Jurnal Komunikasi, Vol 1, No. 1, Februari 2009 IKLAN POLITIK DAN PERLINDUNGAN BAGI KONSUMEN SIARAN TELEVISI** Shidarta* Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Untar e-mail : [email protected] ABSTRACT “Political advertisement” has not been recognized as a legal term in Indonesian legislations although it is widely used in practice. The absence of advertising regulation in this country also creates some difficulties in determining the acceptable indicators of political advertisement as currently aired by some TV stations. The Indonesian Broadcasting Commission (KPI) along with the General Election Commission (KPU) and the Press Council (Dewan Pers) are slated to set up such indicators, but due to the time constraint, it seems they may not complete the job quite on time. On the other hand, these expected indicators actually are not too crucial in term of consumer protection because the Indonesian legal system has already provided other instruments in dealing with misrepresentation vis a vis the issue of the freedom of expression in political advertisement, such as those in the Criminal Code and in Law No. 8 Year 1999. This article discusses a general overview on political advertisement and how to protect television viewers whom may be considered “consumers” in the perspective of the Indonesian law. Keywords : political advertisement, freedom of expression, consumer protection, misrepresentation. Bulan-bulan belakangan ini pemirsa televisi akan makin akrab dengan iklaniklan yang mengusung politisi dan/atau bendera partai politik tertentu. Secara populer, iklan demikian diberi label sebagai iklan politik; suatu terminologi yang sebenarnya tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum, misalnya, lebih memilih istilah “iklan kampanye”. Namun, istilah terakhir inipun sebenarnya tidak mencakup semua fenomena yang terjadi akhir-akhir ini mengingat iklan-iklan demikian sudah muncul jauh-jauh hari sebelum jadwal kampanye pemilihan umum. Perlu dicatat bahwa sekalipun tidak dikenal dalam terminologi hukum positif, ternyata Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam beberapa siaran persnya menggunakan istilah “iklan politik” sebagaimana tampak dalam siaran pers mereka baru-baru ini (siaran pers KPI nomor 22/KPI/SP/07/08 tentang hasil rakornas KPI 2008 memutuskan untuk menggabungkan etika iklan politik ini ke dalam pedoman iklan ke dalam Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS), dengan target penyusunan pada Oktober 2008). Selain dipakai sebagai istilah keseharian, terminologi “iklan politik” rupanya dapat ditemukan pula dalam Etika Pariwara Indonesia (EPI). Etika ini adalah pedoman yang dibuat oleh 10 organisasi yang berkaitan dengan periklanan. EPI memasukkan iklan politik sebagai bagian dari iklan-iklan kebijakan publik. Posisi EPI ISSN : 2085 1979 1 Shidarta : Iklan Politik Dan Perlindungan Bagi Konsumen Siaran Televisi ini cukup penting dalam perspektif hukum di Indonesia, terutama sejak diundangkannya UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Tulisan berkut ini secara singkat akan mendeskripsikan pengertian iklan dan iklan politik serta sekaligus menjelaskan posisi “iklan politik” itu dalam konteks pengertian normatif. Selanjutnya dibahas sejumlah aspek yang terkait dengan kepentingan konsumen, serta hak-hak konsumen yang potensial untuk dilanggar dalam iklan politik atau iklan-iklan berpredikat lain tetapi masih berada dalam lingkup kegiatan berpolitik dewasa ini. Pada akhirnya juga akan diulas pemikiran seputar konstruksi yuridis yang dapat diupayakan untuk melindungi hak-hak konsumen, yaitu para pemirsa iklan politik tersebut. Iklan dan Iklan Politik Hakikat iklan adalah pesan. Beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan periklanan (kegiatan memproduksi iklan), tidak secara langsung dan eksplisit memberi definisi tentang iklan. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyebutkan bahwa siaran iklan adalah siaran informasi yang bersifat komersial dan layanan masyarakat tentang tersedianya jasa, barang, dan gagasan yang dapat dimanfaatkan oleh khalayak dengan atau tanpa imbalan kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan. Atas dasar pemaknaan konotatif itu, lalu muncul denotasi iklan, yang terdiri dari siaran iklan niaga dan siaran iklan layanan masyarakat. Definisi yang lebih tegas tentang iklan dapat ditemukan dalam Etika Pariwara Indonesia (EPI). Etika ini terakhir kali direvisi pada tahun 2005. Menurut EPI, iklan adalah “pesan komunikasi pemasaran tentang sesuatu produk yang disampaikan melalui suatu media, dibiayai oleh pemrakarsa yang dikenal, serta ditujukan kepada sebagian atau seluruh masyarakat.” Produk yang diiklankan, pada dasarnya dapat terdiri dari barang dan/atau jasa. Dalam konteks ini, Undang-Undang Penyiaran menambahkan satu kriteria lagi, yaitu gagasan. Klasifikasi yang dibuat oleh Undang-Undang Penyiaran