II. TINJAUAN PUSTAKA A. POD KAKAO Kakao

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. POD KAKAO
Kakao (Theobroma cacao L) merupakan tumbuhan berwujud pohon yang
berasal dari Amerika Selatan. Dari biji tumbuhan ini dihasilkan produk olahan yang
dikenal sebagai kokoa. Tanaman kakao berasal dari daerah hutan hujan tropis di
Amerika Selatan. Di daerah asalnya, kakao merupakan tanaman kecil di bagian
bawah hutan hujan tropis dan tumbuh terlindung pohon-pohon yang besar. Oleh
karena itu dalam budidayanya, tanaman kakao memerlukan naungan. Sebagai daerah
tropis, Indonesia yang terletak antara 6 °LU – 11 °LS merupakan daerah yang sesuai
untuk tanaman kakao.
Pod buah kakao adalah bagian mesokrap atau bagian dinding buah kakao yang
mencakup kulit terluar sampai daging buah sebelum kumpulan biji. Pada Gambar 1
terlihat penampang melintang buah kakao yang menggambarkan bagian-bagian dari
buah kakao tersebut.
Biji dan pulp
Pod Kakao
Plasenta
Gambar 1. Penampang melintang buah kakao (Anonim, 2008)
Limbah kakao (pod kakao) merupakan bagian terbesar dari buah kakao yaitu
sebesar 75% dari bobot buah dengan kadar bahan keringnya sekitar 11,4%. Buah
kakao segar terdiri dari 73,73% pod, 2,00% plasenta dan 24,40% biji kakao
(Siswoputranto, 1983). Kulit buah adalah bagian mesokarp atau bagian dinding buah
yang mencakup kulit terluar sampai dinding buah sebelum kumpulan biji (Siagian,
1989).
Produksi kakao di Indonesia pada tahun 2007 mencapai 532.000 ton nilai
tersebut terus ditingkatkan mengingat pemerintah telah memproyeksikan produksi
kakao pada tahun 2013 mencapai 1 juta ton (Anonim, 2009). Pengembangan tersebut
seiring dengan pengembangan industri berbasis kakao. Indonesia menjadi negara
ketiga terbesar dunia penghasil kakao setelah Pantai Gading dan Ghana di Afrika
dengan pangsa produksi sebesar 13,23% dari total produksi kakao dunia.
Tabel 1. Negara penghasil kakao terbesar di dunia
No
Negara
Produksi kakao
1
Pantai Gading
38%
2
Ghana
19%
3
Indonesia
13%
4
Nigeria
5%
5
Brasil
5%
6
Kamerun
5%
7
Ekuador
4%
8
Malaysia
1%
Sumber : (Departemen pertanian, 2008)
Lampung Selatan merupakan daerah penghasil biji kakao yang cukup besar,
dengan pusat produksi yang tersebar dibeberapa Desa di Kecamatan Penengahan
yaitu Desa Padan, Banjarmasin, Waykalam, Rawi dan Gedungharta. Kabupaten
Padang Pariaman diprediksi tahun 2010 akan merajai kakao dunia. Mantan Menteri
Lingkungan Hidup, Emil Salim mengatakan: ” Tahun 2010 mendatang, Indonesia
khususnya Sumatra Barat (Kabupaten Padang Pariaman) harus merajai kakao di
dunia. Tahun ini luas areal kakao di Sumatra Barat 20 ribu hektar, pada 2010 luasnya
diproyeksikan menjadi 100 ribu hektar “ (Anonim, 2008).
Sulawesi Selatan sebagai salah satu produsen kakao terbesar di Indonesia.
Luas areal perkebunan 181.276 Ha atau sekitar 19,83% dari jumlah luas areal
perkebunan kakao nasional. Kakao tersebar di 17 Provinsi termasuk Sulawesi
Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua dan beberapa daerah lain. Kakao mempunyai
potensi besar untuk dikembangkan menjadi bermacam-macam produk. Produk
turunan potensial yang bisa dihasilkan dari komoditas kakao disajikan pada Gambar
2.
Gambar 2. Pohon industri kakao (Anonim, 2008)
B. SELULOSA
Karbohidrat terdiri dari fraksi pati dan serat kasar. Kedua fraksi ini merupakan
bagian penting yang akan dipergunakan sebagai substrat fermentasi. Fraksi serat
kasar terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin. Pati dan selulosa merupakan
homopolimer glukosa yang jika dihidrolisis akan menghasilkan glukosa, sedangkan
hemiselulosa akan menghasilkan campuran gula yang terdiri dari glukosa, xilosa,
galaktosa, arabinopiranosa, arabinofuranosa dan manosa. Glukosa, manosa dan
galaktosa merupakan gula dari golongan heksosa sedangkan xilosa dan arabinosa
merupakan gula dari kalangan pentosa (Demirbas, 2005). Selulosa mempunyai bagian
yang mudah dihidrolisis disebut bagian amorf dan bagian yang sulit dihidrolisis
disebut bagian kristalin. Selulosa mempunyai sifat mengembang (swelling) jika
direaksikan dengan hidroksi logam alkali, garam-garam dalam larutan basa kuat dan
senyawa amina. Dari sekian amina itu, NaOH paling lazim dipergunakan untuk
mengembangkan ikatan selulosa (Irawadi, 1990).
