2 tinjauan pustaka

advertisement
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
Perkembangan dan Biologi Tanaman Kedelai
Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) bukanlah tanaman asli Indonesia. Kedelai
diduga berasal dari daratan China Utara atau kawasan subtropis. Kedelai termasuk
ke dalam famili Leguminoceae, sub famili Papilionoideae dan genus Glycine.
Kedelai diklasifikasikan menjadi tiga subgenus, yaitu Glycine, Bracteata, dan
Soja (Hidajat 1985).
Subgenus kedelai yang banyak dibudidayakan adalah subgenus Soja.
Subgenus Soja terdiri atas dua jenis, yaitu Glycine ussuriensis dan Glycine max.
Glycine ussuriensis merupakan kedelai liar yang merambat dengan daun
bertangkai tiga, kecil dan sempit, berbunga ungu serta berbiji kecil keras berwarna
hitam hingga coklat tua. Glycine max memiliki warna bunga putih atau ungu,
memiliki bentuk daun dan biji yang beragam (Hidajat 1985).
Tanaman kedelai berbatang pendek (30-100cm), memiliki 3-6 percabangan,
berbentuk tanaman perdu, dan berkayu. Berdasarkan letak bunga pada ujung
batang, pertumbuhan batang kedelai dibedakan menjadi dua tipe yaitu tipe
determinate dan indeterminate. Pertumbuhan batang tipe determinate ditunjukkan
dengan bunga yang terletak pada pucuk sehingga batang tidak tumbuh lagi pada
saat tanaman mulai berbunga. Pertumbuhan indeterminate dicirikan dengan bunga
yang terletak pada ketiak daun sehingga pada pucuk batang tetap tumbuh daun,
walaupun tanaman sudah mulai berbunga (Adisarwanto 2007).
Tanaman kedelai memiliki empat tipe daun, yaitu kotiledon atau daun biji,
dua helai daun primer sederhana (unifoliat), daun bertiga (trifoliat), dan profila
(Adisarwanto&Wudianto 2002). Kedelai memiliki dua tipe daun yang
berkembang yaitu unifoliat yang terletak di buku bagian bawah dan trifoliat yang
terletak di cabang utama. Bentuk daun kedelai adalah lancip, bulat, lonjong, atau
lonjong-lancip.
Tanaman kedelai dapat mengalami dua fase pertumbuhan yaitu fase
pertumbuhan vegetatif dan fase pertumbuhan reproduktif. Fase pertumbuhan
vegetative dihitung sejak tanaman mulai muncul dari permukaan tanah sampai
saat mulai berbunga. Sedangkan fase pertumbuhan reproduktif (generatif)
dihitung sejak tanaman kedelai mulai berbunga sampai pembentukan polong,
perkembangan biji dan pemasakan biji. Polong kedelai pertama kali terbentuk
sekitar 7-10 hari setelah munculnya bunga pertama. Jumlah polong yang
terbentuk pada ketiak daun sangat beragam, antara 1-10 buah dalam setiap
kelompok. Ukuran dan bentuk polong menjadi maksimal pada saat awal periode
pemasakan biji. Hal ini diikuti oleh perubahan warna polong yaitu dari hijau
menjadi kuning kecoklatan pada saat masak (Irwan 2006). Secara umum fase
pertumbuhan kedelai dapat dibagi menjadi 9 tahap yaitu: stadium kecambah awal
(VE), stadium kecambah akhir (VC), stadium vegetatif 1 (V1), stadium vegetatif 2
(V2), stadium vegetatif 3 (V3), stadium reproduktif awal (R1), stadium
reproduktif (R3), stadium pembentukan polong (R5), senesen (R8) (Gambar 1).
4
Gambar 1 Stadia pertumbuhan tanaman kedelai (Irwan 2006)
Tanggapan Kedelai terhadap Beberapa Faktor Iklim
Faktor iklim yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman kedelai adalah
lama penyinaran, intensitas cahaya matahari, suhu, kelembaban udara, dan curah
hujan. Kedelai merupakan tanaman semusim. Kedelai tidak akan berbunga bila
lama penyinaran (panjang hari) melampaui batas kritis yaitu melebihi 16 jam.
Sebaliknya, lama penyinaran kurang dari 12 jam akan mempercepat pembungaan
(Sumarno & Manshuri 2007).
