bab ii tinjauan pustaka

advertisement
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Lingkup Agraria
Seperti kita ketahui bahwa konsep agraria tidak hanya sebatas pada tanah atau
tanah pertanian saja. Secara etimologis, istilah “agraria” berasal dari sebuah kata dalam
bahasa Latin, “ager” yang artinya: (a) lapangan; (b) wilayah; (c) tanah negara. Dari
pengertian-pengertian tersebut nampak jelas bahwa yang dicakup oleh istilah “agraria”
itu bukanlah sekedar “tanah” atau “pertanian” saja. Kata-kata “wilayah”, “tanah negara”
itu jelas menunjukkan arti yang lebih luas, karena di dalamnya tercakup segala sesuatu
yang terwadahi olehnya. Kata “tanah negara”, misalnya, di situ ada tumbuh-tumbuhan,
ada air, ada sungai, mungkin ada tambang, ada hewan, dan sudah barang tentu ada
masyarakat manusia (Wiradi, 2009a).
Menurut Sitorus (2002), subyek agraria dibedakan menjadi tiga yaitu komunitas
(sebagai kesatuan dari unit rumah tangga), pemerintah (sebagai representasi negara),
dan swasta (private sector). Ketiga subyek tersebut memiliki ikatan dengan sumbersumber agraria melalui institusi penguasaan/pemilikan. Dalam perjalanannya, hubungan
ini akan menimbulkan bentuk-bentuk dari kepentingan sosial-ekonomi masing-masing
subyek berkenaan dengan pengusaaan dan pemilikan atas sumber-sumber agraria
tersebut.
8
Pemerintah
Sumber Agraria
Swasta
Masyarakat
Gambar 2.1. Lingkup Hubungan-Hubungan Agraria (Sitorus, 2002)
Keterangan:
Hubungan Teknis Agraria
Hubungan Sosio Agraria
2.2.
Reforma Agraria
Menurut Wiradi (2009a) makna reforma agraria merupakan penataan kembali
(atau pembaruan) struktur pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah/ wilayah, demi
kepentingan petani kecil, penyakap, dan buruhtani tak bertanah. Dalam hal ini reforma
agraria memiliki dua tujuan utama, yaitu: pertama, mengusahakan terjadinya
transformasi sosial, dan kedua, menangani konflik sosial serta mengurangi peluang
konflik di masa depan.
Oleh karena itu, Soetarto dan Shohibuddin (2006) menyatakan bahwa inti dari
reforma agraria adalah upaya politik sistematis untuk melakukan perubahan struktur
penguasaan tanah dan perbaikan jaminan kepastian penguasaan tanah bagi rakyat yang
memanfaatkan tanah dan kekayaan alam yang menyertainya, dan yang diikuti pula oleh
perbaikan sistem produksi melalui penyediaan fasilitas teknis dan kredit pertanian,
perbaikan metode bertani, hingga infrastruktur lainnya.
Agenda landreform (digunakan secara bergantian dengan Reforma Agraria) di
Indonesia memiliki perjalanan yang panjang. Secara umum, program pelaksanaan
landreform di Indonesia meliputi ketentuan: (a) larangan menguasai tanah pertanian
9
yang melampaui batas; (b) larangan pemilikan tanah absentee; (c) redistribusi tanahtanah kelebihan dari batas maksimum serta tanah-tanah yang terkena larangan absentee;
(d) pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang
digadaikan; (e) pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian, dan; (f)
penerapan batas minimum pemilikan tanah pertanian dengan disertai larangan
melakukan perbuatan yang mengakibatkan pemecahan tanah menjadi bagian-bagian
yang terlalu kecil1.