cukup sederhana. Jika produk yang diiklankan itu terkait barang dan/atau jasa, maka kategorinya akan masuk dalam kelompok iklan niaga. Namun, jika materi muatannya adalah gagasan, maka ia masuk dalam kelompok iklan layanan masyarakat. Masih menurut ketentuan Undang-Undang Penyiaran, siaran iklan layanan masyarakat diartikan sebagai siaran iklan nonkomersial yang disiarkan melalui penyiaran radio atau televisi dengan tujuan memperkenalkan, memasyarakatkan, dan/atau mempromosikan gagasan, cita-cita, anjuran, dan/atau pesan-pesan lainnya kepada masyarakat untuk mempengaruhi khalayak agar berbuat dan/atau bertingkah laku sesuai dengan pesan iklan tersebut. Sekilas iklan politik yang pernah ditayangkan di media televisi saat ini, sepertinya memenuhi unsur-unsur di atas. Iklan-iklan itu memuat gagasan, cita-cita, dan/atau anjuran tertentu. Bukankah iklan layanan masyarakat pun bertujuan untuk mempengaruhi khalayak? Dan, itu sesungguhnya adalah politik juga! Artinya, kita bisa saja menyimpulkan bahwa iklan-iklan layanan masyarakat seperti ajakan untuk mencegah demam berdarah, anjuran untuk beralih dari minyak tanah ke pemakaian gas elpiji, atau ajakan berhemat energi listrik; semuanya juga berbau politik. Menurut versi EPI, iklan demikian ternyata bukan termasuk iklan politik tetapi iklan pamong, yaitu iklan yang mempromosikan kebijakan kepamongan atau [iklan yang dibuat] oleh penyelenggara negara. Iklan-iklan seperti di atas umumnya memang ISSN : 2085 1979 2 Jurnal Komunikasi, Vol 1, No. 1, Februari 2009 diproduksi atas prakarsa institusi pemerintah. Namun di dalam praktik, perusahaanperusahaan swasta yang notabene bermotif komersial juga kerap memproduksi iklan pamong, bahkan tidak sedikit pula yang menggunakan tenaga profesional (dokter, psikolog, atau ahli gizi) dan/atau pejabat negara (menteri, kepala daerah) sebagai model iklan. Mereka pun mengklaim iklan demikian adalah iklan layanan masyarakat, bukan iklan pamong. Buktinya, pada akhir iklan seperti itu biasanya tertulis kalimat, “iklan layanan masyarakat ini dipersembahkan oleh ...” (menyebut sebuah produk komersial). Apa yang disebut dengan iklan politik, menurut EPI, adalah iklan yang mempromosikan pengetahuan, pengalaman, atau pendapat suatu kelompok tentang kebijakan publik. Termasuk di sini iklan tentang pendidikan politik dan iklan yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan. Dengan demikian, tampak bahwa iklan politik dan iklan pamong memiliki perbedaan penekanan dari aspek sudut pandang pengiklan. Iklan pamong dikesankan selalu bersifat pro-kebijakan pemerintah yang tengah berkuasa, sementara iklan politik lebih bersifat kritis terhadap kebijakan penguasa dan biasanya diproduksi oleh institusi di luar lingkaran pemerintahan. Titik singgung dari kedua jenis iklan ini muncul apabila ada partai pendukung pemerintah yang mengiklankan diri dengan menyebut-nyebut keberhasilan pemerintah melalui program-program populisnya. Atau, jika ada menteri suatu departemen yang beriklan (biasanya dalam format talk-show) dengan mengangkat keberhasilan program-program departemennya, yang secara implisit juga berarti keberhasilan kepemimpinannya. Iklan-iklan demikian dapat dikelompokkan sebagai iklan pamong, namun juga bisa sebagai iklan politik. Dalam EPI disebutkan bahwa iklan kebijakan publik harus tampil jelas sebagai suatu iklan. Dengan demikian suatu iklan pamong, iklan politik, dan iklan pemilu tidak boleh berkamuflase sehingga tidak lagi bisa dibedakan dengan program atau mata acara non-iklan. Kategori terakhir dari iklan kebijakan publik adalah iklan pemilihan umum. Iklan pemilu adalah iklan partai politik atau pemilihan legislatif, pemilihan presiden/wakil presiden, atau pemilihan kepala daerah, dan disiarkan pada perioda kampanye yang ditetapkan oleh lembagar resmi terkait. Unsur terakhir dari karakteristik iklan ini, yaitu sepanjang perioda kampanye, merupakan kata kunci yang membedakan antara iklan pemilu dengan iklan politik. Artinya, iklan-iklan yang dewasa ini bertebaran di jagad pertelevisian Indonesia, sebagian tidak bisa dikategorikan sebagai iklan pemilu. Iklan dari Prabowo Soebianto yang mengajak orang berbelanja di pasar tradisional, atau iklan dari Rizal Malarangeng yang menyataan “there is a will, there is a way” tidak secara eksplisit menyebut-nyebut satu partai politik apapun dalam iklannya (kendati sebagian besar masyarakat tahu partai politik atau kelompok mana yang berada di belakang masing-masing pribadi tersebut). Iklan-iklan ini tentu bukan iklan pemilu, tetapi bisa dimasukkan ke dalam iklan politik. Namun, untuk iklan Partai Gerindra yang menampilkan tokoh Prabowo Soebianto atau iklan Partai Hanura yang mengusung Wiranto, terklasifikasi sebagai iklan pemilu. Iklan Soetrisno Bachir yang menyatakan “hidup adalah perbuatan” seyogianya tergolong juga iklan pemilu karena di bawah namanya tertulis posisinya sebagai Ketua Umum