Selulosa adalah polimer glukosa yang membentuk rantai linier dan
dihubungkan oleh ikatan ß -1,4-glikosidik. Struktur yang linier menyebabkan selulosa
bersifat kristalin dan tidak mudah larut. Selulosa tidak mudah didegradasi secara
kimia maupun mekanis. Di alam, biasanya selulosa berasosiasi dengan polisakarida
lain seperti hemiselulosa atau lignin membentuk kerangka utama dinding sel
tumbuhan
(Holtzapple,
1993).
Pendapat
yang
sama
juga
dikemukakan
Tjokroadikoesoemo (1986), bahwa selulosa adalah jaringan utama pada serat dan
dinding sel tanaman. Senyawa ini terdiri atas sejumlah besar molekul glukosa yang
saling bergandengan melalui gugus ß–glukosida dari molekul glukosa yang satu
dengan gugus hidroksil C4 dari molekul glukosa yang lain.
Kebanyakan selulosa berasosiasi dengan lignin sehingga sering disebut
dengan lignoselulosa. Selulosa, hemiselulosa dan lignin dihasilkan dari proses
fotosintesis. Pada saat yang sama, komponen-komponen utama penyusun tanaman ini
diuraikan oleh aktivitas mikroorganisme. Beberapa mikroorganisme mampu
menghidrolisis selulosa untuk digunakan sebagai sumber energi, seperti bakteri dan
fungi (Enari, 1983). Rantai selulosa terdiri dari satuan glukosa anhidrida yang saling
berkaitan melalui atom karbon pertama dan keempat. Ikatan yang terjadi adalah
ikatan ß -1,4-glikosidik. Rumus bangun selulosa ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Rumus bangun selulosa (Achmadi, 1989)
Secara alamiah molekul-molekul selulosa tersusun dalam bentuk fibril-fibril
yang terdiri dari beberapa molekul selulosa yang dihubungkan dengan ikatan
hidrogen. Fibril-fibril ini membentuk struktur kristal yang dibungkus oleh lignin.
Komposisi kimia dan struktur yang demikian membuat kebanyakan bahan yang
mengandung selulosa bersifat kuat dan keras. Sifat kuat dan keras yang dimiliki oleh
sebagian besar bahan berselulosa membuat bahan tersebut tahan terhadap peruraian
secara enzimatik. Secara alamiah peruraian selulosa berlangsung sangat lambat.
Selulosa dapat dikonversi menjadi produk-produk bernilai ekonomi yang
lebih tinggi seperti glukosa, etanol, dan pakan ternak dengan jalan menghidrolisis
selulosa dengan bantuan selulase sebagai biokatalisator atau dengan hidrolisis secara
asam atau basa.
C. LIGNIN
Lignin adalah senyawa yang tahan terhadap hidrolisis dan menghambat kerja
enzim selulase karena membentuk kompleks dengan selulosa dan hemiselulosa
sehingga diharapkan serendah mungkin pada substrat (Apriyantono et al., 1988).
Lignin adalah komplek polimer hidrokarbon dengan komponen senyawa alifatik dan
aromatik. Lignin terdiri dari monomer-monomer yang berasal dari beberapa macam
cincin substitusi phenil propana. Brown (1979) mengatakan bahwa lignin merupakan
polimer aromatik kompleks dengan bobot molekul kira-kira 11.000 yang dibentuk
oleh tiga dimensi polimerisasi.
Polimer lignin dapat dikonversi menjadi monomer tanpa mengalami
perubahan bentuk dasar. Lignin pada umumnya tahan terhadap hidrolisis karena
adanya ikatan eter dan ikatan karbon. Pada suhu tinggi lignin akan mengalami
perubahan struktur dengan membentuk asam format, metanol, asam asetat, aseton,
vanilin dan sebagainya, sedangkan bagian yang lainnya mengalami kondensasi
(Brown, 1979) .
D. HEMISELULOSA
Hemiselulosa sering diartikan sebagai selulosa dengan bobot molekul rendah.