2.2.1. Prasyarat Reforma Agraria
Menurut Wiradi (2009a), berdasar pengamatan berbagai pakar dari FAO yang
melakukan studi tentang Reforma Agraria di berbagai negara di dunia, agar suatu
program Reforma Agraria mempunyai peluang untuk berhasil, ada sejumlah prasyarat
yang harus dipenuhi, antara lain:
1. Kemauan politik dari elit penguasa
2. Elit pemerintahan/birokrasi harus terpisah dari elit bisnis
3. Partisipasi aktif dari semua kelompok sosial harus ada. Organisasi Rakyat/Tani
yang pro-reform harus ada
4. Data dasar masalah agraria yang lengkap dan teliti harus ada
Seperti tertulis di atas, salah satu prasyarat yang harus dipenuhi adalah
partisipasi aktif dari semua kelompok sosial, yaitu organisasi rakyat/tani yang proreform. Organisasi rakyat ini merupakan organisasi rakyat (tani) yang kuat dan mandiri,
dipacu cita-cita luhur-jelas, diarahkan oleh program nyata-terukur, ditopang oleh kader
terdidik yang militan, dan didukung massa sadar-luas. Organisasi inilah yang menjadi
1
Harsono dalam Andi Achdian. 2009. Tanah Bagi yang Tak Bertanah; Landreform Pada Masa
Demokrasi Terpimpin 1960-1965. Bogor: KEKAL PRESS bekerjasama dengan Sekolah Tinggi
Pertanahan Nasional, hal 72.
10
pendorong perubahan sosial yang maha dahsyat. Oleh karena itu, organisasi rakyat,
terutama yang menghimpun petani kecil, buruh tani, dan petani penggarap yang sudah
menduduki dan menggarap tanah-tanah (bekas) perkebunan, hendaknya berperan dalam
(Setiawan dalam Alfurqon, 2006):
1. Melakukan pendataan (ulang) tanah-tanah yang sudah diduduki, digarap dan
dijadikan sumber penghidupan penduduk setempat.
2. Mendaftar nama-nama dan jumlah penduduk yang menduduki, menggarap, dan
menjadikan tanah tersebut sebagai sumber penghidupan.
3. Menyiapkan aturan main internal organisasi untuk memastikan terhindarnya
konflik horizontal dan untuk memastikan legalisasi ini tepat sasaran kepada
mereka yang paling membutuhkan.
4. Memastikan adanya komunikasi dan koordinasi yang baik dengan kalangan
Ornop “pendamping” untuk mendapatkan masukan-masukan dalam memperkuat
organisasi maupun kelancaran proses legalisasi.
5. Menyiapkan diri untuk siap bernegosiasi dan lobby dalam rangka meyakinkan
pejabat dan aparat yang terkait dengan pelaksanaan legalisasi hak atas tanah
maupun proses produksi, distribusi, dan penyediaan berbagai sarana pendukung.
2.2.2. Perspektif Reforma Agraria
Dalam model implementasinya berdasarkan cara bagaimana landreform
dijalankan, umumnya telah dibedakan pelaksanaan landreform tiga tipe ideal berdasar
pelaku utama yang melakukannya, yakni: StateLed Land Reform, MarketLed Land
Reform, dan PeasantLed Land Reform. Namun, dengan sangat menarik, setelah
menyelidiki secara empiris praktek-praktek ketiga model itu, Borras dan Mckinley
(2007) dalam Fauzi (2008) mengemukakan model keempat yang merupakan suatu
11
upaya mewujudkan ProPoor Landreform yang realistis dengan 4 (empat) pilar pokok
(lihat Tabel 2.1), yakni:
Tabel 2.1. Fitur Kunci Beragam Perspektif dalam Reforma Agraria
Perspektif
Fitur
Market-Led Landreform
Pertimbangan
utamanya
adalah
pencapaian
efisiensi/produktivitas secara ekonomis; Memberi peran
sekunder pada negara; Petani yang seharusnya menjadi
‘supir’ dalam reforma pada kenyataannya
berada di bawah dominasi aktor-aktor pasar; Pada
kenyataannya, ‘terpusat pada dasar’ artinya ‘terpusat pada
tuan tanah/pedagang/TNC’ di banyak penataan agraria masa
kini.