PAN. Klasifikasi yang sama berlaku pula untuk iklan ucapan selamat berpuasa atau selamat Idul Fitri dari Partai Demokrat, Partai Golkar, dan lain-lain. ISSN : 2085 1979 3 Shidarta : Iklan Politik Dan Perlindungan Bagi Konsumen Siaran Televisi Kebebasan Berpendapat dalam Iklan Kesulitan terbesar dalam menilai sebuah iklan terletak pada fungsi tanda (termasuk tanda-tanda berupa bahasa) yang dikandung di dalamnya. Iklan tidak sekadar sarana berpromosi yang kental dengan nuansa komersial, tetapi juga suatu karya seni yang bisa dinikmati oleh khlayak masyarakat. Aspek terakhir ini menunjukkan iklan sebagai produk hiburan yang bisa mencerdaskan atau memberi nilai tambah tentang suatu informasi. Bagi pihak pengiklan, sarana beriklan di televisi sekaligus juga dapat digunakan untuk memperkuat pencitraan diri. Iklan-iklan politik sangat menekankan dimensi ini. Demikian menonjolnya motivasi pencitraan ini, sehingga tidak tertutup kemungkinan pihak pengiklan berusaha untuk menyinggung isu-isu populer di masyarakat dan berusaha menunjukkan keberpihakan mereka terhadap masyarakat luas. Strategi pencitraan ini tentu saja tidak hanya digunakan oleh figur politisi dan/atau partai politik tertentu. Kalangan bisnis pun juga terbiasa melakukan hal yang sama. Perusahaan-perusahaan rokok dan pertambangan, termasuk dalam kelompok pengiklan yang menyadari posisi mereka yang kurang menguntungkan dalam pemberitaan sehari-hari, sehingga mereka perlu mengatasinya dengan iklan-iklan pencitraan tersebut. Permasalahan baru akan terjadi apabila pencitraan dalam iklan dibuat sedemikian rupa sehingga dinilai sangat kontradiktif dengan pengetahuan umum masyarakat atas citra pengiklan itu sebelumnya. Sebagai contoh, apabila ada partai politik yang diketahui banyak memiliki anggota legislatif yang terlibat korupsi (tanpa mendapat sanksi tegas dari partainya), namun tiba-tiba mengiklan diri dengan mengklaim diri sebagai partai yang anti-korupsi. Apakah hal ini dapat dibenarkan? Persoalan demikian dalam bidang hukum dikenal sebagai misrepresentation, yaitu pemberian keterangan yang tidak benar. Misrepresentation dapat terjadi di berbagai sektor, termasuk yang paling kerap terjadi yaitu dalam periklanan. Namun, sebelum topik misrepresentation ini dibahas lebih jauh, akan disinggung satu hal yang lebih luas lagi terkait dengan fenomena iklan politik ini, yaitu tentang kebebasan berpendapat sebagai hak konstitusional yang tak bisa dilanggar. Konstitusi di berbagai negara, termasuk UUD 1945, menjamin adanya hak untuk bebas mengutarakan pendapat secara lisan maupun tulisan. Suatu perdebatan klasik akan muncul apabila seseorang menyatakan bahwa iklan yang dibuatnya merupakan ekspresi dari haknya untuk menyatakan pendapat, sementara ada pandangan lain yang menyatakan bahwa.iklan yang bermotif komersial tidak patut disandingkan dengan hak berpendapat sebagai hak konstitusional. Pandanganpandangan ini perlu dicermati dengan hati-hati. Diskursus mengenai hal ini juga marak di Amerika Serikat sejak sepuluh tahun terakhir. Pertanyaan yang diketengahkan dalam wacana tersebut adalah tentang perbedaan prinsip antara political speech dan commercial speech. Pertanyaan ini menyeruak dalam kasus Kasky vs Nike. Kasus tersebut bermula pada tahun 1996 dan 1997 tatkala sejumlah media massa di negeri tersebut mengekspos kebijakan manajemen perusahaan sepatu Nike, yang ternyata mempekerjakan atau setidaknya membiarkan buruh-buruh mereka di Asia Tenggara bekerja dengan gaji sangat rendah dan fasilitas kerja yang buruk. Perusahaan Nike menyangkal keras isu tersebut melalui jumpa pers, dan dengan ISSN : 2085 1979 4 Jurnal Komunikasi, Vol 1, No. 1, Februari 2009 mengirim surat bantahan ke universitas, pusat-pusat olahraga, serta dengan memasang iklan-iklan editorial. Pada tahun 1998, seorang aktivis konsumen bernama Marc Kasky menggugat perusahaan Nike dan lima orang direkturnya ke Pengadilan San Fransisco atas tuduhan telah melakukan misrepresentation, unlawful business practices, serta false advertising. Pengadilan tingkat pertama di San Fransisco mengalahkan Nike dengan menyatakan: “Nike violated state consumer laws prohibiting false and unfair competition.” Pengadilan tingkat kedua (banding), sebaliknya, justru membenarkan Nike, dengan menyatakan: “A public realtions campaign focusing on corporate image, such as that at issue here, calls for a different analysis than that applying to product advertisement....Nike’s speech is noncommercial speech and public dialogue on a matter of public concern.” Pengadilan tingkat ketiga di Mahkamah Agung negara bagian California, dengan perbandingan suara 4-3, kembali mengalahkan Nike dengan menyatakan: “...because the message in question were directed by a commercial speaker to a commercial audience, and because they made representations of fact about the speaker’s own business operations for the purpose of promoting sales of its products, we