BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Komunikasi Antarpribadi Komunikasi antarpribadi merupakan proses dimana seseorang menciptakan dan mengelola hubungan mereka, melaksanakan tanggung jawab secara timbal balik dalam menciptakan makna. Pertama, komunikasi antarpribadi sebagai proses. Proses merupakan rangkaian sistematis perilaku yang terjadi dari waktu ke waktu atau berulang kali. Kedua, komunikasi antarpribadi bergantung kepada makna yang diciptakan oleh pihak yang terlibat. Ketiga, melalui komunikasi kita menciptakan dan mengelola hubungan kita. Tanpa komunikasi hubungan tidak akan terjadi (Kathleen S. Verderber et al. (2007). Hubungan dimulai atau terjadi bila seseorang pertama kali mulai melakukan interaksi dengan orang lain. Berulang kali, melalui interaksi-interaksi seorang dengan orang yang sama akan menentukan secara berkelanjutan sifat dari hubungan yang akan terjadi. Apakah hubungan tersebut akan menjadi lebih pribadi atau sebaliknya, menjadi lebih dekat atau lebih jauh, menjadi romantis atau platonis, sehat atau tidak sehat, tergantung atau saling tergantung semuanya bergantung kepada bagaimana orang-orang tersebut berbicara dan berperilaku satu dengan lainnya (Kathleen S. Verderber et al. (2007). Dalam proses komunikasi terdapat komponen-komponen komunikasi yang secara integratif saling berperan sesuai dengan karakteristik komponen itu sendiri. Komponen-komponen Komunikasi Antarpribadi adalah sebagai berikut: 1. Sumber/komunikator (Source) Merupakan orang yang mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi, yakni keinginan untuk membagi keadaan internal sendiri, baik yang bersifat emosional maupun informasional dengan orang lain. Kebutuhan ini dapat berupa keinginan untuk memperoleh pengakuan sosial sampai pada keinginan untuk mempengaruhi sikap dan tingkah laku orang lain. Dalam konteks komunikasi antarpribadi, komunikator adalah individu yang menciptakan, memformulasikan, dan menyampaikan pesan. 2. Encoding Encoding adalah suatu aktivitas internal pada komunikator dalam menciptakan pesan melalui pemilihan simbol-simbol verbal dan non-verbal, yang disusun berdasarkan aturan-aturan tata bahasa, serta disesuaikan dengan karakteristik komunikan. Encoding merupakan tindakan memformulasikan isi pikiran ke dalam simbol-simbol, kata-kata, dan sebagainya sehingga komunikator merasa yakin dengan pesan yang disusun dan cara penyampaiannya. 3. Pesan (Message) Merupakan hasil encoding. Pesan adalah seperangkat simbol-simbol baik verbal maupun non verbal, atau gabungan keduanya, yang mewakili keadaan khusus komunikator untuk disampaikan kepada pihak lain. Dalam aktivitas komunikasi, pesan merupakan unsur yang sangat penting. Pesan itulah yang disampaikan oleh komunikator untuk diterima dan diinterpretasi oleh komunikan. Komunikan akan efektif apabila komunikan menginterpretasi makna pesan sesuai yang diinginkan oleh komunikator. 4. Saluran (Channel) Merupakan sarana fisik penyampaian pesan dari sumber ke penerima atau yang menghubungkan orang ke orang lain secara umum. Dalam konteks komunikasi antarpribadi, penggunaan saluran atau media semata-mata karena kondisi tidak memungkinkan dilakukan komunikasi secara tatap muka. Prinsipnya, sepanjang masih dimungkinkan untuk dilaksanakan komunikasi secara tatap muka, maka komunikasi communication) tatap muka akan lebih efektif. 5. Penerima/komunikan (Receiver) antarpribadi (interpersonal Adalah seseorang yang menerima, memahami, dan menginterpretasikan pesan. Dalam proses komunikasi antarpribadi, penerima bersifat aktif, selain menerima pesan melakukan pula proses interpretasi dan memberikan umpan balik. Berdasarkan umpan balik dari komunikan inilah seorang komunikator akan dapat mengetahui keefektifan komunikasi yang telah dilakukan, apakah makna pesan dapat dipahami secara bersama oleh kedua belah pihak yakni komunikator dan komunikan. 6. Decoding Decoding merupakan kegiatan internal dalam diri penerima. Melalui indera, penerima mendapat macam-macam data dalam bentuk “mentah”, berupa kata-kata dan simbol-simbol yang harus diubah ke dalam pengalamanpengalaman yang mengandung makna. Secara bertahap dimulai dari proses sensasi proses dimana indera menangkap stimuli yaitu proses memberi makna atau decoding. 7. Respon (Feedback) Yakni apa yang telah diputuskan oleh penerima untuk dijadikan sebagai sebuah tanggapan terhadap pesan. Respon dapat bersifat positif, netral, maupun negatif. Pada hakikatnya respon merupakan informasi bagi sumber sehingga seseorang dapat menilai efektivitas komunikasi untuk selanjutnya menyesuaikan diri dengan situasi yang ada. 8. Gangguan (Noise) Gangguan atau noise atau barier merupakan apa saja yang mengganggu atau membuat kacau penyampaian dan penerimaan pesan, termasuk yang bersifat fisik dan psikis. 