Untuk membedakan antara selulosa dengan hemiselulosa dikenal dengan istilah
polisakarida poliosa. Poliosa adalah polisakarida non selulosa. Oshima (1965)
menyatakan bahwa hemiselulosa adalah polisakarida yang mempunyai bobot molekul
yang lebih kecil dari selulosa. Hemiselulosa terdiri dari 2-7 residu gula yang berbeda.
Jenis hemiselulosa selalu dipilih berdasarkan residu gula yang dikandungnya.
Hemiselulosa ditemukan dalam tiga kelompok, yaitu xilan, mannan, dan
galaktan xilan dalam bentuk arabinoxilan. Menurut Janes (1969), polimer
hemiselulosa sebagian besar terdiri dari monosakarida, D-xilosa, D-mannosa, Dglukosa, L-arabinosa, D-galaktosa, asam D-glukoronat
dan asam galakturonat.
Hemiselulosa mempunyai serat-serat yang pendek dan suhu bakarnya juga tidak
tinggi, hal ini berbeda dengan selulosa yang seratnya panjang dengan suhu bakarnya
tinggi. Hidrolisis hemiselulosa akan menghasilkan tiga jenis monosakarida, yaitu
xilopiranosa, arabinosa dan sedikit glukosa. Hemiselulosa mempengaruhi kemurnian
sirup glukosa, karena senyawa ini dapat juga terdegradasi oleh enzim selulase
menjadi xilopiranosa dan beberapa pentosan.
E. DELIGNIFIKASI LIMBAH LIGNOSELULOSA
Limbah
lignoselulosa
merupakan
bahan
yang
mengandung
lignin,
hemiselulosa dan selulosa. Fungsi lignin adalah mengikat sel-sel tanaman satu
dengan lainnya sebagai pengisi dinding sel sehingga dinding sel tanaman menjadi
keras, teguh dan kaku (Dellweg, 1983). Ingram dan Doran (1995) menyatakan bahwa
selulosa dan hemiselulosa tidak dapat dikonversi secara langsung karena berasosiasi
dengan lignin.
Produksi sirup glukosa secara enzimatis dari pod kakao diawali dengan
pembuatan substrat. Perlakuan terhadap substrat ini disebut delignifikasi. Tujuannya
adalah untuk menurunkan kadar lignin dan derajat kristalinitas, memperluas
permukaan substrat dan meningkatkan densitas curah selulosa. Delignifikasi dapat
dilakukan secara fisik dan kimiawi atau kombinasi dari keduanya.
1. Delignifikasi secara fisik
Delignifikasi secara fisik pada dasarnya adalah pengeringan dan pengecilan
ukuran pod kakao hingga 40 mesh. Pengecilan ukuran ini sangat penting untuk
meningkatkan interaksi antara enzim dan substrat dalam proses hidrolisis. Dengan
demikian diharapkan proses pemutusan ikatan kimia ß-1,4-glikosidik yang
merupakan ikatan utama pada selulosa dapat berlangsung dengan cepat.
2. Delignifikasi secara kimiawi
Selulosa pod kakao dilapisi dan dilindungi oleh lignin yang sangat kuat dan
tahan terhadap proses hidrolisis. Delignifikasi secara fisik tidak cukup untuk
menurunkan lignin secara efektif, oleh karena itu perlu dilakukan delignifikasi secara
kimiawi. Delignifikasi secara kimiawi merupakan metode yang tepat untuk
merombak dan menurunkan kadar lignin pada pod kakao.
Menurut
Fridia
(1989),
proses
delignifikasi
merupakan
perlakuan
pendahuluan terhadap bahan baku sehingga mempermudah pelepasan hemiselulasa.
Proses ini berfungsi untuk membersihkan lignin. Perlakuan awal yang efisien harus
dapat membebaskan struktur kristal selulosa dengan memperluas daerah amorf serta
membebaskan dari lapisan lignin. Menurut Casey (1952) bahan yang telah dikenai
proses delignifikasi selain mengalami penyusutan kandungan ligninnya, juga
mengalami peningkatan kandungan selulosa dan hemiselulosa. Berbagai perlakuan
pendahuluan atau delignifikasi dapat dilakukan secara fisik (penggilingan, pemanasan
dengan uap, radiasi atau pemanasan dengan udara kering) dan kimia (pelarut, larutan
pengembang,
gas
SO2).
Perlakuan
pendahuluan
dapat
dilakukan
dengan
mengkombinasikan antara perlakuan fisik dan kimia (Foody et al., 1999).
Delignifikasi secara kimia dilakukan dengan senyawa NaOH 0,68% dan H2O2.
