Powered by TCPDF (www.tcpdf.org) Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2, ISSN : 2443-1257 PROSIDING SEMINAR NASIONAL MATEMATIKA DAN PENDIDIKAN MATEMATIKA “Etnomatematika, Matematika dalam Perspektif Sosial dan Budaya” PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP) PGRI SUMATERA BARAT Editor: Dra. Rahmi, M.Si Tika Septia, S.Si, M.Pd Anna Cesaria, M.Pd Dewi Estetika Sari, M.Si Sofia Edriati, S.Si, M.Pd STKIP PGRI SUMATERA BARAT PRESS ii Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2, No.1, ISSN : 2443-1257 KATA PENGANTAR Puji syukur kita ucapkan atas kehadirat Allah SWT sehingga Prosiding Seminar Matematika dan Pendidikan Matematika ini dapat diselesaikan. Prosiding ini bertujuan mendokumentasikan dan mengkomunikasikan hasil presentasi makalah pada Seminar Matematika dan Pendidikan Matematika yang terselenggara pada Program Studi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Sumatera Barat. Jumlah makalah yang masuk 29 makalah dari 12 Perguruan Tinggi dan Institusi yang terkait. Makalah-makalah tersebut telah dipresentasikan di Seminar Matematika dan Pendidikan Matematika pada tanggal 16 April 2016. Makalah terdiri dari 13,8 % makalah untuk Matematika dan 86,2 % untuk Pendidikan Matematika. Terima kasih disampaikan kepada pemakalah yang telah berpartisipasi pada desiminasi hasil kajian/penelitian yang dimuat pada Prosiding ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Tim Prosiding dan segenap panitia yang terlibat. Semoga Prosiding ini bermanfaat. Ketua Panitia, Anna Cesaria, M.Pd iii Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2, ISSN : 2443-1257 DAFTAR ISI Halaman Judul ................................................................................................ i Kata Pengantar ............................................................................................... iii Daftar Isi .......................................................................................................... iv Makalah Matematika No Pemakalah 1 Agus Dahlia 2 Alona Dwinata 3 Dedi Mardianto 4 Hazmira Yozza, Maiyastri Judul KONVERGEN SERAGAM INTEGRAL HENSTOCK-KURZWEIL DARI FUNGSI BERNILAI DI RUANG BANACH ANALISIS REGRESI LOGISTIK BINER PADA PEMODELAN PARTISIPASI PEMILIH DALAM PEMILIHAN GUBERNUR PROVINSI KEPULAUAN RIAUTAHUN 2015 (STUDI KASUS: KELURAHAN TANJUNGPINANG) GENERATOR MODUL HOMOTOPI KEDUA 〈 đĄ | đĄ6〉 UNTUK PRESENTASI GRUP 2 3 −1 −1 DAN 〈 đ, đ | đ , đ , đđđ đ 〉 ANALISIS KEPUASAN NASABAH SALAH SATU BANK SYARIAH SWASTA DI KOTA. PADANG DENGAN IMPORTANCE PERFORMANCE ANALYSIS Halaman 1-5 6-16 17-22 18-32 Makalah Pendidikan Matematika No Pemakalah 5 Dr. Ahmad Nizar Rangkuti, S. Si., M.,Pd 6 Ainil Mardiyah, Lita Lovia 7 Audra Pramitha Muslim 8 Aulia Sthephani iv Judul MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS MELALUI PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK Tahap Preliminary Research (Investigasi Awal) Pengembangan Lembar Kerja Limit, Turunan, Dan Integral Pada Mahasiswa Pendidikan Biologi STKIP PGRI Sumatera Barat PENERAPAN TAPPS DISERTAI HYPNOTEACHING (HYPNO-TAPPS) DALAM PENINGKATAN KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIS SISWA SMP PERBANDINGAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS ANTARA SISWA YANG BELAJAR DENGAN PROBLEM BASED LEARNING DAN DISCOVERY LEARNING Halaman 33-39 40-43 44-57 58-64 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2, No.1, ISSN : 2443-1257 9 Deby Yolanda, Rina Febriana 10 Effie Efrida Muchlis, Syafdi Maizora 11 Endang Istikomah 12 Ergusni 13 Fitriana Yolanda 14 Ira Fatmi Musdalifah, Anny Sovia, Rahima 15 Lenny Puwarsih, Ratulani Juwita 16 Lucky Heriyanti Jufri 17 Melinda Yusri Rizki, Jefri Marzal, Syamsurizal 18 Mira Amelia Amri 19 Mulia Suryani 20 Prima Dona Putri Jamil PENGARUH PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN AKTIF TIPE LEARNING TOURNAMENT TERHADAPPEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWAKELAS VIII SMPN 27 PADANG PENERAPAN METODE DISCOVERY BERBANTUAN GEOMETER’S SKETCHPAD (GSP) PADA PEMBELAJARAN ALJABAR RENDAH UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MAHASISWA PENDIDIKAN MATEMATIKA FKIP UNIVERSITAS BEGKULU KESAN INTEGRASI PERISIAN GEOMETER’S SKETCHPAD DALAM PENGAJARAN KE ATAS PEMAHAMAN KONSEP TRANSFORMASI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE ROUND ROBIN DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA SMP MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH PENGARUH PEMBELAJARAN AKTIF TIPE GIVING QUESTION AND GETTING ANSWER (GQGA) TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA KELAS VIII SMP KARTIKA I-7 PADANG PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-TALK- WRITE (TTW) TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA KELAS X SMAN 14 PADANG PENGARUH PENERAPAN DOUBLE LOOP PROBLEM SOLVING (DLPS) TERHADAP SELFEFFICACY SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP) PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE DAN GAYA KOGNITIF SISWA TERHADAP KETERAMPILAN BERPIKIR KREATIF SISWA DI KELAS VIII SMP NEGERI 6 KERINCI DESAIN PEMBELAJARAN BILANGAN PECAHAN SMP DENGAN MENGGUNAKAN ALAT PERAGA PADA KELAS MICRO TEACHING STKIP YDB LUBUK ALUNG PENGARUH PEMBERIAN REWARD TERHADAP MOTIVASI BELAJAR MAHASISWA PADA PERKULIAHAN PROGRAM LINIER PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN REPREESENTASI SISWA KELAS VII MTsN 65-67 68-76 77-87 88-96 97-103 104-111 112-115 116-126 127-137 138-145 146-153 154-164 v Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2, ISSN : 2443-1257 BATUSANGKAR KABUPATEN TANAH DATAR 21 Radhya Yusri 22 Rikhe Saputri, Rini Warti, Ali Murtadlo 23 Sefna Rismen 24 Sri Rezeki Utami, Rini Warti, Ali Murtadlo 25 Trisna Rukhmana, Kamid, Rayandra Asyhar 26 Usmadi 27 Vivi Afdarni, Villia Anggraini, Siskha Handayani 28 Yusmarni, Hendra Bestari 29 Zulfitri Aima vi PENGARUH PENDEKATAN PROBLEM CENTERED LEARNING TERHADAP KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA KELAS X SMA NEGERI KABUPATEN SOLOK DESKRIPSI ETNOMATEMATIKA DALAM PENGHITUNGAN LUAS TANAH PADA MASYARAKAT JAMBI ANALISIS 8 KETERAMPILAN DASAR MENGAJAR GURU DALAM MATA KULIAH MICROTEACHING MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP) PGRI SUMBAR DESKRIPSI ETNOMATEMATIKA DALAM PENGHITUNGAN BERAT EMAS PADA MASYARAKAT JAMBI PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN INQUIRY DAN GAYA KOGNITIF SISWA TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA DI KELAS VIII SMP NEGERI 8 KERINCI PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN ARCSI DENGAN PENDEKATAN SAINTIFIK PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF DISERTAI MAKE A MATCH TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA KELAS X SMAN 4 SIJUNJUNG TAHUN PELAJARAN 2015/2016 PENGEMBANGAN BAHAN AJAR PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS KONSTRUKTIVISME BUDAYA DAERAH BUDAYA DAERAH UNTUK MADRASAH PRAKTIKALITAS LEMBAR KERJA SISWA (LKS) MATEMATIKA BERBASIS PEMECAHAN MASALAH PADA MATERI LUAS DAN KELILING SEGIEMPAT DAN SEGITIGA KELAS VII SMP 13 PADANG 165-171 172-178 179-185 186-191 192-197 198-214 215-218 219-232 233-237 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 KONVERGEN SERAGAM INTEGRAL HENSTOCKKURZWEIL DARI FUNGSI BERNILAI DI RUANG BANACH Agus Dahlia Universitas Islam Riau, Jl. Kaharuddin Nasution No. 113Marpoyan, Pekanbaru [email protected] Abstrak. Dalam makalah ini akan ditunjukkan sifat-sifat integral Henstock-Kurzweil dari fungsi bernilai di ruang Banach. Dimisalkan terdapat suatu ruang Banach dari semua fungsi kontinu bernilai real yang terdefinisi pada interval compact. Tujuan dalam makalah ini adalah untuk membuktikan bahwa kekonvergenan seragam berlaku untuk fungsi-fungsi terintegral Henstock-Kurzweil yang bernilai di ruang Banach. Kata kunci: Integral Henstock-Kurzweil, Ruang Banach, Konvergen Seragam. A. PENDAHULUAN Permasalahan teorema kekonvergenan pada integral prinsipnya adalah mencari syarat cukup agar limit barisan nilai integral fungsi terintegral sama dengan integral limit barisan fungsi tersebut. Integral Henstock-Kurzweil lebih dikenal untuk fungsi bernilai riil dan telah sering dibahas. Akan tetapi, integral Henstock-Kurzweil dapat diperluas untuk fungsi bernilai vektor. Ruang Banach merupakan ruang vektor bernorm dimana terdapat barisan Cauchy yang konvergen. Penelitian integral dari fungsi bernilai di ruang Banach dimulai oleh R.A. Gordon pada tahun 1990. Dalam penelitiannya, ditemukan bahwa tidak semua integral dapat digunakan untuk fungsi bernilai Banach, yakni integral McShane dan integral Bochner. berdasarkan hal tersebut, dimungkinkan untuk menyelidiki teorema kekonvrgenan integral Henstock-Kurzweil dari fungsi bernilai di ruang Banach. Model-model fungsi bernilai Banach memiliki banyak jenis, diantaranya adalah fungsi dengan nilai di dalam ruang barisan . Pada makalah ini, permasalahan yang akan diselesaikan dalam penelitian ini adalah mengungkapkan teorema kekonvergenan seragam yang berlaku untuk integral HenstockKurweil bernilai di dalam ruang barisan . Dalam tulisan ini, dimisalkan suatu fungsi norm âââ dan interval compact = [ , ] adalah kumpulan =[ ⊂â = < dengan adalah ruang Banach dengan dengan ukuran Lebesgue = { ,…, , ], = 1, 2, … , , dengan : → . Partisi dari interval } dari interval tertutup yang non-overlapping <â¯< < = . 1 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 ( = 0, 1, … , ) disebut titik-titik partisi dari Titik-titik maka titik-titik . Jika ∈ , untuk = 1, 2, … , , disebut tags, dan himpunan dari pasangan-pasangan terurut dari Ė = {( , ), ( , ), … , ( , disebut tagged partition dari . [Bartle, 2000; hal. 145] Untuk suatu interval compact â ī¯ ⊂â suatu tagged interval. Dua interval compact , ⊂ ī¯ disebut non overlapping jika J ∩ L = ∅. Misal kumpulan berhingga suatu himpunan indeks berhingga. Maka {( , ): ∈ } dari pasangan non-overlapping tagged intervals dengan untuk semua ∈ . Sistem , )} diberikan ( , ) adalah suatu pasangan dari suatu tag ⊂â ∈ â dan suatu interval compact dan ∈ disebut sistem di disebut sebagai partisi ∈ ⊆ di jika jika = . Suatu fungsi : → â disebut gauge pada , dan katakan suatu tagged interval ( , ) adalah − jika ⊆ ( )( ), dengan ( )( ) menotasikan bola terbuka di (â , |â|) yang berpusat pada dengan radius ( ). Lebih lanjut, sistem intervals ( , ) adalah − disebut yang sama dengan gauge . − jika semua tagged B. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang dilakukan adalah metode teoritik, yaitu mempelajari karya-karya ilmiah yang telah dihimpun dan hasilnya dijabarkan secara rinci yang disajikan dalam bentuk eoremateorema.kegiatan analisis dilakukan diskusi dengan para pakar matematika yang menguasai permasalahan penelitian ini. C. HASIL DAN PEMBAHASAN Kekonvergenan dari suatu barisan bilangan riil dapat diperumum menjadi kekonvergenan untuk barisan-barisan di ruang linier bernorm. Berikut definisi pendukung dari pernyataan tersebut. Definisi 1 Barisan 〈 〉 di ruang linier bernorm dikatakan konvergen ke suatu anggota ruang tersebut jika diberikan semua → . 2 > didapat â − > 0, terdapat suatu bilangan â < . Jika konvergen ke di sedemikian sehingga untuk , dapat ditulis = lim atau Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Definisi 2 Diberikan ( ) barisan dari fungsi-fungsi pada , ∈ â. Barisan fungsi { } dikatakan konvergen seragam pada ( ) sehingga jika > 0 terdapat untuk setiap | ( )+â¯+ ( )| < âââ dan interval compact untuk setiap Definisi 3 Misal suatu fungsi : → Kurzweil integrable dan > diberikan dengan adalah ruang Banach dengan norm dengan ukuran Lebesgue ∈ . Fungsi dari , pertidaksamaan ∈ℑ dipenuhi. ( ) ( )− − ∈ sehingga untuk setiap partisi {( , )} < merupakan kumpulan dari fungsi-fungsi : → Henstock-Kurzweil jika setiap terdapat gauge dikatakan Henstock- adalah integral Henstock-Kurzweil jika untuk setiap > 0 terdapat suatu gauge : → â sehingga untuk setiap Definisi 4 Diberikan jika dan hanya jika ( ), maka ≥ ∈ . ⊂ â → â untuk setiap (2.2) dikatakan terintegral terintegral Henstock-Kurzweil dan untuk setiap ∈ pertidaksamaan ( ) ( ) − (â ) dipenuhi dengan {( , ), = 1, … , } adalah − >0 < partisi dari . Berikut ini akan ditunjukkan kekonvergenan seragam dari fungsi-fungsi bernilai di ruang Banach yang terintegral Henstock-Kurzweil. ={ : → ; Teorema (Kekonvergenan Seragam) Asumsikan bahwa barisan fungsi terintegral â Maka fungsi : → lim → lim (â ) → Bukti.diberikan ( ) = ( ), terintegral Henstock-Kurzweil dan dipenuhi. untuk setiap sehingga ∈ â} adalah suatu ∈ . = (â ) sebagai gauge dari barisan fungsi-fungsi terintegral ( ) dengan ∈ â diperoleh > 0, maka 3 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 ( ) ( ) − (â ) − untuk setiap partisi < {( , ), = 1, … , } dari . Jika partisi {( , ), = 1, … , } tetap maka titik konvergen ∈ â sehingga untuk Pilih lim ( ) ( )= → > menghasilkan ( ) ( ). pertidaksamaan ( ) ( )− → (1) ( ) ( ) < dipenuhi. Maka diperoleh ( ) ( ) − (â ) > untuk Untuk , ≤ ( ) ( )− ( ) ( ) > pertidaksamaan (â ) sehingga − (â ) , lim (â ) <4 ∈ â dari elemen-elemen = ∈ →∞ > 0, dengan hipotesis bahwa terdapat gauge ∈ â ketika {( , ), = 1, … , } adalah sehingga terdapat Maka 4 ≤2 . menunjukkan bahwa barisan (â ) ∫ Misal ( ) ( ) − (â ) + (â ) ∫ ≥ − sehingga < − ( ) ( )− ada. (2) sehingga (1) dipenuhi untuk semua partisi untuk semua adalah Cauchy ≥ ( ) ( ) dari . Dengan (2) pilih . Karena < . ∈â konvergen ke Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 ( ) ( )− ≤ ( ) ( )− + (â ) − Dan hal ini mengakibatkan bahwa lim → (â ) ∫ = = (â ) ∫ ( ) ( ) <3 + ( ) ( ) − (â ) terintegral Henstock-Kurzweil pada dan . D. KESIMPULAN Untuk barisan fungsi-fungsi bernilai di ruag Banach yang terintegral Henstock-Kurzweil dan konvergen seragam ke sebuah fungsi didalam [ , ] pada interval compact mengakibatkan limit barisannya juga terintegral Henstock-Kurzweil. DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Bartle, R.G. & Sherbert, D. R. (2000). Introduction to Real Analysis. (3rd ed). United State of America: John Wiley & Sons, Inc. Bartle, R. G. (2000). A Modern Theory of Integration.(MTI). Grad. Studies in Math., Amer. Math. Society, Providence, RI. Forkert, D. L. (2012). The Banach Spaces-Valued Integrals of Riemann, McShane, HenstockKurzweil and Bochner. November 22, 2012. Vienna University of Technology, Bachelor Thesis. Kreyszig, Erwin. (1978). Introductory Functional Analysis with Aplications. Kanada: John Wiley & sons. Inc. M. Fabian., et al. (2010). Banach Space Theory : The Basis for Linier and NonLinier Analysis. London : Springer. Royden, H. L. (1988). Real analysis. New York: Collier Macmillan Canada, Inc. Stefan, S. & Guoju, Ye. (2005). Topics in Banch Spaces Integration. Singapura: World Scientific Publishing Co. Ptc. Ltd. 5 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Analisis Regresi Logistik Biner pada Pemodelan Partisipasi Pemilih dalam Pemilihan Gubernur Provinsi Kepulauan RiauTahun 2015(Studi Kasus: Kelurahan Tanjungpinang Kota) Alona Dwinata1 1 Pendidikan Matematika, Universitas Maritim Raja Ali Haji 1 [email protected] Abstrak. Model regresi merupakan komponen penting dalam beberapa analisis data untuk menggambarkan hubungan kausalitas antara variabel respon dengan satu atau lebih variabel prediktor. Pada umumnya analisis regresi digunakan untuk menganalisis data dengan variabel respon berupa data kuantitatif, tetapi dalam penelitian sosial sering ditemui kasus dengan variabel respon bersifat kualitatif. Untuk mengatasi masalah tersebut dapat digunakan model regresi logistik. Model regresi logistik dengan variabel respon bersifat dikotomus atau terdiri dari dua ketegori (0 dan 1) disebut regresi logistik biner. Regresi logistik biner diimplementasikan untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi pemilih dan dirancang untuk melihat seberapa jauh model yang diperoleh mampu memprediksi secara benar kategori partisipasi pemilih. Pemilih yang berpartisipasi dalam Pemilihan Gubernur Provinsi Kepulauan Riau diberi kode 1 dan pemilih yang tidak melaksanakan hak pilihnya diberi kode 0. Metode untuk menduga parameter pada model regresi logistik biner adalah Maximum Likelihood Estimation (MLE). Penelitian ini menggunakan data primer melalui survei terhadap 150 responden di Kelurahan Tanjungpinang Kota yang dipilih secara acak berdasarkan daftar pemilih tetap tahun 2015. Data diambil dengan menggunakan kuesioner berskala guttman. Model yang sesuai diperoleh setelah dilakukan panaksiran parameter, uji signifikansi, dan uji kecocokan model. Hasil analisis menunjukkan persentase seluruh partisipasi pemilih terklasifikasi dengan benar sesuai dengan partisipasinya dalam pemilu sebesar 80,7%. Hubungan kausalitas berdasarkan hasil analisis regresi logistik biner menyatakan variabel prediktor yang berpengaruh nyata terhadap partisipasi pemilih adalah visi dan misi calon Gubernur, sosialisasi politik melalui media cetak dan elektronik, kesadaran hak dalam memilih, partisipasi pemilih dalam pemilu legislatif tahun 2014 dan partisipasi pemilih dalam pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tanjungpinang Tahun 2012. Kata kunci : Regresi Logistik Biner,Maximum Likelihood Estimation (MLE), Partisipasi Pemilih A. PENDAHULUAN Model regresi merupakan komponen penting dalam beberapa analisis data untuk menggambarkan hubungan kausalitas antara variabel respon dengan satu atau lebih variabel prediktor. Pada umumnya analisis regresi digunakan untuk menganalisis data dengan variabel respon berupa data kuantitatif, tetapi dalam penelitian sosial sering ditemui kasus dengan variabel respon bersifat kualitatif atau kategori. Untuk mengatasi masalah tersebut digunakan model regresi logit atau lebih dikenal dengan model regresi logistik. Model regresi logistik dirancang untuk melakukan prediksi keanggotaan grup. Hal ini berarti tujuan dari pemodelan regresi logistik adalah untuk mengetahui seberapajauh model yang digunakan mampu memprediksi secara benar kategori keanggotaan grup dari sejumlah individu. Model regresi 6 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 logistik dengan variabel respon bersifat dikotomus atau terdiri dari dua ketegori (0 dan 1) disebut model regresi logistik biner. Pemodelan regresi logistik biner memiliki peranan penting dalam memprediksi kategori partisipasi pemilih dalam proses pemilihan umum (pemilu). Variabel respon bersifat dikotomus atau terdiri dari dua ketegori yaitu masyarakat yang melaksanakan hak pilihnya termasuk kategori partisipasi pemilih “1” dan masyarakat yang tidak melaksanakan hak pilihnya termasuk kategori partisipasi pemilih “0” dalam proses pemilu. Pemilu merupakan elemen terpenting dalam sistem demokrasi sebagai sistem politik negara Indonesia. Pemilu merupakan salah satu proses politik yang dilaksanakan setiap lima tahun, baik untuk memilih anggota legislatif, maupun untuk memilih anggota eksekutif. Dalam proes pemilu untuk pemilihan eksekutif, rakyat telah diberi peluang untuk memilih President, Gubernur dan Bupati/Walikota. Tingkat partisipasi pemilih pada pemilihan kepala daerah (pilkada) merupakan hal yang sangat penting untuk dikaji, karena rendah atau tingginya suatu partisipasi merupakan indikator penting terhadap jalannya proses demokrasi. Realitas dan fenomena rendahnya partisipasi pemilih dalam proses pilkada merupakan hal yang sangat memprihatinkan, kerana hak politik merupakan salah satu hak azazi. Namun masyarakat yang telah diberi hak pilih justru tidak mau menggunakannya. Berdasarkan data DPT KPU Kota Tanjungpinang dalam pemilihan umum Walikota dan Wakil Walikota Tanjungpinang tahun 2012, pemilih disetiap kecamatan yang tidak melaksanakan hak pilihnya (golput) mencapai angka diatas 40%. Kecamatan Tanjungpinang Kota merupakan kecamatan yang memiliki angka golput tertinggi sebesar 43,98% dari empat kecamatan yang ada di Kota Tanjungpinang. Kecamatan Tanjungpinang Kota memiliki empat kelurahan dengan angka golput tertinggi sebesar 51,44% berada di Kelurahan Tanjungpinang Kota. Rangkaian fenomena rendahnya partisipasi pemilih dalam melaksanakan hak pilihnya menimbulkan masalah dan pertanyaan yang perlu dikaji lebih lanjut demi tegaknya proses demokrasi. Pemilihan Gubernur bulan Desember 2015 dapat memberikan informasi bagaimana masyarakat memandang problematika yang ada dalam proses pemilihan kepala daerah khususnya partisipasi pemilih di Provinsi Kepulauan Riau. Berdasarkan data KPU tahun 2012 dengan problematika yang mempengaruhi partisipasi pemilih dalam pilkada, Peneliti tertarik untuk melihat bagaimana partisipasi pemilih di Kelurahan Tanjungpinang kota terhadap Pemilihan Gubernur Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2015 dengan judul penelitian “Analisis Regresi Logistik Biner pada Pemodelan Partisipasi Pemilih dalam Pemilihan Gubernur Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2015(Studi Kasus: Kelurahan Tanjungpinang Kota)”. 7 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 B. Kajian Teori 1. Model Regresi Logistik Regresi logistik digunakan untuk menggambarkan hubungan variabel respon yang bersifat kategori dengan variabel prediktor bersifat kategori, kontinu atau kombinasi keduanya. Variabel respon yang memiliki dua kemungkinan hasil dikatakan variabel respon biner sehingga model regresi logistik ini dikenal dengan model regresi logistik biner. Model ini sering digunakan dalam menyelesaikan masalah klasifikasi pada metode parametrik. Jika data hasil pengamatan memiliki p-1 (p adalah banyaknya parameter) variabel prediktor =( , yang ditunjukkan oleh vector ,…, ) yang berpasangan dengan variabel respon Y yang bernilai 1 atau 0, dimana y=1 menyatakan “sukses” dan y=0 menyatakan “gagal”, maka variabel respon Y mengikuti sebaran Bernoulli dengan parameter dengan fungsi peluang : | ( ) = [ ( )] [1 − ( )] ; ( ) = 1, . . , Untuk menggambar kondisional mean dari Y (respon) terhadap X (variabel prediktor) digunakan hitungan ī° ( x) īŊ E (Y x) . Bentuk dari model logistik adalah sebagai berikut: dengan īĸ′ = ( ( )= 1+ 1 ( ) = ( 1+ , īĸ , … , īĸ ) dan ′ = (1, ( , ) ) ,…, (1) ).Jika ( ′ ) → ∞ maka ( ) → 1 dan jika ( ′ ) → −∞ maka ( ) → 0, sehingga dapat dipastikan bahwa nilai ( ) selalu berada pada selang [0,1].Fungsi (1) berbentuk nonlinier. Untuk itu, diperlukan transformasi agar fungsi (1) menjadi fungsi linier, dengan menggunakan transformasi logit dari ( ), maka model logistik dapat disebut model logit, yaitu ( )= ( ) = ′ 1− ( ) (Hosmer dan Lemeshow, 2000). 2. Estimasi Parameter Salah satu metode pendugaan yang digunakan untuk mengestimasi parameter yang belum diketahui adalahPenduga Estimation(MLE). Metode Kemungkinan tersebut Maksimum mengestimasi atau Maximum parameter β Likelihood dengan cara memaksimumkan fungsi kemungkinan dan mensyaratkan bahwa data harus mengikuti suatu distribusi tertentu. Pada regresi logistik setiap pengamatan mengikuti distribusi Bernoulli dan objek pengamatan saling bebas. Prinsip dari penduga kemungkinan maksimun untuk mendapatkan nilai taksiran adalah dengan memaksimumkan fungsi kemungkinan. Nilai maksimum dari perkalian fungsi kemungkinan diperoleh melalui 8 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 transformasi logit. Nilai diperoleh melalui diferensial parsial pertama ln L(īĸ) terhadap yang disamadengankan nol. Persamaan ini bukan merupakan fungsi linier maka untuk memperoleh taksiran parameter dilakukan proses iterasi dengan metode Newton-Raphson, menentukan nilai awal dari , yaitu penduga kemungkinan maksimummerupakan pendekatan dari estimasi Weighted Least Square, dimana matrik pembobotnya berubah setiap iterasi. Proses menghitung estimasi maksimum likelihood ini disebut juga sebagai Iteratif Reweighted Least Square. 3. Uji Signifikansi Model Pengujian kesesuaian model dilakukan untuk memeriksa peranan variabel prediktor terhadap variabel respon dalam model. Pengujian tersebut dilakukan secara keseluruhan dan parsial.Menurut Hosmer dan Lemeshow (2000), pengujian secara keseluruhan dilakukan dengan menggunakan uji nisbah kemungkinan (likelihood ratio test) yang merupakan pengujian terhadap parameter dengan hipotesis sebagai berikut : H :β = ⯠= β = 0 H : ada β ≠ 0 Statistik uji yang digunakan adalah statistikG : = −2ln ; j = 1, 2, … , p fungsi kemungkinan tanpa variabel prediktor fungsi kemungkinan dengan variabel prediktor = −2 =2 ∏ (1 − (1 − ) ) − − dengan n = y Statistik G akan mengikuti sebaran diambil yaitu menolak H parameter jika dan n = (1 − y ) dengan derajat bebas p. Kriteria keputusan yang ≥ ( ; ) (Hosmer & lemeshow, 2000).Pengujian secara parsial dilakukan dengan uji Wald dengan cara merasiokan dengan standar error dugaannya. Statistik uji Wald yaitu : = 9 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Hipotesis uji yang digunakan adalah : : : ≠0 =0 ; = 1, 2, … , Kriteria pengambilan keputusan tolak H jika A., 2000) ≥ / atau − ≤ .(Agresti, 4. Uji Kesesuaian model Uji kesesuaian model regresi logistik yang digunakan adalah uji Hosmer dan Lemeshow dengan hipotesis uji yang digunakan adalah : : model sesuai (tidak ada perbedaan antara hasil observasi dengan hasil prediksi) : model tidak sesuai (ada perbedaan antara hasil observasi dengan hasil prediksi) Statistik uji yang digunakan adalah : dengan = ( ) − (1 − ) = observasi pada grup ke-k = banyak pengamatan pada grup ke-k = rata-rata taksiran peluang Pada tingkat kepercayaan (1- )%, (Hosmer dan Lemeshow, 2000). ditolak jika > ( , ) atau − ≤ . 5. Evaluasi Model Evaluasi fungsi logistik dilakukan dengan membuat tabulasi antara actual group dan predicted group yang diperoleh dari fungsi logistik. Selanjutnya dihitung proporsi pengamatan yang benar klasifikasinya, diharapkan proporsi pengamatan yang benar diklasifikasikan tersebut sebesar mungkin atau proporsi pengamatan yang salah sekecil mungkin. 6. Interpretasi Koefisien Intepretasi koefisien pada model regresi logistik dapat dilakukan dengan melihat nilai odds ratio-nya. odds ratio adalah ukuran untuk melihat seberapa besar kecendrungan pengaruh variabel-variabel prediktor terhadap variabel respon (Hosmer&Lomeshow, 2000).Jika suatu variabel prediktor mempunyai tanda koefisien positif, maka nilai odds ratio akan 10 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 lebih besar dari satu, sebaliknya jika tanda koefisien negatif maka nilai odds ratio-nya akan lebih kecil dari satu. 7. Perilaku Pemilih Menurut Firmanzah (2012), “Perilaku Pemilih diartikan sebagai semua pihak yang menjadi tujuan utama para kontestan untuk mereka mempengaruhi dan yakinkan agar mendukung dan kemudian memberikan suaranya kepada kontestan bersangkutan. Pemilih dalam ini dapat berupa konstituen maupun masyarakat pada umumnya”. Pemilih pada saat ini semakin hari menjadi sangat kritis dan selalu mengevaluasikan apa saja yang telah dilakukan kontestan pemenang pemilu. Ketika melihat bahwa program kerja yangdilaksanakan kontestan pemenang pemilu ternyata tidak sesuai dengan janji mereka ketika kampanye pemilu, pemilih dapat menghukum kontestan dengan tidak memilihnya kembali.Menurut Firmanzah (2012) pertimbangan pemilih dipengaruhi tiga faktor pada saat bersamaan, yaitu kondisi awal pemilih, media massa, dan partai politik atau kontestan. Kondisi awal dapat diartikan sebagai karakteristik yang melekat pada diri si pemilih. Masing-masing individu mewarisi dan memiliki sistem nilai serta kepercayaan yang berbeda satu sama lain. Faktor kedua yang mempengaruhi pemilih adalah media massa. Kemampuan media massa untuk mendistribusikan informasi merupakan kekuatan untuk pembentukan opini publik. Ketika semua pemberitahuan media massa tentang suatu partai politik bersifat positif, masyarakan cenderung melihat keberadaan partai politik tersebut sebagai sesuatu yang positif.Faktor ketiga adalah karakteristik partai politik dan kontestan itu sendiri. Atribut kontestan seperti reputasi, image, citra, latar belakang, ideologi, dan kualitas para politikusnya akan sangat mempengaruhi penilaian masyarakat atas partai bersangkutan.Ketiga hal di atas akan mempengaruhi pertimbangan pemilih tentang kedekatan dan ketertarikan mereka terhadap suatu partai politik. Cara mempengaruhinya akan sangat tergantung pada kadar masing-masing faktor. Ketika media massa sangat berperan dalam pembentukan opini publik dalam suatu masyarakat, faktor ini sangat mempengaruhi cara bersikap dan bertindak masyarakat. C. Rumusan Masalah Fakta rendahnya partisipasi pemilih dalam pilkada di Kelurahan Tanjungpinang Kota memunculkan pertanyaan akademis yang perlu dijawab dalam penelitian ini, yaitu : a) Bagaimana model regresi logistik biner menjelaskan prediksi partisipasi pemilih dalam pemilihan gubernur Provinsi Kepulauan Riau tahun 2015? 11 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 b) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi partisipasi pemilih dalam pemilihan Gubernur Provinsi Kepulauan Riau tahun 2015? Penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk mengevaluasi proses penyelenggaraan pilkada dalam pemilihan Gubernur Provinsi Kepulauan Riau tahun 2015, sehingga dapat dimanfaatkan oleh KPUD, pemerintah dan partai politik serta masyarakat lainnya dalam konteks upaya peningkatan partispasi pemilih dalam pemilu pada tahun-tahun berikutnya. D. METODE PENELITIAN Pada metode penelitian ini akan dibahas mengenai lokasi penelitian, sumber data, variabel penelitian dan metode analisis. 1. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dalam kajian ini adalah Kelurahan Tanjungpinang Kota. Pemilihan lokasi penelitian ini dilatar belakangi oleh data pemilukada walikota Tanjungpinang tahun 2012. Kecamatan Tanjungpinang Kota adalah kecamatan yang memiliki angka golput tertinggi di Kota Tanjungpinang sebesar 43,98% sedangkan Kelurahan Tanjungpinang Kota merupakan Kelurahan dengan tingkat partisipasi terendah dengan angka golput mencapai 51,44 %. 2. Sumber data Data yang digunakan pada penelitian ini merupakan data primer. Instrumen penelitian yang digunakan untuk pengumpulan data berupa Kuisioner. Populasi adalah masyarakat kelurahan Tanjungpinang kota yang terdaftar dalam DPT Pemilihan Gubernur Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2015. Teknik penarikan sampel yang digunakan adalah penarikan sampel acak sederhana dengan melakukan survei terhadap 150 responden. 3. Variabel Penelitian Variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari variabel respon dan variabel prediktor. Variabel respon pada penelitian ini adalah partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya dalam proses pemilu, masyarakat yang melaksanakan hak pilihnya termasuk kategori partisipasi pemilih “1” dan masyarakat yang tidak melaksanakan hak pilihnya termasuk kategori partisipasi pemilih “0”. Variabel prediktor yang digunakan untuk menjelaskan variabel respon adalah sebagai berikut : a. Visi dan misi calon Gubernur (X1) b. Isu ekonomi dari partai politik (X2) c. Informasi perkembangan politik dari media cetak dan elektronik(X3) d. Kesadaran hak memilih pemimpin dalam diri (X4) e. Kepercayaan pada Pemerintah (X5) 12 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 f. Partisipasi pemilih dalam pemilu legislatif tahun 2014 (X6) g. Cuaca saat jadwal pemungutan suara dilaksanakan (X7) h. Partisipasi pemilih dalam pilkada walikota Tanjungpinang 2012 (X8) 4. Langkah Analisis Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dirumuskan, maka tahapan analisis data yang dilakukan adalah a. Uji Validitas dan reliabilitas instrumen penelitian Menurut Sugiyono (2012) “hasil penelitian yang valid bila terdapat kesamaan antara data yang terkumpul dengan data yang sesungguhnya terjadi pada objek yang diteliti”, jadi sebelum kuisioner digunakan untuk mengumpulkan data perlu dilakukan pengujian validitas agar diperoleh data yang valid dari instrumen yang valid.Pengujian validitas kuisioner dalam penelitian ini dilakukan dengan korelasi bivariate antara masing-masing skor indikator dengan total skor konstruk.Uji Validitas Item atau butir menggunakan Uji Korelasi Pearson Product Moment dengansoftware SPSS. Sugiyono (2012) menyatakan “instrumen yang reliabel adalah instrumen yang bila digunakan beberapa kali untuk mengukur obyek yang sama, akan menghasilkan data yang sama.”.Pengujian reliabilitas kuisioner dalam penelitian ini digunakan statistik Cronbach Aplha (α) dengan software SPSS. b. Menentukan model regresi logistik c. Uji bersama model regresi logistik d. Uji parsial model regresi ogistik e. Uji kesesuaian model f. Evaluasi model g. Interpretasi koefisien E. HASIL DAN PEMBAHASAN Instrumen penelitian berupa kuisioner dengan skala Guttman dilakukan uji validitas. Pengujian validitas kuisioner dalam penelitian ini dilakukan dengan korelasi bivariate antara masingmasing skor indikator dengan total skor konstruk.Uji Validitas Item atau butir menggunakan Uji Korelasi Pearson Product Moment dengansoftware SPSS. Hasil uji validitas kuisioner disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil Uji Validitas Istrumen Penelitian Variabel Pearson Correlation Keterangan validitas X1 0,583 valid X2 0,451 valid 13 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 X3 0,537 valid X4 0,825 valid X5 0,535 valid X6 0,756 valid X7 0,585 valid X8 0,786 valid Berdasarkan Tabel 1, semua variabel prediktor pada penelitian ini memiliki nilai korelasi > 3 hal ini berarti semua variabel dalam penelitian ini dapat digunakan untuk mengumpulkan data yang valid. Setelah pengujian validitas instrumen penelitian, selanjutnya dilakukan uji reliabilitas instrumen penelitian. Pengujian reliabilitas kuisioner dalam penelitian ini digunakan statistik Cronbach Aplha (α) dengan software SPSS. Nilai α = 0,791 artinya seluruh item reliabel dan seluruh tes konsisten secara internal karena memiliki reliabilitas yang tinggi. Model Regresi Logistik Model regresi logistik dibentuk menggunakan delapanvariabel prediktor secara bersamaan. Nilai statistik uji G yang dihasilkan pada model regresi logistik adalah 47,177, jika dibandingkan dengan nilai ( . ; ) .Kesimpulan ( . ; ) = 13,36 maka nilai statistik uji G lebih besar daripada pengujian model regresi logistik secara serentak adalah tolak H0, berarti minimal terdapat satu variabel prediktor yang berpengaruh terhadap partisipasi pemilih dalam pemilihan Gubernur Tahun 2015 di provinsi Kepulauan Riau.Penduga parameter dan hasil uji hipotesis secara parsial dari model regresi logistik ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2.Penduga parameter model regresi logistik Parameter Dugaan Galat baku [Wald]2 Odds Ratio -2,89977 0,876667 10.941 1.014 .573 3.130*) 2.758 .467 .644 .527 1.596 1.162 .477 5.939*) 3.196 1.517 .764 3.944*) 4.561 .180 .455 .157 1.198 .928 .530 3.067* 2.529 -.641 .540 1.410 .527 1.010 .501 *)Parameter yang berpengaruh nyata pada 14 ) ) 4.064* = 0.1 2.747 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Tabel 2memperlihatkan nilai statistik uji Wald untuk semua parameter padatarafnyata (α) sebesar 10% dengan nilai χ ( . ; ) = 2.71.Variabel prediktor yang berpengaruh nyata terhadap partisipasi pemilih adalah visi dan misi calon Gubernur (X1), sosialisasi politik melalui media cetak dan elektronik(X3), kesadaran hak dalam memilih (X4), partisipasi pemilih dalam pemilu legislatif tahun 2014 (X6) dan partisipasi pemilih dalam pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tanjungpinang Tahun 2012 (X8). Statistik yang digunakan untuk menguji kelayakan model regresi logistik adalah uji HosmerLemeshow. Dengan tarafnyata (α) sebesar 10% maka nilai statistik uji 10,69 lebih kecil dari ( . ; ) = 13,36, artinya model regresi logistik sesuai (tidak ada perbedaan antara hasil observasi dengan kemungkinan hasil prediksi model) pada kasus partisipasi pemilih dalam pemilihan Gubernur Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2015. Evaluasi model dilakukan dengan melihat Ketepatan klasifikasi yaitu seberapa besar persentase observasi secara tepat diklasifikasikan oleh model. Ketepatan klasifikasi model regresi logistik dapat dilihat berdasarkan hasil pengklasifikasian antara prediksi dan observasi pada Tabel 3. Observasi Tabel 3. Ketepatan klasifikasi modelregresi logistik Prediksi Persentase Ketepatan Tidak memilih(0) Memilih(1) Klasifikasi Tidak memilih(0) 31 21 59.6 Memilih(1) 8 90 91.8 Persentase Keseluruhan 80,7% Tabel 3 menunjukkan partisipasi pemilih yang berstatus tidak memilih terklasifikasi dengan benar sebesar 59,6%. partisipasi pemilih yang berstatus memilih terklasifikasi dengan benar sebesar 91,8%. Persentase seluruh partisipasi pemilih terklasifikasi dengan benar sesuai dengan partisipasinya sebesar 80,7%. Hal ini berarti dengan menggunakan model regresi logistik ada 121 pemilih dari 150 pemilih terklasifikasi dengan benar sesuai dengan partisipasinya. Jadi dapat dikatakan bahwa model regresi logistik sudah baik. Intepretasi koefisien pada model regresi logistik dapat dilakukan dengan melihat nilai odds ratio variabel prediktor yang berpengaruh nyata terhadap partisipasi pemilih. Berdasarkan Tabel 2 dapat diinterpretasikan hal-hal sebagai berikut : a. Kecendrungan Pemilih yang memiliki pemahaman terhadap visi dan misi pasangan calon Gubernur akan melaksanakan hak pilihnya sebesar 2,8 kali dibanding pemilih yang tidak tahu akan visi misi calon Gubernur. 15 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 b. Kecendrungan pemilih yang mengikuti perkembangan politik di media akan berpartisipasi dalam pilkada sebesar 3,2 kali dibanding pemilih yang tidak mengikuti perkembangan isu politik di media cetak dan elektronik. c. Kecendrungan pemilih yang memiliki kesadaran politik akan berpartisipasi menunaikan hak pilihnya sebesar 4,6 kali dibanding pemilih yang tidak menyadari hak nya sebagai warga negara dalam bidang politik. d. Kecendrungan pemilih berpartisipasi dalam pemilihan legislatif 2014 sebesar 2,5 kali dibanding pemilih yang tidak berpartisipasi dalam pemilu legislatif 2014. e. Kecendrungan pemilih berpartisipasi dalam pemilihan Wali Kota Tanjungpinang tahun 2012 juga berpartisipasi dalam pemilihan Gubernur 2015 sebesar 2,7 kali dibanding pemilih yang tidak menunaikan hak pilihnya dalam pemilihan Wali Kota Tanjungpinang tahun 2012. F. KESIMPULAN Pemodelan partisipasi pemilih dalam Pemilihan Gubernur Provinsi Kepulauan RiauTahun 2015dengan analisis regresi logistik biner diperoleh setelah dilakukan panaksiran parameter, uji signifikansi, dan uji kecocokan model. Berdasarkan hasil analisismodel yang sesuai menjelaskanketepatan klasifikasi dengan persentase seluruh partisipasi pemilih terklasifikasi dengan benar sesuai dengan partisipasinya dalam pemilu sebesar 80,7%. Hubungan kausalitas berdasarkan model regresi logistik biner menyatakan variabel prediktor yang berpengaruh nyata terhadap partisipasi pemilih adalah visi dan misi calon Gubernur, sosialisasi politik melalui media cetak dan elektronik, kesadaran hak dalam memilih, partisipasi pemilih dalam pemilu legislatif tahun 2014 dan partisipasi pemilih dalam pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tanjungpinang Tahun 2012. DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. Agresti A. (2002). Categorical Data Analysis, John Willey and Sons,New York. Firmanzah.(2012).Marketing Politik Antara Pemahaman dan Realitas, edisi revisi,Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta. Hosmer DW, Lemeshow JS. (2000). Applied Logistic Regression, John Wiley & Sons, Inc.,Canada. Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Alfabeta, Bandung. 16 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 GENERATOR MODUL HOMOTOPI KEDUA UNTUK 〉 PRESENTASI GRUP〈 | 〉 DAN〈 , | , , Dedi Mardianto Universitas Andalas, Kampus Limau Manis, Padang, 25163 Indonesia [email protected] Abstrak. Pada artikel ini membahas tentang generator modul homotopi kedua untuk dua presentasi yang berbeda yang mendefinisikan grup yang sama. Diberikan dua presentasi grup 〈 | 〉dan 〈 , | , , 〉. Ditunjukan bahwa 〈 | 〉dan 〈 , | , , 〉adalah isomorpis, dan (〈 , | , , 〉). Untuk menunjukan ini terdapat barisan generator dari (〈 | 〉) ke digunakan transformasi Tietze dan operasi-operasi pada picture. Kata kunci: modul homotopi kedua, generator, transformasi Tietze A. PENDAHULUAN Suatu picture atas modul-ZG disebut sebagai himpunan generator ( ) jika {[P]; P â } membangun ( ) (Baik,et.al,1998). Selanjutnya Bogley dan Pride (1993) menyebutkan bahwa himpunan generator jika dan hanya jika setiap spherical pictureatas dapat ditransformasikan ke picture kosong dengan operasi-operasi pada picture. Perhitungan generator ( ) yang dilakukan oleh Bogley dan Pride (1993) hanya untuk melihat generator- generator untuk modul homotopi kedua grup suatu presentasi grup. Yanita (2015) memberikan aplikasi sederhana untuk teori modul homotopi kedua dari dua presentasi grup. Pada artikel ini dibahas barisan generator modul homotopi kedua dari presentasi grup 〈 | homotopi kedua dari presentasi grup〈 , | , 〉ke modul 〉. Metode yang digunakan adalah , metode transformasi Tietze (Yanita dan Ahmad, 2013). Teori tranformasi Tietze dapat dilihat pada Johnson (1997) dan Magnus, et al (1976). Pada transformasi ini, operasi picture sangatlah berperan untuk mendapatkan generator dari modul homotopi kedua. Operasi-operasi pada picture ini dapat dilihat pada Pride (1981). B. Penghitungan Generator Sesuai dengan tujuan tulisan ini adalah untuk menunjukan adanya barisan generator dari modul 〉ke modul homotopi kedua dari presentasi homotopi kedua dari presentasi grup〈 | grup〈 , | Lemma 2.1 Misalkan , 〉, maka dipunyai sifat berikut : , =〈 | isomorphis dengan 〉dan =〈 , | , , 〉 adalah dua presentasi grup maka dan terdapat barisan generator dari ( ) ke ( ). 17 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Bukti : Pembuktian dilakukan dua tahap. Tahap pertama membuktikan bahwa isomorphis dengan . Tahap kedua membuktikan terdapatnya barisan generator modul homotopi kedua dari π ( ) ke π ( ). Transformasi Tietze dari 〈 | [ ] 〈 , | = 〉 , Tambah generator 〉→〈 , | , 〉 , = ke himpunan generator dengan relasi [ ] 〈 , , | = , = , 〉 [ ] 〈 , , | = , = , , 〉 ke himpunan relasi, karena dapat diturunkan dari [ ] 〈 , , | = , = , , , 〉 ke himpunan relasi, karena dapat diturunkan dari [ ] 〈 , , | = , = , , , , = , = , , , Tambah generator Tambah relasi Tambah relasi Tambah relasi dan = [ ] 〈 , , | Hapus relasi [ ] 〈 , | 〉 Hapus generator 〉 ) , =( ) , , =( [ ] 〈 , | , Hapus relasi , dan = dan = = dan dari himpunan generator, kemudian semua di himpunan relasi ganti ) , Hapus relasi 〉 , karena dapat diturunkan dari [ ] 〈 , | = ke himpunan relasi, karena dapat diturunkan dari dari himpunan relasi, karena dapat diturunkan dari =( dengan = ke himpunan generator dengan relasi =( =( , , 〉 = dan = ) karena dapat diturunkan dari , ) karena dapat diturunkan dari , 〉 Selanjutnya adalah tahap penghitungan generator modul homotopi kedua. Menurut Bogley dan Pride (1993) generator untuk modul homotopi kedua π (〈 | memuat disk 18 yaitu : 〉) adalah generator yang Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Sedangkan generator untuk modul homotopi kedua π (〈 , | generator yang memuat disk , yaitu : dan yaitu dimana adalah = 〉) adalah , = . Menurut = . Menurut 〉) terdapat relasi baru yaitu sehingga Pada tahap 1 terdapat penambahan generator yaitu generator Corrolari 1 [7] generator untuk π (〈 , | , dengan relasi 〉) adalah masih sama dengan π (〈 | , 〉), Pada tahap 2 terdapat penambahan generator yaitu generator dengan relasi Corrolari 1 [7] generator untuk π (〈 , , | 〉) adalah masih sama dengan π (〈 , | = , 〉) adalah yaitu Pada tahap 3 untuk π (〈 , , | generatornya adalah dan = dimana dimana , = , yaitu : = , = adalah , , 19 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Pada tahap 4 untuk π (〈 , , | sehingga generatornya adalah , Pada tahap 5 untuk π (〈 , , | = = dan , dimana , = , sehingga generatornya adalah = , , , , , , , yaitu : dan , 〉) terdapat relasi baru yaitu dimana 〉) terdapat relasi baru yaitu yaitu : Pada tahap 6 terdapat penghapusan relasi . Generator yang memuat sehingga untuk π (〈 , , | , dan dimana 20 , yaitu : = , = , , adalah 〉) generatornya adalah , dan , Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Pada tahap 7 terdapat penghapusan generator . Sehingga untuk π (〈 , | ( −1)2, 2, 3, −1 −1) generatornya adalah 2′, 3′ dan 4 dimana = Pada tahap 8 terdapat penghapusan relasi ( ) π (〈 , | dalah dan =( ) , =( sehingga diperoleh untuk generator , , 〉) adalah Pada tahap 9 terdapat penghapusan relasi ( ) dan dalah dimana ) . Generator yang memuat dan =( sehingga untuk π (〈 , | yaitu : dan , =( −1. ) , = = yaitu : ) . Generator yang memuat , = 〉) generatornya adalah 21 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 C. KESIMPULAN Diberikan dua presentasi grup . 〈 | 〉dan〈 , | dapat ditentukan terdapatnya barisan generator , (〈 | , 〉)ke 〉yang isomorfis. Kemudian (〈 , | , , 〉). DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Baik, Y. G, Harlander, J, Pride, S.J. 1998. The Geometry of Group Extension. J.Group Theory 1. No. 4, 395-416 Bogley, W. A, Pride, S. J. 1993. Calculating Generator of . In Two-dimensional Homotopy and Combinatorial Group Theory. (eds. C. Hog-Angeloni, W.Metzler dan A. J. Sieradski), London Math. Soc. Lecture Note Ser. No. 197 (Cambridge University Press), pp. 157-188. Johnson, D. L. 1997. Presentation of Group. Second Edition. London Mathematical Society, Student Text 15. Cambridge: University Press. Magnus, W, Karras, A, dan Solitar, D. 1976. Combinatorial Group Theory : Presentation of Groups in Terms of Generator and Relations. New York: Dover Publications, Inc. Miller III, C. F. 2004. Combinatorial Group Theory. Lecture notes on University of Melbourne. S. J. Pride. Identities Among Relation of Groups Presentation, in Group Theory from Geometrical view point-Trieste. World Sciencetific Publishing Co. Pte. Ltd, Singapore (1991) 687-717. Yanita dan Ahmad, A. G. 2013. Computing Generators of Second Homotopy Module Using Tietze Transformation Methods. International Journal of Contemporary and Mathematical Sciences, Vol. 8, No. 15: 699-704. 22 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 ANALISIS KEPUASAN NASABAH SALAH SATU BANK SYARIAH SWASTA DI KOTA. PADANG DENGAN IMPORTANCE PERFORMANCE ANALYSIS Hazmira Yozza1, Maiyastri2 Universitas Andalas, Kampus Unand Limau Manis, Padang 1 alamat email penulis1, 2alamat email penulis2 (11 pt) Abstrak. Pemahaman terhadap kehutuhan dan keinganan pelanggan yang baik merupakan dasar perbaikan kualitas pelayanan, termasuk dalam pelayanan jasa perbankan. Pada penelitian ini, dilakukan analisis kepuasan nasabah salah satu bank syariah di Padang. Analisis dilakukan dengan Importance Performance Analysis. Peroleh bahwa indeks kepuasan nasabah bank tersebut adalah 78,1 % yang berarti bahwa nasabah puas dengan pelayanan yang diberikan oleh bank tersebut. Terdapat beberapa atribut yang perlu ditingkatkan performanya, yang terkait dengan ruang tunggu, teller dan pengadaan ATM. Kata kunci : kepuasan nasabah bank, importance performace analysis A. PENDAHULUAN Untuk dapat memenangkan persaingan dalam bisnis yang dilakukannya, setiap perusahaan/lembaga harus berusaha sebaik mungkin untuk dapat memberikan pelayanan dan menyediakan fasilitas yang baik untuk pelanggan. Salah satu hal utama yang harus dilakukan adalah memperhatikan kebutuhan serta kepuasan pelanggan terhadap pelayanan dan fasilitas yang telah diberikan. Pemahaman kebutuhan dan keinginan pelanggan yang baik merupakan dasar perbaikan dalam tingkat kualitas pelayanan. Demikian juga dalam bidang perbankan. Perkembangan sebuah perusahaan perbankan tidak lepas dari banyaknya nasabah yang bertahan untuk menjadi nasabah bank tersebut. Untuk mendapatkan simpati dan kerja sama yang baik dengan nasabah maka perusahaan harus tahu apa yang diinginkan nasabah terhadap produk dan jasa yang akan diberikan oleh bank. Bank X adalah salah satu bank syariah swasta yang relatif baru beroperasi di Kota Padang. Sebagai sebuah bank yang baru menjalankan operasinya, bank selalu berusaha untuk menambah jumlah nasabahnya melalui starategi pemasaran yang kreatif dan cukup efektif. Hal ini terlihat dari banyaknya nasabahnya yang tertarik terhadap jasa perbankan yang ditawarkan. Untuk mempertahankan kepercayaan yang telah diberikan nasabah, bank X harus senantiasa meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikannya. Namun untuk itu, bank harus terlebih dahulu melakukan analisis tingkat kepuasan nasabah terhadap setiap atribut pelayanan yang sekarang diberikan. Dengan cara itu, bank akan dapat menentukan atribut pelayanan apa yang seharusnya ditingkatkan, atribut mana yang seharusnya dipertahankan atau bahkan tidak perlu diperhatikan sama sekali, karena mungkin nasabah tidak terlalu membutuhkannya. 23 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Dalam statistika, terdapat beberapa metode yang dapat dilakukan untuk menganalisis kepuasan konsumen, dalam hal ini adalah nasabah bank. Dua di antaranya adalah Customer Satisfaction Indeks (CSI) dan Importance Performance Analisis (IPA). Dengan CSI dapat diketahui tingkat kepuasan konsumen terhadap indikator pelayanan. Dengan IPA dapat diketahui indikator apa saja yang perlu ditingkatkan, dipertahankan atau tidak memerlukan perhatian lebih dari perusahaan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kepuasan nasabah Bank X dengan menggunakan Indeks Kepuasan Konsumen dan Importance Performance Analisis (IPA). B. LANDASAN TEORITIS 1. Kualitas Pelayanan Kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berpengaruh dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan [8]. Pelayanan merupakan perilaku produsen dalam rangka memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen demi tercapainya kepuasan pada konsumen tersebut [3]. Dengan demikian, kualitas pelayanan adalah upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan konsumen serta ketepatan penyampaiannya dalam mengimbangi harapan konsumen [7]. Kualitas pelayanan dapat diketahui dengan membandingkan persepsi konsumen atas pelayanan yang nyata-nyata mereka terima dengan pelayanan yang mereka harapkan/inginkan terhadap atribut-atribut pelayanan suatu perusahaan. Terdapat lima dimensi kualitas pelayanan, yaitu: 1. Tangibles (bukti fisik) yaitu kemampuan suatu perusahaan dalam menunjukkan eksistensinya kepada pihak eksternal, meliputi fasilitas fisik, perlengkapan dan peralatan yang dipergunakan, serta penampilan pegawainya. 2. Reliability (kehandalan) yaitu kemampuan perusahaan untuk memberikan pelayanan sesuai yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya. 3. Responsiveness (ketanggapan) yaitu kemampuan memberikan pelayanan yang cepat dan tepat kepada pelanggan dengan penyampaian informasi yang jelas. 