9. Konteks Komunikasi Komunikasi selalu terjadi dalam suatu konteks tertentu, paling tidak ada tiga dimensi yaitu ruang, waktu dan nilai. Konteks ruang menunjuk pada lingkungan konkrit dan nyata tempat terjadinya komunikasi, seperti ruangan, halaman dan jalanan. Konteks waktu menunjuk pada waktu kapan komunikasi tersebut dilaksanakan, misalnya: pagi, siang, sore, malam. Konteks nilai, meliputi nilai sosial dan budaya yang mempengaruhi suasana komunikasi, seperti adat istiadat, situasi rumah, norma sosial, norma pergaulan, etika, tata karma, dan sebagainya. Agar komunikasi interpersonal dapat berjalan secara efektif, maka masalah konteks komunikasi ini kiranya perlu menjadi perhatian. Artinya, pihak komunikator dan komunikan perlu mempertimbangkan konteks komunikasi ini. Komunikasi antarpribadi bisa menjadi sebuah komunikasi yang sangat efektif ketika komunikasi dapat mengerti dan bahkan melaksanakan (action) pesan yang diberikan oleh komunikatornya dan adanya feedback. Komunikasi tatap muka yang dilakukan berulang-ulang dan bergantian dapat meningkatkan mutu komunikasi antarpribadi, dengan mampu menjalin suatu kontak pertukaran pesan antara dua orang secara langsung. Komunikasi tatap muka mempunyai keistimewaan dimana efek dan umpan balik, aksi dan reaksi langsung terlihat karena jarak fisik partisipan yang dekat. Aksi maupun reaksi verbal dan nonverbal, semuanya terlihat jelas secara langsung. Oleh karena itu tatap muka yang dilakukan terus menerus kemudian dapat mengembangkan komunikasi antarpribadi yang memuaskan dua pihak dan menjadi komunikasi yang efektif. Devito (1997:259-264) mengemukakan ada lima sikap positif yang perlu dipertimbangkan ketika seseorang merencanakan komunikasi antarpribadi yang mendukung komunikasi antarpribadi. 1) Keterbukaan Bersikap terbuka terhadap perbedaan yang ada, terutama perbedaan nilai, kepercayaan, sikap, dan perilaku. Sikap keterbukaan ditandai dengan adanya kejujuran dalam merespon segala stimuli komunikasi. Tidak berkata bohong, dan tidak menyembunyikan informasi yang sebenarnya. Dalam proses komunikasi antarpribadi, keterbukaan menjadi salah satu sikap yang positif. Hal ini disebabkan, dengan keterbukaan maka komunikasi antarpribadi akan berlangsung secara adil, transparan, dua arah, dan dapat diterima oleh semua pihak yang berkomunikasi. 2) Empati Empati adalah kemampuan seseorang untuk merasakan kalau seandainya menjadi orang lain, dapat memahami sesuatu yang sedang dialami orang lain, dapat merasakan apa yang dirasakan oranglain, dan dapat memahami sesuatu persoalan dari sudut pandang oranglain, melalui kecamata orang lain. Salah satu prasyarat utama dalam memiliki sikap empati adalah kemampuan kita untuk mendengarkan atau mengerti terlebih dulu sebelum didengarkan atau dimengerti oleh orang lain. Komunikasi empatik dilakukan dengan memahami dan mendengarkan oranglain terlebih dahulu, kita dapat membangun keterbukaan dan kepercayaan yang kita perlukan dalam membangun kerjasama atau sinergi dengan orang lain. Dalam komunikasi lintas budaya sikap empati adalah menempatkan posisi diri kita pada posisi lawan bicara yang berasal dari budaya yang berbeda. 3) Sikap Mendukung (Supportiveness) Artinya masing-masing pihak yang berkomunikasi memiiliki komitmen untuk mendukung terjadinya interaksi secara terbuka. Oleh karena itu respon yang relevan adalah respon yang bersifat spontan dan lugas, bukan respon bertahan dan berkelit. 4) Sikap positif (Positiveness) Dalam bentuk sikap, maksudnya adalah bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi antarpribadi harus memiliki perasaan dan pikiran positif, bukan prasangka dan curiga khususnya dalam situasi lintas budaya karena begitu banyak hal yang tidak dikenal atau tidak diketahui. Dalam bentuk perilaku, artinya bahwa tindakan yang dipilih adalah yang relevan dengan tujuan komunikasi antarpribadi, yaitu secara nyata melakukan aktivitas untuk terjalinnya kerjasama. Sikap positif dapat ditunjukkan dengan berbagai macam perilaku dan sikap, antara lain: (1) Menghargai oranglain; (2) Berpikiran positif terhadap oranglain; (3) Tidak menaruh curiga secara berlebihan; (4) Meyakini pentingnya oranglain; (5) Memberikan pujian dan penghargaan; (6) Memberikan pujian dan penghargaan; (7) Komitmen menjalin kerjasama. 