30%. Hal ini sesuai dengan pendapat Gould (1985) bahwa delignifikasi dapat
dilakukan dengan asam, alkali dan H2O2. yang sekaligus juga mengurangi kadar
hemiselulosa. Mekanisme kerja dari proses delignifikasi dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Mekanisme proses delignifikasi (Achmadi, 1989)
Penurunan kadar lignin pada delignifikasi secara kimiawi terjadi secara
bertahap, yaitu swelling dan sifat alkali larutan karena penambahan NaOH. NaOH
pada bahan lignoselulosa akan menyebabkan terjadinya pengembangan sehingga
meningkatkan luas permukaan bahan, menurunkan derajat polimerisasi, menurunkan
kristalinitas, memutuskan ikatan antar lignin dan karbohidrat serta melonggarkan
struktur lignin. Delignifikasi dengan menggunakan NaOH akan meningkatkan daya
cerna dari enzim selulase pada pH diatas 12. H2O2 yang ditambahkan setelah
penambahan NaOH akan bereaksi dengan lignin dan senyawa-senyawa phenolik
menghasilkan senyawa-senyawa dengan berat molekul rendah berupa produk
oksidasi yang larut air. Pada saat penambahan H2O2 pada campuran alkali dengan
pod kakao, akan timbul gelembung-gelembung udara yang berisi oksigen. Adanya
oksigen menunjukkan sedang terjadinya dekomposisi dari H2O2. Senyawa yang
mengoksidasi lignin adalah senyawa reaktif gugus radikal hidroksida (-OH) yang
terbentuk selama degradasi H2O2 bereaksi dengan anion hidroperoksida (HOO-) pada
pH 11,5-11,6.
Reaksi peroksida yang terjadi dapat diuraikan sebagai berikut:
H 2O 2 → H + + HOOH 2O 2 + HOO- → HO- + O -2 + H 2O
Lignin + O-2 → lignin teroksidasi
Lignin teroksidasi + OH - → lignin terlarut
F. HIDROLISIS ENZIM
Enzim adalah katalis sangat spesifik yang membantu terjadinya reaksi-reaksi
kimia dalam sistem biologis. Selulase adalah enzim yang dapat mengkatalis
terjadinya reaksi hidrolisis selulosa menjadi glukosa. Keuntungan hidrolisis enzim
dibandingkan hidrolisis asam adalah kondisi reaksi lebih ringan dan tidak terjadi
reaksi samping yang berarti. Hidrolisis selulosa dengan enzim merupakan metode
yang sangat menarik dan obyek banyak penelitian dalam pemanfaatan limbah
lignoselulosa (Gong dan Tsao, 1979).
Faktor-faktor yang berpengaruh pada proses hidrolisis enzim adalah kualitas
dan konsentrasi substrat, metode perlakuan awal yang diaplikasikan, aktivitas enzim
selulase dan kondisi proses hidrolisis seperti suhu, pH dan adanya inhibitor. Menurut
Kulp (1975), aktifitas selulase optimum pada pH 4,5-6,5 dan khusus untuk selulase
yang diperoleh dari Aspergilus niger atau Trichoderma viride menunjukkan aktifitas
optimum pada 4,5-5,5. Kisaran pH optimum untuk aktifitas dari suatu enzim yang
sama bisa bervariasi tergantung substratnya dan jenis asam yang digunakan. Menurut
Mandels dan Weber (1969), pH optimum pada pengujian aktifitas enzim selulase dari
Trichoderma viride dengan substrat CMC adalah 4,8.
Tiga enzim utama yang terdapat dalam selulase kompleks adalah
endoglukonase, eksoglukonase dan selobiase. Ketiga enzim ini adalah enzim
hidrolitik dan bereaksi secara bertahap atau bersama. Endoglukonase menghidrolisis
ikatan ß-1,4-glikosidik secara acak pada daerah amorf selulosa menghasilkan
glukosa, selobiosa dan selodekstrin. eksoglukonase menghidrolisis selodekstrin
dengan memutus unit selobiosa dan selo-oligosakarida menjadi glukosa (Jeewon,
1997). Enzim endoglukonase atau endoselulase menguraikan kristal-kristal penyusun
serat selulosa dan melepaskan ikatan pada rantai kristal membentuk selulosa tunggal.
Selulosa tunggal tersebut diurai oleh eksoglukonase atau eksoselulase menjadi unitunit selobiase yang merupakan disakarida. Selobiosa diuraikan menjadi glukosa oleh
ß-glukosidase.
