TINJAUAN PUSTAKA Bungkil Inti Sawit Bungkil inti sawit (BIS) adalah hasil ikutan dari industri pengolahan kelapa sawit dan di Indonesia ketersediaannya sangat tinggi. Luas lahan kelapa sawit pada tahun 2004 di proyeksikan sekitar 4,4 juta ha (Jakarta Future Exchange 2001) dan pada tahun 2006 mencapai luas 5,2 juta ha . Produksi tandan buah segar kelapa sawit sekitar 12,5 – 27,5 ton/ha, dan sekitar 2 % nya menjadi bungkil inti sawit (Sinurat 2001). Penggunaan BIS sebagai salah satu pakan potensial telah banyak dilaporkan baik pada ternak ruminansia (Elisabeth dan Ginting 2003; Mathius et al. 2003), ternak ayam (Sundu dan Dingle 2005), bahkan ikan (Keong dan Chong 2002). Kandungan protein bungkil inti sawit (BIS) lebih rendah dari bungkil lain. Namun demikian masih layak dijadikan sebagai sumber protein. Kandungan asam amino esensialnya cukup lengkap dan imbangan kalsium dan fosfor cukup baik (Lubis, 1993). Adapun komposisi zat nutrisi bungkil inti sawit (BIS) dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi zat nutrisi bungkil inti sawit (BIS) Kandungan Nutrisi Protein Kasar Serat Kasar Bahan Kering GE (Kcal/g) % 18,15 15,89 91,08 4.8964 Sumber : Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih (2005). Universitas Sumatera Utara Persentase komponen gula netral pada bungkil inti sawit (BIS) dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Persentase komponen gula netral pada bungkil inti sawit (BIS) Netral Mannosa Selulosa Xylosa Galaktosa Persentase dari dinding sel (%) 56,4 + 7,0 11,6 + 0,7 3,7 + 0,1 1,4 + 0,2 Total 73,1 + 7,2 Sumber : Daud et al (1993). Ayam Pedaging Ayam pedaging merupakan salah satu alternatif yang dipilih dalam upaya pemenuhan kebutuhan protein hewani karena ayam pedaging memiliki pertumbuhan dan pertambahan berat badan yang sangat cepat, efisiensi pakan cukup tinggi, ukuran badan besar dengan bentuk dada yang lebar, padat dan berisi sehingga sangat efisien diproduksi. Dalam jangka waktu 5 – 6 minggu ayam pedaging tersebut dapat mencapai berat hidup 1,4 – 1,6 Kg dan bila dipelihara sampai umur 7 – 8 minggu ayam pedaging dapat mencapai berat hidup 1,8 – 2,0 Kg. Secara umum ayam pedaging dapat memenuhi selera konsumen atau masyarakat, selain dari pada itu ayam pedaging lebih dapat terjangkau oleh masyarakat karena harganya relatif murah (Rasyaf, 1997). Menurut Irawan (1996) ditinjau dari genetis, ayam pedaging sengaja diciptakan agar dalam waktu singkat dapat segera dimanfaatkan hasilnya. Jadi istilah pedaging adalah untuk menyebut strain ayam hasil budidaya teknologi yang memiliki karakteristik ekonomis, memiliki pertumbuhan cepat sebagai penghasil daging, konversi pakan sangat irit, siap dipotong pada umur muda, serta mampu menghasilkan kualitas daging yang bersih, berserat lunak dengan Universitas Sumatera Utara kandungan protein tinggi. Adapun ciri ayam pedaging AA CP-707 dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Ciri Ayam Pedaging AA CP-707 Data Biologis Bobot hidup umur 6 minggu Konversi pakan Berat bersih Daya hidup Warna kulit Warna bulu Satuan 1,56 Kg 1,93 70% 98% Kuning Putih Sumber : Murtidjo (1992). Kebutuhan Nutrisi Ayam Pedaging Ransum merupakan salah satu faktor yang penting untuk keberhasilan usaha pemeliharaan ayam pedaging. Ransum adalah campuran bahan-bahan untuk memenuhi zat-zat ransum yang seimbang dan tepat. Seimbang dan tepat berarti zat makanan tidak berlebihan dan juga tidak kekurangan. Ransum yang diberikan harus