Cahaya adalah faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan tanaman kedelai. Interaksi antara suhu, intensitas radiasi
matahari, dan kelembaban tanah sangat menentukan laju pertumbuhan tanaman
kedelai. Suhu di dalam tanah dan di atmosfer berpengaruh terhadap pertumbuhan
akar dan tanaman kedelai. Suhu berinteraksi dengan lama penyinaran (photo
period) dan berperan dalam menentukan waktu berbunga serta pembentukan
polong. Suhu yang rendah akan menghambat pembentukan polong, sedangkan
suhu yang tinggi berakibat pada rontoknya daun (Sumarno & Manshuri2007).
Pengaruh langsung kelembaban udara terhadap pertumbuhan dan
perkembangan tanaman berkaitan dengan perkembangan hama dan penyakit
tertentu. Kelembaban udara terutama berpengaruh terhadap proses pemasakan biji
dan kualitas benih. Kelembaban udara yang optimal bagi tanaman kedelai berkisar
antara 75-90% selama periode tanaman tumbuh sampai fase pengisian polong dan
kelembaban udara rendah (60-75%) pada waktu pemasakan polong sampai panen
(Sumarno & Manshuri 2007). Curah hujan yang tinggi selama proses pengisian
polong menurunkan kualitas biji dan mutu benih.
Secara umum kebutuhan air untuk kedelai umur 80-90 hari berkisar antara
360-405 mm/bulan (Sumarno & Manshuri 2007). Curah hujan yang berkisar 200250 mm masih dapat ditoleransi oleh tanaman kedelai, namun bila curah hujan
kurang dari 200 mm/bulan, maka kurang sesuai untuk mendukung pertumbuhan
dan perkembangan tanaman kedelai (Adisarwanto 2007).
5
Varietas Kedelai
Penggunaan varietas unggul atau varietas yang sesuai pada lingkungan
(agroekologi) setempat merupakan salah satu syarat penting. Potensi hasil biji di
lapangan dipengaruhi oleh interaksi antara faktor genetik varietas dan
pengelolaaan kondisi lingkungan tumbuh. Bila pengelolaan lingkungan tumbuh
tidak dilakukan dengan baik maka potensi daya hasil biji yang tinggi dari varietas
unggul tersebut tidak dapat tercapai (Adisarwanto 2007).
Suhu
Suhu merupakan faktor penting untuk pertumbuhan dan perkembangan
tanaman kedelai. Apabila ketersediaan air cukup di lapang, tanaman kedelai masih
bisa tumbuh baik pada suhu 360C dan berhenti tumbuh pada suhu 90C. Suhu
optimum untuk pertumbuhan kedelai antara 180-300C, sedangkan rata-rata suhu
harian berkisar antara 200-250C. Suhu yang lebih rendah dari 230C umumnya
memperlambat pembungaan tanaman. Pembungaan pada kedelai lebih cepat
terjadi pada suhu 260-320C, akan tetapi suhu yang terlalu tinggi (370C) akan
menghambat pertumbuhan bunga. Suhu yang terlalu tinggi juga dapat
berpengaruh buruk terhadap perkembangan polong dan biji. Polong kedelai
terbentuk optimal pada suhu antara 260-320C (Pitojo 2003).
Pemuliaan Tanaman Kedelai
Pemuliaan kedelai di Indonesia secara umum bertujuan untuk menghasilkan
varietas unggul berdaya hasil tinggi dan beradaptasi untuk berbagai agroekologi.
Sejak tahun 1990, program perakitan varietas kedelai mulai diarahkan untuk
beradaptasi pada agroekologi spesifik seperti lahan sawah (irigasi dan tadah
hujan), lahan kering (masam dan bukan masam), dan lahan rawa. Pemuliaan untuk
mendapatkan varietas unggul kedelai pada dasarnya meliputi empat tahap penting,
yaitu pembentukan populasi dasar untuk bahan seleksi, pembentukan galur murni,
pengujian daya hasil, pemurnian dan penyediaan benih. Kegiatan pemuliaan
tanaman kedelai diawali dengan melakukan seleksi terhadap varietas lokal dan
introduksi. Introduksi adalah suatu upaya mendatangkan suatu kultivar tanaman
dari suatu wilayah ke wilayah baru.
Cara pemilihan tanaman dapat dilakukan dengan seleksi massa maupun
seleksi galur murni. Seleksi massa didasarkan pada penampilan luar (fenotipe).