Tabel 2. Perbandingan hidrolisis selulosa secara kimiawi dan enzimatis
Kimiawi
•
Enzimatis
Asam adalah katalis yang tidak
•
Enzim
selulase
adalah
khusus menghidrolisis selulosa
makromolekul
yang
saja
menghidrolisa
selulosa
tetapi
juga
sekaligus
mendelignifikasinya
sebagai
khusus
saja,
sehingga diperlukan perlakuan
perlakuan awal
awal
pada
substrat
sebelum
sirup
glukosa
dihidrolisa
•
Dapat menguraikan hemiselulosa
membentuk
•
senyawa
yang jernih dan siap difermentasi
penghambat seperti furfural
•
•
Kondisi reaksi yang cukup berat
Menghasilkan
menjadi etanol
•
Kondisi
reaksi
yang
ringan
( 120°C, diatas tekanan atmosfer
(50°C, tekanan atmosfer dan pH
dan pH 1) sehingga perlu biaya
4,8).
perawatan alat hidrolisa untuk
enzim tinggi sehingga perlu daur
daya tahan panas dan korosifnya
ulang penggunaan enzim
Laju hidrolisa tinggi
•
Laju
Biaya
hidrolisa
untuk
lebih
produksi
rendah,
Hasil glukosa tinggi tergantung
pada
sistem
dan
perlakuan
awalnya
Sumber : Kosaric et al. (1983)
Suhu optimum untuk aktivitas enzim selulase berbeda-beda tergantung jenis
sumber penghasil enzim, walaupun umumnya selulase memiliki suhu optimum 5060°C (Mandels et al., 1976). Adanya glukonolakton dan logam-logam berat seperti
tembaga dan merkuri akan menghambat kerja enzim selulase. Akan tetapi
penghambatan kerja enzim ini dapat dinetralkan dengan penambahan sistein sehingga
aktifitas enzim akan berjalan kembali. Penghambatan oleh glukonolakton lebih
banyak terjadi pada substrat selobiosa dan oligosakarida lain yang lebih sederhana
dan lebih kecil pengaruhnya pada substrat selulosa (Kulp, 1975).
Peningkatan konsentrasi gula pereduksi disebabkan oleh serangan selulase
secara sinergis antara endoglukonase, selobiohidrolase dan ß-glukosidase. Jumlah
selobiosa dan glukosa di dalam larutan gula cair akan meningkat dengan semakin
meningkatnya lama hidrolisis. Semakin lama hidrolisis, maka tahapan dan kerja sama
ketiga enzim tersebut akan semakin sempurna, sehingga jumlah glukosa yang
dihasilkan akan semakin tinggi. Salah satu faktor utama yang berpengaruh terhadap
hasil yang diperoleh dan kecepatan hidrolisis enzimatis adalah substrat.
Konsentrasi
substrat
yang
tinggi
dapat
menjadi
penghambat
yang
memperlambat proses hidrolisis. Terjadinya penghambatan oleh substrat tergantung
pada rasio enzim terhadap substrat. Masalah pengadukan dan perpindahan panas juga
akan timbul pada substrat dengan konsentrasi tinggi. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Ashadi (1988) rasio yang terbaik untuk hidrolisis pod kakao secara
enzimatis adalah 5%. Enzim yang ditambahkan pada substrat sangat berpengaruh
terhadap kecepatan proses hidrolisis. Semakin banyak enzim yang ditambahkan akan
semakin cepat proses hidrolisis yang terjadi dan hasil yang diperoleh akan semakin
banyak , tetapi semakin tinggi biaya yang harus dikeluarkan. Banyaknya enzim yang
ditambahkan pada substrat biasanya 5-35 IU/g substrat (Taherzadeh dan Karimi,
2007).
G. BIOETANOL
Alkohol adalah senyawa hidrokarbon berupa gugus hidroksil (-OH). Jenis
alkohol yang banyak digunakan adalah metil alkohol (metanol), etil alkohol (etanol)
dan iso-propil alkohol atau propanol-2. Dalam dunia perdagangan yang disebut
alkohol adalah etanol atau etil alkohol dengan rumus kimia C2H5OH. Industri
pemakai etanol di antaranya industri kimia, industri farmasi, industri rokok kretek,
industri kosmetika, industri tinta dan percetakan, dan industri meubel. Etanol
dikategorikan dalam dua kelompok utama, yaitu sebagai berikut :
1. Etanol 95-96% v/v, disebut etanol berhidrat, yang dibagi menjadi tiga kelas yaitu:
a. Technical/raw spirit grade, digunakan untuk bahan bakar spiritus, minuman,
desinfektan dan pelarut.
b. Industrial grade, digunakan untuk bahan baku industri dan pelarut.
c. Potable grade, untuk minuman berkualitas tinggi.
2. Etanol >99,5% v/v, digunakan untuk bahan bakar. Jika dimurnikan lebih lanjut
dapat digunakan untuk keperluan farmasi dan pelarut di laboratorium analisis.