4. Assurance (jaminan dan kepastian) yaitu pengetahuan, kesopansantunan, dan kemampuan para pegawai perusahaan untuk menumbuhkan rasa percaya para pelanggan kepada perusahaan, termasuk komunikasi, kredibilitas, keamanan, kompetensi, dan sopan santun. 5. Emphaty (empati) yaitu perhatian yang tulus dan bersifat individual atau pribadi kepada pelanggan dengan berupaya memahami keinginan pelanggan [4]. 24 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 2. Indeks Kepuasan Pelanggan Customer satisfaction index (CSI) atau indeks kepuasan pelanggan digunakan untuk menentukan tingkat kepuasan pelanggan secara menyeluruh dengan memperhatikan tingkat kepentingan atribut-atribut jasa. Pengukuran kepuasan dari setiap atribut dilakukan dengan membandingkan tingkat kinerja dan tingkat kepentingan atribut. Misalkan dinyatakan responden ke-i, adalah skor kepentingan atribut ke-j yang diberikan oleh adalah skor kinerja atribut ke-j yang diberikan oleh responden ke-i, dan n adalah banyak responden. Rata-rata tingkat kepentingan (Importance Average) dan ratarata kinerja (Performance average) dari atribut ke-j masing-masing diperoleh dari : ∑ = = ∑ Weighting Factors (WF) merupakan persentase tingkat kepentingan setiap atribut terhadap total kepentingan seluruh atribut. Bila terdapat k atribut, Weighting Faktor (WF) atribut kej adalah WF j īŊ IA j k īĨ IA j īŊ1 j Selanjutnya, didefinisikan Weighting Score (WS) sebagai perkalian antara Weighting Factor (WF) dengan rata-rata tingkat kenerja, yaitu = × Indeks Kepuasan Pelanggan didefinisikan sebagai : dengan =∑ = 5 100% Pedoman interpretasi nilai CSI adalah seperti pada tabel berikut. Tabel 1 Pedoman Interpretasi terhadap Customer Satisfaction Index Interval CSI Tingkat Kepuasan 0,00 – 0,34 Tidak Puas 0,35 – 0,50 Kurang puas 0,51 – 0,65 Cukup puas 0,66 – 0,80 Puas 0,81 – 1,00 Sangat Puas 25 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 3. Importance Performance Analysis Analisis menggunakan metode Importance Performance Analysis (IPA) bertujuan untuk membandingkan tingkat kepentingan (importance) responden dengan tingkat kepuasan (performance) yang dirasakan oleh responden. Untuk mengukur tingkat kepentingan dan tingkat kepuasan ini digunakan skala Likert Skala likert ini digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau sekelompok orang terhadap suatu kejadian atau gejala sosial [2]. Misalkan dinyatakan responden ke-i, adalah skor kepentingan atribut ke-j yang diberikan oleh adalah skor kinerja atribut ke-j yang diberikan oleh responden ke-i, dan n adalah banyak responden. Rata-rata tingkat kepentingan dan rata-rata kinerja dari atribut ke-j masing-masing diperoleh dari : = ∑ dan Ė = ∑ Metode IPA ini dilakukan dengan membentuk diagram pencar dari data berpasangan ( Ė , ) dalam suatu salib sumbu sebagai berikut. Gambar 1. Grafik IPA Pada grafik tersebut, Ėŋ menyatakan nilai rata-rata dari rata-rata skor kinerja indikator dan menyatakan nilai rata-rata dari rata-rata skor kepentingan indicator, dengan k k xīŊ īĨx j īŊ1 k j dan y īŊ īĨy j īŊ1 j k Diagram IPA ini terbagi ke dalam empat kuadran, yaitu : 26 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 1. Kuadran I, wilayah yang memuat indikator-indikator dengan tingkat harapan yang relatif tinggi tetapi kenyataannya belum sesuai dengan apa yang diharapankan pelanggan. Indikator-indikator yang masuk kuadran ini harus segera ditingkatkan kinerjanya. 2. Kuadran II, wilayah yang memuat indikator-indikator yang memiliki tingkat harapan relatif tinggi dengan tingkat kinerja yang relatif tinggi pula. Indikator yang masuk kuadran ini dianggap sebagai faktor penunjang kepuasan pelanggan sehingga harus tetap dipertahankan karena semua indikator ini menjadikan produk atau jasa unggul di mata konsumen. 3. Kuadran III, wilayah yang memuat indikator-indikator dengan tingkat harapan yang relatif rendah dan kenyataan kinerjanya tidak terlalu istimewa (tingkat kinerja yang relatif rendah). Indikator yang masuk kuadran ini memberikan pengaruh sangat kecil terhadap manfaat yang dirasakan oleh pelanggan, sehingga indikator tersebut tidak perlu diprioritaskan. 4. Kuadran IV, wilayah yang memuat indikator-indikator dengan tingkat harapan yang relatif rendah dan dirasakan oleh konsumen terlalu berlebihan dengan tingkat kinerja yang relatif tinggi. Biaya yang digunakan untuk menunjang indikator yang masuk kuadran ini dapat dikurangi agar dapat menghemat biaya pengeluaran [2]. C. METODE PENELITIAN 1. Data Data pada penelitian ini merupakan data primer yang diperoleh dengan cara menyebarkan kuisioner kepada 50 orang nasabah Bank X yang dipilih dengan teknik Non-Probability Sampling. Data merupakan data persepsi nasabah mengenai tingkat kinerja bank dan tingkat kepentingan dari 36 atribut layanan bank, yang terdiri dari 8 atribut terkait teller, 7 atribut terkait customer servive, 4 atribut terkait bangunan dan ruangan, 4 atribut terkait fasilitas, 6 atribut terkait sistem transaksi, 4 atribut terkait fasilitas ATM, dan 3 atribut terkait petugas keamanan. Jika dikaitkan dengan dimensi kepuasan, atrikut yang terkait dengan assurance, tangible, reliability, responsiveness dan empathy masing-masing adalah 6, 14, 8, 4 dan 4 atribut. Persepsi nasabah tentang tingkat kinerja diukur dengan menggunakan skala likert 5 tingkatan (tidak baik-kurang baik–cukup baik–baik–sangat baik). Persepsi nasabah mengenai tingkat kepentingan diukur dengan 5 tingkatan skala likert (tidak penting–kurang penting–cukup penting–penting– sangat penting). Pengumpulan data dilakukan menggunakan kuesioner yang semua item penyataannya valid dan reliabel dengan 27 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 koefisien relaiblitas sebesar 0,9078untuk tingkat kinerja dan 0,8268 untuk tingkat kepentingan. 2. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan langkah-langlah sebagai berikut: a. Menghitung Customer Satisfaction Index (CSI) untuk melihat tingkat kepuasan nasabah. b. Melakukan analisis IPA (Important Performance Analysis) untuk melihat sejauh mana pihak Bank X mampu memberikan pelayanan yang diharapkan oleh nasabah dan apa saja yang harus ditingkatkan guna memperbaiki sistem pelayanan yang ada dengan melihat penyebaran atribut layanan pada diagram kartesius. D. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Indeka Kepuasan Nasabah Indeks Kepuasan Nasabah (Cutomer Satisfaction Index/CSI) digunakan untuk mengukur kepuasan nasabah secara menyeluruh dengan memperhatikan tingkat kepentingan dari atribut-atribut pelayanan. Sebelumnya akan dihitung tingkat kepuasan nasabah terhadap masing-masing atribut, dengan cara melihat persentase rasio skor rata-rata kinerja masingmasing atribut terhadap skor rata-rata kepentingan masing-masing atribut. Diperoleh ratarata tingkat kepentingan dan kinerja untuk 36 atribut seperti pada tabel berikut. Tabel 2 Rata-rata Tingkat Kinerja dan Kepentingan Nasabah Bank X N o Atribut Skor Tingkat kinerja Kepentingan 3.94 4.02 Tk, kepuasan IA PA WF WS 98.01 4.020 3.940 0.026 0.104 1 Keramahan teller bank dalam melakukan transaksi 2 Kedisiplinan teller dalam melayani nasabah 3.96 4.38 90.41 4.380 3.960 0.029 0.114 3 Kerapian teller 3.86 3.58 107.82 3.580 3.860 0.024 0.091 4 Kecepatan layanan yang diberikan oleh teller bank 3.84 4.40 87.27 4.400 3.840 0.029 0.111 5 Teller bank melayani nasabah datang dengan baik 4.08 4.14 98.55 4.140 4.080 0.027 0.111 6 3.74 4.62 80.95 4.620 3.740 0.030 0.114 7 Teller memberikan pelayanan yang sama kepada nasabah tanpa memandang status social nasabah Kesabaran teller dalam menghadapi nasabah 4.28 4.10 104.39 4.100 4.280 0.027 0.116 8 Teller menguasai tugas dan tanggung jawabnya 3.86 4.58 84.28 4.580 3.860 0.030 0.116 9 3.88 4.16 93.27 4.160 3.880 0.027 0.106 3.50 3.92 89.29 3.920 3.500 0.026 0.090 3.80 4.20 90.48 4.200 3.800 0.028 0.105 3.82 4.30 88.84 4.300 3.820 0.028 0.108 13 Kesediaan CSO bank dalam membantu nasabah menyelesaikan masalah yang dihadapi nasabah CSO bank mampu memberikan keyakinan terhadap nasabah untuk terus menjadi nasabah di bank CSO mengetahui seluk beluk perbankan dan cepat tanggap dalam memberi penjelsan pada nasabah CSO mampu memberikan informasi yang dibutukan nasabah dengan cepat dan tepat Keramahan dan kesabaran CSO 3.82 3.84 99.48 3.840 3.820 0.025 0.097 14 CSO menguasai tugas dan tanggung jawabnya 3.92 4.46 87.89 4.460 3.920 0.029 0.115 15 Kedisiplinan CSO dalam bekerja/melayani nasabah 3.92 4.46 87.89 4.460 3.920 0.029 0.115 16 Satpam bersedia membantu nasabah 3.76 3.90 96.41 3.900 3.760 0.026 0.097 17 Kerapian dan kebersihan satpam yang bertugas 3.86 4.04 95.54 4.040 3.860 0.027 0.103 18 Satpam mengusai tugas dan tanggung jawabnya 4.36 88.07 4.360 3.840 0.029 0.110 10 11 12 28 3.84 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 19 Luas ruang tunggu cukup 20 Kebersihan ruang tunggu bank 4.44 77.48 4.440 3.440 0.029 0.101 4.16 4.22 98.58 4.220 4.160 0.028 0.116 3.44 21 Kerapian tata ruang tunggu yang dimiliki bank 3.86 4.00 96.50 4.000 3.860 0.026 0.102 22 Kursi tunggu yang ada cukup dan memadai 3.70 4.38 84.47 4.380 3.700 0.029 0.107 23 Tong sampah tersedia dan berfungsi dengan baik 4.12 4.10 100.49 4.100 4.120 0.027 0.111 24 4.44 4.10 108.29 4.100 4.440 0.027 0.120 25 Tersedua media hiburan dan dapat digunakan untuk menghibur nasabah selama menunggu antrian AC tersedia dan berfungsi baik 4.32 4.08 105.88 4.080 4.320 0.027 0.116 26 Tempat parkir tersedia yang cukup luas dan aman 4.24 4.42 95.93 4.420 4.240 0.029 0.123 27 Penyebaran mesin ATM didaerah cukup banyak 3.12 4.44 70.27 4.440 3.120 0.029 0.091 28 Informasi penggunaan ATM ditempelkan di setiap ATM bank untuk mempermudah nasabah Bangunan ATM aman dan nyaman 3.56 4.00 89.00 4.000 3.560 0.026 0.094 4.00 4.52 88.50 4.520 4.000 0.030 0.119 3.78 4.52 83.63 4.520 3.780 0.030 0.113 4.16 3.58 116.20 3.580 4.160 0.024 0.098 3.92 3.54 110.73 3.540 3.920 0.023 0.091 3.96 4.42 89.59 4.420 3.960 0.029 0.115 4.02 4.72 85.17 4.720 4.020 0.031 0.125 3.96 4.54 87.22 4.540 3.960 0.030 0.118 4.22 4.36 96.79 4.360 4.220 0.029 0.121 29 30 33 Keamanan transaksi di ATM bank dengan menempatkan CCTV dan pengawasan petugas keamanan Penyediaan dan pengisian slip transaksi disertai penjelasan pengisiannya Brosur yang berisikan produk-produk bank tersedia untuk mempermudah transaksi Jaminan kerahasiaan data nasabah 34 Keamanan penyimpanan dokumen penting nasaba 35 Kejelasan pemotongan tabungan dari pihak bank apabila terjadi pengurangan uang tabunga nasabah Sistem antrian tertib dengan nomor antrian 31 32 36 Tingkat kepuasan nasabah secara menyeluruh terhadap pelayanan Bank X diketahui dari nilai CSI, yang diperoleh melalui perhitungan seperti pada empat kolom terakhir Tabel 2. CSI īŊ 3,905 x 100% īŊ 78,1% 5 Nilai CSI yang diperoleh berada pada interval 0,66-0,80 yang berarti secara umum nasabah telah merasa puas dengan pelayanan yang diberikan oleh Bank X. Namun pihak Bank X tetap harus memperhatikan kualitas pelayanannya agar nilai CSI meningkat mendekati 100% agar nasabah semakin puas dengan pelayanan yang diberikan oleh pihak Bank X. 2. Importance Performance Analysis (IPA) Importance Performance Analysis (IPA) digunakan untuk membandingkan antara tingkat harapan nasabah yang disimbolkan dengan Y dengan tingkat kinerja bank yang disimbolkan dengan X , yang akan digambarkan dalam diagram kartesius. Titik-titik pada diagram kartesius mewakili setiap atribut pelayanan. Absis dari setiap titik adalah rata-rata dari skor tingkat kinerja, sedangkan ordinatnya adalah rata-rata dari skor tingkat kepentingan. Dengan itu kita dapat mengetahui skala prioritas pembenahan atribut dalam usaha perbaikan dan peningkatan mutu pelayanan. Selanjutnya dilakukan analisis IPA untuk melihat posisi atribut-atribut berdasarkan dalam diagram kartesius. Pada tahap awal, dilakukan perhitungan rata-rata tingkat kepentingan dan tingkat kinerja semua atribut, yakni 29 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 3.94 īĢ 3.82 īĢ 3.78 īĢ ī īĢ 4.49 īŊ 3.907 36 4.02 īĢ 3.84 īĢ 4.52 īĢ ī īĢ 4.10 yīŊ īŊ 4.217 36 xīŊ Berdasarkan nilai ini, digambarkan suatu diagram kartesius yang dilengkapi dengan sebuah horizontal yang akan memotong sumbu y di titik (0;4.217) dan garis vertikal yang akan memotong sumbu x di titik (0;3.907). Dengan dua garis ini, diagram kartesius tersebut akan terbagi ke dalam empat kuadran. Selanjutnya setiap pasangan ( , ) yang mewakili setiap atribut diplotkan ke diagram kartesius tersebut. Diperoleh hasil sebagai berikut. Gambar 2 Diagram IPA Bank X Keterangan: Assurance Tangiblee Reliability Responsiveness Emphaty Gambar 2 memperlihatkan peta penyebaran atribut pada empat buah kuadran pada diagram IPA. Berdasarkan posisi atribut dalam keempat kuadran, dapat ditentukan skala prioritas dalam mengambil kebijakan baik, seperti berikut ini. 1. Kuadran I merupakan prioritas utama Bank X dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan bank. Atribut-atribut yang menjadi prioritas utama Bank X yaitu: īˇ Penyebaran mesin ATM didaerah cukup banyak (aspek tangible pada ATM) īˇ Luas ruang tunggu cukup untuk menampung nasabah yang datang untuk melakukan transaksi (aspek tangible pada bangunan dan ruangan) īˇ Kursi tunggu yang ada cukup dan memadai (aspek tangible pada fasilitas) īˇ Keamanan transaksi di ATM bank dengan menempatkan CCTV dan pengawasan dari petugas keamanan (aspek assurance pada ATM) īˇ Teller memberikan pelayanan yang sama kepada nasabah (aspek emphaty pada teller) 30 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 īˇ Teller menguasai tugas dan tanggung jawabnya (aspek reliability pada teller) īˇ Kecepatan layanan yang diberikan oleh teller (aspek responsiveness pada teller) īˇ CSO mampu memberikan informasi yang dibutukan nasabah dengan cepat dan tepat (aspek responsiveness pada CSO) īˇ Satpam mengusai tugas dan tanggung jawabnya (aspek reliability keamanan) 2. Kuadran II merupakan keadaan yang telah dipenuhi oleh Bank X namun tetap harus diperhatikan untuk dipertahankan keadaannya. Atribut yag harus dipertahankan adalah: īˇ Kejelasan pemotongan tabungan dari pihak bank apabila terjadi pengurangan uang nasabah di tabungan (aspek assurance pada sistem transaksi) īˇ Bangunan ATM aman dan nyaman (aspek tangible pada ATM) īˇ CSO menguasai tugas dan tanggung jawabnya (aspek reliability pada CSO) īˇ Kedisiplinan CSO dalam bekerja (aspek reliability pada CSO) īˇ Jaminan kerahasiaan data nasabah (aspek assurance pada sitem transaksi) īˇ Tempat parkir tersedia dengan luas yang cukup dan aman (aspek tangible pada fasilitas) īˇ Kedisiplinan teller dalam melayani nasabah (aspek reliability pada teller) īˇ Sistem antrian tertib dengan nomor antrian (aspek tangible pada sistem transaksi) īˇ Kebersihan ruang tunggu bank (aspek tangible pada bangunan dan ruangan) 3. Kuadran III merupakan keadaan yang dianggap kurang penting oleh nasabah dan peningkatan kualitasnya pun kurang diperhatikan oleh Bank X. Atribut tersebut adalah: īˇ CSO bank mampu memberikan keyakinan terhadap nasabah untuk terus menjadi nasabah di bank (aspek reliability pada CSO) īˇ Informasi tentang penggunaan ATM yang ditempelkan di setiap ATM bank untuk mempermudah pemahaman nasabah (aspek tangible pada ATM) īˇ CSO mengetahui dengan jelas seluk beluk perbankan sehingga cepat tanggap dalam memberi penjelasan pada nasabah (aspek reliability pada CSO) īˇ Kesediaan CSO bank dalam membantu nasabah menyelesaikan masalah yang dihadapi nasabah (aspek responsiveness pada CSO) īˇ Kerapian dan kebersihan satpam yang bertugas (aspek tangible pada kemanan) īˇ Kerapian tata ruang tunggu (aspek tangible pada bangunan dan ruangan) īˇ Satpam selalu bersedia membantu nasabah yang mengalami kesulitan dan butuh bantuan (aspek responsiveness pada keamanan) īˇ Keramahan dan kesabaran CSO dalam melayani nasabah (aspek assurance pada CSO) īˇ Kerapian teller (aspek tangible pada teller) 31 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 4. Kuadran IV merupakan keadaan yang sangat baik tingkat kinerja yang dilakukan oleh pihak Bank X namun tidak begitu penting bagi nasabah. Atribut tersebut adalah: īˇ Keramahan teller bank (aspek assurance pada teller) īˇ Teller bank melayani nasabah dengan baik (aspek emphaty pada teller) īˇ Kesabaran teller dalam menghadapi nasabah (aspek emphaty pada teller) īˇ Tong sampah tersedia dan berfungsi dengan baik (aspek tangible pada fasilitas) īˇ Tersedia media hiburan dan dapat digunakan untuk menghibur nasabah selama menunggu antrian (aspek tangible pada fasilitas) īˇ AC ada dan berfungsi baik (aspek tangible pada fasilitas) īˇ Penyediaan dan pengisian slip transaksi disertai penjelasan pengisiannya (aspek tangible pada sitem transaksi) īˇ Brosur yang berisikan produk-produk bank tersedia untuk mempermudah transaksi (aspek tangible pada sistem transaksi) E. KESIMPULAN Pada penelitian ini dilakukan analisis kepuasan nasabah bank X, salah satu bank syariah baru di Kota Padang. Berdasarkan hasil survei, diperoleh bahwa indeks kepuasan nasabah adalah sebesar 78,1% yang berarti bahwa nasabah bank X puas dengan pelayanan yang telah diberikan. Beberapa atribut yang masih perlu ditingkatkan adalah penyebaran serta keamanan ATM, fasilitas di ruang tunggu, teller yang menguasai tugas, memberikan pelayanan yang cepat dan sama pada nasabah, CSO yang mampu memberikan informasi yang dibutukan nasabah Atribut yang perlu dipertahankan adalah kejelasan pemotongan tabungan nasabah, kenyamanan ATM, kedisiplinan CSO dan teller, jaminan kerahasiaan data nasabah, kondisi tempat parkir, sistem atrian dan kebersihan ruang tunggu. Sedangkan atribut lain tidak perlu menjapat perhatian lebih dari bank. DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Gaspersz, V. (1992). Teknik Analisis Dalam Penelitian Percobaan. Tarsito: Bandung Martilla, JA and J.C. James. (1997). Importance Performance Analysis (Journal of Marketing). USA Kotler, P. (2002). Manajemen Pemasaran di Indonesia : Analisis, Perencanaan, Implementasi dan Pengendalian. Salemba Empat: Jakarta. Lupiyoadi, R. (2001). Manajemen Pemasaran Jasa.Edisi Pertama. Salemba Empat: Jakarta Martin, Bilodeau & David Brenner. 1999. Theory of Multivarite Statistic.Springer: New York Rahman, A. (1980). Islamic Doctrine on Banking and Insurance. Muslim Trust Company: London Singarimbun, M. & S. Effendi (editor). (1989). Metode Penelitian Survei, edisi revisi. LP3S, Jakarta Tjiptono,F.(2001). Strategi Pemasaran. Edisi Pertama. Andi Ofset: Yogyakarta. 32 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Mengembangkan Kemampuan Komunikasi Matematis Melalui Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Dr. Ahmad Nizar Rangkuti, S. Si., M.,Pd IAIN Padangsidimpuan [email protected] Abstrak. Penelitian ini bertitik tolak dari rendahnya kemampuan siswa pada aspek komunikasi matematis pada pembelajaran matematika di kelas. Siswa sulit untuk menganalisis suatu gambar, grafik, maupun permasalahan matematika. Untuk itu perlu dilakukan perubahan dalam pengajaran matematika dengan menggunakan pendekatan PMR yang merupakan pendekatan pembelajaran yang menggunakan konteks dunia nyata sebagai titik tolak pembelajaran yang berawal dari matematika informal ke matematika formal (konsep dan algoritma). Penelitian ini bertujuan untuk melihat peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa dengan menggunakan pendekatan PMR pada materi pecahan siswa kelas III.1 SD IT Bunayya Padangsidimpuan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian tindakan kelas (PTK). Subjek penelitian ini adalah kelas III.1 SD IT Bunayya Padangsidimpuan tahun ajaran 2013/2014 yang terdiri dari 20 siswa. Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah tes, lembar observasi keterlaksanaan pembelajaran, lembar observasi kemampuan komunikasi matematis siswa dan dokumentasi. Sedangkan analisis data yang dilakukan adalah analisis data kuantitatif dan analisis data kualitatif. .Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh bahwa pembelajaran matematika pada siswa kelas III.1 SD IT Bunayya Padangsidimpuan dengan pendekatan PMR dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa. Peningkatan kemampuan komunikasi matematis terdiri dari: 1) kemampuan mengekspresikan ide-ide matematis melalui lisan, mendemonstrasikan dan menggambarkan secara visual; 2) kemampuan memahami, menginterpretasikan, dan mengevaluasi ide-ide matematis secara lisan, maupun dalam bentuk visual lainnya, dan 3) kemampuan dalam menggunakan istilah-istilah, notasi-notasi matematika dan struktur-strukturnya untuk menyajikan ide-ide, menggambarkan hubungan-hubungan dengan model-model situasi. Key words: Realistic Mathematics Education Approach, Mathematical Communication Ability, Fraction Topic. A. Pendahuluan Matematika merupakan salah satu mata pelajaran penting untuk dipelajari oleh siswa. Dalam pembelajarannya siswa tidak hanya dituntut dalam mengingat atau menghapal rumus, akan tetapi siswa juga harus mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan. Kemampuan siswa dalam menyajikan, menganalisis, menginterpretasikan data, serta mengkomunikasikannya sangat diperlukan oleh siswa. Mengembangkan komunikasi matematis siswa merupakan salah satu hal penting dalam pembelajaran. Siswa dikatakan berhasil dalam pembelajaran matematika apabila mampu memahami dan mengkomunikasikan ide-ide matematis terhadap masalah matematika. Dengan demikian diharapkan siswa mampu mengkomunikasikan gagasan atau ide-idenya dengan simbol, diagram, atau tabel untuk menjelaskan persoalan, begitu juga sebaliknya. 33 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis, salah satunya dapat dilakukan dengan menciptakan pembelajaran interaktif. Salah satu pendekatan pembelajaran yang dapat menciptakan pembelajaran interaktif adalah pendekatan Pendidikan Matematika Realistik (PMR). Pendekatan PMR menggunakan masalah sehari-hari sebagai titik tolak dalam membentuk dan membangun konsep bagi siswa. Pembelajaran selalu diawali dengan serangkaian aktivitas dalam mengantarkan siswa kepada pengetahuan matematika secara utuh dan mendasar sehingga siswa dapat mengaitkan suatu konsep terhadap dunia nyata dan sebaliknya. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di kelas III 1. SD Islam Terpadu (SD IT) Bunayya Padangsidimpuan menunjukkan guru dan siswa belum terbiasa dengan pembelajaran yang diawali dengan konteks. Ditemukan sebagian siswa belum mampu dalam mengkomunikasikan gagasan atau ide-idenya dengan simbol, diagram, atau tabel untuk menjelaskan persoalan, begitu juga sebaliknya. Diharapkan dengan pembelajaran dengan pendekatan PMR masalah tersebut dapat teratasi. Penerapan pendekatan ini dapat mengembangkan kemampuan komunikasi matematis siswa. Dalam implementasinya, pendekatan ini dapat dilakukan secara mandiri atau berkelompok dalam menyelesaikan masalah atau konteks yang diberikan. Dalam hal ini proses komunikasi baik secara lisan maupun tulisan dapat terjadi dengan adanya interaksi dalam pembelajaran. Telah banyak hasil penelitian tentang PMR. Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa kemampuan matematis siswa lebih baik setelah diajar dengan pendekatan matematika realistik (Rangkuti, 2014; Musdi, 2012; Kwon, et.al, 2013; Wawro, et.al, 2013; Prediger & Zuetszchler, 2013; Stephan & Cobb, 2013). Berdasarkan beberapa hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa PMR adalah suatu pendekatan pembelajaran matematika yang tepat untuk memperbaiki kemampuan matematis siswa. Melihat masalah yang ada di kelas III.1 tersebut, hendaknya perlu dilakukan perubahan pengajaran yang lebih menekankan kepada aktivitas siswa sehingga memungkinkan tergalinya potensi siswa khususnya pada aspek komunikasi matematika. Secara khusus, pokok bahasan pecahan pada kelas III merupakan salah satu pokok bahasan penting. Karena pentingnya pokok bahasan ini, maka di kelas berikutnya juga akan dipelajari topik pecahan lanjutan. Pokok bahasan ini diperlukan kemampuan komunikasi matematika. 34 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Oleh karena itu perlu dilakukan pengkajian yang diwujudkan dalam suatu penelitian dengan judul mengembangkan kemampuan komunikasi matematika melalui pendekatan PMR pada pokok bahasan pecahan di kelas III.1 SDIT Bunayya Padangsidimpuan. Pada penelitian ini yang dimaksudkan dengan kemampuan komunikasi matematis adalah kemampuan siswa dalam memahami, menginterpretasikan, mengekspresikan ide-ide matematika, mendemonstrasikan dan menyampaikannya baik secara lisan maupun tulisan. B. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan di kelas III.1 SDIT Bunayya Padangsidimpuan. Dilaksanakannya penelitian di sekolah tersebut karena terdapat masalah yang terkait dengan hasil belajar matematika khususnya pada aspek komunikasi matematika. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas III.1 SDIT Bunayya Padangsidimpuan Tahun Ajaran 2013/2014 yang terdiri dari 20 orang siswa yaitu 12 siswa perempuan dan 8 siswa laki-laki Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2014 sampai dengan April 2014 sesuai dengan jadwal mata pelajaran matematika di sekolah tersebut. Pokok bahasan pada penelitian ini adalah pecahan, sesuai dengan silabus mata pelajaran matematika pada semester genap. Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research). Penelitian Tindakan Kelas ini dilaksanakan secara kolaboratif dengan guru matematika di sekolah yang diteliti, dalam hal ini peneliti terlibat langsung dalam proses pembelajaran baik sebagai observer (pengamat) ataupun terlibat langsung sebagai pengajar di dalam kelas. Instrumen yang digunakan adalah lembar aktivitas siswa, lembar observasi, catatan lapangan, dan test. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model Kurt Lewin (Rangkuti, 2014) yang terdiri dari 4 tahapan yaitu perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi. Tahapan ini di gambarkan sebagai berikut: 35 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Perencanaan Refleksi Siklus 1 Tindakan Observasi Perencanaan Refleksi Siklus 2 Tindakan Observasi Dan Seterusnya Gambar 1. Siklus Pelaksanaan PTK C. Hasil dan diskusi Setelah data terkumpul selama proses penelitian berlangsung selanjutnya dilakukan analisis data dengan menggunakan statistik deskriptif yaitu dengan melihat rata-rata tes kemampuan komunikasi matematika siswa pada setiap siklus untuk melihat sejauh mana peningkatan kemampuan komunikasi matematika siswa. Data yang diperoleh pada setiap pertemuan dalam setiap siklus terdiri dari hasil tes kemampuan komunikasi matematika siswa dan hasil observasi. Tes dilakukan dengan tujuan mengumpulkan data kemampuan komunikasi matematika siswa secara tertulis dan observasi dilakukan untuk mengumpulkan data kemampuan komunikasi matematika siswa secara lisan. Setiap data yang diperoleh akan dianalisis sesuai dengan jenis data yang dimaksud. Berikut dijabarkan analisis data untuk setiap data yang diperoleh : 5. Hasil Tes Kemampuan Komunikasi Matematika Siklus I dan Siklus II Tes yang dilakukan pada setiap akhir siklus berfungsi untuk melihat sejauh mana peningkatan kemampuan komunikasi matematika siswa secara tertulis. Tes komunikasi matematika yang diujikan berbentuk essay test yang terdiri dari 5 soal yang disusun berdasarkan indikator kemampuan komunikasi matematika siswa. Berdasarkan hasil tes diperoleh bahwa pendekatan PMR dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematika siswa pada materi pecahan. Hal ini dapat dilihat berdasarkan rata-rata hasil tes kemampuan komunikasi matematika dan persentase ketuntasan belajar siswa yang semakin meningkat pada setiap siklusnya. Hal ini dapat dilihat berdasarkan tabel di bawah ini : 36 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Tabel 1. Peningkatan Tes Kemampuan Komunikasi Matematika Siswa Rata-Rata Kelas Jumlah Siswa yang Tuntas Tes Awal 66,27 10 Tes Siklus I 78,21 15 Tes Siklus II 85,20 18 Pelaksanaan 6. Hasil Observasi Kemampuan Komunikasi Matematika pada Siklus I dan Siklus II Observasi kemampuan komunikasi matematika ini dilakukan untuk melihat sejauh mana kemampuan siswa dalam memahami, menginterpretasikan, mengekspresikan ataupun mengevaluasi ide-ide matematika dan juga menyampaikannya baik secara tulisan maupun secara lisan. Observasi ini dilakukan pada setiap proses pembelajaran yang terjadi pada setiap siklusnya. Kegiatan yang diobservasi meliputi: a. Kemampuan mengekspresikan ide-ide matematis melalui lisan, dan mendemonstrasikannya serta menggambarkannya secara visual. b. Kemampuan memahami, menginterpretasikan, dan mengevaluasi ide-ide matematis secara lisan, maupun dalam bentuk visual lainnya. c. Kemampuan dalam menggunakan istilah-istilah, notasi-notasi matematika dan struktur-strukturnya untuk menyajikan ide-ide, menggambarkan hubungan-hubungan dengan model-model situasi. Berikut tabel peningkatan kemampuan komunikasi matematika siswa berdasarkan hasil observasi yang dilakukan : Tabel 2. Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematika pada Siklus I dan Siklus II Berdasarkan Hasil Observasi Pelaksanaan Siklus I Siklus II Indikator Rata-Rata KKM Pertemuan 1 A 32,89% B 35,53% C 52,63% Pertemuan 2 52,63% 57,53% 65,79% 58,65% Pertemuan 1 73,68% 71,05% 76,32% 73,68% Pertemuan 2 84,21% 80,26% 84,26% 82,91% 40,35% Dengan demikian terlihat bahwa jumlah siswa yang telah berhasil meningkat kemampuan komunikasi matematika. Dengan demikian, hipotesis tindakan telah berhasil tercapai yaitu penerapan pendekatan PMR dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematika siswa pada materi pecahan di SDIT Bunayya Padangsidimpuan. 37 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Berdasarkan analisis yang dilakukan, kemampuan komunikasi matematika siswa dapat meningkat dengan menggunakan pendekatan PMR disebabkan oleh beberapa hal yaitu : 1. Pendekatan PMR memiliki pola guide reinvention yang dapat mengkonstruksi pengetahuan siswa dalam menemukan kembali konsep ataupun ide matematika melalui bimbingan guru sehingga siswa dapat menganalisis suatu permasalahan, diagram, ataupun gambar yang diberikan. 2. Penggunaan masalah dunia nyata (konteks) sebagai titik awal pembelajaran pada pendekatan PMR memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan sendiri model-model matematika yang bersifat informal seperti diagram, simbol, gambar,dan lainnya kepada matematika yang bersifat formal yaitu konsep dan algoritma. 3. Penggunaan interaktifitas dalam pendekatan PMR menjadikan siswa menjadi aktif dalam pembelajaran yang dilakukann sehingga siswa tidak hanya diajak untuk berfikir tetapi siswa juga harus dapat merespon, berdiskusi, menulis, membaca, mendengarkan guru serta menemukan konsep-konsep matematika. D. PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa kemampuan komunikasi matematika siswa kelas III.1 SDIT Bunayya Padangsidimpuan mengalami perkembangan melalui pendekatan PMR. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan rata-rata hasil tes kemampuan komunikasi matematika yaitu 66,27 pada tes awal meningkat menjadi 78,21 pada tes akhir siklus I dan pada tes akhir siklus II rata-rata hasil tes kemampuan komunikasi matematika siswa mencapai 85,20. Sementara itu, persentase ketuntasan belajar siswa juga mengalami peningkatan, hal ini terlihat dari peningkatan jumlah siswa yang mencapai KKM yaitu pada tes awal jumlah siswa yang tuntas adalah 10 siswa atau 50 % dari 20 siswa, pada siklus I siswa yang tuntas ada 15 siswa atau 75% dari 20 siswa dan pada siklus II jumlah siswa yang tuntas mencapai 90 % atau 18 siswa dari 20 siswa. Berdasarkan hasil observasi kemampuan komunikasi matematika selama pembelajaran komunikasi lisan siswa meningkat pada siklus pertama pertemuan 1 diperoleh 40,35% menjadi 58,65 % pada pertemuan 2, dan pada siklus II pertemuan 1 diperoleh 73,68 % dan pada pertemuan 2 diperoleh 82,91%. 38 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Kwon, O.N., et.al., 2013. Design research as an inquiry into students’ argumentation and justifcation: Focusing on the design of intervention. In T. Plomp, & N. Nieveen (Eds.), Educational design research – Part B: Illustrative cases (pp. 199-220). Enschede, the Netherlands: SLO. Musdi, Edwin. 2012. Pengembangan Model Pembelajaran Geometri SMP dengan Pendekatan Matematika Realistik. Disertasi. PPs UNP Padang Prediger, S., & Zwetschler, L. 2013. Topic-specifc design research with a focus on learning processes: The case of understanding algebraic equivalence in grade 8. In T. Plomp, & N. Nieveen (Eds.), Educational design research – Part B: Illustrative cases (pp. 407-424). Enschede, the Netherlands: SLO Rangkuti, Ahmad Nizar. 2014. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Citapustaka Media -----------------------------. 2015. Statistik untuk Penelitian Pendidikan. Bandung: Citapustaka Media. -------------------------------. 2015. Pengembangan Alur Pembelajaran Topik Pecahan di Sekolah Dasar dengan Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik. Disertasi, PPs UNP Padang. Stephan, M., & Cobb, P., 2013. Teachers engaging in mathematics design research. In T. Plomp, & N. Nieveen (Eds.), Educational design research – Part B: Illustrative cases (pp. 277-298). Enschede, the Netherlands: SLO. Wawro, M., et.al. 2013. Design research within undergraduate mathematics education: An example from introductory linear algebra. In T. Plomp, & N. Nieveen (Eds.), Educational design research – Part B: Illustrative cases (pp. 905-925). Enschede, the Netherlands: SLO. 39 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Tahap Preliminary Research (Investigasi Awal) Pengembangan Lembar Kerja Limit, Turunan, Dan Integral Pada Mahasiswa Pendidikan Biologi STKIP PGRI Sumatera Barat Ainil Mardiyah1, Lita Lovia2 1 STKIP PGRI Sumatera Barat, Gunung Pangilun, Padang [email protected], [email protected] Abstrak. Salah satu alat dalam matematika yang dapat digunakan untuk memecahkan berbagai masalah di bidang biologi adalah Teori Limit, Turunan, dan Integral. Tujuan mempelajari Teori Limit, Turunan, Dan Integral pada mahasiswa Pendidikan Biologi STKIP PGRI Sumatera Barat adalah agar mahasiswa memiliki kemampuan pemecahan masalah sehingga dapat diterapkan di bidang biologi maupun digunakan sebagai landasan dalam mempelajari mata kuliah lain seperti biostatistika. Proses perkuliahan matematika dasar yang dilakukan selama ini belum menampakkan keterampilan-keterampilan berpikir kritis, kreatif, dan pemecahan masalah. Hal ini disebabkan mahasiswa belum memahami materi yang disajikan dalam bahan ajar. Untuk itu, dilakukan penelitian ini yang bertujuan untuk menganalisis permasalahan, kebutuhan dan karakteristik mahasiswa untuk mengembangkan bahan ajar pada perkuliahan Matematika Dasar pada Program Studi Pendidikan Biologi di STKIP PGRI Sumatera Barat. Dari hasil analisis diperoleh bahwa mahasiswa membutuhkan Lembar Kerja Limit, Turunan, dan Integral untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah mahasiswa Pendidikan Biologi STKIP PGRI Sumatera Barat. Kata Kunci : Lembar Kerja, Matematika Dasar A. Pendahuluan Dalam perkuliahan matematika dasar, mahasiswa diajarkan Teori limit, turunan, dan integral. Tujuan mempelajari teori limit, turunan, dan integral pada mahasiswa Pendidikan Biologi STKIP PGRI Sumatera Barat adalah agar mahasiswa memiliki kemampuan pemecahan masalah sehingga dapat diterapkan di bidang biologi maupun digunakan sebagai landasan dalam mempelajari mata kuliah lain. Proses perkuliahan Matematika Dasar selama ini menggunakan metode ceramah dan menggunakan satu bahan ajar, yaitu buku teks. Berdasarkan pengamatan peneliti, penggunaan metode konvensional menyebabkan perkuliahan monoton dan bahan ajar yang dipakai dalam proses perkuliahan belum mampu mengkonstruksi pengetahuan mahasiswa, sehingga mahasiswa tidak memahami materi yang disajikan dalam bahan ajar. Bahasa bahan ajar terlalu to the point, mahasiswa tidak mempunyai kesempatan mengembangkan pola pikir kreatif serta kemampuan pemecahan masalah mahasiswa yang masih rendah, khususnya untuk materi limit, turunan, dan integral yang sangat berperan dalam pemecahan masalah biologi. Kondisi 40 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 ini menjadi kendala yang berarti karena keberadaan bahan ajar diperlukan untuk mendukung pencapaian kompetensi pembelajaran. Salah satu bentuk bahan ajar yang memfasilitasi kemampuan pemecahan masalah mahasiswa adalah lembar kerja. Dalam kegiatan eksplorasi yang berupa penyelidikan dan penemuan diperlukan lembar kerja. Prinsip lembar kerja adalah mengarahkan mahasiswa pada pola pikir yang runut dan benar sehingga mahasiswa akan memahami proses pemecahan masalah yang disajikan (Asnawi dan Paryanto, 2012: 149). Oleh karena itu, akan dilakukan penelitian pengembangan yang bertujuan untuk menghasilkan lembar kerja limit, turunan, dan integral untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah mahasiswa pendidikan biologi. B. METODE PENELITIAN Metode penelitian adalah dengan analisis deskriptif. Hal ini dilakukan untuk melihat kondisi yang berhubungan dengan proses pembelajaran kemudian menganalisis permasalahan dan kebutuhan. Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah sebagai berikut. a. Menganalisis silabus, hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah materi yang diajarkan sudah sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar mata kuliah. b. Menganalisis buku yang berkaitan dengan Matematika Dasar, hal ini bertujuan untuk melihat kesesuaian isi buku dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang harus dicapai mahasiswa. c. Wawancara dengan dosen pengampu mata kuliah, bertujuan untuk mengetahui masalah/hambatan apa saja yang dihadapi di lapangan sehubungan dengan perkuliahan Matematika Dasar. Hasil wawancara dianalisis secara deskriptif. Menurut Miles dan Huberman dalam Nyimas (2007:62) menyatakan “bahwa wawancara dari para pakar menghasilkan data kualitatif berdasarkan transkripsi tertulis dan catatan yang dibuat dibuat saat wawancara berlangsung”. Miles menyatakan cara menganalisis data kualitatif terdiri dari tiga tahap, yaitu mereduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Mereduksi data merupakan proses menyeleksi, memfokuskan, dan mengabstraksi, dan mentransformasi data mentah yang diperoleh melalui observasi. d. Wawancara dengan mahasiswa yang telah mengambil mata kuliah Matematika Dasar untuk menganalisis kebutuhan mahasiswa terhadap bahan ajar. Pertanyaan Wawancara 1. 2. 3. Bagaimana menurut pendapat Saudara mengenai metode pembelajaran yang digunakan oleh dosen dalam perkuliahan Matematika Dasar? Apa saja kendala yang Saudara temui dalam perkuliahan Matematika Dasar? Apakah waktu yang Saudara butuhkan dalam memahami materi perkuliahan 41 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 lebih singkat? Apa saja bahan ajar (buku sumber) yang digunakan dalam perkuliahan Matematika Dasar? 5. Apakah Saudara membutuhkan waktu yang relatif singkat dalam memahami buku ajar tersebut? 6. Apakah penggunaan bahasa dalam buku ajar dapat Saudara pahami dengan baik? 7. Apakah penggunaan buku ajar tersebut dapat meningkatkan aktivitas Saudara dalam perkuliahan? 8. Bagaimana kriteria bahan ajar yang Saudara harapkan? 9. Menurut Saudara, apakah belajar dengan menggunakan lembar kerja dapat meningkatkan aktivitas belajar Saudara? 10. Menurut Saudara, apakah dengan menggunakan lembar kerja dapat membantu Saudara belajar secara mandiri? 4. e. Mereviuw literatur yang terkait dengan penelitian pengembangan, bertujuan untuk melihat rujukan mengenai penelitian pengembangan dan jenis-jenis bahan ajar yang tepat untuk dikembangkan sesuai dengan permasalahan yang ditemukan berdasarkan hasil wawancara. C. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis silabus diperoleh bahwa materi yang diajarkan sudah sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar mata kuliah. Peneliti melihat bahwa kompetensi yang harus dicapai mahasiswa cukup banyak. Untuk itu perlu bahan perkuliahan pendukung agar tujuan perkuliahan tercapai, yaitu suatu bahan perkuliahan yang dapat membimbing, melatih serta meningkatkan pemecahan masalah mahasiswa. Setelah itu, peneliti melakukan analisis terhadap buku-buku yang berkaitan dengan Matematika Dasar, khususnya pada materi Limit, Turunan dan Integral. Buku yang diamati diantaranya adalah Buku Matematika Dasar karangan Wilson Simangunsong, Matematika Universitas karangan Frank Ayres, JR.,Ph.D & Philip A. Schmidt, Ph.D, dan Kalkulus dan Ilmu Ukur Analitik karangan Purcell, E & Varberg, D. Hasil analisis yang diperoleh menunjukkan bahwa cakupan materi yang ada dalam buku terlalu luas dan cara penyajiannya menggunakan bahasa analisis yang terlalu tinggi, sehingga susah dipahami oleh mahasiswa di STKIP PGRI Sumatera Barat. Serta buku-buku yang ada tidak sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang hendak dicapai. Dari wawancara dengan dosen pengampu mata kuliah Matematika Dasar, diperoleh informasi bahwa selama ini proses pembelajaran dominan dengan metode ceramah. Metode kelompok sudah pernah diterapkan, tapi belum efektif karena mahasiswa banyak bergantung kepada dosen dalam memahami materi. Saat diberikan soal yang bervariasi, mulai dari soal dengan tingkat 42 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 kesulitan rendah hingga soal yang memerlukan analisa, hanya beberapa mahasiswa saja yang mampu mengerjakan dengan baik. Untuk itu diperlukan suatu bantuan berupa bahan ajar yang dapat membimbing mahasiswa dalam belajar, melatih keterampilan pemecahan masalah mahasiswa. Berdasarkan hasil wawancara dengan mahasiwa menunjukkan bahwa mahasiswa membutuhkan suatu bahan ajar untuk membantu dalam perkuliahan, yaitu berupa Lembar Kerja. Lembar Kerja merupakan bahan ajar penunjang yang digunakan untuk belajar mandiri dalam memahami konsep materi serta sebagai sarana untuk melatih keterampilan dalam menyelesaikan berbagai persoalan. Setelah dilakukan wawancara, peneliti melakukan reviuw literatur mengenai penelitian pengembangan. Buku yang direviuw adalah buku metodologi penelitian pengembangan dianalisis guna mempelajari tahap-tahap pengembangan suatu produk. Dengan adanya literatur yang berhubungan dengan penelitian pengembangan, Lembar Kerja, peneliti akan terbantu dalam perancangan Lembar Kerja. D. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa mahasiswa membutuhkan Lembar Kerja limit, turunan, dan integral untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah mahasiswa pendidikan biologi di STKIP PGRI Sumatera Barat. DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. Riduwan, (2012). Belajar Mudah Penelitian untuk Guru-karyawan dan Peneliti Pemula. Bandung: Alvabeta Darminto, Bambang Priyo. (2013). “Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Mahasiswa melalui Pembelajaran Model Treffinger”. Jurnal Pendidikan Matematika dan Sains: I (2): 101-107. Asnawi dan Paryanto. 2012. “Upaya Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Kinematika dan Dinamika Mesin melalui Implementasi Lembar Kerja terstruktur di Jurusan Pendidikan Teknik Mesin”. Jurnal Pendidikan Teknologi dan Kejuruan: 21(2): 148-156. 43 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 PENERAPAN TAPPS DISERTAI HYPNOTEACHING (HYPNO-TAPPS) DALAM PENINGKATAN KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIS SISWA SMP Audra Pramitha Muslim STKIP PGRI Sumatera Barat, Jl. Gunung Pangilun, Padang [email protected] Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji masalah peningkatan kemampuan representasi matematis siswa sebelum dan setelah memperoleh pembelajaran Hypno-TAPPS dan konvensional, serta perbedaan peningkatan kemampuan representasi matematis siswa ditinjau dari kemampuan awal matematis siswa. Penelitian ini merupakan penelitian quasi experiment dengan desain kelompok kontrol non-ekuivalen, dengan populasi siswa kelas VIII salah satu SMPN Kota Padang. Satu kelas sebagai kelompok kontrol yang memperoleh pembelajaran konvensional dan satu kelas lainnya sebagai kelompok eksperimen yang memperoleh pembelajaran Hypno-TAPPS. Instrumen pengumpulan data pada penelitian ini ialah instrumen tes dengan analisis menggunakan uji perbedaan rataan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa; (1) peningkatan kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran Hypno-TAPPS lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional, (2) terdapat perbedaan peningkatan kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran TAPPS disertai hypnoteaching dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional terhadap kategori kemampuan awal matematis siswa (tinggi, sedang, dan rendah), dimana lebih spesifik terdapat pada siswa berkemampuan awal matematis yang berkategori tinggi dan rendah, tetapi pasangan kemampuan awal matematis tinggi dan sedang, serta sedang dan rendah tidak terdapat perbedaan. Kata Kunci: Hypno-TAPPS dan Kemampuan Representasi Matematis A. PENDAHULUAN Setiap proses pembelajaran harus sesuai dengan tujuan pendidikan yang mengembangkan kemampuan peserta didik, begitu pula dengan pembelajaran matematika. Hal ini sesuai dengan tujuan pembelajaran matematika yang dirumuskan National Council of Teacher of Mathematics (NCTM, 2000) diantaranya: (1) belajar untuk berkomunikasi, (2) belajar untuk bernalar, (3) belajar untuk merepresentasikan ide-ide. Standar representasi yang tertuang dalam NCTM (2000) menyatakan bahwa siswa selama pembelajaran di sekolah memiliki kemampuan untuk: 1. Menciptakan dan menggunakan representasi untuk mengorganisir, mencatat dan mengkomunikasikan ide-ide matematis. 2. Memilih, menerapkan dan menerjemahkan representasi matematis untuk memecahkan masalah. 3. Menggunakan representasi untuk memodelkan dan menginterpretasikan fenomena fisik, social, dan fenomena matematis. 4. Matematika merupakan pelajaran yang abstrak, sehingga dibutuhkan kemampuan untuk menjadikan ide matematis menjadi lebih konkrit. 44 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Kegunaan kemampuan tersebut dapat membuat siswa bebas berimajinatif dan berpikir kreatif dalam bentuk gambar, symbol, lisan, grafik maupun teks tertulis, sehingga tidak menghafal semata. Meskipun demikian pada pelaksanaannya bukan merupakan hal yang sederhana. Keterbatasan pengetahuan guru dan kebiasaan siswa belajar di kelas, belum memungkinkan untuk menumbuhkan atau mengembangkan kemampuan representasi matematis siswa secara optimal. Hal ini menunjukkan terdapat permasalahan mendasar yaitu kurang berkembangnya kemampuan representasi matematis siswa, khususnya pada siswa SLTP. Ini disebabkan karena selain guru menyampaikan materi matematika dengan pembelajaran biasa, siswa juga cenderung meniru langkah guru. Siswa jarang diberikan kesempatan untuk menghadirkan representasinya sendiri yang dapat meningkatkan perkembangan kemampuan representasi matematis siswa. Padahal menurut Piaget, usia siswa SLTP berada pada (permulaan) tahap operasi formal yang tepat untuk memberikan banyak kesempatan memanipulasi benda konkrit, membuat model, diagram, dan lain-lain, sebagai alat perantara untuk merumuskan dan menyajikan konsep-konsep abstrak. Kenyataan lain yang ditemukan yaitu siswa kurang termotivasi dan mudah menyerah dalam menyelesaikan permasalahan matematis yang berpikir tingkat tinggi, selain itu perhatian siswa terhadap hasil belajar atau nilai yang diperoleh siswa terkesan menerima apa adanya dan “pasrah”, bahkan ketika mendapatkan nilai di bawah criteria ketuntasan minimalpun siswa tidak mau untuk melakukan perbaikan. Kesuksesan individu sangat ditentukan oleh kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan. Kebiasaankebiasaan positif yang dilakukan secara konsisten dan berpotensi dapat membentuk kemampuan-kemampuan positif. Kemampuan positif juga dapat terjadi dari proses pembelajaran yang diikuti dengan semangat positif. Semangat positif akan menarik sebanyak mungkin nilai-nilai positif dalam kelas, sekolah, siswa dan sesame rekan. Semangat positif tersebut juga harus diperoleh dari diri sendiri sebelum orang lain memberikan pengaruh positif kepada diri kita. Kebiasaan-kebiasaan positif tersebut dapat dipengaruhi dengan sugesti-sugesti yang tertanam maupun ditanamkan oleh orang lain kepada kita. Hypnosis dapat mempengaruhi orang lain, salah satunya dengan memberikan sugesti tertentu. Ilmu hypnosis yang dipergunakan dalam kepentingan dunia pengajaran dan pendidikan dikenal dengan sebutan Hypnoteaching. Hypnoteaching ini hanya bermain pada tataran “proses pembelajaran” saja, bukan pada masalah filosofi dan kebijakan kependidikan. Peran guru dalam kegiatan pembelajaran matematis dengan menggunakan metode hypnoteaching ini tidak bersifat sebagai dictator, tetapi sebatas fasilitator, administrator, motivator, dan evaluatos, sehingga siswa bebas memberikan gagasan- 45 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 gagasan yang bervariasi dan kreatif dalam menyelesaikan masalah matematis yang diberikan. Sugesti-sugesti yang diberikan guru juga menimbulkan keberanian siswa untuk mengemukakan pendapatnya seperti menjelaskan suatu ide matematis secara lisan maupun tulisan serta mendiskusikan segala sesuatu tentang matematika. Hal-hal tersebut diharapkan dapat mendorong munculnya kemampuan representasi serta suasana yang menyenangkan. Belajar matematika dengan hypnoteaching ini dapat memunculkan nilai-nilai positif pada diri siswa serta lingkungannya (termasuk guru dan teman sejawat), oleh karena itu pelaksanaan metose pembelajaran hypnoteaching ini akan disertai pada pelaksanaan metode TAPPS (Thinking Aloud Pair Problem Solving). Aktivitas TAPPS ini dilakukan dalam kelompok kecil yang beranggotakan dua orang yang heterogen dan memungkinkan terjadinya interaksi positif antar siswa sehingga dapat meningkatkan kepercayaan diri siswa dalam menyelesaikan masalah matematis. Selain dari aspek kognitif, Kemampuan Awal Matematis (KAM) siswa juga dijadikan sebagai focus dalam penelitian ini. Hal ini terkait dengan efektivitas implementasinya pada proses pembelajaran. Tujuannya yaitu untuk melihat apakah implementasi metode pembelajaran TAPPS diserta hypnoteaching dapat merata di semua kategori KAM siswa. Jika merata di semua kategori KAM, maka penelitian ini dapat digeneralisir bahwa implementasi pembelajaran TAPPS disertai hypnoteaching cocok diterapkan untuk semua tingkat kemampuan. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan suatu penelitian yang berjudul “Penerapan TAPPS disertai Hypnoteaching (Hypno-TAPPS) dalam Peningkatan Kemampuan Representasi Matematis Siswa”. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini ialah, untuk melihat: (1) peningkatan kemampuan representasi matematis siwa yang memperoleh pembelajaran TAPPS disertai hypnoteaching dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. (2) perpedaan peningkatan kemampuan representasi matematis siswa ditinjau dari kemampuan awal matematis siswa. B. