pengaruh pemberian bungkil inti sawit (bis) termodifikasi terhadap

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Bungkil Inti Sawit
Bungkil inti sawit (BIS) adalah hasil ikutan dari industri pengolahan
kelapa sawit dan di Indonesia ketersediaannya sangat tinggi. Luas lahan kelapa
sawit pada tahun 2004 di proyeksikan sekitar 4,4 juta ha (Jakarta Future Exchange
2001) dan pada tahun 2006 mencapai luas 5,2 juta ha . Produksi tandan buah segar
kelapa sawit sekitar 12,5 – 27,5 ton/ha, dan sekitar 2 % nya menjadi bungkil inti
sawit (Sinurat 2001). Penggunaan BIS sebagai salah satu pakan potensial telah
banyak dilaporkan baik pada ternak ruminansia (Elisabeth dan Ginting 2003;
Mathius et al. 2003), ternak ayam (Sundu dan Dingle 2005), bahkan ikan (Keong
dan Chong 2002).
Kandungan protein bungkil inti sawit (BIS) lebih rendah dari bungkil lain.
Namun demikian masih layak dijadikan sebagai sumber protein. Kandungan asam
amino esensialnya cukup lengkap dan imbangan kalsium dan fosfor cukup baik
(Lubis, 1993).
Adapun komposisi zat nutrisi bungkil inti sawit (BIS) dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi zat nutrisi bungkil inti sawit (BIS)
Kandungan Nutrisi
Protein Kasar
Serat Kasar
Bahan Kering
GE (Kcal/g)
%
18,15
15,89
91,08
4.8964
Sumber : Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih (2005).
Universitas Sumatera Utara
Persentase komponen gula netral pada bungkil inti sawit (BIS) dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Persentase komponen gula netral pada bungkil inti sawit (BIS)
Netral
Mannosa
Selulosa
Xylosa
Galaktosa
Persentase dari dinding sel (%)
56,4 + 7,0
11,6 + 0,7
3,7 + 0,1
1,4 + 0,2
Total
73,1 + 7,2
Sumber : Daud et al (1993).
Ayam Pedaging
Ayam pedaging merupakan salah satu alternatif yang dipilih dalam upaya
pemenuhan kebutuhan protein hewani karena ayam pedaging memiliki
pertumbuhan dan pertambahan berat badan yang sangat cepat, efisiensi pakan
cukup tinggi, ukuran badan besar dengan bentuk dada yang lebar, padat dan berisi
sehingga sangat efisien diproduksi. Dalam jangka waktu 5 – 6 minggu ayam
pedaging tersebut dapat mencapai berat hidup 1,4 – 1,6 Kg dan bila dipelihara
sampai umur 7 – 8 minggu ayam pedaging dapat mencapai berat hidup 1,8 – 2,0
Kg. Secara umum ayam pedaging dapat memenuhi selera konsumen atau
masyarakat, selain dari pada itu ayam pedaging lebih dapat terjangkau oleh
masyarakat karena harganya relatif murah (Rasyaf, 1997).
Menurut Irawan (1996) ditinjau dari genetis, ayam pedaging sengaja
diciptakan agar dalam waktu singkat dapat segera dimanfaatkan hasilnya. Jadi
istilah pedaging adalah untuk menyebut strain ayam hasil budidaya teknologi
yang memiliki karakteristik
ekonomis, memiliki pertumbuhan cepat sebagai
penghasil daging, konversi pakan sangat irit, siap dipotong pada umur muda, serta
mampu menghasilkan kualitas daging yang bersih, berserat lunak dengan
Universitas Sumatera Utara
kandungan protein tinggi. Adapun ciri ayam pedaging AA CP-707 dapat dilihat
pada Tabel 3.
Tabel 3. Ciri Ayam Pedaging AA CP-707
Data Biologis
Bobot hidup umur 6 minggu
Konversi pakan
Berat bersih
Daya hidup
Warna kulit
Warna bulu
Satuan
1,56 Kg
1,93
70%
98%
Kuning
Putih
Sumber : Murtidjo (1992).