5) Kesetaraan (equality) Kesetaraan (equality) ialah pengakuan bahwa kedua belah pihak memiliki kepentingan, kedua belah pihak sama-sama bernilai dan berharga, dan saling memerlukan. Indikator kesetaraan meliputi: pertama, menempatkan diri setara dengan oranglain; kedua, menyadari akan adanya kepentingan yang berbeda; ketiga, mengakui pentingnya kehadiran oranglain; keempat, tidak memaksakan kehendak; kelima, komunikasi dua arah; keenam, saling memerlukan; ketujuh, suasana komunikasi: akrab dan nyaman. Ada lima hukum komunikasi efektif. Lima hukum itu meliputi: Respect, Empathy, Audible, Clarity, dan Humble disingkat REACH yang berarti merengkuh atau meraih. Hal ini relevan dengan prinsip komunikasi antarpribadi pada dasarnya adalah upaya, upaya bagaimana kita meraih perhatian, pengakuan, cinta kasih, simpati, minat, kepedulian, simpati, tanggapan, maupun respon positif dari orang lain (Dale Carnegie dalam Aribowo Prijosaksono & Ping Hartono 2003:174). 1) Respect Hukum pertama dalam mengembangkan komunikasi antarpribadi yang efektif adalah respect, ialah sikap menghargai setiap individu yang menjadi sasaran pesan yang kita sampaikan. Rasa hormat dan saling menghargai merupakan hukum yang pertama dalam kita berkomunikasi dengan orang lain. Jika kita membangun komunikasi dengan rasa dan sikap saling mengharga dan menghormati, maka kita dapat membangun kerjasama yang menghasilkan sinergi yang akan meningkatkan kualitas hubungan antarmanusia. 2) Empathy Empathy (empati) adalah kemampuan kita untuk menempatkan diri kita pada situasi atau kondisi yang dihadapi oleh orang lain. Salah satu prasyarat utama dalam memiliki sikap empati adalah kemampuan kita untuk mendengarkan atau mengerti terlebih dulu sebelum didengarkan atau dimengerti oleh orang lain. Komunikasi empatik dilakukan dengan memahami dan mendengarkan oranglain terlebih dahulu, kita dapat membangun keterbukaan dan kepercayaan yang kita perlukan dalam membangun kerjasama atau sinergi dengan orang lain. 3) Audible Makna dari audible antara lain: dapat didengarkan atau dimengerti dengan baik. Jika empati berarti kita harus mendengarkan terlebih dahulu ataupun mampu menerima umpan balik dengan baik, maka audible berarti pesan yang kita sampaikan dapat diterima oleh penerima pesan. 4) Clarity Selain bahwa pesan harus dapat dimengerti dengan baik, maka hukum ke empat yang terkait dengan itu adalah kejelasan dari pesan itu sendiri sehingga tidak menimbulkan multi interpretasi atau berbagai penafsiran yang berlainan. Clarity dapat pula berarti keterbukaan dan transparansi. Dalam komunikasi antarpribadi kita perlu mengembangkan sikap terbuka (tidak ada yang ditutupi atau disembunyikan), sehingga dapat menimbulkan rasa percaya (trust) dari penerima pesan. 5) Humble Hukum kelima dalam membangun komunikasi antarpribadi yang efektif adalah sikap rendah hati. Sikap ini merupakan unsur yang terkait dengan hukum pertama untuk membangun rasa menghargai orang lain, biasanya didasari oleh sikap rendah hati yang kita miliki. Sikap rendah hati pada intinya antara lain: sikap melayani, sikap menghargai, mau mendengar dan menerima kritik, tidak sombong dan memandang rendah orang lain, berani mengakui kesalahan, rela memaafkan, lemah lembut dan penuh pengendalian diri, serta mengutamakan kepentingan yang lebih besar. Jika komunikasi yang kita bangun didasarkan pada lima hukum pokok komunikasi yang efektif ini, maka kita dapat menjadi seorang komunikator yang handal, dapat menyampaikan pesan dengan cara yang sesuai dengan keadaan komunikan. 2.2. Siklus Hubungan Komunikasi Antarpribadi Pada hakikatnya hubungan komunikasi antarpribadi juga merupakan sebuah siklus. Siklus artinya proses lanjutan dari satu tahap ke tahap berikutnya secara berputar sehingga setelah sampai pada tahap akhir dari siklus, dimungkinkan untuk kembali lagi kepada tahap awal. Siklus dalam komunikasi antarpribadi dimulai dari perkenalan, menuju kebersamaan lagi, dan seterusnya pada setiap tahap dalam suatu hubungan antarpribadi, komunikasi memainkan peran yang berbeda. Menurut Mark Knapp dan Anita Vangelisti (2000), keterbukaan untuk mengungkapkan informasi yang bersifat intim harus didasarkan atas kepercayaan. Menurut mereka jika kita menginginkan resiprositas dalam hal keterbukaan maka kita harus mencoba untuk memperoleh kepercayaan dari orang lain dan sebaliknya kita juga harus percaya dengan oranglain. Tahapan hubungan antarpribadi dapat digambarkan sebagai siklus hubungan antarmanusia menuju kepada kebersamaan. Kebersamaan adalah merupakan puncak tahapan hubungan antarpribadi yang ditandai dengan karakter keharmonisan. Mark Knapp telah menguraikan kerangka tahapan proses komunikasi antarpribadi dimana setiap tahapan itu sangat bermanfaat