mengandung protein, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral dan air. Tujuan utama pemberian ransum pada ayam untuk menjamin pertambahan berat badan yang paling ekonomis selama pertumbuhan (Rasyaf, 1995). Menurut AAK (1994) konsumsi di daerah tropis dipengaruhi oleh kandungan energi ransumnya. Kandungan yang rendah dalam ransum menyebabkan unggas akan meningkatkan konsumsi ransumnya guna memenuhi kebutuhan energi setiap harinya tetapi dibatasi oleh tembolok dalam sistem pencernaan. Maka bila energi ransum terlalu rendah, akan menyebabkan defisiensi energi. Sebaliknya ransum dengan kandungan energi tinggi menyebabkan unggas mengkonsumsi ransum sedemikian rupa sehingga unggas kenyang akan energi tapi lapar protein. Universitas Sumatera Utara Adapun kebutuhan zat makanan ayam pedaging fase starter dan finisher dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Kebutuhan zat makanan ayam pedaging fase starter dan finisher Zat Nutrisi Protein Kasar (%) Lemak Kasar (%) Serat Kasar (%) Kalsium (%) Pospor (%) EM (Kkal/Kg) Starter 23 4-5 3-5 1 0,45 3200 Finisher 20 3-4 3-5 0,9 0,4 3200 Sumber : NRC (1984). Bagi ayam pedaging jumlah konsumsi yang banyak bukanlah merupakan jaminan mutlak untuk menjamin pertumbuhan dan produksi puncak. Kualitas dari bahan makanan dan keserasian komposisi gizi sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan merupakan dua hal mutlak yang menentukan tercapai performans puncak (Wahyu, 1992). Tujuan pemberian ransum pada ayam adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan berproduksi. Untuk produksi maksimum dilakukan dalam jumlah cukup, baik kualitas maupun kuantitas. Ransum pedaging harus seimbang antara kandungan protein dengan energi dalam ransum. Disamping itu kebutuhan vitamin dan mineral juga harus diperhatikan. Sesuai dengan tujuan pemeliharaannya yaitu memproduksi daging sebanyak-banyaknya dalam waktu singkat, maka jumlah pemberian pakan tidak dibatasi (ad-libitum). Ayam pedaging selama masa pemeliharaannya mempunyai dua macam pakan yaitu pedaging starter dan pedaging finisher (Kartadisastra, 1994). Universitas Sumatera Utara Sistem Pencernaan Ayam Pedaging Pencernaan adalah penguraian makanan ke dalam zat-zat makanan dalam saluran pencernaan untuk dapat diserap dan digunakan oleh jaringan-jaringan tubuh (Anggorodi, 1985). Peranan utama dari pencernaan adalah mencerna makanan secara mekanik, fisik, dan kimia, menyerap zat makanan yang diperlukan tubuh seperti air, karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral serta mengolah dan membuang ampas pencernaan (Church, 1973). Ayam merupakan ternak non-ruminansia yang artinya ternak yang mempunyai lambung sederhana atau monogastrik. Pada umumnya bagian-bagian penting dari alat pencernaan adalah mulut, farinks, esofagus, lambung, usus halus dan usus besar. Makanan yang bergerak dari mulut sepanjang saluran pencernaan oleh gelombang peristaltik yang disebabkan karena adanya kontraksi otot di sekeliling saluran (Tillman et al., 1991). Seperti kita ketahui bahwa ayam tidak mempunyai gigi geligi untuk mengunyah ransum sebagaimana ternak lainnya, namun punya paruh yang dapat melumatkan makanan. Oleh karena itu, daya cerna ayam terhadap ransumnya lebih rendah 10% dari pada ternak lain (Kartadisastra, 1994). Pati dan gula mudah dicerna oleh unggas sedangkan pentosan dan serat kasar (sellulosa, hemisellulosa, dan lignin) sulit dicerna. Saluran pencernaan pada unggas sangat pendek