BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Setiap individu

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Setiap individu memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi. Namun, kemampuan
individu untuk memenuhi kebutuhan tersebut terbatas. Hal ini dikarenakan kebutuhan
manusia tidak dapat terpuaskan secara permanen. Dalam usahanya untuk memenuhi
kebutuhan tersebut, manusia perlu melakukan pencarian, pembelian, penggunaan, dan
evaluasi terhadap suatu produk atau jasa. Disaat itu pula, konsumen mengambil banyak
macam keputusan terkait dengan pembelian yang dilakukan setiap hari (Schiffman dan
Kanuk, 2007).
Setelah pembelian suatu poduk atau jasa, seringkali konsumen merasakan
ketidaksesuaian terhadap produk atau jasa yang dibelinya. Ketidaksesuaian yang timbul bisa
disebabkan oleh beberapa hal, seperti pola pikir yang tidak konsisten (karena opini dan
pendapat tertentu) dan juga karena pengalaman sebelumnya. Ketidaksesuaian ini
menyebabkan perasaan bersalah atau cemas sehingga umumnya konsumen berusaha untuk
mengurangi perasaan tidak nyaman ini dengan mengambil beberapa tindakan, seperti
mengubah sikap atau memodifikasi perilaku (Solomon, 2007). Festiger (dalam Cornwell,
2007) menyatakan perasaan tersebut sebagai cognitive dissonance yaitu sebuah perasaaan
tidak nyaman yang disebabkan oleh tindakan yang tidak konsisten dengan sikap seseorang.
Fenomena ini dalam perilaku membeli disebut juga sebagai postpurchase dissonance.
Postpurchase dissonance merupakan suatu tahap dari postpurchase consumer behavior yang
terjadi setelah adanya proses pembelian yang membuat konsumen memiliki perasaan yang
tidak nyaman mengenai kepercayaan mereka, perasaan yang cenderung diatasi dengan
mengubah sikap mereka agar sesuai dengan perilaku mereka (Schiffman dan Kanuk, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Postpurchase dissonance juga disebabkan karena setiap alternatif yang dihadapi oleh
konsumen mempunyai kelebihan dan kekurangan. Masalah yang dihadapi oleh konsumen
setelah keputusan pembelian dibuat adalah alternatif produk yang dipilih menunjukkan
kekurangan, sedangkan alternatif produk yang ditolak justru menunjukkan faktor-faktor yang
menarik. Hal ini mengindikasikan aspek-aspek negatif dari produk yang terpilih dengan
aspek positif dari produk yang ditolak menimbulkan disonansi kognitif bagi pembeli (Loudon
& Bitta, 1993).
Faktor penyebab postpurchase dissonance dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu
faktor internal dan faktor eksternal individu. Faktor internal adalah kondisi kepribadian
individu yang menyebabkan mereka mudah merasa cemas, sulit untuk memiliki komitmen
pada produk yang telah dipilihnya, tingkat pengetahuan dan keberanian mengambil resiko.
Sedangkan faktor eksternal adalah kondisi diluar individu, dalam hal ini misalnya adanya
sejumlah pilihan dan alternatif produk, bujukan, dan ketersediaan informasi (Hawkins,
Mothersbaugh & Best 2007). Dari kedua faktor di atas, maka faktor eksternal akan menjadi
hal yang menarik untuk dikaji. Misalnya, bagaimana kinerja produk dan ketersediaan
informasi mengenai suatu produk mempengaruhi seorang konsumen setelah dilakukannya
pembelian.
Postpurchase dissonance, seperti berita yang dimuat dalam situs KapanLagi.com
menyatakan bahwa rasa bersalah konsumen berhubungan dengan pembelian yang impulsif
(lapar mata), pembelian yang selalu mengutamakan merek tanpa peduli berapa pun harganya,
hasrat ingin berbelanja serta membeli barang yang ternyata tidak penting. Kemudian, terlalu
memanjakan diri dalam berbelanja juga biasanya membuat konsumen menyesal dan merasa
bersalah. Ketika konsumen mengalami postpurchase dissonance, maka konsumen akan
cenderung lebih peka dan hati-hati terhadap segala macam bentuk komunikasi yang
dilakukan pemasar ataupun penjual. Salah satu bentuk komunikasi yang dilakukan pemasar
Universitas Sumatera Utara
untuk menarik konsumen adalah potongan harga atau dikenal dengan sebutan diskon.
Pemberian diskon bertujuan untuk menarik minat kosumen agar tergiur dengan harga murah
dan membeli produk tersebut. Potongan harga seringkali menjadi godaan bagi para konsumen
meskipun produk tersebut tidak dibutuhkannya. Hal tersebut adalah salah satu alasan
mengapa postpurchase dissonance terjadi pada diri konsumen (Hawkins, Mothersbaugh &
Best, 2007).
