status hukum anak hasil incest dan kedudukannya dalam

advertisement
STATUS HUKUM ANAK HASIL INCEST DAN KEDUDUKANNYA
DALAM PENERIMAAN HARTA WARISAN DITINJAU MENURUT
HUKUM ISLAM
Annida Addiniaty, Yati Nurhayati Yusuf, Gemala Dewi
Program Studi Ilmu Hukum
Fakultas Hukum
Universitas Indonesia
Email
: [email protected]
Abstrak
Skripsi ini membahas mengenai anak hasil incest terkait status dan kedudukannya dalam penerimaan harta
warisan ditinjau menurut hukum Islam. Pokok permasalahannya adalah bagaimanakah status hukum anak hasil
incest dan kedudukannya dalam penerimaan harta warisan ditinjau menurut hukum Islam. Penelitian ini
menggunakan metode penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif untuk
menghasilkan data deskriptif analitis. Dapat disimpulkan bahwa terdapat anak hasil incest yang dilakukan secara
legal dimana anak tersebut berstatus sebagai anak sah sehingga dapat dinasabkan dan berhak mewaris dari ayah
dan ibunya. Dan juga terdapat anak hasil incest yang dilakukan secara illegal dimana anak tersebut berstatus
sebagai anak zina sehingga hanya dapat dinasabkan dan berhak mewaris dari ibunya saja. Namun, tetap dapat
memperoleh sebagian harta yang dimiliki oleh ayahnya melalui mekanisme hibah, wasiat, atau wasiat wajibah.
Legal Status Child of Incest And The Position In The Admission of Inheritance
According To Islamic Law
Abstract
The focus of this thesis is about the child of incest relating to status and position in the admission of inheritance
according to Islamic law. The problems are how the legal status of the child of incest and its position in the
admission of inheritance according to Islamic law. This research use literature research method in the form of
normative juridical with qualitative approach in order to provide analytical descriptive data. The conclusion of
this thesis is that there are existing children from a legal incest relationship, where they have the status as
legitimate children, so they can be “dinasabkan” to their father and mother and entitled to inherit from their
father and mother. There also exist children of illegal incest and have the status as adultery child, so they only
can be“dinasabkan” to their mother and therefor, only entitled to inherit from their mother. However, they can
obtain some properties owned by their father through gift, testament, or obligatory bequest mechanism.
Keywords: Child of Incest; Legal Status; Inheritance Rights.
Pendahuluan
Anak merupakan anugerah yang paling indah yang diberikan oleh Allah SWT kepada
setiap keluarga dan anak juga merupakan hal yang sangat diinginkan dan diharapkan
kehadirannya di setiap keluarga. Karena dengan adanya anak di tengah-tengah keluarga akan
membuat keluarga tersebut lebih lengkap, ceria, dan lebih bahagia. Seorang anak bisa hadir
Status hukum..., Annida Addiniaty, FH, 2015
ditengah-tengah suatu keluarga karena dia dilahirkan dalam keluarga tersebut. Kelahiran
seorang anak tersebut berawal dari adanya sebuah hubungan antara seorang pria dan wanita
yang di ikat dengan suatu ikatan suci yang disebut perkawinan.
Perkawinan merupakan suatu akad yang menghalalkan hubungan antara seorang lakilaki dan seorang perempuan untuk melakukan persetubuhan (‫ )الوطء‬sekaligus sebagai ikatan
lahir batin untuk hidup bersama secara sah untuk membentuk keluarga yang kekal, tentram
dan
bahagia.1
Selain
(reproduksi/regenerasi).
itu
perkawinan
bertujuan
untuk
memperoleh
keturunan
2
Salah satu tujuan syariah Islam (maqȃshid asy-syarî‟ah) sekaligus tujuan perkawinan
adalah hifẓ an-nash yakni terpeliharanya kesucian keturunan manusia sebagai pemegang
amanah khalîfah fi al-arḍ. Tujuan syariah ini dapat dicapai melalui jalan perkawinan yang sah
menurut agama, diakui oleh undang-undang dan diterima sebagai bagian dari budaya
masyarakat.3 Dengan perkawinan yang sah menurut agama, pasangan suami istri tidak
memiliki beban kesalahan/dosa untuk hidup bersama, bahkan memperoleh berkah dan pahala.
Keyakinan ini sangat bermakna untuk membangun sebuah keluarga yang dilandasi nilai-nilai
moral agama. Di samping itu, institusi keluarga memperoleh pengakuan dan diterima sebagai
bagian dari masyarakat sehingga keluarga yang demikian akan memperoleh perlindungan dari
masyarakat, hidup berdampingan berdasarkan tata aturan dan norma yang berlaku di
masyarakat.
Seiring perkembangan peradaban manusia yang semakin maju, masalah yang timbul
dalam bidang hukum keluarga pun ikut berkembang, salah satunya adalah masalah incest atau
hubungan seks yang dilakukan dengan orang yang masih memiliki hubungan darah. Incest
merupakan suatu hubungan yang dilarang karena sama saja dengan perzinaan. Kasus incest
bisa terjadi disebabkan oleh berbagai macam faktor. Salah satunya yaitu konflik budaya
sebagaimana yang telah di ketahui, perubahan sosial terjadi begitu cepatnya seiring dengan
perkembangan teknologi. Alat-alat komunikasi seperti radio, televisi, VCD, HP, koran, dan
majalah telah masuk ke seluruh pelosok wilayah Indonesia. Seiring dengan itu masuk pula
1
Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undang Perkawinan No 1
Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Cet. Ke-2, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 1.
2
Khoirudin Nasution, Hukum Perkawinan 1, (Yogyakarta ACAdeMIA & TAZAFFA, 2004), hlm. 37.
3
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, cet. ke-2, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), hlm.
220.