dibandingkan ternak lain, sehingga jasad renik mempunyai waktu yang sedikit untuk mencerna karbohidrat kompleks (Anggorodi, 1985). Pencernaan secara mekanik tidak terjadi di dalam mulut melainkan di Gizard (empedal) dengan menggunakan batu-batu kecil atau pecahan-pecahan Universitas Sumatera Utara kaca yang sengaja dimakan, lalu masuk ke dalam usus halus lalu di sinilah terjadi proses pencernaan dengan menggunakan enzim-enzim pencernaan yang disekresikan oleh usus halus, seperti cairan duodenum, empedu, pankreas, dan usus. Di dalam usus besar terjadi proses pencernaan yang dilakukan oleh jasad renik yang berfungsi sebagai penghancur protein yang tidak dapat diserap oleh usus halus (proteolitik) (Tillman et al., 1991). Di dalam empedal bahan-bahan makanan mendapat proses pencernaan secara mekanis. Partikel-partikel yang besar secara mekanik akan diperkecil dengan tujuan memudahkan proses pencernaan enzimatis di dalam mulut ataupun di dalam saluran pencernaan berikutnya. Untuk memudahkan proses pencernaan mekanis maupun enzimatis dalam mempersiapkan ransum ternak banyak dilakukan dengan menggiling bahan-bahan ransum tersebut (Parakkasi, 1990). Escherichia coli Superdomain: Phylogenetica, Filum: Proteobacteria, Kelas: Gamma Proteobacteria, Ordo: Enterobacteriales, Famili: Enterobacteriaceae, Genus: Escherichia, Species: Eschericia coli Escherichia coli adalah bakteri batang pendek gram negatif dengan ukuran 1,1 – 1,5 µm x 2- 6 µm, kadang-kadang berbentuk oval bulat, tersusun tunggal atau berpasangan. Banyak galur mempunyai kapsul atau mikrokapsul. Dapat bersifat motil maupun non motil. Bersifat fakulatif anearob yang mempunyai tipe metabolisme respirasi maupun fermentasi. Eschericia coli tumbuh optimal pada suhu 37°C, membentuk koloni bulat konveks dengan pinggir yang nyata. Pada media Mc Conkey koloni berwarna merah jambu karena ada peragian laktosa (Pelczar dan Chan, 1988). Universitas Sumatera Utara Faktor virulensi Eschericia coli dipengaruhi oleh ketahanannya terhadap pagositosis, kemampuan perlekatan terhadap epitel sel pernafasan dan ketahanannya terhadap daya bunuh oleh serum. Eschericia coli yang patogen ini mempunyai struktur dinding sel yang disebut “pili” yang tidak ditemukan pada serotipe yang tidak patogen (Tabbu, 2000), dan “pili” inilah yang berperan dalam kolonisasi (Lay dan Hastowo, 1992). Ada tiga macam struktur antigen yang penting dalam klasifikasi Eschericia coli yaitu, antigen O (Somatik), antigen K (Kapsel) dan antigen H (Flagella) (Gupte, 1990; Lay dan Hastowo, 1992). Determinan antigen (tempat aktif suatu antigen) O terletak pada bagian liposakarida, bersifat tahan panas dan dalam pengelompokannya diberi nomor 1,2,3 dan seterusnya. Antigen K merupakan polisakarida atau protein, bersifat tidak tahan panas dan berinterferensi dengan aglutinasi O, sedangkan antigen H mengandung protein, terdapat pada flagella yang bersifat termolabil. Pada saat ini telah diketahui ada 173 grup serotipe antigen O, 74 jenis antigen K dan 53 jenis antigen H (Barnes dan Gross, 1997). Dalam kondisi normal Eschericia coli terdapat di dalam saluran pencernaan ayam. Sekitar −15 10 persen dari seluruh Eschericia coli yang ditemukan di dalam usus ayam yang sehat tergolong serotipe patogen. Bagian usus yang paling banyak mengandung kuman tersebut adalah jejunum, ileum dan sekum. Jenis Eschericia coli yang terdapat di dalam usus tidak selalu sama dengan jenis yang ditemukan pada jaringan lain. Sebagai agen