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian quasi experiment atau eksperimen semu. Pertimbangan penggunaan desain penelitian ini adalah kelas yang ada sudah terbentuk sebelumnya, sehingga tidak dilakukan lagi pengelompokkan secara acak. Apabila dilakukan pembentukan kelas baru dimungkinkan akan menyebabkan kekacauan jadwal pelajaran dan mengganggu efektivitas pembelajaran di sekolah. Selain itu, penelitian ini menggunakan desain kelompok kontrol non-ekuivalen (Ruseffendi, 2005) berikut. 46 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Kelas Eksperimen :O X O Kelas Kontrol :O O Keterangan: O : Pretes atau Postes Kemampuan Representasi Matematis. X : Pembelajaran TAPPS disertai hypnoteaching. : Subjek tidak dikelompokkan secara acak. Keterkaitan antara tingkat kemampuan siswa (KAM) dengan pembelajaran yang diberikan disajikan pada rancangan ANOVA yang digunakan di bawah ini. Tabel 1. Rancangan ANOVA KAM Pembelajara n Tinggi Sedang Rendah TAPPS disertai Pembelajaran Hypnoteaching Konvensional HTTR PKTR HTSR PKSR HTRR PKRR Keterangan (Contoh): HTTR adalah kemampuan representasi matematis siswa bekemampuan tinggi dengan menggunakan TAPPS disertai Hypnoteaching. C. Prosedur Penelitian Berikut ini merupakan tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini: Identifikasi Masalah Penyusunan Perangkat Pembelajaran Penyusunan Instrumen Uji Coba Instrumen Analisis Validitas, Reliabilitas, Daya Pembeda, dan Tingkat Kesukaran Tes Awal (Pretes) Kelas Eksperimen Pembelajaran matematika dengan TAPPS disertai Hypnoteaching Kelas Kontrol Pembelajaran matematika dengan konvensional Tes Akhir (Postes) Analisis Data Kesimpulan 47 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 D. HASIL DAN PEMBAHASAN Program SPSS 16 for Windows dan Microsoft Office Excel 2007 digunakan untuk mencapai tujuan penelitian tersebut. 1. Hasil Penelitian Data hasil belajar diperoleh melalui pretes dan postes kemampuan representasi matematis. Pretes kemampuan representasi matematis diadakan sebelum pembelajaran diberikan, dengan tujuan untuk mengetahui kemampuan awal matematis siswa kelas kontrol dan kelas eksperimen. Peningkatan kemampuan representasi matematis siswa dilihat dari data skor gain ternormalisasi (Ngain) antar kedua kelas, serta kategori kemampuan awal matematisnya. Data tersebut diperoleh dari 45 siswa, terdiri dari 22 siswa kelas kontrol dan 23 siswa kelas eksperimen. Berikut ini merupakan deskripsi data pretes, postes, dan Ngain pada kelas kontrol dan kelas eksperimen. Tabel 2. Data Hasil Statistik Deskriptif Kemampuan Representasi Matematis Nilai Pretes Postes N-gain N 22 22 22 Xmin 3 9 0,11 Kontrol Eksperimen Ė Ė Xmaks % N Xmin Xmaks 17 9,05 32,32 23 2 18 7,70 23 15,27 54,54 23 9 27 18,35 0,65 0,335 1,196 23 0,27 0,91 0,548 Skor Maksimum Ideal = 28 % 27,5 65,54 1,957 Untuk lebih jelasnya, tabel 2 di atas dapat dibuat diagram perbandingan rataan skor pretes dan postes sebagai berikut. Kontrol Nilai Rataan Eksperimen 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0 18,35 15,27 9,05 7,7 0,34 0,55 Pretes Postes N-gain Tes Kemampuan Representasi Gambar 1. Perbandingan Rataan Skor Pretes, Postes, dan N-gain Kemampuan Representasi Matematis Dari gambar 1 di atas, terlihat bahwa rataan pretes kelas kontrol lebih tinggi dari kelas eksperimen sebelum diberikan perlakuan, sedangkan untuk rataan postes kelas eksperimen yang memperoleh pembelajaran TAPPS disertai hypnoteaching menunjukkan hasil yang 48 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol yang memperoleh pembelajaran konvensional. Data di atas menunjukkan bahwa terjadi peningkatan skor kemampuan representasi matematis siswa setelah pembelajaran dilaksanakan. Pada analisis data skor N-gain kemampuan representasi matematis menggunakan data gain ternormalisasi. Data gain ternormalisasi juga menunjukkan klasifikasi peningkatan skor siswa yang dibandingkan dengan skor maksimal idealnya. Rangkuman rataan skor N-gain kemampuan representasi matematis siswa pada kelas kontrol dan kelas eksperimen disajikan dalam tabel berikut ini. Tabel 3. Data Hasil Rataan dan Klasifikasi N-gain Kemampuan Representasi Matematis Kelas Rataan N-gain Klasifikasi Kontrol 0,33 Sedang Eksperimen 0,55 Sedang Tabel 3 di atas terlihat bahwa siswa yang memperoleh pembelajaran TAPPS disertai hypnoteaching (kelas eksperimen) memiliki rataan skor N-gain lebih besar daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional (kelas kontrol). Meskipun klasifikasi skor Ngain kelas eksperimen dan kelas kontrol termasuk kategori sedang, tetapi skor peningkatan kemampuan representasi matematis siswa kelas eksperimen lebih tinggi daripada kelas kontrol. Pengujian perbedaan rataan skor N-gain dengan uji independent sample t-test perlu digunakan untuk mengetahui apakah peningkatan kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran TAPPS disertai hypnoteaching lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Pengujian perbedaan rataan skor Ngain dengan uji anova dua jalur juga perlu dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran TAPPS disertai hypnoteaching dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional ditinjau dari kategori kemampuan awal matematis (tinggi, sedang, rendah). Namun sebelumnya terlebih dahulu harus dilakukan uji prasyarat normalitas dan homogenitas terhadap data skor N-gain kedua kelompok data tersebut. a) Uji Normalitas Data Skor N-gain Uji normalitas skor N-gain kemampuan representasi matematis menggunakan uji Shapiro-Wilk, dengan rumusan hipotesisnya yaitu: Ho :data sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal. H1 :data sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal Rangkuman hasilnya disajikan pada tabel berikut ini. 49 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Tabel 4. Data Hasil Uji Normalitas Skor N-gain Kemampuan Representasi Matematis Shapiro-Wilk Keterangan Statistic Df Sig. Kontrol 0,921 7 0,475 Terima H0 Tinggi Eksperimen 0,870 7 0,185 Terima H0 Kontrol 0,843 8 0,080 Terima H0 Sedang Eksperimen 0,935 9 0,531 Terima H0 Kontrol 0,898 7 0,317 Terima H0 Rendah Eksperimen 0,873 7 0,195 Terima H0 H0 :data sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Kategori KAM Kelas Tabel 4 di atas terlihat bahwa data skor N-gain kemampuan representasi matematis siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol memiliki nilai Sig. > α = 0,05, sehingga H0 diterima. Hal ini menunjukkan bahwa data skor N-gain kemampuan representasi matematis siswa kelas kontrol dan kelas eksperimen berdistribusi normal. b) Uji Homogenitas Data Skor N-gain Pengujian homogenitas varians skor N-gain kemampuan representasi matematis menggunakan uji Levene dengan bantuan program SPSS 16 for Windows pada taraf signifikansi α = 0,05. Adapun hipotesis yang akan diuji yaitu: Ho :data sampel memiliki variansi homogen. H1 :data sampel tidak memliki bervariansi homogen Rangkuman hasil perhitungan uji homogenitas disajikan pada tabel berikut. Tabel 5. Data Hasil Uji Homogenitas Skor N-gain Kemampuan Representasi Matematis Levene df1 df2 Sig. Keterangan Statistic 0,472 5 39 0,795 Terima H0 H0 :data sampel memiliki variansi yang homogen. Tabel 5 di atas terlihat bahwa skor N-gain kemampuan representasi matematis siswa dengan ketiga kategori tersebut memiliki nilai Sig. lebih besar dari α = 0,05, sehingga H0 diterima. Artinya skor N-gain kemampuan representasi matematis siswa kelas kontrol dan kelas eksprimen dengan kategori (tinggi, sedang, rendah) berasal dari varians yang homogen. c) Uji Anova Dua Jalur Hasil uji normalitas dan homogenitas di atas, menunjukkan bahwa data skor N-gain berdasarkan KAM untuk kemampuan representasi matematis siswa kedua kelas yaitu kelas kontrol dan kelas eksperimen berdistribusi normal dan homogen. Oleh karena itu, untuk mengetahui signifikansi perbedaan rataan kedua kelompok data dilakukan analisis varians (ANOVA) dua jalur. Analisis ini dilakukan untuk melihat pengaruh langsung dari perlakuan yang berbeda terhadap kemampuan representasi matematis ditinjau dari kategori kemampuan awal matematis siswa. 50 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Hasil perhitungan uji analisis varians menggunakan General Linear Model (GLM)Univariate dengan bantuan program SPSS 16 for Windows dilakukan pada taraf signifikansi α = 0,05 atau 5%. Adapun hipotesis penelitian yang akan diujikan adalah sebagai berikut: H0 :Peningkatan kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran TAPPS disertai hypnoteaching sama dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. H1 :Peningkatan kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran TAPPS disertai hypnoteaching lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Hipotesis KAM : Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran TAPPS disertai hypnoteaching pembelajaran dan konvensional, siswa bila yang ditinjau memperoleh dari kategori kemampuan awal matematika siswa (tinggi, sedang, rendah). Rangkuman hasilnya disajkan pada tabel 6 di bawah ini. Tabel 6. Data Hasil Uji Anova Dua Jalur Kemampuan Representasi Matematis Sumber df Mean Square F Sig. KAM 2 0,145 6,931 0,003 Kelas 1 0,540 25,749 0,000 Ket. Kesimpulan Tolak H0 Tolak H0 Hipotesis Penelitian Diterima Tabel 6 di atas dapat disimpulkan bahwa faktor KAM siswa memberikan perbedaan yang signifikan terhadap kemampuan representasi matematis siswa. Hal ini terlihat dari nilai F yang diperoleh dengan nilai signifikan 0,003 < α = 0,05. Demikian juga faktor kelas (kelas kontrol dan kelas eksperimen) memberikan perbedaan yang signifikan terhadap kemampuan representasi matematis siswa. Hal ini terlihat dari nilai F yaitu 25,749 dan mempunyai nilai signifikansi yaitu 0,000 < α = 0,05. Berarti terdapat perbedaan yang signifikan dalam skor N-gain kemampuan representasi matematis siswa berdasarkan model pembelajaran dan kategori KAM. Oleh karena itu uji Scheffe (karena varians kategori KAM homogen) akan dilakukan untuk mengetahui KAM mana yang berbeda secara signifikan dalam kemampuan representasi matematis, hasil perhitungannya disajikan pada tabel di bawah ini. 51 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Tabel 7. Data Hasil Uji Scheffe Rataan Skor N-gain Berdasarkan Kategori KAM Perbedaan Sig. Keterangan Rataan (I-J) Sedang 0,1328 0,050 Terima H0 Tinggi Rendah 0,1986 0,003 Tolak H0 Tinggi -0,1328 0,050 Terima H0 Sedang Rendah 0,0658 0,460 Terima H0 Tinggi -0,1986 0,003 Tolak H0 Rendah Sedang -0,658 0,460 Terima H0 H0 : tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan representasi kedua kelas sampel KAM (I) KAM (J) Tabel 7 memperlihatkan bahwa nilai signifikansi untuk pasangan KAM tinggi dan sedang adalah 0,050 ini berarti rataan skor N-gain kemampuan representasi matematis siswa kelompok tinggi secara signifikan tidak lebih tinggi dari rataan skor N-gain kemampuan representasi matematis siswa kelompok sedang. Hal yang sama juga terlihat pada pasangan KAM sedang dan rendah, dengan nilai signifikansi 0,460. Artinya siswa pada kelompok sedang mempunyai rataan skor N-gain kemampuan representasi matematis tidak lebih tinggi dari rataan skor N-gain kemampuan representasi matematis siswa yang berada pada kelompok rendah. Namun, hal tersebut tidak terjadi pada pasangan KAM yang berkategori tinggi dan rendah, dengan nilai signifikansi 0,003 ini berarti rataan skor N-gain kemampuan representasi matematis siswa yang berada pada kelompok tinggi secara signifikan lebih tinggi dari skor N-gain kemampuan representasi matematis kelompok rendah. Agar sebaran rataan skor Ngain siswa terhadap kemampuan representasi matematis, dapat dilihat lebih jelas, maka ditampilkan boxplot berikut ini. Gambar 2. Boxplot Rataan Skor N-gain 52 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Berdasarkan hasil analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa perbedaan peningkatan kemampuan representasi matematis tersebut hanya terjadi pada siswa kelompok tinggi dan rendah saja, sedangkan siswa kelompok tinggi dan sedang, serta pasangan kelompok sedang dan rendah tidak terdapat perbedaan yang signifikan. 2. Pembahasan Kemampuan representasi matematis merupakan kemampuan siswa dalam menyatakan suatu situasi/masalah matematis ke dalam ide/gagasan/strategi matematis, berupa tabel, grafik, gambar, atau pernyataan matematis secara tertulis dengan menggunakan bahasa sendiri baik formal maupun informal. Berdasarkan uraian sebelumnya, kemampuan yang diteliti menggunakan representasi visual untuk menyelesaikan masalah, membuat gambar untuk memperjelas masalah dan memfasilitasi penyelesaiannya, menyelesaikan masalah dengan melibatkan ekspresi matematis, menyusun cerita yang sesuai dengan suatu representasi yang disajikan, dan menjawab soal dengan menggunakan kata-kata teks tertulis. Hasil analisis data skor pretes kemampuan representasi matematis antara kelas eksperimen dan kelas kontrol tidak mengalami perbedaan. Hal ini dapat dilihat dari perolehan rataan skor pretes kelas eksperimen dan rataan skor pretes kelas kontrol. Meskipun kelihatan berbeda antara kedua data tersebut, namun setelah dilakukan uji perbedaan rataan skor pretes kelas eksperimen dan kelas kontrol menunjukkan hipotesis yang berbunyi data skor rataan pretes kemampuan representasi matematis kelas ekeperimen tidak sama dengan data skor rataan pretes kemampuan representasi matematis kelas kontrol ditolak (Tolak H0), artinya tidak terdapat perbedaan secara signifikan kemampuan awal kedua kelas tersebut. Hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, jika dibandingkan dengan dua metode pembelajaran yang dilakukan, metode pembelajaran TAPPS disertai hypnoteaching menunjukkan peran yang berarti dalam meningkatkan kemampuan representasi matematis. Siswa yang belajar matematika melalui problem sheet yang diberikan dengan siswa yang mengkonstruksi sendiri kemampuanya sesuai dengan indikator dalam pembelajaran TAPPS tersebut. Pembelajaran berkelompok berpasangan ini merupakan kelompok yang diinginkan mereka, karena berdasarkan pengalaman mereka kelompok yang lebih dari dua kurang efisien dalam pelaksanaannya untuk menyampaikan ide matematis yang mereka peroleh. Oleh karena itu, berdasarkan analisis data hasil penelitian, diketahui bahwa metode pembelajaran TAPPS disertai hypnoteaching ini memberikan peningkatan hasil belajar siswa. Hal ini ditunjukkan dengan adanya perbedaan rataan skor gain ternormalisasi kemampuan representasi matematis yang diperoleh siswa pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol setelah diberikan perlakuan. 53 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Secara umum, rataan skor N-gain kelas eksperimen memang lebih baik dari pada rataan skor N-gain kelas kontrol, namun jika ditinjau dari perbedaan peningkatan kemampuan representasi matematis siswa yang berkategori kemampuan awal matematis, hanya terdapat perbedaan peningkatan pada kategori tinggi dengan rendah saja. Kategori tinggi dengan sedang, dan sedang dengan rendah tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan representasi matematis. Hal ini dikarenakan pembagian kelompok siswa yang berpasangan dari kategori kemampuan awal matematis, sehingga kemampuan antar siswa bisa saling melengkapi. Selain itu, hypnoteaching yang dilakukan peneliti, membuat semua siswa termotivasi untuk mengikuti pembelajaran baik berkategori kemampuan tinggi, sedang dan rendah. Penemuan dilapangan terkait dengan jawaban tes kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran TAPPS disertai hypnoteaching jika dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional terlihat sedikit berbeda dalam merepresentasikan ide matematisnya. Lebih rinci dapat dilihat dari beberapa indikator yang diwakili oleh soal kemampuan representasi matematis berikut ini. 1. Penyelesaian masalah dengan melibatkan ekspresi matematis. Penyelesaian soal dengan indikator ini diwakili oleh soal berikut: Sebuah kolam renang berbentuk balok dengan ukuran panjang 10m, lebar 8m, dan kedalaman 6m. Kolam renang itu diperluas dengan menambah panjang 2m dan lebar 3m dengan kedalamannya tetap. a. Berapakah daya tamping air pada kolam itu hingga penuh setelah diperluas? b. Jika alas dan sisi-sisi dinding dalam kolam tersebut dipasang keramik dengan biaya Rp. 10.000,- setiap meter persegi, interpretasikanlah selisih biaya untuk pemasangan keramik pada kolam sebelum dan sesudah diperluas? Dalam menyelesaikan soal tersebut, terdapat beberapa siswa kelas kontrol yang keliru jika dibandingkan dengan jawaban siswa eksperimen dalam menghitung biaya pemasangan keramik pada alas dan dinding dalam kolam, seperti yang terlihat pada Gambar 3 berikut ini. 54 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Gambar 3. Hasil Perbandingan Jawaban Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Indikator penyelesaian masalah dengan melibatkan ekspresi matematis. Berdasarkan jawaban siswa pada gambar di atas, siswa kelas kontrol belum mampu menemukan hubungan informasi yang diberikan soal, sehingga jawaban siswa belum lengkap dalam mengkomunikasikan indikator representasi yang diinginkan. Siswa lupa dalam menghitung luas permukaan bagian dalam kolam tersebut seperti menghitung luas permukan balok tanpa tutup pada siswa kelas eksperimen maupun control, sehingga tidak ada ditemukan siswa kelas kontrol yang menjawab dengan sempurna. Tetapi pada kelas eksperimen ditemukan ada beberapa siswa yang dapat menyelesaikan masalah tersebut dengan baik, yaitu tiga orang. 2. Menjawab soal dengan menggunakan kata-kata atau teks tertulis. Penyelesaikan soal dengan indikator ini diwakili oleh soal berikut: Suatu perusahaan makanan akan mengemas produknya dalam kotak berbentuk prisma segiempat. Dia mendesain dua kotak yaitu kotak I dan kotak II. Kotak I memiliki ukuran sisi alasnya 9cm dan 6cm, serta tinggi kotak 12cm, sedangkan kotak II 55 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 memiliki ukuran sisi alasnya 8cm dan 6cm, serta tinggi kotak 11cm. bila kamu direktur perusahaan itu, manakah yang kamu pilih? Mengapa kamu pilih itu? Jawaban dari siswa sangat bervariasi, walaupun jawabannya kotak I atau kotak II tetapi mereka memiliki interpretasi yang berbeda-beda terhadap alasan pemilihan kotak tersebut, yang salah satunya seperti terlihat pada gambar 4.22 berikut ini. Gambar 6. Hasil Perbandingan Jawaban Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol Indikator menjawab soal dengan menggunakan kata-kata atau teks tertulis 56 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Berdasarkan jawaban siswa di atas menunjukkan bahwa siswa kelas eksperimen maupun kelas kontrol telah mampu mengaitkan antara suatu kasus yang nyata dalam kehidupan sehari-hari dengan alasan logis matematis sehingga mereka dapat menarik suatu kesimpulan dengan menggunakan kata-kata yang matematis. Pada kasus indikator lainnya, sebagian besar siswa pada kelas eksperimen maupun kelas kontrol sudah mampu menjawab soal dengan benar, meskipun siswa kelas eksperimen lebih banyak menjawab yang benar daripada siswa kelas kontrol. Hal ini dikarenakan kefokusan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran, sehingga penjelasan materi yang disampaikan guru maupun teman sejawat dapat cepat diserap oleh otak. Selain itu, soal yang memiliki kriteria berpikir tingkat tinggi ini membuat siswa merasa cukup kurang nyaman dan tegang, sehingga timbul rasa kurang percaya diri (malu), cemas serta takut dalam pembelajaran maematika. Oleh karena itu, dengan pemberian sugesti-sugesti positif dari hypnoteaching pada siswa akan dipersiapkan agar merasa nyaman dan siap untuk belajar, serta menghilangkan perasaan cemas dalam diri siswa dalam menghadapi permasalahan yang diberikan. E. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis, hasil penelitian, dan pembahasan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka didapatkankesimpulan, sebagai berikut: 1. Peningkatan kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran TAPPS disertai hypnoteaching lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. 2. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran TAPPS disertai hypnoteaching dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional terhadap kategori kemampuan awal matematis siswa (tinggi, sedang, dan rendah), dimana lebih spesifik terdapat pada siswa berkemampuan awal matematis yang berkategori tinggi dan rendah. Tetapi pasangan kemampuan awal matematis tinggi dan sedang, serta sedang dan rendah tidak terdapat perbedaan. DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. Goldin, A.(2002). Representation in Mathematical Learning and Problem Solving. Dalam English, L.D (Ed) Handbook of International Research in Mathematic Education. Nahwah, New Jersey: Lawrent Erlbaun Associated, Inc, 197-218 NCTM. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston, VA: NCTM Ruseffendi.(2005). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta Lainnya. Bandung: Tarsito. 57 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 PERBANDINGAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS ANTARA SISWA YANG BELAJAR DENGAN PROBLEM BASED LEARNING DAN DISCOVERY LEARNING 1. Aulia Sthephani 1 Universitas Islam Riau, Jl. Kaharuddin Nasution No.113, Pekanbaru(11 pt) 1 [email protected] Abstrak.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh Problem Based Learning dengan siswa yang memperoleh Discovery Learning,(2) perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh Problem Based Learning dengan siswa yang memperoleh Discovery Learning jika ditinjau dari kemampuan awal matematis. Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen yang terdiri dari kelas eksperimen yang memperoleh Discovery Learning dan Problem Based Learning.Populasi penelitian ini siswa SMP dikota Bandung Jawa Barat dengan sampel penelitian siswa kelas VII. Analisis data dilakukan secara kuantitatif yang digunakan untuk menghitung rataan gain ternormalisasi antara kedua kelas sampel dengan menggunakan Uji-t. Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi secara signifikan untuk kedua kelas eksperimen, dan tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi secara signifikan jika ditinjau dari kemampuan awal matematis. Kata Kunci: Model Problem Based Learning, Model Discovery Learning, KomunikasiMatematis. Kemampuan A. PENDAHULUAN Kemampuan komunikasi merupakan salah satu kompetensi penting yang harus dikembangkan. Hal ini dikarenakan melalui komunikasi matematis, siswa dapat mengorganisasikan berpikir matematisnya baik secara lisan maupun secara tulisan yang terjadi dalam proses pembelajaran. Peressini dan Bassett (1996) mengemukakan bahwa tanpa komunikasi dalam matematika kita akan memiliki sedikit keterangan, data, dan fakta tentang pemahaman siswa dalam melakukan proses dan aplikasi matematis. Pentingnya kemampuan komunikasi dalam pembelajaran matematika diungkapkan oleh Dahlan (2011) bahwa kemampuan komunikasi memegang peranan penting dalam pembelajaran matematika sebagaimana aktivitas sosial di masyarakat. Komunikasi matematis sebagai aktivitas yang dapat membantu siswa dalam mengekspresikan ide-ide matematika dengan bahasa sendiri dan dapat dipahami oleh orang lain.Namun dalam kenyataan di lapangan menunjukan bahwa siswa mengalami kesulitan dalam mengembangkan kemampuan komunikasi matematisnya.Pengembangan kemampuan komunikasi matematis masih kurang diperhatikan dalam pembelajaran matematika. Berdasarkan studi pendahuluan yang peneliti lakukan terhadap siswa kelas VIII pada salah satu SMP berstandar nasional di kota Bandung, menunjukan bahawa siswa belum mampu menerapkan konsep himpunan yang telah 58 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 mereka pelajari dalam menyelesaikan soal yang peneliti berikan. Dari 35 siswa yang berpartisipasi, masih banyak siswa kurang bisa mengemukakan permasalahan dalam model matematika.Hanya 13 siswa yang menjawab mengarah benar.Di antara siswa yang menjawab salah, terdapat enam siswa tidak menjawab. Salah satu cara untuk mengembangkan kemampuan komunikasi matematis adalah dengan memilih dan menggunakan strategi, pendekatan, metode, dan teknik yang melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik, maupun sosial.Pembelajaran melalui Discovery learning dan Problem Basen Learning merupakan pembelajaran yang melatih siswa untuk aktif dalam proses pembelajaran. Ruseffendi (1991) mengemukakan bahwa metode Discovery adalah metode mengajar yang diatur sedemikian rupa sehingga anak memperoleh pengetahuan yang sebelumnya belum diketahuinya itu tidak melalui pemberitahuan, dimana sebagian atau seluruh pengetahuan ditemukan sendiri dengan bantuan guru. Menurut Markaban (2006) bahwa penggunaan model penemuan terbimbing dalam belajar matematika dapat meningkatkan kemampuan kognitif siswa, kemampuan komunikasi siswa dan kemampuan penalaran siswa. Oleh karena itu Discovery merupakan salah satu pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan kognitif siswa antara lain komunikasi matematis.Selanjutnya Menurut Herman (2007), Problem Based Learning atau pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang diawali dengan menghadapkan siswa dengan masalah matematika. Dengan segenap pengetahuan dan kemampuan yang telah dimilikinya, siswa dituntut untuk menyelesaikan masalah yang kaya dengan konsep-konsep matematika. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Problem Based Learning dan Discovery Learning memiliki keunggulan yang masing-masing dianggap dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa. Oleh karena itu pada penelitian ini akan dikaji “perbandingan kemampuan komunikasi matematis antara siswa yang belajar dengan Problem Based Learning dan Discovery Learning” B. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah quasi-experimental dengan desain penelitiannya non-equilvalent control group design.Kelas eksperimen DL merupakan siswa yang diberikan pembelajaran dengan Discovery Learning sedangkan kelas eksperimen PBL merupakan siswa yang diberikan pembelajaran dengan Problem Based Learning.Berikut merupakan gambaran desain penelitian. O X1 O O X2 O Gambar 1. Desain penelitian Keterangan: 59 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 O : pretest dan posttest X1 : Model Discovery Learning X2 : Model Problem Based Learning (Ruseffendi, 2005) Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMP N 14 di Kota Bandung dengan sampel siswa SMP kelas VII.Pengambilan sampel dilakukan tidak secara acak siswa, tetapi dengan menerima kelas seadanya yang telah diizinkan oleh sekolah. Dipilih dua kelas yang akan dijadikan sebagai kelas eksperimen DL dan eksperimen PBL.Variabel bebas dalam penelitian ini adalah: (1) model pembelajaran Problem Based Learning; (2) model pembelajaran Discovery learning. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah komunikasi matematis siswa. Intrumen pada penelitian berupa tes kemampuan komunikasi matematis disusun dalam bentuk uraian.Pedoman penskoran tes kemampuan komunikasi matematis, menggunakan pedoman yang diusulkan Cai, Lane dan Jakabcin (1996). Bahan tes diambil dari materi pelajaran Matemtika yang berkaitan dengan soal tes kemampuan komunikasi matematis. Sebelum soal instrumen digunakan dalam penelitian, soal tersebut diujicobakan terlebih dahulu pada siswa yang telah memperoleh materi yang berkenaan dengan yang akan diteliti. Ujicoba dilakukan untuk mendapatkan alat ukur yang sesuai.Data yang diperoleh dari hasil ujicoba tes kemampuan komunikasi matematis ini dianalisis untuk mengetahui reliabilitas, validitas, daya pembeda dan tingkat kesukaran tes.Data diolah dengan menggunakan bantuan Anates V.4 for Windows. . Sedangkan data hasil pretes, postes, NGaindiolah dengan bantuan program Microsoft Excel dan software SPSS Versi 21 for Windows. C. HASIL DAN PEMBAHASAN Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menganalisis perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi dan kemandirian belajar siswa yang memperoleh Problem Based Learning dengan siswa yang memperoleh Discovery Learning.Pada penelitian ini tes kemampuan komunikasimatematis dilakukan sebanyak dua kali, yaitu sebelum pembelajaran dan sesudah pembelajaran. Tes ini diberikan kepada kelas PBLyang memperoleh Problem Based Learning dan kelas DL yang memperoleh Discovery Learning. Data hasil kemampuan komunikasi matematis diperoleh dari jawaban pretes dan postes. Peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa dilihat dari data skor Gain ternormalisasi antara kelas PBL dan kelas DL. Pengolahan data pada penelitian ini adalah menggunakan aplikasi Microsoft Office Excel 2013 dan Software SPSS Statistics 21. Berikut secara keseluruhan deskriptif kemampuan komunikasi matematis siswa. 60 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Tabel 1. Statistik deskriptif Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Nilai Kelas DL Kelas PBL Kemampuan Komunikasi N Xmin Xmaks Sd N Xmin Xmaks Pretes 40 0 8 Postes 40 7 N_Gain 40 0,22 Sd 3,50 2,41 40 0 10 3,28 2,29 27 16,07 5,41 40 7 28 17,52 5,69 0,95 0,52 0,18 40 0,13 1,00 0,58 0,21 Skor Maksimal Ideal = 28 Tabel 1 menunjukan bahwa rataan skor pretes kelas DL dan kelas PBL masing-masing sebesar yaitu 3,50 dan 3,28. Selisih rata-rata skor pretes kedua kelas sebesar 0,22. Hal ini berarti diperoleh asumsi bahwa kemampuan awal kedua kelas tidak jauh berbeda. Sedangkan rataan skor N-Gain untuk kedua kelas masing-masing sebesar 0,52 dan 0,58. Selisih dari rataan N-Gain kedua kelas sebesar 0,06. Hal ini menunjukan bahwa kelas DL dan kelas PBL diasumsikan peningkatan kemampuan komunikasi matematis kedua kelas tidak jauh berbeda. Jika dilihat dari rata-rata skor N-Gain, maka diperoleh asumsi bahwa peningkatan kemampuan komunikasi matematis kelas eksperimen DL sama dengan kemampuan komunikasi kelas eksperimen PBL. Namun untuk memastikan asumsi-asumsi tersebut, dilakukan pengujian statistik pada bagian selanjutnya. Simpangan baku untuk skor pretes kedua kelas juga tidak menunjukan perbedaan yang cukup besar artinya penyebaran data pada kedua kelas relatif sama. Simpangan baku untuk pretes kelas DL sebesar 2,41 dan simpangan pretes kelas PBL sebesar 2,29. Sedangkan simpangan baku skor N-Gain kelas DL dan kelas PBL masing-masing 0,18 dan 0,21 sehingga diperoleh penyebaran peningkatan kedua kelas tidak memiliki perbedaan yang cukup besar, namun kelas DL memiliki penyebaran skor N-Gain yang lebih rapat dari pada kelas PBL. Analisis uji kesamaan rataan hasil pretes bertujuan untuk memperlihatkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap kemampuan komunikasi awal antara kelas DL dan kelas PBL sebelum pembelajaran.Jenis statistik uji kesamaan rataan yang digunakan dapat diketahui dengan terlebih dahulu melakukan uji normalitas sebaran data dan homogenitas varians. Jika data memenuhi syarat normalitas dan homogenitas, maka uji kesamaan rataan menggunakan Uji- , sedangkan jika data normal tetapi tidak homogen menggunakan Uji- ′, dan untuk data yang tidak memenuhi syarat normalitas, menggunakan uji non-parametrik, Uji Mann-Whitney. Uji normalitas dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk melalui IBM SPSS statistics 21 diperlihatkan pada tabel berikut: 61 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Tabel 4.2 Uji Normalitas Pretes kelas Shapiro-Wilk (SW) Statistic Sig. Ket DL .939 .033 H0 ditolak PBL .923 .009 H0 ditolak Karena data pretes berdistribusi tidak normal, maka tidak dilakukan uji homogenitas varians. Langkah selanjutnya dilakukan uji peringkat antara kemampuan komunikasi awal siswa kelas DL dengan siswa kelas PBL. Uji statistik yang digunakan adalah uji Mann-Whitney(2-tailed) dengan mengambil taraf signifikansi (īĄ)sebesar 0,05.Hasil dari analisis uji MannWhitneydisajikan pada Tabel di bawah ini. Tabel 3 Hasil Uji Mann-Whitney Gain komunikasi Mann-Whitney U 744.000 Sig. (2-tailed) .586 Berdasarkan tabel tidak ada perbedaan kemampuan komunikasi awal antara siswa yang kelas DL dengan siswa kelas PBL. Telah diketahui sebelumnya bahwa kemampuan awal komunikasi matematis siswa sebelum diberi perlakuan pembelajaran menunjukan tidak ada perbedaan yang signifikan. Berdasarkan table 1 jika ditinjau secara keseluruhan terlihat bahwa rataan peningkatan (N-Gain) kemampuan komunikasi siswa yang memperoleh pembelajaran dengan Discovery Learning tidak jauh berbeda dari siswa yang memperoleh pembelajaran dengan Problem Based Learning. Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis secara keseluruhan dilakukan uji perbedaan rataan N-Gain. Namun sebelum dilakukan pengujian menggunakan uji perbedaan rataan tersebut , terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan homogenitas data N-Gain. Perhitungan hasil uji normalitas dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 4 Hasil uji Normalitas Data N-Gain Kemampuan Komunikasi Matematis Shapiro-Wilk Model pembelajaran Statistic df Sig. Gain Komunikasi DL .964 40 .225 PBL .981 40 .718 Berdasarkan Tabel 4 nilai sig. untuk kedua kelas > = 0.05, artinya H0 diterima sehingga peningkatan di kelas DL dan kelas PBL berdistribusi normal. Dikarenakan data berdistribusi normal, selanjutnya dilakukan uji homogenitas untuk melihat kesamaan varians data kedua sampel. Uji homogenitas data dilakukan dengan menggunakan uji 62 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Levene Statistic pada taraf berikut. = 0.05. Adapun hasil uji homogenitas ini dapat dilihat pada tabel Tabel 5 Hasil Uji Homogenitas Variansi Data N-Gain kemampuan Komunikasi Statistik Sig. Ket Uji Levene 1.069 .304 Homogen Berdasarkan tabel tersebut, hasil signifikansi uji homogentitas data N-Gain adalah 0.304. Nilai signifikansi ini lebih besar dari = 0.05, sehingga dapat disimpulkan bahwa H0 diterima, artinya kedua sampel memiliki varians sama. Selanjutnya dilakukan uji Independent_Samples T Test untuk menguji kesamaan rataan N-Gain kemampuan komunikasi Matematis.Hasil uji kesamaan dua rataan N-Gain kemampuan komunikasi matematis berdasarkan model pembelajaran dengan menggunakan uji-t dapat dilihat pada table berikut: Tabel 6 Hasil Uji Kesamaan Dua Rata-rata N-Gain Kemampuan Komunikasi Matematis thitung df Sig.(2-tailed) Keterangan -1.346 78 .182 H0 diterima Berdasarkan kriteria uji-t yang digunakan, jika nilai sig> = 0.05, ini berarti H0 diterima.Dengan demikian dapat disimpulkan tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi antara siswa yang memperoleh pembelajaran Discovery Learning secara signifikan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran Problem Based Learning secara keseluruhan. D. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa: Tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh Problem Based Learning dengan siswa yang memperoleh Discovery Learning Dalam penelitian ini, ada beberapa saran yang akanpeneliti kemukakan, diantaranyasebagai berikut. 1. Dari hasil penelitian diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan peningkatan yang signifikan antara siswa yang memperoleh Problem Based Learning dengan siswa yang memperoleh Discovery Learning. Ini berarti bahwa kedua model tersebut dapat digunakan sebagai alternatif pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan komunikasi. 2. Perlu diperhatikan kondisi pembagian kelompok siswa, sehingga nantinya setiap siswa dapat berpartisipasi aktif dalam proses belajar mengajar. 3. Pengaturan waktu sebaik mungkin agar proses pembelajaran sesuai dengan yang diharapkan. Karena pembelajaran dengan discovery learning dan problem based learning 63 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 sesungguhnya membutuhkan waktu yang cukup banyak sehingga perlu manajemen waktu yang baik. DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. Dahlan, A. J. (2011). Analisis Kurikulum Matematika. Jakarta: Universitas Terbuka. Cai, J., Lane, S., dan Jakabcin, M.S. (1996). Assesing Student Mathematical Communication. Official Journal of The Science an Mathematics 238-246 Herman, T. (2007). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematis Siswa SMP. Jurnal FMIPA-UPI. Cakrawala Pendidikan. Februari, 41-62. Peressini, D dan Bassett, J. (1996). Mathematical Communication in Students’ Responses to a Performance-Assessment Task. Dalam P.C Elliot and M.J Kenney (Eds). Yearbook. Communication in Mathematics, K-12 and Beyond, 146-158. Reston: NCTM, Inc. Russeffendi. (2005). Dasar-dasar penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta Lainnya. Bandung: Tarsito. 64 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 PENGARUH PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN AKTIF TIPE LEARNING TOURNAMENT TERHADAPPEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWAKELAS VIII SMPN 27 PADANG Deby Yolanda1, Rina Febriana2 1 Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Sumatera Barat Staf Pengajar Program Studi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Sumatera Barat 2 Abstrak. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pemahaman konsep siswa yang masih rendah dan siswa kurang bertanggung jawab dalam menyelesaikan soal latihan yang diberikan oleh guru. Penelitian ini bertujuan apakah kemampuan pemahaman konsep matematis siswa dengan penerapan strategi pembelajaran aktif tipe Learning Tournament lebih baik dari pada kemampuan pemahaman konsep matematis siswa dengan pembelajaran konvensional pada siswa kelas VIII SMPN 27 padang. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan rancangan penelitian random terhadap subjek. Populasi pada penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMPN 27 Padang Tahun pelajaran 2015/2016. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara acak, dengan kelas VIII.3 sebagai kelas eksperimen dan kelas VIII.4 sebagai kelas kontrol. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes dan bentuk tes yang digunakan adalah essay dengan reliabilitasnya 0,89. Berdasarkan analisis data tes akhir diketahui bahwa kedua kelas sampel berdistribusi normal dan homogen. Pengujian hipotesis digunakan uji-t satu pihak, diperoleh = 4,48 lebih besar dari = 1,67 maka hipotesis yang diajukan diterima pada selang kepercayaan 95%. Jadi disimpulkan bahwa kemampuan pemahaman konsep matematis siswa dengan menggunakan strategi pembelajaran aktif tipe Learning Tournament lebih baik daripada kemampuan pemahaman konsep matematis siswa dengan menggunakan pembelajaran konvensional pada kelas VIII SMPN 27 Padang. Kata kunci: Learning Tornament, pemahaman konsep A. Pendahuluan Matematika merupakan salah satu ilmu yang mempunyai peranan penting dalam dunia pendidikan. Hal ini disebabkan karena matematika merupakan salah satu ilmu dasar esensial yang dapat diterapkan dalam berbagai bidang kehidupan. Oleh karena itu, matematika dijadikan sebagai salah satu mata pelajaran wajib pada setiap jenjang pendidikan, mulai dari sekolah dasar, sekolah menengah hingga perguruan tinggi. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan pada tanggal 2-3 Oktober 2015 di SMPN 27 Padang kelas VIII, terlihat pada saat guru menjelaskan pelajaran siswa kurang antusias dalam mengikuti pelajaran. Siswa kurang memperhatikan guru dalam menjelaskan pelajaran. Siswa mencatat materi dan kemudian guru memerintahkan siswa mengerjakan soal latihan, tetapi hanya beberapa siswa saja yang mau mengerjakan. Siswa tidak aktif dalam pembelajaran, siswa hanya menunggu dan mendengar penjelasan yang diberikan guru tanpa mau bertanya, dan tidak bisa mengembangkan pengetahuan mereka. Siswa kesulitan dalam menyelesaikan soal yang 65 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 berbeda dengan contoh soal yang diberikan. Sehingga siswa tidak mampu mengembangkan pemahaman konsepnya sendiri. Salah satu model pembelajaran yang dapat meningkatkan pemahaman konsep siswa adalah dengan penerapan pembelajaran Aktif Tipe Learning Tournament. Learning Tournament adalah pembelajaran aktif yang menggabungkan siswa menjadi kelompok belajar dan kompetisi tim dan bisa digunakan untuk meningkatkan pembelajaran beragam fakta dan konsep. Dalam proses pembelajaran setiap kelompok akan berusaha untuk memenangkan kompetisi untuk keberhasilan kelompok. Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Penerapan Strategi Pembelajaran Aktif Tipe Learning Tournament terhadap Pemahaman Konsep Matematis Siswa Kelas VIII SMPN 27 Padang.” Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah kemampuan pemahaman konsep matematis siswa dengan penerapan strategi pembelajaran aktif tipe Learning Tournament lebih baik daripada kemampuan pemahaman konsep matematis siswa dengan pembelajaran konvensional pada kelas VIII SMPN 27 Padang. Penelitian relevan dengan penelitian ini adalah Dio Suryanto pada tahun 2014 yang berjudul “ Pengaruh penerapan strategi pembelajaran aktif tipe Learning Tournament terhadap pemahaman konsep matematis siswa kelas XI IPA SMA BUNDA PADANG. Kesimpulan yang diperoleh adalah pemahaman konsep matematika siswa dengan strategi pembelajaran aktif tipe Learning Tournament lebih baik dari pembelajaran konvensional. B. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 19 januari s/d 3 februari 2016 semester II dikelas VIII SMPN 27 Padang. Pengambilan sampel dilakukan secara acak. Pengambilan pertama kelas VIII.3 sebagai kelas eksperimen dan pengambilan kedua yaitu kelas VIII.4 sebagai kelas kontrol. Instrumen penelitian berupa tes yang berbentuk essay yang disusun berdasarkan materi yang telah dipelajari. Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi atau validitas kurikulum. Arikunto (2009:67). Analisis data menggunakan uji t seperti yang dikemukakan oleh Arikunto (2010: 124). C. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian berupa hasil tes akhir yang menunjukkan pemahaman konsep siswa yang diperoleh berdasarkan pada kedua kelas sampel. Dapat dilihat pada Tabel berikut ini: 66 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Kelas Sampel x S Xmaks Xmin Eksperimen 77,85 10,86 96,97 48,48 Kontrol 51,63 20,51 90,91 15,55 Berdasarkan Tabel di atas, bahwa rata-rata pemahaman konsep matematis siswa kelas ekperimen lebih tinggi daripada kelas kontrol dengan nilai rata-rata kelas eksperimen adalah 10,86 dan kelas kontrol adalah 51,63. Selain itu, simpangan baku kelas eksperimen lebih kecil dibandingkan dengan simpangan baku kelas kontrol, dimana simpangan baku kelas eksperimen adalah 10,86 dan kelas kontrol adalah 20,51. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelas eksperimen memiliki keragaman yang kecil, sehingga menyebabkan pada umumnya nilai tersebar tidak terlalu jauh dari nilai rata-rata kelas. Selain itu , nilai maksimum dan minimum yang diperoleh siswa pada kelas ekperimen lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol, dimana nilai maksimum pada kelas ekperimen adalah 96,67 dan nilai minimum 48,48, sedangkan pada kelas kontrol nilai maksimum adalah 90,91 dan nilai minimum adalah 15,15 = Hasil perhitungan uji hipotesis yang dilakukan menggunakan uji t yang diperoleh 4,48 dengan = 1,67412, karena > maka terima H1, dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemahaman konsep matematis siswa dengan penerapan strategi pembelajaran aktif tipe Learning Tournament lebih baik daripada kemampuan pemahaman konsep matematis siswa dengan pembelajaran konvensional pada siswa kelas VIII SMPN 27 Padang. D. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh setelah melakukan analisis dan pembahasan terhadap masalah yang telah dikemukakan dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan kemampuan pemahaman konsep matematis siswa dengan menggunakan strategi aktif tipe Learning Tournament lebih baik daripada kemampuan pemahaman konsep matematis siswa dengan menggunakan pembelajaran konvensional pada kelas VIII SMPN 27 Padang. DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. Arikunto, Suharsimi. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. rev.ed.Jakarta: PT Rineka Cipta. ________.2008. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan.Jakarta: Bumi Aksara. Dio Suryanto.2014. Pengaruh Penerapan strategi pembelajaran aktif tipe Learning Tournament terhadap pemahaman konsep matematis siswa kelas XI IPA SMA BUNDA Padang. Skripsi pendidikan matematika. Padang: Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan. PGRI SUMBAR Muliyardi.(2002).Strategi Pembelajaran Matematika. Padang: FMIPA UNP. 67 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 PENERAPAN METODE DISCOVERY BERBANTUAN GEOMETER’S SKETCHPAD (GSP) PADA PEMBELAJARAN ALJABAR RENDAH UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MAHASISWA PENDIDIKAN MATEMATIKA FKIP UNIVERSITAS BEGKULU Effie Efrida Muchlis 1, Syafdi Maizora 2 1,2) Universitas Bengkulu, Bengkulu ABSTRAK. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui 1) bagaimana cara meningkatkan aktivitas mahasiswa dalam pembelajaran aljabar rendah dengan menggunakan metode discovery yang berbantuan GSP pada Program studi pendidikan matematika. 2) bagaimana hasil belajar mahasiswa dalam pembelajaran aljabar rendah dengan menggunakan metode discovery berbantuan GSP pada Program studi pendidikan matematika. Subyek penelitian ini adalah mahasiswa mata kuliah aljabar rendah tahun akademik 2015/2016. Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas dengan alur pelaksanaan tindakan : rencana tindakan ī pelaksanaan tindakan ī observasi ī refleksi ī rencana tindakan selanjutnya. Pengumpulan data menggunakan lembar observasi, lembar tes, dan foto. Dari penelitian yang telah dilakukan disimpulkan bahwa 1) Cara meningkatkan aktivitas mahasiswa dalam pembelajaran aljabar rendah yang berbantukan GSP pada Program studi pendidikan matematika adalah sebagai berikut : (a). Mengamati gambar dan nilai yang tertera pada software GSP dan menentukan hubungannya. (b). Meminta mahasiswa untuk menganalisis data-data khusus yang diperoleh dengan bantuan software GSP untuk mendapatkan kesimpulan konsep secara umum. (c). Memberikan pertanyaan-pertanyaan yang dapat membatu mahasiswa menemukan hubungan antar konsep. (d). Meminta mahasiswa mengemukakan gagasan pada saat proses pengambilan kesimpulan. 2. Hasil belajar aljabar rendah meningkat yaitu dari nilai rata-rata 63,25 dengan ketuntasan belajar secara klasikal 75% pada siklus1 dan pada siklus 2 mencapai nilai rata-rata 69,11 dengan ketuntasan belajar secara klasikal 82,5% serta pada siklus 3 mencapai nilai rata-rata 75,02 dengan ketuntasan belajar secara klasikal 85%. Kata kunci : discovery, GSP, aktivitas dan hasil belajar A. PENDAHULUAN Mata kuliah aljabar rendah adalah matakuliah yang sebagian besar materi yang diajarkan adalah materi yang sudah diterima mahasiswa sewaktu menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA). Agar mata kuliah ini lebih dipahami oleh mahasiswa maka pada pelaksanaan perkuliahannya dilakukan dengan meminta mahasiswa untuk menemukan dan menyelidiki mengenai konsep yang akan ditemukan. Karena dengan melaksanakan penyelidikan mahasiswa dilatih untuk menganalisis berbagai bentuk masalah khusus melalui bimbingan dosen untuk menemukan satu konsep baru dari materi aljabar yang berbantuan GSP. Perkuliahan yang dilaksankan pada matakuliah aljabar rendah ini dilakukan dengan bantuan software GSP. Didalam pembelajarannya banyak sekali menggambar grafik, sehingga untuk melihat bentuk gambar grafik yang benar maka mahasiswa dapat menyelidiki gambar yang 68 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 diperoleh dengan menggambar secara manual dan membandingkannya dengan gambar yang dibuat dengan bantuan GSP. Melakukan kegiatan penyelidikan dapat meningkatkan kesadaran pribadi mahasiswa untuk memperoleh pengalaman langsung dalam kegiatan belajar mengajar. Keterlibatan langsung siswa dalam menemukan suatu konsep dalam pembelajaran dengan menyelidiki bentuk-bentuk khusus suatu permasalahan sehingga mendapatkan konsep baru dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam pembelajaran, sejalan dengan yang diungkapkan oleh Suprihatiningrum (2013 : 242) “guru menekankan keterlibatan siswa secara aktif, orientasi induktif lebih ditekakkan dari pada deduktif, dan siswa menemukan atau mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri”. Pengalaman yang diperoleh mahasiswa saat pembelajaran sangat membantu mahasiswa dalam memahami materi dan menghubungkan konsep sebelumnya yang dimiliki mahasiswa untuk mendapatkan konsep baru. Pelaksaanaan perkuliahan pada matakuliah aljabar ini dilaksanakan dengan menggunakan metode discoveri, metode ini menuntut mahasiswa untuk melakukan penemuan dan mendapatkan pengalaman baru yang berkaitan dengan pemahaman suatu konsep. Seperti yang diungkapkan oleh Illahi (2012 : 35) “pembelajaran harus menggunakan pengalaman anggota kelas, sehingga pemahaman suatu konsep atau teori pembelajaran benar-benar terrelialisasikan dengan baik”. Bentuk pembelajaran dengan menggunakan metode discovery meningkatkan kemampuan mahasiswa untuk mampu menggeneralisasikan suatu konsep, yaitu mengajarkan konsep dengan mengajak mahasiswa untuk mengidentifikasi karakteristik-karakteristik suatu konsep secara khusus untuk mendapatkan suatu konsep baru secara umum. Bentuk pembelajaran yang dapat membantu mahasiswa dalam menggeneralisasika sutu konsep adalah dengan memberikan contoh yang merupakan bentuk generalisasi sesuai yang diungkapkan oleh Eggen (2012 : 181) “generalisasi merupakan suaru pernyataan yang menghubungkan konsepkonsep satu sama lain dalam pola-pola umum” melalui hubungan natar konsep yang telah dipelajari dan menyelidiki karakteristik-karakteristik khusus yang ditemukan pada sutu kasus atau permasalahan akan menemukan satu konsep baru dalam meteri yang dipelajari. Pelaksanaan perkuliahan dengan menggunakan metode discovery memiliki tujuan yaitu mahasiswa mampu mengidentifikasi karakteristik yang terdapat pada konsep untuk menemukan satu konsep baru secara umum (Eggen, 2012 : 183). Dengan demikian kemampuan mahasiswa untuk menarik konsep secara umum sangat membantu pemahaman mahasiswa dalam mempelajari materi aljabar rendah ini. Agar pelaksanaan perkuliahan dengan menggunakan metode discovery dapat berlangsung dengan efektif, maka dilakukanlah Fase-fase dalam menerapkan pelajaran dengan model discovery Eggen (2012 : 190) yaitu: 1. Pendahuluan Menarik perhatian mahasiswa dan menetapkan fokus pelajaran. 2. Fase terbuka 69 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Memberi contoh dan meminta mahasiswa mengamati dan membandingkan contoh-contoh 3. Fase Konvergen Menanyakan pertanyaan-pertanyaan lebih spesifik yang dirancang untuk membimbing siswa mencapai pemahaman tentang konsep dan generalisasi. 