State-Led Landreform
Pertimbangan utamanya biasanya berhubungan dengan
mengamankan/menjaga
legitimasi
politik,
meskipun
agendaagenda pembangunan juga penting; ‘Kehendak politik
yang kuat’ sangat dibutuhkan untuk membawa agenda land
reform; Biasanya memperlakukan petani sebagai pelaku yang
dibutuhkan secara administratif; Aktor-aktor pasar tingkat
rendah, atau yang terpilih berhubungan dengan aktor-aktor
pasar bergantung pada aktor-aktor mana yang lebih memiliki
pengaruh dalam negara.
Peasant-Led Landreform
Asumsi utamanya adalah bahwa ‘negara terlalu terbelenggu
oleh kepentingan elit secara sosial’, sementara kekuatan pasar
secara mendasar didominasi oleh kepentingan elit = dengan
demikian, satu-satunya cara untuk mencapai reforma-agraria
yang pro kaum miskin adalah jika petani dan organisasi
mereka secara mandiri mengambil insiatif untuk menerapkan
reforma agraria.
Pro-Poor Landreform
Asumsi utama: tidak meromantisasi ‘kemahakuasaan’ petani
dan organisasi mereka; Tidak menetapkan peran pemerintah
pada negara; Tidak mementingkan isu peningkatan
produktivitas secara ekonomis = meskipun mengenali
keberkaitan antara perspektifperspektif tersebut; Menganalisa
negara, gerakan-gerakan petani dan kekuatan pasar bukan
sebagai kelompok-kelompok yang terpisah-pisah, namun
sebagai aktor yang secara inheren
terhubung satu sama lain oleh penyatuan mereka pada
sumberdaya tanah secara politis dan ekonomis; Memiliki tiga
ciri kunci: ‘terpusat pada petani’, ‘didorong oleh negara’, dan
‘meningkatkan produktivitas secara ekonomis’.
12
2.3.
Gerakan Reforma Agraria
Dilihat dari sudat pandang ilmu sosial, yang dimaksud dengan gerakan
(movement) adalah gerakan sosial (social movement), yaitu suatu usaha, upaya, dan
langkah kolektif untuk menciptakan perubahan keadaan tertentu yang ada dalam
masyarkat (Hoult, 1969)2. Dari uraian tersebut, Wiradi (2009a) merumuskan bahwa
gerakan agraria adalah sebagai berikut:
“suatu usaha, upaya, dan kegiatan yang dilakukan secara
kolektif atau bersama, dengan tujuan untuk merombak tata
sosial di bidang agraria, karena tata yang ada dianggap
tidak adil dan tidak sesuai sebagai dasar bagi peningkatan
kesejahteraan rakyat”
2.3.1. Landreform By Leverage
Gagasan mengenai reforma agraria ini sudah banyak dibahas oleh para ahli.
Beberapa menyebutnya sebagai land governance, semuanya ditujukan untuk
mewujudkan tanah untuk kesejahteraan rakyat. Ada beberapa macam tipe reforma
agraria, secara umum dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu mobilisasi massa dari atas (by
grace), dari tengah, dan dari bawah (by leverage)3.
Konsep landreform dari bawah (by leverage) ini untuk pertama kalinya
ditawarkan pada Munas Pertama Konsorsium Pembaruan Agraria, pada Desember
1995, dengan menerjemahkannya sebagai “Pembaruan Agraria Berbasis Rakyat”
(PABR). PABR ini merupakan gerakan pembaruan agraria yang didasarkan atas
kekuatan dan kemampuan kaum tani atau rakyat pedesaan sendiri. Namun ini sama
sekali tidak berarti melawan wewenang pemerintah ataupun hendak menghilangkan
2
Hoult dalam Gunawan Wiradi. 2009. Reforma Agraria: Perjalanan Yang Belum Berakhir. Bandung,
Jakarta, Bogor: AKATIGA, KPA, SAINS., hal 142
3
Lihat Saturnino M. Borras Jr dan Jennifer C. Franco tentang Demokra c Land Go r ver nanc e and Some
Policy Recommenda on . Discussion Paper 1. Oslo Governance Centre. Mei 2008.