conclude that these message are commercial speech for purposes of applying state laws barring false and misleading commercial messages.” Kasus ini berlanjut ke Mahkamah Agung di tingkat federal, tetapi pengadilan tertinggi ini menyatakan kasus ini improvindently granted (tidak cukup dasar faktanya, sehingga tidak dilanjutkan). Namun, di luar pengadilan kasus ini tetap memanas, sehingga pada bulan September 2003 pihak Nike dan Kasky bersepakat untuk mengakhirinya. Untuk itu Nike bersedia memberi kompensasi sebesar US$1,5 juta yang disalurkan melalui Fair Labor Association, sebuah LSM berbasis di Washington D.C. guna mendanai program pendidikan dan kesejahteraan buruh. Contoh kasus di atas dapat menjadi sebuah analog yang menarik jika diterapkan dalam konteks Indonesia. Pembuat iklan-iklan politik dapat saja berkilah bahwa mereka sedang menyuarakan suatu “noncommercial speech and public dialogue on a matter of public concern.” Bukankah persoalan kemiskinan, lemahnya daya beli masyarakat, atau kelangkaan BBM, merupakan isu-isu publik? Artinya, dari aspek ini sebenarnya setiap orang, termasuk figur-figur politisi dan partai politik boleh saja mengangkatnya sebagai isu sentral dalam iklan mereka. Dan, hal ini merupakan sebuah political speech yang dilindungi dalam konstitusi. Dilihat dari kaca mata hukum, inti persoalannya sendiri baru akan terjadi apabila ada unsur penyesatan (misleading) dalam materi iklan tersebut. Setiap iklan, apakah berupa iklan niaga, iklan layanan masyarakat, atau yang termasuk iklan-iklan kebijakan publik, adalah sesuatu yang boleh eksis, sepanjang materi muatannya tidak menyesatkan. Hal yang dinyatakan terakhir inilah yang menjadi pokok bahasan dari topik pemberian keterangan yang tidak benar (misrepresentation). Dengan belajar dari kasus Kasky vs Nike di atas, ternyata unsur penyesatan dalam iklan merupakan sesuatu yang sangat tidak mudah untuk dibuktikan di pengadilan. Misrepresentation Pelaku misrepresentation lazimnya selalu dikaitkan dengan pelaku usaha yang memproduksi barang/jasa. Pelaku usaha inilah yang menjadi pemrakarsa iklan, dalam arti pihak yang paling berkepentingan untuk membuat iklan tersebut dan kemudian membiayai pembuatannya. Pemrakarsa iklan (pengiklan) biasanya tidak menangani sendiri proses pembuatan iklannya, melainkan menyerahkannya kepada pelaku usaha ISSN : 2085 1979 5 Shidarta : Iklan Politik Dan Perlindungan Bagi Konsumen Siaran Televisi periklanan yang profesional. Ada banyak komponen di dalam perusahaan periklanan, seperti perusahaan film, perusahaan rekaman audio, dan fotografer. Pada lini ketiga ada media massa, yaitu sarana yang dipakai untuk mendiseminasi iklan tersebut ke masyarakat. Ketiga unsur ini, yaitu pemrakarsa iklan, perusahaan periklanan, dan media massa, secara bersama-sama dapat disebut sebagai masyarakat periklanan. Dilihat dari fungsinya, secara common sense akan terlihat bahwa pemrakarsa iklan lebih bertanggung jawab di dalam aspek substansial. Ini berarti, segala sesuatu data atau informasi yang tidak semestinya disampaikan kepada konsumen, baik disengaja maupun tidak, seyogianya merupakan beban tanggung jawab pemrakarsa iklan untuk menyiapkannya. Sementara itu, perusahaan periklanan lebih bertanggung jawab dari aspek teknis pembuatan iklan tersebut. Terakhir adalah aspek situasional, yaitu terkait dengan konteks ruang dan tempat iklan itu dipresentasikan kepada masyarakat. Pada tahap ini, media massa mempunyai peran yang paling vital karena media massa memiliki otoritas untuk menyeleksi iklan-iklan mana saja yang pantas disajikan melalui program-program tayangannya. Misrepresentation yang paling berat derajat kesalahannya disebut fraudulent misrepresentation. Dalam hal ini, pengiklan secara sengaja (intentional) memanfaatkan data atau informasi keliru atau palsu guna menipu masyarakat luas. Sejumlah doktrin menyebutkan bahwa fraudulent misrepresentation dapat dikenali dengan beberapa indikator sebagai berikut: 1. pengiklan pertama-tama sengaja membuat pernyataan tentang fakta; 2. pernyataan yang dibuatnya itu salah; 3. pernyataan yang salah itu sangatlah esensial; 4. konsumen sangat mengandalkan pernyataan yang salah itu (tatkala mengambil keputusan mengikuti pesan iklan tersebut); 5. pengiklan memang berniat sejak awal untuk membuat konsumen mengandalkan diri pada pernyataan tersebut; 6. konsumen menderita sejumlah kerugian sebagai akibat dari keputusannya mengikuti pesan iklan tersebut. Iklan-iklan politik yang muncul dalam tayangan televisi di Indonesia umumnya tidak banyak memuat pernyataan-pernyataan yang bernilai esensial. Salah satu pengecualian adalah iklan sepasang calon gubernur beberapa waktu lalu, yang berani menjanjikan siap mundur apabila dalam waktu 100 hari gagal mewujudkan salah satu program kerjanya. Pernyataan ini termasuk esensial, dan memiliki nilai strategis untuk dijadikan andalan masyarakat dalam menentukan