Kebutuhan Nutrisi Ayam Pedaging
Ransum merupakan salah satu faktor yang penting untuk keberhasilan
usaha pemeliharaan ayam pedaging. Ransum adalah campuran bahan-bahan untuk
memenuhi zat-zat ransum yang seimbang dan tepat. Seimbang dan tepat berarti
zat makanan tidak berlebihan dan juga tidak kekurangan. Ransum yang diberikan
harus mengandung protein, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral dan air. Tujuan
utama pemberian ransum pada ayam untuk menjamin pertambahan berat badan
yang paling ekonomis selama pertumbuhan (Rasyaf, 1995).
Menurut AAK (1994) konsumsi di daerah tropis dipengaruhi oleh
kandungan energi ransumnya.
Kandungan yang rendah dalam ransum
menyebabkan unggas akan meningkatkan konsumsi ransumnya guna memenuhi
kebutuhan energi setiap harinya tetapi dibatasi oleh tembolok dalam sistem
pencernaan. Maka bila energi ransum terlalu rendah, akan menyebabkan defisiensi
energi. Sebaliknya ransum dengan kandungan energi tinggi menyebabkan unggas
mengkonsumsi ransum sedemikian rupa sehingga unggas kenyang akan energi
tapi lapar protein.
Universitas Sumatera Utara
Adapun kebutuhan zat makanan ayam pedaging fase starter dan finisher
dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kebutuhan zat makanan ayam pedaging fase starter dan finisher
Zat Nutrisi
Protein Kasar (%)
Lemak Kasar (%)
Serat Kasar (%)
Kalsium (%)
Pospor (%)
EM (Kkal/Kg)
Starter
23
4-5
3-5
1
0,45
3200
Finisher
20
3-4
3-5
0,9
0,4
3200
Sumber : NRC (1984).
Bagi ayam pedaging jumlah konsumsi yang banyak bukanlah merupakan
jaminan mutlak untuk menjamin pertumbuhan dan produksi puncak. Kualitas dari
bahan makanan dan keserasian komposisi gizi sesuai dengan kebutuhan
pertumbuhan merupakan dua hal mutlak yang menentukan tercapai performans
puncak (Wahyu, 1992).
Tujuan pemberian ransum pada ayam adalah untuk memenuhi kebutuhan
hidup pokok dan berproduksi. Untuk produksi maksimum dilakukan dalam
jumlah cukup, baik kualitas maupun kuantitas. Ransum pedaging harus seimbang
antara kandungan protein dengan energi dalam ransum. Disamping itu kebutuhan
vitamin
dan
mineral
juga
harus
diperhatikan.
Sesuai
dengan
tujuan
pemeliharaannya yaitu memproduksi daging sebanyak-banyaknya dalam waktu
singkat, maka jumlah pemberian pakan tidak dibatasi (ad-libitum). Ayam
pedaging selama masa pemeliharaannya mempunyai dua macam pakan yaitu
pedaging starter dan pedaging finisher (Kartadisastra, 1994).
Universitas Sumatera Utara
Sistem Pencernaan Ayam Pedaging
Pencernaan adalah penguraian makanan ke dalam zat-zat makanan dalam
saluran pencernaan untuk dapat diserap dan digunakan oleh jaringan-jaringan
tubuh (Anggorodi, 1985).
Peranan utama dari pencernaan adalah mencerna makanan secara mekanik,
fisik, dan kimia, menyerap zat makanan yang diperlukan tubuh seperti air,
karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral serta mengolah dan membuang
ampas pencernaan (Church, 1973).
Ayam merupakan ternak non-ruminansia yang artinya ternak yang
mempunyai lambung sederhana atau monogastrik. Pada umumnya bagian-bagian
penting dari alat pencernaan adalah mulut, farinks, esofagus, lambung, usus halus
dan usus besar. Makanan yang bergerak dari mulut sepanjang saluran pencernaan
oleh gelombang peristaltik yang disebabkan karena adanya kontraksi otot di
sekeliling saluran (Tillman et al., 1991).
Seperti kita ketahui bahwa ayam tidak mempunyai gigi geligi untuk
mengunyah ransum sebagaimana ternak lainnya, namun punya paruh yang dapat
melumatkan makanan. Oleh karena itu, daya cerna ayam terhadap ransumnya
lebih rendah 10% dari pada ternak lain (Kartadisastra, 1994).