Pada seleksi massa, biji tanaman yang terpilih disatukan dan dijadikan sebagai
benih untuk generasi berikutnya. Seleksi galur murni dilakukan dengan memilih
tanaman terbaik dari barisan terbaik. Tanaman yang terpilih secara individual
dipanen terpisah dan diberi nomor sendiri untuk bahan tanam musim berikutnya
(Mangoendidjojo 2003).
Selain dengan metode seleksi pada plasma nutfah yang telah ada, pemuliaan
dapat dilakukan melalui persilangan di antara individu-individu yang berbeda
sifatnya lalu dilanjutkan dengan seleksi. Persilangan bertujuan untuk
menghasilkan keragaman genetik pada populasi dasar dan menggabungkan sifat-
6
sifat baik yang diinginkan. Penggabungan sifat-sifat baik dapat dilakukan dengan
single-cross (silang tunggal antara dua tetua) dan threeway-cross (silang tiga
tetua). Persilangan diantara individu-individu yang berbeda sifatnya pada generasi
F1 menghasilkan populasi yang bersegregasi (F2) yang memberikan peluang
adanya keragaman genetik pada populasi tersebut.
Individu-individu pada generasi bersegregasi (F2) yang terpilih kemudian
ditanam dan diseleksi lagi untuk mendapatkan galur-galur homozigot. Umumnya
galur-galur homozigot hasil seleksi dievaluasi terlebih dahulu selama satu musim
dan kemudian galur-galur yang superior dievaluasi lebih lanjut dalam pengujian
daya hasil. Pengujian daya hasil meliputi tiga tahap yaitu uji daya hasil
pendahuluan (UDHP) terutama dilakukan terhadap 50-60 galur homozigot
dilokasi yang terbatas (1-2 lokasi), uji daya hasil lanjutan (UDHL) dilakukan
terhadap 15-20 galur di 4-5 lokasi, dan uji multi lokasi (UML) 8-10 galur
termasuk varietas pembanding di 10-12 lokasi pada dua musim tanam. Tahap uji
daya hasil pendahuluan membutuhkan galur dalam jumlah yang besar agar
peluang untuk memperoleh galur yang hasilnya tinggi juga cukup besar pula. Pada
tahap uji daya hasil lanjutan, umumnya galur yang diuji berjumlah 10-20 galur
termasuk varietas unggul pembanding, dilakukan sekurang-kurangnya di empat
lokasi selama 2–4 musim. Selanjutnya, dilakukan uji multilokasi terhadap 5–10
galur harapan dengan tujuan mengetahui daya adaptasi dari galur-galur harapan
yang akan dilepas sebagai varietas baru.
Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi Institut Pertanian
Bogor (PPSHB-IPB) sejak tahun 2001 telah menyilangkan varietas unggul
nasional Slamet yang berukuran biji sedang dan berproduksi tinggi dengan
varietas Nokonsawon yang berukuran biji besar (Paserang 2003). Sasaran akhir
dari program pemuliaan ini adalah untuk memperoleh varietas berdaya hasil
tinggi, berukuran biji besar dan toleran tanah masam.
Seleksi dengan menggunakan metode seleksi biji tunggal (single seed
descen) telah dilakukan terhadap turunan persilangan antara Slamet dan
Nokonsawan sampai dengan generasi F7. Analisis kemantapan genetik dari setiap
kelompok keturunan (famili) dilakukan pada generasi F7. Generasi F2 (Generasi
Seleksi 0, S0) mempunyai ragam fenotipe yang besar untuk semua sifat dengan
rentang melampaui rentang kedua tetua. Generasi F2 menunjukkan produksi biji
19.6±1.56 dengan ukuran biji 15.09±2.15 g/100 biji, Slamet 13.12±0.46 dan
Nokonsawon 15.80±0.88 (Paserang 2003). Dasumiati (2003) melakukan seleksi
pada generasi F3 (S1) dan F4 (S2) dan menunjukkan bahwa generasi F3
menghasilkan produksi biji rata-rata 9.01±4.47 g/tanaman (Slamet 4.17±2.45 dan
Nokonsawon 3.16±1.03) dan ukuran biji 15.26±2.51 g/100 biji (Slamet
10.98±2.17 dan Nokonsawon 19.6±2.49). Generasi F4 mempunyai produksi biji
2.86±1.71 g/tanaman (Slamet 2.53±0.75 dan Nokonsawon 2.01±0.71) dan ukuran
biji 14.54±2.72 g/100 biji (Slamet 11.21±1.5 dan Nokonsawon 15.53±2.02).