penyakit sekunder, Eschericia coli sering mengikuti penyakit lain, misalnya pada berbagai penyakit pernafasan dan pencernaan yang menyerang ayam. Universitas Sumatera Utara Kenyataan di lapangan, timbulnya kasus kolibasilosis, terutama akibat pengaruh imunosupresif dari Gumboro (ayam pedaging lebih dominan dibanding petelur) dan sebagai penyakit ikutan pada Chronic Respiratory Disease (CRD), Infectious Coryza (Snot), Swollen Head Syndrome (SHS), Infectious Laryngo Tracheitis (ILT) dan koksidiosis (Tabbu, 2000). Tabbu (2000) mengatakan bahwa, Eschericia coli akan bermultiplikasi secara cepat di dalam usus DOC yang baru menetas. Infeksinya akan menyebar secara cepat dari DOC yang satu ke DOC lainnya di dalam indukan buatan (brooder), terutama bila umbilicus belum tertutup sempurna. Kematian mungkin saja tidak terjadi, tetapi litternya sudah tercemari oleh bakteri. Mannanoligosakarida (MOS) Kemampuan lain dari MOS adalah dapat merangsang sistem kekebalan (Spring, 1997). Mekanisme MOS sebagai immunomodulator belum sepenuhnya diketahui (Swanson et al. 2002). Selanjutnya Shashidara et al. (2003) menjelaskan bahwa sel pertahanan tubuh pada GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) mendeteksi kehadiran mikroba akibat adanya molekul unik yang disebut PAMP (Patogen-Associated Moleculer Pattern) yang selanjutnya akan mengaktifkan sistem kekebalan. Penggunaan bahan yang bersifat immunomodulator sangat penting dilakukan untuk mengatasi banyaknya cekaman yang dapat mengganggu respon kekebalan tubuh ayam. Mannan merupakan sumber biomasa setelah sellulosa dan xylan yang masih belum banyak dimanfaatkan. Dari degradasi mannan dengan beberapa jenis enzim mannanase dapat diperoleh mannosa atau mannanoligosakarida yang Universitas Sumatera Utara berfungsi sebagai komponen pangan fungsional. Limbah biomasa dari industri perkebunan di Indonesia yang mengandung polisakarida mannan seperti limbah bungkil kelapa sawit, kopra dan kopi dapat dimanfaatkan untuk produksi mannosa dan manno-oligosakarida tersebut. Dari hasil uji aktivitas enzim mannanase dari sekitar 488 mikroba lokal koleksi BTCC (Biotechnology Culture Collection) telah diperoleh sedikitnya 6 isolat yang memiliki aktivitas tinggi dalam degradasi substrat mannan. Metoda mutasi dengan UV digunakan untuk meningkatkan produksi enzim oleh mikroba yang memiliki aktivitas mendegradasi mannan. Dua pendekatan dilakukan dalam proses produksi, yaitu 1) Melakukan preparasi substrat mannan secara kimia kemudian baru mereaksikan dengan enzim kasar yang diproduksi. 2) Melakukan fermentasi langsung dengan subtrat bungkil tanpa preparasi khusus. Untuk itu telah dilakukan analisa ekstraksi mannan dari bungkil secara kimia. Hasil hidrolisis subtrat mannan dengan menggunakan mikroba selektif yaitu dari strain Streptomyces dan Saccahropolyspora menunjukkan secara kualitatif senyawa oligosakarida terbentuk. Kedua mikroba tersebut memproduksi enzim mannanase dengan spesifik aktivitas tertinggi setelah 24 jam masa fermentasi. Proses analisa enzim mannanase dan optimasi fermentasi dengan menggunakan bungkil inti kelapa sawit sebagai karbon dan mikroba terpilih di atas sedang dilakukan pada saat ini (Anonimus, 2007). Pendekatan baru untuk mencegah infeksi mikroba ditemukan dengan diketahuinya pentingnya proses penempelan pada saluran pencernaan. Diketahui bahwa fimbriae tipe 1 yang sensitif terhadap mannosa berperan dalam menempelnya mikroba patogen. Bakteri seperti