Pati dan gula mudah dicerna oleh unggas sedangkan pentosan dan serat
kasar (sellulosa, hemisellulosa, dan lignin) sulit dicerna. Saluran pencernaan pada
unggas sangat pendek dibandingkan ternak lain, sehingga jasad renik mempunyai
waktu yang sedikit untuk mencerna karbohidrat kompleks (Anggorodi, 1985).
Pencernaan secara mekanik tidak terjadi di dalam mulut melainkan di
Gizard (empedal) dengan menggunakan batu-batu kecil atau pecahan-pecahan
Universitas Sumatera Utara
kaca yang sengaja dimakan, lalu masuk ke dalam usus halus lalu di sinilah terjadi
proses pencernaan dengan menggunakan enzim-enzim pencernaan yang
disekresikan oleh usus halus, seperti cairan duodenum, empedu, pankreas, dan
usus. Di dalam usus besar terjadi proses pencernaan yang dilakukan oleh jasad
renik yang berfungsi sebagai penghancur protein yang tidak dapat diserap oleh
usus halus (proteolitik) (Tillman et al., 1991).
Di dalam empedal bahan-bahan makanan mendapat proses pencernaan
secara mekanis. Partikel-partikel yang besar secara mekanik akan diperkecil
dengan tujuan memudahkan proses pencernaan enzimatis di dalam mulut ataupun
di dalam saluran pencernaan berikutnya. Untuk memudahkan proses pencernaan
mekanis maupun enzimatis dalam mempersiapkan ransum ternak banyak
dilakukan dengan menggiling bahan-bahan ransum tersebut (Parakkasi, 1990).
Escherichia coli
Superdomain: Phylogenetica, Filum: Proteobacteria, Kelas: Gamma
Proteobacteria, Ordo: Enterobacteriales, Famili: Enterobacteriaceae, Genus:
Escherichia, Species: Eschericia coli
Escherichia coli adalah bakteri batang pendek gram negatif dengan ukuran
1,1 – 1,5 µm x 2- 6 µm, kadang-kadang berbentuk oval bulat, tersusun tunggal
atau berpasangan. Banyak galur mempunyai kapsul atau mikrokapsul. Dapat
bersifat motil maupun non motil. Bersifat fakulatif anearob yang mempunyai tipe
metabolisme respirasi maupun fermentasi. Eschericia coli tumbuh optimal pada
suhu 37°C, membentuk koloni bulat konveks dengan pinggir yang nyata. Pada
media Mc Conkey koloni berwarna merah jambu karena ada peragian laktosa
(Pelczar dan Chan, 1988).
Universitas Sumatera Utara
Faktor virulensi Eschericia coli dipengaruhi oleh ketahanannya terhadap
pagositosis, kemampuan perlekatan terhadap epitel sel pernafasan dan
ketahanannya terhadap daya bunuh oleh serum. Eschericia coli yang patogen ini
mempunyai struktur dinding sel yang disebut “pili” yang tidak ditemukan pada
serotipe yang tidak patogen (Tabbu, 2000), dan “pili” inilah yang berperan dalam
kolonisasi (Lay dan Hastowo, 1992).
Ada tiga macam struktur antigen yang penting dalam klasifikasi
Eschericia coli yaitu, antigen O (Somatik), antigen K (Kapsel) dan antigen H
(Flagella) (Gupte, 1990; Lay dan Hastowo, 1992). Determinan antigen (tempat
aktif suatu antigen) O terletak pada bagian liposakarida,
bersifat
tahan
panas dan dalam pengelompokannya diberi nomor 1,2,3 dan seterusnya. Antigen
K merupakan
polisakarida atau protein, bersifat tidak tahan panas dan
berinterferensi dengan aglutinasi O, sedangkan antigen H mengandung
protein, terdapat pada flagella yang bersifat termolabil. Pada saat ini telah
diketahui ada 173 grup serotipe antigen O, 74 jenis antigen K dan 53 jenis
antigen H (Barnes dan Gross, 1997).
Dalam kondisi normal Eschericia coli terdapat di dalam saluran
pencernaan ayam. Sekitar −15
10 persen dari
seluruh Eschericia coli yang
ditemukan di dalam usus ayam yang sehat tergolong serotipe patogen. Bagian
usus yang paling banyak mengandung kuman tersebut adalah jejunum,
ileum dan sekum. Jenis Eschericia coli yang terdapat di dalam usus tidak selalu
sama dengan jenis yang
ditemukan
pada
jaringan
lain. Sebagai
agen
penyakit sekunder, Eschericia coli sering mengikuti penyakit lain, misalnya
pada berbagai penyakit pernafasan dan pencernaan yang menyerang ayam.