Etanol ini disebut Fuel Grade Ethanol (FGE) atau anhydrous ethanol (etanol
anhidrat) atau etanol kering, yakni etanol yang bebas air atau hanya mengandung
air minimal (Prihandana et al., 2007).
Bioetanol direkayasa dari biomassa (tanaman) melalui proses biologi
(enzimatik dan fermentasi). Bahan baku bioetanol sebagai berikut :
1. Bahan berpati, berupa singkong atau ubi kayu, ubi jalar, tepung sagu, biji jagung,
biji sorgum, gandum, kentang, ganyong, garut, umbi dahlia dan lain-lain.
2. Bahan bergula, berupa molases (tetes tebu), nira tebu, nira kelapa, nira batang
sorgum manis, nira aren (enau), nira nipah, gewang, nira lontar dan lain-lain.
3. Bahan berselulosa, berupa limbah logging, limbah pertanian seperti jerami padi,
ampas tebu, janggel (tongkol) jagung, onggok (limbah tapioka), batang pisang,
serbuk gergaji (grajen) dan lain-lain (Prihandana et al., 2007).
Etanol dapat diperoleh dari hasil proses fermentasi gula dengan menggunakan
bantuan mikroorganisme. Dalam industri, etanol digunakan sebagai bahan baku
industri turunan alkohol, campuran untuk miras, bahan dasar industri farmasi dan
campuran bahan bakar untuk kendaraan. Etanol terbagi dalam tiga grade yaitu grade
industri dengan kadar alkohol 90-94%, netral dengan kadar alkohol 96-99,5%
umumnya digunakan untuk minuman keras atau bahan baku farmasi dan grade bahan
bakar dengan kadar alkohol diatas 99,5% (Hambali et al., 2007).
Bioetanol dapat dipergunakan sebagai bahan bakar alternatif memiliki
beberapa keunggulan yakni mampu menurunkan emisi CO2 hingga 18%, bioetanol
merupakan bahan bakar yang tidak beracun dan cukup ramah lingkungan serta
dihasilkan melalui proses yang cukup sederhana yaitu melalui proses fermentasi
dengan menggunakan mikroba tertentu. Bioetanol sebagai bahan bakar mempunyai
nilai oktan yang lebih tinggi dari bensin sehingga dapat menghasilkan fungsi aditif
seperti Metil Tertiary Butyl Ether (MTBE) yang menghasilkan timbal (Pb) pada saat
pembakaran. Di Indonesia bahan bakar dari bioetanol sangat potensial untuk
dikembangkan karena bahan bakunya merupakan jenis tanaman yang banyak tumbuh
di negara ini. Tumbuhan yang potensial untuk menghasilkan bioetanol adalah
tanaman yang memiliki kadar karbohidrat atau selulosa yang tinggi, seperti tebu, nira,
sorgum, ubi kayu, garut, ubi jalar, sagu, jagung, jerami, tongkol jagung, kayu, dan
pod kakao.
Tahap inti proses pembuatan bioetanol adalah fermentasi gula, baik yang
berupa glukosa, fruktosa maupun sukrosa oleh yeast atau ragi terutama S. cerevisiae
dan bakteri Z. mobillis. Pada proses ini gula dikonversi menjadi etanol dan gas
karbondioksida. Secara umum proses pembuatan bioetanol melalui tiga tahapan yaitu
tahap persiapan bahan baku, tahap fermentasi dan tahap pemurnian. Pada tahap
persiapan bahan baku yang berupa padatan harus dikonversi terlebih dahulu menjadi
larutan gula sebelum difermentasi menjadi etanol. Untuk bahan baku yang sudah
dalam bentuk larutan bisa langsung difermentasi.
Pada tahap hidrolisis, bahan baku yang berbentuk tepung akan dikonversi
menjadi gula melalui pemecahan gula kompleks menjadi gula sederhana. Tahap
fermentasi merupakan tahap kedua dalam proses produksi bioetanol. Pada tahap ini
terjadi pemecahan gula-gula sederhana menjadi etanol dengan melibatkan enzim dan
ragi. Fermentasi dilakukan pada kisaran suhu 27-32 °C. Pada tahap ini akan
dihasilkan gas CO2 dengan perbandingan stoikiometri yang sama dengan etanol yang
dihasilkan yaitu 1:1. Setelah melalui proses pemurnian, gas CO2 dapat digunakan
sebagai bahan baku gas dalam pembuatan minuman berkarbonat.