Status hukum..., Annida Addiniaty, FH, 2015
budaya-budaya baru yang sebetulnya tidak cocok dengan budaya dan norma-norma setempat.
Orang dengan mudah mendapat berita kriminal seks melalui tayangan televisi maupun tulisan
di koran dan majalah. Juga informasi dan pengalaman pornografi dan berbagai jenis media.
Akibatnya, tayangan televisi, VCD, dan berita di koran atau majalah yang sering
menampilkan kegiatan seksual incest serta tindak kekerasannya, dapat menjadi model bagi
mereka yang tidak bisa mengontrol nafsu birahinya.4
Di Indonesia sendiri kasus incest tersebut juga banyak terjadi, salah satunya yaitu kasus
incest yang terjadi di Jambi pada tahun 2008. Kasus tersebut terjadi antara ibu dan anak
kandungnya sendiri yang mengakibatkan kehamilan pada si ibu. Anak kandung yang
melakukan incest dengan ibunya berusia 16 tahun pada waktu itu (ANTARA News, 3
Agustus 2008). Di Sumatera Utara, juga ditemukan incest antara anak di bawah umur dengan
ayahnya yang mengakibatkan kehamilan pada si anak hingga 26-28 minggu.5
Selain itu, ada juga kasus incest yang terjadi di Bojonegoro, Jawa Timur, seorang anak
jatuh cinta terhadap ayah kandungnya sendiri. Permasalahan ini terjadi bermula ketika ayah
dan anak ini bertemu setelah berpisah selama 15 tahun lamanya, yang kemudian
menimbulkan rasa simpati pada diri sang anak kepada ayahnya. Pada waktu ada kesempatan
yakni pada saat sang ibu sedang keluar, sepasang ayah dan anak ini melakukan hubungan
seksual layaknya hubungan suami-istri. Setelah beberapa bulan melakukan hubungan intim,
kemudian menyebabkan sang anak hamil, dan terkuaklah perbuatan mesum ini.6 Seperti juga
pada studi putusan Pengadilan Agama Yogyakarta Nomor 216/PDT.G/1996/PA.YK tentang
status anak akibat pembatalan perkawinan antara pasangan suami-istri yang dilarang menikah.
Perkawinan tersebut terjadi antara seorang paman kandung dengan keponakannya yang terjadi
di daerah Yogyakarta. Mereka menikah di KUA Kecamatan Tegalrejo, Yogyakarta.
Pernikahan ini terjadi karena keluarga mempelai tidak mengetahui adanya larangan
4
Ahmad Fuad, “Kewarisan Anak Hasil Incest dalam Perspektif Hukum Islam,” (Skripsi Sarjana
Univesitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2009), hlm. 3
5
David Setyawan, “Incest terhadap Anak: Banyak Terjadi, Sedikit Terungkap”
http://www.kpai.go.id/artikel/incest-terhadap-anak-banyak-terjadi-sedikit-terungkap/, diunduh 15 Oktober 2014.
6
Nano Tresna Arfana “Ismi jatuh Cinta Pada Ayah Kandungnya,” Kartini, No. 2070 (13-28 September
2006), hlm. 36-39.
Status hukum..., Annida Addiniaty, FH, 2015
perkawinan diantara para mempelai dan ketika petugas KUA menanyakan ada tidaknya
hubungan mahram, kedua keluarga mempelai menjelaskan tidak ada..7
Selain faktor perubahan kebudayaan sebagaimana yang telah disebutkan, incest juga
bisa terjadi karena disebabkan oleh faktor lain, seperti faktor isolasi. Seorang kakek, suami,
saudara laki-laki yang sedang ditinggal istrinya atau sering ditinggal bersama anak, cucu,
saudara perempuannya sendirian yang akhirnya tidak punya pilihan lain untuk berhubungan
badan untuk melepas nafsu syahwatnya. Dalam kasus yang demikian, perbuatan itu dilakukan
berkali-kali. Faktor yang mendorong para ayah, kakek, atau saudara-saudara laki-laki
melakukan berulang-ulang adalah karena korbannya menetap serumah dengannya. Kemudian
faktor terganggunya kepribadian atau disebut schizo-adaptive yang mendorong seseorang
mempunyai kecenderungan lebih berani melakukan perbuatan-perbuatan tersebut di kalangan
keluarganya. Yang sangat dominan dari beberapa kasus kejahatan seksual adalah faktor
modernisasi, norma agama dan sosial kontrol masyarakat yang di intervensi oleh media
khususnya teknologi elektronika.8
Dengan masalah yang terjadi di atas tentu ada akibat yang ditimbulkan. Misalnya
hukuman cambuk untuk menghukum pelaku zina. Hal ini tentu saja membawa akibat buruk
bagi korban zina, apalagi sampai melahirkan anak dari perbuatan incest tersebut. Tentu hal ini
menimbulkan masalah di kemudian hari berkaitan dengan anak yang dilahirkan.
Masalah yang ditimbulkan berkaitan dengan lahirnya seorang anak akibat hubungan
incest tersebut antara lain yaitu mengenai status hukum si anak. Jika anak tersebut merupakan
hasil hubungan dari seorang ayah dengan putrinya, maka anak yang dilahirkan tersebut
nantinya akan berstatus sebagai anak atau sebagai cucu. Kemudian jika anak tersebut lahir
sebagai hasil dari hubungan incest tanpa didahului dengan adanya ikatan perkawinan
sebelumnya, maka apakah status anak yang dilahirkan tersebut nantinya sama seperti dengan
anak luar kawin? Selain berkaitan dengan status hukum si anak, masalah incest juga akan
menimbulkan masalah yang berkaitan dengan hak mewaris anak yang dilahirkan sebagai hasil
dari hubungan incest tersebut.