Universitas Sumatera Utara
Kenyataan di lapangan, timbulnya kasus kolibasilosis, terutama akibat
pengaruh imunosupresif dari Gumboro
(ayam pedaging
lebih
dominan
dibanding petelur) dan sebagai penyakit ikutan pada Chronic Respiratory
Disease (CRD), Infectious Coryza (Snot), Swollen Head Syndrome (SHS),
Infectious Laryngo Tracheitis (ILT) dan koksidiosis (Tabbu, 2000).
Tabbu (2000) mengatakan bahwa, Eschericia coli akan bermultiplikasi
secara cepat di dalam usus DOC yang baru menetas. Infeksinya akan menyebar
secara cepat dari DOC yang satu ke DOC lainnya di dalam indukan buatan
(brooder), terutama bila umbilicus belum tertutup sempurna. Kematian
mungkin saja tidak terjadi, tetapi litternya sudah tercemari oleh bakteri.
Mannanoligosakarida (MOS)
Kemampuan lain dari MOS adalah dapat merangsang sistem kekebalan
(Spring, 1997). Mekanisme MOS sebagai immunomodulator belum sepenuhnya
diketahui (Swanson et al. 2002). Selanjutnya Shashidara et al. (2003) menjelaskan
bahwa sel pertahanan tubuh pada GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue)
mendeteksi kehadiran mikroba akibat adanya molekul unik yang disebut PAMP
(Patogen-Associated Moleculer Pattern) yang selanjutnya akan mengaktifkan
sistem kekebalan. Penggunaan bahan yang bersifat immunomodulator sangat
penting dilakukan untuk mengatasi banyaknya cekaman yang dapat mengganggu
respon kekebalan tubuh ayam.
Mannan merupakan sumber biomasa setelah sellulosa dan xylan yang
masih belum banyak dimanfaatkan. Dari degradasi mannan dengan beberapa jenis
enzim mannanase dapat diperoleh mannosa atau mannanoligosakarida yang
Universitas Sumatera Utara
berfungsi sebagai komponen pangan fungsional. Limbah biomasa dari industri
perkebunan di Indonesia yang mengandung polisakarida mannan seperti limbah
bungkil kelapa sawit, kopra dan kopi dapat dimanfaatkan untuk produksi mannosa
dan manno-oligosakarida tersebut. Dari hasil uji aktivitas enzim mannanase dari
sekitar 488 mikroba lokal koleksi BTCC (Biotechnology Culture Collection) telah
diperoleh sedikitnya 6 isolat yang memiliki aktivitas tinggi dalam degradasi
substrat mannan. Metoda mutasi dengan UV digunakan untuk meningkatkan
produksi enzim oleh mikroba yang memiliki aktivitas mendegradasi mannan. Dua
pendekatan dilakukan dalam proses produksi, yaitu 1) Melakukan preparasi
substrat mannan secara kimia kemudian baru mereaksikan dengan enzim kasar
yang diproduksi. 2) Melakukan fermentasi langsung dengan subtrat bungkil tanpa
preparasi khusus. Untuk itu telah dilakukan analisa ekstraksi mannan dari bungkil
secara kimia. Hasil hidrolisis subtrat mannan dengan menggunakan mikroba
selektif yaitu dari strain Streptomyces dan Saccahropolyspora menunjukkan
secara kualitatif senyawa oligosakarida terbentuk. Kedua mikroba tersebut
memproduksi enzim mannanase dengan spesifik aktivitas tertinggi setelah 24 jam
masa fermentasi. Proses analisa enzim mannanase dan optimasi fermentasi dengan
menggunakan bungkil inti kelapa sawit sebagai karbon dan mikroba terpilih di
atas sedang dilakukan pada saat ini (Anonimus, 2007).