bagi pengembangan komunikasi dengan oranglain. Secara singkat tahapan itu sebagai berikut: KEBERSAMAAN PENGIKATAN PENGGIATAN PENJAJAKAN PERKENALAN PEMBEDAAN PEMBATASAN PENGHINDARAN PEMUTUSAN Gambar 1. Tahapan hubungan Antarpribadi (Suranto AW, 2011:41) 1. Tahap Perkenalan ditandai adanya tindakan memulai (intiating), merupakan tahap awal pembentukan hubungan yang melibatkan inisiasi sosial atau pertemuan. Tahap ini merupakan langkah pertama, fase kontak yang permulaan, ditandai oleh usaha kedua belah pihak untuk menangkap informasi dari reaksi kawannya. Pada tahap ini, dua atau beberapa orang memerhatikan dan menyesuaikan perilaku satu sama lain dan komunikasi biasanya dilakukan dengan hati-hati agar terbentuk persepsi dan kesan pertama yang baik. Seringkali pesan-pesan awal yang dipakai seorang individu untuk penyesuaian adalah nonverbal—senyum, pandangan sekilas, jabat tangan, gerakan, atau penampilan. Jika hubungan berlanjut proses pesan timbak balik secara progresif. Salah satu menunjukkan tindakan, posisi, penampilan dan gerakan tubuh. Orang kedua bereaksi, dan reaksinya diperhatikan dan ditanggapi oleh orang pertama, yang reaksinya dilanjutkan lagi dengan tindakan oleh orang kedua, dan seterusnya. 2. Penjajakan (exprementing), merupakan tahap kedua pengembangan hubungan, eksplorasi, dilakukan segera setelah waktu sejak pertemuan awal, karena peserta mulai mengeksplorasi potensi oranglain dan kemungkinan untuk mewujudkan hubungan. Pada tahap ini kita mengumpulkan informasi tentang gaya, motif, minat, dan nilai dari oranglain. Pengetahuan ini berfungsi sebagai dasar untuk menilai manfaat melanjutkan hubungan. Tahap ini digunakan usaha mengenal diri orang lain untuk mengetahui kemiripan dan perbedaan. Masing-masing pihak berusaha menggali secepatnya identitas, sikap dan nilai pihak yang lain. Bila mereka merasa ada kesamaan, mulailah dilakukan proses mengungkapkan diri. Pada tahap ini informasi yang dicari meliputi data demografis, usia, pekerjaan, tempat tinggal, keadaan keluarga dan sebagainya. Jadi seandainya hubungan antarpribadi saya dengan anda berada pada tahap ini, yang saya lakukan adalah mengidentifikasi status (sosial, ekonomi, pendidikan, agama, dan sebagainya), sifat, kesenangan, dan lain-lain yang ada pada diri anda kemudian saya akan menilai adanya berbagai kemiripan maupun perbedaan antara saya dengan anda. 3. Penggiatan (intensifying stage), jika hubungan mengalami kemajuan, bergerak ke tahap ketiga ditandai adanya awal keintiman, yang oleh Mark Knapp dan Anita Vangelisti diberi nama intensifying stage (tahap intensifikasi). Dalam tingkat ini, peserta telah tiba pada suatu keputusan—mengatakan atau tidak mengatakan—bahwa mereka ingin melanjutkan hubungan. Jika hubungan berlanjut, mereka mesti mendapat cukup banyak pengetahuan tentang satu sama lain, dan pada saat yang sama, membuat sejumlah aturan bersama, bahasa bersama, dan memahami ciri-ciri hubungan ritual. Berbagai informasi pribadi status kenalan menjadi teman akrab sehingga banyak perubahan cara berkomunikasi. Derajat keterbukaan menjadi lebih besar. Frekuensi berkomunikasi juga semakin tinggi. Pada tahap ini masing- masing pihak juga menunjukkan sikap untuk menepati komitmen. Hubungan dalam tahap ini hubungan bisa gagal, memburuk, atau terus berkembang. 4. Pengikatan (bonding), Begitu hubungan berkembang lebih jauh, beberapa formal, pengakuan simbolik yang mengikat para individu yang terlibat merupakan hal yang umum. Tahap yang lebih formal atau ritualistik pada tahap ini terjadi bila dua orang mulai menganggap diri mereka sendiri sebagai pasangan. Dalam kasus hubungan cinta, ikatan formal dapat berupa cincin pertunangan atau pernikahan. Untuk meneguhkan adanya ikatan, maka dalam hubungan pasangan dilakukan dengan saling berjanji. 5. Kebersamaan, tahap ini merupakan puncak keharmonisan hubungan antarpribadi. Hakikat kebersamaan adalah bahwa mereka menerima seperangkat aturan yang mengatur hidup mereka bersama secara tulus. Tidak semua proses hubungan antarpribadi dapat mencapai kebersamaan. Sering kali terjadi, hubungan antarpribadi hanya sebatas perkenalan. Ada pula yang berlanjut sampai penjajakan, namun setelah itu tidak ada kecocokan sehingga tidak dilanjutkan kepada tahap penggiatan. Waktu yang diperlukan dari tahap perkenalan sampai kebersamaan, bersifat relatif dalam arti sangat tergantung pada potensi, situasi, dan kondisi. Kalau potensi, situasi, dan kondisi mendukung maka hanya diperlukan waktu singkat untuk mencapai kebersamaan. 