sikap saat pemilihan gubernur. Sayangnya, pasangan ini ternyata gagal dalam pemilihan tersebut. Derajat kesalahan yang lebih ringan adalah negligent misrepresentation, yaitu tatkala pengiklan sengaja menyebarkan suatu informasi yang seharusnya ia tahu tentang potensi kesalahan di dalam informasi tersebut. Artinya, mengingat pentingnya informasi tersebut, seharusnya pengiklan lebih berhati-hati dan perlu untuk memeriksanya terlebih dulu, namun hal ini tidak dilakukannya. Kelalaian pengiklan melakukan hal ini membuat konsumen tersesat dan salah dalam mengambil keputusan. Misrepresentation yang lebih ringan adalah reckless misrepresentation. Dalam konteks ini pengiklan tidak memiliki niat (kesengajaan) untuk menyesatkan konsumen dan juga tidak tahu tentang adanya kesalahan dalam informasi yang tercantum dalam iklannya. ISSN : 2085 1979 6 Jurnal Komunikasi, Vol 1, No. 1, Februari 2009 Persoalan terbesar dalam konteks iklan-iklan politik adalah seberapa jauh dapat dibuktikan adanya korelasi antara keputusan masyarakat yang “keliru” memilih seseorang atau suatu partai politik dengan kerugian yang dideritanya. Dalam terminologi hukum, kerugian memang dapat berupa material dan imaterial. Kerugian material dapat lebih mudah dihitung apabila masyarakat yang menerima informasi tersebut melakukan tindakan nyata, dengan tidak sekadar memberikan suara pada saat pemilihan. Tindakan nyata ini misalnya adalah dengan menjadi donatur bagi pasangan calon atau untuk partai politik itu. Nilai material uang/barang yang didonasi ini suatu ketika dapat saja dinilai secara ekonomis sebagai kerugian material. Misrepresentation belum secara spesifik diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Beberapa pasal yang sedikit “menyerempet” ke dalam unsur-unsur misrepresentation adalah Pasal 378 (penipuan) dan Pasal 382 bis (persaingan curang). Dalam Undang-Undang Pelindungan Konsumen dapat ditemukan sejumlah pasal yang memiliki keterkaitan, misalnya dalam Pasal 4, Pasal 7 huruf b, Pasal 8, dan Pasal 17. Namun, perlu dicatat bahwa konotasi dari kedua undang-undang di atas sangat kental dengan dimensi hubungan komersial. Subjek yang menjadi sasaran pengaturan Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah pelaku usaha periklanan, yang dalam hal ini mengacu kepada perusahaan periklanan. Oleh sebab itu, pengiklan yang merupakan figur politisi atau partai politik, dapat ditafsirkan berada di luar jangkauan pengaturan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang Penyiaran bahkan tidak menyinggung pokok persoalan iklan politik ini, kecuali menyatakan secara general bahwa materi siaran tidak boleh bersifat menghasut, memfitnah, atau berbohong. Hal yang sama juga dapat ditemukan dalam Undang-Undang Pers. Satu-satunya undang-undang yang menyinggung tentang iklan kampanye (seharusnya hal ini tidak identik dengan iklan politik) adalah UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum. Pasal 89 ayat (4) jo Pasal 84 Undang-Undang Pemilu menyebutkan beberapa ketentuan yang tidak boleh dilanggar dalam kampanye. Termasuk ruang lingkup kampanye di sini adalah juga dalam iklan kampanye. Hal-hal yang dilarang tersebut meliputi kegiatan yang: 1. mempersoalkan dasar negara Pancasila, Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia; 2. melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; 3. menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon dan/atau peserta pemilu yang lain; 4. menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat; 5. mengganggu ketertiban umum; 6. mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota masyarakat, dan/atau peserta pemilu yang lain; 7. merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye peserta pemilu; 8. menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan; 9. membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut lain selain dari tanda gambar dan/atau atribut peserta pemilu yang bersangkutan; dan 10. menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye. ISSN : 2085 1979 7 Shidarta : Iklan Politik Dan Perlindungan Bagi Konsumen Siaran Televisi Kesepuluh poin rambu di atas sesungguhnya lebih tepat dipakai untuk kampanye pada umumnya, dan tidak semuanya aplikatif untuk menjadi rambu iklan politik. Contohnya, penggunaan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan sebagai lokasi pengambilan iklan politik, tentu sah-sah saja. Dan, terbukti hal itu banyak dilakukan dalam iklan-iklan politik. Demikian juga dengan larangan untuk mengikusertakan anak-anak dalam kampanye, tidak serta merta dapat ditafsirkan sebagai larangan untuk menjadikan anak-anak sebagai model iklan politik. Tampak bahwa ada keraguan dari pembentuk undang-undang untuk menyinggung rambu-rambu untuk iklan politik secara lebih detail lagi. Patut diduga bahwa pembentuk undang-undang sendiri ingin menyerahkan pengaturan demikian kepada para pelaku periklanan sendiri, sebagaimana telah dijabarkan di dalam Etika Pariwara Indonesia (EPI). Di sisi lain, para penyusun EPI sendiri dihinggapi keraguan pula karena beranggapan mereka bukanlah otoritas regulator pemilu atau peserta pemilu, sehingga tidak berwenang untuk membuat aturan main iklan-iklan politik. Walaupun demikian, arti penting EPI diakui dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Bahkan Pasal 17 ayat (1) huruf f dari undang-undang ini menyebutkan secara spesifik keberadaan etika periklanan ini. Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberi tempat sangat terhormat kepada etika periklanan tersebut. Demikian tinggi kedudukan etika ini, sampai-sampai pelanggaran etika periklanan, menurut ketentuan Pasal 62 ayat (2) dicap sebagai tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak 500 juta rupiah. Sayangnya, pengakuan yang tinggi terhadap etika periklanan ini tidak disertai dengan law enforcement yang konsisten. Sampai saat ini tidak pernah ada pelaku usaha periklanan yang diseret ke pengadilan atas dasar pelanggaran Pasal 17 ayat (1) huruf f Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini. Berangkat dari rasa segan untuk mencampuri terlalu jauh kewenangan otoritas pemilu, EPI tidak menyinggung indikator tentang apa yang boleh dan tidak boleh dalam beriklan politik, termasuk tentang apa yang disebut misrepresentation. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang menurut Undang-Undang Penyiaran diberi amanat untuk menyusun pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran, ternyata juga tidak berbicara apa-apa tentang indikator misrepresentation dalam periklanan, lebih-lebih lagi untuk iklan-iklan politik. Dalam rapat koordinasi nasional KPI (Juli 2008) di Makassar, diputuskan indikator-indikator iklan politik baru akan disusun kemudian dengan memasukkan ke dalam pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran. Target waktu penyusunannya adalah Oktober 2008. Suatu agenda yang sesungguhnya sudah sangat terlambat dan dipastikan akan makin terlambat lagi mengingat iklan-iklan politik tersebut sudah terlanjur membanjiri jagat pertelevisian Indonesia. Indikasi dari keterlambatan ini makin menguat karena sampai pada saat dibuatnya tulisan ini, terbukti KPI masih belum berbuat apa-apa terhadap agenda yang mereka tetapkan tersebut. Senyampang indikator ini jadi juga disusun di kemudian hari, secara hukum pun akan sulit untuk diterapkan secara retroaktif bagi iklan-iklan yang telah hadir jauh-jauh hari sebelum indikator itu dipublikasikan. Terminologi Konsumen Iklan Politik Dalam uraian di atas telah berkali-kali disebut kata “konsumen”. Secara umum, siapapun yang mengkonsumsi barang dan/atau jasa layak untuk disebut ISSN : 2085 1979 8 Jurnal Komunikasi, Vol 1, No. 1, Februari 2009 konsumen. Namun, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberi definisi tersendiri tentang siapa yang disebut konsumen. Menurut undang-undang ini, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain, dan tidak untuk diperdagangkan. Definisi ini memfokuskan pemaknaan konsumen pada pemakai akhir (end-user) yang memanfaatkan barang dan/atau jasa bagi kepentingan sehari-hari. Seorang distributor, agen, atau pengecer, bukan termasuk kategori konsumen yang dilindungi dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Kalaupun disebut sebagai konsumen karena sebagian dari mereka adalah pembeli atas barang-barang yang akan mereka jual kembali, mereka adalah konsumen antara (intermediate consumers). Semua konsumen antara, dalam perspektif Undang-Undangan Perlindungan Konsumen, tidak lain adalah pelaku usaha juga. Produk yang dikonsumsi menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen haruslah barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat. Barang diartikan dalam undang-undang ini sebagai setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan,yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. Di sisi lain, jasa dimaknai sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. Hal ini semua berarti bahwa barang/jasa itu adalah produk konsumtif yang konkret, bukan produk yang bersifat konseptual semacam gagasan atau cita-cita. Semua yang baru dalam taraf gagasan atau cita-cita adalah sesuatu yang belum konkret tersedia dalam masyarakat. Berangkat dari penafsiran restriktif terhadap terminologi konsumen, maka istilah konsumen iklan politik akhirnya hanya dapat dikembalikan kepada pengertian yang semata-mata populer. Terminologi tesebut bukanlah peristilahan hukum. Konsumen di sini sebenarnya adalah semua pemirsa televisi yang menjadi penerima pesan iklan tersebut. Pemirsa mengkonsumsi pesan-pesan iklan dalam kapasitas sebagai anggota masyarakat, baik sebagai seseorang yang mempunyai hak pilih maupun yang belum mempunyai hak pilih dalam acara pemilihan nanti. Senyampang terminologi “konsumen” ingin tetap dipertahankan, maka jalan keluar yang terbaik adalah mengaitkan