Salmonella, Eschericia coli, dan Vibrio cholera mempunyai pektin pada permukaan selnya yang penempelannya Universitas Sumatera Utara spesifik terhadap mannosa, dengan demikian mannosa dapat menghambat penempelan mikroba merugikan pada saluran pencernaan (Center for Food and Nutrtition Policy, 2002). Sistem Kekebalan Tubuh Ayam Pedaging Pencegahan penyakit adalah suatu tindakan untuk melindung individu terhadap serangan penyakit atau menurunkan keganasannya. Vaksinasi merupakan salah satu di antara berbagai cara yang efektif untuk melindungi individu terhadap berbagai serangan berbagai macam jenis penyakit tertentu. Tindakan vaksinasi adalah satu usaha agar hewan yang divaksin memiliki daya kebal sehingga terlindung dari serangan penyakit (Akoso, 1997). Sistem kekebalan ayam seperti halnya ternak lain merupakan sistem yang sangat kompleks. Sistem kekebalan dapatan tubuh unggas terdiri atas kekebalan humoral dan selular. Kekebalan humoral melibatkan antibodi spesifik terhadap antigen yang masuk. Pada ayam, ada dua organ tubuh yang berhubungan dengan sistem kebal, yakni Bursa Fabricius dan Timus. Bursa Fabricius sebagian besar berisi sel B yang berperan dalam memproduksi antibodi humoral atau yang bersikulasi. Timus sebagian besar berisi sel T dengan fungsi mengenal dan menghancurkan sel yang terinfeksi bakteri atau virus, mengaktifkan makrofag dalam fagositisis dan membantu sel B dalam memproduksi antibodi. Pada masa embrio, kedua sistem ini diprogramkan untuk menghasilkan kekebalan aktif terhadap penyakit, artinya kekebalan yang didapat sebagai akibat pernah terinfeksi atau karena inokulasi dengan bahan-bahan penyebab penyakit yang telah diubah bentuknya (Junaidi, 2007). Universitas Sumatera Utara Sel B yang dihasilkan oleh bursa Fabricius akan menghasilkan antibodi dan sel pengingat (sel memori). Dalam menanggapi adanya antigen, sel-sel plasma menghasilkan antibodi. Antibodi adalah suatu protein yang besar molekulnya dapat membantu menghancurkan dan melumpuhkan patogen dengan jalan mengikat patogen tersebut dengan protein yang bersifat antigenik. Sel-sel plasma yang menghasilkan antibodi berasal dari sel B. Sel-sel memori akan mengingat dan mengenal antigen yang pernah masuk keadaan tubuh, sehingga sistem kekebalan unggas dapat bertindak cepat (Cheville, 1967). Newcastle Desease (ND) Newcastle Disease (ND) atau disebut juga penyakit Tetelo, Pseudofowl pest, Pseudovogel pest, avian distemper, avian pneumoenchephalitis, pseudopoultry plague dan ranikhet disease. Newcastle Disease (ND) merupakan penyakit viral yang sangat menular pada unggas, bersifat sistemik yang melibatkan saluran pernafasan dan menyerang berbagai jenis unggas terutama ayam serta burung-burung liar dengan angka mortalitas yang tinggi 80-100% (Alexander, 1991). Newcastle Disease (ND) disebabkan oleh virus yang termasuk dalam famili Paramyxoviridae, genus Paramyxovirus. Paramyxovirus mempunyai genom virus ssRNA berpolaritas negative, panjangnya 15-16 kb dan mempunyai kapsid simetris heliks tidak bersegmen, berdiameter 13-18 nm. (Fenner et.al, 1995), genom virus Newcastle Desease (ND) membawa sandi untuk 6 protein virus yaitu protin L, Protein HN (hemaglutinin neuraminidase), protin F (protin fusi), protein NP (protin nukleokapsid), protin P (Fosfoprotein), dan protein M (matik) (Beard dan Hanson, 1984). Universitas Sumatera Utara Masa inkubasi penyakit ini antara 2-15 hari, rata-rata 5-6 hari. Kejadian infeksi oleh virus