2.3. Teori Penetrasi Sosial Altman & Taylor Komunikasi adalah penting dalam mengembangkan dan memelihara hubunganhubungan antarpribadi. Beberapa penelitian menunjukkan hubungan yang kuat antara komunikasi yang baik dan kepuasan umum suatu hubungan suami istri sebelum dan selama perkawinan. Markman menemukan bahwa pasangan yang memiliki komunikasi yang positif sebelum perkawinan cenderung memiliki perkawinan yang lebih bahagia daripada pasangan yang tidak memiliki komunikasi yang positif sebelum perkawinan. Sehingga komunikasi jelas memainkan peran yang sangat penting dalam hubungan perkawinan. Komunikasi yang baik ditandai dengan adanya keterbukaan yang juga dihubungkan dengan kesehatan mental yang positif dan membuat diri mudah atau dapat diakses oleh pihak lain melalui pengungkapan diri pada hakikatnya memberikan kepuasan. Sebaliknya, kepuasan mengarah kepada pengembangan perasaan yang positif bagi orang lain, demikian menurut Markman, Murphy, Mendelson & Navran (dalam Budyatna 2011:225-226). Masalah keterbukaan dan ketertutupan diri dalam komunikasi dengan orang lain menjadi inti gagasan teori penetrasi sosial atau social penetration theory yang berupaya mengidentifikasi proses peningkatan keterbukaan dan keintiman seseorang dalam menjalin hubungan dengan oranglain. Hasil pemikiran Irwin Altman dan Dalmas Taylor (1973) ini menjelaskan mengenai proses terjadinya ikatan hubungan antarindividu dari tahapan komunikasi awal atau komunikasi permukaan (superficial communication) kepada tahapan komunikasi yang lebih dalam atau intim. Ketika orang mulai berani bicara secara terbuka, keterbukaan dihargai serta dinilai penting dalam membina hubungan antar individu. Namun demikian, para ahli komunikasi mengakui bahwa faktor budaya juga berperan dalam mendorong keterbukaan dan sebaliknya. Daya tarik utama teori ini terletak pada pendekatannya yang langsung terhadap perkembangan hubungan. Sebuah hubungan antarpribadi akan berakhir sebagai teman baik hanya jika mereka memproses dalam sebuah “tahapan dan bentuk yang teratur dari permukaan ke tingkatan pertukaran yang intim sebagai fungsi dari hasil langsung dan perkiraan”. Struktur personalitas digambarkan sebagai “Multi-lapis Bawang” sebagai berikut: Gambar 2. Gambaran Analogi Lapisan Kulit Bawang Altman dan Taylor Altman dan Taylor menggunakan analogi tanaman bawang untuk menjelaskan proses pengungkapan diri. Bawang tersusun atas sejumlah lapisan kulit, mulai dari lapisan luar hingga dalam. Kita harus melepas kulit luar terlebih dulu untuk dapat melihat lapisan kulit yang lebih dalam dan begitu seterusnya. Jika seseorang bisa melihat dibawah permukaan, dia akan menemukan perilaku semi-privat yang diungkapkan temannya dan ini terjadi hanya pada beberapa orang. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, proses perkembangan hubungan terjadi secara agak sistematis melalui sejumlah tahapan, dan karenanya keputusan apakah seseorang ingin tetap melanjutkan hubungannya dengan oranglain tidak dapat dibuat dengan segera. Dalam hal ini, terdapat empat tahapan perkembangan hubungan antar individu, atau dengan kata lain, proses penetrasi sosial terdiri atas empat tahapan sebagai berikut: (1) tahap orientasi (2) tahap eksplorasi pertukaran emosi; (3) tahap pertukaran afektif; (4) tahap pertukaran stabil. 1. Tahap Orientasi (Lapisan terluar kulit bawang) Tahapan paling awal dalam interaksi antarindividu dinamakan dengan tahap orientation stage yang terjadi pada level publik dimana komunikasi yang terjadi bersifat tidak pribadi (impersonal). Pada individu yang terlibat hanya menyampaikan informasi yang bersifat sangat umum saja. Pada tahap ini, hanya sebagian kecil dari kita yang terungkap kepada oranglain. Ucapan atau komentar yang disampaikan orang yang bersifat basa-basi yang hanya menunjukkan informasi permukaan atau apa saja yang tampak secara kasat mata pada diri individu. Menurut Taylor dan Altman (1987), orang memiliki kecenderungan untuk enggan memberikan evaluasi atau memberikan kritik selama tahap orientasi karena akan dinilai sebagai tidak pantas dan akan menganggu hubungan dimasa depan. Kedua belah pihak secara aktif berusaha menghindarkan diri untuk tidak terlibat dalam konflik sehingga mereka mendapat peluang untuk saling menjajaki pada waktu yang akan datang. 