Kebanyakan pembelian biasanya diikuti dengan penggunaan produk meskipun
postpurchase dissonance terjadi. Selama atau setelah menggunakan suatu produk, proses
pembelian dan produk akan dievaluasi oleh konsumen. Ketika konsumen merasa tidak puas
terhadap produk tersebut, maka keluhan dari konsumen juga akan meningkat. Hal ini sesuai
hasil penelitian yang dilakukan oleh Keng dan Liao (2009) yang menyebutkan bahwa
postpurchase dissonance secara signifikan memiliki hubungan negatif dengan kepuasan
konsumen dan pembelian kembali. Ketika konsumen mengalami ketidaknyamanan secara
psikologis karena ketidakkonsistenan antara sikap dan perilaku setelah membeli maka hal
tersebut akan berpengaruh negatif terhadap penilaian dan perasaan mereka akan suatu
produk/jasa.
Keng dan Liao (2009) juga menambahkan bahwa postpurchase dissonance
mengakibatkan menurunnya keinginan konsumen untuk tetap menggunakan atau memilih
produk/jasa tersebut. Postpurchase dissonance juga meningkatkan tingkat komplain
seseorang akan produk/jasa itu. Kepuasan konsumen memiliki pengaruh positif terhadap
intensitas membeli kembali produk/jasa dan pengaruh negatif dengan tingkat komplain
konsumen. Untuk itu, ketika konsumen merasa senang terhadap pembelian yang dilakukan
maka mereka cenderung akan tetap menggunakan produk/jasa atau akan membeli kembali
produk/jasa atau akan membeli kembali produk/jasa tersebut kedepannya. Namun, ketika
konsumen mengalami ketidakkonsistenan antara perilaku dan sikap setelah pembelian, maka
Universitas Sumatera Utara
mereka cenderung akan mencari informasi relevan melalui media eksternal seperti internet,
televisi, radio, pendapat keluarga, dan lain-lain untuk memastikan bahwa dirinya telah
membuat keputusan yang memuaskan (Hawkins, Mothersbaugh & Best, 2007).
Fenomena disonansi kognitif lain yang tidak bisa diabaikan adalah pembelian online.
Hal ini dikarenakan adanya ketidakpastian saat membeli produk atau jasa (Koller, Salzberger,
& Streif, 2008). Seiring dengan kemajuan teknologi dalam bidang internet dan komputer,
akses jaringan internet dapat dilakukan dengan mudah dan murah. Berdasarkan hasil riset
yang dilakukan MarkPlus Insight yang dikutip Kompas.com, populasi pengguna internet di
Indonesia yang saat ini mencapai 55.000.000, perlu dipertimbangkan sebagai konsumen
potensial oleh para peritel.
Internet telah mengalami pertumbuhan yang signifikan sejak tahun 1995 sebagian
besar karena World Web Wide yang mudah digunakan dan lebih aplikatif dari versi
sebelumnya (Hanson, 2000). Saat ini penggunaan internet telah menjadi kebutuhan semua
orang, khususnya bagi pelaku bisnis sebagai alat promosi. Internet memainkan peran penting
sebagai sumber informasi sebelum melakukan pembelian dan juga sarana bagi para
konsumen untuk membeli suatu produk yang disebut juga online ritel (Hawkins,
Mothersbaugh dan Best, 2007). Pembelian yang dilakukan secara online merupakan bentuk
komunikasi baru yang tidak memerlukan komunikasi tatap muka secara langsung melainkan
dapat dilakukan secara terpisah dari dan ke seluruh dunia melalui notebook, komputer,
ataupun telepon selular yang terhubung dengan layanan akses internet (Hawkins,
Mothersbaugh dan Best, 2007).
Berdasarkan UCLA Center for Communication Policy (dalam Cole, 2003), pembelian
secara online merupakan salah satu aktivitas internet yang paling populer saat ini. Hal ini
terlihat melalui pesatnya perkembangan online shop sekarang ini. Ritel online yang ada
cukup beragam mulai dari yang berjualan melalui facebook, twitter dan grup BlackBerry
Universitas Sumatera Utara
Messenger hingga ada yang sengaja membuat website khusus untuk memasarkan produk
yang dijualnya.
Online ritel memiliki kelebihan dari segi kenyamanan, harga, waktu, pengiriman
barang dan atribut lain daripada yang ditemui di katalog, pasar tradisional ataupun toko
lainnya. Constantinides (2004) mengatakan bahwa pembelian secara online dapat mengubah
persepsi, sikap dan perilaku klien terhadap ritel tradisional dikarenakan kemudahan yang
ditawarkan. Berdasarkan survey yang dilakukan Roper (dalam Hawkins, Mothersbaugh &
Best, 2007) didapatkan hasil bahwa konsumen lebih memilih untuk tidak berbelanja langsung
ke toko dikarenakan terbatasnya pengetahuan penjual tentang barang yang mereka tawarkan,
banyak waktu yang terbuang dan juga suasana toko yang padat. Selain itu, dengan
berkembangnya gaya hidup dinamis pada konsumen maka pembelian secara online menjadi
salah satu alternatif yang dipilih.