4. Penutup dan penerapan. Dosen membimbing mahasiswa memahami definisi suatu konsep atau pernyataan generalisasi dan siswa menerapkan pemahaman mereka ke dalam konteks baru. Dalam pelaksanaannya perkuliahan dengan menggunakan metode discovery, peneliti melaksankan perkuliahan dengan bantuan media berupa GSP. Software GSP ini merupakan suatu media yang bermanfaat dan membantu dalam pelkasanaan perkuliahan yang banyak melibatkan kegiatan menggambar grafik. Dengan bantu GSP ketelitian dalam menggambar grafik yang dilakukan secara manual dapat diketahui kebenarannya melalui bantuan software ini. Spark (2009: 22) dalam bukunya “Teaching Mathematics with The Geometer’s Sketchpad” menjelaskan bahwah banyak manfaat yang dirasakan dalam pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan GSP diantaranya adalah : 1. Sketchpad Support Elementery school students development of number and early aljebra concept. 2. Sketchpad strengthens students conceptual understanding of geometric shapes. 3. Sketchpad motivates student and increase their enjoyment ofmathematics. Park menjelaskan bahwa manfaat penggunaan software GSP adalah dapat meningkatkan pemahaman konsep aljabar dan bangun-bangun geometri, dapat meningkatkan motivasi pelajar agar merasa senang dalam mempelajari matematika. Software GSP ini sangat membantu mahasiswa dalam melakukan penemuan dapat membantu dalam mengidentifikasi konsep yang akan ditemukan. Seperti yang diungkapkan oleh Bannett (1999 : ix-x) manfaat lain yang dipeoleh dalam penggunaan software GSP adalah “Opportunities for student insight come many place throughout the cours of an investigation, not just from dragging a completed construction”. Disini dijelaskan bahwa GSP dapat membantu proses pembelajaran dengan melaksanakan penyelidikan. Pelaksanaan perkuliahan dengan menggunakan metode discovery yang berbatuan software GSP sangat membantu mahasiswa dalam memahami suatu konsep melalui kegiatan penemuan dan penyelidikan. Kegiatan demikian dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar mahasiswa pada matakuliah aljabar rendah pada program studi pendidikan matematika FKIP Universitas Bengkulu. 70 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 B. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang dilaksankan adalah penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research) yang dilaksanakan dalam beberapa siklus. Dimana pelaksanaannya terdiri dari langkah-langkah : perencanaan, pelaksanaan, observasi, refleksi. Subjek dalam penelitian ini mahasiswa Progaram Studi Pendidikan Matematika yang mengambil mata kuliah aljabar rendah pada semester ganjil tahun akademik 2015/2016. Data diperoleh dengan menggunakan instrumen berupa lembar observasi, tes siklus dan dokumentasi. Pelaksanaan pembelajaran dilaksanakan dengan menggunakan metode discovery yang berbantuan software GSP. Data yang diambil dari tes hasil belajar digunakan untuk mengetahui nilai hasil tes belajar mahasiswa yang belajar dengan menggunakan metode discovery yang berbantuan GSP. Lembar observasi digunakan untuk mengetahui aktivitas mahasiswa selama pembelajaran dengan menggunakan metode discovery yang berbantuan software GSP. Pada lembar observasi terdiri dari 10 aspek yang diamati. Data hasil observasi di analisis dan dideskripsikan dalam bentuk narasi. Dokumentasi berupa foto aktivitas selama pembelajaran dan portofolio hasil tugas dan latihan dalam bentuk softcopy untuk penggunaan softwaare GSP. Adapun indikator keberhasilan dalam penelitian ini adalah: 1. Aktivitas mahasiswa meningkat pada setiap siklus, dan berada pada kriteria aktif. 2. Hasil belajar mahasiswa memperoleh nilai > 65 sebanyak 85%. C. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilaksankan dalam tiga siklus pada matakuliah Aljabar Rendah dengan bobot 2-0 SKS. Dalam pelaksanaan pembelajarannya dilaksanakan dengan menggunakan metode discovery yang berbantuan software GSP. Pembelajaran dimulai dengan dosen memberikan permasalahan yang dapat membuat mahasiswa melakukan identifikasi untuk menarik suatu kesimpulan berupa konsep baru. Penemuan juga dilakukan dengan cara mengidentifikasi masalah dengan menggunakan software GSP. Setelah diperoleh suatu konsep, mahasiswa diminta untuk mempresentasikan hasil yang diperoleh baik yang mengidentifikasi dengan manual maupun yang berbantuan software GSP. Siklus 1 perkuliahan dilaksanakan dosen memberikan permasalahan untuk menyelidiki letak akar-akar persamaan kuadrat. Mahasiswa akan menemukan dengan menyelidiki nilai D dari persamaan kuadrat, penemuan dilakukan dengan bantuan software GSP. Masalah yang diberikan adalah : Selidikilah letak akar-akar persamaan kuadrat ax2 + bx + c = 0 dalam hubungannya dengan grafik fungsi tersebut. Diawal perkuliah mahasiswa masih kebingungan ketika mengamati gambar yang diperoleh. Belum bisa memahami dan menghubungkan antar titik yang diperoleh, perbedaan setiap gambar 71 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 yang dihasilkan dan menganalisis dari setiap titik dan gambar untuk mendapatkan kesimpulan akhir. Agar mahasiswa dapat menemukan konsep dosen membantu mahasiswa dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang dapat membantu mahasiswa menganalisis data yang diperoleh. Perhatikan nilai a, b, dan c?, dari gambar yang diperoleh coba hubungkan dengan nilai D yang didapat? Amati dan temukan hubungan antara nilai D yang diperoleh dengan gambar yang didapat?. Melalui pertanyaan-pertanyaan seperti ini mahasiswa mulai menggunakan konsep yang selama ini telah diperoleh dan mengemukakan gagasan mereka untuk mendapatkan konsep baru. Dalam pembelajaran pengalaman sangat membantu mahasiswa dalam menganalisis data dan menarik kesimpulan. Setelah mengamati gambar-gambar yang diperoleh melalui software GSP, mahasiswa dapat menarik beberapa kesimpulan. Berikut hasil analisis beberapa mahasiswa dalam menentukan letak akar-akar persamaan kuadrat dalam grafik fungsi dengan menggunakan GSP, dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut : Mahasiswa 1 Mahasiswa 2 Mahasiswa 3 Mahasiswa 4 Gambar 2.1 Jawaban mahasiswa dalam menemukan hubungan niali D dengan grafik fungsi kuadrat Dari pengamatan dan data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa ketika nilai D ≤ 0 maka grafik akan terletak diatas atau dibawah atau menyinggung sumbu x. Sedangkan jika nilai D > 0 maka grafik akan memotong sumbu x disuatu titik. Setelah mahasiswa menggunakan data dan menganalisisnya maka mahasiswa dibimbing untuk memahami dengan mempresentasikan 72 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 hasil penemuan yang telah dilakukan. Dengan demikian mahasiswa dapat mengungkapkan gagasan yang dimiliki dalam melakukan penemuan dengan bantuan software GSP. Nilai rata-rata hasil belajar yang diperoleh pada siklus satu adalah 63,52 dimana ketuntasan belajar klasikal yaitu 75% dengan 10 mahasiswa yang tidak tuntas dan aktivitas mahasiswa masih berada pada kategori cukup aktif dengan rata-rata skor pengamat 21,25. Pada siklus satu ini, mahasiswa masih terlalu sering menanyakan hal apa saja yang harus diamati dalam pengumpulan data. Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa masih mengalami kesulitan dalam pengumpulan data untuk menarik suatu kesimpulan. Selain itu diskusi kelas masih didomonasi oleh mahasiswa tertentu saja. Siklus 2, mahasiswa diminta menemukan bentuk umum mencari titik puncak fungsi kuadrat. Penemuan terhadap bentuk umum nilai optimum dari suatu fungsi, akan memudahkan mahasiswa ketika menggambarkan grafik fungsi kuadrat secara manual. Langkah yang dilakukan mahasiswa adalah dengan mencoba menentukan hubungan antara nilai a, b dan c yang telah dipilih mahasiswa pada fungsi kuadrat dan menghubungkannya dengan nilai maksimum atau minimum yang diperoleh dari gambar. Kegiatan penemuan dengan cara menentukan nilai a, b, dan c secara sembarang dengan bantuan GSP. Simulasi dilakukan beberapa kali, hasil simulasi berupa data yang harus dianalisis untuk dapat menarik kesimpulan dari bentuk umum dalam mencari nilai maksimum dan nilai minimum suatu fungsi kuadrat. Dengan menggunakan GSP mahasiswa melakukan penemuan dengan mengamati beberapa gambar yang diperoleh. Mahasiswa sudah mulai terbiasa dengan mengidentifikasi beberapa hal khusus untuk mendapatkan satu konsep baru. Seperti pada waktu menemukan bentuk umum dari titik puncak. Aktivitas yang dilakukan mahasiswa adalah mengamati beberapa gambar yang terbentuk dengan menggunakan GSP dan mendiskusikan dengan teman lainnya yang memperoleh gambar yang berbeda. Grafik fungsi kuadrat yang didapat ada beberapa bentuk. Dapat dilihat pada Gambar 2.3 berikut : Mahasiswa 1 Mahasiswa 2 Mahasiswa 3 Mahasiswa 4 73 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Gambar 2.2 jenis-jenis garafik yang ditemukan oleh mahasiswa pada saat menentukan koordinat titik puncak. Dari grafik yang diperoleh dengan menggunakan GSP, mahasiswa mengamati nilai D yang diperoleh dan titik koordinat titik puncak yang didapat, dari keempat grafik yang diamati . Untuk menentukan bentuk umum dari titik puncak, mahasiswa diarahkan untuk mengamati koordinat pada titik puncak. Untuk menentukan titik puncak koordinat x maka mahasiswa dapat mengamati koordinat x titik puncak pada gambar dengan nilai a dan b yang tertera pada gambar. Dari keempat gambar yang dihasilkan maka mahasiswa membandingkan setiap koordinat x pada titik puncak. Perbandingan koordinat x titik puncak dengan nilai a dan b yang diperoleh dari keempat gambar maka diperoleh kesimpulan yang sama bahwa titik puncak x = -b/2a. Untuk koordinat y maka titik puncaknya dapat diperoleh dengan membandingkan nilai D dengan nilai a. Dari keempat gambar yang diamati maka diperoleh bahwa titik puncak y = D/4a. Selama perkuliahan berlangsung, mahasiswa diarahkan untuk mengamati kasus-kasus yang diberikan, meminta mahasiswa untuk mempresentasikan hasil yang diperoleh dengan menjelaskan gambar yang diperoleh melalui GSP dengan konsep yang ditemukan, selain itu aktivitas mahasiswa sudah meningkat ditandai dengan kemampuan mahasiswa untuk mengemukakan ide serta menjelaskan data yang diperoleh ketika menemukan konsep. Konsep yang ditemukan dengan menggunakan GSP mempermudah mahasiswa ketika menggambar grafik fungsi secara manual. Dengan menggunakan kertas dan penggaris, mahasiswa tetap dilatih mengambar dengan konsep yang telah ditemukan melalui bantuan GSP. Berikut gambar yag didapat mahasiswa dengan cara manual, dapat dilihat pada Gambar 2.4 berikut. Gambar 2.4 Jawaban siswa dalam menggambar Grafik fungsi rasional 74 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Dari siklus dua yang dilakukan diperoleh tes hasil belajar dengan nilai rata-rata 69,11sedangkan ketuntasan secara klasikal 82,5% dengan 7 mahasiswa yang tidak tuntas dan aktivitas mahasiswa sudah berada pada kategori aktif dengan skor rat-rata pengamatan 24,5. Dalam perkuliahan masih terdapat mahasiswa yang belum mampu memberikan penjelasan dalam pengambilan kesimpulan berdasarkan data yang diperoleh dan masih terdapat mahasiswa belum mampu menanggapi serta memberikan gagasan ketika melaksankan penemuan. Pada siklus tiga perkuliahan dilaksanakan dengan mengarahkan mahasiswa untuk mengamati gambar yang diperoleh dengan menggunakan GSP. Pada siklus tiga ini mahasiswa mengggambar grafik fungsi rasuonal dengan bentuk umum f (x) = (ax + b)/(px +q) bentuk fungsi ini akan lebih teliti menggambarnya jika menggunakan GSP. Mahasiswa juga dilatih untuk tetap mampu meggambar garafik secara manual dengan menggunakan penggarus dan kertas. Setelah menemukan langkah-langkah yang dilakukan untuk menggambar grafik dan mencoba menggambarnya baik menggunakan GSP maupun secara manual. Berikut gambar yang diperoleh ketika mahasiswa menggambar grafik fungsi f(x) = (2x + 4)/(3x – 7) dapat dilihat pada Gambar 2.4 berikut: Gambar 2.5 Grafik fungsi Rasional untuk menemukan garis asimtut Ketika menggambar dengan menggunakan GSP maka garis asimtut akan terlihat jelas, dari beberapa gambar yang didapat maka mahasiswa dapat menyimpulkan bahwa asimtut mendatar itu adalah garis yang makin lama makin dekat pada garis itu sehingga berjarak sekeci-kecilnya yang diperoleh apabila x ī ∞ dan asimtut tegak itu apabila y ī ∞. Gambar yang dibuat mahasiswa secara manual menyakinkan mahasiswa bahwa bentuk sebenarnya dari grafik yang digambar adalah seperti yang mereka peroleh pada gambar dengan mengggunkan GSP. Pada siklus tiga ini mahasiswa sudah terbiasa untuk megamati hasil yang diperoleh dengan menggunakan GSP untuk mendapatkan kesimpulan secara umum. Selain itu mahasiswa juga sudah menganalisis dan menghubungkan data yang diperolehnya dengan bantuan GSP serta sudah mampu untuk menjelaskan dan mengemukakan ide sehingga memperoleh satu konsep baru. Hasil belajar pada siklus tiga yaitu nilai rata-rata hasil belajar 75,02 % dimana ketuntasan belajar secara klasikal 85% dengan 6 mahasiswa yang tidak tuntas dan aktivitas mencapai kategori aktif pada skor pengamatan 27. 75 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 D. KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN Dari hasil penelitian yang dilaksankan dapat disimpulkan ; 1. Aktivitas mahasiswa dalam perkuliahan dapat ditingkatkan dengan cara : a. Mengamati gambar dan nilai yang tertera pada software GSP dan menentukan hubungannya. b. Meminta mahasiswa untuk menganalisis data-data khusus yang diperoleh dengan bantuan software GSP untuk mendapatkan kesimpulan konsep secara umum. c. Memberikan pertanyaan-pertanyaan yang dapat membatu mahasiswa menemukan hubungan antar konsep. d. Meminta mahasiswa mengemukakan gagasan pada saat proses pengambilan kesimpulan. 2. Hasil belajar mahasiswa meningkat dengan nilai rata-rata 63,52 dimana ketuntasan belajar klasikal yaitu 75% pada siklus1 dan pada siklus 2 mencapai nilai rata-rata nilai rata-rata 69,11dengan ketuntasan secara klasikal 82,5% serta pada siklus 3 mencapai nilai rata-rata 75,02 % dengan ketuntasan belajar secara klasikal 85%. SARAN Dari hasil penelitian yang dilaksankan maka dapat disarankan agar: 1. Perkuliahan dengan menggunakan metode discovery dengan berbatuan software GSP dapat dilaksankan dalam kelompok kecil yang beranggotakan 2-3 orang. 2. Dapat memperluas penggunaan software GSP untuk pembelajaran dengan metode dan materi yang lain. DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. Bannet, Dan. 1999. Exploring Geometry with the geometer’s Sketchpad. The United states of America: Key curriculum Press. Eggen, Paul.,Kauchak, don. 2012. Straegi dan Model pembelajaran. Jakarta. Indeks Illahi, Muhammmad Taakdir. 2012. Pembelajaran discovery strategy dan mental vocational skill. Yogyakata. Diva Press Spark. 2009. Teaching Mathematics with the geometer’s Sketchpad. Emeryville : Key curriculum Press Suprihatiningrum, jamil. 2013. Strategi Pembelajaran. Yogyakarta. Ar-Ruzz Media 76 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 KESAN INTEGRASI PERISIAN GEOMETER’S SKETCHPAD DALAM PENGAJARAN KE ATAS PEMAHAMAN KONSEP TRANSFORMASI Endang Istikomah Universitas Islam Riau, Jl. Khaharudin Nasution No. 113 Marpoyan Pekanbaru [email protected] Abstrak. Kajian ini dijalankan untuk melihat kesan intregasi Geometer’s Sketchpad dalam pengajaran ke atas pemahaman konsep transformasi dalam mata pelajaran matematika pelajar Sekolah Menengah Atas Indragiri Hulu Riau Indonesia. Kajian ini juga melihat hubungan antara pemahaman konsep matematika dan pencapaian pelajar. Kajian ini menggunakan metodelogi eksperimen kuasi yang dijalankan keatas 88 pelajar sebuah sekolah menengah di Indragiri Hulu Riau Indonesia. Kajian ini dilaksanakan dalam tempoh 7 minggu. Alat kajian yang digunakan dalam penyelidikan ini adalah ujian pemahaman konsep dan ujian pencapaian pelajar. Data dianalisis dengan statistik deskriptif dan inferensial menggunakan mean, standar deviasi, t-test dan korelasi. Hasil kajian menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan dari segi pemahaman konsep kelompok pelajar yang mengikuti pembelajaran dengan menggunakan pengajaran berintegrasikan perisian Geometer’s Sketchpad (Mean= 69.61, SD= 10.208) dengan kelompok pelajar yang mengikuti pembelajaran dengan menggunakan pengajaran tradisional (Mean= 59.45, SD= 10.650). Dapat disimpulkan bahwa pengintregasian perisian Geometer’s Sketchpad dalam pengajaran dapat memberi kesan yang positif yaitu mempengaruhi pemahaman konsep pelajar. Terdapat hubungan antara pemahaman konsep matematika dengan pencapaian matematika (r= 7.97). Kata kunci: Geometer’s Skecthpad, pemahaman konsep A. PENDAHULUAN Pengajaran dan pembelajaran matematika, terutama geometri telah banyak mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan ini adalah seiring dengan pembangunan teknologi yang berkembang saat ini. Teknologi adalah salah satu aspek utama dalam proses pendidikan di semua tingkatan. Almehdadi (2005) menyatakan bahwa teknologi baru separti komputer dapat mempengaruhi sistem sekolah jika mereka digunakan dengan cara yang tepat, karena teknologi memberikan pelajar kekuatan mengontrol apa yang mereka pelajari. Seiring dengan itu Hai (2010) menyatakan Geometer’s Skecthpad telah membawa banyak manfaat untuk pengajaran dan pembelajaran matematika secara umum, dan bidang geometri khususnya. Geometer’s Sketchpad (GSP) merupakan salah satu alat teknologi keterangan yang mampu membantu guru untuk menyampaikan isi pengajaran terutama topik geometri. GSP adalah salah satu perisian khusus bersistemkan komputer untuk membuat, menjelajahi dan menganalisis berbagai konsep matematika di bidang algebra, geometri, trigonometri, kalkulus, dan bidang lain (Geometer’s Sketchpad Reference Manual, 2001). Perisian GSP yang berkapasiti 1,33 MB dihasilkan oleh Nicholas Jackiw (1993) bagi memudahkan para pengguna melukis apa pun bentuk geometris serta berbagai bentuk dalam tiga dimensi. Salah satu program software yang 77 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 dapat merubah sistem pengajaran dan pembelajaran matematika khususnya pada bidang geometri adalalah perisian GSP (Kamariah 2009). Perisian GSP merupakan perisian sistem komputer untuk membuat, menerka dan menganalisis berbagai konsep matematika pada bidang geometri, algebra, trigonometri dan kalkulus. Dalam proses pengajaran dan pembelajaran yang menggunakan media cetak salah satunya adalah komputer (Hai 2010), maka isi bahan pengajaran dan pembelajaran yang terdapat di dalamnya merupakan data yang harus diproses oleh pelajar. Melalui proses analisis dan eksplorasi, pelajar akan memperoleh informasi separti fakta, prosedur, konsep, dan prinsip. Jika pelajar mampu melakukan sintesis dan eksplorasi terhadap informasi yang telah diperoleh dengan membandingkan serta menyatukannya bersama dengan pengetahuan awal yang telah dimilikinya, maka pelajar akan memperoleh pengetahuan awal tambahan yang telah dimilikinya. Dengan demikian, tugas guru yang utama dalam proses memperoleh informasi adalah membantu pelajar melakukan analisis, sintesis dan menerka kemampuan rasional yang berkaitan dengan bukti generik dari bahan pengajaran dan pembelajaran. Toumasis (2006) juga menunjukkan bahwa perisian GSP dapat membantu pelajar memahami konsep geometri dengan cara penemuan dan tanpa menghafal separti pengajaran tradisional. Seterusnya (Akuysal 2007) menyarankan bahwa ketika proses pengajaran dan pembelajaran tentang konsep-konsep geometri harus ada kondisi belajar yang kondusif, supaya pelajar dapat menemukan konsep-konsep itu sendiri. Perisian GSP dinamik ini dapat mengakses sejumlah besar gambar digital dalam berbagai format umum (Afzal et al. 2004) dengan mengaitkan pengajaran dan pembelajaran dengan contoh dalam kehidupan sehari-hari. Ini bertujuan untuk mewujudkan konsep abstrak geometri kepada konsep konkrit. Latar belakang kajian ini adalah hasil pencapaian matematika pelajar rendah (Ratna 2010). Rendahnya hasil belajar matematika ini disebabkan konsep matematika yang dipelajari sukar diingat atau tidak dipahami sama sekali, pelajar hanya sebagai penerima pasif. Hal ini disebabkan kecenderungan guru melaksanakan proses pengajaran tradisional. Artinya guru cenderung menjelaskan judul, memberikan contoh soal dan memberi latihan baik untuk di sekolah maupun di rumah. Dengan demikian guru berfungsi sebagai pemberi keterangan dan pelajar sebagai penerima keterangan. Tuntutan kurikulum menghendaki guru memilih, kreatif dalam menggunakan proses pengajaran yang dapat melibatkan pelajar secara aktif dalam pembelajaran, baik secara mental, fizikal, maupun sosial dan menekankan pembelajaran matematika pada pemahaman konsep, keterampilan menyelesaikan masalah soal dan penyelesaian masalah (Depdikbud 2005). Antara kajian-kajian lepas berkait dengan pengintegrasian GSP ialah Renuwat (2009) dimana hasil kajian beliau ialah pengajaran menggunakan perisian GSP mampu mempengaruhi 78 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 sikap positif dan cara berfikir sehingga mempengaruhi prestasi matematika pelajar. Almehdadi (2005) mengkaji keberkesanan perisian GSP terhadap pemahaman beberapa konsep dalam Geometri. Hasil menunjukkan pelajar dalam kelompok eksperimen menunjukkan peningkatan skor yang lebih tinggi dibandingkan pelajar dalam kelompok kontrol. Zeynep dan Nesrin (2010) dalam hasil kajiannya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dalam hal pencapaian hasil ujian yang mendukung kelompok eksperimen yang digunakan GSP didukung oleh foto-foto digital yang memberikan contoh kehidupan sehari-hari, dibandingkan dengan kelompok kontrol yang hanya menggunakan GSP. Karen (2003) dalam hasil kajiannya diperoleh bahwa pelajar belajar transformasi geometris dalam konteks teknologi dapat mengembangkan pemahaman yang dipengaruhi oleh interaksi mereka dengan alat-alat teknologi. Kamariah (2009) dalam hasil kajiannya mengenai GSP mempengaruhi terhadap cara kerja dan berpikir matematika pelajar dalam memahami matematika tambahan. Maknanya pelajar dapat lebih mudah dalam memahami konsep geometri melalui alat teknologi salah satunya separti GSP. Dengan ini pelajar dapat mencipta dan menelusuri dugaan dan mengembangkan penjelasan. Pembangunan perisian telah dijalankan separti Mathsoft (Tang 2005) dan pembangunan modul digital dan bercetak integrasi perisian GSP dalam Pembelajaran Matematika (Nik Rahimah 2008), serta Amaly dan Yasir (2004) mengkaji pengaruh perisian multimedia dalam meningkatkan prestasi matematika pelajar. Begitu juga Marzita dan Rohaida (2004) menjalankan kajian yang melibatkan pembangunan dan pengajaran satu prototaip menggunakan perisian GSP untuk pengajaran dan pembelajaran matematika berjudul sukatan membulat disekolah menengah. Hasil kajiannya ialah GSP ini dapat membantu mengukuhkan kepahaman pelajar. Kajian kasus dengan kaidah kuasi ekperimen yang berasakan pendekatan etnografik juga dijalankan dengan hasil pencapaian hasil pembelajaran matematika meningkat pada judul matrik. Beberapa kajian lain yang menggunakan perisian komputer juga telah ramai dijalankan (Agung 2009; Muhd Zainal 2008; Choirul 2009; Revillia 2007; Fitrah 2009). Analisis mendapati, pemahaman, keaktifan dan hasil pencapaian matematika pelajar dapat meningkat. Analisis ini dapat disokong dengan pernyataan Sinclair (2004) yang menyatakan dengan menggunakan GSP membantu kegiatan siswa mengamati secara detail objek geometri, menerka hubungan antara titik atau garis yang satu dengan titik atau garis yang lain dan meningkatkan kemampuan rasional yang berkaitan dengan bukti geometri serta dapat berperan aktif mencapai pemahaman konseptual konten geometri. Norhayati (2002) menjalankan kajian keberkesanan penggunaan perisian GSP dalam pembelajaran matematika judul penjelmaan menggunakan kuasi eksperimental ke atas 68 79 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 pelajar tingkatan dua. Hasil kajian ialah memberikan kesan yang positif keatas pencapaian matematika pelajar. Bhasah dan Rafidah (2003) mengkaji keberkesanan kaidah pengajaran dan pembelajaran berbantukan komputer menggunakan GSP di Pahang dalam judul penjelmaan ke atas 66 pelajar tingkatan dua. Hasil kajian kaidah ini menyenangkan pelajar dan dapat menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan pembelajaran konvensional. Walaupun banyak kajian tentang perisian komputer khususnya GSP yang berhasil memberi kesan positif terhadap pembelajaran matematika pelajar, tetapi ada kajian lain separti Teoh (2005), Edwards (2002) dan Ling (2004) menyatakan bahwa pembelajaran berintegrasikan perisian komputer ini tidak memberikan kesan yang positif terhadap pelajar. Walaupun begitu, masih ramai pengkaji lain yang dapat membuktikan bahwa pengintegrasian alat teknologi dalam pembelajaran dapat memberikan kesan positif. Hal ini dapat kita ketahui separti yang dijelaskan penulis sebelum ini. Berdasarkan kajian-kajian lepas, menunjukkan bahwa pengajaran dengan menggunakan perisian GSP lebih memberi faedah kepada pelajar berbanding pengajaran tradisional (Sinclair et al.; Ustun & Ubuz 2004). Kelebihan-kelebihan pengajaran berintegrasi perisian GSP ialah sistem ini berjaya menarik perhatian dan minat pelajar terhadap suatu pelajaran. Bukan hanya pelajar tetapi guru juga merasa terbantu dengan adanya perisian GSP. Tujuan kajian ini dijalankan untuk melihat kesan integrasi perisian GSP dalam pengajaran ke atas pemahaman konsep matematika pelajar antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol dalam mata pelajaran matematika Sekolah Menengah Atas (SMA), menganalisis beberapa kesukaran yang timbul. Kajian ini juga menentukan hubungan antara pemahaman konsep matematika topik tranformasi dengan pencapaian pelajar. Manakala Objektif kajian ini adalah (1) Menentukan pemahaman konsep matematika antara pelajar kelompok ekperimen dan pelajar kelompok kontrol, (2) Menentukan hubungan antara pemahaman konsep matematika antara pelajar kelompok ekperimen dan pelajar kelompok kontrol dengan pencapaian pelajar. Adapun dalam kajian ini mempunyai kepentingan untuk pihak-pihak berkaitan dalam pendidikan yaitu pentadbir, guru, sekolah, pelajar dan penyelidik. Hasil kajian ini akan dapat memberikan keterangan tentang perisian GSP terhadap pemahaman konsep matematika pelajar. Perisian GSP ini dapat dijadikan sebagai alat bantu oleh guru-guru matematika di SMA. Dari segi teoritis, pengajaran ini dapat memberikan dan mengembangkan pengetahuan tentang proses pengajaran dan pembelajaran matematika, terutama tentang usaha peningkatan pengajaran matematika melalui perisian GSP yang menggunakan komputer sebagai alat pembelajaran. Dengan demikian, pengetahuan yang diperoleh dari kajian ini dapat dikembangkan untuk meningkatkan pengajaran matematika. 80 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 B. METODOLOGI KAJIAN Kajian ini menggunakan metodelogi kuasi eksperimen yang melibatkan kelompok ekperimen dan kelompok kontrol tidak serupa yang diasaskan oleh Campbell dan Stanley (1963). Eksperimen kuasi membawa maksud eksperimen yang terdiri dari unit yang menerima ekperimen, pengukuran dilakukan terhadap kesan ekperimen namun unit berkenaan tidak dipilih secara rawak untuk dibuat inferens tentang sebab dan akibat (Stouffer 1950 & Campbell 1957). Dalam kajian eksperimen ini ada 12 ancaman yang kemungkinan dapat mempengaruhi kesahan dalaman dan kesahan luaran kajian. Pertama, kesahan dalaman separti: Histori, pematangan, ujian, pengukuran, regresi statistic, seleksi, mortalitas, interaksi antara responden kajian. Kedua, kesahan luaran kajian yaitu: pengaruh pretes, perbedaan populasi dan sampel, pengaruh penyusunan pelaksanaan kajian dan gangguan eksperimen lain. Ujian pemahaman konsep pelajar disusun oleh pengkaji dibantu oleh pembimbing, dua orang dosen universitas, seorang guru berpengalaman diindragiri hulu dengan menyesuaikan soal dari kajian Rafidah (2003). 16 item diberikan kepada pelajar untuk diselesaikan. Setiap item diberikan nilai yang berbeda sesuai dengan tahap kepahaman pelajar dan jumlah skor keseluruhan 42. Kelompok ekperimen menjalankan pengajaran dengan mengintegrasikan GSP, manakala kelompok kontrol menggunakan pengajaran tradisional. Kedua-dua kelompok menjalankan ujian pra dan ujian pos. Ujian pra dijalankan untuk mengetahui bahwa kedua-dua kelompok memiliki kesetaraan pemahaman konsep transformasi yang sama. Setelah itu kajian dijalankan sebagaimana mestinya dan setiap nilai pelajar direkod. Kelompok ekperimen dan kelompok kontrol masing-masing terdiri dari 44 orang pelajar tingkatan tiga IPA SMA di Indragiri Hulu Riau. Seluruh sampel kajian ialah 88 orang pelajar. Variabel standar dalam kajian ini adalah pemahaman konsep matematika. Uji pemahaman konsep ini menggunakan ujian geometri Van Hiele yang dibina untuk mengukur tahap pemahaman tansformasi pelajar yang merupakan salah satu bahan ajar bidang geometri (Van Hiele 1957). Kemudian pencapaian pelajar juga di uji dengan menggunakan ujian topik transformasi yang dibina sendiri oleh pengkaji dan beberapa dosen Universitas Kebangsaan Malaysia dengan bimbingan pembimbing. Kedua-dua kelompok ini akan mengadakan ujian pra untuk ujian pemahaman dan pasca untuk ujian pemahaman dan pencapaian. C. HASIL Dalam kajian kuasi eksperimen ini pengkaji perlu meneliti pemahaman konsep pelajar diperingkat awal kajian yaitu ujian pra. Pada ujian pra ini, data akan digunakan untuk melihat kesetaraan pemahaman konsep antar pelajar dari masing-masing kelompok. Selain itu, ujian pos akan digunakan untuk kajian berikutnya. Jadi data diperoleh daripada ujian pra dan ujian pos. 81 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Hasil menunjukkan bahwa min skor atau purata ujian pemahaman konsep pelajar tentang transformasi pada kelompok ekperimen dan kelompok kontrol hampir sama sebelum di adakan pengajaran. Min untuk kelompok ekperimen 42.68 dan min untuk kelompok kontrol 40.98. Ini bermakna bahwa sebelum pelaksanaan pengajaran, pemahaman konsep pelajar adalah sama. Hasil ujian juga terlihat bahwa selepas dilaksanakan pengajaran dengan menggunakan perisian GSP yaitu ujian pos, diperoleh purata kelompok ekperimen lebih bervariasi daripada kemampuan pelajar kelompok kontrol. Min kelompok ekperimen 69.61 manakala min untuk kelompok kontrol 59.45. Dengan demikian, selepas dilaksanakan pengajaran dengan menggunakan perisian GSP kelompok ekperimen lebih baik daripada pelajar kelompok kontrol. Dengan menggunakan independent samples t test untuk membandingkan pemahaman konsep pelajar pada ujian pra antara kelompok ekperimen dan kelompok kontrol nilai t adalah 0.892 serta signifikansinya sebesar p = 0.375 > 0.05 separti yang ditunjukkan dalam Tabel 1 dibawah. Ini bermakna, tidak ada perbedaan antara pemahaman konsep matematika topik transformasi pelajar kelompok ekperimen dengan kelompok kontrol pada ujian pra atau di awal pembelajaran. Tabel 1. Perhitungan ujian pra pemahaman konsep kumpulan eksperimen dan kumpulan kawalan Pemahaman Konsep Ujian Pra Eksperimen Kawalan N Min 44 44 42.68 40.98 Sisihan Piawai 9.132 8.801 Nilai t 0.892 Sig. 0.375 Dari Tabel 2 di bawah, diperoleh pula min masing-masing kelompok ekperimen dan kelompok kontrol adalah 69.61 dan 59.45, diketahui min kelompok ekperimen lebih besar dari kelompok kontrol. Seterusnya hasil independent t test untuk menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara pemahaman konsep pelajar kelompok ekperimen dengan pemahaman konsep pelajar kelompok kontrol menunjukkan nilai signifikan p = 0.000 < 0. 05. Ini bermakna, terdapat perbedaan pemahaman konsep antara pelajar kelompok ekperimen dengan pelajar kelompok kontrol separti yang dipaparkan pada Tabel berikut. Tabel 2. Perhitungan ujian pos pemahaman konsep kelompok ekperimen dan kelompok kontrol Pemahaman Konsep Ujian Pos Ekperimen Kontrol N 44 44 Min 69.61 59.45 Sisihan Piawai 10.208 10.650 Nilai t 4.568 Sig. 0.000 Berdasarkan penjelasan hasil kajian di atas maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis H0 ditolak. Ini bermakna, terdapat perbedaan yang signifikan pemahaman konsep matematika topik transformasi antara kelompok ekperimen dengan kelompok kontrol. 82 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Tabel 3 dan 4, memaparkan data tentang hubungan antara pemahaman konsep matematika pelajar dengan pencapaian pelajar akan dianalisis menggunakan uji korelasi pearson. Hasil analisis data menunjukkan bahwa hubungan antara pemahaman konsep pelajar dengan pencapaian pelajar untuk kelompok eksperimen 0.797. Ini menunjukkan bahwa hubungan antara pemahaman konsep pelajar dengan pencapaian pelajar adalah tinggi (Alias 1999). Manakala hasil analisis hubungan antara pemahaman konsep pelajar dengan pencapaian pelajar kelompok kontrol adalah 0.721. Ini menunjukkan bahwa hubungan antara pemahaman konsep pelajar dengan pencapaian pelajar adalah tinggi (Alias 1999). Hal ini dapat diartikan pula bahwa semakin tinggi pemahaman konsep pelajar maka semakin tinggi pula pencapaian pelajar dan berlaku untuk sebaliknya. Tabel 3. Hubungan antara pemahaman konsep pelajar dengan pencapaian pelajar kelompok ekperimen Pemahaman konsep Pemahaman konsep Pencapaian Pearson Correlation Sig.(2-Tailed) N Pearson Correlation Sig.(2-Tailed) N Pencapaian 1 . 44 . 797** .000 44 .797** .000 44 Tabel 4. Hubungan antara pemahaman konsep dengan pencapaian pelajar kelompok kontrol. Pemahaman konsep Pemahaman konsep Pencapaian Pearson Correlation Sig.(2-Tailed) N Pearson Correlation Sig.(2-Tailed) N 1 . 44 . 721** .000 44 Pencapaian . 721** .000 44 1 . 44 D. PEMBAHASAN Berdasarkan analisis data daripada hasil kajian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dari segi pemahaman konsep pelajar antara pelajar kelompok ekperimen yang menggunakan pengajaran berintegrasi perisian Geometer’s Skecthpad dengan pelajar kelompok kontrol yang belajar dengan pengajaran tradisional. Min skor kelompok ekperimen ialah 69.61 dari 42 nilai sedangkan untuk min skor kelompok kontrol yaitu 59.45. Pengajaran berintegrasikan perisian Geometer’s Skecthpad dapat memberikan kemudahan dalam pemahaman konsep pelajaran yang diberikan kepada pelajar. Kemudahan ini diperoleh daripada penggunaan alat dan bahan pengajaran sebagai alat bantu dan bahan untuk pengajaran. Perisian Geometer’s Skecthpad itu pula menyediakan proses pengajaran dan pengajaran dengan cara 83 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 yang lebih kreatif (Venkataraman 2007). Hasil kajian ini menyokong hasil kajian dari Norazah et. Al (2008) dan Renuwat (2009) .Hasil kajian menunjukkan kaidah kajian yang digunakan dan diterapakan dapat meningkatkan kepahaman konsep pelajar, membantu pelajar secara aktif dalam menyelesaikan masalah dan pelajar dapat lebih investigatif. Selain itu juga, hasil kajian yang diperoleh menyokong hasil Purdy (2000), Ustun & Ubuz (2004). Beliau menyatakan kesan penggunaan perisian GSP lebih baik dari pengajaran tradisional dan mempengaruhi cara kerja dan berpikir matematis dalam memahami matematika tambahan (Almeqdadi 2005). Peningkatan pemahaman konsep pelajar yang menerima pengajaran dengan berintegrasikan perisian Geometer’s Skecthpad lebih tinggi berbanding dengan kelompok pelajar yang menerima pengajaran tradisional. Terdapat perbedaan yang signifikan min pemahaman konsep pelajar terhadap topik pembahasan transformasi bagi kelompok ekperimen dengan kelompok kontrol tersebut. Pengkaji mendapati guru perlu merancang satu bahan pengajaran yang sesuai dengan kebolehan pelajar, membuat objektif pengajaran dan pembelajaran disamping memastikan objektif tersebut dicapai dalam proses pengajaran yang akan dilaksanakan serta guru harus dapat menciptakan kondisi belajar yang kondusif bagi pelajar untuk menemukan suatu konsep secara sendiri (Akuysal 2007). Bahan pengajaran yang dirancang dengan berintegrasikan perisian Geometer’s Skecthpad disusun sesuai dengan pengajaran geometri transformasi yang ditampilkan melalui layar komputer sehingga memberikan kemudahan belajar kepada pelajar (Leong 2003), sehingga dapat maningkatkan pemahaman pelajar dan meningkatkan proses pengajaran (Habre & Grunmeir 2007). Selain itu, Baharuddin (2008) menyatakan bahwa suasana pembelajaran yang menarik akan menentukan pengajaran yang berkesan dan suasana pembelajaran yang menarik harus dibina oleh guru yang mengajar. Clarke dan kazinou (2001) berpendapat pembelajaran bukan hanya melibatkan pengajaran guru saja dan penerimaan keterangan oleh pelajar semata-mata sebaliknya setiap pelajar memainkan peranan penting dalam proses penerimaan keterangan-keterangan baru dan mengintegrasikan keterangan itu bersesuaian dengan pengalaman pembelajaran diri. Seterusnya menurut sejumlah penelitian yang dijalankan Baki (2001), Belfort & Guimaraes (2004) dan Toumasis (2006) mendapati selain suasana pembelajaran yang menarik yang diciptakan dari penggunaan perisian Geometer’s Skecthpad, perisian ini juga dapat membantu pelajar untuk belajar konsep dengan menemukan tanpa menghafal. Dalam pembelajaran matematika proses pembentukan konsep adalah hal yang paling utama dan penting. Hal ini senada dengan konsepsi belajar yang mengacu pada pandangan konstruktivis bahwa pemahaman konstruksi itu lebih penting berbanding dengan menghafal fakta (Abbullah & Abbas 2006). Respon yang diberikan oleh pelajar sama ada kelompok ekperimen dan kelompok kontrol dalam ujian pemahaman konsep transformasi 84 menunjukkan tahap yang Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 sederhana. Min skor kelompok ekperimen ialah 69.61 dari 42 nilai sedangkan untuk min skor kelompok kontrol yaitu 59.45. Pelajar tidak menunjukkan pemahaman konsep yang kukuh berhubung difinisi tranformasi. Jawaban yang diberikan menunjukkan tidak semua pelajar dalam kelompok ekperimen dan kelompok kontrol mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang kukuh dengan apa yang terkandung dalam definisi transformasi sebenarnya. Beberapa orang pelajar memberi jawaban yang salah, hal ini menunjukkan bahwa terdapat kekurangan dalam pemahaman mereka tentang transformasi. Kajian yang teliti keatas kerja pelajar juga dapat membantu kegiatan pelajar mengamati pelajaran secara detail, menerka dan memperluas kemampuan berfikir rasional, sehingga hal ini dapat mengurangkan kesukaran pelajar dalam memahami konsep geometri yang abstrak (Lin 2008). Pelajar mempunyai berbagai pengetahuan sedia ada yang boleh digunakan dalam pembinaan konsep dan meningkatkan pengetahuan pengajaran secara mendalam (Habre & Grunmeire 2007). Kemampuan pemahaman konsep sangat diperlukan untuk mencapai ke tingkat kemampuan di atasnya Subhan (2007). Hal ini seiring dengan pendapat (Greeno, 2006 & Reusser, 2006) Konsep baru diperkenalkan dengan membangun ide-ide, pengalaman pelajar dan pengetahuan sebelumnya. Pemahaman konsep juga hadir secara eksplisit untuk konsep dan menentukan hubungan antara fakta-fakta matematika, prosedur, ide dan representasi (Hiebert & Grouws, 2007). Dalam kajian Stoffa (2007) menyatakan bahwa dengan menggunakan strategi kognitif dan kreatif serta dapat mengorganisir pemahaman diri sendiri dari pengetahuan sedia ada memiliki hubungan langsung dengan prestasi belajar. Oleh itu pendidik perlu mengetahui bagaimana pelajar ini berfikir supaya persediaan awal boleh dibuat dan pedagogi pelajar dapat ditingkatkan bagi membantu pelajar membentuk pemahaman konsep yang betul, jelas dan sesuai dengan objektif pembelajaran. Hasil kajian menunjukkan min keseluruhan adalah 64.53. Min yang diperoleh dalam kajian ini menunjukkan pemahaman konsep yang sederhana. Skor maksimum untuk ujian pemahaman konsep ialah 92 dan skor minimum adalah 48 untuk kelompok ekperimen. Manakala kelompok kontrol skor maksimum untuk ujian pemahaman konsep ialah 84 dan skor minimum adalah 36. Hasil kajian untuk min kelompok ekperimen 69.61. Min kelompok ekperimen yang diperoleh dalam kajian ini menunjukkan pengetahuan konsep yang sederhana. Manakala untuk min kelompok kontrol yaitu 59.45 ini menunjukkan pemahaman konsep pada kelompok ekperimen berada pada tahap sederhana sama halnya dengan kelompok kontrol. Terdapat perbedaan min antara kelompok ekperimen dengan kelompok kontrol, dimana min kelompok ekperimen lebih tinggi dari min kelompok kontrol. Perbedaan pemahaman konsep yang ditunjukkan oleh kelompok pelajar ini mungkin dipengaruhi oleh berbagai faktor. Ini sesuai dengan kajian Hai (2010) yaitu salah satu faktor tersebut ialah guru mengintegrasikan perisian GSP dalam proses 85 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 pengajaran dan pembelajaran, karena perisian ini telah dirancang sedimikian rupa sehingga dapat melayani berbagai macam keperluan pelajar sesuai dengan kemampuannya. Berkaitan dengan hasil di atas, pemahaman sebagian pelajar terhadap konsep matematika dipengaruhi oleh kemampuan kognitif. Hill (2008), Tarmizan (2010) dan Andersson & Lyxell (2007) menyatakan ada interaksi antara kemampuan kognitif dalam belajar dengan kesukaran pelajar dalam menyelesaikan masalah. Oleh karena itu, pelajar yang mengalami kesukaran dalam menyelesaikan masalah atau soal di karenakan kemampuan kognitif yang lemah akan menyebabkan pemahaman konsep yang buruk. Kajian ini mengintegrasikan perisian GSP dalam pengajaran yang merupakan teknologi interaktif dan alat visualisasi yang dapat melibatkan pelajar secara bermakna (Sediq & Liang, 2006). Perisian GSP ini juga memang telah dirancang sedemikian untuk memenuhi keperluan pelajar, salah satunya untuk menerka konsep-konsep matematika yang lebih sukar (Hai, 2010). Kesukaran pelajar dalam menyelesaikan soal ditunjukkan dari kesalahan pelajar dalam menjawab soal (Nik aziz, 2008). Kesukaran menunjukkan lemahnya pemahaman konsep pelajar (Latha, 2007). Kesukaran yang dihadapi pelajar dapat mempengaruhi pencapaian matematika pelajar (Tarmizan et. al, 2010). Dari hasil di atas, pengkaji menyimpulkan bahwa pemahaman tehadap pemahaman konsep matematika amat penting karena dapat mempengaruhi pencapaian. Hubungan antara pemahaman konsep dengan pencapaian pelajar dianalisis dengan korelasi person. Analisis yang dijalankan terhadap 88 sampel kajian untuk melihat hubungan antara pemahaman konsep dengan pencapaian matematika untuk kelompok ekperimen memberikan nilai r yang didapati adalah 0.797 merupakan nilai korelasi yang tinggi (Alias 1999). Sedangkan untuk hubungan pemahaman konsep dengan pencapaian matematika pelajar kelompok kontrol adalah 0.721 yang juga merupakan nilai korelasi yang tinggi (Alias 1999). Terdapat hubungan yang kuat diantara pemahaman konsep dengan pencapaian matematika pelajar. Hasil kajian ini menyokong hasil kajian oleh Sarjiman (2006) dan Subhan (2007), Beliau mendapati keputusan terdapat hubungan yang kuat diantara pemahaman konsep dengan pencapaian yang diperoleh. Marlina (2010) dan Sri (2008) dalam kajiannya pula mengatakan pencapaian pelajar yang tinggi memperlihatkan pemahaman konsep pelajar tersebut juga tinggi. Jelas antar pemahaman konsep dengan pencapaian pelajar memiliki hubungan yang erat. E. IMPLIKASI KAJIAN Hasil kajian ini memberi beberapa implikasi besar terhadap amalan pendidikan yang berhubungkait dengan pengajaran dan pembelajaran. Diharapkan kepada banyak pihak terutamanya guru, pelajar dan pihak pentadbir sekolah agar mengambil sikap positif, proaktif dan responsive terhadap implikasi-implikasi yang diberikan. Pelajar dapat belajar sendiri dan 86 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 menemukan konsep matematika melalui ganbar dan animasi-animasi sehingga hal ini dapat melahirkan pelajar yang berfikir dan menemukan sesuatu konsep secara sendiri. . Guru dituntut untuk lebih terampil dan mengetahui komputer karena dengan perisian membantu guru menyampaikan keterangan secara mudah dan bertahap. Dapat dilihat, didengar dan mudah untuk dianalisis. Sehingga keterangan yang akan disampaikan dapat langsung tersampaikan keminda pelajar secara langsung. Dengan mengintegrasikan komputer dalam pengajaran matematika, guru memiliki pengalaman lebih dalam. Hasil kajian ini dapat dijadikan sebagai maklum balas yang sangat berharga kepada pihak pentadbir sekolah dalam membantu guru dan pelajar. Pihak pentadbir sekolah perlu memastikan untuk kemudahan infrastruktur, kewangan, alat-alat bantu pengajaran dan tenaga pengajar yang sepatutnya dalam pelaksanaannya agar proses pengajaran dan pembelajaran mendapatkan hasil yang diharapkan. Pendedahan komputer dan latihan dalam menggunakan komputer hendaklah disediakan dan diberikan kepada guru dan bakal guru. Hal ini supaya dapat meningkatkan kefahaman dan kemahiran dalam menggunakan komputer dalam pembelajaran secara berkesan. F. KESIMPULAN Kajian ini dapat menjelaskan kesan integrasi perisian GSP dalam pembelajaran ke atas pemahaman konsep matematika pelajar. Hasil kajian ini menujukkan bahwa pembelajaran matematika yang diintregasikan dengan perisian komputer dapat memberi kesan yang positif terhadap pelajar dan guru. Hasil kajian mendapati pemahaman konsep dan pencapaian pelajar yang mengikuti pengajaran dengan berbantukan perisian GSP lebih tinggi daripada pelajar yang mengikuti pengajaran tradisional. Kesukaran dalam menyelesaikan soal matematika transformasi dalam kelompok pelajar yang belajar dengan pengajaran berintegrasi perisian GSP berkurang. Terdapat hubungan yang signifikan antara pemahaman konsep matematika transformasi dengan pencapaian pelajar. Artinya, semakin tinggi pemahaman konsep matematika pelajar semakin tinggi nilai pencapaiannya. Hasil kajian juga telah memberi implikasi terutama terhadap pelajar dan guru untuk membina suasana pengajaran dan pembelajaran yang menambah wawasan dengan menggunakan komputer dan menambah keterampilan guru dalam menggunakan komputer dalam pembelajaran. DAFTAR PUSTAKA 1. 2. Abdullah, S., & Abbas, M. 2006. The effect of inquiry-based komputer simulation with cooperative learning on scientific thinking and conceptual understanding. Malaysian Online journal of Instructional Technology. 3(2): 1-16 Agung Hariatmaka. 2010. Eksperimentasi Penggunaan Media Komputer Dalam Pembelajaran Matematikaa Pada Pokok Bahasan Peluang Kelas Xi Sma Se-Kabupaten Kotawaringin Timur Ditinjau Dari Kemampuan Awal Siswa Tahun Pelajaran 2009/2010. Tesis, Surakarta : Program Studi Pendidikan Matematikaa, Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. 87 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. Akuysal, N. 2007. Seventh grade students' misconceptions about geometrical concepts. Unpublished Master Thesis, Selçuk University, Graduate School of Natural and Applied Sciences, Konya Alias baba. 1999. Statistik Penyelidikan dalam Pendidikan dan Sains Sosial: Bangi, Universiti Kebangsaan Malaysia. Almeqdadi, Farouq. 2005. The Effect of Using the Geometer’s Sketchpad (GSP) on Jordanian Students’ Understanding Some Geometrical Concepts. International Journal for Mathematics Teaching and Learning ISSN 1473 – 0111, v. 43: 1-14. (http://www.cimt.plymouth.ac.uk/journal/almeqdadi.pdf) Andersson, U. & Lyxell, B. 2007. Working memory deficit in children with mathematics difficulties: A general or specific deficit. Journal of Exeptional Children Psychology 96(3): 197-228. Baharuddin & Wahyuni, E.N. (2008). Teori Belajar dan Pembelajaran. Arruzz Media, Jogjakarta. Baki, A. (2001). Bilisim teknolojisi isigi altinda matematika egiitiminin degerlendirilmesi [Evaluation of mathematics education in the light of information technology]. The Journal of National Education, 1, 149–154. Belfort, E. & Guimaraes, C.L. (2004). Teacher's practices and dynamic geometry. International Group for the Psychology of Mathematics Education, 28th, Bergen, Norway, July 14-18, 2004. pp. 8. Bhasah Hj. Bu Bakar & Rafidah Wahab. 2003. Keberkesanan penggunaan the geometer’s sketchpad dalam mata pelajaran sains dan matematika. Konvensyen Teknologi Pendidikan ke 16: ICT dalam pendidikan dan latihan: Trend dan isu. City Bayview Melaka, 13-16 Jun. Campbell, D.T. & Stanley, J.C.C. 1963. Experimental and quasi-experimental designs for research. Boston. Houghton Mifflin Company. Choirul, Muhd Fuad. 2009. Pengunaan media pembelajaran yang inovatif Berbasis komputer untuk meningkatkan Pemahaman siswa pada pokok bahasan Bangun ruang sisi datar. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Clarke.R & Kazinoo.M. 2001. Promoting metacognitive skills among student in education. Educational technology. 64:1-13 Depdikbud. 2005. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta Pusat: Kurikulum. Edwards, M.T. (2002). Symbolic manipulation in a technological age. The Mathematics Teacher, 95(8):614. Fitra Mayasari. 2009. Pendesainan LKS Matematikaa Interaktif Model E-Learning Berbasis Web di Kelas X Sma Negeri 3 Palembang. Program studi pendidikan matematikaa Jurusan pendidikan matematikaa dan ilmu pengetahuan alam. Skripsi. Greeno, J. G. 2006. Theoretical and practical advances through research on learning. In Y. L. Green, G. Camilli, P. Elmore, A. Skukauskaite, & E. Graceb (Eds.), Handbook of complementary methods in education research (pp. 795e822). Washington, DC: American Educational Research Association. Habre, S. and T.A. Grunmeier, 2007. “Prospective Mathematics Teachers’’ Views on the Role of Technology in Mathematics Education”, IUMPST: The Journal 3. [www.k-12prep.math.ttu.edu]. Hai-Ning Liang, Kamran Sedig. 2010. Can interactive visualization tools engage and support preuniversity students in exploring non-trivial mathematical concepts?. Komputers & Education, 54: 972–991 (journal homepage: www.elsevier.com/ locate/ compedu). Hiebert, J., & Grouws, D. A. 2007. The effects of classroom mathematics teaching on students’ learning. In F. K. Lester (Ed.), Second handbook of research on mathematics teaching and learning (pp. 371-404). Charlotte, NC: Information Age. Hill, B. 2008. Cognitive skills and mathematics skills. 21st century skill. retrieved on 9/11/09.Fromhttp://www.21stcenturyskills.org/route21/index.php?option=com_ilibrary. Kamariah Abu Bakar. 2009. Effect of utilizing Geometer’s Sketchpad on performance and mathematical thinking of secondary mathematics learners: An initial exploration. International journal of education and information technologies Issue 1, volum 3 Karen F. Hollebrands. (2003). High school students’ understandings of geometric transformations in the context of a technological environment. Journal of Mathematical Behavior, 22 : 55–72. Latha Maheswari Narayanan. 2007. Analysis of error in addition and subtraction of fraction among form 2. Kertas Projek Sarjana Pendidikan. Universiti Malaya. Leong Yew Hoong & Lim-Teo Suat Khoh. 2003. Effects of Geometer's Sketchpad on Spatial Ability and Achievement in Transformation Geometry among Secondary Two Students in Singapore.The Mathematik educator, Vol. 7. No.1: 32-48. Lin, C.Y. 2008. Preservice teachers' beliefs about using technology in the mathematics classroom. The Journal of Komputers in Mathematics and Science Teaching; 27, 3; Academic Research Library pg. 341. 88 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 27. Ling, S. (2004). Enhancing the Learning of Conics with Technology. California: California State University Dominguez Hills. 28. Marzita Puteh & Rohaidah Masri. 