7
Akhmad Sahrullah Fadli, “Status anak Pembatalan Perkawinan Antara Pasangan Suami-Istri yang
Dilarang Menikah (Studi Putusan Pengadilan Agama Yogyakarta Nomor 216/PDT.G/1996/PA.YK),” (Skripsi
Sarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2007).
8
M. Syafi’i, “Incest dan Fedofil,” Kedaulatan Rakyat, No.155 Tahun. LVII, (10 Maret 2003), hlm. 10.
Status hukum..., Annida Addiniaty, FH, 2015
Dalam masalah kewarisan, para Ulama mazhab dalam hal ini sepakat, bahwa anak yang
dilahirkan dari perkawinan yang tidak sah (zina) hanya mendapat warisan dari peninggalan
ibu dan kerabatnya. Sementara itu ulama Mazhab Syi'ah Imamiyah berpendapat bahwa anak
zina di samping tidak mewarisi dari bapaknya, juga tidak berhak mewarisi dari ibunya dan
kerabat ibunya, tetapi beberapa ulama kalangan Mazhab Hambali di antaranya Ibnu Taimiyah,
yang dalam keadaan tertentu tetap menisbahkan anak zina kepada ayahnya dan mewarisi harta
peninggalan ayahnya.9 Dalam hukum Islam anak hasil incest mendapatkan hak waris dari
garis ibunya, hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 186 Kompilasi Hukum Islam yang
menyatakan bahwa “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling
mewarisi dengan ibumya dan keluarga pihak ibunya”.
Yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini antara lain:
1. Bagaimanakah status hukum anak hasil incest ditinjau menurut hukum Islam?
2. Bagaimanakah kewarisan anak hasil incest ditinjau menurut hukum Islam?
Dalam melakukan penelitian ini, penulis memiliki tujuan yang hendak dicapai, yaitu :
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman secara jelas serta menelaah lebih jauh
hal-hal yang berhubungan dengan anak incest.
Selain daripada tujuan umum yang telah disebutkan di atas, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menjelaskan mengenai status hukum anak hasil incest ditinjau menurut hukum Islam.
2. Menjelaskan mengenai kewarisan anak hasil incest ditinjau menurut hukum Islam.
Tinjauan Teoritis
Incest atau inses adalah istilah perversi seksual yang merujuk pada kontak sesual antara
kerabat dekat yang ada hubungan darah. Tegasnya, hubungan seks yang dilakukan dengan
saudara kandung.10 Menurut Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer Incest adalah hubungan
seksual antara 2 orang saudara kandung. Sedangkan menurut Ruth. S. Kempe dan C. Henry
Kempe incest adalah hubungan seksual antara anggota keluarga dalam rumah, baik antara
kakak-adik kandung atau tiri, ayah-anak kandung, ayah-anak tiri, paman-keponakan kandung
9
Fuad, Op.Cit., hlm. 7-8.
10
Himawan, Loc.Cit.
Status hukum..., Annida Addiniaty, FH, 2015
atau tiri. Sedangkan pengertian yang lebih luas lagi ialah hubungan seksual yang dilakukan
seseorang dalam keluarga atau seseorang yang sudah seperti keluarga, baik laki-laki ataupun
perempuan seperti ayah kandung, ayah tiri, ibu dari pacar, saudara laki-laki, saudara tiri, guru,
teman, pendeta/ulama, guru, paman atau kakek.11
Menurut H. M. Anshary dalam bukunya yang berjudul Kedudukan Anak Dalam
Perspektif Hukum Islam dan Hukum Nasional, beliau menjelaskan bahwa incest dapat
dibedakan ke dalam dua macam, yaitu incest yang dilakukan melalui suatu perkawinan secara
legal (sesuai menurut hukum), dan incest yang dilakukan secara melanggar hukum (illegal)
yakni dengan cara memperkosa atau membujuk. Incest yang dilakukan secara legal adalah
hubungan biologis yang dilakukan antara dua orang, laki-laki dan perempuan yang
mempunyai hubungan darah melalui suatu perkawinan yang sah karena suatu kealpaan, yang
sebenarnya mereka dilarang kawin12. Hal ini bisa disebabkan karena para pihak tidak
mengetahui bahwa mereka memiliki hubungan darah atau para pihak tidak mengetahui bahwa
terdapat larangan perkawinan karena adanya hubungan darah. Sedangkan incest yang
dilakukan secara illegal adalah hubungan biologis yang dilakukan oleh pria dan wanita yang
mempunyai hubungan darah dengan melanggar ketentuan hukum yang dilakukan dengan
sengaja13.
Selanjutnya, dalam hukum Islam, secara umum juga dibedakan antara anak sah dan
anak tidak sah. Anak yang sah adalah anak yang dibenihkan dalam suatu ikatan perkawinan
yang sah. Namun, untuk anak tidak sah dalam Islam lebih dikenal dengan sebutan anak zina
yaitu anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah antara kedua orang tuanya. Sah atau
tidaknya anak dalam Islam akan menentukan ada atau tidaknya hubungan kebapaan (nasab)
antara seorang anak dengan seorang laki-laki yang dianggap ayahnya tersebut. Menurut Prof.
Dr. Wahbah Az-Zuhaili hubungan kebapaan (nasab) dapat diartikan sebagai berikut:
“Nasab adalah salah satu fondasi kuat yang menopang berdirinya sebuah keluarga,
karena nasab mengikat antar anggota keluarga dengan pertalian darah. Seorang anak
adalah bagian dari ayahnya dan ayah adalah bagian dari anaknya. Pertalian nasab
adalah ikatan sebuah keluarga yang tidak mudah diputus karena merupakan nikat
11
Sulaiman Zuhdi Manik, Penanganan dan Pendampingan Anak Korban Incest, (PKPA, 2002),
hlm.37.