Fermentasi adalah proses perubahan kimia pada substrat organik, baik
karbohidrat, protein, lemak atau lainnya melalui kegiatan katalis biokimia yang
dikenal sebagai enzim dan dihasilkan oleh jenis mikroba spesifik (Prescott dan Dunn,
1981). Secara biokimia fermentasi juga dapat diartikan sebagi pembentukan energi
melalui senyawa organik. Secara sederhana proses fermentasi alkohol dari bahan
baku yang mengandung gula atau glukosa terlihat pada reaksi berikut:
Glukosa → 2C 2 H 5OH + 2CO 2 + 2ATP + 5Kkal
Dari reaksi diatas, 70% energi bebas yang dihasilkan dibebaskan sebagai panas dan
secara teoritis 100% karbohidrat diubah menjadi 51,1% etanol dan 48,9% menjadi
CO2.
H. PROSES FERMENTASI UNTUK PRODUKSI BIOETANOL
Khamir tumbuh optimum pada suhu 25-30 °C dan maksimum pada 35-47 °C.
Pertumbuhan khamir yang baik antara pH 3-6. Perubahan pH dapat mempengaruhi
pembentukan hasil samping fermentasi. Pada pH tinggi akan menyebabkan
konsentrasi gliserin naik dan juga berkorelasi positif antara pH dan pembentukan
asam piruvat. Pada pH tinggi maka lag phase akan berkurang dan aktivitas fermentasi
akan naik (Prescott dan Dunn, 1959).
Dalam industri fermentasi diperlukan substrat yang murah, mudah tersedia
dan efisien penggunaannya. Substrat yang digunakan harus dapat difermentasi.
Pemilihan substrat harus memperhitungkan jumlah karbon yang tersedia di dalamnya.
Karbohidrat merupakan sumber energi tradisional dalam industri fermentasi. Glukosa
dan sukrosa jarang digunakan sebagai satu-satunya sumber karbon karena mahal
harganya. Beberapa proses fermentasi dalam skala besar menggunakan garam
amonium, urea, atau gas amonia sebagai sumber nitrogen (Fardiaz, 1988).
Bahan baku untuk produksi bioetanol bisa didapatkan dari berbagai tanaman,
baik yang secara langsung menghasilkan gula sederhana misal tebu (sugarcane),
gandum manis (sweet sorghum) atau yang menghasilkan tepung seperti jagung
(corn), singkong (cassava) dan gandum (grain sorghum) disamping bahan lainnya
(Hidayat, 2006). Pertumbuhan mikroba di dalam suatu kultur mempunyai kurva
seperti terlihat pada Gambar 5.
Fermentasi adalah suatu proses perubahan kimia pada substrat organik, baik
karbohidrat, protein, lemak atau lainnya melalui kegiatan katalis biokimia yang
dikenal sebagai enzim dan dihasilkan oleh jenis mikroba spesifik (Prescott dan Dunn,
1959). Bioetanol diperoleh dari hasil fermentasi bahan yang mengandung gula. Tahap
inti produksi bioetanol adalah fermentasi gula, baik yang berupa glukosa, sukrosa,
maupun fruktosa oleh ragi (yeast) terutama Saccharomyces sp. atau bakteri Z.
mobilis. Pada proses ini gula akan dikonversi menjadi etanol dan gas karbondioksida.
Pada fermentasi alkohol oleh mikroba, peristiwa pembebasan energi terlaksana
karena asam piruvat diubah menjadi asam asetat dan CO2, selanjutnya asam asetat
diubah menjadi alkohol (Anonim, 2000).
Fase
Fase
Adaptasi Logaritmik
Fase
Fase
Statis
Kematian
Jumlah
Sel
hidup
Waktu
Gambar 5. Kurva pertumbuhan kultur mikroba (Fardiaz, 1988)
Dalam proses fermentasi, glukosa dapat diubah secara anaerobik menjadi
alkohol oleh bermacam-macam mikroorganisme. Khamir sering digunakan dalam
proses fermentasi etanol, seperti S. cerevisiae, S. Uvarum, Schizosaccharomyces sp
dan Kluyveromyces sp. Secara umum khamir dapat tumbuh dan memproduksi etanol
secara efisien pada pH 3,5-6,0 dan suhu 28-35 °C. Laju awal produksi etanol dengan
menggunakan khamir akan meningkat pada suhu yang lebih tinggi, namun
produktifitas keseluruhan menurun karena adanya pengaruh peningkatan etanol yang
dihasilkan (Ratledge, 1991). Khamir yang sering digunakan dalam proses fermentasi
etanol adalah S. cerevisiae. Khamir ini bersifat fakultatif anaerobik, tumbuh baik
pada suhu 30 °C dan pH 4,0-4,5 (Oura, 1983).
