3 2 TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan dan Biologi Tanaman Kedelai Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) bukanlah tanaman asli Indonesia. Kedelai diduga berasal dari daratan China Utara atau kawasan subtropis. Kedelai termasuk ke dalam famili Leguminoceae, sub famili Papilionoideae dan genus Glycine. Kedelai diklasifikasikan menjadi tiga subgenus, yaitu Glycine, Bracteata, dan Soja (Hidajat 1985). Subgenus kedelai yang banyak dibudidayakan adalah subgenus Soja. Subgenus Soja terdiri atas dua jenis, yaitu Glycine ussuriensis dan Glycine max. Glycine ussuriensis merupakan kedelai liar yang merambat dengan daun bertangkai tiga, kecil dan sempit, berbunga ungu serta berbiji kecil keras berwarna hitam hingga coklat tua. Glycine max memiliki warna bunga putih atau ungu, memiliki bentuk daun dan biji yang beragam (Hidajat 1985). Tanaman kedelai berbatang pendek (30-100cm), memiliki 3-6 percabangan, berbentuk tanaman perdu, dan berkayu. Berdasarkan letak bunga pada ujung batang, pertumbuhan batang kedelai dibedakan menjadi dua tipe yaitu tipe determinate dan indeterminate. Pertumbuhan batang tipe determinate ditunjukkan dengan bunga yang terletak pada pucuk sehingga batang tidak tumbuh lagi pada saat tanaman mulai berbunga. Pertumbuhan indeterminate dicirikan dengan bunga yang terletak pada ketiak daun sehingga pada pucuk batang tetap tumbuh daun, walaupun tanaman sudah mulai berbunga (Adisarwanto 2007). Tanaman kedelai memiliki empat tipe daun, yaitu kotiledon atau daun biji, dua helai daun primer sederhana (unifoliat), daun bertiga (trifoliat), dan profila (Adisarwanto&Wudianto 2002). Kedelai memiliki dua tipe daun yang berkembang yaitu unifoliat yang terletak di buku bagian bawah dan trifoliat yang terletak di cabang utama. Bentuk daun kedelai adalah lancip, bulat, lonjong, atau lonjong-lancip. Tanaman kedelai dapat mengalami dua fase pertumbuhan yaitu fase pertumbuhan vegetatif dan fase pertumbuhan reproduktif. Fase pertumbuhan vegetative dihitung sejak tanaman mulai muncul dari permukaan tanah sampai saat mulai berbunga. Sedangkan fase pertumbuhan reproduktif (generatif) dihitung sejak tanaman kedelai mulai berbunga sampai pembentukan polong, perkembangan biji dan pemasakan biji. Polong kedelai pertama kali terbentuk sekitar 7-10 hari setelah munculnya bunga pertama. Jumlah polong yang terbentuk pada ketiak daun sangat beragam, antara 1-10 buah dalam setiap kelompok. Ukuran dan bentuk polong menjadi maksimal pada saat awal periode pemasakan biji. Hal ini diikuti oleh perubahan warna polong yaitu dari hijau menjadi kuning kecoklatan pada saat masak (Irwan 2006). Secara umum fase pertumbuhan kedelai dapat dibagi menjadi 9 tahap yaitu: stadium kecambah awal (VE), stadium kecambah akhir (VC), stadium vegetatif 1 (V1), stadium vegetatif 2 (V2), stadium vegetatif 3 (V3), stadium reproduktif awal (R1), stadium reproduktif (R3), stadium pembentukan polong (R5), senesen (R8) (Gambar 1). 4 Gambar 1 Stadia pertumbuhan tanaman kedelai (Irwan 2006) Tanggapan Kedelai terhadap Beberapa Faktor Iklim Faktor iklim yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman kedelai adalah lama penyinaran, intensitas cahaya matahari, suhu, kelembaban udara, dan curah hujan. Kedelai merupakan tanaman semusim. Kedelai tidak akan berbunga bila lama penyinaran (panjang hari) melampaui batas kritis yaitu melebihi 16 jam. Sebaliknya, lama penyinaran kurang dari 12 jam akan mempercepat pembungaan (Sumarno & Manshuri 2007). Cahaya adalah faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman kedelai. Interaksi antara suhu, intensitas radiasi matahari, dan kelembaban tanah sangat menentukan laju pertumbuhan tanaman kedelai. Suhu di dalam tanah dan di atmosfer berpengaruh terhadap pertumbuhan akar dan tanaman kedelai. Suhu berinteraksi dengan lama penyinaran (photo period) dan berperan dalam menentukan waktu berbunga serta pembentukan polong. Suhu yang rendah akan menghambat pembentukan polong, sedangkan suhu yang tinggi berakibat pada rontoknya daun (Sumarno & Manshuri2007). Pengaruh langsung kelembaban udara terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman berkaitan dengan perkembangan hama dan penyakit tertentu. Kelembaban udara terutama berpengaruh terhadap proses pemasakan biji dan kualitas benih. Kelembaban udara yang optimal bagi tanaman kedelai berkisar antara 75-90% selama periode tanaman tumbuh sampai fase pengisian polong dan kelembaban udara rendah (60-75%) pada waktu pemasakan polong sampai panen (Sumarno & Manshuri 2007). Curah hujan yang tinggi selama proses pengisian polong menurunkan kualitas biji dan mutu benih. Secara umum kebutuhan air untuk kedelai umur 80-90 hari berkisar antara 360-405 mm/bulan (Sumarno & Manshuri 2007). Curah hujan yang berkisar 200250 mm masih dapat ditoleransi oleh tanaman kedelai, namun bila curah hujan kurang dari 200 mm/bulan, maka kurang sesuai untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman kedelai (Adisarwanto 2007). 5 Varietas Kedelai Penggunaan varietas unggul atau varietas yang sesuai pada lingkungan (agroekologi) setempat merupakan salah satu syarat penting. Potensi hasil biji di lapangan dipengaruhi oleh interaksi antara faktor genetik varietas dan pengelolaaan kondisi lingkungan tumbuh. Bila pengelolaan lingkungan tumbuh tidak dilakukan dengan baik maka potensi daya hasil biji yang tinggi dari varietas unggul tersebut tidak dapat tercapai (Adisarwanto 2007). Suhu Suhu merupakan faktor penting untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman kedelai. Apabila ketersediaan air cukup di lapang, tanaman kedelai masih bisa tumbuh baik pada suhu 360C dan berhenti tumbuh pada suhu 90C. Suhu optimum untuk pertumbuhan kedelai antara 180-300C, sedangkan rata-rata suhu harian berkisar antara 200-250C. Suhu yang lebih rendah dari 230C umumnya memperlambat pembungaan tanaman. Pembungaan pada kedelai lebih cepat terjadi pada suhu 260-320C, akan tetapi suhu yang terlalu tinggi (370C) akan menghambat pertumbuhan bunga. Suhu yang terlalu tinggi juga dapat berpengaruh buruk terhadap perkembangan polong dan biji. Polong kedelai terbentuk optimal pada suhu antara 260-320C (Pitojo 2003). Pemuliaan Tanaman Kedelai Pemuliaan kedelai di Indonesia secara umum bertujuan untuk menghasilkan varietas unggul berdaya hasil tinggi dan beradaptasi untuk berbagai agroekologi. Sejak tahun 1990, program perakitan varietas kedelai mulai diarahkan untuk beradaptasi pada agroekologi spesifik seperti lahan sawah (irigasi dan tadah hujan), lahan kering (masam dan bukan masam), dan lahan rawa. Pemuliaan untuk mendapatkan varietas unggul kedelai pada dasarnya meliputi empat tahap penting, yaitu pembentukan populasi dasar untuk bahan seleksi, pembentukan galur murni, pengujian daya hasil, pemurnian dan penyediaan benih. Kegiatan pemuliaan tanaman kedelai diawali dengan melakukan seleksi terhadap varietas lokal dan introduksi. Introduksi adalah suatu upaya mendatangkan suatu kultivar tanaman dari suatu wilayah ke wilayah baru. Cara