun hubungan berkomitmen dengan wanita heteroseksual. Tidak hanya dipandang negatif dalam hubungan romantis, biseksual juga seringkali dilihat sebagai orang yang tidak patut dipercaya dalam hal pertemanan (Gustavson, 2009; Israel & Mohr, 2004; Kleese, 2005; McLean, 2004; Mohr & Rochlen, 1999; Spalding & Peplau, 1997 dalam Armstrong & Reissing, 2014). Kualitas hubungan yang dibangun oleh biseksual dipandang rendah dan pasangan mereka cenderung berpikir bahwa mereka akan berselingkuh dan menyebarkan penyakit menular seksual pada pasangan romantisnya. Pandangan negatif terhadap biseksual ini disebut dengan binegativity atau biphobia, yakni setiap prasangka yang diarahkan kepada individu dengan orientasi biseksual (Yost & Thomas dalam Armstrong & Reissing, 2014). Konflik sosial budaya dapat terjadi ketika individu mengungkapan identitasnya sebagai biseksual terhadap pasangan, keluarga, maupun masyarakat. Sebagian besar masyarakat belum sepenuhnya mampu menerima identitas biseksual sebagai orientasi yang wajar, sehingga masyarakat cenderung menolak orientasi biseksual termasuk orang-orang yang menyandang identitas tersebut (UNDP & USAID, 2014). Hasil penelitian yang dilakukan McAllum (2014) menyatakan bahwa diskriminasi terhadap wanita biseksual tidak 58 hanya terjadi di lingkungan masyarakat, tetapi juga di lingkungan sekolah. Perlakuan diskriminatif yang dialami wanita biseksual di lingkungan sekolah dalam penelitian McAllum (2014) tidak hanya datang dari sesama siswa, tetapi juga dari para guru. Tindak diskriminatif yang dilakukan para siswa umumnya mencakup kekerasan secara verbal seperti hinaan, ejekan, dan bahasa kasar, serta kekerasan non-verbal, seperti menjambak rambut dan memukul, sedangkan tindak diskriminatif yang dilakukan para guru berupa tindakan mempermalukan diri subjek di depan seluruh siswa. Penelitian yang dilakukan Herma (2013) menghasilkan kesimpulan bahwa ketiga subjek dalam penelitian mengalami kecemasan terkait keharusan untuk menunjukkan perilaku umum dan keinginan untuk menampilkan perilaku seksual serta reaksi masyarakat yang belum sepenuhnya menerima identitas dirinya. Reaksi dari masyarakat dan orang-orang di sekitarnya memunculkan keraguan tersendiri bagi individu dalam menerima identitas dirinya (Herma, 2013). Penolakan terhadap biseksual, khususnya pada biseksual wanita, tidak hanya ditemukan berasal dari kalangan heteroseksual ataupun masyarakat umum, tetapi juga dari kalangan homoseksual wanita (lesbian). Dari hasil penelitian yang dilakukan Hutchins & Ka’ahumanu dan Weise (dalam Rust, 1995), biseksual mengaku bahwa mereka sering menjadi objek hinaan dan pengabaian oleh lesbian. Demikian pula pengakuan dari seorang lesbian yang juga menulis dalam bukunya bahwa dirinya sempat melihat biseksual sebagai ancaman bagi masa depan kelompok lesbian (Stone dalam Caldwell, 2010). Dalam kelompok akademik yang membahas tentang pernikahan sesama jenis sekalipun, biseksualitas sangat dimarginalkan, dikutuk, dan dianggap seolah-olah tidak nyata (Galupo, 2009). Di kalangan penelitian, sebagian besar kelompok ilmiah mengelompokkan orientasi seksual hanya ke dalam dua kelompok, yakni heteroseksual dan homoseksual, sehingga orientasi biseksual itu sendiri dianggap tidak benar-benar ada (Sears, 2014). Sebagian masyarakat yang melakukan tindak diskriminatif berupa kekerasan verbal 59 juga cenderung mengelompokkan biseksual ke dalam kelompok gay atau lesbian, dan mengesampingkan identitasnya sebagai biseksual (McAllum, 2014). Penolakan dari berbagai kelompok masyarakat akan menanamkan rasa malu, rasa bersalah, serta dilema pada diri individu biseksual. Hal tersebut menjadi hipotesis dalam penelitian