Produksi etanol dari substrat gula oleh khamir S. cerevisiae merupakan proses
fermentasi dengan kinetika sangat sederhana karena hanya melibatkan satu fasa
pertumbuhan dan produksi. Pada fase tersebut glukosa diubah secara simultan
menjadi biomasa, etanol dan CO2. terdapat dua parameter yang mengendalikan
pertumbuhan dan metabolisme khamir dalam keadaan anaerobik yaitu konsentrasi
gula dan etanol. Secara kinetik glukosa berperan ganda, pada konsentrasi rendah
(kurang dari 1g/l) merupakan substrat pembatas, sedangkan pada konsentrasi tinggi
(lebih dari 300g/l) akan menjadi penghambat. Pada permulaan proses fermentasi,
khamir memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya. Setelah terjadi akumulasi CO2
dan reaksi berubah menjadi anaerob, alkohol yang terbentuk akan menghalangi
proses fermentasi lebih lanjut setelah konsentrasi alkohol mencapai 13-15% volume
dan biasanya 13% volume (Prescott dan Dunn, 1981). Selam proses fermentasi juga
menimbulkan panas, bila tidak dilakukan pendinginan, maka suhu akan terus
meningkat sehingga proses fermentasi terhambat (Oura, 1983).
Faktor lingkungan seperti suhu, pH, kebutuhan nutrient dan kofaktor perlu
diperhatikan dalam kehidupan khamir. Sejumlah kecil oksigen harus disediakan pada
proses fermentasi oleh khamir karena oksigen merupakan komponen yang diperlukan
dalam biosintesis beberapa asam lemak tidak jenuh. Untuk kebutuhan oksigen dalam
proses fermentasi biasanya diberikan tekanan oksigen 0,05-0,10 mm Hg. Jika tekanan
oksigen yang diberikan lebih besar dari nilai tersebut maka konversi akan cenderung
kearah pertumbuhan sel. Kebutuhan relatif nutrien sebanding dengan komponen
utama sel khamir yaitu mencakup karbon, oksigen, nitrogen dan hidrogen. Pada
jumlah lebih rendah, fosfor, sulfur, potasium dan magnesium juga harus tersedia
untuk sintesis komponen-komponen mineral. Beberapa mineral seperti Mn, Co, Cu
dan Zn serta faktor pertumbuhan organik seperti asam amino, asam nukleat dan
vitamin diperlukan dalam jumlah besar untuk pertumbuhan khamir. Mekanisme
pembentukan etanol oleh khamir melalui jalur Embden Meyerhof-Parnas (EMP) atau
glikolisis disajikan pada Gambar 6.
Glukosa
ATP
ADP
Glukosa-6-P
Fruktosa-6-P
ATP
ADP
Fruktosa-1,6-di-P
Gliseraldehida-3-P
Dihidroksiaseton fosfat
NAD + P
NADH + H
1,3-di fosfogliserat
ADP
ATP
3-fosfogliserat
2-fosfogliserat
Fosfofenol piruvat
ADP
ATP
piruvat
Gambar 6. Skema fermentasi glukosa menjadi alkohol ( Embden MeyerhofParnas Pathway) (Paturau, 1969)
Senyawa asam-asam organik dapat berupa asam asetat, laktat dan asam
piruvat. Asam piruvat merupakan senyawa yang terbentuk selama proses glikolisis
pada siklus EMP. Selama proses glikolisis, setiap 1 mol glukosa akan dipecah
menjadi 2 mol asam piruvat dengan melepaskan 2 mol ion H+. Secara keseluruhan
proses glikolisis dapat dilihat dari persamaan reaksi berikut:
Glukosa + 2 ADP + 2 NAD+ + 2 Pi → 2 piruvat + 2 ATP + 2 NADH + 2 H +
Asam piruvat yang terbentuk kemudian diubah menjadi asetaldehid dan CO2
oleh enzim piruvat dekarboksilase yang selanjutnya diubah menjadi alkohol oleh
enzim alkohol dihidrogenase. Adanya penumpukan asam diduga karena S. cerevisiae
kurang mampu untuk mengubah asam piruvat menjadi etanol sehingga terjadi
penumpukan asam. Penurunan pH selama proses fermentasi dapat juga disebabkan
oleh adanya proses ionisasi H+ dan penggunaan (NH4)2SO4 sebagai sumber nitrogen
untuk pertumbuhan sel. (NH4)2SO4 jika berada dalam larutan akan terionisasi menjadi
ion NH4+ dan SO42-. Dalam proses pembentukan massa sel, mikroba akan
mengkonsumsi NH4+ untuk membentuk R-NH3+. Pembentukan R-NH3+ oleh NH4+
yang semakin banyak akan meningkatkan pelepasan ion H+ ke dalam larutan substrat,
sehingga pH menjadi semakin menurun.
Download