13
peran negara. Dalam hal ini kekuatan dan kemampuan kaum tani justru befungsi
sebagai “dongkrak”, sebagai pendorong yang kuat, untuk menggerakkan peran aktif dari
pemerintah (Wiradi, 2009b).
Berdasar moda gerakan reklaim tanah yang dilakukan masyarakat petani, Sitorus
(2006) mengembangkan tipologi landreform dari bawah ini menjadi tiga tipe, yaitu tipe
aneksasi, tipe kultivasi, dan tipe integrasi. Tipe Aneksasi adalah tipe reforma agraria
dari bawah yang merujuk pada tindakan kolektif penduduk untuk secara paksa dan
illegal membuka, bercocok tanam, dan sekaligus bermukim di sebidang tanah hutan
Negara. Tipe integrasi merupakan kebalikan dari tipe aneksasi, yaitu tipe reforma
agraria yang merujuk pada kolaborasi Negara dan komunitas lokal dalam manajemen
sumberdaya agraria. Sedangkan tipe kultivasi merujuk pada ambiguitas status tanah
yang direklaim; di satu sisi ia di reklaim dan secara faktual ditanami atau diusahakan
oleh penduduk, tetapi di sisi lain ia masih di klaim dan juga secara faktual dikelola oleh
pihak lain.
2.3.2. Arah Transfer Kesejahteraan dan Kekuasaan Berbasis Tanah
Mengacu pada Borras dan Franco (2008) dalam Shohibuddin (2010) mengenai
kualifikasi pro-poor policy menjadi penting untuk diperhatikan dalam kaitan dengan
diferensiasi agraria. Kebijakan transfer kemakmuran dan transfer kekuasaan politik
berbasis tanah harus didasari atas kesadaran pelapisan kelas serta sensitif terhadap
perbedaan gender dan etnis, historical dalam arti memiliki perspektif mengenai
penciptaan kemakmuran, transfer kekuasaan politik, dan penentuan penerima manfaat
dalam suatu tinjauan historis sehingga kerangka “keadilan sosial” yang utuh dapat
dikembangkan.
14
Aliran Struktur Agraria juga menekankan pentingnya rute transformasi. Borras
dan Franco (2008) dalam Shohibuddin (2010), misalnya, membedakan kemungkinan
empat arah transformasi yang bisa ditimbulkan oleh kebijakan land reform, yaitu (1)
redistribusi, (2) distribusi, (3) non-(re)distribusi, dan (4) (re)konsentrasi (lihat tabel di
bawah). Empat arah ini bisa diadaptasi untuk menyediakan kerangka bagi kebijakan
pertanahan, khususnya dalam memastikan sejauh mana transfer kesejahteraan dan
kekuasaan politik berbasis tanah benar-benar dapat mewujudkan dampak redistribusi atau
distribusi dan bukannya non-(re)distribusi, atau apalagi (re)konsentrasi4.
Tabel 2.2. Dinamika Perubahan dan Pembaruan dalam Kebijakan Pertanahan
Trajectory
Redistribusi
Distribusi
Non(Re)Distribusi
(Re)konsentrasi
Arah Transfer Kesejahteraan dan
Kekuasaan Berbasis Tanah
Transfer kesejahteraan dan kekuasaan
berbasis tanah dari kelas tuan tanah
atau negara atau komunitas kepada
petani miskin gurem atau tuna kisma
Dinamika Perubahan
dan Pembaruan
Pembaruan dapat terjadi di tanah private
atau tanah negara; dapat mencakup
transfer kepemilikan penuh maupun dak;
dapat diterima oleh individu ataupun
kelompok
Kesejahteraan dan kekuasaan berbasis Pembaruan biasanya terjadi di tanah milik
tanah diterima oleh petani miskin negara; dapat mencakup transfer hak untuk
gurem atau tuna kisma, namun kelas mengalienasi ataupun dak; dapat di ter i m
a
tuan tanah dak kehi langan apapun
oleh individu maupun kelompok
dalam proses ini; transfer oleh negara
Kesejahteraan dan kekuasaan berbasis “Tiadanya kebijakan pertanahan adalah satu
tanah tetap berada di tangan segelin r kebijakan”; termasuk di sini juga kebijakankelas tuan tanah atau negara atau kebijakan pertanahan yang melegalisasikan
komunitas; yaitu tetap bertahannya klaim-klaim/hak-hak yang mengeksklusi dari
status quo yang bersifat mengeksklusi kelas tuan tanah atau elit kaya, termasuk
petani miskin
negara atau kelompok-kelompok komunitas
Transfer kesejahteraan dan kekuasaan Dinamika perubahan dapat terjadi dalam
berbasis tanah dari negara, komunitas tanah private atau tanah negara; dapat
atau petani gurem kepada tuan tanah, mencakup transfer sepenuhnya maupun
badan-badan perusahaan, negara atau kepemilikan penuh atau dak; d apat
kelompok-kelompok komunitas
diterima oleh individu, kelompok atau
badan-badan perusahaan
Borras dan Franco (2008) dalam Shohibuddin (2010)
4
Lihat juga Saturnino M. Borras Jr. and Jennifer C. Franco (2008). How Land Policies Impact LandBased Wealth and Power. Oslo Governance Centre Brief, No. 3, May 2008.