2. Tahap Eksplorasi Pertukaran Emosi (Lapisan kulit bawang kedua) Jika pada tahap orientasi, orang bersikap hati-hati dalam menyampaikan informasi mengenai diri mereka maka pada tahap eksplorasi pertukaran emosi (exploratory affective exchange) orang melakukan ekspansi atau perluasan terhadap wilayah publik diri mereka. Tahap ini terjadi ketika orang mulai memunculkan kepribadian mereka kepada oranglain. Apa yang sebelumnya merupakan wilayah privat, sekarang menjadi wilayah publik. Hubungan pada tahap ini umumnya lebih ramah dan santai, dan jalan menuju ke wilayah lanjutan yang bersifat akrab dimulai. Orang mulai menggunakan pilihan kata-kata atau ungkapan yang bersifat lebih personal. Komunikasi juga berlangsung sedikit demi sedikit spontan karena individu merasa lebih santai terhadap lawan bicaranya, mereka juga tidak terlalu berhati-hati dalam mengungkapkan sesuatu yang mereka sesali kemudian. Perilaku berupa sentuhan dan ekspansi emosi (misalnya perubahan raut wajah) juga meningkat pada tahap ini. Tahap ini merupakan tahap yang menentukan apakah suatu hubungan akan berlanjut ataukah tidak. 3. Tahap Pertukaran Afektif (Lapisan kulit bawang ketiga) Tahap pertukaran emosi (affective exchange) ditandai munculnya hubungan persahabatan yang dekat atau antara hubungan individu yang lebih intim. Tahap ini memiliki ciri komunikasi yang lebih spontan yang disertai dengan pengambilan keputusan secara cepat bahkan dengan tidak terlalu mempertimbangkan konsekuensinya terhadap hubungan secara keseluruhan. Komitmen yang lebih besar dan perasaan yang lebih nyaman terhadap pihak lainnya juga menjadi ciri tahap pertukaran emosi ini. Pada tahap ini, tidak ada hambatan untuk saling mendekatkan diri, namun demikian, banyak orang masih berupaya untuk melindungi diri mereka agar tidak merasa terlalu lemah atau rapuh dengan tidak mengungkapkan informasi diri yang terlalu sensitif. Meskipun ada rasa kehati-hatian, umumnya terdapat sedikit hambatan untuk penjajakan secara terbuka mengenai keakraban. Interaksi yang terjadi biasanya bersifat lebih santai dan tanpa beban. Pentingnya pada tahap ini adalah bahwa rintangan telah disingkirkan dan kedua pihak belajar banyak mengenai satu sama lain. 4. Tahap Pertukaran Stabil (Lapisan inti bawang) Tahap pertukaran stabil (stable exchange stage) ditandai dengan ungkapan pikiran, perasaan, dan perilaku secara terbuka yang menghasilkan derajat spontanitas tinggi dan sifat hubungan yang unik. Tidak banyak hubungan antar individu yang mencapai tahapan ini. Individu menunjukkan perilaku yang sangat intim sekaligus sinkron yang berarti perilaku masing-masing individu seringkali berulang, dan perilaku yang berulang itu dapat diantisipasi atau diperkirakan oleh pihak lain secara cukup akurat. Para pendukung teori penetrasi sosial percaya kesalahan interpretasi makna komunikasi jarang terjadi pada tahap ini. Hal ini disebabkan masing-masing pihak telah cukup berpengalaman dalam melakukan klarifikasi satu sama lainnya terhadap berbagai keraguan terhadap makna yang disampaikan. Pada tahap ini individu mulai membangun sistem komunikasi personal mereka yang menurut Altman dan Taylor akan menghasilkan komunikasi yang efisien. Dengan kata lain, pada tahap pertukaran stabil, makna dapat ditafsirkan secara jelas untuk memperjelas empat tahap perkembangan hubungan antar individu ini. Pada kali pertama pasangan ini jalan atau keluar bersama merupakan tahap orientasi, pertemuan selanjutnya merupakan tahap pertukaran efek eksploratif, tahap pertukaran efek akan terjadi jika pasangan itu menjadi ekslusif dan mulai merencanakan masa depan bersama. Pertukaran stabil terjadi ketika mereka menikah. 2.4. Komunikasi Lintas Budaya dalam Perkawinan Campuran Perkawinan campuran menurut UU No. 1 1974 pasal adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Maretzki (dalam Tseng, 1977) mengatakan bahwa perkawinan campuran (intercultural marriage) adalah perkawinan yang berasal dari dua latar belakang budaya dan bangsa yang berbeda. Komunikasi lintas budaya adalah (1) suatu studi tentang perbandingan gagasan atau konsep dalam pelbagai kebudayaan; (2) perbandingan antara satu aspek atau minat tertentu dalam kebudayaan; (3) atau perbandingan antara satu aspek atau minat tertentu dengan satu atau lebih kebudayaan lain. Komunikasi lintas budaya lebih menekankan pada perbandingan interaksi antar orang dari latar belakang budaya yang sama, atau perbandingan suatu aspek tertentu dari suatu kebudayaan dengan orangorang dari suatu latar belakang budaya lain. Liliweri (2005) mengatakan komunikasi lintas budaya (cross culture) sering digunakan para ahli untuk menyebutkan makna komunikasi antarbudaya (interculture). Perbedaanya terletak pada wilayah geografis (negara) atau dalam konteks rasial (bangsa). Menurut Fiber Luce (dalam Liliweri 2005:365) pada hakikatnya studi lintas budaya adalah salah satu studi komparatif yang bertujuan untuk membandingkan: (1) variabel budaya tertentu; (2) kosekuensi atau akibat dari