Newcastle Desease (ND) terutama terjadi secara inhalasi (Alexander, 1991). Sifat-sifat fisik virus Newcastle Desease (ND) antara lain virus Newcastle Desease (ND) mempunyai kemampuan untuk mengaglutinasi dan melisikan eritrosit ayam. Selain eritrosit ayam, virus Newcastle Desease (ND) juga mampu mengaglutinasi eritrosit mamalia dan unggas lain serta reptilia (Beard dan Hanson, 1984). Virus Newcastle Desease (ND) bila dipanaskan pada suhu 56o C akan kehilangan kemampuan untik mengaglutinasi eritrosit ayam, karena hemaglutininnya rusak. Selain itu juga akan merusak infektivitas dan imunogenesitas virus. Gejala klinis Newcastle Desease (ND) dibedakan menjadi 5 patotipe menurut Beard dan Hanson, 1984, yakni bentuk Doyle, Beach, Baudette, Hithcner da enteric Asimptomatik. Bentuk Doyle merupakan bentuk per akut atau akut, menimbulkan kematian pada ayam segala umur dengan mortalitas 100%. Lsi menciri dengan adanya perdarahan pada saluran pencernaan. Bentuk ini disebabkan oleh virus strain velogenik. Penyakit ini terjadi secara tiba-tiba, ayam mati tanpa menunjukkan gejala klinis, ayam kelihatan lesu, respirasi meningkat, jaringan sekitar mata bengkak, diare dengan feses hijau atau putih dapat bercampur darah, tortikalis, tremor otot, paralisa kaki dan sayap (Alexander, 1991). Universitas Sumatera Utara Infectious Bursal Desease (IBD) Penyakit Infectious Bursal Desease (IBD) pertama kali dilaporkan di Gumboro, Delaware, Amerika Seriakat pda tahun 1962 oleh Cosgrove, oleh karena itu penyakit itu dikenal juga dengan nama Gumboro desease (Lukert dan Saif, 1997). Kasus penyakit Infectious Bursal Desease (IBD) di Indonesia pertama kali ditemuakan pada tahun 1980 di sebuah peternakan ayam jantan di daerah Sawangan, Bogor (Partadireja dan Juniman, 1985). Penyebaran penyakit ini telah meluas hampir di seluruh daerah di Indonesia dan bersifat endemik (Santhia, 1986). Penyakit Gumboro sangat mudah menular. Suatu peternakan yang terkena wabah Infectious Bursal Desease (IBD) akan sangat mudah menyebar ke peternakan lain, bahkan penularan berlanjut sampai generasi berikutnya pada peternakan yang sama. Terjadinya penularan ini dapat ditimbulkan karena kontak langsung antara ayam penderita dengan ayam sehat, litter yang tercemar virus Gumboro atau lewat makanan akan terkontaminasi. Serangga dapat juga berperan dalam penyebaran penyakit ini (Murtidjo, 1992). Penyakit Infectious Bursal Desease (IBD) merupakan satu diantara unggas penyakit unggas terpenting di USA, Eropa dan Asia khususnya di Indonesia. Penyakit ini menimbulkan kerugian berupa angka mortalitas tinggi, penurunan produksi daging, telur, peningkatan biaya manajemen serta bersifat imunosupresi, akibatnya ayam menjadi lebih peka terhadap berbagai jenis infeksi (Jackwood and Sommers, 1994). Menurut Subekti (2000), infeksi Infectious Bursal Desease Universitas Sumatera Utara (IBD) juga diperparah oleh infeksi Escherichia coli, Aspergillus flavus dan Avian nephritis. Infectious Bursal Desease (IBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus golongan Birnaviridae, menyerang ayam muda, bersifat akut dan mudah menular. Virus tersebut berdiameter 55-65 nm. Ketahanan virus Infectious Bursal Desease (IBD) terhadap pengaruh lingkungan dan bahan kimiawi, maka virus tersebut dapat bertahan dalam kandang ayam maupun di lingkungan dalam periode yang lama walaupun telah dilakukan sanitasi maupun desinfeksi (Tabbu, 2000). Umur yang sensitif terhadap virus tersebut