Seleksi dengan intensitas 5% terhadap generasi F4 menghasilkan 250 familifamili kandidat generasi F5 (S3 dengan produksi biji 7.82±2.06 g/tanaman dan
ukuran biji 18.29±2.28 g/100 biji). Produksi biji yang lebih tinggi pada generasi
S1 (F3) dan S2 (F4) karena kedua generasi ditanam pada waktu dan kondisi yang
berbeda, generasi S1 ditanam pada bulan Maret sampai Juni 2002 mendapatkan
curah hujan yang lebih banyak dibandingkan generasi S2 yang ditanam pada
7
bulan Agustus sampai Oktober 2002. Jambormias (2004) menunjukkan bahwa
keragaman sifat-sifat kuantitatif (kecuali sifat ukuran biji) generasi F5 lebih
rendah bila dibandingkan dengan tetua (Slamet). Sifat-sifat kuantitatif (kecuali
sifat ukuran biji dan produksi biji) generasi F6 juga lebih rendah daripada tetua
(Slamet), namun keragaan sifat-sifat kuantitatif untuk kedua generasi tersebut
lebih baik daripada Nokonsawon. Bastanta (2004) telah melakukan analisis
kemantapan genetik pada F7 terhadap 25 galur hasil persilangan varietas Slamet
dengan Nokonsawon dan menunjukkan bahwa galur-galur tersebut sudah seragam
dalam hal produksi biji. Uji daya hasil yang dilakukan di Majalengka terhadap
delapan belas galur harapan kedelai hasil persilangan varietas Slamet dengan
Nokonsawon menunjukkan bahwa galur KH 71 mempunyai produksi yang tinggi
dan beradaptasi baik pada dua musim tanam (Astuti 2011).
Budidaya Tanaman Kedelai
Teknik budidaya kedelai meliputi penyiapan lahan, pemupukan pengairan,
pengendalian hama dan penyakit, dan panen (Deptan 2009b). Kedelai yang
ditanam setelah padi sawah tidak memerlukan pengolahan tanah. Lahan diberi
saluran drainase dengan kedalaman 25-30 cm dan lebar 30 cm. Pupuk diberikan
dengan cara penaburan dalam larikan yang dibuat di dekat lubang tanam di
sepanjang barisan kedelai. Penanaman di lahan sawah memerlukan pupuk yaitu
100 kg urea, 150 kg SP36 dan 100 kg KCl. Pupuk organik diberikan dengan dosis
5-10 ton/ha kotoran ayam atau kotoran sapi. Ketersediaan air merupakan hal yang
sangat penting dalam produksi kedelai (Edward & Purcell 2005). Fase
pertumbuhan tanaman yang sangat peka terhadap kekurangan air adalah awal
pertumbuhan vegetatif yaitu sekitar 15-21 HST (hari setelah tanam), saat periode
berbunga 25-35 HST dan saat pengisian polong 55-70 HST.
Pengendalian hama dan penyakit dapat dilakukan secara biologis maupun
buatan. Kehilangan hasil kedelai akibat serangan hama dan penyakit sangat
beragam tergantung pada kerapatan populasi, varietas kedelai yang ditanam,
faktor-faktor lingkungan terutama kelembaban dan suhu, dan cara pengelolaan.
Panen dilakukan apabila 90% jumlah polong pada batang utama telah matang
berwarna kuning kecoklatan atau kehitaman dan sebagian besar daunnya sudah
rontok.
Uji Daya Hasil
Menentukan besarnya potensi hasil suatu galur harapan dapat dilakukan
melalui suatu pengujian yaitu uji daya hasil. Daya hasil merupakan kriteria utama
dalam seleksi varietas.Uji daya hasil dilakukan terhadap galur-galur terbaik hasil
seleksi. Tinggi batang dan jumlah polong per batang dapat digunakan sebagai
kriteria seleksi. Galur kedelai memiliki daya hasil tinggi apabila batangnya cukup
tinggi dan jumlah polong per batang cukup banyak dibandingkan dengan varietas
standar (Sumarno et al. 2006).
Download