2004. Penggunaan geometer’s sketchpad dalam pembelajaran matematika. Proceeding 2003 Regional Conference on Interating Technology in the Mathematical sciences, hlm. 193-203. 29. Muhammad Zainal Abidin. 2008. Efektivitas penggunaan maple terhadap hasil belajar Matematikaa pokok bahasan sistem persamaan linear Siswa kelas x madrasah aliyah al-falah Lemahabang kec. Bone-bone Kab. Luwu utara. Skripsi UINAlaudin: makasar. 30. Nik Azis Nik Pa. 2008. Isu-isu kritikal dalam Pendidikan Matematika. Kuala Lumpur: Penerbit Universiti Malaya. 31. N. Norazah, Z. Effandi, A.E. Mohamed, and M.Y. Ruhizan.2008. Pedagogical Usability of the Geometer’s Sketchpad (GSP) Digital Module in the Mathematics Teaching. In Proceedings Of The 7th WSEAS International Conference On Education And EducationalTechnology (EDU'08), pp. 240245. 32. Nor Hayati. 2002. Pengajaran Dan Pembelajaran Matematika Berbantukan Komputer: Keberkesanan Perisian “The Geometer’s Sketchpad” Untuk Judul Penjelmaan. Tesis: Universiti Kebangsaan Malaysia. 33. Purdy. D.C. 2000, Using the geometer’s sketchpad to visualize maximum volume problems. The Mathematics Teacher, 93(3):224. 34. Rafidah Binti Mohd. Nor. 2003. Mengnalpasti Tahap Pemahaman Pelajar Sekolah Menengah Mengenai Konsep Geometri Berdasarkan Kepada Teori Van Hiele. Tesis: UKM. 35. Ratna herawati (2010) peningkatan pemahaman konsep matematikaa pokok Bahasan ruang dimensi tiga melalui pendekatan Kooperatif tipe GI (group investigation) dengan Memanfaatkan Alat Peraga Matematikaa. Skripsi. Universitas Surakarta. 36. Renuwat Phonguttha, Sombat Tayraukham dan Prasart Nuangchalerm. 2009. Comparisons of Mathematics Achievement, Attitude towards Mathematics and Analytical Thinking between Using the Geometer's Sketchpad Program as Media and Conventional Learning Activities. Australian Journal of Basic and Applied Sciences , 3(3): 3036-3039. 37. Reusser, K. (2006). Konstruktivismus: Vom epistemologischen Leitbegriff zur Erneuerung der didaktischen Kultur. [Constructivism: from a key epistemological concept to a new didactic culture]. In M. Baer, M. Fuchs, P. Fu¨glister, K. Reusser, & H. Wyss (Eds.), Didaktik auf psychologischer Grundlage. Von Hans Aeblis kognitionspsychologischer Didaktik zur modernen Lehr- und Lernforschung (pp. 151e168). Bern: H.E.P. 38. Revillia Ardhi. 2007. Efektifitas Pembelajaran dengan Media Animasi dan LKS Mandiri pada Pokok Bahasan Pengukuran Luas dan Keliling Daerah Segiempat terhadap Hasil Belajar dan Ketuntasan Belajar Siswa Kelas VII di SMP Negeri I Wonosobo Tahun Ajaran 2006/2007. Program Studi Pendidikan Matematikaa, Jurusan Matematikaa, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Semarang. 39. Sarjiman, P. 2006. Peningkatan Pemahaman Rumus Geometri Melalui Pendekatan Realistik Di Sekolah Dasar. Cakrawala Pendidikan, Th. XXV, No. 1 Journal UNY. 40. Sedig, K., & Sumner, M. (2006). Characterizing interaction with visual mathematical representations. International Journal of Komputers for Mathematical Learning, 11(1):1–55. 41. Sinclair, M., Bruyn, Y., Hanna, G., & Harrison, P. 2004. Cinderella and the Geometer's Sketchpad. Canadian Journal of Science, Mathematics, & Technology Education, 4(3): 423-437. 42. Sri hajiyati. 2008. Peningkatan pemahaman konsep simetri Melalui model pembelajaran kreatif dengan Permainan Matematikaa. Skripsi : Universitas Muhammadiyah Surakarta. 43. Stoffa, R.C. (2007). Generation 1.5 Immigrant Students’ Self-Regulation and Learning Strategies. The International Journal of The Humanties, 5(5): 191-200, http://www.Humanities-Journal.com. 44. Subhan, A. (2007). Meningkatkan Pemahaman Konsep dan Sikap Peserta Didik Melalui Pelatihan Guru Dengan Vcd Pemodelan dan Pendampingan Pada Pembelajaran Matematikaa Bercirikan Pendayagunaan Alat Peraga Materi Pokok Luas Bangun Datar Kelas V Sd Sekaran 2 Tahun Pelajaran 2006/2007. Skripsi: Universitas Negeri Semarang. 45. Tarzimah Tambychika, Thamby Subahan Mohd Meerahb, Zahara Azizb. 2010. Mathematics Skills Difficulties: A Mixture of Intricacies. Procedia Sosial and Behavioral Sciences. 7(c):171–180. 46. Teoh Boon Tat & Fong Soon Fook. 2005. The Effects of Geometer’s Sketchpad and Graphic Calculator in the Malaysian Mathematics Classroom. Malaysian Online Journal of Instructional Technology. 2(2): 82-96. 47. Toumasis, C. (2006). Expanding in-service mathematics teachers’ horizons in creative work using technology. International Journal of Mathematical Education in Science and Technology, 37 (8&15): 901–912. 89 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 48. Ustun, I. & Ubuz, B. (2004). Geometrik kavramlarin Geometer’s Sketchpad yazilimi ile gelistirilmesi [The development of geometric concepts through a Geometer's Sketchpad software]. Best Practices in Education Conference 2004. Istanbul:Sabanci University. 49. Van Hiele – Geldof, D. 1957. De didaktiek van de meetkunde in de eerste klas van het V. H. M. O. (The didactics of geometry in the lowest class of the secondary school), Hlm. 179 – 183. English summary of doctoral dissertation, University of Utrecht. 50. Van Hiele, P. M. 1957. De Problematiek van het inzicht, gedemonstreed aan het inzicht van school kideren in meetkunde – leerstof (The problem of insight in connection with school children’s insight into subject matter of geometry), hlm. 211-215. English summary of doctoral dissertation, Universitas Of Utrecht. 51. Venkataraman, S. 2007. “Learning Triangle Proparties through Sketchp ad Activities”, Proceedings of the Redesigning Pedagogy: Culture, Knowledge and Understanding Conference. Singapore. 52. Zeynep Gecu, Nesrin Ozdener. 2010.The effects of using geometry software supported by digital daily life photographs on geometry learning. Procedia Sosial and Behavioral Sciences 2: 2824–2828. 90 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE ROUND ROBIN DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA Ergusni Abstrak. Pembelajaran matematika dapat membentuk pola pikir yang logis dan sistematis. Matematika juga merupakan alat dan sarana berpikir bagi ilmu yang lain dalam penyelesaian masalah. Siswa dituntut untuk dapat mempelajari, memahami, dan menguasai konsep matematika dengan baik. Pembelajaran matematika seharusnya mengoptimalkan semua unsur pembelajaran dan indra siswa sebagai pembelajar. Guru, perlu merancang pembelajaran sehingga proses pembelajaran dapat terlaksana dengan baik, bersemangat dan menyenangkan, dengan harapan matematika tidak lagi dianggap mata pelajaran yang menakutkan. Oleh karena itu, peran guru sebagai motivator dan fasilitator lebih diutamakan demi tercapainya tujuan pembelajaran. Maka penulis mengemukakan suatu solusi yaitu dengan menawarkan model pembelajaran kooperatif tipe Round Robin. Sedangkan permasalahan dalam makalah ini adalah “Bagaimana langkah-langkah penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Round Robin dalam pembelajaran matematika? Kata kunci: Model pembelajaran Kooperatif tipe Round Robin, Pebelajaran Matematika A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Matematika mempunyai peranan penting dalam perkembangan ilmu dan teknologi. Pelajaran matematika dapat membentuk pola pikir yang logis dan sistematis. Karena itu matematika dijadikan salah satu mata pelajaran yang diajarkan pada setiap jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Melihat pentingnya pelajaran matematika tersebut, seorang guru harus mampu mendidik dan melatih siswanya dalam belajar sehingga pembelajaran dapat terlaksana dalam suasana yang menyenangkan. Hal ini diharapkan dapat membuat siswa selalu antusias mengikuti pembelajaran dari awal sampai selesai.Upaya untuk meningkatkan aktivitas siswa dalam mengikuti pembelajaran perlu ditumbuhkan untuk meningkatkan hasil belajar, mengatasi masalah dan dapat menerapkannya dalam kehidupan. Banyak model pembelajaran yang dapat digunakan guru dalam mengajar untuk meningkatkan aktivitas, kreatifitas dan kemandirian siswa. Salah satu model yang dibahas dalam makalah ini adalah model pembelajaran kooperatif tipe Round Robin. Menurut Ibrahim (2000:49) Round Robin adalah “suatu kegiatan yang mengajarkan siswa bagaimana menunggu giliran pada saat bekerja dalam kelompok”. Pada model ini mengharuskan setiap siswa untuk berbagi sesama anggota kelompok dengan mengeluarkan ide kreatif dan pendapat mereka mengenai masalah pembelajaran yang sedang dibahas. 91 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Siswa dilatih untuk tertip dalam menunggu giliran memberikan kontribusi dalam menjawab pertanyaan. Siswa juga dituntut untuk bisa mempertanggung jawabkan hasil diskusi mereka dalam memnyelesaikan masalah. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka, rumusan masalah adalah “Bagaimana langkah-langkah model pembelajaran kooperatif tipe Round Robin dalam pembelajaran matematika? 3. Tujuan Berdasarkan permasalahan di atas, maka makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan langkah-langkah model pembelajaran Round Robin dalan pembelajaran matematika. 4. Manfaat Sebagai tambahan referensi bagi pembaca, dan bahan masukan dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran matematika. B. PEMBAHASAN 1. Pembelajaran Kooperatif Tipe Round Robin Round robin adalah model pembelajaran kooperatif yang lebih menekankan pada keterampilan berbagi. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibrahim(2000:49) Round robin adalah“suatu kegiatan yang mengajarkan siswa bagaimana menunggu giliran pada saat bekerja dalam kelompok”. Prosesnya amat sederhana dimana guru mengemukakan suatu ide atau mengajukan suatu pertanyaan yang mempunyai banyak jawaban. Kemudian setiap siswa harus memberikan konstribusinya dalam menyelesaikan tugas tersebut. Siswa harus memupuk kerjasama dalam kelompok dengan baik, yaitu dengan saling menghargai pendapat masing masing. Menurut Irfan Dani (2013) Round Robin adalah suatu tipe pembelajaran dimana para siswa bergiliran memberikan konstribusi menjawab pertanyaan dalam sebuah kelompok dalam bentuk tulisan. Dalam pembelajaran ini guru mengajukan permasalahan yang memiliki beberapa alternatif jawaban. Menurut Wahyuni (2008:5): Langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe round robin sebagai berikut: 1. Siswa dibagi kedalam beberapa kelompok terdiri dari 4-5 orang. Guru membagi siswa diluar jam pelajaran, agar saat pelajaran dimulai siswa sudah duduk berdasarkan kelompoknya masing-masing. 92 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 2. Tiap anggota kelompok diberikan nomor. Ini bertujuan untuk memudahkan guru dalam mengontrol siswa dalam pelaksanaan diskusi. 3. Guru memberikan tugas dan pertanyaan pada siswa. 4. Masing-masing siswa memiliki tanggung jawab untuk menjawab pertanyaan secara individu dan kelompok. 5. Setiap siswa juga diberikan lembar jawaban untuk menjawab tugas yang diberikan. 6. Siswa diberikan waktu berfikir dan bekerja dalam kelompok, sementara itu guru berkeliling untuk membimbing siswa dari kelompok yang satu ke kelompok yang lain. 7. Setiap siswa dari setiap kelompok wajib memberikan jawaban atas masalah yang diberikan guru. Disini setiap siswa bertanggung jawab atas jawaban yang mereka berikan. 8. Setelah siswa selesai memberikan jawaban masing-masing, satu siswa mulai memperlihatkan jawaban pada anggota kelompoknya. Sedangkan teman-teman yang lain mendengar dan memperhatikan dengan serius. Begitu seterusnya sampai semua anggota kelompok saling mengetahui jawaban satu sama lain. 9. Kelompok menentukan jawaban yang paling tepat dari hasil diskusi untuk dipresentasikan kedepan kelas 10. Guru menunjuk kelompok-kelompok tertentu untuk memberikan jawaban, sedangkan kelompok yang lain sebagai penanggap dan memberikan penilaian. 2. Langkah-langkah model Pembelajaran kooperatif tipe Round Robin dalam pembelajaran matematika Pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaranKooperatif tipe Round Robin menuntut siswa untuk melakukan pemecahan masalah secara kreatif. Kegiatan pembelajaran didominasi oleh siswa, sedangkan guru hanya sebagai fasilitator dan pembimbing dalam penyelesaian masalah. Dalam pembelajaran ini siswa diberikan masalah-masalah yang kontektual dan bersifat opend ended yang harus dipecahkan. Masalah tersebut berupa soal pemecahan masalah yang terdapat dalam Lembar Kerja Siswa (LKS). Selama proses pembelajaran berlangsung, masing-masing siswa aktif membahas permasalahan sesuai idenya, dan mengemukakan alternatif penyelesaian masalah dalam kelompok dan dalam diskusi kelas. Guru selalu memonitor kerja siswa dan membimbing bila diperlukan agar siswa mampu menyelesaikan masalah dengan baik. Setelah diberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan alternatif penyelesaian, guru membimbing siswa untuk mengevaluasi hasil kerja dan memilih alternatif penyelesaian masalah yang tepat. Untuk melihat kemampuan siswa setelah dilaksanakan 93 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 evaluasi dan pemilihan alternatif penyelesaian masalah, siswa diberikan masalah yang harus dipecahkan sebagai latihan. Untuk melihat secara lebih jelas, pembelajaran matematika menggunakan model pembelajaran Kooperatif tipe Round Robin dapat dikemukakan dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Guru mengkodisikan siswa untuk siap memulai pembelajaran, dengan mengajak berdo’a, menyampaikan tujuan pembelajaran matematika, memotivasi siswa dengan menayangkan manfaat materi pembelajaran dalam kehidupan, selanjutnya menggali pengalaman siswa sehubungan materi pembelajaran matematika yang akan dibahas. 2. Guru menjelaskan strategi pembelajaran yang akan dilaksanakan. 3. Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok yang terdiri dari 4 orang tiap kelompok. 4. Guru memberikan nomor pada masing-masing siswa sesuai nomor urut di absen. 5. Guru memfasilitasi siswa dengan bahan ajar dan lembar kegiatan siswa(LKS) dengan permasalah kontekstual yang bersifat open-ended, beserta lembar jawaban pada masing-masing anggota kelompok. 6. Masing-masing siswa diminta mempelajari bahan ajar yang diberikan dan mendiskusikan hal-hal yang kurang dimengerti. 7. Guru berkeliling memantau kerja siswa. 8. Masing-masing siswa menyelesaikan permasalahan yang sudah diberikan pada lembar jawaban sesuai pendapat masing-masing. 9. Setiap siswa bertanggung jawab atas jawaban yang mereka berikan. 10. Guru berperan sebagai pembimbing selama proses pembelajaran. 11. Dalam satu kelompok masing-masing anggota menyampaikan hasil jawabannya secara bergiliran, dan mendiskuaikannya , sampai semua anggota kelompok betulbetul memahami jawaban dari masing-masing anggotanya. 12. Anggota kelompok bermusyawarah untuk memilih hasil penyelesaian yang akan dipresentasikan. 13. Guru menunjuk satu atau dua kelompok untuk mempersentasikan hasil diskusinya kedepan kelas. 14. Guru meminta kelompok lain untuk meberikan tanggapannya. 15. Guru mengkonfirmasi dengan menyempurnakan hasil diskusi. 16. Guru membimbing siswa membuat kesimpulan terhadap materil pembelajaran. 17. Guru memberikan kuis untuk melihat ketercapaian tujuan pembelajaran. 94 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 18. Guru memberikan pekerjaan rumah dengan meminta siswa membuat ringkasan untuk materi berikutnya dan mengerjakan beberapa permasalahan sesuai materi yang telah dibahas. 19. Diakhir pembelajaran siswa diajak bersyukur kepada Allah dengan mengucapkan hamdallah. Untuk jelasnya langkah-langkah pelaksanaan model pembelajaran Round Robin dapat dapat dilihat pada kegiatan rencana pelaksanaan pembelajaran seperti pada tabel 1. Tabel 1. Kegiatan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran No Langkah Kegiatan 1 Kegiatan awal 2 Kegiatan inti a. Siswa memimpin do’a b. Guru mengingatkan siswa, bahwa semua yang akan kita pelajari, dapat dipahami atas izin Allah. c. Guru menayangkan atau menuliskan tujuan pembelajaran matematika. d. Guru memotivasi siswa dengan menayangkan fenomena yang berhubungan dengan materi matematika yang akan dipelajari, dan menyampaikan manfaat materi dalam kehidupan sehari-hari. e. Guru menggali pengetahuan siswa tentang materi yang akan dipelajari. f. Guru menjelaskan strategi pembelajaran. a. Guru meminta siswa untuk duduk berdasarkan kelompok yang sudah dibagi sebelumnya agar bisa bersosialisasi dengan anggota kelompoknya b. Guru memberikan bahan ajar, lembar permasalahan matematika yang bersifat openended dan lembar jawaban pada tiap-tiap anggota kelompok. c. Guru meminta masing-masing siswa mempelajari bahan ajar dan permasalahan yang diberikan, serta mendiskusikannya jika ada yang kurang di mengerti. d. Guru meminta siswa menyelesaikan permasalahan sesuai petunjuk pada lembaran yang diberikan secara individual. e. Gura meminta siswa untuk saling menukar lembar jawaban masing-masing pada teman kelompok dan membahasnya secara bergiliran sampai semua jawaban dipahami anggota kelompok. f. Guru meminta anggota kelompok bermusyawarah untuk memilih salah satu lembar jawaban yang akan dipresentasikan 95 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 3 Kegiatan Penutup g. Guru memilih secara acak satu atau dua kelompok untuk mempresentasikan hasil kerja kelompoknya. h. Guru mengkonfirmasi lembar jawaban yang sudah di presentasikan a. Guru membimbing siswa menyimpulkan materi. b. Guru memberikan PR dengan meminta siswa membuat ringkasan materi pertemuan berikutnya dan membahas permasalahan tentang materi yang sudah dipelajari. c. Guru memberikan kuis. d. Guru mengajak siswa bersyukur kepada Allah dengan mengucapkan hamdallah. C. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa : 1. Model pembelajaran kooperatif tipe Round robin mempunyai 19 langkah yang menggambarkan kegiatan yang harus dilaksanakan guru, sehingga tercipta pembelajaran yang menyenangkan menantang dan mengasah otak siswa. 2. Langkah-langkah pelaksanaan kooperatif tipe Round robin menggambarkan kegiatan yang akan dilaksakan oleh guru dan siswa selama pembelajaran. 2. Saran Berdasarkan uraian di atas penulis menyarankan, diharapkan kepada Guru matematika atau guru bidang studi lainnya dapat menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Round Robin dalam proses pembelajaran. DAFTAR PUSTAKA 1. Ergusni, dan Usmadi. 2011. Buku Pedoman Penulisan dan Ujian Skripsi. Padangpanjang: Program Studi Matematika 2. Hamalik, Omar. 2011. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara 3. Hamdani. 2011. Strategi Belajar mengajar. Bandung :Pustaka Setia 4. Ibrahim, Muslim dkk.2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya 5. Lie, Anita. 2002. Kooperatif Learning. Jakarta: PT Gramedia Sarana Cipta 6. Sardiman. 20011. Interaksi Dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada 7. Silberman, Melvin. 2006. Active Learning 101 Cara Belajar Siswa Aktif. Bandung : Nuansa 8. Suherman, Erman dkk. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: Jica 9. Suryabrata, Sumadi. 2010. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Raja Grafindo 10. Dani, Irfan. 2013. http://Pustaka.Pandani.web.id/2013/10/Model-pembelajaran-Round-Robin.html 11. Tikmayasa, Agustina. 2013. http://tikmayasa.wordpress.com/2013/13/29/model-pembelajarankooperatif 12. Dianidewi. 2013. http://dianidewi.blogspot.com/2013/07/model-pembelajaran-round-robin.html 96 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA SMP MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH Fitriana Yolanda Universitas Islam Riau, Jl. Khaharudin Nasution No. 113 Marpoyan Pekanbaru [email protected] Abstrak.Penelitian ini bertujuan untuk menelaah peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah dan siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan saintifik.Penelitian ini merupakan penelitian quasi eksperimen dengan desain Pretes-Post-test two treatment design.Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII salah satu SMPN di Bandung.Hasil penelitian menunjukkan:(1)Kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah lebih tinggi dari pada siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan saintifik;(2)Peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah lebih tinggi dari pada siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan saintifik Kata kunci: Pembelajaran berbasis masalah, Kemampuan Berpikir Kritis A. PENDAHULUAN Salah satu gerbang untuk meningkatkan sumber daya manusia adalah melalui pendidikan yang membuat identitas seseorang menjadi lebih terampil, inovatif, produktif dan berpengetahuan.Bahkan pendidikan diyakini sebagai salah satufaktor yang menentukan kulitas sumber daya manusia (Effendi, 1992).Melalui pendidikan seseorang dapat lebih berpengetahuan, terampil, inovatif dan produktif daripada mereka yang tidak berpendidikan. Pendidikan dikatakan bermutu apabila proses pendidikan berlangsung secara efektif dan menghasilkan individu-individu atau sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu bersaing dalam berbagai bidang dunia teknologi saat sekarang ini. Untuk terciptanya sumber daya manusia tersebut maka mutu pendidikan merupakan alternatif yang perlu ditingkatkan untuk memenuhi keinginan tersebut.Salah satu mutu yang harus ditingkatkan adalah pengembangan pembelajaran yang berkualitas diantaranya pengembangan pembelajaran matematika.Proses pembelajaran matematika menurut Sabandar (2009:1) berkaitan erat dengan aktivitas dan proses belajar serta berpikir karena karakteristik matematika merupakan suatu ilmu dan human activity, yaitu bahwa matematika adalah pola berpikir, pola mengorganisasikan pembuktian yang logis, yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas, dan akurat.Langkah pertama dalam peningkatan proses pembelajaran adalah pengembangan kurikulum di dalamnya menyangkut tujuan pembelajaran matematika. Tujuan-tujuan pembelajaran matematika SMP yang terdapat dalam Departemen Pendidikan 97 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Nasional (2006) tersebut pada hakikatnya dapat dikelompokkan ke dalam dua tujuan kemampuan berpikir matematis yaitu berpikir tingkat tinggi (high-order mathematical thinking) dan berpikir tingkat rendah (low-order mathematical thinking). Berpikir kritis merupakan salah satu kemampuan berpikir tingkat tinggi yang perlu dikembangkan dalam pembelajaran matematika baik dari tingkat dasar sampai sekolah menengah. Menurut Anderson (2004) bila berpikir kritis telah dikembangkan, maka seseorang akan cenderung untuk mencari kebenaran, berpikir terbuka dan toleran terhadap ide-ide baru, dapat menganalisis masalah dengan baik, berpikir secara sistematis, penuh rasa ingin tahu, dewasa dalam berpikir, dan dapat berpikir kritis secara mandiri.Namun kenyataannya, beberapa studi menunjukkan masih rendahnya kemampuan berpikir kritis yang dimiliki oleh siswa.Berdasarkan hasil penelitian Osarenren dan Asiedu (2007:1) permasalahan dalam keterampilan bermatematika siswa yang rendah akibat dari ketidakmampuan siswa untuk berpikir kritis dan menganalisa konsep matematika secara sistematis.Selain itu, Karim (2010) menunjukkan bahwa rata-rata kemampuan berpikir kritis siswa SMP berada pada kualifikasi kurang. Jika melihat lebih jauh pembelajaran matematika yang terjadi di kelas-kelas di Indonesia pada umumnya belum menghadirkan pembelajaran yang menumbuhsuburkan kemampuan berpikir kritis.Hasil dari penelitian-penelitian di atas, mengindikasikan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa di Indonesia masih belum mencapai hasil yang memuaskan.Oleh karena itu diperlukan suatu pembelajaran yang dapat mendorong siswa untuk terlibat secara aktif dalam diskusi, bertanya serta menjawab pertanyaan, berpikir secara kritis, sehingga pada akhirnya akan berdampak positifpada prestasi dan hasil belajar siswa. Pembelajaran yang diharapkan dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa adalah pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning). Pembelajaran berbasis masalah merupakan salah satu pembelajaran yang berlandaskan pada teori belajar konstruktivisme, yang berorientasi pada student centered-learning.Dalam pembelajaran berbasis masalah guru tidak menyajikan konsep matematika dalam bentuk yang sudah jadi, namun dengan menghadapkan siswa pada suatu masalah yang didalamnya ada fakta, situasi, keadaan yang dapat berpotensi menimbulkan konflik kognitif pada siswa.Melalui bantuan teman dan juga guru diharapkan siswa dapat menyusun kembali dan menemukan konsep yang benar dari masalah yang diberikan.Bantuan yang diberikan guru tidak berarti harus menjawab pertanyaan siswa secara langsung, tetapi bisa balik bertanya dengan menggunakan teknik bertanya dan mengarahkan siswa untuk menemukan konsep yang benar.Dengan segenap pengetahuan dan kemampuan yang telah dimilikinya, siswa dituntut untuk menyelesaikan masalah yang kaya dengan konsep-konsep matematika.Rusman (2011:229) menyatakan bahwa 98 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 pembelajaran berbasis masalah merupakan salah satu alternatif pembelajaran yang memungkinkan dikembangkannya keterampilan berpikir siswa seperti berpikir kritis. Dilain pihak, pendekatan pembelajaran yang direkomendasikan di dalam kurikulum 2013 adalah pendekatan saintifik. Pendekatan saintifik yang diterapkan di Indonesia menjabarkan langkah-langkah pembelajaran tersebut menjadi lima langkah,yaitu: mengamati, menanya, mencoba, mengasosiasi dan mengkomunikasikan (Kemendikbud,2013:9-10).Susilo, Wiyanto,dan Supartono,(2012)menunjukkan bahwa model pembelajaran berbasis masalah erat sekali hubungannya dengan kemampuan berpikir kritis.Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti apakah pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritissiswa dalam pembelajaran matematika. Sehingga penelitian ini penulis beri judul“Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMP melalui Pembelajaran Berbasis Masalah”. B. KAJIAN TEORI 1. Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Glaser (Fisher, 2007:3) mendefinisikan berpikir kritis sebagai berikut: 1) Suatu sikap mau berpikir secara mendalam tentang masalah-masalah dan hal-hal yang berada dalam jangkauan pengalaman seseorang, 2) Pengetahuan tentang metode-metode pemeriksaan dan penalaran yang logis, 3) Semacam suatu keterampilan untuk menerapkan metodemetode tersebut.Salah satu kontributor terkenal dalam perkembangan tradisi berpikir kritis Robert Ennis mendefinisikan berpikir kritis adalah pemikiran yang masuk akal dan reflektif yang berfokus untuk memutuskan apa yang mesti dipercaya atau dilakukan (Fisher, 2007:2-4).Ennis (Baron dan Sternberg, 1987:12) menyatakan bahwa terdapat lima kemampuan yang termuat di dalam berpikir kritis, yaitu: (1) memberikan penjelasan sederhana (elementary clarification), (2) membangun keterampilan dasar (basic support), (3) membuat kesimpulan (infering), (4) membuat penjelasan lebih lanjut (advanced clarification), (5) mengatur strategi dan taktik (strategies and tactics). 2. Pembelajaran Berbasis Masalah Duch (Ibrahim dan Nur, 2000) menyatakan pembelajaran berbasis masalah atau Problem Based Learning adalah metode pembelajaran yang mendorong siswa untuk mengenal cara belajar dan bekerja sama dalam kelompok untuk mencari penyelesaian masalah-masalah di dunia nyata.Karakteristik pembelajaran berbasis masalah terdiri dari tiga hal pokok, yaitu siswa menyelesaikan masalah sesuai dengan kemampuannya, masalahnya tidak terstruktur dengan baik (ill-structured), berarti kurangnya informasi yang diperlukan dan memuat isu yang tidak terselesaikan, menjadi kompleks melalui inkuiri dan investigasi, memerlukan alasan untuk dapat diselesaikan, jika mungkin dapat diselesaikan dengan lebih dari satu 99 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 cara (University of Southern California, 2001).Langkah-langkah dalam pembelajaran berbasis masalahmenurut Arends(2007-57) meliputi lima tahap yang dimulai dengan guru mengorientasi siswa pada masalah, mengorganisasikan siswa untuk belajar,membimbing penyelidikan individual maupun kelompok, mengembangkan dan menyajikan hasil karya, serta menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. 3. Pendekatan Saintifik Pendekatan saintifik mengarahkan siswa untuk mencari tahu masalah, tidak sekedar menjawab masalah. Melalui proses mencari tahu, siswa memahami bahwa pengetahuan tidak hanya dapat diperoleh melalui guru saja, tetapi berasal dari mana saja dan kapan saja. Pendekatan saintifik tidak hanya memandang hasil belajar sebagai muara akhir, namun proses pembelajaran dipandang sangat penting. Oleh karena itu pembelajaran saintifik menekankan pada keterampilan proses. Pendekatan saintifik yang diterapkan di Indonesia menjabarkan langkah-langkah pembelajaran tersebut menjadi lima, yaitu: mengamati, menanya, mencoba, mengasosiasi dan mengkomunikasikan (Kemendikbud, 2013:9-10). C. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian Quasi Experimental yang terdiri dari dua kelompok penelitian yaitu kelas eksperimen merupakan kelompok siswa yang melakukan pembelajaran berbasis masalah dan kelas kontrol adalah kelompok siswa yang melakukan pembelajaran dengan pendekatan saintifik.Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain kelompok kontrol non-ekuivalen (Ruseffendi, 2006:52).Pada desain ini, subjek tidak dikelompokkan secara acak, tetapi peneliti menerima keadaan subjek seadanya.Pretes diberikan sebelum proses pembelajaran dalam penelitian ini dimulai, sedangkan postes diberikan setelah keseluruhan proses pembelajaran selesai. Penelitian ini dilaksanakan pada salah satu Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri di kota Bandung, Provinsi Jawa Barat. Penelitian dilaksanakan di kelas VIII semester ganjil tahun pelajaran 2014/2015. Penentuan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling yaitu teknik penarikan sampel yang berdasarkan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2013:126) yaitu kelas yang memiliki karakteristik dan kemampuan akademik setara. D. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian 1. Analisis Skor Postes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Pengolahan data postes kemampuan berpikir kritis matematis siswa dilakukan dengan menguji perbedaan rerata.Uji perbedaan rerata bertujuan untuk melihat perbedaan 100 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 kemampuan berpikir kritis matematis siswa di kelas yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah maupun pada siswa di kelas yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan saintifik.Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 1. Hasil Uji Perbedaan Rerata Data Skor Postes Kelas Pembelajaran Berbasis Masalah danKelas Pembelajaran dengan Pendekatan Saintifik Levene's Test t-test for Equality of Means for Equality of Variances F Sig. T df Sig. Mean Std. (2Differenc Error tailed) e Differen ce Equal ,65 variances ,420 2,308 72 ,024 6,892 2,986 7 assumed Postkesel Equal variances not 2,308 70,587 ,024 6,892 2,986 assumed Dari hasil uji independent sample t-test diperoleh nilai . (2 − ) sebesar 0,024.Karena uji yang digunakan adalah uji satu pihak maka besarnya probablibitas penolakan adalah × = × 0,024 = 0,012 < , sehingga dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah lebih tinggi secara signifikan daripada siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan saintifik. 2. Analisis SkorN-gain Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa. Analisis skor N-gain kemampuan berpikir kritis matematis menggunakan data gain ternormalisasi. Rataan N-gain menggambarkan peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa setelah diberikan tindakan baik pada kelas pembelajaran berbasis masalah maupun pada kelas pembelajaran dengan pendekatan saintifik.Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 2.Hasil Uji Perbedaan Rata-Rata Data N-gainKemampuan Berpikir Kritis Matematis Independent Samples Test Levene's t-test for Equality of Means Test for Equality of Variances F Sig. T Df Sig. Mean Std. Error (2- Differenc Differenc tailed) e e Equal variances Ngainkesel ,906 ,344 2,203 72 ,031 ,06757 ,03067 assumed 101 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Equal variances not assumed 2,203 69,31 7 ,031 ,06757 ,03067 Berdasarkan tabel di atas nilai signifigansi t-test adalah 0,031. Karena uji hipotesis yang digunakan satu sisi (1-tailed) maka nilai signifikansinya0,0155< . Akibatnya ditolak sehingga dapat dikatakan bahwa peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah lebih tinggi secara signifikan dari siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan saintifik. PEMBAHASAN 1. Pembelajaran Berbasis Masalah Penelitian ini dilaksanakan pada salah satu SMP Negeri di Bandung semester ganjil tahun ajaran 2014/2015 tepatnya pada siswa kelas VIII (delapan).Penelitian dilakukan selama satu bulan (delapan kali pertemuan).Secara umum pelaksanaan pembelajaran berbasis masalah berjalan dengan baik. Setiap pertemuan terdiri atas 2 jam pelajaran dimana setiap jam pelajaran terdiri atas 40 menit. Proses pembelajaran dilaksanakan pada kelas eksperimen menggunakan pembelajaran berbasis masalah dan kelas kontrol menggunakan pembelajaran dengan pendekatan saintifik. Guru memperkenalkan diri pada pertemuan pertama dan menjelaskan tujuan kedatangan kesekolah tersebut. Guru menjelaskan prosedur dan mekanisme penelitian. Selanjutnya, guru memberikan tes kemampuan berpikir kritis (pretes) untuk mengetahui kemampuan awal siswa. Pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan tidak terlepas dari acuan yang telah disusun dalam RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran).Dimana di dalamnya terdapat tahapan-tahapan yang harus dilakukan agar pembelajaran berjalan sesuai dengan yang telah direncanakan. 2. Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Kemampuan berpikir kritis matematis diukur melalui indikator antara lain: (1) Mencari persamaan dan mempertimbangkan perbedaan; keputusan (2) Membuat serta generalisasi; menerapkan (3) Membuat dan prinsip-prinsip;(4)Kemampuan memberikan alasan; (5) Mengidentifikasi masalah. Berdasarkan data awal hasil perolehan skor pretest didapatkan fakta bahwa siswa kelas pembelajaran berbasis masalah dan kelas pembelajaran dengan pendekatan saintifik memiliki kemampuan berpikir kritis matematis yang sama. Setelah diberikan pembelajaran berbasis masalah pada kelas eksperimen dan pembelajaran dengan pendekatan saintifik pada kelas kontrol, terjadi peningkatan kemampuan berpikir kritis yang signifikan pada kelas pembelajaran berbasis masalah dibandingkan dengan kelas pembelajaran dengan pendekatan saintifik ditinjau dari keseluruhan siswa. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa 102 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Penelitian ini juga melihat peningkatan N-gain terhadap kemampuan berpikir kritis matematis siswa. Dari hasil analisis diperoleh bahwa rata-rata skor N-gain kemampuan berpikir kritis matematis siswa di kedua kelas menunjukan bahwa peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah termasuk ke dalam kategori sedang dengan rata-rata sebesar 0,37 dan peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan saintifik juga termasuk ke dalam kategori sedang dengan rata-rata sebesar 0,31. Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa pembelajaran berbasis masalah memberi pengaruh positif terhadap peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis secara signifikan.Terjadi peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis pada siswa kelas pembelajaran berbasis masalah yang lebih tinggi daripada kelas pembelajaran dengan pendekatan saintifik tidak terlepas dari keterkaitan antara peran guru, siswa dan materi. E. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data, dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah (Problem based learning) lebih tinggi daripada siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan saintifik dan peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah (Problem based learning) lebih tinggi daripada siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan saintifik. Berdasarkan kesimpulan, maka disarankan kepada guru agar diperhatikan pengaturan waktu seefisien mungkin sehingga proses pembelajaran sesuai dengan yang diharapkan. Karena pembelajaran berbasis masalah sesungguhnya membutuhkan waktu yang cukup banyak sehingga perlu manajemen waktu yang baik. Selanjutnya bahasan matematika yang dikembangkan dalam penelitian ini hanya pada jenjang Sekolah Menengah Pertama dan pada materi Fungsi. Masih terbuka peluang untuk melakukan penelitian lanjutan pada jejang dan materi lainnya. DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. Anderson, T., Garrison, D.R.,dan Archer, W.(2004). Critical Thinking, Cognitive Presence,Computer Conferencing in Distance Learning.[Online].Tersedia:http://communityofinquiry.com/files/CogPres_Final.pdf[15Desember 2010]. Arend, R.I. (2007). Learning to Teach. New York: McGraw Hill. Asiedu, O. (2007). Councelling implications on the role of the new mathematics teacher in the teaching and learning of mathematics. Internasional Journal of Educational Research, 3(1), 13-20. Nigeria. Baron, J. B & Sternberg, R. J. (1987). Teahcing Thinking Skill. NewYork:W. H. Freeman and Company. Depdiknas. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Depdiknas. 103 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 6. 7. Dewanto, S.P. (2007).Meningkatkan Kemampuan Multipel Representasi Mahasiswa melalui Problem-based Learning. Disertasi pada SPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan. Effendi, T.N. (1992). Sumber Daya Manusia di Indonesia.Yogyakarta: Pusat Pendudukan Universitas Gajah Mada. Ennis, R. H. (1996). Critical Thinking. United State of America: Prentice-Hall Inc. 8. 9. Fisher, Alec. (2007). Berpikir Kritis Sebuah Pengantar. Jakarta: Erlangga. 10. Fogarty, R. (1997). Problem Based Learning And Other Curriculum Models For The Multiple Intelligences Classroom. Melbourne:Hawker Bronlow Education. 11. Ibrahim, M., Nur, M. (2000). Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: UNESA University Press. 12. Johnson, E, (2006). Contextual Teaching and Learning. Bandung: MLC 13. Karim, A. (2010). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Berpikir Kritis Matematis Siswa SMP Melalui Pembelajaran Model Reciprocal Teaching. Tesis pada SPs UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan. 14. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan direktorat Jenderal pendidikan Menengah.(2013). Pembelajaran Berbasis Kompetensi Mata Pembelajaran Matematika (perminatan). Direktorat PSMA. 15. Liberna, H. (2012). Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa melalui Penggunaan Metode Improve pada Materi Sistem Persamaan Linear Dua Variabel. Jurnal Formatif 2(3), 190197. 16. Meltzer, D.E. (2002). The Relationship Between Mathematics Preparation and Conceptual Learning Gains in Physics: A Possible “Hidden Variable” in Diagnostic Pretes Scores. American Journal of Physics.Vol 70 no.12 ,1259-68. 17. National Council of Teachers of Mathematics (NCTM). (1999). Principles and Standards for School Mathematics. Reston, Virginia: NCTM. 18. Rahmawati, T.D. (2012). “Kompetensi Berpikir Kritis dan Kreatif dalam Pemecahan Masalah Matematika di SMP Negeri 2 Malang”. Elektronik Jurnal Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Malang.[Online].Tersedia:http://ejournal.umm.ac.id/index.php/penmath/article/viewFile/612/634_um m_scientific_journal. pdf [13 Desember 2012]. 19. Ruseffendi, H. E. T. (2006). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA, Edisi. Bandung: Tarsito. 20. Sabandar, J. (2009). “Thinking Classroom dalam Pembelajaran Matematika di Sekolah”.http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/jur.pend.matematika/194705241981031-jozua sabandarkumpulan makalah dan jurnal/Thinking-Classroom-dalam-Pembelajaran-Matematika-diSekolah.pdf.[22November 2013]. 21. Savery. J. R (2006).OverviewofProbelm Based Learning:Definitions and Distingtions.The Interdisciplinary Journal of Problem BasedLearning.Vol.1,(1),Page920.[Online].Tersedia:http://www.tne.uconn.edu/Case$20Method/Savery,%202006.pdf (22 Mei2013). 22. Sugiyono. (2013). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. 23. Suherman, E. (2003). Evaluasi Pembelajaran Matematika. Bandung: JICA. 24. Susilo, A.B,Wiyanto, & Supartono. (2012). Model Pembelajaran IPA Berbasis Masalah Untuk Meningkatkan Motivasi Belajar Dan Berpikir Kritis Siswa SMP) :Model. Unnes Science Education Journal 25. Tasdikin. (2012). Pembelajaran Berbasis Masalah Untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP. Tesis pada SPs UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan. 26. Trianto. (2011) Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. (Konsep, Landasan Teori, Praktis dan Implementasinya. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher 27. Wahyudin. (1999).”Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematika, dan Siswa dalam Pelajaran Matematika”. Disertasi pada SPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan. 104 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 PENGARUH PEMBELAJARAN AKTIF TIPE GIVING QUESTION AND GETTING ANSWER (GQGA) TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA KELAS VIII SMP KARTIKA I-7 PADANG Ira Fatmi Musdalifah1, Anny Sovia2, Rahima3 STKIP PGRI Sumatera Barat, Jl. Gunung Pangilun, Padang 1 [email protected], [email protected], [email protected] Abstrak. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pemahaman konsep siswa kelas VIII SMP Kartika I-7 Padang yang masih rendah, malu dan tidak percaya diri dalam bertanya dan mengeluarkan pendapat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pemahaman konsep matematika siswa dengan menerapkan pembelajaran aktif tipe Giving Question and Getting Answer lebih baik daripada pemahaman konsep matematika siswa yang menerapkan pembelajaran konvensional pada siswa kelasVIII SMP Kartika I-7 Padang. Penelitian ini adalah penelitian eksperimen dengan rancangan random terhadap subjek. Instrumen yang digunakan adalah tes akhir dengan reliabelitas 0,74. Teknik analisis data yang digunakan adalah uji-t satu pihak pada taraf nyata 0,05. Hasil uji hipotesis diperoleh thitung = 1,75 > ttabel = 1,67, maka hipotesis diterima. Hasil dari penelitian ini adalah pemahaman konsep matematika siswa dengan menerapkan pembelajaran aktif tipe Giving Question and Getting Answer lebih baik daripada pemahaman konsep matematika siswa dengan menerapkan pembelajaran konvensional dikelas VIII SMP Kartika I-7 Padang. Kata Kunci: Giving Question and Getting Answer, pemahaman konsep Matematika A. PENDAHULUAN Berdasarkan observasi di SMP Kartika I-7 Padang pada tanggal 13 sampai 14 Agustus 2015, terlihat bahwa pembelajaran masih terpusat pada guru. Tidak ada umpan balik dari siswa saat guru menerangkan pelajaran, begitu juga saat guru memberikan kesempatan siswa untuk bertanya tentang materi yang belum dipahami, siswa lebih banyak diam sehingga guru tidak mengetahui sejauh mana pemahaman siswa terhadap materi yang diajarkan. Siswa malu bertanya tentang materi yang belum dipahami dan tidak percaya diri dalam mengungkapkan pendapat tentang hal yang dipahami. Disaat mengerjakan latihan, sebagian siswa menyalin jawaban teman yang berkemampuan tinggi. Siswa sering tidak mampu menyelesaikan soal yang berbeda dengan contoh soal yang diberikan guru. Hasil belajar matematika yang diperoleh siswa banyak yang di bawah kriteria ketuntasan minimum (KKM). Strategi pembelajaran yang dianggap sesuai untuk mengatasi masalah siswa yang malu bertanya dan mengeluarkan pendapat serta dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa adalah strategi pembelajaran aktif tipe Giving Question and Getting Answer(GQGA). Menurut Silbermen (2009: 244) “strategi ini dengan lemah lembut menantang peserta didik untuk 105 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 mengingat kembali apa yang telah dipelajari dalam setiap topik atau unit pelajaran”. Giving Quetionand Getting Answer (memberikan pertanyaan-memperoleh jawaban), strategi pembelajaran aktif tipe GQGA sangat baik digunakan untuk melibatkan siswa dalam mengulang materi pelajaran yang telah disampaikan, dikembangkan untuk melatih siswa memiliki kemampuan keterampilan bertanya dan menjawab pertanyaan. Tipe ini memberikan kesempatan pada siswa untuk bertanya hal yang tidak dimengerti dan memberikan kesempatan kepada siswa yang sudah mengerti untuk menjelaskannya. Strategi ini akan meningkatkan keberanian siswa dalam mengemukakan pendapatnya dan memberikan sikap saling menghargai antar siswa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pemahaman konsep matematika siswa yang menerapkan pembelajaran aktif tipe Giving Question and Getting Answer lebih baik daripada pemahaman konsep matematika siswa yang menerapkan pembelajaran konvensional dikelas VIII SMP Kartika I-7 Padang. B. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 17 November 2015 sampai tanggal 1 Desember 2015 di SMP Kartika I-7 Padang. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen dengan rancangan penelitian random terhadap subjekmerujuk pada Arikunto (2010). Variabel pada penelitian ini adalah pembelajaran aktif tipe Giving Question and Getting Answer sebagai variabel bebas dan pemahaman konsep matematika siswa sebagai variabel terikat. Populasi penelitian adalah seluruh kelas VIII SMP Kartika I-7 Padang.Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah secara acak. Kelas sampel ekperimen yang terpilih adalah kelas VIII.3 dan VIII.1 sebagai kelas kontrol. Instrumen yang digunakan dalam penelitian adalah tes akhir. Sebelum diadakan tes akhir dilakukan uji coba tes dikelas VIII.4 SMP PGRI 1 Padang pada tanggal 27 November 2015. Hasil uji coba tes menunjukkan semua soal diterima dengan reliabelitas 0,74. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis dengan uji-t satu pihak yang dikemukakan oleh Sudjana (2005: 239). = dengan = ( ) ( ) dengan : : Nilai rata-rata kelas eksperimen : Nilai rata-rata kelas kontrol : Variansi kemampuan pemahaman konsep kelas eksperimen : Variansi kemampuan pemahaman konsep kelas kontrol : Jumlah siswa kelas eksperimen : Jumlah siswa kelas kontrol 106 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 s : Simpangan baku kelas eksperimen : Simpangan baku kelas kontrol : Simpangan baku kedua kelas C. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil tes yang diperoleh dari tes akhir berupa esai sebanyak 5 butir soal. Jumlah siswa yang mengikuti tes akhir pada kelas eksperimen sebanyak 27 orang, sedangkan pada kelas kontrol sebanyak 26 orang. Hasil analisis data tes akhir pemahaman konsep matematis siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol dapat dilihat pada Tabel berikut: Tabel Analisis Hasil Tes Pemahaman Konsep Matematis Siswa Kelas Sampel Kelas Sampel S Xmaks Xmin Eksperimen 67,9 15,6 95 44 Kontrol 61,2 11,9 84 37 Tabel di atas menunjukkan bahwa rata-rata nilai tes akhir kelas eksperimen lebih tinggi daripada kelas kontrol. Rata-rata nilai tes akhir kelas eksperimen yaitu 67,89 sedangkan kelas kontrol 61,19. Selanjutnya simpangan baku kelas eksperimen tinggi dibandingkan simpangan baku kelas kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelas eksperimen memiliki keragaman yang tinggi, sehingga menyebabkan pada umumnya nilai siswa tersebar jauh dari nilai rata-rata kelas. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis yang dilakukan dengan uji-t satu pihak, diperoleh bahwa t = 1,75 dan t = 1,67 dengan t >t maka H ditolak. Jadi dapat disimpulkan bahwa pemahaman konsep matematika siswa dengan menerapkan pembelajaran aktif tipe Giving Question and Getting Answer lebih baik daripada pemahaman konsep matematika siswa dengan menerapkan pembelajaran konvensional pada siswa kelas VIII SMP Kartika 1-7 Padang. Gambaran untuk hasil dari tes akhir siswa dapat dilihat dari lembar jawaban siswa yang diambil berdasarkan tingkat kemampuan siswa kedua kelas sampel. Pada soal nomor 1 terdapat indikator pemahaman konsep yaitu menyatakan ulang sebuah konsep, mengaplikasikan konsep atau algoritma kepemecahan masalah dan menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis. Jawaban soal nomor 1 siswa kemampuan tinggi kelas eksperimen dapat dilihat pada Gambar 1. 107 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Gambar 1. Jawaban Soal Nomor 1 Siswa Kemampuan Tinggi Kelas Eksperimen Gambar 1 menunjukkan bahwa siswa mampu menyatakan ulang sebuah konsep yaitu menentukan titik potong pada sumbu x dan y pada persamaan 1, sedangkan pada persamaan 2 siswa tersebut tidak membuatkan titik potong pada sumbu x dan y. Pada indikator mengaplikasikan konsep atau algoritma dan indikator menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis siswa mampu menjawab dengan benar dan tepat. Sehingga siswa tersebut memperoleh skor pada soal nomor 1 yaitu 42. Namun lain halnya pada jawaban soal nomor 1 siswa kelas kontrol yang dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Jawaban Soal Nomor 1 Siswa Kemampuan Tinggi pada Kelas Kontrol Berdasarkan Gambar 2, terlihat bahwa siswa kemampuan tinggi pada kelas kontrol tidak dapat menyatakan ulang sebuah konsep yaitu menentukan titik potong pada sumbu x dan y. Namun pada indikator mengaplikasikan konsep atau algoritma kepemecahan masalah dan indikator menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis siswa dapat menjawab dengan benar. Sehingga siswa tersebut belum mencapai skor maksimum yaitu 48, sedangkan skor yang diperoleh siswa hanya 33. Soal nomor 2 terdapat indikator pemahaman konsep yaitu menyatakan ulang sebuah konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma kepemecahan masalah. Hal ini dapat dilihat pada gambar berikut. 108 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Gambar 3. Jawaban Soal Nomor 2 Siswa Kemampuan Sedang Kelas Eksperimen Gambar 3 terlihat bahwa siswa belum dapat menjawab dengan tepat indikator menyakatan ulang sebuah konsep. Namun pada indikator memengaplikasikan konsep kepemecahan masalah siswa dapat menjawab dengan benar yaitu mengeliminasi dan mensubstitusi kedua persamaan. Skor yang diperoleh siswa pada soal nomor 2 belum mencapai skor maksimum yaitu 27, sedangkan skor yang diperoleh siswa hanya 20. Lain halnya dengan siswa kemampuan sedang pada kelas kontrol dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4. Jawaban Soal Nomor 2 Siswa Kemampuan Sedang Kelas Kontrol Gambar 19 terlihat bahwa siswa dapat menyatakan ulang sebuah konsep yaitu merubah kedua persamaan menjadi bentuk ax + by = c. Sedangkan indikator mengaplikasikan konsep atau algoritma kepemecahan masalah siswa tidak dapat menjawab dengan benar yaitu mengeliminasi dan mensubstitusi kedua persamaan. Sehingga siswa belum mencapai skor maksimal yaitu 27, sedangkan skor yang diperoleh siswa hanya 18. Soal nomor 3 terdapat indikator pemahamanan konsep yaitu menyatakan ulang sebuah konsep dan menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis. Jawaban soal nomor 3a siswa kemampuan rendah kelas eksperimen dapat dilihat pada Gambar 5. 