adalah 3-6 minggu. Kejadian Gumboro dapat dibagi dua yaitu : infeksi dini pada anak ayam umur 1-21 hari dan infeksi tertunda pada yang berumur lebih dari 3 minggu. Jika virus Gumboro menyerang ayam yang berumur 1-21 hari biasanya akan timbul Gumboro bentuk subklinis yang mempunyai efek sangat imunosupresi (menekan kekebalan) dan menyebabkan kegagalan berbagai program vaksinasi (Wiryawan, 2007). Okeye and Uzoukwu (1991), menyatakan bahwa infeksi oleh virus Infectious Bursal Desease (IBD) akan meningkatkan kepekaan ayam terhadap infeksi Eschericia coli. Infeksi campuran antara Infectious Bursal Desease (IBD) dan Eschericia coli makin merangsang pertumbuhan jumlah sel limfosit dalam bursa Fabricius maupun kelenjar timus. Pada kondisi lapangan, penyakit Infectious Bursal Desease (IBD) subklinis ini lebih sulit dideteksi. Penyakit Gumboro yang bersifat klinis, menyebabkan kematian yang lebih tinggi, sulit dikontrol dan menyebabkan kerugian ekonomi yang besar. Penyakit Infectious Bursal Desease (IBD) bentuk klinis juga dapat dicirikan dengan adanya Universitas Sumatera Utara pendarahan berupa titik-titik atau garis-garis pada otot bagian paha bagian tengah lateral abdomen. Darah Darah adalah suatu cairan jaringan yang beredar melalui jantung, beserta pembuluhnya berperan dalam: 1) mengangkut oksigen dan nutrisi ke dalam tubuh, 2) mengatur panas, 3) mengangkut hasil metabolisme, hormon dan sisa produk menuju tempat yang sesuai di dalam tubuh ayam, dan 4) mengeluarkan karbondioksida dan sisa produk. Darah ayam berisi sekitar 2,5-3,5 juta sel darah merah per millimeter kubik, tergantung dari umur dan jenis kelamin. Darah pejantan dewasa 500.000 sel darah merah lebih banyak dibanding ayam betina (Akoso, 1997). Frandson (1992) menjelaskan beberapa fungsi darah, yaitu: 1) Membawa nutrient yang telah disiapkan oleh saluran pencernaan menuju jaringan tubuh, 2) Membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh, 3) Membawa karbondioksida dari jaringan ke paru-paru untuk dibuang, 4) Membawa produk buangan dari berbagai jaringan menuju ginjal untuk diekskresikan, 5) Berperan penting dalam pengendalian suhu, dengan cara mengangkut panas dari bagian tubuh menuju permuakaan tubuh, 6) Berperan dalam sistem buffer, seperti bikarbonat di dalam darah membantu mempertahankan pH yang konstan pada jaringan dan cairan tubuh, 7) Sebagai pembeku darah yang mencegah terjadinya kehilangan darah yang berlebihan pada waktu luka. Darah adalah jaringan khusus yang berperan dalam sirkulasi dan terdiri atas sel-sel yang terendam dalam plasma darah. Sel darah terdiri dari tiga macam, Universitas Sumatera Utara yaitu: benda darah merah (erythrocyte), benda darah putih (leukocyte), dan kepingan darah (thrombocytes atau platelets). Aliran darah dalam seluruh tubuh menjamin lingkungan yang tetap agar semua sel serta jaringan mampu melaksanakan fungsinya. Jadi fungsi utama darah adalah mempertahankan homeostasis tubuh (Dellman and Brown, 1992). Jika tubuh hewan mengalami ganguan fisiologis maka akan terjadi perubahan profil darah. Adanya perubahan profil darah tersebut dapat disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal misalnya kesehatan, stress, status gizi, suhu tubuh, sedangkan faktor eksternal misalnya akibat perubahan suhu lingkungan, dan infeksi kuman. Ternak yang sehat akan memiliki gambaran darah yang normal. Kekurangan asam folat, vitamin B12 dapat menyebabkan keadaan anemia (kekurangan sel darah merah) (Guyton