12
H. M. Anshary, Kedudukan Anak Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Nasional, Cet. 1,
(Bandung: CV. Mandar Maju, 2014), hlm. 146.
13
Ibid.
Status hukum..., Annida Addiniaty, FH, 2015
agung yang Allah berikan kepada manusia. Tanpa nasab, pertalian sebuah keluarga
akan mudah hancur dan putus.”14
Hubungan nasab ini menjadi sangat penting karena akan menentukan hubungan antar
anggota dalam sebuah keluarga termasuk hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang harus
dipenuhi sebagai anggota keluarga. Jika hubungan nasab antara ibu dan anak terlahir secara
alamiah seiring dengan kelahiran si anak, tidak demikian adanya dengan hubungan nasab
antara bapak dan anak. Hubungan nasab antara bapak dan anak ditentukan dari ada atau
tidaknya hubungan perkawinan yang sah antara laki-laki dengan ibu yang melahirkan
anaknya.
Selain untuk menentukan nasab seorang anak, sah atau tidaknya perkawinan orangtua
juga untuk menentukan hak mewaris dari seorang anak. Karena anak yang bisa menjadi ahli
waris dari ayahnya hanya anak yang mempunyai nasab dengan ayahnya, yaitu anak yang
berstatus sebagai anak sah. Hal ini sesuai dengan salah satu dari hal sebab mewaris, yaitu
karena adanya hubungan darah/kekerabatan15. Hubungan darah/kekerabatan ini didasarkan
pada Q.S. Al-Anfal [8]: 75, yang terjemahnya: Orang-orang yang mempunyai hubungan
kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamamu daripada yang bukan kerabat di
dalam Kitab Allah.16
Metode Penelitian
Penelitian ini adalah bentuk penelitian yuridis normatif17, yakni penelitian yang
dilakukan terhadap hukum Islam. Dilihat dari sifatnya, penelitian ini termasuk ke dalam
penelitian deskriptif dengan sifat penelitiannya adalah kepustakaan. Penelitian deskriptif
adalah penelitian yang memberikan data yang seteliti mungkin, keadaan, atau gejala-gejala
14
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, ed.10, diterjemahkan oleh Abdul Hayyie al-Kattani,
dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hal. 28.
15
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Cet.1, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 174.
16
Ibid.
17
Sri Mamudji et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Huukm, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 9-10.
Status hukum..., Annida Addiniaty, FH, 2015
lainnya dengan maksud terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, memperkuat teoriteori lama, atau untuk menyusun teori-teori baru.18
Jenis data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah data sekunder yakni
yang mencakup antara lain, dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang
berbentuk laporan, buku harian dan seterusnya. Dalam hal ini data sekunder adalah data yang
diperoleh dari studi kepustakaan.19 Namun, jika menurut penulis membutuhkan data yang
lebih valid lagi dikarenakan penelitian yang penulis angkat adalah berasal dari suatu gejala,
maka penulis akan berusaha dan menggunakan wawancara.
Pembahasan
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa incet (hubungan seksual sedarah)
terdiri dari 2 (dua) macam, yaitu incest yang dilakukan secara legal dan incest yang dilakukan
secara illegal. Incest yang dilakukan secara legal adalah incest yang dilakukan melalui suatu
perkawinan yang sah. Sedangkan incest yang dilakukan secara illegal adalah incest yang
dilakukan di luar ikatan perkawinan yang sah. Incest yang dilakukan secara legal ini cukup
banyak terjadi di Indonesia. Incest yang dilakukan secara legal ini bisa terjadi karena adanya
ketidaktahuan diantara para pihak yang hendak menikah bahwa mereka memiliki hubungan
darah atau ketidaktahuan diantara para pihak bahwa adanya larangan perkawinan karena
hubungan sedarah.
Kasus perkawinan incest karena adanya ketidaktahuan diantara para pihak bahwa
terdapat larangan perkawinan karena hubungan sedarah pernah terjadi di Indonesia, yaitu
kasus perkawinan antara seorang paman kandung dan keponakannya yang terjadi di daerah
Yogyakarta. Mereka menikah di KUA Kecamatan Tegalrejo, Yogyakarta. Pernikahan ini
terjadi karena keluarga mempelai tidak mengetahui adanya larangan perkawinan diantara para
mempelai dan ketika petugas KUA menanyakan ada tidaknya hubungan mahram, kedua
keluarga mempelai menjelaskan tidak ada. Setelah diketahui adanya larangan perkawinan
karena hubungan sedarah, kemudian pernikahan tersebut dibatalkan dengan Putusan
Pengadilan Agama Nomor 216/Pdt.G/1996/PA.Yk.20
18
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UIPress), 2012), hlm 10.
19
Ibid., hlm.12
20
Anshary, Op.Cit., hlm. 147.
Status hukum..., Annida Addiniaty, FH, 2015
Selain incest yang dilakukan secara legal, ada juga incest yang dilakukan secara illegal.
Incest yang dilakukan secara illegal ini merupakan kasus incest yang paling banyak terjadi di
Indonesia. Salah satu kasusnya yaitu kasus dialami oleh IN yang baru berumur 13 tahun. IN
merupakan siswi kelas dua SMA yang tinggal di Desa Kuta Meriah, Kecamatan Kerajaan,
Pakpak Bharat, Sumatera Utara. IN telah diperkosa sebanyak 4 (empat) kali oleh ayah
kandungnya, SP (37) hingga hamil. Pemerkosaan tersebut dilakukan dengan ancaman bahwa
IN akan dibunuh jika ia tidak mau memenuhi nafsu ayahnya tersebut. Hubungan incest
tersebut baru terungkap setelah anak yang di kandung IN lahir (SumutPos: Selasa, 12
November 2013)21.