pemilihan tanaman dapat dilakukan dengan seleksi massa maupun seleksi galur murni. Seleksi massa didasarkan pada penampilan luar (fenotipe). Pada seleksi massa, biji tanaman yang terpilih disatukan dan dijadikan sebagai benih untuk generasi berikutnya. Seleksi galur murni dilakukan dengan memilih tanaman terbaik dari barisan terbaik. Tanaman yang terpilih secara individual dipanen terpisah dan diberi nomor sendiri untuk bahan tanam musim berikutnya (Mangoendidjojo 2003). Selain dengan metode seleksi pada plasma nutfah yang telah ada, pemuliaan dapat dilakukan melalui persilangan di antara individu-individu yang berbeda sifatnya lalu dilanjutkan dengan seleksi. Persilangan bertujuan untuk menghasilkan keragaman genetik pada populasi dasar dan menggabungkan sifat- 6 sifat baik yang diinginkan. Penggabungan sifat-sifat baik dapat dilakukan dengan single-cross (silang tunggal antara dua tetua) dan threeway-cross (silang tiga tetua). Persilangan diantara individu-individu yang berbeda sifatnya pada generasi F1 menghasilkan populasi yang bersegregasi (F2) yang memberikan peluang adanya keragaman genetik pada populasi tersebut. Individu-individu pada generasi bersegregasi (F2) yang terpilih kemudian ditanam dan diseleksi lagi untuk mendapatkan galur-galur homozigot. Umumnya galur-galur homozigot hasil seleksi dievaluasi terlebih dahulu selama satu musim dan kemudian galur-galur yang superior dievaluasi lebih lanjut dalam pengujian daya hasil. Pengujian daya hasil meliputi tiga tahap yaitu uji daya hasil pendahuluan (UDHP) terutama dilakukan terhadap 50-60 galur homozigot dilokasi yang terbatas (1-2 lokasi), uji daya hasil lanjutan (UDHL) dilakukan terhadap 15-20 galur di 4-5 lokasi, dan uji multi lokasi (UML) 8-10 galur termasuk varietas pembanding di 10-12 lokasi pada dua musim tanam. Tahap uji daya hasil pendahuluan membutuhkan galur dalam jumlah yang besar agar peluang untuk memperoleh galur yang hasilnya tinggi juga cukup besar pula. Pada tahap uji daya hasil lanjutan, umumnya galur yang diuji berjumlah 10-20 galur termasuk varietas unggul pembanding, dilakukan sekurang-kurangnya di empat lokasi selama 2–4 musim. Selanjutnya, dilakukan uji multilokasi terhadap 5–10 galur harapan dengan tujuan mengetahui daya adaptasi dari galur-galur harapan yang akan dilepas sebagai varietas baru. Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi Institut Pertanian Bogor (PPSHB-IPB) sejak tahun 2001 telah menyilangkan varietas unggul nasional Slamet yang berukuran biji sedang dan berproduksi tinggi dengan varietas Nokonsawon yang berukuran biji besar (Paserang 2003). Sasaran akhir dari program pemuliaan ini adalah untuk memperoleh varietas berdaya hasil tinggi, berukuran biji besar dan toleran tanah masam. Seleksi dengan menggunakan metode seleksi biji tunggal (single seed descen) telah dilakukan terhadap turunan persilangan antara Slamet dan Nokonsawan sampai dengan generasi F7. Analisis kemantapan genetik dari setiap kelompok keturunan (famili) dilakukan pada generasi F7. Generasi F2 (Generasi Seleksi 0, S0) mempunyai ragam fenotipe yang besar untuk semua sifat dengan rentang melampaui rentang kedua tetua. Generasi F2 menunjukkan produksi biji 19.6±1.56 dengan ukuran biji 15.09±2.15 g/100 biji, Slamet 13.12±0.46 dan Nokonsawon 15.80±0.88 (Paserang 2003). Dasumiati (2003) melakukan seleksi pada generasi F3 (S1) dan F4 (S2) dan menunjukkan bahwa generasi F3 menghasilkan produksi biji rata-rata 9.01±4.47 g/tanaman (Slamet 4.17±2.45 dan Nokonsawon 3.16±1.03) dan