and Hall, 1997). Jumlah leukosit yang meningkat merupakan pertanda adanya infeksi dalam tubuh (Frandson, 1992). Faktor-faktor tersebut dapat mengganggu proses pembentukan darah secara normal yang terjadi dalam sumsum tulang. Nilai normal gambaran darah ayam pedaging dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Nilai Normal Jumlah Eritrosit, Haemoglobin, Hematokrit dan Leukosit Ayam Pedaging Sumber Eritrosit Haemoglobin Hematrokit Leukosit (106/mm3) (g/100ml) (%) (103/mm3) Swenson (1984) 2,5-3,2 6,5-9,0 30,0-33,0 20,0-30,0 Mangkoewidjojo dan Smith (1998) 2,0-3,2 7.3-10,9 24,0-43,0 16,0-40,0 Universitas Sumatera Utara Sel Darah Merah (Eritrosit) Guyton dan Hall (1997) menyatakan eritrosit adalah sel darah merah yang membawa haemoglobin dan O2 dari paru-paru ke jaringan tubuh. Kandungan eritrosit pada hewan dewasa terdiri atas 62-72% air, 35% padatan dan dari padatan tersebut 95% haemoglobin (Swenson, 1984). Menurut Guyton dan Hall (1997), faktor utama yang berperan dalam pembentukan sel darah merah adalah hormon dalam sirkulasi yang disebut eritropoietin, yaitu suatu glikoprotein dengan berat molekul kira-kira 34.000. Eritrosit dipengaruhi oleh konsentrasi haemoglobin dan hematokrit. Jumlah eritrosit yang tinggi akan diikuti oleh titer haemoglobin yang tinggi (Swenson, 1984). Keadaan hipoksia (difisiensi oksigen), anemia (kekurangan sel darah merah) juga mempengaruhi produksi eritrosit (Guyton dan Hall, 1997). Eritrosit merupakan produk proses eritropoesis, yang terjadi dalam sumsum tulang merah(medulla osseum rubrum). Eritropoesis membutuhkan bahan dasar protein, glukosa dan berbagai aktivator. Beberapa aktivator eritropoesis adalah mikromineral Cu, Fe dan Zn. Unsur Cu berperan dalam memetabolisme protein, Fe berperan dalam pembentukan senyawa heme dan Zn berperan dalam pembentukan protein pada umumnya (Praseno, 2005). Hematokrit Hematokrit atau packed cell volume (PCV) adalah persentase sel darah merah dalam 100 ml darah. Hewan normal memiliki nilai hematokrit sebanding dengan jumlah eritrosit dan titer haemoglobin (Widjajakusuma dan Sikar, 1986). Universitas Sumatera Utara Nilai hematokrit juga dipengaruhi oleh temperatur lingkungan yang dapat bertambah jika keadaan hipoksia atau polisitemia (jumlah sel-sel darah merah dalam tubuh meningkat) sehingga jumlah eritrosit lebih banyak dibandingkan dengan jumlah normal (Guyton, 1996). Haemoglobin Menurut, Swenson (1984), haemoglobin adalah pigmen eritrosit berisi darah yag tersusun atas protein konjunggasi dan protein sederhana. Protein haemoglobin adalah globulin berupa sel, dan warna merah adalah heme yang berupa atom besi. Hemoglubulin yang ada dalam eritrosit memungkinkan timbulnya kemampuan untuk mengangkut oksigen, serta penyebab warna merah pada darah (Frandson, 1992). Haemoglobin mengikat O2 untuk membentuk oksihaemoglobin (Ganong, 1992). Haemoglobin merupakan petunjuk kecukupan oksigen yang diangkut. Kandungan oksigen dalam darah yang rendah menyebabkan peningkatan produksi haemoglobin dan jumlah eritrosit (Swenson, 1984). Penurunan titer haemoglobin terjadi karena adanya gangguan pembentukan eritrosit (eritropoesis). Dari segi kimia, haemoglobin merupakan salah satu senyawa organik kompleks yang terdiri dari empat pigmen porifin merah (heme). Masing-masing pigmen mengandung atom besi ditambah globin, yang merupakan protein globular yang terdiri dari empat rantai asam-asam amino (Frandson, 1992). Universitas Sumatera Utara