Kemudian ada juga kasus incest illegal yang terjadi Bojonegoro, Jawa Timur, seorang
anak yang jatuh cinta terhadap ayah kandungnya sendiri. Permasalahan ini terjadi bermula
ketika ayah dan anak ini bertemu setelah berpisah selama 15 tahun lamanya, yang kemudian
menimbulkan rasa simpati pada diri sang anak kepada ayahnya. Pada waktu ada kesempatan
yakni pada saat sang ibu sedang keluar, sepasang ayah dan anak ini melakukan hubungan
seksual layaknya hubungan suami-istri, setelah beberapa bulan melakukan hubungan intim,
kemudian menyebabkan sang anak hamil, dan terkuaklah perbuatan mesum ini22.
Anak hasil incest merupakan anak yang dilahirkan dari hubungan seorang laki-laki dan
seorang perempuan yang diantara keduanya masih terdapat hubungan darah. Misalnya anak
yang dilahirkan dari hasil hubungan antara kakak dengan adiknya, ayah dengan anak
perempuannya, kakek dengan cucu perempuannya, paman dengan keponakannya, dan
sebagainya.
Anak hasil incest kerap dicap sebagai anak zinah karena mereka dilahirkan dari suatu
hubungan yang sudah jelas dilarang oleh agama. Namun, cap anak zinah yang diberikan oleh
masyarakat kepada anak hasil incest tersebut tidak sepenuhnya benar. Karena ada anak hasil
incest yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan yang sah sehingga anak tersebut dapat
dikatakan sebagai anak sah. Anak hasil incest yang demikian merupakan anak hasil incest
yang dilakukan secara legal, yaitu didahului dengan suatu perkawinan yang sah menurut
agama. Perkawinan incest tersebut terjadi karena adanya ketidaktahuan diantara para pihak
bahwa terdapat larangan perkawinan karena hubungan sedarah. Sebagai contohnya yaitu
21
SumutPos,
“Siswi
SMA
Lahirkan
Anak
Plus
Cucu
Sang
Ayah”
http://sumutpos.co/2013/11/69203/siswi-sma-lahirkan-anak-plus-cucu-sang-ayah, diunduh 22 September 2014.
22
Arfana Op.Cit., hlm. 36-39.
Status hukum..., Annida Addiniaty, FH, 2015
kasus perkawinan incest yang terjadi antara paman kandung dan keponakannya di Yogyakarta
sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
Berkaitan dengan kasus tersebut, jika selama perkawinan tersebut lahir seorang anak,
maka akan terjadi perdebatan mengenai status hukum dari anak tersebut. Apakah anak
tersebut berstatus sebagai anak kandungnya atau cucu dari keponakannya. Mengenai hal
tersebut terdapat berbagai macam pendapat dari beberapa ulama dan tokoh-tokoh yang ahli
dalam hukum Islam.
Dalam Islam penentuan status seorang anak merupakan hal yang sangat penting karena
melalui status tersebut dapat ditentukan penasaban anak tersebut yang akan berimplikasi
terhadap hak-hak yang akan diperolehnya, seperti hak untuk diwalikan saat menikah dan hak
waris. Dalam hukum Islam, para ulama sepakat mengatakan bahwa nasab seseorang kepada
ibunya terjadi dengan sebab kehamilan sebagai akibat hubungan seksual yang dilakukannya
dengan seorang lelaki, baik hubungan itu dilakukan berdasarkan akad nikah yang sah maupun
melalui hubungan gelap, samen level, perselingkuhan dan perzinaan23. Sedangkan nasab anak
terhadap ayahnya hanya bisa terjadi dan memungkinkan dibentuk melalui tiga cara, yaitu
melalui perkawinan yang sah, melalui perkawinan yang fasid atau batil, dan melalui
hubungan badan secara syubhat24.
Penetapan nasab yang pertama yaitu melalui pernikahan yang sah. Para ulama fiqih
sepakat bahwa anak yang dilahirkan melalui perkawinan yang sah dapat dinasabkan kepada
suami wanita tersebut. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad dalam hadits yang
terjemahannya sebagai berikut: Dari Abu Hurairah sesungguhnya Rasullah SAW bersabda:
Anak itu bagi yang memiliki tempat tidur (bagi yang meniduri istri) dan bagi pezina hanya
mendapatkan batu hukuman. (H.R. Muslim)25
Maksud dari hadits tersebut adalah penegasan bahwa nasab anak yang lahir dalam
perkawinan yang sah atau fasid dapat ditetapkan dan dihubungkan kepada ayahnya.
Sedangkan anak yang lahir dari hasil perzinaan tidak dapat dinasabkan kepada laki-laki yang
melakukan zinah tersebut.
23
H. M. Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, Cet.I, Ed.2, (Jakarta: Amzah, 2013),
24
Ibid.
25
Ibid., hlm. 62.
hlm. 61.
Status hukum..., Annida Addiniaty, FH, 2015
Penetapan nasab yang kedua yaitu melalui pernikahan yang fasid. Pernikahan fasid
merupakan pernikahan yang dilangsungkan dalam keadaan kekurangan syarat. Macammacam nikah fasid menurut mahzab Hanafi dan mazhab Maliki diantaranya adalah nikah
dengan seseorang yang masih mempunyai hubungan darah (mahram), karena ketidaktahuan
bahwa hal tersebut merupakan hal yang dilarang dalam Islam.
