PolMark Indonesia-Political Consulting Perempuan Kandidat Tergantung Keluarga 19 Januari 2011 - Pencalonan perempuan dalam pemilu kepala daerah masih bergantung pada dinasti politik dalam partai politik. Tanpa dukungan relasi politik, perempuan akan sulit maju dalam pilkada. Ketua Peneliti dari Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga (Unair) Dwi Windyastuti, Selasa (18/1), mengatakan, akses perempuan di arena pencalonan melalui terobosan keluarga sebagai pengurus partai politik merupakan cara yang memungkinkan munculnya calon perempuan dalam pilkada. ”Sebagian perempuan kandidat memiliki akses untuk maju dalam kandidasi karena suami atau orangtua adalah politisi yang memiliki posisi penting dan penentu dalam pilkada,” ujar Dwi. Fakta itu juga terungkap dari hasil kajian Departemen Ilmu Politik FISIP Unair bersama Kemitraan untuk Reformasi Pemerintahan dan Kemitraan Australia Indonesia tentang kandidasi perempuan di Jawa Timur dan Sulawesi Utara. Mereka yang menjadi kandidat dalam pilkada merupakan perempuan yang berasal atau berada dalam struktur ekonomi politik kategori menengah ke atas dalam lingkup masyarakatnya. Di Jawa Timur, dari 18 kabupaten yang menyelenggarakan pilkada, di sembilan kabupaten terdapat 12 perempuan kandidat. Di Sulut, dari tujuh pilkada, hanya satu kabupaten yang tidak memiliki perempuan kandidat. ”Di samping itu, perempuan yang menjadi calon kepala daerah atau wakil kepala daerah dipengaruhi beberapa faktor, salah satunya dorongan keluar dan upaya untuk melanggengkan kekuasaan keluarga,” katanya. Mantan anggota Komisi II DPR dari Fraksi PAN, Andi Yuliani Paris, mengatakan, perempuan sulit menjadi calon dalam pilkada apabila tidak memiliki dinasti politik. ”Faktanya, tanpa relasi politik sulit bagi perempuan calon untuk maju dalam pilkada. Kalau perempuan memiliki uang, tetapi tidak ada dinasti politik, mungkin masih bisa. Namun, kalau dia tidak punya uang, tidak punya klan politik, sulit sekali,” paparnya. Menurut Yuliani, kondisi itu sangat disayangkan, tetapi fakta di lapangan menunjukkan sebagian perempuan calon kepala daerah memiliki akses maju karena ada keluarga yang merupakan politikus parpol atau memiliki posisi penting di parpol. Kenyataan itu memperlihatkan bukan hanya parpol pengusung yang tidak demokratis, masyarakat juga ikut andil sehingga harus diberikan pendidikan demokratisasi. ”Fenomena ini malah sudah sampai pada tingkat pemilihan kepala desa. Kepala desa yang tidak bisa menjabat lagi kemudian digantikan oleh istrinya. Ini sudah terjadi di Sulawesi Selatan,” katanya. (sumber: Kompas) http://www.polmarkindonesia.com Powered by Joomla! Generated: 18 July, 2017, 14:34