ukuran biji 15.26±2.51 g/100 biji (Slamet 10.98±2.17 dan Nokonsawon 19.6±2.49). Generasi F4 mempunyai produksi biji 2.86±1.71 g/tanaman (Slamet 2.53±0.75 dan Nokonsawon 2.01±0.71) dan ukuran biji 14.54±2.72 g/100 biji (Slamet 11.21±1.5 dan Nokonsawon 15.53±2.02). Seleksi dengan intensitas 5% terhadap generasi F4 menghasilkan 250 familifamili kandidat generasi F5 (S3 dengan produksi biji 7.82±2.06 g/tanaman dan ukuran biji 18.29±2.28 g/100 biji). Produksi biji yang lebih tinggi pada generasi S1 (F3) dan S2 (F4) karena kedua generasi ditanam pada waktu dan kondisi yang berbeda, generasi S1 ditanam pada bulan Maret sampai Juni 2002 mendapatkan curah hujan yang lebih banyak dibandingkan generasi S2 yang ditanam pada 7 bulan Agustus sampai Oktober 2002. Jambormias (2004) menunjukkan bahwa keragaman sifat-sifat kuantitatif (kecuali sifat ukuran biji) generasi F5 lebih rendah bila dibandingkan dengan tetua (Slamet). Sifat-sifat kuantitatif (kecuali sifat ukuran biji dan produksi biji) generasi F6 juga lebih rendah daripada tetua (Slamet), namun keragaan sifat-sifat kuantitatif untuk kedua generasi tersebut lebih baik daripada Nokonsawon. Bastanta (2004) telah melakukan analisis kemantapan genetik pada F7 terhadap 25 galur hasil persilangan varietas Slamet dengan Nokonsawon dan menunjukkan bahwa galur-galur tersebut sudah seragam dalam hal produksi biji. Uji daya hasil yang dilakukan di Majalengka terhadap delapan belas galur harapan kedelai hasil persilangan varietas Slamet dengan Nokonsawon menunjukkan bahwa galur KH 71 mempunyai produksi yang tinggi dan beradaptasi baik pada dua musim tanam (Astuti 2011). Budidaya Tanaman Kedelai Teknik budidaya kedelai meliputi penyiapan lahan, pemupukan pengairan, pengendalian hama dan penyakit, dan panen (Deptan 2009b). Kedelai yang ditanam setelah padi sawah tidak memerlukan pengolahan tanah. Lahan diberi saluran drainase dengan kedalaman 25-30 cm dan lebar 30 cm. Pupuk diberikan dengan cara penaburan dalam larikan yang dibuat di dekat lubang tanam di sepanjang barisan kedelai. Penanaman di lahan sawah memerlukan pupuk yaitu 100 kg urea, 150 kg SP36 dan 100 kg KCl. Pupuk organik diberikan dengan dosis 5-10 ton/ha kotoran ayam atau kotoran sapi. Ketersediaan air merupakan hal yang sangat penting dalam produksi kedelai (Edward & Purcell 2005). Fase pertumbuhan tanaman yang sangat peka terhadap kekurangan air adalah awal pertumbuhan vegetatif yaitu sekitar 15-21 HST (hari setelah tanam), saat periode berbunga 25-35 HST dan saat pengisian polong 55-70 HST. Pengendalian hama dan penyakit dapat dilakukan secara biologis maupun buatan. Kehilangan hasil kedelai akibat serangan hama dan penyakit sangat beragam tergantung pada kerapatan populasi, varietas kedelai yang ditanam, faktor-faktor lingkungan terutama kelembaban dan suhu, dan cara pengelolaan. Panen dilakukan apabila 90% jumlah polong pada batang utama telah matang berwarna kuning kecoklatan atau kehitaman dan sebagian besar daunnya sudah rontok. Uji Daya Hasil Menentukan besarnya potensi hasil suatu galur harapan dapat dilakukan melalui suatu pengujian yaitu uji daya hasil. Daya hasil merupakan kriteria utama dalam seleksi varietas.Uji daya hasil dilakukan terhadap galur-galur terbaik hasil seleksi. Tinggi batang dan jumlah polong per batang dapat digunakan sebagai kriteria seleksi. Galur kedelai memiliki daya hasil tinggi apabila batangnya cukup tinggi dan jumlah polong per batang cukup banyak dibandingkan dengan varietas standar (Sumarno et al. 2006).