Mengenai penetapan nasab anak melalui nikah fasid, para ulama fiqih sepakat bahwa
penetapan nasab anak yang lahir dalam pernikahan fasid sama dengan penetapan nasab anak
dalam pernikahan yang sah. Akan tetapi, ulama mengemukakan tiga syarat dalam penetapan
nasab anak dalam pernikahan fasid ini, yaitu:26
a. Suami mempunyai kemampuan menjadikan istrinya hamil, yaitu baligh dan tidak
mempunyai penyakit yang dapat menyebabkan istrinya tidak bisa hamil.
b. Hubungan badan benar-benar terjadi dan dilakukan oleh pasangan bersangkutan.
c. Anak dilahirkan dalam waktu enam bulan atau lebih setelah akad fasid tersebut (menurut
jumhur ulama) dan sejak hubungan badan (menurut ulama mazhab Hanafi). Jika anak itu
lahir dalam waktu sebelum enam bulan setelah akad nikah atau melakukan hubungan
badan maka anak itu tidak bisa dinasabkan kepada suami wanita tersebut, karena bisa
dipastikan anak yang lahir itu akibat hubungan dengan lelaki yang sebelumnya.
Kemudian penetapan nasab yang ketiga yaitu melalui hubungan badan secara syubhat.
Hubungan badan secara syubhat yaitu persetubuhan antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan di luar akad nikah, baik nikah secara sah maupun nikah secara fasid, tetapi tidak
bisa disebut sebagai zina yang dilarang syariat dan hukumnya tidak terang dan tidak jelas
apakah haram mutlak ataukah halal mutlak. Mislanya seperti seseorang yang melakukan
hubungan badan dengan istri di masa „iddah talak tiganya karena yakin hal itu dihalalkan.27
Berkaitan dengan penetapan nasab, para ulama dalam berbagai mahzab sepakat bahwa anak
yang lahir akibat hubungan badan yang syubhat dapat dinasabkan kepada laki-laki yang
berhubungan badan dengan ibu anak tersebut.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pada intinya para ulama sepakat bahwa
anak yang lahir akibat perkawinan incest karena adanya ketidaktahuan diantara para pihak
bahwa adanya larangan perkawinan karena hubungan sedarah dapat dinasabkan kepada
26
Ibid., hlm. 68.
27
Ibid., hlm. 76.
Status hukum..., Annida Addiniaty, FH, 2015
ayahnya. Karena perkawinan incest yang dilakukan oleh orangtuanya merupakan perkawinan
yang fasid. Dan penasaban anak dari hasil perkawinan yang fasid sama dengan penasaban
anak dari hasil perkawinan yang sah selama memenuhi 3 (tiga) syarat yang telah ditentukan
tersebut. Dengan demikian anak hasil perkawinan incest yang dilakukan karena adanya
ketidaktahuan diantara para pihak bahwa terdapat larangan perkawinan karena hubungan
sedarah dapat dikategorikan sebagai anak sah dan dapat dinasabkan kepada ayah kandungnya.
Selain pendapat para ulama yang mengatakan bahwa anak hasil perkawinan incest yang
dilakukan karena adanya ketidaktahuan diantara para pihak bahwa terdapat larangan
perkawinan karena hubungan sedarah dapat dinasabkan kepada ayah kandungnya, pendapat
yang sama juga diungkapkan oleh Bapak Drs. H. M. Anshary MK, S.H., M.H., Hakim pada
Pengadilan Tinggi Agama Palangkaraya, Kalimantan Tengah melalui bukunya yang berjudul
“Kedudukan Anak dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Nasional”. Menurut beliau
nasab anak hasil perkawinan incest harus ditentukan berdasarkan kasus per kasus, yaitu
sebagai berikut28:
a. Kasus pertama, jika terjadi perkawinan sedarah (incest), dimana para pihak sama sekali
tidak mengetahui bahwa adanya larangan perkawinan karena hubungan sedarah, maka
selama mereka tidak mengetahui cacat tersebut, hubungan suami istri yang telah berjalan
selama ini adalah sah sebagaimana perkawinan yang legal dan tidak dianggap sebagai
perbuatan zina. Sehingga nasab anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tetap
dihubungkan dengan suami istri tersebut sebagai ayah dan ibunya. Dan anak tersebut
berhak mewaris dari ayah dan ibunya.
b. Kasus kedua, jika cacat perkawinan dimaksud baru diketahui setelah beberapa bulan atau
beberapa tahun dari perkawinan bahwa mereka telah melakukan incest, maka sejak
diketahui adanya cacat dalam perkawinan tersebut, pasangan suami istri itu dilarang
meneruskan melakukan hubungan biologis, dan perkawinannya dinyatakan batal demi
hukum dan harus segera dilakukan permohonan pembatalan perkawinan ke pengadilan.
Adapun hubungan biologis yang mereka lakukan selama tidak mengetahui adanya cacat
tersebut tidak dipandang sebagai perbuatan zina dan anak yang dilahirkan selama tenggang
waktu tersebut tetap mempunyai hubungan nasab dengan ayah dan ibunya. Dan anak
tersebut berhak mewaris dari ayah dan ibunya.
28
Anshary, Op.Cit., hlm. 153.
Status hukum..., Annida Addiniaty, FH, 2015
c. Kasus ketiga, jika salah satu pihak dari pasangan suami istri tersebut telah mengetahui
sejak semula bahwa mereka sebenarnya mempunyai hubungan sedarah yang dilarang
melakukan perkawinan tetapi ia menyembunyikannya, maka yang menanggung beban dosa
zina adalah pihak yang mengetahui dan menyembunyikan tersebut. Dan karenanya,
baginya berlaku hukum perzinaan dengan keluarga sedarah (incest). Sehingga anak yang
dilahirkan dalam perkawinan tersebut hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya
saja. Dan anak tersebut hanya berhak mewaris dari Ibunya saja.
d. Kasus keempat, jika pasangan suami istri mengetahui sejak semula bahwa mereka
melakukan perkawinan incest, maka perkawinan tersebut adalah perkawinan yang
diharamkan dan hubungan biologis yang mereka lakukan selama perkawinan tersebut
adalah perbuatan zina. Sehingga anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut
mempunyai status anak zina dan hanya dapat dinasabkan dengan ibunya saja dan hanya
berhak mewaris dari Ibunya saja.