pengaruh kebudayaan, dari dua konteks kebudayaan atau lebih yang berbeda. Melalui studi atau analisis perbandingan seperti ini, diharapkan setiap orang akan dapat memahami kebudayaannya sendiri dan mengakui bahwa ada isu kebudayaan yang dominan, yang dimiliki oleh orang lain individu, keluarga, gender, kontrol terhadap kejahatan, ketidakseimbangan sosial, dan lain-lain. Atau kita dapat mengatakan bahwa gagasan dasar dari komunikasi lintas budaya terletak pada: (1) komunikasi antara orang-orang dan kelompok yang berbeda budaya yang dipengaruhi oleh perbedaan sikap, sumber daya, sejarah, dan banyak faktor lain; dan (2) proses interpretasi dan interaksi yang dipengaruhi oleh partisipan dalam komunikasi itu. Faktor-faktor personal yang mempengaruhi komunikasi antarpribadi antara lain adalah faktor kognitif seperti konsep diri, persepsi, sikap, orientasi diri, dan harga diri. Konteks komunikasi lintas budaya juga meliputi komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh dua atau tiga orang yang berbeda latar belakang pribadi atau, termasuk latar belakang kebudayaan. Karena itu, umumnya defenisi komunikasi antarbudaya menjelaskan sebuah proses komunikasi antarpribadi dari peserta komunikasi yang berbeda latar belakang kebudayaan. Oleh karena itu, dalam setiap perkawinan membutuhkan penyesuaian, terutama dalam perkawinan campuran yang sering kali perbedaan kebudayaan menjadi permasalahan yang mendasar dalam perkawinan campuran, terutama pada perkawinan campuran antara orang Indonesia dengan orang Barat (Western). Kebudayaan barat lebih mengesankan kehidupan yang bebas dan individual, sedangkan kebudayaan timur (Indonesia) lebih mengesankan kehidupan yang kekeluargaan dan lebih berdasarkan pada norma-norma yang ada pada lingkungan sekitar (Ries, 2005). Apabila pasangan suami istri berhasil dalam proses penyesuaian perkawinan atau tidak memiliki kesulitan yang berarti dalam menjalani suatu perkawinan, maka keharmonisan dalam perkawinan dapat dijaga. Sebaliknya, apabila penyesuaian perkawinan pasangan memiliki kesulitan yang berarti, tidak dapat dipungkiri, perkawinan tersebut dapat berakhir dengan perceraian. Tercapainya suatu penyesuaian perkawinan berarti tercapainya suatu kenyamanan dalam hubungan perkawinan melalui saling memberi dan menerima antarpasangan. Menurut Tseng, Dermott, J.F., & Maretzki, T.W (1977) faktor pendukung keberhasilan penyesuaian perkawinan campuran, antara lain: a. Adanya sikap saling keterbukaan pikiran atau open mindedness b. Adanya toleransi yang tinggi c. Memiliki sikap keluwesan d. Memiliki keinginan untuk saling mempelajari kebudayaan dari pasangan d. Kepekaan terhadap kebutuhan pasangan Penyesuaian adalah interaksi yang kontinu dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan (Calhoun & Acocella, dalam Sri Lestari, 2012). Penyesuain ini bersifat dinamis dan memerlukan sikap dan cara berpikir yang luwes. Keberhasilan penyesuaian dalam perkawinan tidak ditandai dengan tiadanya konflik yang terjadi. 2.5. Pengertian Etnis Pengertian etnik (ethnic) berasal dari bahasa Yunani ethnos yang merujuk pada pengertian bangsa atau orang. Acapkali ethnos diartikan sebagai setiap kelompok sosial yang ditentukan oleh ras, adat-istiadat, bahasa, nilai dan norma budaya, dan lain-lain yang pada gilirannya mengidentifikasikan adanya kenyataan kelompok yang minoritas atau mayoritas dalam suatu masyarakat. Menurut (Sowell dalam Soermarsono, 2010) yang menulis tentang ethnic of America, kelompok etnik merupakan sekelompok orang yang mempunyai pandangan dan praktik hidup yang sama atau suatu nilai dan norma. Misalnya kesamaan agama, negara asal, suku bangsa, kebudayaan, bahasa, dan lain-lain yang semuanya berpayung pada satu kelompok yang disebut kelompok etnik. Menurut Frederich Barth (1988) istilah etnik menunjuk pada suatu kelompok tertentu yang karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai budayanya. Dalam kaitannya dengan “bangsa” etnik (kelompok etnik) merupakan konsep yang digunakan silih berganti untuk menerangkan suatu bangsa seperti Indonesia, dari sudut pandang kebangsaan yang melatarbelakangi perkembangan kebudayaan (Hidayah, 1996). 