15
2.4.
Kerangka Pemikiran
Struktur Agraria Sebelum Landreform di OTL Banjaranyar II
dan OTL Pasawahan II
SPP
Aktor
Lainnya
Aktor
Lainnya
OTL Pasawahan
II
Reklaiming OTL Pasawahan
II di tanah perkebunan
Program Pemberdayaan
Pasca Reklaiming
OTL Banjaranyar
II
BPN
PPAN
Reklaiming OTL Banjaranyar
II di tanah perkebunan
Program Pemberdayaan
Pasca Reklaiming
Access Reforn
Kesejahteraan
Perubahan Struktur Pemilikan dan
Penguasaan Tanah
Kesejahteraan
Arah Transfer Manfaat (Land-Based Wealth and Power) antar Anggota
Organisasi Tani Lokal
Keterangan:
: Proses
: Mempengaruhi
: Aktor yang berperan
: Proses yang belum terlaksana
16
Permasalahan utama dalam bidang agraria di Indonesia adalah adanya
ketimpangan
struktur
agraria
diantara
subyek-subyeknya.
Ketimpangan
ini
menimbulkan efek yang sangat luas diantaranya adalah ketimpangan pemilikan dan
penguasaan tanah serta timbulnya masalah kesejahteraan bagi masyarakat tani yang
tidak mempunyai tanah. Masalah ini dapat dilihat secara umum pada struktur
agrarianya.
Upaya untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan melakukan landreform.
Terdapat dua tipe landreform yang dikenal secara luas, keduanya yaitu landreform by
grace dan landreform dari bawah (by leverage). Tipe yang pertama secara umum
dikenal dengan landreform yang diinisiasi oleh pemerintah. Dalam hal ini landreform
dapat dilaksanakan atas dasar ”kedermawanan” pemerintah. Sedangkan tipe kedua
merupakan landreform yang diinisiasi oleh masyarakat tani sendiri. Di sini, petani
berperan sebagai dongkrak agar pemerintah melaksanakan landreform.
Salah satu contoh pelaksanaan landreform dari bawah (by leverage) adalah
pelaksanaan reklaiming yang dilakukan oleh Serikat Petani Pasundan (SPP). Dalam
penelitian ini, gerakan yang menjadi sorotan utama adalah gerakan yang terjadi di
Kabupaten Ciamis khususnya yang dilakukan oleh Organisasi Tani Lokal (OTL)
Banjaranyar II, Desa Banjaranyar, dan OTL Pasawahan II, Desa Pasawahan. Di kedua
tempat tersebut petani melakukan upaya reklaiming (landreform) pada kisaran tahun
2000-2002. Pelaksanaan landreform ini tidak dapat dilepaskan dari peran aktor-aktor
yang berkepentingan. Antara lain, SPP dan OTL itu sendiri juga aktor-aktor lainnya.