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa anak hasil perkawinan incest yang
dilakukan karena adanya ketidaktahuan diantara para pihak bahwa terdapat larangan
perkawinan karena hubungan sedarah atau adanya ketidaktahuan diantara para pihak bahwa
mereka memiliki hubungan sedarah dapat dikategorikan sebagai anak sah dan dapat
dinasabkan kepada ayah dan ibu kandungnya. Oleh karena berstatus sebagai anak sah dan
dapat dinasabkan kepada ayah dan ibunya, maka anak tersebut juga berhak mewaris dari ayah
dan ibunya.
Kemudian mengenai incest yang dilakukan secara illegal para ulama sepakat bahwa
perbuatan tersebut merupakan zina. Karena hubungan luar nikah yang dilakukan merupakan
hal yang jelas-jelas dilarang oleh agama Islam. Terlebih lagi hubungan luar nikah tersebut
dilakukan oleh para pihak yang masih mempunyai hubungan darah yang sangat dekat (incest).
Impilkasi dari perbuatan incest yang dilakukan secara illegal ini terhadap status anak yang
lahir akibat perbuatan tersebut adalah anak tersebut berstatus sebagai anak zina dan hanya
dapat dinasabkan kepada ibunya saja.
Para ulama sepakat menyatakan bahwa perzinaan bukan penyebab timbulnya hubungan
nasab anak dengan ayah, sehingga anak zina tidak boleh dihubungkan dengan nasab ayahnya,
meskipun secara biologis berasal dari benih laki-laki yang menzinai ibunya.29 Nabi
Muhammad SAW bersabda dalam sebuah hadits yang terjemahannya sebagai berikut: Dari
29
Irfan, Op.Cit., hlm. 45
Status hukum..., Annida Addiniaty, FH, 2015
Abu Hurairah sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Anak itu bagi yang meniduri istri
(secara sah) yaitu suami, sedangkan bagi pezina ia hanya berhak mendapatkan batu”. (HR.
Muslim)30
Hadits di atas telah disepakati oleh para ulama dari berbagai kalangan mazhab sebagai
alasan, bahwa perzinaan itu sama sekali tidak akan berpengaruh terhadap sebab-sebab nasab
antara anak dengan ayah biologis yang menzinai ibunya. Implikasinya bahwa lelaki yang
secara biologis merupakan ayahnya tersebut berkedudukan sebagai orang lain, sehingga tidak
wajib memberi nafkah dan tidak berhak menjadi wali dalam pernikahan anaknya jika anak
tersebut merupakan anak perempuan.31
Serupa dengan pendapat yang dikemukakan oleh para ulama dari berbagai mazhab yang
sepakat menyatakan bahwa anak yang dilahirkan dari hubungan incest yang dilakukan secara
illegal berstatus sebagai anak zina sehingga anak tersebut hanya dapat dinasabkan kepada
ibunya saja, Bapak Drs. H. M. Anshary MK, S.H., M.H., Hakim pada Pengadilan Tinggi
Agama Palangkaraya, Kalimantan Tengah juga mengemukakan hal yang sama. Menurut
beliau anak hasil incest yang dilakukan secara illegal sudah jelas sebagai anak zina karena
hubungan biologis yang dilakukan oleh orangtuanya merupakan perbuatan zina. Oleh
karenanya jelaslah bahwa anak tersebut tidak dapat dinasabkan kepada laki-laki yang
menghamili ibunya dan hanya dapat dinasabkan dengan ibunya saja. Karena hanya dapat
dinasabkan kepada ibunya saja, maka anak tersebut juga hanya berhak mewaris dari ibunya
saja. Namun, anak tersebut tetap dapat mendapatkan sebagian harta peninggalan milik
ayahnya melalui mekanisme hibah, wasiat, atau wasiat wajibah.
Pemberian wasiat wajibah kepada anak hasil zina sesuai dengan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia No. 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Zina dan Perlakuan
Terhadapnya. Dalam butir 5 disebutkan bahwa:
Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta‟zir lelaki pezina yang mengakibatkan
lahirnya anak dengan mewajibkannya untuk: a.) Mencukupi kebutuhan hidup anak
tersebut; b.) Memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah.
Berdasarkan Fatwa MUI tersebut dapat penulis simpulkan bahwa Pemerintah ingin
melindungi anak hasil zina agar tetap bisa mendapatkan hak waris dari laki-laki yang telah
menghamili ibunya tersebut melalui mekanisme wasiat wajibah. Karena bagaimanapun tidak
30
Ibid., hlm. 46
31
Ibid.
Status hukum..., Annida Addiniaty, FH, 2015
seharusnya anak hasil zina yang ikut menanggung akibat dari perbuatan zina yang telah
dilakukan oleh orangtuanya. Oleh karena itu, walaupun anak hasil zina tidak memiliki
hubungan nasab dengan ayahnya, namun ayahnya tetap berkewajiban untuk mencukupi
kebutuhan hidup dan memberikan hartanya setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah. Hal
tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk penghukuman kepada lelaki yang telah melakukan
zina hingga lahir seorang anak.
Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan dalam bab sebelumnya, maka dapat ditarik
beberapa kesimpulan atas masalah yang dibahas dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Anak hasil incest merupakan anak yang lahir dari hasil hubungan seorang pria dan wanita
yang keduanya masih memiliki hubungan darah yang sangat dekat. Anak hasil incest ada
yang lahir dari hubungan incest yang dilakukan secara legal dan illegal. Anak hasil incest
yang lahir dari hubungan incest yang dilakukan secara legal yaitu perkawinan yang
dilakukan karena adanya ketidaktahuan diantara para pihak bahwa terdapat larangan nikah
karena hubungan darah atau adanya ketidaktahuan diantara para pihak bahwa mereka
masih memiliki hubungan darah yang sangat dekat. Anak tersebut berstatus sebagai anak
sah dapat dinasabkan kepada ayah dan ibunya. Dedangkan anak hasil incest yang lahir dari
hubungan incest yang dilakukan secara illegal, berstatus sebagai anak zina. Sehingga anak
tersebut hanya dapat dinasabkan ibunya saja. Karena hubungan yang dilakukan diluar
ikatan perkawinan yang sah, sehingga hubungan tersebut sama saja dengan perbuatan zina.