Pendekatan baru untuk mencegah infeksi mikroba ditemukan dengan
diketahuinya pentingnya proses penempelan pada saluran pencernaan. Diketahui
bahwa fimbriae tipe 1 yang sensitif terhadap mannosa berperan dalam
menempelnya mikroba patogen. Bakteri seperti Salmonella, Eschericia coli, dan
Vibrio cholera mempunyai pektin pada permukaan selnya yang penempelannya
Universitas Sumatera Utara
spesifik terhadap mannosa, dengan demikian mannosa dapat menghambat
penempelan mikroba merugikan pada saluran pencernaan (Center for Food and
Nutrtition Policy, 2002).
Sistem Kekebalan Tubuh Ayam Pedaging
Pencegahan penyakit adalah suatu tindakan untuk melindung individu
terhadap
serangan
penyakit
atau
menurunkan
keganasannya.
Vaksinasi
merupakan salah satu di antara berbagai cara yang efektif untuk melindungi
individu terhadap berbagai serangan berbagai macam jenis penyakit tertentu.
Tindakan vaksinasi adalah satu usaha agar hewan yang divaksin memiliki daya
kebal sehingga terlindung dari serangan penyakit (Akoso, 1997).
Sistem kekebalan ayam seperti halnya ternak lain merupakan sistem yang
sangat kompleks. Sistem kekebalan dapatan tubuh unggas terdiri atas kekebalan
humoral dan selular. Kekebalan humoral melibatkan antibodi spesifik terhadap
antigen yang masuk. Pada ayam, ada dua organ tubuh yang berhubungan dengan
sistem kebal, yakni Bursa Fabricius dan Timus. Bursa Fabricius sebagian besar
berisi sel B yang berperan dalam memproduksi antibodi humoral atau yang
bersikulasi. Timus sebagian besar berisi sel T dengan fungsi mengenal dan
menghancurkan sel yang terinfeksi bakteri atau virus, mengaktifkan makrofag
dalam fagositisis dan membantu sel B dalam memproduksi antibodi. Pada masa
embrio, kedua sistem ini diprogramkan untuk menghasilkan kekebalan aktif
terhadap penyakit, artinya kekebalan yang didapat sebagai akibat pernah terinfeksi
atau karena inokulasi dengan bahan-bahan penyebab penyakit yang telah diubah
bentuknya (Junaidi, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Sel B yang dihasilkan oleh bursa Fabricius akan menghasilkan antibodi
dan sel pengingat (sel memori). Dalam menanggapi adanya antigen, sel-sel
plasma menghasilkan antibodi. Antibodi adalah suatu protein yang besar
molekulnya dapat membantu menghancurkan dan melumpuhkan patogen dengan
jalan mengikat patogen tersebut dengan protein yang bersifat antigenik. Sel-sel
plasma yang menghasilkan antibodi berasal dari sel B. Sel-sel memori akan
mengingat dan mengenal antigen yang pernah masuk keadaan tubuh, sehingga
sistem kekebalan unggas dapat bertindak cepat (Cheville, 1967).
Newcastle Desease (ND)
Newcastle Disease (ND) atau disebut juga penyakit Tetelo, Pseudofowl
pest,
Pseudovogel
pest,
avian
distemper,
avian
pneumoenchephalitis,
pseudopoultry plague dan ranikhet disease. Newcastle Disease (ND) merupakan
penyakit viral yang sangat menular pada unggas, bersifat sistemik yang
melibatkan saluran pernafasan dan menyerang berbagai jenis unggas terutama
ayam serta burung-burung liar dengan angka mortalitas yang tinggi 80-100%
(Alexander, 1991).
Newcastle Disease (ND) disebabkan oleh virus yang termasuk dalam
famili Paramyxoviridae, genus Paramyxovirus. Paramyxovirus mempunyai
genom virus ssRNA berpolaritas negative, panjangnya 15-16 kb dan
mempunyai kapsid simetris heliks tidak bersegmen, berdiameter 13-18 nm.
(Fenner et.al, 1995), genom virus Newcastle Desease (ND) membawa sandi untuk
6 protein virus yaitu protin L, Protein HN (hemaglutinin neuraminidase), protin F
(protin fusi), protein NP (protin nukleokapsid), protin P (Fosfoprotein), dan
protein M (matik) (Beard dan Hanson, 1984).
Universitas Sumatera Utara
Masa inkubasi penyakit ini antara 2-15 hari, rata-rata 5-6 hari. Kejadian
infeksi oleh virus Newcastle Desease (ND) terutama terjadi secara inhalasi
(Alexander, 1991).