Proses selanjutnya setelah pelaksanaan landreform by leverage (reklaiming) ini
adalah program-program pemberdayaan. Kemudian, baik landreform by leverage
maupun program-program pemberdayaan setelahnya akan memberikan pengaruh
17
terhadap struktur pemilikan dan penguasaan tanah serta kesejahteraan masyarakat di
kedua OTL tersebut. Selain program pemberdayaan pasca landreform, setelah
pelaksanaan landreform by leverage adalah adanya PPAN. Di OTL Banjaranyar II
PPAN ini sudah dilaksanakan sedangkan di OTL Pasawahan II PPAN masih dalam
proses.
Peran SPP sangat dominan dalam upaya mendampingi OTL dalam melakukan
landreform, sehingga peran SPP ini terus melekat dalam proses-proses selanjutnya
seperti upaya untuk memperoleh pengakuan hak atas tanah melalui Program Pembaruan
Agraria Nasional (PPAN) serta upaya untuk melakukan program pemberdayaan pasca
landreform di kedua tempat tersebut, walaupun program pemberdayaan ini belum
berhasil dilakukan. Begitu juga dengan aktor-aktor lain seperti pendamping LBH,
SAINS dan lainnya dalam membantu proses pelaksanaan landreform di kedua tempat
tersebut.
2.5.
Hipotesis Pengarah
Sesuai dengan rumusan masalah, penelitian ini akan memfokuskan pada
pengaruh partisipasi gerakan tani dalam pelaksanaan Reforma Agraria. Untuk memandu
penggalian data mengenai fokus penelitian tersebut, hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini adalah:
1. Diduga terdapat konflik pertanahan sepanjang sejarah penguasaan tanah yang
terjadi di OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II;
2. Diduga perbedaan perlawanan petani dan proses pelaksanaan landreform dari
bawah (by leverage) di OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II;
18
3. Diduga pelaksanaan kebijakan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) di
Kabupaten Ciamis dapat merespon inisiatif landreform dari bawah (by leverage)
di OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II;
4. Diduga terdapat faktor-faktor yang melatarbelakangi pelaksanaan kebijakan
Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) di OTL Banjaranyar II dan tidak
di OTL Pasawahan II;
5.
Diduga terdapat perbedaan dampak antara pelaksanaan landreform dari bawah
(by leverage) dan PPAN terhadap perubahan struktur pemilikan dan penguasaan
tanah dan kesejahteraan di OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II;
2.6.
Definisi Konseptual
1. Landreform dari bawah (landreform by leverage) adalah gerakan pembaruan
agraria yang berfungsi sebagai dorongan dari petani untuk menggugah peran
aktif pemerintah. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif
melalui penelusuran alur sejarah.
a. People/peasant led landreform adalah pandangan yang menyatakan
bahwa satu-satunya cara untuk mencapai Reforma Agraria yang pro
kaum miskin adalah jika petani dan organisasi mereka secara mandiri
mengambil inisiatif untuk menerapkan Reforma Agraria.
2. Landasan
hukum adalah perangkat aturan-aturan perundang-undangan yang
digunakan sebagai dasar pemberian sertifikat melalui Program Pembaruan
Agraria Nasional. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif.
3. Pemberdayaan pasca landreform oleh berbagai pihak adalah usaha-usaha yang
dilakukan berbagai pihak setelah proses landreform (reklaiming) dilakukan.
19
Proses ini mencakup kegiatan access reform. Pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan kualitatif.
4. Reklaiming adalah proses perebutan kembali tanah oleh masyarakat dari pihakpihak yang dianggap sebagai ”lawan” oleh organisasi SPP
a. Pra Reklaim adalah fase di mana masyarakat belum melakukan proses
reklaiming lahan.
b. Pasca Reklaim adalah fase di mana masyarakat sudah melakukan proses
reklaiming lahan sampai sebelum proses sertifikasi dilakukan.