109 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Gambar 5. Jawaban Soal Nomor 3a Siswa Kemampuan Rendah Kelas Eksperimen Gambar 5 terlihat jawaban siswa berkemampuan rendah kelas eksperimen dapat menjawab dengan dengan benar indikator pemahaman konsep yaitu menyatakan ulang sebuah konsep dan menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis. Sehingga siswa dapat mencapai skor maksimum yaitu 12. Hal yang sama juga terjadi pada siswa kemampuan rendah kelas kontrol yang dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6. Jawaban Soal Nomor 3a Siswa Kemampuan Rendah Kelas Kontrol Gambar 6 terlihat jawaban siswa kemampuan rendah kelas kontrol sudah bisa menjawab dengan benar indikator pemahaman konsep pada soal nomor 3a yaitu menyatakan ulang sebuah konsep dan menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis. Sehingga siswa tersebut memperoleh skor maksimum yaitu 12. D. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa pemahaman konsep matematika siswa yang menggunakan pembelajaran aktif tipe Giving Question and Getting Answer lebih baik daripada pemahaman konsep matematika siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional di kelas VIII SMP Kartika I-7 Padang Tahun Pelajaran 2015/2016. 110 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. Arikunto, Suharsimi. (2010). Prosedur Penelitian (suatu pendekatan praktek) edisi revisi VI. Jakarta : Rineka Cipta. Silberman . (2009). Active Learning 101 Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta: Nusamedia. Sudjana. (2005). Metoda statistika. Bandung : Tarsito. 111 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-TALK- WRITE (TTW) TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA KELAS X SMAN 14 PADANG Lenny Puwarsih1 , Ratulani Juwita2 STKIP PGRI Sumatera Barat, Jl. Gunung Pangilun, Padang 1 [email protected], [email protected] Abstrak. Penelitian ini dilatar belakangi oleh pemahaman konsep matematis siswa masih rendah dan proses pembelajaran masih terpusat pada guru dikelas X SMAN 14 Padang. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui apakah pemahaman konsep matematis siswa yang menerapkan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Talk Write (TTW) lebih baik daripada siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen dengan rancangan penelitian random terhadap subjek. Instrumen yang digunakian dalam penelitian ini adalah tes skhir dalam bnentuk esay dengan reliabilitasnya 0,838. Pengujian hipotesis digunakan uji-t satu pihak, diperoleh thitung > ttabel (8,64>1,68), maka hipotesis yang diajukan diterima. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemahaman konsep matematis siswa dalam pembelajaran matematika yang menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Think Talk Write lebih baik dari pemahaman konsep matematis siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional di kelas X SMAN 14 Padang. Kata Kunci : Pemahaman Konsep Matematis, Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Talk Write A. PENDAHULUAN Matematika adalah salah satu ilmu dasar yang mempunyai peranan penting dalam upaya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, matematika diajarkan mulai dari jenjang SD sampai dengan perguruan tinggi. Mengingat peranan matematika sangat penting, maka pemerintah berupaya untuk meningkatkan mutu pendidikan matematika antara lain melalui penyempurnaan kurikulum, meningkatkan sarana dan prasarana untuk pendidikan, serta perbaikan mutu guru melalui sertifikasi. Dengan berbagai usaha yang telah dilakukan pemerintah, maka sudah seharusnya kualitas pembelajaran matematika juga mengalami peningkatan ke arah yang lebih baik. Berdasarkan tujuan pembelajaran matematika, proses pembelajaran matematika merupakan suatu hal yang sangat kompleks. Dalam pembelajaran matematika siswa diharapkan dapat memahami konsep dan memahami keterkaitan antar konsep tersebut. Pembelajaran matematika juga bertujuan untuk mengembangkan segala kemampuan yang dimiliki siswa dalam memecahkan masalah, memahami masalah dan dapat menafsirkan solusi dari permasalahan tersebut. Siswa juga diharapkan untuk dapat memiliki rasa ingin tahu, perhatian, sikap ulet dan percaya diri dalam mempelajari matematika. Berdasarkan observasi di SMAN 14 Padang pada tanggal 20 dan 21 Agustus 2015, ditemukan bahwa pembelajaran matematika masih terpusat pada guru dan siswa tidak mau bertanya 112 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 tentang apa yang tidak mereka pahami sehingga membuat kurang optimalnya kemampuan berfikir siswa dan saat diberi latihan siswa cenderung menyalin punya temannya. Jika diadakan diskusi hanya beberapa orang yang berdiskusi dan yang lain sibuk dengan urusan masingmasing. Tidak hanya itu, jika diberikan soal yang berbeda dengan contoh mereka tidak mampu menyelesaikannya. Siswa hanya akan mengerjakan soal yang penyelesaiannya sesuai dengan contoh. Hasil wawancara dengan guru matematika diperoleh informasi bahwa jika diadakan diskusi siswa yang tidak memiliki keinginan belajar tidak termotivasi untuk belajar, hanya siswa yang pintar saja yang berdiskusi. Ketika diberi latihan dimana latihan tersebut menggabungkan beberapa materi mereka mengalami kesulitan. Jika dalam menyelesaikan latihan yang berbeda dengan contoh soal yang diberikan mereka mengalami kesulitan karena pemahaman konsep siswa kurang pada pelajaran matematika. Siswa hanya menunggu hasil temannya yang pintar. Siswa menganggap pelajaran matematika itu tidak menarik, sesuai dengan pernyataan salah satu siswa yang menyatakan matematika itu pelajaran yang sulit dan membosankan. Salah satu usaha untuk mengatasi masalah di atas adalah dengan menerapkan strategi pembelajaran kooperatif tipe Think-Talk-Write (TTW). Strategi pembelajaran kooperatif memberi kesempatan kepada siswa untuk berpartisipasi aktif dalam kelompok, bekerja sama serta berbagi informasi. Menurut Yamin & Ansari (2009: 84) “Pembelajaran kooperatif tipe Think-Talk-Write (TTW) adalah strategi pembelajaran yang dapat menumbuh kembangkan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematika siswa”. Alur pembelajaran kooperatif tipe Think-Talk-Write (TTW) ini dimulai dari keterlibatan siswa dalam berfikir (Think) atau berdialog dengan dirinya sendiri setelah proses membaca, pada tahap think ini siswa diberikan LKS, selanjutnya berbicara (Talk) dan membagi ide dengan kelompok masing-masing sebelum menulis (Write). Pada tahap Talk siswa diminta untuk bertukar pikiran dengan teman kelompoknya sesuai dengan solusi yang mereka peroleh masing-masing pada tahap think, sehingga hal ini akan meningkatkan pemahaman konsep siswa. Penerapan strategi pembelajaran kooperatif tipe Think-Talk-Write (TTW) ini, diharapkan bisa membuat kemampuan Pemahaman Konsep Matematis siswa akan menjadi lebih baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pemahaman konsep matematis siswa dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Talk-Write (TTW) lebih baik dari pemahaman konsep matematis siswa dengan menerapkan pembelajaran konvensional di kelas X SMAN 14 Padang. 113 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 B. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen dengan rancangan penelitian random terhadap subjek. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 26 Januari sampai 10 Februari semester genap tahun pelajaran 2015/2016 di kelas X2 dan X5 SMAN 14 Padang. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah secara acak. Kelas sampel yang terpilih adalah kelas X5 sebagai kelas eksperimen dan kelas X2 sebagai kelas kontrol. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes akhir belajar yang memuat indikator pemahaman konsep. Sebelum diadakan tes akhir dilakukan uji coba tes di kelas X9 SMAN 5 Padang pada tanggal 4 Februari 2016. Hasil uji coba tes menunjukkan semua soal dipakai dengan reliabelitas 0,838. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis dengan uji-t satu pihak. Sebelum menganalisis data hasil penelitian terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dengan KolmogorovSmirnov (Santoso, 2010:89) dan uji homogenitas (Walpole, 1993:314)), kemudian uji hipotesis dengan uji-t satu pihak (Sudjana, 2005: 239). C. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis data tes akhir diperoleh rata-rata ( ), simpangan baku (S), skor tertinggi ( dan skor terendah ( ) dari masing-masing kelas diperoleh data seperti Tabel 1. ) Tabel 1. Analisis Nilai Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas Sampel Kelas Sampel Eksperimen Kontrol 75,5 8 32,9 7 S 18,5 8 19,9 2 xmaks xmin 100 40 87 6,7 Tabel 1 terlihat bahwa rata-rata nilai siswa pada kelas eksperimen lebih besar dari nilai rata-rata siswa kelas kontrol, sedangkan simpangan baku kelas eksperimen lebih tinggi dari kelas kontrol. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis yang dilakukan dengan uji-t satu pihak, diperoleh bahwa = 8,64 dan = 1,68 sehingga diperoleh > maka H ditolak. Jadi dapat disimpulkan pemahaman pemahaman konsep matematis siswa dengan menerapkan pembelajaran kooperatif tipe Think Talk Write lebih baik daripada pemahaman konsep matematis siswa dengan pembelajaran konvensional siswa kelas X SMAN 14 Padang. 114 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 D. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan terhadap masalah yang telah dikemukakan dapat diambil kesimpulan, yaitu pemahaman konsep matematis siswa dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Think Talk Write (TTW) lebih baik daripada pemahaman konsep matematis siswa dengan menerapkan pembelajaran konvensional pada kelas X SMAN 14 Padang. DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. Santoso, Singgih. (2010). Statistik Nonparametrik. Jakarta: PT Elek Media Komputindo. Sudjana. 2005. Metoda Statistik. Bandung: Tarsito. Walpole, Ronald E. (1993). Pengantar Statistika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Yamin, Martinis & Ansari, Bansu. (2009). Taktik Mengembangkan Kemampuan Individual Siswa. Jakarta: Gaung Persada Press Jakarta. 115 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 PENGARUH PENERAPAN DOUBLE LOOP PROBLEM SOLVING (DLPS) TERHADAP SELF-EFFICACY SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP) Lucky Heriyanti Jufri Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Sumatera Barat [email protected] Abstrak. Self-efficacy merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan prestasi matematika seseorang. Self-efficacyberkaitan dengan penilaian seseorang terhadap kemampuan dirinya sendiri dalam menyelesaikan suatu tugas tertentu. Hal ini selaras dengan tujuan mempelajari matematika yang tercantum dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yaitu agar siswa memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.Penelitian ini bertujuan untuk menelaah perbedaan peningkatan literasi matematis siswa, pada siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan pendekatan DLPS dan siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional ditinjau berdasarkan kategori kemampuan awal matematis (KAM) siswa.Oleh sebab itu, dibutuhkan self-efficacy yang baik dalam diri siswa agar dapat berhasil dalam proses pembelajaran. Desain penelitian yang digunakan pada penelitian kali ini adalah desain kelompok kontrol non-ekivalen (nonequivalent control grup design). Instrumen yang digunakan adalah instrumen non tes berupa angket self-efficacy. Pada penelitian ini digunakan format respon skala self-efficacy yang diadaptasi dari skala respon yang digunakan oleh Compeau & Higgins (1995) dan merujuk pada skala respon yang dikemukakan Bandura (2006).Self-efficacy siswa kelas eksperimen yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan DLPS tidak berbeda dengan siswa kelas kontrol yang memperoleh pembelajaran secara konvensional. Namun, rataan Self-Efficacy siswa kategori tinggi dan sedang pada kelas eksperimen bila dibandingkan dengan rataan Self-Efficacy siswa dikelas kontrol memiliki selisih skor sekitar 2,69 dan 10,03. Kata Kunci :Pendekatan Double Loop Problem Solving (DLPS), Self-Efficacy A. Pendahuluan 1. Latar Belakang Selain kemampuan kognitif, terdapat aspek lain yang juga memberikan pengaruh yaitu aspek psikologis. Aspek psikologis ini turut memberikan kontribusi terhadap keberhasilan seseorang dalam menyelesaikan tugas/soal dengan baik. Salah satu aspek psikologis tersebut adalah self-efficacy.Self-efficacy merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan prestasi matematika seseorang. Self-efficacyberkaitan dengan penilaian seseorang terhadap kemampuan dirinya sendiri dalam menyelesaikan suatu tugas tertentu. Penilaian kemampuan diri yang akurat merupakan hal yang sangat penting, karena perasaan positif yang tepat tentang self-efficacy dapat mempertinggi prestasi, meyakini kemampuan, mengembangkan motivasi internal, dan memungkinkan siswa untuk meraih tujuan yang menantang (Bandura, 2006). Selain itu diperkuat juga oleh Fennema dan Sherman (dalam Cleary, Breen, O’Shea, 2010)bahwa keyakinan pada kemampuan seseorang untuk belajar matematika telah ditemukan memiliki korelasi positif yang kuat 116 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 dengan prestasi matematika. Siswa yang memiliki self-efficacy rendah akan cenderung ragu-ragu dalam penyelesaian masalah matematika. Sebaliknya siswa yang memiliki selfefficacy tinggi akan sangat yakin dengan yang akan dikerjakannya dan cenderung akan melakukan kegiatan lebih sulit yang mungkin tidak dapat diraih, sehingga ia mengalami kesulitan dan kegagalan. Hal ini selaras dengan salah satu tujuan mempelajari matematika dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menyebutkan bahwa agar siswa memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Selain itu, tujuan dari pentingnya mempelajari matematika juga tercantum di dalam Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang standar isi mata pelajaran matematika tingkat SMP / MTs, matematika bertujuan agar siswa memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki keingintahuan, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.Oleh sebab itu, dibutuhkan self-efficacy yang baik dalam diri siswa agar dapat berhasil dalam proses pembelajaran. Bandura (1977) mengatakan bahwa self-efficacy seseorang dapat dibangkitkan melalui empat sumber, yaitu (1)Performance Accomplishment(pengalaman otentik) (2)Vicarious Experience (pengalaman orang lain) (3) Verbal Persuasion (pendekatan sosial atau verbal) (4)Emotional arousal (aspek psikologi). Self-efficacyakan berkembang optimal jika aktifitas belajar yang diterapkan dapat menumbuhkan hal-hal yang menjadi sumber peningkatan self-efficacy tersebut. Salah satu pembelajaran yang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan self-efficacysiswa ini adalah Pembelajaran dengan pendekatan Double Loop Problem Solving (DLPS). Pembelajaran DLPS ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat aktif pada saat pembelajaran berlangsung, dan juga memacu siswa untuk menjadi pribadi yang lebih berani, ekspresif dan kreatif. Hal ini dapat dimunculkan ketika siswa diminta untuk mengerjakan soal-soal pemecahan masalah secara berkelompok, sehingga mereka dituntut untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang diberikan berdasarkan ide-ide yang mereka miliki, memberikan pendapat, saran maupun pertanyaan yang ingin mereka lontarkan. Selain itu, pada langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan DLPS ini siswa diarahkan untuk dapat meyakini masalah mana yang harus diselesaikan terlebih dahulu agar dapat memberikan jalan serta solusi untuk menyelesaikan masalah utama yang diminta pada soal. 117 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian yang berfokus tentang pendekatan Double Loop Proble Solving (DLPS) ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan self-efficacy siswa. Untuk menunjang terlaksananya DLPS dengan baik maka perlu diperhatikan beberapa hal, yaitu level sekolah dan kemampuan awal matematis siswa (tinggi, sedang, rendah). Bagaimanapun juga penerapan DLPS pada level sekolah yang berbeda perlu menjadi perhatian, karena level sekolah identik dengan kualitas pendidikan serta hasil belajar siswa. Selain itu, faktor kemampuan awal matematis juga berpengaruh terhadap kemampuan matematis siswa. Pada umumnya kemampuan siswa di sekolah terbagi atas tiga kelompok yakni siswa kelompok atas, siswa kelompok sedang dan siswa kelompok rendah. Galton (Ruseffendi, 2005) mengatakan bahwa dari sekelompok siswa yang dipilih secara acak, akan selalu dijumpai siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah. Hal ini disebabkan kemampuan siswa menyebar secara distribusi normal. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka peneliti menuangkan masalah tersebut dalam judul penelitian Pengaruh Penerapan Double Loop Problem Solving (DLPS) Terhadap Self-Efficacy Siswa Sekolah Menengah Pertama. 2. Permasalahan Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah self-efficacy pada siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan pendekatan DLPS lebih baik dari pada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional? 3. Tujuan Penulisan Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah membandingkan self-efficacy siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan pendekatan DLPS dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. B. Kajian Teoritis 1. Self Efficacy Secara umum self-efficacy adalah penilaian seseorang tentang kemampuannya sendiri untuk menjalankan perilaku tertentu atau mencapai tujuan tertentu. Self-efficacy mempengaruhi setiap bidang usaha manusia. Seseorang lebih mungkin terlibat dalam perilaku tertentu ketika orang tersebut yakin bahwa mereka akan mampu menjalankan perilaku tersebut dengan sukses, yaitu ketika mereka memiliki self-efficacy yang tinggi. Self-efficacy adalah suatu komponen dari keseluruhan perasaan diri seseorang. Dalam Ormrod (2010), hal ini mungkin mirip dengan konsep lain seperti konsep diri (self-concept) dan harga diri (self-esteem), tapi sifat-sifat yang penting membedakannya dari kedua konsep tersebut. 118 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Ketika para psikolog berbicara tentang self-concept dan self-esteem, mereka biasanya menjelaskan gambaran diri yang bersifat umum yang meliputi banyak aktivitas, misalnya “Apakah aku baik?” dan bisa mencakup perasaan-perasaan dan juga kepercayaankepercayaan, misalnya “Seberapa banggakah aku terhadap performaku di kelas?”. Sebaliknya, self-efficacy lebih spesifik pada tugas atau situasi dan hanya melibatkan penilaian (bukan perasaan), misalnya “Dapatkah aku menguasai soal pembagian yang panjang?”. Ormrod (2010) juga menjelaskan, perasaan self-efficacy siswa mempengaruhi pilihan aktivitas mereka, tujuan mereka, dan usaha serta prestasi mereka dalam aktivitasaktivitas kelas. Dengan demikian, self-efficacy pun pada akhirnya mempengaruhi pembelajaran dan prestasi mereka. Salah satu faktor yang efektif dalam menyelesaikan masalah adalah sikap keyakinan siswa melihat masalah tersebut. Faktor keyakinan ini dimunculkan beberapa ahli sebagai faktor yang efektif dalam mengerjakan tugas-tugas pemecahan masalah.Dengan demikian selfefficacy dapat digunakan oleh para guru untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan siswa dalam beragam pelajaran matematika (Warwick,2008). Keyakinan diri dalam belajar sangat diperlukan untuk dimiliki oleh siswa, mengingat perkembangan zaman yang menuntut seseorang untuk dapat mengembangkan dirinya secara utuh dalam menghadapi persaingan global. Dalam usaha pengembangan diri diperlukan keyakinan diri agar siswa dapat dengan percaya diri atas apa yang mereka miliki, tidak mudah putus asa, berpasrah diri, dan hanya menerima nasib saja. Selama proses pembelajaran, banyak ditemui siswa yang tidak memiliki keyakinan diri cenderung mengalami kegagalan dalam proses pembelajaran. Kegagalan yang dihasilkan pada materi tertentu tentu saja akan berpengaruh besar terhadap kegagalan pada materi selanjutnya. Bandura (1997) mengemukakan bahwa orang yang memiliki self-efficacy rendah akan berdampak pada tidak adanya usaha yang dilakukan oleh dirinya sendiri. Mereka akan cenderung apatis dan menghindari kinerjanya sehingga mengarahkan mereka pada kesuraman. Ketika mereka tidak menemui kesuksesan dari apa yang mereka lakukan, mereka akan tidak bersemangat untuk meningkatkan kondisi dan performa mereka. Akibatnya mereka tidak melakukan banyak upaya ke arah hal yang mempengaruhi perubahan. Margolis dan McCabe (2006) menjelaskan bahwa menurut teori self-efficacy, self-efficacy yang rendah menyebabkan permasalahan motivasi. Jika siswa percaya bahwa mereka tidak bisa berhasil pada tugas-tugas tertentu, maka mereka akan kurang melakukan usaha atau akan cenderung menolak atau menghindar. Keyakinan self-efficacy yang rendah dapat menghambat prestasi akademik dan dalam jangka panjang diramalkan dapat membuat 119 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 kegagalan atau ketidakberdayaan atas apa yang dipelajari yang dapat menghancurkan keadaan psikologis. Bandura (1977) mendalilkan mekanisme umum terbentuknya self-efficacy atau biasa disebut efficacy expectation, dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 2.1 Sumber Utama Perubahan Efficacy Expectation Berdasarkan gambar di atas, perubahan tingkah laku akan terjadi jika sumber efficacy expectation (persepsi diri sendiri mengenai seberapa yakin diri dapat berfungsi dalam situasi tertentu) berubah, hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Performance Accomplishment, hal ini berkaitan dengan prestasi yang pernah dicapai. Kegagalan atau keberhasilan dari pengalaman masa lalu dapat menurunkan ataupun meningkatkan self-efficacy seseorang untuk pengalaman yang serupa kelak. 2. Vicarious Experience, hal ini berkaitan dengan observasi atau memperhatikan terhadap orang lain. Keberhasilan atau kegagalan orang lain dapat mempengaruhi seseorang dalam membuat pertimbangan atau penilaian terhadap kemampuan dirinya sendiri. Hal ini didasarkan pada teori belajar observasional yang menyatakan bahwa seseorang dapat belajar secara terus menerus dengan mengamati tingkah laku orang lain. Akan tetapi hal ini pengaruhnya lebih lemah terhadap self-efficacy dibandingkan dengan pengalaman yang diperoleh dengan cara sendiri. Self-efficacy akan meningkat apabila seseorang mengamati keberhasilan orang lain, dan sebaliknya akan menurun apabila melihat orang lain dengan kemampuan yang hampir sama dengannya mengalami kegagalan. 3. Verbal Persuasion, hal ini merupakan suatu pendekatan yang dilakukan melalui perkataan atau ucapan (verbal), untuk meyakini seseorang bahwa ia memiliki kemampuan atau tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan sesuatu. Verbal Persuasion ini memberikan dampak yang terbatas pada self-efficacy, tetapi pada kondisi yang tepat, cara ini justru dapat mempengaruhi self-efficacy. Kondisi yang tepat di sini antara lain adalah kepercayaan seseorang terhadap orang yang memberikan persuasi tersebut, cara orang tersebut menyampaikan persuasi, dan sifat realistik dari persuasi apa yang diberikan. 120 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 4. Emotional arousal, hal ini tergantung kepada reaksi fisiologis seseorang, baik yang menyenangkan maupun yang tidak. Reaksi fisiologis yang menyenangkan dapat menyebabkan seseorang meragukan kemampuannya dalam menyelesaikan sesuatu, dan sebaliknya. 2. Pendekatan Double Loop Problem Solving (DLPS) a) Masalah dan Pemecahan Masalah Ruseffendi (1991) mengatakan bahwa masalah dalam matematika adalah suatu persoalan yang orang itu sendiri mampu menyelesaikannya tanpa menggunakan cara atau logaritma yang rutin. Suatu persoalan itu akan menjadi masalah bagi seseorang apabila: a. Persoalan itu tidak dikenalnya (untuk menyelesaikannya belum memikirkan prosedur atau algoritma tertentu). b. Siswa harus siap menyelesaikannya (baik kesiapan mentalnya maupun pengetahuannya). c. Sesuatu itu merupakan masalah baginya bila ia ada niat menyelesaikannya. Gagne (dalam Ruseffendi, 1991) berpendapat bahwa pemecahan masalah adalah tipe belajar yang paling tinggi karena lebih kompleks dari pada tipe belajar sebelumnya. Pengelompokan tipe belajar yang dilakukan oleh Gagne adalah tipe belajar isyarat, stimulus respons, rangkaian gerak, rangkaian verbal, membedakan, pembentukan konsep, pembentukan aturan, dan pemecahan masalah. Menurut Polya, solusi soal pemecahan masalah memuat empat langkah fase penyelesaian, yaitu memahami masalah, merencanakan penyelesaian, menyelesaikan masalah sesuai rencana, dan melakukan pengecekan kembali terhadap semua langkah yang telah dikerjakan. Untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam pemecahan masalah, hal yang perlu ditingkatkan adalah kemampuan menyangkut berbagai teknik dan strategi pemecahan masalah. b) Pendekatan Double Loop Problem Solving (DLPS) Pemecahan masalah melalui pendekatan DLPS dimulai dengan mencari penyebab langsung dari timbulnya suatu masalah, kemudian menyelesaikan masalah tersebut sesuai dengan analisis penyebab langsung yang telah dilakukan. Kegiatan ini dilakukan dalam dua loop terpisah, dimana loop pertama diarahkan kepada pendeteksian penyebab utama dari timbulnya masalah, kemudian merancang dan mengimplementasikan sebuah solusi yang disebut solusi sementara. Sedangkan loop kedua menekankan pada pencarian dan penemuan penyebab di tingkat yang lebih tinggi dari masalah itu, kemudian merencanakan dan mengimplementasikan solusinya, yang disebut solusi utama. 121 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Secara umum, teori tersebut digambarkan dalam diagram berikut (Yuspriyanti, 2011): Gambar 2.2 Flowchart Double Loop Problem Solving Secara umum double loop problem solving meliputi : a. Mengidentifikasi masalah, tidak hanya gejalanya (identifying the problem, not just the symptoms). b. Mendeteksi penyebab langsung, dan secara cepat menerapkan solusi sementara (detecting direct couses and rapidly applying temporary solutions). c. Mengevaluasi keberhasilan dari solusi sementara (evaluating the success of the temporary solutions). d. Memutuskan apakah analisis akar masalah diperlukan, jika diperlukan dilanjutkan ke loop kedua (deciding if root cause analysis is needed, and if so). e. Mendeteksi penyebab masalah yang tingkatannya lebih tinggi (detecting higher level causes). f. Merancang solusi akar masalah (designing root cause solutions). C. Metode Penelitian Tujuan penelitian ini untuk mengetahuipengaruh pendekatan DLPS terhadap kemampuan self efficacy siswa pada kelas eksperimen bila dibandingkan dengan kelaskonvensional. Pada penelitian ini digunakan dua kelas yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol. Kelas eksperimen belajar dengan pendekatan DLPS, sedangkan kelas kontrol belajar matematika secara konvensional. Disebabkan penelitian ini dilakukan di sekolah, maka peneliti tidak mungkin membentukdua kelas secara acak, sehingga pada penelitian ini peneliti menggunakan kelas yang telah terbentuk sebelumnya dan keadaan subjek diterima sebagaimana adanya, maka desain yang digunakan pada penelitian ini adalah kuasieksperimen. Desain penelitian yang digunakan pada penelitian kali ini adalah desain kelompok kontrol nonekuivalen (nonequivalent control grup design). Desain penelitiannya digambarkan sebagai berikut : 122 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Kelas Eksperimen : X O ----------------------------------------------------------Kelas Kontrol : O Keterangan : O : Instrumen Non Tes (posttest / angket self-efficacy) X : Pembelajaran dengan pendekatan Double Loop Problem Solving (DLPS) Non tes yang diberikan kepada kedua kelas ini adalah skala self-efficacyberbentuk kuesioner (angket) yang digunakanuntuk mengukur keyakinan siswa terhadap kemampuannya melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menyelesaikan soal. Pada penelitian ini digunakan format respons skala self-efficacy yang diadaptasi dari skala respons yang digunakan oleh Compeau & Higgins (1995) dan merujuk pada skala respons yang dikemukakan Bandura (2006). Format respons skala self-efficacy pada penelitian ini diberikan sebagai berikut: Tidak Begitu Yakin Sangat Yakin YA 1 Yakin 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Tidak Seluruh pengolahan dan analisis data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan SPSS 17. D. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Hasil Penelitian Data yang diperoleh melalui angket merupakan data interval 0-10. Sebagaimana yang dikatakan oleh format respons skala self-efficacy yang diadaptasi dari skala respons yang digunakan oleh Compeau & Higgins (1995) dan merujuk pada skala respons yang dikemukakan Bandura (2006) dengan interval 0-10. Kemudian data tersebut diolah dengan menggunakan SPSS 16 for Windows untuk mengetahui perbedaan rataannya dengan menggunakan statistik parametrik. Sebagaimana yang dikatakan oleh Siegel (1986) bahwa skala intreval ini adalah skala kuantitatif sejati pertama kita jumpai. Semua statistik parametrik biasa (rata-rata, standar deviasi, korelasi pearson, dan sebagainya) dapat diterapkan terhadap data dalam suatu skala interval. Dibawah ini akan ditunjukkan hasil rangkuman data self-efficacy kelas kontrol dan kelas eksperimen. Tabel 4.1 Uji Perbedaan Rataan Self-Efficacy Kelas Rataan Self-Efficacy Eksperimen 183,60 Kontrol 174,02 123 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Berdasarkan data pada tabel 4.1, dapat dilihat bahwa self-efficacy siswa pada kelas eksperimen lebih baik dari kelas kontrol. Hal ini ditunjukkan berdasarkan rataan yang diperoleh oleh kelas eksperimen lebih tinggi bila dibandingkan secara statistik deskriptif dengan data self-efficacy siswa kelas kontrol. Namun, untuk lebih mengetahui dengan jelas, apakah perbedaan tersebut secara uji statistik berbeda sognifikan ataupun tidak, maka akan dilakukan uji perbedaan rataan. Hasil rangkuman uji kesamaan rataan skor self-efficacy disajikan pada tabel berikut ini (Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran C): Tabel 4.2 Uji Kesamaan Rataan Skor self-efficacy t-test for Equality of Means Keterangan t Df sig. (2-tailed) diterima 1,124 70 0,265 Kesimpulan Tidak terdapat perbedaan Berikut disajikan secara deskriptif data rataan skor self-efficacy kelas eksperimen dan kelas kontrol: Kategori KAM Tinggi Sedang Rendah Tabel 4.3 Deskripsi Rataan Self-Efficacy Siswa Rataan self-EfficacySiswa EKS KONT 196,62 189,33 189,55 179,52 151,71 147,11 Berdasarkan data rataan di atas, jika dilihat dari sudut pandang kategori siswa berdasarkan KAM, rataan Self-Efficacy siswa kategori tinggi dan sedang pada kelas eksperimen bila dibandingkan dengan rataan Self-Efficacy siswa dikelas kontrol memiliki selisih skor sekitar 2,69 dan 10,03. Hal ini apabila dilihat berdasarkan sumber efficacy expectation, diperoleh besar rataan dari masing-masing sumber yang mempengaruhi self-efficacy sebagai berikut: Tabel 4.4 Rataan efficacy expectation Efficacy Expectation Rataan Performance Accomplishment 226,37 Vicarious Experience 266,75 Verbal Persuasion 209,40 Emotional Arousal 227,36 2. Pembahasan Dengan memperhatikan enam langkah pada pendekatan DLPS dan empat sumber selfefficacy, sangat dimungkinkan bahwa pembelajarn dengan pendekatan DLPS ini dapat menumbuhkan self-efficacy. Berdasarkan data yang diperoleh, dapat dilihat bahwa faktor pembelajaran juga memberikan pengaruh terhadap self-efficacy siswa. Hal ini 124 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 dimungkinkan terjadi karena langkah-langkah pada pendekatan DLPS ini mengacu pada kreativitas, keaktifan dan kritis dalam berpikir dan menyampaikan ide-ide, baik di dalam kelompok maupun di depan kelas. Fakta ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Bandura (1998) bahwa self-efficacy dapat dipengaruhi atau dapat dibangkitkan dari diri siswa melalui empat sumber, yaitu pengalaman autentik, pengalaman oranng lain, pendekatan sosial atau verbal dan aspek psikologi. Pada awal pembelajaran para siswa dikelas eksperimen masih sangat kaku dan takut untuk bertanya maupun mengemukakan pendapat mereka, baik di dalam kelompok maupun di depan kelas ketika persentasi hasil jawaban lembar LKS. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, mereka mulai bisa mengungkapkan ide dan gagasan mereka dan berani bertanya tentang soal-soal pemecahan masalah yang diberikan pada pembelajaran. Hal ini terlihat jelas pada rataan skor self-efficacy siswa kelas eksperimen yang lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol. Jika dilihat lebih dalam, maka skor self-efficacy siswa pada kategori KAM tinggi dan sedang kelas eksperimen yang terlihat lebih baik bila dibandingkan dengan kelas kontrol. Namun, pada kategori KAM rendah kelas eksperimen, perolehan skor self-efficacy tidak jauh berbeda bila dibandingkan dengan kelas kontrol. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan beberapa siswa dari kategori KAM rendah pada kelas eksperimen, mereka menyatakan bahwa, ketika pembelajaran secara kelompok dibentuk dengan cara mendistribusikan siswa dengan kemampuan tingi, sedang dan rendah pada setiap kelompoknya, siswa pada kategori KAM rendah merasa kurang mendapatkan kesempatan untuk mengungkapkan pendapat mereka. Selain itu, pada saat pengerjaan soal-soal pemecahan masalah yang diberikan pada lembar LKS, mereka mengalami kesulitan, karena belum terbiasa dan jarang mereka temui selama dalam pembelajaran sebelumnya. Oleh karena mereka kurang memahami soal dan tidak bisa menjawab pertanyaan yang diajukan, maka mereka tidak banyak untuk mengajukan jawaban, ide dan pendapat mereka selama dalam diskusi kelompok. Tingkahlaku yang ditunjukkan oleh siswa ini sesuai dengan pendapat Verschaffel & de Corte, Lesh & Doerr dan Gravemeijer (dalam Parlaung, 2008) yang menyatakan bahwa penyelesaian masalah matematik saat ini difokuskan terhadap sikap dan keyakinan siswa dan kapasitas mereka untuk mengaplikasikan pengetahuan matematika dalam masalahmasalah yang bersifat non-rutin. Dilihat dari hasil skor self-efficacy siswa yang berada pada kategori KAM tinggi dan sedang yang mengalami peningkatan literasi matematis yang tinggi dibandingkan dengan kelas kontrol, juga memiliki rataan skor self-efficacy yang tinggi bila dibandingkan dengan kelas kontrol. 125 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 E. Penutup 1. Kesimpulan Self-efficacy siswa kelas eksperimen yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan DLPS tidak berbeda dengan siswa kelas kontrol yang memperoleh pembelajaran secara konvensional. 2. Rekomendasi a) Pembelajaran DLPS hendaknya dilakukan di kelas yang kemampuan matematika siswanya tergolong baik, karena pembelajaran dengan pendekatan DLPS dapat meningkatkan self efficacy siswa berkemampuan sedang dan tinggi. b) Perlu diperhatikan oleh guru bahwa pembelajaran seperti ini memerlukan waktu yang relatif lebih lama karena siswa harus lebih memahami soal-soal pemecahan masalah pada pendekatan DLPS ini yang dianggap sulit oleh siswa karena belum terbiasa dengan soal-soal yang bersifat non rutin. Daftar Pustaka 1. 2. 3. Argyris, C. (1976). Single-Loop And Double-Loop Models In Research On Decision Making. Administrative Science Quarterly, Vol. 21, No. 3. Cornel University. [Online]. Tersedia: http://www.jstor.org/stable/2391848 Arikunto, S. (2008). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Yogyakarta : Bumi Aksara Bandura, A. (1977). Self-Efficacy : Toward a Unifiying Theory of Behavioral Change. Standford University : Psychological review, vol.84, no.2, 191-215. [Online]. Tersedia: http://www.ou.edu/cls/online/lstd5423/pdfs/bandura.pdf 4. _______. (1989). Human Agency in Social Cognitive Theory. American Psychologist, 44. [Online]. Tersedia: http:// www. des. emory. edu/ mfp/ Bandura 1989. pdf 5. ___________. (2006).Guide for Constructing Self-Efficacy Scales, pp. 307337.[Online].Tersedia http://www.uky.edu/~eushe2/Bandura/BanduraGuide2006.pdf 6. Cartwright, S. (2002). Double-Loop Learning: A Concept and Process for Leadership Educators. Volume 1, Issue 1 - Summer 2002 ISSN 1552-9045. [Online]. Tersedia:http://www.leadershipeducators.org/Resources/Documents/jole/2002_sum mer/JOLE_1_1.pdf 7. 8. 9. Cleary,J., Breen, S., O’Shea, A. (2010). Mathematical literacy and self-efficacy of first year third level students. MSOR Connections, Vol 10 No 2. [Online].Tersedia:http://www.heacademy.ac.uk/assets/documents/subjects/msor/10241_cleary_j_etal _mathliteracy.pdf Compeau, D. R., & Higgins, C. A. (1995). Computer Self-Efficacy: Develipment of measure and initial test. MIS Quarterly. Volume 19, Number 2, pp. 189-211. Dewanto, S. P. (2007). Meningkatkan Kemampuan Representasi Multipel Matematis Mahasiswa Melalui Belajar Berbasis-Masalah. Disertasi. UPI: Tidak diterbitkan. 10. Dooley, J. (1999). Problem-Solving as a Double-Loop Learning System. Adaptive LearningDesign.[Online].Tersedia:http://www.bmt.smm.lt/wpcontent/uploads/2009/09/6-100209Jeff-Dooley-Problem-solving-as-a-Double-Loop-Learning-System.pd 126 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 11. Handayani, I. (2011). Penggunaan Model Method Dalam Pembelajaran Pecahan Sebagai Upaya Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Dan Self-Efficacy Siswa Sekolah Dasar. Tesis UPI Bandung : Tidak diterbitkan. 12. Hayat, B & Yusuf, S. (2010). Mutu Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara. 13. Hendriana, H.(2009). Pembelajaran dengan Pendekatan Metaphorical Thinking untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Matematik, Komunikasi Matematik dan Kepercayaan Diri Siswa SMP. Disertasi UPI Bandung: Tidak diterbitkan. 14. Margolis, H & McCabe, P.P. (2006). Improving Self-Efficacy and Motivation: What To Do, What To Say. Vol 41, No. 4, March 2006. (pp. 218-227). [Online]. Tersedia:http://uqu.edu.sa/files2/tiny_mce/plugins/filemanager/files/4340129/4_Improving_SelfEfficacy.pdf#page=1&zoom=auto,-78,270. 15. Miliyawati, B. (2012). Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis dan Self-Efficacy Matematis Siswa SMA dengan Menggunakan Pendekatan Investigasi. Tesis SPS UPI: Tidak diterbitkan. 16. MKBPM. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung : JICA – Universitas Pendidikan Indonesia. 17. Ruseffendi, E.T. (1991). Penilaian Pendidikan dan Hasil Belajar Siswa Khususnya dalam Pengajaran Matematika untuk Guru dan Calon Guru .Bandung : Transito 18. Ruseffendi, E.T. (1991). Pengajaran Matematika Modern dan Masa Kimia Untuk Guru dan PGSD D2. Bandung : Transito. 19. ____________. (1993). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 20. ____________. (2005). Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan dan Non Eksakta Lainnya. Bandung : Transito. 21. Somakim. (2010). Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis dan Self-Efficacy Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama dengan Penggunaan Pendekatan Matematika Realistik. Disertasi UPI Bandung: Tidak diterbitkan. 22. Sudjana. (2005). Metode Statistika. Bandung. Tarsito. 23. Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung : Alfabeta Bandung. 24. Suryosubroto, B. (2010). Dasar-Dasar Kependidikan. Jakarta : Rineka Cipta. 25. Tilaar, H.A.R. (2006). Standarisasi Pendidikan Nasional. Jakarta : Rineka Cipta. 26. Wardhani, Sri dan Rumiati. (2011). Instrumen Penilaian Hasil Belajar Matematika 27. Siswa SMP : Belajar Dari PISA dan TIMSS. Yogyakarta : PPPPTK Matematika. 28. Warwick, J. (2008). Enhancing Mathematical Self-Efficacy in Non-Specialist Mathematics Students. Higher Education Academy Annual Conference Harrogate International Centre : London South Bank University. 29. Widyastuti. (2010). Pengaruh Pembelajaran Model Elicting Activities Terhadap Kemampuan Representasi Matematis Dan Self-Efficacy Siswa. Tesis UPI Bandung: Tidak diterbitkan. 30. Yuspriyanti, D.N. (2011). Implementasi Pembelajaran Matematika Dengan Menggunakan Double Loop Problem Solving Untuk Meningkatkan Kompetensi Strategis Siswa SMP. Tesis Pada Jurusan Pendidikan Matematika SPS UPI. Bandung : Tidak Diterbitkan. 127 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR SHARE DAN GAYA KOGNITIF SISWA TERHADAP KETERAMPILAN BERPIKIR KREATIF SISWA DI KELAS VIII SMP NEGERI 6 KERINCI Melinda Yusri Rizki1, Jefri Marzal2, Syamsurizal3 Program Magister Pendidikan Matematika Universitas Jambi [email protected] Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh yang signifikan model pembelajaran Think pair share (TPS) dan gaya kognitif siswa terhadap keterampilan berpikir kreatif siswa pada materi bangun ruang sisi datar di kelas VIII SMP Negeri 6 Kerinci. Pengaruh yang signifikan model pembelajaran Thinks pair share (TPS) terhadap keterampilan berpikir kreatif siswa pada materi bangun ruang sisi datar di kelas VIII SMP Negeri 6 Kerinci. Pengaruh yang signifikan gaya kognitif siswa terhadap keterampilan berpikir kreatif siswa pada materi bangun ruang sisi datar di kelas VIII SMP Negeri 6 Kerinci Dan interaksi antara model pembelajaran dan gaya kognitif dalam mempengaruhi hasil belajar matematika siswa pada materi bangun ruang sisi datar di kelas VIII SMP Negeri 6 Kerinci tahun pelajaran 2015/2016. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian eksperimen semu dengan menerapkan desain faktorial 2 × 2. Populasi penelitian adalah siswa SMP Negeri 6 Kerinci Kelas VIII Semeseter genap tahun pelajaran 2015/2016. Sampel penelitian terdiri dari 1 kelas eksperimen dan 1 kelas kontrol. Pengumpulan data dilakukan menggunakan dua macam instrumen yakni intrumen Group Embedded Figures Test (GEFT) untuk mengukur gaya kognitif siswa dan instrumen tes keterampilan berpikir kreatif matematika siswa dalam bentuk essay. Uji statistik yang digunakan adalah dengan menggunakan anova dua jalur untuk melihat pengaruh model pembelajaran Thinks Pair Share (TPS) dan pengaruh gaya kognitif terhadap hasil belajar matematika siswa serta interaksi antara model pembelajaran dan gaya kognitif siswa terhadap hasil belajar matematika siswa. Uji lanjut menggunakan uji t untuk melihat perbedaan hasil belajar siswa berdasarkan gaya kognitif siswa. Kata kunci : Model pembelajaran Thinks Pair Share (TPS), konvensional, gaya kognitif dan keterampilan berpikir kreatif. A. PENDAHULUAN Pengembangan kemampuan berpikir kreatif merupakan salah satu focus pembelajaran matematika. Melalui pembelajaran matematika, siswa diharapkan memiliki kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta memiliki kemampuan bekerja sama (Depdiknas, 2004). Pengembangan kemampuan berpikir kreatif memang perlu dilakukan karena kemampuan inimerupakan salah satu kemampuan yang dikehendaki dunia kerja (Career Center Maine Department of Labor USA, 2004). Tak diragukan lagi bahwa kemampuan berpikir kreatif juga menjadi penentu keunggulan suatu bangsa. Daya kompetitif suatu bangsa sangat ditentukan oleh kreativitas sumber daya manusianya. Pembelajaran matematika perlu dirancang sedemikian sehingga berpotensi mengembangkan kemampuan berpikir kreatif siswa. Pengembangan kemampuan berpikir 128 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 kreatif perlu dilakukan seiring dengan pengembangan cara mengevaluasi atau cara mengukurnya. Menurut Slameto (Azhari, 2013:3) Berpikir, Memecahkan masalah dan menghasilkan sesuatu yang baru adalah kegiatan yang kompleks dan berhubungan erat satu dengan yang lain. Suatu masalah umumnya tidak dapat dipecahkan tanpa berpikir, dan banyak masalah memerlukan pemecahan yang baru bagi orang-orang atau kelompok. Sebaliknya, menghasilkan sesuatu (benda-benda, gagasan-gagasan) yang baru bagi seseorang, menciptakan sesuatu, itu mencakup pemecahan masalah. Jadi, Berpikir adalah keadaan berpikir rasional, dapat diukur. Dapat dikembangkan dengan latihan sadar dan sengaja. Tujuan berpikir untuk menemukan pemahaman atau pengertian yang dikehendaki. Tingkatan berpikir yang lebih spesifik adalah berpikir kreatif. Berpikir kreatif sebagai kemampuan untuk melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu masalah, merupakan bentuk pemikiran yang sampai saat ini masih kurang mendapat perhatian dalam pendidikan. Munandar. (Azhari, 2013:4). Kemampuan berpikir kreatif meliputi empat kriteria, antara lain kelancaran, kelenturan, keaslian dalam berpikir dan elaborasi atau keteperincian dalam mengembangkan gagasan. Keterampilan berpikir kreatif adalah keterampilan kognitif untuk memunculkan dan mengembangkan gagasan baru, ide baru sebagai pengembangan dari ide yang telah lahir sebelumnya dan keterampilan untuk memecahkan masalah secara divergen (dari berbagai sudut pandang). Menurut Abdullah (2014:15) berpikir kreatif yaitu kemampuan mengembangkan ide yang tidak biasa, berkualitas dan sesuai tugas. Salah satu aspek intelegensi ini adalah kemampuan mengidentifikasikan kembali suatu permasalahan secara efektif dan berpikir mendalam. Keterampilan berpikir kreatif untuk memecahkan suatu permasalahan ditunjukkan dengan pengajuan ide yang berbeda dengan solusi pada umumnya. Pemikiran kreatif masingmasing orang akan berbeda dan terkait dengan cara mereka berpikir dalam melakukan pendekatan terhadap suatu permasalahan. Kemampuan siswa untuk mengajukan ide kreatif seharusnya dikembangkan dengan meminta mereka untuk memikirkan ide-ide atau pendapat yang berbeda dari yang diajukan temannya. Manfaat berpikir kreatif diantaranya adalah mempermudah siswa untuk menyerap dan menyimpan informasi yang didapat melalui proses belajar. Mendorong siswa untuk dapat memahami masalah dengan cepat dan bisa menimbulkan gagasan-gagasan yang bersifat solitif dengan metode yang tepat. Berpikir kreatif sangatlah penting dalam belajar matematika. Hal itu dikarenakan dengan berpikir kreatif seorang siswa akan mampu menciptakan berbagai kreativitas dalam belajar. Selanjutnya siswa tersebut akan mudah 129 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 menguasai materi pelajaran matematika. Seumpanya mampu mengiasai materi dengan rumus matematika, memahami penempatan rumus matematika ketika menyelesaikan soal, mampu menyelesaikan soal yang lebih rumit dari contoh yang ada bahkan mampu menguraikan penerapan materi matematika terhadap permasalahan yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Proses berpikir merupakan langkah awal dalam memahami konsep matematika. Proses berpikir kemudian dipahami adalah penentu keberhasilan dalam belajar. Apabila kemampuan berpikir kreatif itu lemah maka penyerapan materi ketika belajar itupun tidak akan maksimal. Untuk mengetahui tingkat kekreatifan seseorang, perlu adanya penilaian terhadap kemampuan berpikir kreatif pada orang tersebut. Penilai tersebut harus meliputi empat kriteria dari berpikir kreatif, yaitu kelancaran, kelenturan, keaslian, dan keterperincian dalam mengemukakan gagasan. Ciri-ciri kemampuan berpikir kreatif antara lain : (1) Keterampilan berpikir lancer meliputi : (a) Menghasilkan banyak gagasan/jawaban yang relevan, (b) Menghasilkan motivasi belajar (c) Arus pemikiran lancer. (2) Keterampilan berpikir lentur (fleksibel) meliputi : (a) Menghasilkan gagasan-gagasan yang seragam, (b) Mampu mengubah cara atau pendekatan dan (c) Arah pemikiran yang berbeda. (3) Keterampilan berpikir orisinil meliputi : (a) Memberikan jawaban yang tidak lazim, (b) Memberikan jawaban yang lain daripada yang lain dan (c) Memberikan jawaban yang jarang diberikan kebanyakan orang. Dan (4) Keterampilan berpikir terperinci (elaborasi) meliputi (a) Mengembangkan, menambah, memperkaya suatu gagasan, (b) Memperinci detail-detail dan (c) Memperluas suatu gagasan. Munandar, (Azhari. 2013:4-5). Berdasarkan penjelasan di atas, maka ciri-ciri kemampuan berpikir kreatif dapat dijadikan indikator dalam menilai kemampaun berpikir kreatif seseorang.Perlu disadari bahwa selama ini pendidikan formal hanya menekankan perkembangan yang terbatas pada ranah kognitif saja. Sedangkan perkembangan pada ranah afektif (sikap dan perasaan) kurang diperhatikan. Terbukti pada pengajaran di sekolah, jarang sekali ada kegiatan yang menuntut pemikiran divergen atau berpikir kreatif sehingga siswa tidak terangsang untuk berpikir, bersikap, dan berperilaku kreatif. Oleh sebab itu dalam proses pembelajaran diperlukan cara yang mendorong siswa untuk memahami masalah, meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa dalam menyusun rencana penyelesaian dan melibatkan siswa secara aktif dalam menemukan sendiri penyelesaian masalah, serta mendorong pembelajaran yang berpusat pada siswa dan guru hanya sebagai fasilitator. 130 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Menurut Siswono (Supardi, 2009: 249), “meningkatkan kemampuan berpikir kreatif artinya menaikkan skor kemampuan siswa dalam memahami masalah, kefasihan, fleksibilitas dan kebaruan penyelesaian masalah”. Siswa dikatakan memahami masalah bila menunjukkan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan, siswa memiliki kefasihan dalam menyelesaikan masalah bila dapat menyelesaikan masalah dengan jawaban bermacam-macam yang benar secara logika. Siswa memiliki fleksibilitas dalam meyelesaikan masalah bila dapat menyelesaikan soal dengan dua cara atau lebih yang berbeda dan benar. Siswa memiliki kebaruan dalam menyelesaikan masalah bila dapat membuat jawaban yang berbeda dari jawaban sebelumnya atau yang umum diketahui siswa. Untuk dapat mengoptimalkan kemampuan berpikir kreatif siswa, guru dapat merancang proses pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif. Guru dapat menggunakan pendekatan yang dapat melibatkan aktifitas aktif siswa selama proses belajar mengajar dan menciptakan materi ajar yang memilki pertanyaan yang divergen (terbuka). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berpikir kreatif dapat diartikan sebagai suatu kegiatan mental yang digunakan seseorang untuk membangun ide atau gagasan yang baru. kemampuan berpikir kreatif merupakan hal yang telah dimiliki seseorang sejak ia lahir. Banyaknya permasalahan yang dihadapi dalam dunia pendidikan. Salah satunya adalah masalah lemahnya proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran, siswa didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikir. Kenyataan yang terjadi siswa diarahkan kepada kemampuan untuk menghafalkan informasi. Siswa dipaksa untuk mengingat dan menimbun berbagai informasi tanpa dituntut untuk memahami informasi dan mengaplikasikan informasi tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini mengakibatkan ketika anak lulus sekolah mereka hanya terampil secara teoritis tetapi sangat kurang pada aplikasi. Upaya meningkatkan kualitas pendidikan seharusnya dimulai dari pembenahan kemampuan guru. Salah satu kemampuan yang harus dimiliki guru adalah merancang suatu pembelajaran yang sesuai dengan tujuan atau kompetensi yang akan dicapai hanya dengan satu strategi saja. Kemajuan teknologi informasi di era globalisasi saat ini menuntut guru untuk mengubah paradigma tentang mengajar yaitu dari sekedar menyampaikan materi pelajaran menjadi aktivitas mengatur suasana agar siswa belajar. Selain itu guru kurang mengarahkan dan memotivasi siswa untuk mengaitkan permasalahan yang dihadapi dengan kehidupan sehari-hari dan memunculkan ide-ide kreatif melalui pembuatan suatu karya. Hal ini menyebabkan rendahnya kreativitas siswa dalam belajar matematika, karena siswa tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan potensi yang ada pada diri siswa. 131 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Berpikir kreatif ini harus terus dikembangkan dan dilatih. Guru dapat melatih kemampuan berpikir kreatif siswa dalam suasana pembelajaran di kelas. Salah satunya menerapkan pembelajaran yang bisa memberikan siswa kesempatan dalam mengemukakan dan mengembangkan gagasan mereka secara bebas namun tetap dibawah bimbingan guru sebagai fasilitator. Pentingnya keterampilan berpikir kritis dan kreatif dilatihkan kepada siswa, didukung oleh visi pendidikan matematika yang mempunyai dua arah pengembangan, yaitu memenuhi kebutuhan masa kini dan masa yang akan dating (Sumarmo dalam Istianah, 2013:44). Visi pertama untuk kebutuhan masa kini, pembelajaran matematika mengarah pada pemahaman konsep-konsep yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah matematika dan ilmu pengetahuan lain. Visi kedua untuk kebutuhan masa yang akan dating atau mengarah ke masa depan, mempunyai arti lebih luas, sistematis, kritis, dan cermat serta berpikir objektif dan terbuka, yang sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari serta untuk menghadapi masa depan yang selalu berubah. Penyebab lain sulitnya siswa memahami pelajaran matematika adalah karena pembelajaran matematika yang mereka rasakan kurang bermakna. Masih ada guru, pada saat pembelajaran matematika tidak mengkaitkan dengan kehidupan sehari-hari, padahal menurut Jenning dan Dunne (Ratnaningsih, 2007) bahwa mengaitkan pengalaman kehidupan nyata siswa dengan idea-idea matematika dalam pembelajaran di kelas penting dilakukan, agar pembelajaran bermakna. Sebagai upaya memfasilitasi siswa agar kemampuan berpikir kreatifnya berkembang, yaitu dengan suatu pembelajaran dimana pembelajaran tersebut harus berangkat dari pembelajaran yang membuat siswa aktif sehingga leluasa untuk berpikir dan mempertanyakan kembali apa yang mereka terima dari gurunya. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Ibrahim (2007) bahwa untuk membawa ke arah pembelajaran yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif harus berangkat dari pembelajaran yang membuat siswa aktif. Salah satu model pembelajaran yang dapat dijadikan alternatif agar siswa aktif dalam proses pembelajaran yaitu dengan menggunakan model pembelajaran Think Pair Share (TPS). Model pembelajaran TPS menuntut siswa lebih aktif dalam pembelajaran, dengan berpikir secara berpasangan melalui mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengolah informasi dan menyimpukan kemudian membagikan atau menyajikan informasi tersebut. Model TPS dianggap menjadi sebuah model yang kreatif, inovatif dan bias menjadi salah satu solusi yang efektif dalam pengembangan kemampuan berpikir kreatif siswa. 132 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Penerapan model ini dapat menunjang kegiatan belajar mengajar karena dapat memberikan kesempatan kepada siswa baik secara individu maupun secara kelompok untuk ikut aktif membahas suatu permasalahan. Hal tersebut di atas sejalan dengan penelitian Herpina (2015) dengan judul “Penerapan model Think Pair Share (TPS) dengan pendekatan open-ended untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematika siswa kelas VII SMP”. Adapun kesimpulan dari penelitiannya adalah pembelajaran dengan penerapan model TPS dengan pendekatan open-ended dapat meningkatkan kemampuan bnerpikir kreatif matematika siswa. Hasil penelitian Hariyono (2013) dengan judul penelitian “Penerapan pembelajaran kooperatif model think pair share untuk meningkatkan keaktifan belajar ipa melalui media flash movie siswa kelas IV SD Negeri 5 Karangrejo tahun pelajaran 2012 / 2013”. Hasil penelitiannya adalah penerapan pembelajaran kooperatif model Think Pairs Share (TPS) dengan media flas movie dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) Siswa. Penelitian Ni’mah (2014) dengan judul penelitian “Penerapan model Pembelajaran Think Pair Share (TPS) dengan metode eksperimen untuk meningkatkan hasil Belajar dan Aktivitas belajar Siswa Kelas VIII Mts. Nahdlatul Muslimin Kudus”. Dengan kesimpulan penelitian yaitu model pembelajaran Think Pair Share (TPS) dengan metode eksperimen dapat meningkatkan hasil belajar dan aktivitas siswa kelas VIII MTs. Nahdlatul Muslimin. Aktivitas belajar yang dapat dikembangkan dengan model pembelajaran Think Pair Share (TPS) disertai metode eksperimen adalah melakukan percobaan, menyimpulkan hasil percobaan, mengajukan pertanyaan, mendengarkan presentasi dan mengemukakan pendapat serta mengerjakan tes. Lie (Ni’mah, 2014: 19) mengungkapkan bahwa Think Pair Share (TPS) merupakan strategi pembelajaran yang dikembangkan pertama kali oleh Profesor Frank Lyman di Universitas of Maryland pada 1981 dan diadopsi oleh banyak penulis di bidang pembelajaran kooperatif pada tahun-tahun selanjutnya. Trianto (Surayya, 2014:3) menyatakan Model pembelajaran kooperatif tipe think pair share merupakan model pembelajaran kooperatif yang efektif untuk membuat variasi suasana pola diskusi. Prosedur yang digunakan dalam model think pair share dapat memberi siswa lebih banyak waktu berpikir, merespon dan saling membantu. Hariyono (2013:3) mengemukakan bahwa model Think Pair Share (TPS) mengajarkan siswa untuk lebih mandiri dalam mengerjakan soal-soal yang diberikan sehingga dapat membangkitkan rasa percaya diri siswa, dimana siswa dapat bekerja sama dengan orang 133 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 lain dalam kelompok kecil yang heterogen. Dengan menerapkan model ini dapat meningkatkan keaktifan siswa dikelas. Karena siswa akan berdiskusi dengan pasangannya (pairs) untuk memecahkan masalah yang diberikan oleh guru, siswa berbagi (share) dengan teman sekelasnya dengan mempresentasikan hasil diskusinya dengan pasangannya. Selain itu dengan penerapan model ini siswa akan lebih menguasai materi, karena siswa harus berpikir (think) untuk menyelesaikan masalah yang ditugaskan kepadanya. Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran Think Pair Share (TPS) merupakan salah satu model pembelajaran kooperatif sederhana yang melatih siswa bagaimana cara mengutarakan pendapat, belajar menghargai pendapat orang lain dengan tetap mengacu pada materi atau tujuan pembelajaran dan dirancang untuk mempengaruhi interaksi siswa serta menghendaki siswa saling membantu dalam kelompok kecil. Seperti namanya “Thinking”, pembelajaran ini diawali dengan guru mengajukan pertanyaan atau isu terkait dengan pelajaran untuk dipikirkan siswa. Guru memberikan kesempatan kepada mereka memikirkan jawabannya. Selanjutnya “Pairing”, pada tahap ini guru meminta siswa berpasang-pasangan. Guru memberi kesempatan kepada pasangan-pasangan itu untuk berdiskusi. Hasil diskusi intersubjektif di tiap-tiap pasangan dibicarakan dengan pasangan seluruh kelas. Tahap ini dikenal dengan “Sharing” Suprijono (Ni’mah, 2014: 19). Selain pemilihan model pembelajaran yang tepat, perolehan hasil belajar suatu kegiatan pembelajaran yang dipengaruhi oleh kemampuan guru dalam mengenal dan memahami karakteristik siswa. Seorang guru mampu mengenali karakteristik siswa akan dapat membantu terselenggaranya proses pembelajaran secara peningkatan hasil belajar siswa. Seorang guru efektif yang memungkinkan hendaknya mampu mengenal dan mengetahui karakteristik siswa akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan proses belajar siswa. Apabila guru telah mengetahui karakteristik siswanya, maka selanjutnya dapat menyesuaikan dengan model pembelajaran yang akan digunakan. Proses pembelajaran dikatakan efektif apabila terjadi transfer belajar, yaitu materi pelajaran yang disajikan oleh guru dapat diserap oleh struktur kognitif siswa. Siswa dapat menguasai materi tersebut tidak hanya terbatas pada tahap ingatan tanpa pengertian (rote learning), tetapi diserap secara bermakna (meaningful learning). Agar terjadi transfer belajar yang efektif, maka guru harus memperhatikan karakteristik setiap siswa. Karakteristik adalah aspek-aspek yang ada dalam diri siswa yang dapat mempengaruhi prilakunya. Pembelajaran akan semakin efektif atau semakin berkualitas bila proses belajar mengajar dilakukan sesuai dengan karakteristik siswa yang diajar. 134 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Salah satu karakteristik siswa adalah gaya belajar siswa. Gaya belajar merupakan cara yang khas dimiliki seseorang dalam belajar. Gaya belajar meliputi beberapa komponen, antara lain : tipe belajar dan gaya kognitif (Rahman, 2008:454). Salah satu karakter berpikir yang dapat mempengaruhi performa siswa dalam penyelesaian masalah yaitu karakter berpikir divergen dan konvergen. Berpikir divergen digambarkan sebagai berpikir yang spekulatif, serba kemungkinan. Pemikir divergen memulai dengan sedikit fakta dan mengembangkannya menjadi beberapa jawaban yang beralasan. Cara berpikir divergen adalah cara berpikir individu yang mencari berbagai alternatif jawaban dari suatu persoalan. Berpikir divergen seringkali melibatkan pertimbangan dari beberapa arah atau sumber informasi yang berbeda. Pemikir divergen akan lebih mampu mematahkan gangguan dan berhasil menuju berbagai bentuk penyelesaian. Berpikir konvergen adalah cara-cara individu dalam memikirkan sesuatu dengan berangggapan bahwa hanya ada satu jawaban yang benar. Pemikir konvergen mampu memutuskan penyelesaian terbaik berdasarkan informasi yang ada. Mereka dapat memikirkan hubungan kuat antara penyelesaian yang diambil dengan penafsiran benar/salah terhadap permasalahan. Molle dkk., (Khery, 2013:344). Alamolhodaei (2001) menyatakan bahwa ada perbedaan kemampuan dalam hal memahami konsep dan memvisualisasi langkah-langkah penyelesaian masalah antara siswa divergen dan konvergen. Namun bagaimana performa mereka dalam pembelajaran kimia dengan strategi PBL, masih perlu lagi untuk dijelaskan. Menurut Guilford dalam Cohen (Soenarto, 2011:6-7) mengemukakan bahwa individu-individu dibedakan dalam gaya berpikir divergen dan gaya berpikir konvergen. untuk menyelesaikan suatu masalah, seseorang harus merencanakan suatu strategi yang mencakup berpikir divergen dan berpikir konvergen. Gaya berpikir divergen dan gaya berpikir konvergen dapat digunakan untuk menklasifikasikan kecenderungan gaya berpikir dalam merespon informasi dan menyelesaikan masalah/tugas. Perbedaan berpikir divergen dan berpikir konvergen dalam menyelesaikan suatu masalah secara tegas dinyatakan oleh Seifert (soenarto, 2011:7), bahwa berbagai situasi dan masalah mendorong siswa untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan menggunakan gaya berpikir konvergen, sebaliknya dalam situasi dan masalah yang lain, mendorong siswa untuk menyelesaikan masalah dengan gaya berpikir divergen. Berdasarkan fenomena tersebut, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang Pengaruh model pembelajaran Think pair share (TPS) dan gaya kognitif siswa terhadap hasil belajar matematika siswa di kelas VIII (Delapan) SMP Negeri 6 Kerinci. 135 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 B. METODE PENELITIAN Penelitian yang dilaksanakan dengan menerapkan desain faktorial 2X2. Dimana faktor I : model pembelajaran Think Pair Share (TPS) dengan 2 jenis gaya kognitif divergen dan konvergen dan faktor II : model pembelajaran konvensional dengan dua gaya kognitif yaitu gaya kognitif divergen dan konvergen. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan faktorial 2 X 2. Adapun desainnya adalah sebagai berikut: Tabel 3.1. Tabel Amatan Gaya Kognitif Model Pembelajaran Think Pair Share (TPS) (A1) Konvensional (A2) Divergen (B1) Konvergen (B2) A1 B1 A1 B2 A2 B1 A2 B2 Keterangan : A1B1 = Kelompok siswa dengan gaya kognitif divergen pembelajaran dengan Model Think Pair Share (TPS) A1B2 = Kelompok siswa dengan gaya kognitif konvergen pembelajaran dengan Model Think Pair Share (TPS) A2B1 = Kelompok siswa dengan gaya kognitif divergen pembelajaran dengan Model Konvensional. A2B2 = Kelompok siswa dengan gaya kognitif konvergen pembelajaran dengan Model Konvensional. yang diberi perlakuan . yang diberi perlakuan . yang diberi perlakuan yang diberi perlakuan Prosedur yang dilakukan dalam penelitian ini adalah : a. Menentukan populasi; b. Menentukan sampel secara purposive sampling, sampel dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. c. Melakukan pengambilan data tentang gaya kognitif siswa dengan tes kemampuan kognitif dari angket dikategorikan menjadi 2 kelompok siswa yaitu kelompok siswa dengan gaya kognitif divergen dan kelompok siswa dengan gaya kognitif konvergen. d. Kelompok eksperimen diberikan pembelajaran dengan model pembelajaran Think Pair Share (TPS) , dan kelompok kontrol diberikan model pembelajaran konvensional. e. Melakukan tes prestasi belajar. f. Melakukan tes analisis data untuk mengetahui perbedaan prestasi belajar siswa. Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan 136 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII SMP Negeri 6 Kerinci tahun pelajaran 2015/2016. Sampel adalah bagian dari populasi itu sendiri. Pengambilan sampel dilakukan secara random sampling pada kelas VIII SMP Negeri 6 Kerinci. Variable penelitian dalam penelitian terdiri dari variable bebas (model pembelajaran TPS dan konvensional), variable moderator (gaya berpikir divergen dan konvergen) dan variable terikat adalah keterampilan berpikir kreatif siswa. Instrument penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket untuk mengukur gaya kognitif siswa, apakah divergen atau konvergen serta soal untuk test keterampilan berpikir kreatif siswa. DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. Abdullah, S.R., 2014. Pembelajaran saintifik untuk implementasi kurikulum 2013. Jakarta: Bumi Aksara. Alamolhodaei, H. 2001. Convergent/Divergent Cognitive Styles and Mathematical Problem Solving. Journal of science and mathematics education in S.E. Asia, 24(2) :102-117. Azhari. 2013. Peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa melalui pendekatan konstruktivisme dikelas VII Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Banyuasin III. Jurnal pendidikan matematika. 7(2): 1-10. Depdiknas (2004). Kurikulum 2004. Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah. Jakarta: Depdiknas. Hariyono, 2013, Penerapan pembelajaran kooperatif model TPS untuk meningkatkan aktivitas belajar IPA melalui media Flash movie siswa kelas IV SD Negeri 5 Karangrejo tahun pelajaran 2012/2013, Skripsi, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta. Herpina, K. R., 2013, Penerapan pembelajaran model TPS dengan pendekaran open-ended untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematika siswa, Skripsi, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Surakarta. Ibrahim. 2007. Pengembangan kemampuan berpikir kritis dan kreatif siswa SMP dalam matematika melalui pendekatan Advokasi dengan penyajian masalah Open-Ended. Tesis Sekolah Pascasarjana UPI. Bandung: Tidak dipublikasikan. Istianah, E., 2013. Meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematika dengan pendekatan model eliciting activities (MEAs) pada siswa SMA. Infinity, 2(1) : 43-54. Ni’mah, A. & Dwijananti, P. 2014. Penerapan model pembelajaran Think Pair Share (TPS) dengan metode eksperimen untuk meningkatkan hasil belajar dan aktivitas belajar siswa kelas VIII MTs. Nahdatul muslimin Kudus. Unnes physic education journal. 3(2):19-25 Rahman, A., 2008. Analisis hasil belajar matematika berdasarkan perbedaan gaya kognitif secara psikologis dan konseptual tempo pada siswa kelas X SMA Negeri 3 Makassar. Jurnal pendidikan dan kebudayaan, 14(072): 454-460. Ratnaningsih, N.S. 2007. Pengaruh Pembelajaran Konstekstual Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematika Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertasi Sekolah Pascasarjana UPI. Bandung: Tidak dipublikasikan. Soenarto, S., 2011, Pengaruh Strategi Pembelajaran Dan Gara Berpikir Terhadap Hasil Belajar Fisika, Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 6-7. Supardi, U.S. 2009. Peran berpikir kreatif dalam proses pembelajaran matematika. Jurnal formatif. 2(3):148-162. Surayya, L., Subagia, I.W. & Tika, I.N. 2014. Pengaruh model pembelajaran Think Pair Share (TPS) terhadap hasil belajar IPA ditinjau dari keterampilan berpikir kritis siswa. E-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Program Studi IPA. 4(1): 1-11. 137 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 DESAIN PEMBELAJARAN BILANGAN PECAHAN SMP DENGAN MENGGUNAKAN ALAT PERAGA PADA KELAS MICRO TEACHING STKIP YDB LUBUK ALUNG Mira Amelia Amri STKIP YDB Lubuk Alung, Jl. Pulau Jantung 91, Lubuk Alung [email protected] Abstrak. Belajar operasi hitung bilangan pecahan sangat penting bagi siswa. Hal ini dikarenakan belajar operasi hitung bilangan cenderung dapat mendukung pemikiran dan pemahaman siswa, untuk memecahkan masalah sehari-hari. Pembelajaran pecahan pada sekolah dasar belum mampu untuk membawa pemikiran siswa dari konkrit keabstrak. Siswa langsung melakukan operasi hitung tanpa tahu dasarnya dari mana. Hal ini menjadi permasalahan kembali bagi guru dalam mengajarkan kembali operasi hitung bilangan pecahan di SMP. Media merupakan perantara untuk menyampaikan pesan kepada penerima atau suatu alat peraga yang digunakan untuk menjelaskan suatu konsep matematika kepada peserta didik. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan teknologi telah menuntut semua pendidik dan calon pendidik untuk dapat menguasai berbagai media pembelajaran. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendesain pembelajaran bilangan pecahan pada SMP dengan menggunakan alat peraga. Hal ini bertujuan agar mahasiswa calon guru dapat menggunakan berbagai media dalam mengajar dimasa yang akan datang. Selain itu desain pembelajaran operasi hitung bilangan juga bertujuan untuk menghindari kesalahan konsep pada pembelajaran bilangan pecahan selama ini. Subjek penelitian ini adalah mahasiswa pada kelas microteaching STKIP YDB Lubuk Alung. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa desain pembelajaran bilangan pecahan dengan menggunakan alat peraga menghindari kesalahan konsep matematis siswa. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa pembelajaran bilangan pecahan akan lebih baik dengan menggunakan alat peraga. Kompetensi mahasiswa calon guru dapat ditingkatkan dengan desain pembelajaran yang baik selama perkuliahan micro teaching. Kata kunci: alatperaga, desain, bilangan, micro teaching A. PENDAHULUAN Perkuliahan Microteaching adalah perkuliahan yang menjadi bekal utama bagi mahasiswa sebelum praktek lapangan. Perkuliahan micro teaching mengajarkan mahasiswa bagaimana menjadiseorang guru yang sesungguhnya melalui simulasi mengajar. Berbagai materi pada setiap satuan pendidikan disimulasikan dalam perkuliahan micro teaching. Salah satunya adalah materi Bilangan Pecahan. Belajar operasi hitung bilangan pecahan sangat penting bagi siswa. Hal ini dikarenakan belajar operasi hitung bilangan cenderung dapat mendukung pemikiran dan pemahaman siswa, untuk memecahkan masalah sehari-hari. Pembelajaran pecahan pada sekolah dasar belum mampu untuk membawa pemikiran siswa dari konkrit keabstrak. Siswa langsung melakukan operasi hitung tanpa tahu dasarnya dari mana. Hal ini menjadi permasalahan kembali bagi guru dalam mengajarkan kembali operasi hitung bilangan pecahan di SMP. Media merupakan perantara untuk menyampaikan pesan kepada penerima atau suatu alat peraga yang digunakan untuk menjelaskan suatu konsep matematika kepada peserta didik. Kemajuan Ilmu 138 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Pengetahuan dan teknologi telah menuntut semua pendidik dan calon pendidik untuk dapat menguasai berbagai media pembelajaran, Tujuan penelitian ini adalah untuk mendesain pembelajaran bilangan pecahan pada SMP dengan menggunakan alat peraga. Hal ini bertujuan agar mahasiswa calon guru dapat menggunakan berbagai media dalam mengajar dimasa yang akan datang. Selain itu desain pembelajaran operasi hitung bilangan juga bertujuan untuk menghindari kesalahan konsep pada pembelajaran bilangan pecahan selama ini. B. METODE PENELITIAN Sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya, maka jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif kualitatif yang dimaksudkan disini adalah untuk melihat, meninjau, dan mengambarkan tentang objek yang diteliti seperti apa adanya tanpa melakukan pengontrolan terhadap suatu perlakuan dan akhirnya menarik suatu kesimpulan tentang hal tersebut. Arikunto (2005:234) berpendapat bahwa penelitian deskriptif kualitatif hanya menggambarkan “apa adanya” tentang suatu variabel, gejala, atau keadaan. Data yang diperoleh dari lapangan akan dideskripsikan melalui kata-kata oleh peneliti. Penelitian ini dilakukan di STKIP YDB Lubuk Alung bertempat di Jalan Pulau Jantung Indah. Dalam penelitian ini, subjek penelitian yang dijadikan sumber data yaitu mahasiswa yang mengikuti kuliah micro teaching. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode: observasi, wawancara dan dokumentasi. Proses pengumpulan data dalam penelitian ini adalah: 1. Observasi Observasi dilakukan dengan tujuan mengamati mahasiswa selama berlangsungnya workshop desain pembelajaran dan dalam pelaksanaan simulasi pembelajaran di kelas. Untuk melihat kesiapan mahasiswa dalam melaksanakan desain pembelajaran setelah mengikuti workshop, saat penelitian berlangsung peneliti terlibat langsung dalam pelaksanaan pembelajaran dengan cara ikut masuk kelas bersama mahasiswa untuk observasi. 2. Wawancara Wawancara dilakukan terhadap mahasiswa untuk melihat perkembangan kompetensi mahasiswa sebelum dan sesudah mengikuti workshop. Kemudian juga melihat bagaimana tanggapan mahasiswa terhadap pelaksanaan pembelajaran yang telah mereka cobakan di kelas. Dengan wawancara dapat diketahui situasi dan fenomena yang terjadi yang tidak bisa ditemukan dalam observasi. 139 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 3. Dokumentasi Dokumentasi dengan menggunakan video taping dalam workshop dan simulasi kegiatan pembelajaran di kelas. Dokumentasi berguna untuk melengkapi informasi yang diperoleh pada teknik observasi dan wawancara. Studi dokumentasi nantinya berguna untuk dipelajari dengan seksama dan secermat mungkin. Adapun tahap pengumpulan data tersebut adalah sebagai berikut: 1. Observasi awal Peneliti melakukan observasi awal melihat pembelajaran di SMP, melakukan wawancara dengan beberapa siswa mengenai pembelajaran pecahan. Menanya pengalaman mahasiswa dalam memahami materi pecahan, menanyakan ide mahasiswa tentang suatu pembelajaran pecahan. 2. Workshop desain pembelajaran Workshopinidiikutioleh 10 mahasiswa yang teaching.Penelitianiniberfokuspadamahasiswacalon mengambilmatakuliah guru padamatakuliah micro micro teaching.Dalamhalinimahasiswadidampingidalampraktikmengajardansimulasidi kelasuntukselanjutnyadiamatibagaimanakompetensimahasiswacalon guru terhadapdesain yang telahdilakukan. Dosen bersama mahasiswa melakukanworkshop awal selama 3 hari. Pada saat workshopmahasiswa mendapat informasi tentang pembelajaran bilangan pecahan,media pembelajaran serta bagaimana mengimplementasikan dalam simulasi pembelajaran di kelas. Kegiatanpertamayaiturefleksiawal,mahasiswamenceritakanhasilwawancaratentangpembela jaranbilanganpecahandisekolah, mahasiswajugamenceritakantentangpengalamanmerekadalambelajarbilanganpecahan. 3. Observasi lanjutan Observasi ini dilakukan setiap minggunya untuk mengamati pembelajaran yang telah dirancang selama workshop. Apabila terdapat kendala, maka langsung dilakukan wawancara dan refleksi bersama-sama setelah selesai simulasi pembelajaran. 4. Workshop lanjutan Workshop lanjutan dilaksanakan 1 hari setiap minggunya untuk merefleksi simulasi praktik mengajar yang dilakukan di kelas. Pada workshop refleksi ini mahasiswa menceritakan pengalaman mengajar dan kesulitan yang dialami selama simulasi di kelas. Kemudian mahasiswa merancang pembelajaran untuk minggu berikutnya dengan harapan lebih baik dari minggu sebelumnya. Kesulitan dan kendala pada minggu sebelumnya juga diharapkan tidak muncul lagi. 140 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Mengingat tujuan yang ingin dicapai, maka program desain yang disusun merupakan kombinasi tiga komponen, yaitu workshop, simulasi praktik mengajar, dan pertemuan refleksi. Selanjutnya dapat dilihat pada Gambar 1. WOKSHOP Ceramah Teori Pembelajaran dan media Pemutaran Video Persiapan Praktek Mengajar PRAKTIK MENGAJAR Menggunakan Desain pada workshop PERTEMUAN REFLEKSI Berbagi Pengalaman UmpanBalikdanDiskusi Gambar 1.Dimodifikasidari Model Pengembangan Guru dalam Indo Math Program (Sutarto: 2005) Keabsahan data yang diperoleh di lapangan diperiksa dengan teknik-teknik sebagai berikut sebagai mana dikemukakan oleh Sugiyono (2005:121) bahwa: ’’uji keabsahan data dalam penelitian kualitatif meliputi uji, credibility (validitas internal), transferability (validitas eksternal), dependability (reliabilitas), dan confirmability (obyektivitas)”. 1. Uji kredibilitas Uji kredibilitas data atau kepercayaan terhadap data hasil penelitian kualitatif antara lain dilakukan dengan perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan dalam penelitian, triangulasi, diskusi dengan teman sejawat, analisis kasus negatif, dan member check. 2. Pengujian Transferability Transferability menunjukkan derajat ketepatan atau dapat diterapkannya hasil penelitian ke populasi di mana sampel itu diambil. Nilai transfer ini berkenaan dengan pertanyaan, hinggamana hasil penelitian dapat diterapkan atau digunakan dalam situasi sosial lain. 3. Pengujian dependability Uji dependability dilakukan dengan melakukan audit terhadap keseluruhan proses penelitian. Menurut Sanafiah faisal dalam Sugiyono (2005:131) ’’jika peneliti tak mempunyai dan tak dapat menunjukkan ’jejak aktivitas lapangannya’, maka dependabilitas penelitiannya patut diragukan”. 141 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 4. Pengujian Confirmability Menguji confirmability berarti menguji hasil penelitian, dikaitkan dengan proses yang dilakukan. Bila hasil penelitian merupakan fungsi dari penelitian yang dilakukan, maka penelitian tersebut telah memenuhi standar Confirmability. Analisis data Kualitatif menurut Patton dalam Lexy (2002:102) adalah “suatu proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya kedalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar”. Berdasarkan cara kerja dalam teknik analisis yang dilakukan model miles dan Huberman dari reduksi data, penyajian data kemudian di verifekasi, dilakukan selama dan sesudah penelitian berlangsung. Selanjutnya apabila terjadi kekurangan data atau kesalahan sehingga yang diambil kurang sesuai dapat dilakukan proses ulang dengan tahapan yang sama. Proses dan teknik analisis data sebagaimana dikemukakan Miles dan Huberman dalam Sugiyono (2005:91) bahwa: “aktivitas dalam analisis data kulalitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh”. Aktivitas dalam analisis data, yaitu: data reduction, data display, dan conclusion drawing/ verification. 1. Reduksi data Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatancatatan yang tertulis di lapangan. 2. Penyajian data Penyajian data yang digunakan adalah bentuk teks naratif berdasarkan hasil observasi dan hasil wawancara yang direduksi selama penelitian berlangsung. 3. Penarikan kesimpulan atau verifikasi Penarikan kesimpulan atau verifikasi adalah kegiatan akhir dari suatu penelitian, dimana data yang dianalisis kemudian diverifikasi untuk meninjau ulang maupun melakukan pembuktian kebenaran yang diambil. C. HASIL DAN PEMBAHASAN Setelah serangkaian penelitian selesai dilaksanakan, tahap selanjutnya adalah tahap analisis data. Analisis data penelitian diarahkan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini, sebagaimana yang telah diuraikan pada bagian pendahuluan. Analisis ini dilakukan untuk mengungkapkan bagaimana pengaruh workshop desain pembelajaran bilangan pecahan dengan menggunakan media terhadap pengembangan kompetensi mahasiswa calon guru. Kompetensi yang dimaksud adalah kompetensi mahasiswa dalam mengajarkan bilangan pecahan, keterampilan mahasiswa dalam menggunakan media, beserta keterampilan dasar mengajar yang diamati secara umum di dalam simulasi mengajar. 142 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Analisis dimulai dengan melihat rancangan pelaksanaan pembelajaran mahasiswa. Rancangan yang telah dirancang sudah sesuai dengan desain yang telah dilakukan pada workshop. Rancangan disimulasikan dalam pembelajaran dikelas dengan menggunakan media. Kegiatan pembelajaran sebagai berikut: 1. Mahasiswa memulai pembelajaran dengan melakukan apersepsi tentang bilangan bulat 2. Mahasiswa memberikan motivasi mengenai kaitan materi bilangan pecahan dengan kehidupan sehari-hari dengan menggunakan kue, yaitu memberikan permasalahan dengan pembagian kue. 3. Selanjutnya guru menjelaskan mengenai definisi bilangan pecahan dan menjelaskan operasi hitung bilangan pecahan dengan menggunakan media. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Simulasi pembelajaran Bilangan Pecahan Pada Gambar 2 terlihat bahwa mahaiswa yang melakukan simulasi sudah melaksanakan proses pembelajaran yang sesuaidengan desain sewaktu workshop. Adapun contoh permasalahan yang digunakan dalam pembelajaran dapat dilihat pada Gambar 3. Permasalahan yang diberikan oleh mahasiswa pada saat simulasi dapat dilihat pada Gambar 3. 143 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Gambar 3. Permasalahan yang diberikan kepada Siswa Berdasarkan Gambar 3 terlihat bahwa mahasiswa sudah menghubungkan pembelajaran bilangan pecahan dengan kehidupan sehari-hari siswa. Melalui media siswa dipandu untuk memahami konsep pecahan biasa dan pecahan campuran, bagaimana merubah pecahan biasa ke dalam bentuk pecahan campuran dan sebaliknya. Implementasi dari simulasi ini adalah siswa tertarik dan senang menerima pembelajaran dari guru. Mahasiswa sudah dapat melaksanakan pembelajaran layaknya keadaan sesungguhnya di kelas. D. KESIMPULAN Kesimpulan dari penelitian ini adalah kompetensi mahasiswa meningkat setelah mengikuti workshop desain pembelajaran khususnya bilangan pecahan, mahasiswa mampu menggunakan media dalam simulasi mengajar. Mahasiswa dapat mengembangkan ide kreatif dalam 144 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 mendesain pembelajaran dengan menggunakan berbagai media pembelajaran. Saran dalam penelitian ini adalah mahasiswa sebaiknya menggunakan media dalam simulasi pembelajaran di kelas agar terbiasa nantinya ketika praktek lapangan. Pelaksanaan workshop desain pembelajran sebaiknya dilakukan rutin sehingga semua mahasiswa dapat memperoleh bimbingan dan pengarahan dalam simulasi praktik mengajar di kelas. Penelitian ini dapat dikembangkan menjadi penelitian kuantitatif yang dapat menihat peningkatan kompetensi mahasiswa calon guru dan hasil belajar siswa pada praktek lapangan nantinya. DAFTAR PUSTAKA 1. Hadi, Sutarto. 2005. Pendidikan Matematika Realistik dan Implementasinya. Tulip: Banjarmasin 2. Suharsimi, Arikunto.2005. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. 3. Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta 4. Lexy J, Moleong. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya 145 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 PENGARUH PEMBERIAN REWARD TERHADAP MOTIVASI BELAJAR MAHASISWA PADA PERKULIAHAN PROGRAM LINIER Mulia Suryani STKIP PGRI Sumatera Barat muliasuryani @gmail.com Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui “Bagaimana pengaruh pemberian reward terhadap motivasi belajar mahasiswa Pada Perkuliahan Program Linier?”. penelitian ini adalah penelitian jenis Deskriptif kuantitatif. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 6 Oktober- 6 November 2015 pada Sesi 2013 Program Studi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Sumatera Barat pada semester ganjil tahun Akademik 2015/2016. Sampel dalam penelitian ini adalah 29 orang mahasiswa. Berkenaan dengan masalah yang diteliti, maka dirumuskan pertanyaan penelitiannya adalah “Bagaimana pengaruh pemberian reward terhadap motivasi belajar mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika pada Perkuliahan Program Linier?”. Instrumen penelitian ini adalah non tes, yakni berupa angket atau kuesioner. Data yang dihasilkan dari penyebaran angket berskala pengukuran interval mengingat angket yang disebarkan menggunakan skala Likert dengan kisaran 1-4. Untuk mendapatkan data tentang motivasi belajar mahasiswa digunakan angket sebagai alat pengumpul data yang diberikan kepada 29 responden. Angket yang diberikan berisi 13 item pernyataan tentang motivasi belajar dan bersifat tertutup. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh pemberian reward terhadap motivasi belajar mahasiswa pada perkuliahan Program Linier. Kata kunci : reward, motivasi belajar, angket A. PENDAHULUAN Pembelajaran merupakan suatu proses yang dilakukan secara sadar pada setiap individu atau kelompok untuk mengubah sikap dari tidak tahu menjadi tahu sepanjang hidupnya. Sedangkan proses belajar mengajar merupakan kegiatan pokok yang di dalamnya terjadi proses mahasiswa belajar dan dosen mengajar dalam konteks interaktif dan terjadi interaksi edukatif antara dosen dan mahasiswa, sehingga terdapat perubahan dalam diri mahasiswa baik perubahan pada tingkat pengetahuan, pemahaman dan keterampilan ataupun sikap. Melalui proses mengajar tersebut akan dicapai tujuan pendidikan tidak hanya dalam hal membentuk perubahan tingkah laku dalam diri mahasiswa, akan tetapi juga meningkatkan pengetahuan yang ada dalam diri mahasiswa. Dalam pendidikan saat ini, dosen seringkali mendapatkan kesulitan dalam pembelajaran. Misalnya: mahasiswa merasa bosan ketika pembelajaran berlangsung karena tidak ada yang membuat semangat dalam pembelajaran tersebut. Hal ini menyebabkan kurang aktifnya mahasiswa dalam kegiatan pembelajaran, apalagi pada pelajaran yang dianggapnya sulit. Dosen adalah pendidik profesional dengan tugas utamanya mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik dalam jalur formal. Dosen dalam 146 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 menjalankan fungsinya diantaranya berkewajiban untuk menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dialogis, dan memberikan motivasi kepada mahasiswa dalam membangun gagasan, prakarsa, dan tanggung jawab mahasiswa untuk belajar. Untuk meningkatkan motivasi belajar mahasiswa, maka harus dicarikan solusi. Seorang dosen perlu mengembangkan pendekatan dan metode yang lebih bervariatif untuk mengatasi berbagai kesulitan mahasiswa seperti rasa jenuh, bosan, adanya kemungkinan peserta didik kurang mendapat motivasi dari orang tua mahasiswa dalam mendukung mahasiswanya atau faktor lingkungan yang kurang mendukung. Untuk itu, dosen harus mencari strategi atau inisiatif agar mahasiswa dapat tertarik atau lebih antusias dalam proses belajara mengajar. Teori motivasi yang dikemukakan oleh Salvin bahwa motivasi belajar adalah memberikan penghargaan kepada kelompok terhadap personal maupun kelompok yang mampu mengekspresikan ide, pernyataan serta pendapat. Pemberian Perhatian. Pemberian perhatian yang cukup terhadap mahasiswa dengan segala potensi yang dimilikinya merupakan bentuk motivasi yang sederhana, karena banyak yang tidak memiliki motivasi belajar diakibatkan tidak dirasakannya adanya perhatian. Sebagaimana yang dijelaskan Dimyati dan Mudjiono (2002:42) prinsip-prinsip yang berkaitan dengan perhatian dan motivasi pembelajaran yaitu perhatian merupakan peranan penting dalam kegiatan belajar. Pemberian hadiah dan pujian merupakan reward atau penghargaan atas perilaku baik yang dilakukan mahasiswa. Hal ini sangat diperlukan dalam hubungannya dengan minat dan penerapan disiplin pada mahasiswa. Reward atau penghargaan memiliki tiga fungsi penting dalam mengajari mahasiswa berperilaku yang disetujui secara sosial. Fungsi yang pertama ialah memiliki nilai pendidikan. Yang kedua, pemberian reward harus menjadi motivasi bagi mahasiswa untuk mengulangi perilaku yang diterima oleh lingkungan atau masyarakat. Melalui reward, mahasiswa justru akan lebih termotivasi untuk mengulangi perilaku yang memang diharapkan oleh masyarakat. Fungsi yang terakhir ialah untuk memperkuat perilaku yang disetujui secara sosial dan tiadanya penghargaan melemahkan keinginan untuk mengulangi perilaku tersebut. Dengan kata lain, mahasiswa akan mengasosiasikan reward dengan perilaku yang disetujui masyarakat. Oleh karena itu, peneliti mencoba membuat mahasiswa lebih aktif di dalam kegiatan pembelajaran, dan meningkatkan semangat belajar dalam diri mahasiswa. Dengan pemberian reward kepada mahasiswa, diharapkan dapat meningkatkan motivasi mereka untuk lebih giat belajar dalam proses pembelajaran di kelas. Berdasarkan pada latar belakang permasalahan di atas, maka dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut : motivasi belajar mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika pada perkuliahan Program linier rendah, disebabkan karena dosen masih kurang memberi penghargaan (reward) terhadap pencapaian belajar mahasiswa. maka rumusan masalahnya 147 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 adalah “Bagaimana pengaruh pemberian reward terhadap motivasi belajar mahasiswa Pada Perkuliahan Program Linier?”. B. METODE PENELITIAN Berdasarkan rumusan masalah yang diajukan, penelitian ini adalah penelitian jenis Deskriptif kuantitatif. Menurut Nawawi (2003: 64) metode deskriptif yaitu metode-metode penelitian yang memusatkan perhatikan pada masalah-masalah atau fenomena yang bersifat aktual pada saat penelitian dilakukan, kemudian menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya diiringi dengan interpretasi yang rasional dan akurat. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada tanggal 6 Oktober- 6 November 2015 pada Sesi 2013 D Program Studi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Sumatera Barat. Dalam penelitian ini populasinya adalah mahasiswa-mahasiswa Sesi 2013 A-D dengan Jumlah 142 orang mahasiswa. Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Sampel adalah meneliti sebagian populasi. Arikunto (1996:117), menegaskan apabila subjek eksperimen kurang dari 100, lebih baik diambil semuanya, sehingga eksperimen yang dipakai termasuk model eksperimen populasi. Sedangkan populasi di atas 100 maka sampel diambil 10%-15% atau 20%-25% dari populasi. Maka sampel dalam penelitian ini adalah 29 orang mahasiswa. Untuk mendapatkan dan mengumpulkan data dalam penelitian, dibutuhkan sebuah alat atau instrumen, adapun instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan skala Likert yang menggunakan lima alternatif jawaban. Aspek dalam angket ini adalah motivasi mahasiswa. Motivasi mahasiswa dapat dirincikan dalam beberapa indikator, kemudian masing-masing indikator dijabarkan menjadi butir-butir pernyataan. Tabel 1. Pernyataan Angket Motivasi Belajar Mahasiswa No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 148 Pernyataan Saya senang diberi reward karena dapat menyelesaikan soal Saya berusaha cepat-cepat mengerjakan tugas untuk mendapatkan nilai tambahan Saya bersemangat menjawab pertanyaan/ soal yang diberikan untuk mendapatkan nilai tambahan Saya suka kalau di kelas, dosen selalu memberi reward Saya akan lebih rajin belajar jika dosen selalu memberi nilai tambahan Saya akan bertanya jika menemukan kesulitan dalam menyelesaikan soal Saya lebih giat belajar untuk mendapatkan nilai yang bagus Saya mengulang pelajaran di rumah Dengan adanya reward, saya tertarik untuk belajar mata kuliah program linier Karena diberi reward, saya mengerjakan setiap tugas yang diberikan dosen Dengan adanya reward, saya menjadi lebih aktif belajar di kelas Sebelum perkuliahan dimulai, saya mempersiapakan buku dan perlengkapan lainnya terlebih dahulu Saya merasa rugi jika tidak dapat mengikuti perkuliahan Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Sesuai dengan jenis penelitian dan jenis data, maka analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif kualitatif yang didukung oleh analisis kuantitatif. Langkah-langkah analisa sebagai berikut: a. Reduksi data Reduksi data merupakan proses memilih, memusatkan perhatian dan menyederhmahasiswaan melalui seleksi dari data mentah yang muncul dari catatan- catatan tertulis di lapangan sehingga menjadi informasi bermakna. b. Display data Paparan data dilakukan dengan penyajian data dalam bentik uraian singkat, bagan dan grafik sehingga mudah dibaca. Data yang telah diperoleh melalui angket, kemudian dihitung dengan presentase. Presentase tersebut dapat diperoleh dengan rumus berikut: Jumlah Skor × 100% Skor Maksimum Selanjutnya data kuantitatif tersebut ditafsirkan dengan kalimat yang bersifat kualitatif. Presentase(P) = Setelah diperolah perhitungan tersebut, kemudian ditafsirkan sebagai berikut: Tabel No. 1. 2. 3. 4. c. 2. Kriteria Motivasi Belajar Mahasiswa Kualifikasi Presentase Sangat Tinggi ≥ 76 Tinggi 56 ≤ < 76 Cukup 40 ≤ < 56 Kurang < 40 Pengambilan kesimpulan Data yang diperoleh kemudian dinalisis dan kemudian disimpulkan secara keseluruhan. C. HASIL DAN PEMBAHASAN Pemberian reward pada proses perkuliahan sangat berpengaruh terhadap motivasi belajar mahasiswa, dengan diberi reward berupa tambahan nilai, mahasiswa lebih termotivasi dalam belajar terutama dalam menyelesaikan soal. Dari 29 responden, 24 orang memiliki motivasi yang sangat tinggi dalam belajar, apabila pada saat pembelajaran diberikan reward (tambahan nilai) oleh dosen, dan 5 lainnya memiliki motivasi yang tinggi. Berikut ini penjabaran lebih detail tentang respon mahasiswa terhadap pernyataan-pernyataan yang diberikan: 149 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Tabel 3. Data Motivasi Belajar Mahasiswa ditinjau dari jumlah respon mahasiswa tiap pernyataan Pernyataan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 SL (4 ) Jumlah % 18 62 22 76 15 52 13 45 2 6 7 24 20 69 2 7 15 52 18 62 14 48 14 48 25 86 Alternatif Jawaban Siswa SR (3) KD (2) Jumlah % Jumlah % 5 17 6 21 6 21 1 3 11 38 3 10 10 34 6 21 7 24 0 0 14 48 8 28 9 31 0 0 13 45 14 48 9 31 5 17 6 21 5 17 15 52 0 0 14 48 1 4 4 14 0 0 KD (1) Jumlah % 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Berdasarkan Tabel 3 diperoleh bahwa 1. Senang diberi reward karena dapat menyelesaikan soal. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa 62 % responden selalu merasa senang diberi reward karena dapat menyelesaikan soal, 17% responden sering merasa senang diberi reward karena dapat menyelesaikan soal, 21% responden kadang-kadang merasa senang diberi reward karena dapat menyelesaikan soal. Dan tidak ada responden tidak pernah senang diberi reward karena dapat menyelesaikan soal. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberian reward sangat berpengaruh untuk meningkatkan motivasi mahasiswa untuk menyelesaikan soal. 2. Berusaha cepat-cepat mengerjakan tugas untuk mendapatkan reward (nilai tambahan). Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa 76 % responden selalu berusaha cepat-cepat mengerjakan tugas untuk mendapatkan nilai tambahan (reward), 21% responden sering berusaha cepat-cepat mengerjakan tugas untuk mendapatkan nilai tambahan (reward), 3% responden kadang-kadang berusaha cepat-cepat mengerjakan tugas untuk mendapatkan nilai tambahan (reward). Dan tidak ada responden tidak pernah berusaha cepat-cepat mengerjakan tugas untuk mendapatkan nilai tambahan (reward). Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberian reward sangat berpengaruh untuk meningkatkan motivasi mahasiswa untuk menyelesaikan soal dengan cepat. 150 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 3. Bersemangat menjawab pertanyaan/ soal yang diberikan untuk mendapatkan nilai tambahan (reward) Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa 52 % responden selalu bersemangat menjawab pertanyaan/ soal yang diberikan untuk mendapatkan reward, 38% responden sering bersemangat menjawab pertanyaan/ soal yang diberikan untuk mendapatkan reward, 10% responden kadang-kadang bersemangat menjawab pertanyaan/ soal yang diberikan untuk mendapatkan reward. Dan tidak ada responden tidak pernah bersemangat menjawab pertanyaan/ soal yang diberikan untuk mendapatkan reward. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberian reward sangat berpengaruh untuk meningkatkan semangat mahasiswa untuk menyelesaikan soal untuk mendapatkan reward. 4. Suka kalau di kelas, dosen selalu memberi reward. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa 45 % responden selalu suka berada di kelas jika Dosen memberikan reward, 34% responden sering suka berada di kelas jika Dosen memberikan reward, 21% responden kadang-kadang suka berada di kelas jika Dosen memberikan reward. Dan tidak ada responden tidak pernah suka berada di kelas jika Dosen memberikan reward. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberian reward sangat berpengaruh untuk memotivasi mahasiswa untuk selalu berada di kelas. 5. Lebih rajin belajar jika dosen selalu memberi nilai tambahan. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa 76 % responden selalu lebih rajin belajar jika dosen selalu memberi nilai tambahan, 24% responden sering Lebih rajin belajar jika dosen selalu memberi nilai tambahan, tidak ada responden kadang-kadang atau tidak ada responden tidak pernah lebih rajin belajar jika dosen selalu memberi nilai tambahan. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberian reward sangat berpengaruh untuk meningkatkan motivasi mahasiswa untuk lebih rajin belajar. 6. Akan bertanya jika menemukan kesulitan dalam menyelesaikan soal. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa 24% responden selalu bertanya jika menemukan kesulitan dalam menyelesaikan soal, 48% responden sering bertanya jika menemukan kesulitan dalam menyelesaikan soal, 48% responden kadang-kadang bertanya jika menemukan kesulitan dalam menyelesaikan soal dan tidak ada responden tidak pernah bertanya jika menemukan kesulitan dalam menyelesaikan soal. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberian reward sangat berpengaruh untuk meningkatkan motivasi mahasiswa untuk bertanya jika menemukan kesulitan dalam menyelesaikan soal. 7. Lebih giat belajar untuk mendapatkan nilai yang bagus. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa 69 % responden selalu lebih giat belajar untuk mendapatkan nilai yang bagus, 31% responden sering Lebih giat belajar untuk mendapatkan nilai yang bagus, tidak ada responden kadang-kadang atau tidak ada 151 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 responden tidak pernah lebih giat belajar untuk mendapatkan nilai yang bagus. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberian reward sangat berpengaruh untuk meningkatkan motivasi mahasiswa untuk lebih giat belajar untuk mendapatkan nilai yang bagus. 8. Mengulang pelajaran di rumah. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa 7 % responden selalu Mengulang pelajaran di rumah, 45% responden sering Mengulang pelajaran di rumah, 48% responden kadangkadang Mengulang pelajaran di rumah. Dan tidak ada responden tidak pernah Mengulang pelajaran di rumah. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberian reward sangat berpengaruh untuk memotivasi mahasiswa untuk selalu Mengulang pelajaran di rumah. 9. Dengan adanya reward, saya tertarik untuk belajar mata kuliah program linier. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa 52 % responden selalu tertarik untuk belajar mata kuliah program linier apabila ada reward, 31% responden sering tertarik untuk belajar mata kuliah program linier apabila ada reward, 17% responden kadang-kadang tertarik untuk belajar mata kuliah program linier apabila ada reward. Dan tidak ada responden tidak pernah tertarik untuk belajar mata kuliah program linier apabila ada reward. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberian reward sangat berpengaruh untuk memotivasi mahasiswa untuk belajar mata kuliah program linier. 10. Karena diberi reward, saya mengerjakan setiap tugas yang diberikan dosen. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa 62 % responden selalu mengerjakan setiap tugas yang diberikan dosen apabila ada reward, 21% responden sering mengerjakan setiap tugas yang diberikan dosen apabila ada reward, 17% responden kadang-kadang mengerjakan setiap tugas yang diberikan dosen apabila ada reward. Dan tidak ada responden tidak pernah mengerjakan setiap tugas yang diberikan dosen apabila ada reward. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberian reward sangat berpengaruh untuk memotivasi mahasiswa untuk mengerjakan setiap tugas yang diberikan dosen. 11. Dengan adanya reward, saya menjadi lebih aktif belajar di kelas. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa 48 % responden selalu lebih aktif belajar di kelas, 52% responden sering lebih lebih aktif belajar di kelas, tidak ada responden kadangkadang atau tidak ada responden tidak pernah aktif belajar di kelas. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberian reward sangat berpengaruh untuk meningkatkan motivasi mahasiswa untuk lebih aktif belajar di kelas. 12. Sebelum perkuliahan dimulai, saya mempersiapakan buku dan perlengkapan lainnya terlebih dahulu. 152 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa 48 % responden selalu mempersiapakan buku dan perlengkapan lainnya terlebih dahulu sebelum perkuliahan dimulai, 48% responden sering mempersiapakan buku dan perlengkapan lainnya terlebih dahulu sebelum perkuliahan dimulai, 4% responden kadang-kadang mempersiapakan buku dan perlengkapan lainnya terlebih dahulu sebelum perkuliahan dimulai. Dan tidak ada responden tidak pernah mempersiapakan buku dan perlengkapan lainnya terlebih dahulu sebelum perkuliahan dimulai. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberian reward sangat berpengaruh untuk memotivasi mahasiswa untuk mempersiapakan buku dan perlengkapan lainnya terlebih dahulu sebelum perkuliahan dimulai. 