Sifat-sifat fisik virus Newcastle Desease (ND) antara lain virus Newcastle
Desease (ND) mempunyai kemampuan untuk mengaglutinasi dan melisikan
eritrosit ayam. Selain eritrosit ayam, virus Newcastle Desease (ND) juga
mampu mengaglutinasi eritrosit mamalia dan unggas lain serta reptilia
(Beard dan Hanson, 1984).
Virus Newcastle Desease (ND) bila dipanaskan pada suhu 56o C akan
kehilangan
kemampuan
untik
mengaglutinasi
eritrosit
ayam,
karena
hemaglutininnya rusak. Selain itu juga akan merusak infektivitas dan
imunogenesitas virus.
Gejala klinis Newcastle Desease (ND) dibedakan menjadi 5 patotipe
menurut Beard dan Hanson, 1984, yakni bentuk Doyle, Beach, Baudette, Hithcner
da enteric Asimptomatik. Bentuk Doyle merupakan bentuk per akut atau akut,
menimbulkan kematian pada ayam segala umur dengan mortalitas 100%. Lsi
menciri dengan adanya perdarahan pada saluran pencernaan. Bentuk ini
disebabkan oleh virus strain velogenik. Penyakit ini terjadi secara tiba-tiba, ayam
mati tanpa menunjukkan gejala klinis, ayam kelihatan lesu, respirasi meningkat,
jaringan sekitar mata bengkak, diare dengan feses hijau atau putih dapat
bercampur
darah,
tortikalis,
tremor
otot,
paralisa
kaki
dan
sayap
(Alexander, 1991).
Universitas Sumatera Utara
Infectious Bursal Desease (IBD)
Penyakit Infectious Bursal Desease (IBD) pertama kali dilaporkan
di Gumboro, Delaware, Amerika Seriakat pda tahun 1962 oleh Cosgrove,
oleh karena itu penyakit itu dikenal juga dengan nama Gumboro desease
(Lukert dan Saif, 1997).
Kasus penyakit Infectious Bursal Desease (IBD) di Indonesia pertama kali
ditemuakan pada tahun 1980 di sebuah peternakan ayam jantan di daerah
Sawangan, Bogor (Partadireja dan Juniman, 1985). Penyebaran penyakit ini
telah meluas hampir di seluruh daerah di Indonesia dan bersifat endemik
(Santhia, 1986).
Penyakit Gumboro sangat mudah menular. Suatu peternakan yang terkena
wabah Infectious Bursal Desease (IBD) akan sangat mudah menyebar ke
peternakan lain, bahkan penularan berlanjut sampai generasi berikutnya pada
peternakan yang sama. Terjadinya penularan ini dapat ditimbulkan karena kontak
langsung antara ayam penderita dengan ayam sehat, litter yang tercemar virus
Gumboro atau lewat makanan akan terkontaminasi. Serangga dapat juga berperan
dalam penyebaran penyakit ini (Murtidjo, 1992).
Penyakit Infectious Bursal Desease (IBD) merupakan satu diantara unggas
penyakit unggas terpenting di USA, Eropa dan Asia khususnya di Indonesia.
Penyakit ini menimbulkan kerugian berupa angka mortalitas tinggi, penurunan
produksi daging, telur, peningkatan biaya manajemen serta bersifat imunosupresi,
akibatnya ayam menjadi lebih peka terhadap berbagai jenis infeksi (Jackwood and
Sommers, 1994). Menurut Subekti (2000), infeksi Infectious Bursal Desease
Universitas Sumatera Utara
(IBD) juga diperparah oleh infeksi Escherichia coli, Aspergillus flavus dan Avian
nephritis.
Infectious Bursal Desease (IBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh
virus golongan Birnaviridae, menyerang ayam muda, bersifat akut dan mudah
menular. Virus tersebut berdiameter 55-65 nm. Ketahanan virus Infectious Bursal
Desease (IBD) terhadap pengaruh lingkungan dan bahan kimiawi, maka virus
tersebut dapat bertahan dalam kandang ayam maupun di lingkungan dalam
periode
yang lama walaupun telah dilakukan sanitasi maupun desinfeksi
(Tabbu, 2000).