definisi konsumen ini dengan media dari mana pesan iklan politik itu diperoleh. Dengan demikian, Undang-Undang Perlindungan Konsumen akan menghadapkan masyarakat sebagai pemirsa televisi dengan lembaga penyiaran sebagai pelaku usaha. Melalui suatu asas yang disebut ostensible agency, pihak pengiklan dan perusahaan periklanan, di mata konsumen melebur sebagai satu kesatuan dengan pihak media massa. Perlindungan bagi Konsumen Iklan Politik di Televisi Dari uraian di atas, dapatlah ditarik suatu pandangan bahwa iklan-iklan politik itu secara substansial dapat dibagi ke dalam dua kelompok besar. Kelompok pertama adalah iklan Politik (dengan “P” huruf kapital), yaitu iklan yang memuat pemikiran dari sudut pandang tertentu terkait isu-isu sentral yang sedang menjadi perhatian publik. Iklan-iklan seperti inilah yang layak disebut sebagai iklan pendidikan politik. Kelompok kedua adalah iklan politik (dengan “p” huruf kecil), yang secara eksplisit mengajak pemirsa bergabung atau memilih suatu partai politik atau salah satu pasangan calon pada saat pemilihan umum. Entah karena alasan keterbatasan waktu ISSN : 2085 1979 9 Shidarta : Iklan Politik Dan Perlindungan Bagi Konsumen Siaran Televisi (dibatasi satu iklan paling lama satu slot atau 30 detik) ataukah karena ketidakmampuan menyusun strategi, iklan-iklan politik yang beredar saat ini di Tanah Air hampir seluruhnya diformat sebagai iklan politik dengan p huruf kecil. Tentu saja iklan-iklan politik dengan p huruf kecil ini tidak akan banyak memuat informasi untuk dapat dinilai benar-salahnya secara hukum. Indikator yang paling memungkinkan untuk digunakan, paling jauh hanya sebatas melanggar etika periklanan (etika pariwara), dan inipun biasanya lebih menyentuh dimensi prosedural dan situasionalnya, dan bukan dari segi esensialnya. Teguran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terhadap iklan-iklan politik barubaru ini terbukti juga tidak esensial, melainkan lebih kepada durasi penanyangan iklan yang melebihi waktu yang ditetapkan menurut Undang-Undang Pemilihan Umum. Sasaran teguran juga bukan kepada politisi atau partai politik pengiklan, melainkan kepada stasisun televisi tempat iklan itu ditayangkan. Misalnya, berdasarkan hasil pemantauan KPI pada tanggal 17 Agustus 2008, tayangan iklan kampanye Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang disiarkan oleh RCTI dan SCTV ditemukan lebih dari lima menit dalam satu hari. Sesuai dengan Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum, batasan maksimun pemasangan iklan kampanye pemilu di televisi untuk setiap peserta pemilu secara kumulatif sebanyak sepuluh spot (berdurasi masing-masing paling lama tiga puluh detik) untuk setiap stasiun televisi setiap hari selama masa kampanye. Jadi, dapat disimpulkan bahwa konsumen yang dimaksud di dalam konteks konsumen iklan politik di televisi pada hakikatnya adalah para konsumen yang menjadi pemirsa televisi. Dengan posisi ini, perlindungan yang dapat diberikan kepada konsumen iklan politik ini dapat dikonstruksikan secara lebih leluasa, baik dengan menggunakan instrumen Undang-Undang Pers, Undang-Undang Penyiaran, maupun Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Sekalipun lembaga penyiaran televisi merupakan ujung tombak setiap kali ada teguran, tuntutan, atau gugatan dari otoritas negara dan/atau masyarakat, tetap saja posisi media ini tidak terlalu riskan. Hal ini disebabkan lembaga penyiaran televisi sendiri baru bisa menayangkan iklan-iklan ini setelah terlebih dulu mendapat “lampu hijau” dengan dinyatakannya iklan-iklan itu telah lulus sensor dari Lembaga Sensor Film (LSF). Artinya, tugas media untuk melakukan self-censorship atas iklan-iklan itu sebenarnya tidak lagi mengikat karena tugas itu telah diemban oleh LSF. LSF berkewajiban untuk memberikan perlindungan kepada konsumen program-pogram siaran yang ditanyangkan melalui media massa. Perlindungan yang paling utama terkait dengan iklan politik sebenarnya adalah perlindungan terhadap hak konsumen untuk memperoleh informasi yang benar. LSF umumnya hanya menjaga agar iklan-iklan tidak keluar dari koridor moralitas. LSF tidak mungkin dibebani tugas memeriksa kebenaran informasi setiap iklan politik satu demi satu. Kewajiban ini secara esensial berada di pundak pengiklan. Apabila konsumen mendapati ada iklan-iklan yang secara substansial telah memuat informasi yang menyesatkan (misrepresentation), maka konsumen dapat mengajukan gugatan secara perdata dan/atau melapor ke pihak yang berwenang untuk diambil tindakan administratif dan/atau pidana. Dalam konteks ini, konsumen dipersilakan menggunakan Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebagai instrumen, Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (onrechtmatige daad) atau Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (penipuan). Untuk gugatan perdata, konsumen bahkan dapat melakukan gugatan perwakilan kelompok (class