2. Kedudukan anak hasil incest (anak sumbang) dalam penerimaan harta warisan berkaitan
erat dengan status hukum yang dimiliki oleh anak hasil incest (anak sumbang) itu sendiri.
Anak hasil incest (anak sumbang) yang lahir dari hubungan incest yang dilakukan secara
legal berhak mewaris dari ayahnya karena berstatus sebagai anak sah dan mempunyai
hubungan nasab dengan ayahnya. Anak hasil incest (anak sumbang) yang lahir dari
hubungan incest yang dilakukan secara illegal tidak berhak mewaris dari ayahnya dan
hanya berhak mewaris dari ibunya karena statusnya sebagai anak zina. Walaupun tidak
berhak mewaris dari ayahnya namun ada alternatif lainnya agar anak hasil incest (anak
sumbang) tetap bisa mendapatkan sebagian dari harta peninggalan ayahnya, yaitu melalui
mekanisme hibah, wasiat, atau wasiat wajibah.
Status hukum..., Annida Addiniaty, FH, 2015
Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, penulis memiliki beberapa saran terkait dengan tinjauan
yuridis mengenai status hukum anak hasil incest (anak sumbang) dan kedudukannya dalam
penerimaan harta warisan menurut hukum Islam, antara lain:
1. Bagi pemuka agama, tokoh masyarakat, dan kaum intelektual perlu untuk memberikan
sosialisasi yang lebih intensif kepada masyarakat mengenai adanya larangan nikah karena
hubungan sedarah. Karena banyak juga pihak-pihak yang melakukan hubungan tersebut
dengan alasan bahwa mereka tidak mengetahui adanya larangan nikah karena hubungan
darah atau bahkan mereka tidak mengetahui bahwa mereka memiliki hubungan darah.
Kemudian perlu juga disosialisasikan mengenai kondisi yang kemungkinan akan diderita
oleh anak yang lahir dari hubungan incest (hubungan sedarah) tersebut. Sehingga
masyarakat akan lebih berhati-hati atau berfikir ulang jika hendak menikah atau
berhubungan dengan pihak yang masih memiliki hubungan darah dengannya.
2. Bagi Pemerintah, perlu dibentuk suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai status anak yang lahir dari hubungan incest, baik yang dilakukan secara legal
maupun secara illegal. Dan juga peraturan yang mengatur mengenai kedudukan anak
incest dalam penerimaan harta warisan. Mengingat tidak semua anak incest berstatus
sebagai anak zina. Walaupun anak hasil incest tersebut berstatus sebagai anak zina, namun
seharusnya dia juga bisa memperoleh hak-haknya sebagai anak karena ia lahir sebagai
anak zina bukan merupakan kesalahannya, melainkan kesalahan kedua orangtuanya.
Sehingga tidak sepatutnya dia juga memikul hukuman dari perbuatan yang telah dilakukan
orangtuanya tersebut.
Daftar Referensi
Buku
Anshary, H.M. Kedudukan Anak Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Nasional. Cet.1.
Bandung: CV. Mandar Maju, 2014.
Az-Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Ed.10. Diterjemahkan oleh Abdul Hayyie
al-Kattani, dkk. Jakarta: Gema Insani, 2011.
Irfan, H.M. Nurul. Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, Cet.I., ed.2. Jakarta: Amzah,
2013.
Status hukum..., Annida Addiniaty, FH, 2015
Mamudji, Sri. Et. al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Penerbit
Nasution, Khoirudin, Hukum Perkawinan 1. Yogyakarta: ACAdeMIA & TAZAFFA, 2004.
Ramulyo, M. Idris. Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undang
Perkawinan No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Cet. 2. Jakarta: Bumi
Aksara, 1996.
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Cet. 2. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet. 3. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia (UI-Press), 2012.
Syarifuddin, Amir. Hukum Kewarisan Islam. Cet.1. Jakarta: Kencana, 2004.
Karya Ilmiah
Fadli, Akhmad Sahrullah. “Status anak Pembatalan Perkawinan Antara Pasangan Suami-Istri
yang Dilarang Menikah (Studi Putusan Pengadilan Agama Yogyakarta Nomor
216/PDT.G/1996/PA.YK).” Skripsi Sarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Yogyakarta, 2007.
Fuad, Ahmad. “Kewarisan Anak Hasil Incest dalam Perspektif Hukum Islam.” Skripsi
Sarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Yogyakarta, 2009.
Majalah
Arfana, Nano Tresna. “Ismi jatuh Cinta Pada Ayah Kandungnya.” Kartini (September 2006):
15-86.
M. Syafi’i. “Incest dan Fedofil.” Kedaulatan Rakyat (Maret 2003): 3-67.
Internet
Setyawan Dafid. “Incest terhadap Anak: Banyak Terjadi, Sedikit Terungkap!”
http://www.kpai.go.id/artikel/incest-terhadap-anak-banyak-terjadi-sedikit-terungkap/.
Diunduh 15 Oktober 2014.
SumutPos.
“Siswi
SMA
Lahirkan
Anak
Plus
Cucu
Sang
Ayah.”
http://sumutpos.co/2013/11/69203/siswi-sma-lahirkan-anak-plus-cucu-sang-ayah.
Diunduh 22 September 2014.
Status hukum..., Annida Addiniaty, FH, 2015
Download