Umur yang sensitif terhadap virus tersebut adalah 3-6 minggu. Kejadian
Gumboro dapat dibagi dua yaitu : infeksi dini pada anak ayam umur 1-21 hari dan
infeksi tertunda pada yang berumur lebih dari 3 minggu. Jika virus Gumboro
menyerang ayam yang berumur 1-21 hari biasanya akan timbul Gumboro bentuk
subklinis yang mempunyai efek sangat imunosupresi (menekan kekebalan) dan
menyebabkan kegagalan berbagai program vaksinasi (Wiryawan, 2007).
Okeye and Uzoukwu (1991), menyatakan bahwa infeksi oleh virus
Infectious Bursal Desease (IBD) akan meningkatkan kepekaan ayam terhadap
infeksi Eschericia coli. Infeksi campuran antara Infectious Bursal Desease (IBD)
dan Eschericia coli makin merangsang pertumbuhan jumlah sel limfosit dalam
bursa Fabricius maupun kelenjar timus. Pada kondisi lapangan, penyakit
Infectious Bursal Desease (IBD) subklinis ini lebih sulit dideteksi. Penyakit
Gumboro yang bersifat klinis, menyebabkan kematian yang lebih tinggi, sulit
dikontrol dan menyebabkan kerugian ekonomi yang besar. Penyakit Infectious
Bursal Desease (IBD) bentuk klinis juga dapat dicirikan dengan adanya
Universitas Sumatera Utara
pendarahan berupa titik-titik atau garis-garis pada otot bagian paha bagian tengah
lateral abdomen.
Darah
Darah adalah suatu cairan jaringan yang beredar melalui jantung, beserta
pembuluhnya berperan dalam: 1) mengangkut oksigen dan nutrisi ke dalam tubuh,
2) mengatur panas, 3) mengangkut hasil metabolisme, hormon dan sisa produk
menuju tempat yang sesuai di dalam tubuh ayam, dan 4) mengeluarkan
karbondioksida dan sisa produk. Darah ayam berisi sekitar 2,5-3,5 juta sel darah
merah per millimeter kubik, tergantung dari umur dan jenis kelamin. Darah
pejantan dewasa 500.000 sel darah merah lebih banyak dibanding ayam betina
(Akoso, 1997).
Frandson (1992) menjelaskan beberapa fungsi darah, yaitu: 1) Membawa
nutrient yang telah disiapkan oleh saluran pencernaan menuju jaringan tubuh, 2)
Membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh, 3) Membawa
karbondioksida dari jaringan ke paru-paru untuk dibuang, 4) Membawa produk
buangan dari berbagai jaringan menuju ginjal untuk diekskresikan, 5) Berperan
penting dalam pengendalian suhu, dengan cara mengangkut panas dari bagian
tubuh menuju permuakaan tubuh, 6) Berperan dalam sistem buffer, seperti
bikarbonat di dalam darah membantu mempertahankan pH yang konstan pada
jaringan dan cairan tubuh, 7) Sebagai pembeku darah yang mencegah terjadinya
kehilangan darah yang berlebihan pada waktu luka.
Darah adalah jaringan khusus yang berperan dalam sirkulasi dan terdiri
atas sel-sel yang terendam dalam plasma darah. Sel darah terdiri dari tiga macam,
Universitas Sumatera Utara
yaitu: benda darah merah (erythrocyte), benda darah putih (leukocyte), dan
kepingan darah (thrombocytes atau platelets). Aliran darah dalam seluruh tubuh
menjamin lingkungan yang tetap agar semua sel serta jaringan mampu
melaksanakan fungsinya. Jadi fungsi utama darah adalah mempertahankan
homeostasis tubuh (Dellman and Brown, 1992).
Jika tubuh hewan mengalami ganguan fisiologis maka akan terjadi
perubahan profil darah. Adanya perubahan profil darah tersebut dapat disebabkan
oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal misalnya kesehatan, stress,
status gizi, suhu tubuh, sedangkan faktor eksternal misalnya akibat perubahan
suhu lingkungan, dan infeksi kuman. Ternak yang sehat akan memiliki gambaran
darah yang normal. Kekurangan asam folat, vitamin B12 dapat menyebabkan
keadaan anemia (kekurangan sel darah merah) (Guyton and Hall, 1997).