ISSN : 2085 1979 10 Jurnal Komunikasi, Vol 1, No. 1, Februari 2009 action) yang dimungkinkan melalui Pasal 46 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Jika konsumen ingin menggunakan instrumen Undang-Undang Pers, maka mekanisme hak koreksi adalah langkah terbaik yang dapat ditempuh. Di sini konsumen diberi kesempatan untuk mengungkapkan keberatannya atas iklan politik tersebut dengan cara mengoreksinya. Lembaga penyiaran wajib untuk memuat koreksi ini. Dalam Undang-Undang Pers dikenal pula adanya hak jawab, namun hak ini biasanya diberikan untuk konteks pemberitaan media yang bersangkutan dan bukan kepada iklan politik yang notabene tidak diproduksi sendiri oleh lembaga penyiaran tersebut. Jalan lain yang dapat ditempuh konsumen adalah dengan menyampaikan pengaduan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) atau Dewan Pers. Pengaduan ini dapat digunakan oleh KPI untuk menindaklanjutinya dengan menjatuhkan sanksi administratif terhadap lembaga-lembaga penyiaran yang bermasalah. Namun, jika biang persoalan menyangkut iklan kampanye (iklan pemilu) maka sanksi-sanksi demikian tentu tidak akan menjangkau figur politisi dan/atau partai politik pengiklan. Hal ini nyata tercantum dalam Pasal 99 ayat (1) Undang-Undang Pemilihan Umum. Ketentuan ini menyatakan bahwa sanksi yang dapat dijatuhkan oleh KPI (atau oleh Dewan Pers jika iklan kampanye di media cetak) adalah berupa: 1. teguran tertulis; 2. penghentian sementara mata acara yang bermasalah; 3. pengurangan durasi dan waktu pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye pemilu; 4. denda; 5. pembekuan kegiatan pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye pemilu untuk waktu tertentu; atau 6. pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau pencabutan izin penerbitan media massa cetak. Sampai saat ini, KPI baru satu kali memanfaatkan butir pertama (teguran tertulis) kepada dua stasiun televisi dalam hal pelanggaran durasi penayangan iklan kampanye (besar kemungkinan di sini KPI pun tidak lagi memilah antara iklan politik dan iklan kampanye sebagaimana dicantumkan kriterianya di dalam EPI). Untuk penindakan terhadap politisi atau partai politik pengiklan, kewenangannya tidak lagi berada pada KPI, melainkan pada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal ini ditegaskan di dalam Pasal 100 Undang-Undang Pemilihan Umum. Namun, sebelum penindakan ini bisa dilakukan, KPU (bersama dengan KPI atau Dewan Pers) wajib membuat rambu-rambu terlebih dulu. Sayangnya, ramburambu yang bisa digunakan oleh KPU sampai saat ini juga belum disusun, sehingga besar kemungkinan KPU juga belum dapat berbuat banyak sekalipun ia mendapat pengaduan dari masyarakat luas atau laporan dari lembaga-lembaga pengawas pemilu. Penutup Dengan demikian, jalan untuk menertibkan iklan-iklan politik di televisi sangat bergantung pada pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran yang baru akan disusun oleh Komisi Penyiaran Indonesia (bersama Dewan Pers dan KPU). Penertiban melalui pedoman dan sandar tersebut hanya akan menyentuh lembagalembaga penyiaran tempat iklan-iklan tersebut ditayangkan. ISSN : 2085 1979 11 Shidarta : Iklan Politik Dan Perlindungan Bagi Konsumen Siaran Televisi Sementara itu, konsumen tentu saja dapat bereksperimen dengan melakukan gugatan perdata atau melaporkan pihak pengiklan kepada pihak berwajib jika merasa dirugikan atas iklan-iklan politik. Laporan secara pidana dimungkinkan apabila secara esensial telah terjadi misrepresentation. Untuk itu, sesungguhnya sudah tersedia beberapa pranata hukum yang dapat dipakai sebagai instrumen tanpa harus menunggu selesainya penyusunan rambu-rambu periklanan oleh KPI. Dari ulasan di atas dapat diketahui bahwa keberanian masyarakat untuk melaporan tindakan pelanggaran atau menggugat pihak-pihak tertentu yang memproduksi iklan-iklan politik, akan memberi “pembelajaran” tertentu bagi praktik penegakan hukum komunikasi di Indonesia. Apa yang telah ditempuh oleh Marc Kasky tatkala melawan perusahaan Nike merupakan satu preseden yang baik untuk ditiru oleh para pegiat demokrasi, pejuang hak konsumen, bersama-sama dengan para pemerhati hukum komunikasi di Indonesia. Daftar Pustaka Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia, 2005. Etika pariwara Indonesia. Jakarta: PPPI. Shidarta, 1993. “The needs for the consumer protection act in Indonesia.” Buletin Ilmiah Tarumanagara, Tahun VIII No. 28: 25-30. ________,1994. “Pengetahuan tentang aspek hukum perlindungan konsumen dan status sosial media cetak serta perlindungan hak-hak konsumen dalam iklan.” Tesis Program Magister Humaniora Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. ________,1997. “Consumerism in historical perspective and its prospects in Indonesian legal development.” Jurnal Era Hukum, Tahun VI No. 14: 63-73. ________, 2006. Hukum perlindungan konsumen Indonesia. Jakarta: Grasindo. ISSN : 2085 1979 12