5. Okupasi adalah proses perebutan tanah perkebunan yang dilakukan oleh
masyarakat petani dari pihak perkebunan.
a. Pra Okupasi adalah fase di mana masyarakat belum melakukan proses
okupasi lahan.
b. Pasca Okupasi adalah fase di mana masyarakat sudah melakukan proses
okupasi lahan sampai sebelum proses sertifikasi dilakukan.
2.7.
Definisi Operasional
1. Struktur pemilikan dan penguasaan lahan adalah besarnya luasan lahan yang
dimiliki dan dikuasai oleh masing-masing individu petani. Pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan kuantitatif melalui metode survey rumahtangga.
Dengan kategori:
1. Sempit: < 0,5 Ha (Skor = 1)
2. Sedang: 0,5 – 1,5 Ha (Skor = 2)
3. Luas: > 1,5 Ha (Skor = 3)
2. Kesejahteraan adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan non-material
berdasarkan indikator yang ditentukan oleh masyarakat di masing-masing OTL.
20
Pendekatan yang digunakan adalah metode kuantitatif melalui metode survey
rumahtangga. Indikator yang digunakan dalam penentuan kesejahteraan selain
tanah (nilai 8) adalah rumah (nilai 7), kendaraan bermotor (nilai 6), penghasilan
(nilai 5), pekerjaan (nilai 4), pola makan (nilai 3), elektronik (nilai 2) dan
sanitasi (nilai 1)5.
a. Rumah: Bangunan yang ditempati untuk tinggal, dikategorikan menjadi:
1. Sangat sederhana: lantai tanah, bilik dan belum ditembok, tanpa
sanitasi (skor = 1)
2. Sederhana: Semi permanen, tegel, atap dengan genteng, ada
sanitasi di luar rumah (skor = 2)
3. Bagus: Permanen, luas sanitasi lengkap (skor = 3)
b. Kendaraan Bermotor: Jumlah kendaraan bermesin yang digunakan
sebagai sarana transportasi (motor). Dengan kategori
1. Miskin: Tidak punya (skor = 1)
2. Sedang: Punya, hanya satu unit (skor = 2)
3. Kaya: Punya, lebih dari dua unit (skor = 3)
c. Penghasilan: jumlah uang yang didapatkan dalam satu rumah tangga per
hari baik dari hasil usaha tani maupun di luar usaha tani. Dikategorikan
menjadi:
1. Miskin: < Rp. 11.000 (skor = 1)
2. Sedang: Rp. 11.000-Rp. 20.000 (skor = 2)
3. Kaya: > Rp. 20.000 (skor = 3)
5
Lihat Lampiran 7 indikator kesejahteraan berdasarkan PPA
21
d. Pekerjaan: Mata pencaharian yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Dikategorikan menjadi:
1. Miskin: Buruh musiman (skor = 1)
2. Sedang: Mengarap lahan sendiri, memiliki upah lainnya (skor = 2)
3. Kaya: Ada penghasilan tetap, memiliki usaha sampingan (skor = 3)
e. Pola Makan: Sajian menu yang dikonsumsi dalam satu hari.
Dikategorikan menjadi:
1. Miskin: Makan 2 X sehari, dapat Raskin, jarang makan lauk-pauk
(skor = 1)
2. Sedang: Makan 3 X sehari, dengan lauk-pauk (skor = 2)
3. Kaya: Makan 3 X sehari, dengan menu lengkap (skor = 3)
f. Elektronik: Pemilikan benda elektronik lainnya diluar kebutuhan pangan.
Dikategorikan menjadi:
1. Miskin: Maksimal Hanya Hp atau TV Hitam Putih, 1 macam (skor
= 1)
2. Sedang: Minimal tv 24 inch warna dan Hp, 2 macam (skor = 2)
3. Kaya: Serba ada, lebih dari 3 macam (skor = 3)
g. Sanitasi: Fasilitas MCK yang dimiliki oleh satu rumah tangga.
Dikategorikan menjadi:
1. Miskin: tidak ada, Ke sungai, atau MCK umum (skor = 1)
2. Sedang: Memiliki MCK sendiri, tapi di luar rumah (skor = 2)
3. Kaya: Memiliki MCK di dalam rumah m (skor = 3)
Download