Jumlah leukosit yang meningkat merupakan pertanda adanya infeksi
dalam tubuh (Frandson, 1992). Faktor-faktor tersebut dapat mengganggu proses
pembentukan darah secara normal yang terjadi dalam sumsum tulang. Nilai
normal gambaran darah ayam pedaging dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Nilai Normal Jumlah Eritrosit, Haemoglobin, Hematokrit dan
Leukosit Ayam Pedaging
Sumber
Eritrosit
Haemoglobin
Hematrokit
Leukosit
(106/mm3)
(g/100ml)
(%)
(103/mm3)
Swenson (1984)
2,5-3,2
6,5-9,0
30,0-33,0
20,0-30,0
Mangkoewidjojo
dan Smith (1998)
2,0-3,2
7.3-10,9
24,0-43,0
16,0-40,0
Universitas Sumatera Utara
Sel Darah Merah (Eritrosit)
Guyton dan Hall (1997) menyatakan eritrosit adalah sel darah merah yang
membawa haemoglobin dan O2 dari paru-paru ke jaringan tubuh. Kandungan
eritrosit pada hewan dewasa terdiri atas 62-72% air, 35% padatan dan dari padatan
tersebut 95% haemoglobin (Swenson, 1984).
Menurut Guyton dan Hall (1997), faktor utama yang berperan dalam
pembentukan sel darah merah adalah hormon dalam sirkulasi yang disebut
eritropoietin, yaitu suatu glikoprotein dengan berat molekul kira-kira 34.000.
Eritrosit dipengaruhi oleh konsentrasi haemoglobin dan hematokrit. Jumlah
eritrosit yang tinggi akan diikuti oleh titer haemoglobin yang tinggi
(Swenson, 1984). Keadaan hipoksia (difisiensi oksigen), anemia (kekurangan sel
darah merah) juga mempengaruhi produksi eritrosit (Guyton dan Hall, 1997).
Eritrosit merupakan produk proses eritropoesis, yang terjadi dalam
sumsum tulang merah(medulla osseum rubrum). Eritropoesis membutuhkan
bahan dasar protein, glukosa dan berbagai aktivator. Beberapa aktivator
eritropoesis adalah mikromineral Cu, Fe dan Zn. Unsur Cu berperan dalam
memetabolisme protein, Fe berperan dalam pembentukan senyawa heme dan Zn
berperan dalam pembentukan protein pada umumnya (Praseno, 2005).
Hematokrit
Hematokrit atau packed cell volume (PCV) adalah persentase sel darah
merah dalam 100 ml darah. Hewan normal memiliki nilai hematokrit sebanding
dengan jumlah eritrosit dan titer haemoglobin (Widjajakusuma dan Sikar, 1986).
Universitas Sumatera Utara
Nilai hematokrit juga dipengaruhi oleh temperatur lingkungan yang dapat
bertambah jika keadaan hipoksia atau polisitemia (jumlah sel-sel darah merah
dalam tubuh meningkat) sehingga jumlah eritrosit lebih banyak dibandingkan
dengan jumlah normal (Guyton, 1996).
Haemoglobin
Menurut, Swenson (1984), haemoglobin adalah pigmen eritrosit berisi
darah yag tersusun atas protein konjunggasi dan protein sederhana. Protein
haemoglobin adalah globulin berupa sel, dan warna merah adalah heme yang
berupa atom besi. Hemoglubulin yang ada dalam eritrosit memungkinkan
timbulnya kemampuan untuk mengangkut oksigen, serta penyebab warna merah
pada darah (Frandson, 1992). Haemoglobin mengikat O2 untuk membentuk
oksihaemoglobin (Ganong, 1992).
Haemoglobin merupakan petunjuk kecukupan oksigen yang diangkut.
Kandungan oksigen dalam darah yang rendah menyebabkan peningkatan produksi
haemoglobin dan jumlah eritrosit (Swenson, 1984). Penurunan titer haemoglobin
terjadi karena adanya gangguan pembentukan eritrosit (eritropoesis). Dari segi
kimia, haemoglobin merupakan salah satu senyawa organik kompleks yang terdiri
dari empat pigmen porifin merah (heme). Masing-masing pigmen mengandung
atom besi ditambah globin, yang merupakan protein globular yang terdiri dari
empat rantai asam-asam amino (Frandson, 1992).
Universitas Sumatera Utara
Download