Terlepas dari kelebihan yang ditawarkan dengan pembelian online, terdapat beberapa
kekurangan yaitu dari sisi keamanan dalam melakukan pembayaran dengan kartu kredit, tidak
adanya kontak langsung dengan produk dan biaya pengiriman yang terlalu mahal. Untuk itu,
besar kemungkinan ketika konsumen telah melakukan pembelian secara online, muncul
perasaan khawatir dan ragu terhadap kondisi barang dan lamanya proses pengiriman barang
(Hawkins, Mothersbaugh dan Best, 2007). Bagi sebagian besar konsumen, pembelian secara
offline dianggap menjadi pilihan yang lebih baik bagi mereka. Dengan cara tersebut,
konsumen merasa lebih aman, nyaman, akses dan pilihan produk yang lebih besar, interaktif
dan segera. Levin, Levin & Weller (2005) menambahkan bahwa ketika seseorang
membutuhkan produk/jasa yang sifatnya pribadi dan kebutuhan untuk melihat produk secara
langsung tinggi, maka individu akan lebih memilih untuk melakukan pembelian secara
offline.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan pemaparan di atas, konsumen yang melakukan pembelian secara online
memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk mengalami postpurchase dissonance
dibandingkan dengan konsumen yang melakukan pembelian secara offline. Hal ini
disebabkan dengan kurangnya kontak langsung dengan produk yang dibeli sehingga tidak
dapat dipastikan apakah barang yang dibeli sesuai dengan apa yang bayangkan. Namun,
melakukan pembelian offline tidak menjamin bahwa seorang konsumen bebas dari
postpurchase dissonance. Konsumen bisa saja menemukan alternatif lain yang menyebabkan
postpurchase dissonance. Untuk itu baik pembelian secara online ataupun offline bisa
menyebabkan individu mengalami postpurchase dissonance.
Atas dasar pertimbangan tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul “Perbedaan Postpurchase Dissonance pada Pembelian Secara Online dan
Offline.”
B.
RUMUSAN MASALAH
Apakah terdapat perbedaan postpurchase dissonance pada pembelian secara online
dan offline?
C.
TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan penelitian ini untuk melihat perbedaan postpurchase dissonance antara
pembelian online dengan offline.
D.
MANFAAT PENELITIAN
1.
Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi disiplin ilmu Psikologi
Industri dan Organisasi, khususnya mengenai perilaku konsumen dan proses-proses yang
Universitas Sumatera Utara
terjadi dalam proses pembelian suatu barang oleh konsumen, dalam hal ini postpurchase
dissonance. Selanjutnya, penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar untuk memahami
perbedaan postpurchase dissonance yang dialami oleh konsumen yang melakukan pembelian
secara online ataupun offline
2.
Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
a. Ahli pemasaran secara umum agar dapat menentukan strategi pemasaran yang tepat.
Ketika menjual produk yang sifatnya personal dan membutuhkan kontak dengan
produk, maka penjualan secara offline akan lebih efektif. Sedangkan produk yang
sifatnya tidak berisiko tinggi seperti tiket perjalanan, buku, pakaian, dan lain-lain
dapat dijual secara online.
b. Pemasar online dan web site designer memberikan perhatian khusus saat mendesain
dan membentuk retail online yang sesuai dengan minat pasar.
c. Para konsumen, dalam melakukan pertimbangan terlebih dahulu sebelum melakukan
pembelian.
E.
SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan
Bab ini terdiri dari latar belakang penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan
sistematika penelitian. Dalam bab ini digambarkan berbagai literatur serta beberapa
hasil penelitian sebelumnya mengenai postpurchase dissonance, dan dari beberapa
literatur dan penelitian sebelumnya tersebut dapat dilihat bagaimana seorang
konsumen dihadapkan pada beberapa alternatif produk sejenis yang dapat
Universitas Sumatera Utara
mengakibatkan kecemasan ataupun keraguan atas keputusan membeli yang telah
konsumen tersebut lakukan, sehingga para produsen harus dapat memahami gejala
tersebut dan menetapkan strategi yang tepat untuk mengatasi hal tersebut.
Bab II Landasan Teori
Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek
penelitian. Memuat landasan teori mengenai postpurchase dissonance, faktor-faktor
yang mempengaruhi dan aspek-aspek postpurchase dissonance. Dalam bab ini juga
menjelaskan bagaimana kelebihan dan kekurangan metode pemasaran online dan
offline. Setelah itu, dijelaskan pula hipotesa sebagai jawaban sementara terhadap
masalah penelitian yang menjelaskan perbedaan postpurchase dissonance pada orang
yang melakukan pembelian secara online dan offline.
Bab III Metode Penelitian
Bab ini menguraikan identifikasi variabel, definisi operasional variabel, metode
pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, uji validitas dan reliabilitas alat ukur,
dan metode analisa data yang digunakan untuk mengolah hasil data penelitian.
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah tipe pembelian yaitu pembelian online dan
pembelian offline, dan variabel tergantungnya adalah postpurchase dissonance. Alat
ukur yang digunakan adalah skala postpurchase dissonance.
Bab IV Analisa Data dan Pembahasan
Bab ini berisi tentang hasil penelitian yang disertai dengan interpretasi dan
pembahasan.
Bab V Kesimpulan dan Saran
Universitas Sumatera Utara
Download