ini, sehingga penelitian ini difokuskan untuk meneliti bagaimana hal tersebut berpengaruh terhadap proses pemilihan pasangan yang diterapkan oleh para biseksual. Penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan karena studi terkait biseksual sangat jarang dilakukan dan jarang ditemui sehingga orientasi biseksual menjadi orientasi yang paling sulit dipahami, sulit dimengerti, dan selalu terpinggirkan (Brannon, 2011). Sejauh ini telah terdapat beberapa studi penelitian mengenai biseksual, namun mencakup jumlah yang sangat sedikit dibandingkan dengan studi terkait perilaku heteroseksual dan homoseksual (Himawan, 2007). Penelitian ini menggunakan metode studi kasus dengan membandingkan proses pemilihan pasangan pada wanita biseksual dalam skala 3 di Kontinum Kinsey (dalam Lehmiller, 2014) dengan proses yang dilalui oleh wanita dengan taraf biseksualitas pada skala 2, yaitu wanita heteroseksual dengan pengalaman homoseksual serta wanita dengan taraf biseksualitas pada skala 4, yaitu wanita homoseksual dengan pengalaman heteroseksual. Penelitian ini juga melibatkan subjek wanita yang berperan sebagai femme dalam hubungan dengan orientasi biseksual. Pemilihan subjek yang didasari oleh kategori dalam kontinum Kinsey dilakukan berdasarkan asumsi peneliti bahwa adanya perbedaan taraf biseksualitas pada individu akan mengarahkan individu pada proses pemilihan pasangan yang berbeda. Hal ini didukung pula oleh pernyataan Kinsey (dalam Lehmiller, 2014) bahwa perbedaan taraf biseksualitas ini memungkinkan masing-masing individu pada tiap kontinum untuk memiliki pola ketertarikan, perilaku, dan identitas yang berbeda dan dapat berubah seiring waktu. 60 Pemilihan subjek dengan taraf biseksualitas pada skala 3 dilakukan karena individu pada skala ini menyukai pria dan wanita dengan tingkat ketertarikan yang sama sehingga mereka seringkali dikaitkan dengan dilema dalam memilih pasangan. Pemilihan subjek dengan taraf biseksualitas pada skala 2 dan 4 dilakukan karena individu pada taraf ini mendekati taraf biseksualitas pada skala 3 sehingga turut diasumsikan mengalami kesulitan dan dilema yang sama dalam proses pemilihan pasangan. Pemilihan ketiga subjek ini dilakukan untuk memperdalam data terkait proses pemilihan pasangan yang dialami masingmasing subjek melalui perbandingan di antara ketiganya. Skema hubungan antara proses pemilihan pasangan dengan orientasi seksual ganda akan dipersingkat melalui gambar berikut ini. 61 Heteroseksual Orientasi Seksual Homoseksual Biseksual Pria Wanita Pola Pemilihan Pasangan terhadap Perempuan Pola Pemilihan Pasangan terhadap Laki-laki Konflik Dukungan Sosial Diskriminasi Ketertarikan Pribadi Konflik Dukungan Sosial Diskriminasi Proses Pemilihan Pasangan Gambar 7. Hubungan Proses Pemilihan Pasangan dengan Orientasi Biseksual Keterangan : Latar belakang namun tidak menjadi fokus penelitian Latar belakang yang menjadi fokus penelitian Pertanyaan Penelitian D. Pertanyaan Utama Penelitian Terdiri dari Dipengaruhi oleh Mempengaruhi Ketertarikan Pribadi 62 D. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan dalam sebuah pertanyaan besar, yakni: Seperti apa proses pemilihan pasangan yang dijalani oleh wanita biseksual? Untuk memperkaya dan memperdalam perolehan informasi dalam pertanyaan besar tersebut, maka dapat dibuat pertanyaan tambahan seperti berikut ini: 1. Seperti apa kriteria pasangan ideal bagi wanita biseksual? 2. Bagaimana proses yang mereka lalui dalam memilih pasangan ideal yang mereka harapkan? 3. Bagaimana proses pengambilan keputusan yang mereka lalui dalam memilih pasangan yang akan dinikahi? 4. Bagaimana pandangan mereka terkait komitmen dalam pernikahan?