2.6. Penelitian Sebelumnya Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Rivika Sakti Karel, dkk (2014) di Kota Manado dengan judul penelitian “Komunikasi Antarpribadi Pada Pasangan SuamiIstri Beda Negara (Studi Pada Beberapa Keluarga di Kota Manado).” Yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah Intensitas komunikasi antarpribadi pada pasangan suami istri maupun dengan keluarga; hambatan-hambatan dalam komunikasi antarpribadi pada pasangan suami/isteri beda negara yang ada di kota Manado, pola komunikasi antarpribadi pasangan suami/istri beda negara, dan pola komunikasi antarpribadi pasangan suami/istri beda negara dengan keluarga. Hasil penelitian ini didapat beberapa kesimpulan: 1. Intensitas komunikasi antarpribadi pada pasangan suami istri beda negara di Kota Manado. Dengan melihat bahwa mereka selalu saling berkomunikasi setiap harinya pada saat pagi sebelum suami mereka pergi ke kantor, pada saat siang mereka berkomunikasi menggunakan media telepon, dan pada malam hari mereka berkomunikasi tatap muka setelah suaminya pulang kantor dan adapun yang berkomunikasi sepanjang hari setiap mereka ada kesempatan. Mereka pun sering bercerita mengenai segala hal yang telah mereka lakukan dan mereka rasakan, juga sering berbicara mengenai masalah-masalah yang sering mereka temui sehingga mereka bisa mendapat solusi dari masalah-masalah mereka. maka dari hasil penelitian tersebut didapat bahwa intensitas dalam komunikasi antarpribadi pada semua pasangan-pasangan suami istri berbeda negara ini dalah cukup intens. 2. Hambatan komunikasi antarpribadi pada pasangan suami istri beda negara di Kota Manado. Dalam peneltian ini disimpulkan bahwa hambatan-hambatan yang mereka temui berbeda-beda. Hambatan komunikasi pada pasangan informan 2 antara Slovenia dan Indonesia adalah di gaya bahasa orang Slovenia yang memiliki volume yang keras dan berintonasi tinggi. Sedangkan hambatan pasangan informan 1 biasanya datang dari cara berkomunikasi untuk menyampaikan kebiasaan-kebiasaan buruk yang tidak disukai. Jadi diantara ketiga pasangan suami istri berbeda negara ini, informan satu dan informan dua masing-masing memiliki hambatan yang berbeda-beda. 3. Pola komunikasi antarpribadi pasangan suami istri beda negara. Pola komunikasi yang terjadi pada pasangan suami istri berbeda negara ini adalah pola komunikasi langsung dan terbuka, dikatakan terbuka karena dilihat dari setiap harinya mereka berkomunikasi pada saat pagi sebelum suami mereka pergi ke kantor, pada saat siang mereka berkomunikasi menggunakan media telepon, dan pada malam hari mereka berkomunikasi tatap muka setelah suaminya pulang kantor, ada yang berkomunikasi sepanjang hari disetiap ada kesempatan, dan mereka juga dengan leluasa menyampaikan apa yang tidak mereka suka dari pasangan. Kelemahan dari penelitian yang dilakukan oleh Rivika Sakti Karel, dkk adalah kurangnya pengkajian lebih mendalam mengenai penyesuaian dan langkah pasangan dalam menyelesaikan konflik. Sehingga dalam penelitian ini hanya terbatas pada penjelasan mengenai intesitas pasangan beda negara dalam berkomunikasi dengan pasangan dan keluarga. Kelemahan lainnya adalah pemilihan lokasi penelitian, yaitu di Manado, yang tidak memiliki latar belakang sejarah kompleks yang mendukung pentingnya topik penelitian yang diangkat, sehingga kurang signifikan. 2.7. Kerangka Pikir Kebudayaan (nilai, norma dan adatistiadat) Kebudayaan (nilai, norma dan adatistiadat) Kepribadian Pengalaman Sumba Percakapan Wester n Menerima Perbedaan Kepribadian Pengalaman Siklus Hubungan & Tahap Penetrasi Sosial Penyesuaian Perkawinan Keharmonisan hubungan perkawinan Gambar 3. Kerangka Pikir Gambar diatas menunjukkan individu sumba dan individu western merupakan dua orang yang berbeda latar belakang budaya yang meliputi nilai, norma, adatistiadat, kepribadian dan pengalaman. Ketika wanita Sumba dengan pria Western melakukan komunikasi, hal ini disebut dengan komunikasi antarpribadi. Pada prosesnya komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh wanita Sumba dan Pria Western dilakukan dalam konteks komunikasi lintas budaya. Ketika dalam proses komunikasi antapribadi wanita Sumba dan pria Western bisa menerima perbedaan budaya masing-masing, maka keduanya akan mulai memasuki siklus hubungan maupun tahapan penetrasi sosial. Puncak dari siklus hubungan mapun tahapan penetrasi sosial ini adalah kebersamaan hubungan yang ditandai dengan perkawinan. Setelah memasuki tahap perkawinan kedua pasangan ini akan melakukan penyesuaian diri, baik itu penyesuaian diri dengan pasangan, maupun dengan keluarga besar pasangan dan lingkungan yang baru. Proses penyesuaian diri ini bertujuan untuk mengantisipasi masalah-masalah potensial suami-istri, seperti salah paham, konflik dengan pasangan maupun dengan keluarga. Sehingga ketika keduanya mampu menyesuaikan diri, baik dengan budaya pasangan maupun dengan keluarga besar pasangan maka hubungan perkawinan dapat terhindar dari konflik dalam rumah tangga dan hubungan rumah tangga mereka akan berlangsung harmonis.