13. Merasa rugi jika tidak dapat mengikuti perkuliahan. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa 84 % responden selalu merasa rugi jika tidak dapat mengikuti perkuliahan, 14% responden sering merasa rugi jika tidak dapat mengikuti perkuliahan, tidak ada responden kadang-kadang atau tidak ada responden tidak pernah merasa rugi jika tidak dapat mengikuti perkuliahan. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberian reward sangat berpengaruh untuk meningkatkan motivasi mahasiswa untuk menghadiri perkuliahan program linier. D. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa pemberian nilai tambahan sebagai reward dalam proses perkuliahan dapat berpengaruh terhadap motivasi belajar mahasiswa. Dengan diberikan reward pada proses perkuliahan dapat membuat siswa lebih termotivasi dalam belajar, mereka juga menjadi bersemangat dalam mengerjakat tugas-tugas yang diberikan. PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Arikunto, Suharsimi. 1997. Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta. Sardiman AM. 2002. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Setyosari, Punaji. (2012). Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangannya. Edisi ke-2. Jakarta: Kencana 2012. Ratumanan, G. dan Laurens, Th. (2011).Penilaian Hasil Belajar Pada Tingkat Satuan Pendidikan.Edisi ke-2. Unesa University Press Sugiyono. 2010. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta http://blogkatte.blogspot.com/2009/12/menentukan-instrumen-penelitian.htm. Diunggah 14 januari 2014 153 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN REPREESENTASI SISWA KELAS VII MTsN BATUSANGKAR KABUPATEN TANAH DATAR Prima Dona Putri Jamil Mahasiswa Pascasarjana FMIPA UNP, Jln. Prof. Dr. Hamka Air Tawar, Padang, Indonesia e-mail: [email protected] Abstrak. Perangkat pembelajaran yang dipakai di sekolah-sekolah seperti RPP dan LKS belum optimal dalam membantu siswa membangun pemahamannya. Untuk itu, perludi kembangkan perangkat pembelajaran matematika yang dapat memberikan kesempatan bagi siswa untuk menemukan konsep dari materi pembelajarannya sendiri. Pemahaman konsep yang merupakan salah satu dan sekaligus yang utama sebagai komponen kecakapan matematika yang perlu dikembangkan dalam matematika. Pemahaman konsep dalam matematika berkaitan erat dengan representasi dalam matematika yang merujuk pada proses dan produk. Bentuk representasi merupakan proses kognisi yang berhubungan dengan memori siswa yang disebut representasi internal yaitu ide-ide atau peristiwa-peristiwa dalam pikiran akan dituangkan sebagai produk melalui aktivitas matematika (doing mathematics) yang disebut representasi eksternal. Multi representasi, seperti: verbal, tabel, diagram, grafik, model, simbol, merupakan bagian dari pelajaran matematika, namun representasi tersebut terkadang dipelajari hanya sebagai pelengkap dalam penyelesaian masalah matematika, sebaiknya dilatih sedini mungkin. Pendekatan merupakan salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk membantu siswa dalam memahami konsep matematika dan meningkatkan kemampuan representasinya. Melalui pendekatan konruktivisme dapat membantu siswa dalam memahami setiap konsep-konsep matematika yang dipelajari, dan dapat mengantisipasi terhindar dari kekeliruan konsep dalam matematika sehingga siswa mendukung siswa untuk meningkatkan kemampuan representasinya.Penelitian pengembangan ini menggunakan model formative evaluation. Model ini dikembangkan oleh Tjeerd Plomp yang terdiri dari 3 tahap, yaitu preliminary, prototyping dan assesment. Perangkat pembelajaran yang dikembangkan adalah Lembar Kerja Siswa (LKS) dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Subjek penelitian adalah siswa kelas VII MTsN Batusangkar. Validasi dilakukan oleh pakar/dosen pendidikan matematika, teknologi pendidikan, bahasa dan guru matematika. Kepraktisan perangkat pembelajaran dilihat dari hasil pengamatan pelaksanaan pembelajaran, pengisian angket praktikalitas oleh siswa dan guru serta melakukan wawancara dengan siswa dan guru. Keefektifan dilihat dari hasil aktivitas dan hasil belajar siswa. Data yang terkumpul dianalisa secara deskriptif. Kata Kunci : perangkat pembelajaran matematika, , representasi A. PENDAHULUAN Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang penting dalam system pendidikan Indonesia. matematika merupakan bidang studi yang dipelajari oleh semua siswa dari SD hingga SLTA dan bahkan juga di perguruan tinggi. Atas dasar itu, pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik sejak sekolah dasar (SD), untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berfikir logis, analitis, sistematis, kritis, kreatif, dan kemampuan bekerja sama. 154 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Matematika adalah angka-angka perhitungan yang merupakan bagian dari hidup manusia. Mata pelajaran matematika sangat penting peranannya dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Matematika menolong manusia memperkirakan secara eksak berbagai ide dan kesimpulan. Matematika adalah pengetahuan atau ilmu mengenai logika dan problem – problem menarik. Banyak hal disekitar kita yang selalu berhubungan dengan matematika seperti jual beli barang, menukar uang, mengukur jarak dan waktu, pembagian harta warisan, bahkan matematika merupakan dasar dari berbagai ilmu pengetahuan. Karna begitu banyaknya manfaat dari matematika maka dari itulah penting bagi kita untuk belajar matematika. Cornelius dalam Mulyono (2003:253) mengemukakan lima alasan perlunya belajar matematika karena matematika merupakan: (1) sarana berpikir yang jelas dan logis, (2) sarana untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari, (3) sarana mengenal pola-pola hubungan dan generalisasi pengalaman, (4) sarana untuk mengembangkan kreativitas, dan (5) sarana untuk meningkatkan kesadaran terhadap perkembangan budaya. Mengingat begitu pentingnya matematika dalam kehidupan, maka pemerintah telah melakukan berbagai usaha untuk meningkatkan mutu atau sistem pengajaran matematika, diantaranya meningkatkan kualitas guru matematika melalui pelatihan, melengkapi sarana dan prasarana pendidikan serta penyempurnaan kurikulum. Berdasarkan hasil studi internasional yang dilakukan Third International Mathematics and Science Study (TIMSS), dilaporkan bahwa pembelajaran matematika pada umumnya masih berfokus pada pengembangan berpikir tahap rendah yang bersifat prosedural (Mullis dkk, 2000). Berbagai hasil pengamatan peneliti di lapangan cenderung mengemukakan sebagian besar guru masih menggunakan pembelajaran biasa atau langsung. Proses pembelajaran yang masih berfokus pada guru. Guru kurang memacu aktivitas siswa. Selain itu, selama ini pembelajaran matematika yang diberikan guru belum mengembangkan kreativitas siswa. Guru mengambil porsi dominan dalam proses pembelajaran. Padahal agar terlaksananya proses pembelajaran dengan baik, maka untuk itu para guru dituntut untuk selalu meningkatkan diri baik dalam pengetahuan matematika maupun pengelolaan proses pembelajaran. Seorang guru merupakan salah satu faktor penentu kelancaran dalam proses pembelajaran. Kegiatan tersebut melibatkan siswa dan guru. Pada proses pembelajaran terdapat interaksi antara siswa dan guru. Kebanyakan siswa belum dapat membuat hubungan antara apa yang mereka pelajari dan bagaimana pengetahuan tersebut dapat diaplikasikan dalam kehidupan mereka. Siswa cenderung menghafal rumus dari pada memahami konsep matematika yang diberikan sehingga berakibat siswa kurang mampu menentukan dan menerapkan konsep matematika yang diperlukan saat diberikan latihan. Masih banyak siswa yang bingung menentukan konsep mana yang diperlukan 155 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 pada suatu soal.Siswa suka cepat menyerah dan kurang termotivasi untuk menyelesaikan persoalan matematika sehingga latihan dikerjakan kurang serius. Saat diberikan contoh soal dalam proses pembelajaran, sepertinya siswa mengikuti dengan baik, tetapi saat diberikan pertanyaan dan latihan, beberapa siswa masih belum mampu berpikir sendiri bagaimana menyelesaikan soal tersebut. Walaupun telah diberikan arahan dan bimbingan oleh guru namun siswa masih kurang mampu menentukan konsep yang sesuai.Dalam menyelesaikan persoalan matematika,sering kali siswa kurang termotivasi untuk menyelesaikannya karena kurang menyadari bahwa apa yang mereka pelajari sangatlah berguna dalam kehidupan nyata mereka sehingga mereka belum merasakan kebutuhan untuk memahami materi tersebut. Padahal dalam pembelajaran matematika siswa diharapkan mampu untuk mengenal pola-pola hubungan dan generalisasi pengalaman atau yang sering kita sebut dengan representasi. hal ini sesuai dengan pendapat (NCTM, dalam Tarwiyah, 2011:4) merekomendasikan bahwa ada lima kompetensi standar yang diutamakan yaitu kemampuan pemecahan masalah (problem solving), kemampuan komunikasi (communication), kemampuan koneksi (connection), kemampuan penalaran (reasoning), dan kemampuan representasi (representation). Representasi matematika merupakan suatu hal yang selalu muncul ketika orang mempelajari matematika pada semua tingkatan pendidikan, maka representasi dipandang sebagai suatu komponen yang layak mendapatkan perhatian serius. Oleh karena itu dalam pembelajaran matematika di sekolah kemampuan mengungkapkan gagasan/ide matematik dan merepresentasikan gagasan/ide matematik merupakan suatu hal yang harus dilalui oleh setiap orang yang sedang belajar matematika. Kemampuan representasi itu sendiri merupakan suatu konfigurasi (bentuk atau susunan) yang dapat menggambarkan, mewakili, atau melambangkan sesuatu dalam suatu cara. Contohnya, suatu kata dapat menggambarkan suatu objek kehidupan nyata atau suatu angka dapat mewakili suatu posisi dalam garis bilangan (Goldin dalam Tarwiyah, 2011:17). Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kemampuan representasi matematika siswa masih tergolong rendah. Hal ini berdasarkan hasil penelitian Tarwiyah (2011:8-9) yang mengemukakan bahwa kemampuan representasi siswa SMP Angkasa LANUD masih tergolong rendah. Hal itu juga terlihat dari penelitian yang dilakukan Aisyah (2012). Rendahnya kemampuan representasi siswa disebabkan oleh beberapa factor, diantaranya adalah kurangnya kemampuan siswa untuk mengungkapkan gagasan atau ide, kurangnya keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar, model pembelajaran yang diterapkan cenderung teoritik dan kurang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. 156 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Hal yang sama juga dikemukakan oleh Eis Sri Wahyuningsih (2012:11) bahwasanya kemampuan representasi siswa masih rendah. Hal ini disebabkan oleh beberapa factor, diantaranya yaitu: kurangnya motivasi siswa dalam mendengarkan dan membaca soal yang diberikan, kurangnya kemandirian siswa dalam belajar dengan cara bekerja sama dengan siswa lain, kurangnya keberanian siswa untuk mempresentasikan jawaban yang mereka peroleh. Dari beberapa hasil penelitian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan reprsentasi matematika siswa masih tergolong rendah. Untuk itu perlu dilakukan suatu pembelajaran yang melibatkan siswa aktif dan kreatif dalam pembelajaran yaitu dengan pendekatan . Pendekatan ini memberi siswa kesempatan untuk memperoleh pengetahuan, pengalaman, menemukan, mengenali dan memecahkan masalah dengan beberapa cara yang berbeda serta dapat meningkatkan representasi siswa terhadap suatu masalah. Agar efektif dan efisiennya penerapan proses pembelajaran menggunakan penekatan ini harus didukung oleh bahan ajar yang memadai. Berdasarkan observasi yang telah dilakukan di MTsN Batusangkar, pada tahun ajaran 2015-2016 MTsN memakai kurikulum tiga belas sebagai kurikulum acuan pembelajaran. Bahan ajar yang digunakan peserta didik pada saat ini hanya bergantung pada buku paket yang disediakan pemerintah dan bahan ajar yang di buat guru. Ketersediaan buku paket yang masih kurang dan bahan ajar yang digunakan tersebut belum memiliki standar validitas dan efektivitas yang baik. Bahan ajar yang ada terkadang ada yang belum direvisi dari tahun ke tahun. Begitu juga dengan bahan ajar yang ada. Kemampuan siswa MTsN Batusangkar yang terbatas dan cendrung lemah dalam bidang matematika maka penyajian materi, contoh soal dan soal-soal latihan dalam buku paket atau bahan ajar yang ada tersebut masih susah dipahami peserta didik dengan baik sehingga sulit baginya untuk terlibat aktif dalam pembelajaran. Hal ini terlihat dari adanya beberapa peserta didik yang mendapatkan nilai dibawah kriteria ketuntasan minimmal yang sudah ditetapkan sehingga diperlukan pembelajaran remedial yang berulang. Padahal motivasi, aktivitas, dan hasil belajar yang akan dicapai peserta didik pada proses pembelajaran dapat ditingkatkan dengan adanya kegiatan belajar yang dilakukan di kelas. Kegiatan belajar peserta didik yang akan terjadi di kelas dapat dibantu dengan memberikan lembar kegiatan siswa. Menurut Trianto (2009: 223) lembar kegiatan siswa (LKS) adalah panduan yang memuat sekumpulan kegiatan mendasar yang harus dilakukan oleh siswa untuk memaksimalkan pemahaman dalam upaya pembentukan kemampuan dasar sesuai indikator pencapaian hasil belajar yang harus ditempuh. LKS berfungsi sebagai bahan ajar yang kaya tugas untuk berlatih dalam memaksimalkan pemahaman dan pembentukan konsep terhadap materi yang dipelajari oleh siswa. LKS dirancang dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh siswa. 157 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Berdasarkan hasil analisis dokumen terhadap LKS yang digunakan di beberapa sekolah di Tanah datar menunjukkan bahwa LKS hanya menyajikan materi berupa poin-poin penting saja. Materi yang disajikan sangat ringkas sehingga siswa tidak melihat proses untuk menemukan konsep tersebut. Penyajian materi seperti ini, siswa hanya diberikan fakta dan informasi tanpa diberi kesempatan untuk mengevaluasi dan menyimpulkan sendiri materi yang dipelajari. Melalui penyajian materi yang berupa rangkuman tersebut, tidak tersedia kesempatan bagi siswa untuk berpikir kritis dan kreatif. Rangkuman materi seperti itu hanya mengajarkan kepada siswa untuk menghafalkan fakta-fakta tanpa memberikan kesempatan kepada siswa untuk memikirkan materi secara lebih mendalam. Padahal LKS yang digunakan seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai sarana pendukung yang dapat menfasilitasi siswa untuk berpartisipasi aktif dalam pembelajaran. Hal ini sejalan dengan penerapan kurikulum duaribu tiga belas yang menyebutkan bahwa salah satu prinsip dalam pelaksanaan pembelajaran adalah mendorong siswa agar dapat berpartisipasi aktif dalam pembelajaran. Konsep yang harus diketahui siswa hendaknya tidak disajikan secara instan tapi merupakan hasil konstruksi dari siswa sendiri dengan mengoptimalkan pengetahuan awal yang telah dimilikinya. Agar proses konstruksi ini berjalan lebih mudah bagi siswa, maka bahan ajar yang digunakan harus disusun sedemikian rupa supaya lebih menarik, mudah dipahami dan digunakan oleh siswa. LKS berbasis konstruktivisme memuat bagaimana cara siswa mengkonstruksi pengetahuannya. LKS ini dibuat secara bertahap untuk melatih dan meningkatkan keterampilan serta pemahaman siswa untuk menyelesaikan soal yang diberikan. Melalui LKS ini siswa dituntun untuk menemukan atau mengkonstruksi pengetahuan matematikanya. Perencanaan yang tepat dan matang dibutuhkan agar penggunaan LKS berbasis konstruktivisme berjalan dengan maksimal. Perencanaan pembelajaran yang terangkum dalam RPP dikembangkan berdasarkan silabus dan prinsip-prinsip pembelajaran konstruktivisme. RPP berbasis konstruktivisme berisi tahapan-tahapan yang dapat membantu siswa untuk mengembangkan motivasi, menggali ide-ide dan mendiskusikannya serta menyimpulkan sendiri materi yang dipelajari. Hal inilah yang mendorong penulis untuk melakukan sebuah penelitian pengembangan mengenai perangkat pembelajaran berbasis yang dapat membimbing peserta didik dalam memahami konsep pembelajaran matematika yang diberikan di kelas. Penelitian yang akan penulis lakukan berupaya untuk mengembangkan sebuah lembar kegiatan siswa (LKS) yang diharapkan dapat membantu peserta didik untuk memaksimalkan pemahamannya dalam upaya pembentukan kemampuan dasar sesuai indikator pencapaian hasil belajar. 158 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Berdasarkan pemaparan tersebut, dilakukan penelitian tentang pengembangan perangkat pembelajaran berbasis konstruktivisme yang diharapkan dapat menjadikan siswa lebih aktif, kreatif dan termotivasi sehingga siswa dapat memahami konsep dengan baik. Pengembangan ini diwujudkan dalam sebuah penelitian yang berjudul pengembangan perangkat pembelajaran matematika berbasis pendekatan konstruktivisme untuk meningkatkan kemampuan repreesentasi siswa kelas VII MTsN Batusangkar Kabupaten Tanah Datar B. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian pengembangan dengan menggunakan model Plomp, yang terdiri atas tiga fase, yaitu fase investigasi awal (preliminary research),fase pengembangan atau pembuatan prototipe (prototyping stage), dan fase penilaian (assessment stage. Fase investigasi awal (preliminary research) terdiri dari analisis kebutuhan, analisis kurikulum, analisis konsep dan analisis siswa.Pada prototyping stage, pembuatan prototipe ini dilakukan evaluasi formatif. Fase pengembangan atau pembuatan prototype (prototyping stage) terdiri atas prototype 1, yaitu evaluasi diri sendiri (self evaluation) dan expert review; prototype 2yaitu one to one; prototype 3 yaitusmall group; prototype 4, yaitu field test, Pada fase penilaian (assessment stage), dilakukan uji lapangan pada siswa kelas VII MTsN Batusangkar untuk melihat praktikalitas dan efektivitas.Data penelitian dikumpulkan melalui lembar self evaluation, lembar validasi, lembar observasi dan pedoman wawancara, lembar angket respon guru dan siswa, lembar observasi keterlaksanaan RPP, lembar observasi keaktifan siswa dan tes akhir hasil belajar. C. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Investigasi Awal (Analisis Pendahuluan) Tujuan tahap ini adalah untuk menetapkan dan mendefenisikan syarat-syarat yang dibutuhkan dalam pengembangan perangkat pembelajaran matematika.Tahap ini dilakukan dengan menganalisis tujuan dalam batasan materi pelajaran yang dikembangkan. Ada empat langkah pokok dalam dalam tahap ini, yaitu: a. Analisis Kebutuhan Pengumpulan informasi dilakukan dengan cara mewawancarai dan melakukan observasi pelaksanaan pembelajaran matematika di kelas. Wawancara dengan guru dilakukan secara informal.Wawancara ini terkait beberapa hal diantaranya kendala yang ditemui siswa dalam belajar dan topik-topik pelajaran yang dianggap sulit bagi siswa.Hasil yang diperoleh dari analisis kebutuhan tersebut adalah masih dapat dioptimalkannya perangkat pembelajaran matematika yang digunakan.Dari hasil wawancara dengan guru, guru menjelaskan bahwa RPP yang digunakan belum terlihat dengan jelas rincian 159 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 langkah kegiatan pembelajaran yang sesuai dengan model dan pendekatan pembelajaran yang digunakan sendiri.Inidisebabkan untuk masih membantu terbatasnya siswa mengkonstruksi kemampuan guru pengetahuannya dalam mendesain pembelajaran. Sering guru mengeluh, kadang telah mempersiapkan RPP akan tetapi tidak sesuai pada pelaksanaannya. LKS yang digunakan juga belum membantu secara optimal pelaksanaan RPP dengan baik. Kebutuhan guru akan perangkat pembelajaran matematika yang valid, praktis dan efektif sangat dirasakan perlu. b. Analisis Kurikulum Analisis kurikulum bertujuan untuk menganalisis standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran matematika pada kurikulum 2013 untuk SMP/MTs. Tanpa adanya kurikulum yang baik dan tepat maka akan sulit dalam mencapai tujuan dan sasaran pendidikan yang dicita-citakan. Dalam hal ini dilakukan telaah terhadap Kurikulum 2013 yang digunakan di MTsN Batusangkar untuk kelas VII, Analisa ini dilakukan untuk mempelajari cakupan materi, tujuan pembelajaran, dan strategi yang dipilih sebagai landasan mengembangkan perangkat pembelajaran yang akan dilakukan. Analisis ini berupa penentuan indikator dari materi barisan dan deret yang akan dikembangkan perangkat pembelajarannya. Analisis kurikulum ini bertujuan untuk mengorganisasikan materi dan menentukan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada setiap pertemuan. Berdasarkan analisis kurikulum yang dilakukan diperoleh pengembangan terhadap indikator-indikator dari setiap kompetensi dasar materi barisan dan deret. Indikator yang dikembangkan berdasarkan pada pembelajaran berbasis pendekatan kontruktivisme.Indikator yang dikembangkan terdapat pada Tabel 1. 160 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Tabel 1. KD dan Indikator Pencapaian Kompetensi Kompetensi Dasar 3.6. Mengidentifikasi sifatsifat bangun datar dan menggunakannya untuk menentukan keliling dan luas. 3.8. Menaksir dan menghitung luas permukaan bangun datar yang tidak beraturan dengan menerapkan prinsip-prinsip geometri 4.7. Menyelesaikan permasalahan nyata yang terkait penerapan sifat-sifat persegi panjang, persegi, trapesium, jajargenjang, belah ketupat, dan layanglayang Indikator Sebelum Analisis 3.6.1Menentukan jenis segi empat. 3.6.2Menentukan sifat-sifat segi empat. 3.8.1 Menentukan keliling persegi panjang dan persegi 3.8.2 Menentukan luas persegi panjang dan persegi 3.8.3 Menentukan keliling jajargenjang dan belah ketupat. 3.8.4 Menentukan luas jajargenjang dan belah ketupat. 3.8.5 Menentukan keliling trapezium dan layang-layang 3.8.6 Menentukan luas trapesium dan layang-layang 4.7.1Menyelesaikan permasalahan nyata yang terkait penerapan sifat-sifat persegi panjang, persegi, trapesium, jajargenjang, belah ketupat, dan layang-layang Indikator Sesudah Analisis 3.6.1 Menentukan jenis segi empat yang terbentuk dari masalah nyata. 3.6.2 memahami konsep sifat-sifat segi empat berdasarkan masalah di kehidupan sehari-hari sehingga siswa dapat Menentukan sifat-sifat segi empat. 3.8.1. memahami konsep keliling pesegi panjang dan persegi berdasarkan masalah di kehidupan sehari-hari sehingga siswa dapat Menentukan keliling pesegi panjang dan persegi 3.8.2 Memahami konsep luas pesegi panjang dan persegi berdasarkan masalah di kehidupan sehari-hari sehingga siswa dapat Menentukan luas pesegi panjang dan persegi 3.8.3. Memahami konsep keliling jajargenjang dan belah ketupat berdasarkan masalah di kehidupan sehari-hari sehingga siswa dapat Menentukan keliling jajargenjang dan belah ketupat 3.8.4. Memahami konsep luas jajargenjang dan belah ketupat berdasarkan masalah di kehidupan sehari-hari sehingga siswa dapat Menentukan luas jajargenjang dan belah ketupat 3.8.5. memahami konsep keliling trapesium dan layang-layang berdasarkan masalah di kehidupan sehari-hari sehingga siswa dapat Menentukan keliling trapesium dan layang-layang 4.7. Memahami konsep sifat-sifat persegi panjang berdasarkan masalah di kehidupan sehari-hari sehingga siswa dapat menyelesaikan masalah berkaitan dengan sifat-sifat segi empat c. Analisis Siswa Analisis siswa dilakukan dengan mewawancarai dan memberikan angket kepada 10 orang siswa dan empat orang guru matematika MTsN Batusangkar. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik siswa yang meliputi: kemampuan akademis siswa, gaya belajar, tingkat perkembangan kemampuan berpikir dan aktivitas belajar siswa dalam belajar matematika. Wawancara ini dijadikan sebagai latar belakang perancangan perangkat pembelajaran yang akan dikembangkan agar sesuai dengan karakteristik siswa. Berdasarkan hasil wawancara dan angket tersebut diperoleh data bahwa siswa membutuhkan LKS yang menarik dari segi warna dan tampilan dan mempunyai langkah-langkah dapat membimbing mereka menemukan konsep pembelajarannya sendiri.Selain itu masalah yang diberikan mempunyai kaitan yang erat 161 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 dengan kehidupan siswa.Dalam penelitian yang akan dilakukan, siswa yang dijadikan subjek adalah siswa kelas VII MTsN Batusangkar d. Analisis Konsep Pada tahap ini dilakukan kegiatan mengidentifikasi, merinci, dan menyusun secara sistematis materi-materi utama yang akan dipelajari oleh siswa. Selanjutnya materi tersebut disusun secara hirarkis.Sesuai materi yang akan dikembangkan maka dirinci dan disusun secara garis besar, mulai dari pengertian, cara menemukan konsepnya, dan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari, serta menggunakan dalam pemecahan masalah sehari-hari. Hasil Preliminary Research dijadikan dasar pada pengembangan atau pembuatan prototype. Setelah indikator dirumuskan, serta peta konsep ditetapkan maka langkah selanjutnya adalah merancang perangkat pembelajaran berupa RPP dan LKS berbasis pendekatan kontruktivisme.. Berikut ini akan diuraikan karakteristik RPP dan LKS berbasis pendekatan kontruktivisme yang telah dirancang. 1) Karakteristik RPP Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) merupakan pedoman bagi guru dalam melaksanaan pembelajaran.RPP disusun untuk setiap KD yang dapat dilaksanakan dalam satu kali pertemuan atau lebih. Guru merancang penggalan RPP untuk setiap pertemuan yang disesuaikan dengan penjadwalan di satuan pendidikan. Hasil rancangan RPP yang dibuat adalah pada materi matematika kelas VII semester 2 MTs/SMP Kegiatan pembelajaran terdiri dari tiga tahap yaitu pendahuluan, inti dan penutup.Di dalam ketiga kegiatan tersebut terdapat langkah-langkah pembelajaran berbasis pendekatan .Kegiatan pendahuluan merupakan tahap untuk menyampaikan tujuan pembelajaran dan memotivasi yang berfungsi untuk membangkitkan motivasi dan memfokuskan perhatian siswa untuk berpastisipasi aktif dalam proses pembelajaran serta menciptakan suasana pembelajaran yang responsif. Kegiatan pembelajaran dalam RPP diawali dengan mengajak siswa berpikir kaitan materi yang akan dipelajari dengan permasalahan sehari-hari yang diketahui siswa sehingga dapat memotivasi siswa untuk belajar lebih baik. Kegiatan pembelajaran dalam RPP mengarahkan siswa untuk berdiskusikan agar menemukan konsep dan mengembangkan kemampuan representasinya. Kegiatan pembelajaran dalam RPP mengarahkan agar siswa menyelesaikan soal-soal kegiatan siswa dalam LKS, kemudian saling berbagi ide-ide dan pengetahuan yang diperoleh dalam kelompoknya. Sebagai kegiatan penutup dilakukan kegiatan refleksi dari 162 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 pembelajaran yang telah dilakukan. Selanjutnya kegiatan pembelajaran dalam RPP menjelaskan bahwa guru akan melakukan kegiatan penilaian pada setiap proses pembelajaran. LKS yang baik adalah LKS yang dapat digunakan sesuai kemampuan siswa.Kemampuan siswa yang berbeda-beda memungkinkan untuk belajar dengan sistem diskusi kelompok. Pembelajaran dengan sistem kelompok yang bersifat heterogen, akan membuat siswa dengan kemampuan rendah dapat belajar dengan anggota kelompok yang memiliki kemampuan tinggi. Oleh karena itu perlu dipilih model diskusi kelompok yang tepat agar semua anggota kelompok dapat berperan aktif dalam diskusi kelompok. Model pembelajaran yang dipilih adalah kooperatif learning. 2) Karakteristik LKS LKS yang dikembangkan sesuai kompetensi inti, kompetensi dasar, indikator dan tujuan pembelajaran. Penyajian materi pada LKS dimulai dengan kegiatan pendahuluan yang menyajikan gambar atau cerita singkat dan menarik yang dekat dengan kehidupan sehari-hari yang dapat membimbing proses berpikirnya untuk menemukan sendiri konsep dari materi yang dipelajari yang diberi nama “tahap pengenalan”. LKS menyediakan tempat bagi siswa untuk melaksanakan kegiatan inkuiri. LKS memiliki contoh-contoh soal dan penyelesaiannya sebagai model pembelajaran yang dapat dipelajari siswa sendiri.Selanjutnya LKS menyediakan tempat bagi siswa untuk membuat rangkuman pembelajaran sebagai tahap refleksi. Untuk melihat tingkat pemahaman siswa, LKS memiliki soal-soal latihan sebagai penilaian yang diberi nama “mari berlatih”. Soal-soal yang disajikan dapat mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan siswa. LKS menggunakan bahasa baku yang komunikatif dan tidak ambigu sehingga mudah dipahami oleh siswa. Penggunaan simbol dan istilah yang baru dikenal oleh siswa dijelaskan secara rinci pada bagian akhir pokok bahasan (jika ada) agar siswa tidak salah memahami penggunaan simbol dan istilah. D. KESIMPULAN Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan yang akan menghasilkan perangkat pembelajaran berbasis pendekatan yang valid, praktis dan efektif untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa kelas VII MTsN. Berdasarkan analisis kebutuhan (Preliminary Research) diambil kesimpulan bahwa guru dan siswa memerlukan perangkat pembelajaran yang 163 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 dapat menciptakan pembelajaran yang bermakna bagi siswa. Peneliti menyarankan bagi guruguru untuk dapat merancang pengembangan perangkat pembelajaran berbasis pendekatan pada materi lainnya dan dapat dijadikan pedoman bagi guru dalam melaksanakan pembelajaran. DAFTAR PUSTAKA 1. Aisyah, Siti. (2012). Meningkatkan Kemampuan Representasi dan Pemecahan Masalah Matematis melalui Mathematical Modelling dalam Model Problem Based Learning. Tesis SPs UPI Bandung. Tidak Diterbitkan. 2. Alhadad, S.F. (2010). Meningkatkan Kemampuan Representasi Multiple Matematis, Pemecahan Masalah Matematis dan Self-esteem Siswa SMP melalui Pembelajaran dengan Pendekatan OpenEnded. Disertasi SPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan. 3. Dewanto, S.P. (2006). Upaya Meningkatkan Kemampuan Multiple Representasi Matematik melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Disertasi SPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan. 4. Effendi, Leo Adhar. (2012). Pembelajaran Matematika dengan Metode Penemuan Terbimbing untuk Meningkatkan Kemampuan Representasi dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP. Tesis SPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan. 5. Effendi, Zakaria, 2007.Trend Pengajaran dan Pembelajaran Matematik. Kuala Lumpur:Lohprint SDN,BHD 6. Hamzah B. Uno.2009.Model Pembelajaran, Menciptakan Proses BelajarMengajar yang KreatifdanEfektif, Jakarta: PT. BumiAksara 7. Hudiono, B. (2005). Peran Pembelajaran Dikursus Multi Representasi terhadap Pengembangan Kemampuan Matematik dan Daya Representasi pada Siswa. Disertasi SPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan. 8. Hutagaol, K. (2007). Pembelajaran Matematika Kontruktivisme untuk Meningkatkan Kemampuan Representasi Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama. Tesis SPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan. 9. Hutagaol, K. (2012). Strategi Multirepresentasi dalam Kelompok Kecil untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa SMP. Disertasi SPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan. 10. Hudojo, Herman. 1990. StrategiMengajar Belajar Matematika. Malang: IKIP Malang 11. Sri Wahyuningsih, Eis. 2012. Perbadaan Peningkatan Kemampuan Penalaran dan Representasi Matematis Siswa Sekolah Dasar Dengan Menggunakan Pembelajaran Kooperatif Tipe CIRC. Program Studi Pendidikan Matematika Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Medan : Medan. 12. Tarwiyah. 2011. Meningkatkan Kemmapuan Pemecahan Masalah yang Menekankan Pada Representasi Matematik Melalui Pmenbelajaran Berbasis Masalah Untuk Sekolah Menengah Pertama. Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Medan : Medan. 13. Trianto. 2009. Model-Model Pembelajaran Inovatif Beriorientasi Konstruktivistik, Konsep, Landasan Teoritis-Praktis dan Implementasinya. Prestasi Pustaka : Jakarta. 164 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 PENGARUH PENDEKATAN PROBLEM CENTERED LEARNING TERHADAP KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA KELAS X SMA NEGERI KABUPATEN SOLOK Radhya Yusri Sekolah Tinggi Keguruandan Ilmu Pendidikan( STKIP ) PGRI Sumbar E-mail:[email protected] Abstrak. Kemampuan pemahaman konsep matematika siswa SMA Negeri Kabupaten Solok masih rendah. Hal ini terjadi karena proses pembelajaran masih terpusat pada guru dan kurangnya kemampuan siswa dalam memahami materi. Alternatifsolusiuntukmengatasimasalahtersebutadalahdenganpendekatan Problem Centered Learning.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pendekatan Problem Centered Learning dan kemampuan awal siswa terhadap kemampuan pemahaman konsep. Penelitian dilakukan di dua kelas yaitu kelas eksperimen dan kontrol. Pembelajaran pada kelas eksperimen dengan menggunakan pendekatan Problem Centered Learning sedangkan pada kelas kontrol dengan menggunakan pembelajaran konvensional. Siswa dibagi dalam dua kelompok yakni tingkat kemampuan awal tinggi dan rendah. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji t dan anava 2 arah untuk n berbeda. Hasil analisis data menunjukkan bahwa: 1) kemampuan pemahaman konsep siswa yang menggunakan pendekatan Problem Centered Learning lebih tinggi dari siswa yang menggunakanpembelajarankonvensional2) kemampuanpemahamankonsep matematika siswa berkemampuan awal tinggiyang menggunakan pendekatan Problem Centered Learning lebihtinggidaripada siswa yang menggunakanpembelajarankonvensional 3) kemampuanpemahamankonsep matematika siswa berkemampuan awal rendahyangmenggunakan pendekatan Problem Centered Learning lebih tinggi dari siswa yang menggunakanpembelajarankonvensional 4) tidakterdapat interaksi antara pendekatan Problem Centered Learning dan kemampuan awal dalammempengaruhikemampuanpemahamankonsep matematika siswa. Kata kunci:Problem Centered Learning, Kemampuan Pemahaman Konsep. A. PENDAHULUAN Matematika mempunyai peranan penting dalam berbagai disiplin ilmu yaitu memajukan daya pikir manusia dan sebagai dasar perkembangan teknologi modern. Peranan matematika bukan hanya memberikan kemampuan dalam perhitungan-perhitungan kuantitatif tetapi juga dalam penataan cara berpikir dan pembentukan kemampuan menganalisis, membuat sintesis, melakukan evaluasi hingga kemampuan menyelesaikan masalah. Pembelajaran hendaknya lebih ditekankan pada upaya guru mendorong atau memfasilitasi agar siswa belajar, bukan pada apa yang dipelajari siswa. Jadi, pembelajaran matematika merupakan upaya guru mendorong atau memfasilitasi siswa mengkonstruksi pengetahuannya terhadap matematika. Guru seharusnya bisa mengembangkan potensi yang ada pada diri siswa karena setiap siswa mempunyai potensi yang berbeda-beda. Untuk itu, guru harus mampu menggali potensi yang ada pada semua siswa terutama kemampuan siswa dalam memahami konsep 165 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 untuk menyelesaikan masalah. Pemahaman konsep menjadi dasar yang sangat penting dalam menyelesaikan masalah, karena dalam menyelesaikan masalah diperlukan penguasaan konsep yang mendasari untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Oleh karena itu, untuk memahami konsep matematika, siswa terlebih dahulu harus memahami konsep yang menjadi prasyarat dari materi tersebut. Dalam hal ini kemampuan awal berpengaruh terhadap kemampuan mereka dalam memahami konsep tersebut. Ketika siswa memiliki pemahaman konsep dalam wilayah matematika, mereka akan melihat hubungan antar konsep-konsep dan prosedur penyelesaiannya serta mereka dapat memberikan pendapat ketika menjelaskan alasan. Proses pembelajaran bukan lagi sekedar pengetahuan kepada siswa, tetapi merupakan proses perolehan konsep yang melibatkan siswa secara aktif dan langsung dalam menyelesaikan permasalahan. Apabila konsep tersebut sudah ada dalam pikiran siswa, maka permasalahan apapun akan dapat diselesaikan. Karena dari pemahaman konsep yang dimiliki siswa tersebut, siswa akan mengkaji informasi yang dapat digunakan. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kemampuan pemahaman konsep siswa masih rendah. Hal ini disebabkan pembelajaran yang dilakukan kurang mendukung kemampuan pemahaman konsep siswa. Pembelajaran masih didominasi oleh guru. Proses pembelajaran umumnya diawali dengan definisi, menghafal rumus-rumus kemudian memberikan contoh soal dan selanjutnya siswa diberi latihan yang serupa dengan contoh soal yang diberikan. Disamping itu, hasil wawancara peneliti terhadap beberapa siswa terungkap bahwa pada saat menyelesaikan soal matematika siswa sulit untuk memahami maksud soal dan kurang mengerti cara menyelesaikan soal yang diberikan. Mereka tidak dapat menyebutkan dan menerapkan konsep secara benar. Berdasarkan kondisi yang telah dikemukakan tersebut, maka diperlukan sebuah pembelajaran yang dapat mengoptimalkan kemampuan pemahaman konsep siswa. Salah satu pembelajaran yang diperkirakan dapat mengembangkan kemampuan pemahaman konsep siswa adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered). Salah satu alternatif pembelajaran yang berpusat pada siswa (centered learning) adalah pendekatan Problem Centered Learning (PCL). Pendekatan PCL merupakan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada masalah dimana terjadi kegiatan bernegosiasi antar siswa dan siswa dengan guru. Pendekatan PCL menurut Jokubowski (Hafriani, 2004) merupakan aktivitas pembelajaran yang menekankan belajar melalui penelitian. Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan PCL memungkinkan siswa menstimulasi pikirannya untuk membuat konsep-konsep yang ada menjadi logis melalui aktivitas pembelajaran pada masalah-masalah yang menarik bagi siswa, selalu berusaha untuk menyelesaikan masalah. Pendekatan ini dapat memberi kesempatan kepada siswa untuk 166 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, sehingga memperoleh pengetahuan, menemukan, mengenali, dan dapat menyelesaikan masalah. Seperti yang dikemukakan Wood dan seller (Cassel, 2003) bahwa dalam pendekatan PCL proses belajar terjadi ketika siswa mengkonstruksi pemahaman untuk pengalaman mereka sendiri, siswa bertindak dan berinteraksi dengan kelompoknya, sehingga mereka aktif mencoba untuk menyelesaikan permasalahan matematis yang dihadapi. Pembelajaran dengan pendekatan PCL bertujuan untuk memberi kesempatan yang seluasluasnya kepada siswa melakukan aktivitas belajar potensial. Untuk membangun konsep dan ide matematika mereka sendiri, melalui proses berfikir, bertanya dan berkomunikasi dalam situasi matematika, sehingga dapat menyelesaikan masalah. Dimulai dengan menghadapi suatu situasi berpusat pada masalah yang diberikan untuk menuju pada masalah lain. Pembelajaran dengan pendekatan PCL melibatkan tiga langkah penting yang harus dilakukan dalam pembelajaran, yaitu mengerjakan tugas, kegiatan kelompok dan diskusi kelas (sharing). Faktor lain yang juga menentukan dan mempengaruhi keberhasilan belajar matematika siswa adalah kemampuan awal. Kemampuan awal merupakan prasyarat yang harus dimiliki siswa sebelum memasuki materi berikutnya yang lebih tinggi. Karena kemampuan awal merupakan dasar untuk menerima pengetahuan baru, dan merupakan pondasi untuk pembentukan konsep baru dalam pembelajaran. Dalam pembelajaran, pengetahuan awal merupakan salah satu faktor yang dapat membantu siswa dalam proses penerimaan dan penyerapan informasi baru. Pengetahuan awal juga berkaitan erat dengan tingkat kesiapan siswa dalam memulai pembelajaran. Kesiapan merupakan kondisi siswa dalam memberikan respon tertentu. Kondisi siswa tersebut dapat berupa keterampilan, pengetahuan dan pengertian lain yang telah dipelajari sebelumnya. (Slameto, 2003: 113). Hal ini memberikan gambaran bahwa apabila siswa sudah memiliki pengetahuan awal mengenai materi atau informasi baru maka setidaknya siswa akan siap dalam menerima materi baru tersebut berdasarkan pengalaman yang sudah diperoleh. Dengan kata lain, pengetahuan awal merupakan salah satu faktor yang juga dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa Oleh sebab itu, dirancanglah suatu penelitian yang bertujuan untuk melihat sejauh mana pendekatan PCL dapat berpengaruh terhadap kemampuan pemahaman konsep siswa. B. METODE Jenis penelitian ini adalah eksperimen semu (quasi experiment) dengan rancangan penelitian Randomized Group Only Design. Populasi pada penelitian ini adalah Siswa kelas X SMANegeri Kabupaten Solokdengan levelsedang. Teknik pengambilan sampel adalah Random Sampling, 167 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 dengan cara mengundi.Sampel yang terpilih adalah siswa kelas X Sains 2 SMA Negeri 1 Lembah Gumanti sebagai kelas eksperimen dan siswa kelas X Sains 1 sebagai kelas kontrol. Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data adalah tes kemampuan awal dan tes akhir untuk melihat kemampuan pemahaman konsep siswa. Teknik analisis data yang digunakan adalah melakukan uji normalitas, uji homogenitas, dan uji hipotesis terhadap skor kemampuan pemahaman konsep siswa. Pengujian hipotesis terhadap peningkatan kemampuan pemahaman konsep dilakukan dengan uji tdan uji u,sedangkan pengujian hipotesis terhadap interaksi antara pendekatan pembelajaran dan kemampuan awal dalam mempengaruhi kemampuan pemahaman konsep siswa dilakukan dengan menggunakan metode Unweighted Means. C. HASIL DAN PEMBAHASAN Setelah dilakukan penelitian pada kedua kelas sampel, diperoleh data hasil tes kemampuan pemahaman konsep siswa. Kemampuan Pemahaman Konsep Data kemampuan pemahaman konsep siswa diperoleh dari hasil tes akhir. Rata-rata kemampuan pemahaman konsep siswa dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 1. Hasil Perhitungan Data Tes Kemampuan Pemahaman Konsep Kelas Eksperimen Kontrol KA N Tinggi Rendah Total Tinggi Rendah Total 22 6 34 15 8 33 21,50 17 20,32 20,93 15,63 18,85 Skor Tes Akhir Xmax 1,87 24 2,37 20 2,58 24 1,62 24 3,54 19 3,17 24 Xmin 17 14 14 19 11 11 Dari tabel 1 terlihat rata-rata skor tes akhir kemampuan pemahaman konsep kelompok siswa kemampuan awal tinggi kelas eksperimen adalah 21,50 dan siswa kelas kontrol 20,93. Kelas eksperimen memperoleh nilai maksimum yang sama dengan kelas kontrol dan nilai minimum kelas eksperimen lebih rendah daripada nilai minimum yang diperoleh kelas kontrol. Ini berarti bahwa kemampuan pemahaman konsep siswa berkemampuan awal tinggi kelas eksperimen lebih tinggi dibanding hasil belajar siswa dari kelas kontrol. Begitu juga dengan rata-rata skor tes akhir kemampuan pemahaman konsep siswa yang berkemampuan awal rendah kelas eksperimen adalah 17 dan siswa kelas kontrol 15,63. Kelas eksperimen memperoleh nilai maksimum lebih tinggi dari pada nilai maksimum kelas kontrol. Rata-rata skor tes akhir kemampuan pemahaman konsep siswa kelas eksperimen adalah 20,32 dan siswa kelas kontrol 168 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 18,85. Kelas eksperimen memperoleh nilai maksimum yang sama dengan kelas kontrol dan standar deviasi kelas kontrol lebih tinggi daripada standar deviasi yang diperoleh kelas eksperimen. Sedangkan nilai minimum kelas eksperimen lebih tinggi dari nilai minimum kelas kontrol. Perbandingan Perbedaan nilai rata-rata masing-masing kelas menjadi ukuran bahwa nilai kemampuan pemahaman konsep siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan PCL lebih tinggi dari pada siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional. Hasil perhitungan di atas memberikan gambaran bahwa kemampuan pemahaman konsep siswa berkemampuan awal rendah maupun tinggi dari kelas eksperimen lebih tinggi dibanding kemampuan pemahaman konsep siswa dari kelas kontrol. Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh melalui pengujian hipotesis, terlihat bahwa hipotesis 1 dan 3yang diajukan H0 di tolak atau H1diterima. Sedangkan hipotesis 2 dan 4terjadi sebaliknya H0 diterima atau H1ditolak. Penyebab diterima atau ditolaknya H0 dapat dijelaskan sebagai berikut: Pengaruh Pendekatan Problem Centered Learning Terhadap Kemampuan Pemahaman Konsep Siswa Berdasarkan hasil pengujian hipotesis pertamadapat dilihat bahwa nilai rata-rata kemampuan pemahaman konsep pada kelompok eksperimen yang menggunakan pembelajaran pendekatan Problem Centered Learning lebih tinggi dibandingkan nilai rata-rata kelompok kontrol yang menggunakan pembelajaran konvensional. Tingginya perolehan nilai pada kelompok eksperimen dikarenakan proses pembelajaran yang dilakukan bersifat student centered, dimana siswa mengkontruksi sendiri pengetahuan yang dimilikinya. Sesuai dengan yang di ungkapkan Splizer (Redhana, 2003) bahwa dalam proses pembelajaran yang bersifat student centered siswa diharapkan mampu mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Disamping itu, dalam proses pembelajaran dengan pendekatan Problem Centered Learning memberikan kesempatan kepada seluruh siswa untuk berpartisipasi dan terlibat aktif dalam pembelajaran, mampu bekerja sama dalam kelompok , saling bertukar pikiran dengan sesamanya dan saling membantu dalam menyelesaikan permasalahan yang diberikan. Sehingga dari aktivitas siswa tersebut, mereka memiliki gagasan untuk menyelesaikan masalah. Sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Wood (1996). Problem Centered Learning adalah suatu pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada masalah agar siswa memiliki gagasan untuk mengkontruksi subyek yang penting dan untuk merefleksi jalan pengertian yang dibangun melalui aktivitas partisipasi. 169 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Seluruh siswa berusaha menginvestigasi masalah matematika yang diberikan. Dengan kemampuan pemahaman konsep yang diperoleh dengan pendekatan Problem Centered Learning membuat siswa aktif membangun atau mengkonstruksi sendiri pengetahuannya. Selain itu, dalam pembelajaran siswa tidak di tuntut pada hasilnya saja, melainkan pembelajaran yang di lakukan lebih mengutamakan proses. Dengan tujuan agar siswa dapat mengaplikasikan konsep yang telah mereka miliki kedalam bahasa matematika. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa orang siswa terungkap bahwa mereka senang dan bersemangat dalam mengikuti pembelajaran yang dilakukan, karena mereka memang menginginkan pembelajaran yang berbeda dari biasanya dan menarik bagi siswa sehingga dengan penerapan pendekatan Problem Centered Learning mereka mempunyai keinginan untuk mempelajari materi pelajaran dengan lebih serius. Dengan penerapan pendekatan ini, maka ingatan siswa terhadap konsep yang didapatkannya akan tersimpan lebih lama karena mereka mengalami sendiri hal tersebut tanpa pembelajaran langsung dari guru. Siswa dituntut untuk mengidentifikasi apa yang mereka ketahui serta apa yang mereka tidak ketahui dengan pemahaman mereka sendiri sehingga menemukan konsep-konsep yang relevan. Pada kelas konvensional konsep-konsep diperkenalkan guru dalam bentuk ceramah. Pembelajaran yang terjadi bersifat satu arah. Siswa lebih banyak menunggu penjelasan dari guru, akibatnya siswa menjadi bergantung kepada guru. Pengetahuan yang mereka dapatkan hanya terbatas kepada pengetahuan transfer dari guru saja dan tidak dikembangkan secara efektif. Kebanyakan siswa kurang mampu menjelaskan konsep dengan bahasa mereka sendiri dan mereka cenderung membuka catatan mereka dan membacanya. D. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, diperoleh kesimpulan bahwa (1) kemampuan pemahaman konsep siswa yang diajar dengan pendekatan PCLlebih tinggi daripada siswa yang diajar dengan pembelajaran konvensional;(2)kemampuan pemahaman konsep siswa berkemampuan awal tinggidiajar dengan pendekatan PCL sama dengan siswa yang diajar dengan pembelajaran konvensional; (3)kemampuan pemahaman konsep siswa berkemampuan awal rendah yang diajar dengan pendekatan PCLlebih tinggi daripada siswa yang diajar dengan pembelajaran konvensional; dan (4) tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran dan kemampuan awal dalam mempengaruhi kemampuan pemahaman konsep siswa. DAFTAR PUSTAKA 1. 2. Baroody, A.J. 1993. Problem Solving, Reasoning, and Communica-ting, K-8 Helping Children Think Mathematically. New York: Macmillan Publishing Company. Depdiknas. 2006. Permendiknas No.2 tentang SI dan SKL. Jakarta: SinarGrafika. 170 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 3. 4. 5. 6. 7. 8. Huinker, D.A. dan Laughin, C. 1996. “Talk Your Way into Writing”. Dalam Communi-cation in mathematics K-12 and Beyond,1996 yearbook. The National Council of Teacher of mathematics. Muliyardi. 2002. Strategi Pembelaja-ran Matematika. Padang: FMIPA UNP. NCTM. 1989. Curriculum and Eva-lution Standars for School Mathematics. Reston, VA: NCTM Sumarmo, U. 2007. Pembelajaran Matematika. Dalam Rujukan Filsafat, Teori, dan Praktis Ilmu Pendidikan. Bandung: Universitas Pendidikan Indo-nesia Press. Toeti Soekamto & Udin S. Winataputra. 1995. Teori Belajar dan Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Ditjen Dikti, Depdiknas Yamin, M dan Bansu, A. 2008. Taktik Mengembangkan Kemampuan Individu Siswa. Jakarta : Gaung Persada Press. 171 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 DESKRIPSI ETNOMATEMATIKA DALAM PENGHITUNGAN LUAS TANAH PADA MASYARAKAT JAMBI Rikhel Saputri1, Rini Warti2, Ali Murtadlo3 1,2,3 Jurusan Pendidikan Matematika, FITK, IAIN STS Jambi 1 [email protected], [email protected], [email protected] Abstrak. Masyarakat Jambi memiliki satuan luas tanah yang unik, dan tidak dimiliki oleh masyarakat lainnya. Satuan ini tidak hanya digunakan oleh masyarakat awam semata, tetapi para developer pun turut menggunakannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap aktivitas etnomatematika masyarakat Jambi dalam mengukur luas tanah. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Jambi mempunyai beberapa istilah dalam ukuran luas tanah, seperti tumbuk, baris, dan parit. Konsep matematika yang terdapat dalam penghitungan ini adalah konversi satuan luas dan konsep bilangan. Kata kunci: etnomatematika, satuan luas, tanah A. PENDAHULUAN Penggunaan konsep matematika di luar sekolah jelas berkaitan dengan aktifitas kehidupan masyarakat sehari-hari. Misalnya dalam membangun rumah, mengukur luas tanah, menentukan pola-pola geometri yang serasi, menjual dan membeli barang dan sebagainya. Aktifitas-aktifitas tersebut melibatkan penghitungan matematis. Penerapan matematika seperti ini sering berbeda dengan matematika yang dipelajari di sekolah. Disamping itu matematika dalam kehidupan sehari-hari sering dijumpai berbeda antara daerah satu dengan lainnya misalnya dalam sistem numerasi atau alat-alat hitung yang digunakan. Keberadaan matematika dalam berbagai aktifitas kehidupan masyarakat itu menunjukkan bahwa matematika adalah bagian dari kebudayaan, dan adanya bersifat universal, sehingga matematika adalah milik semua umat manusia. Matematika memiliki peranan yang penting dalam berbagai budaya, tepatnya pada kebiasaan suatu suku atau masyarakatnya maupun dalam hal adat istiadatnya. Tingkat kemajuan budaya suatu bangsa tidak terlepas dari kemampuan matematis bangsa itu sendiri. Peninggalanpeninggalan budaya suatu bangsa yang masih dapat dinikmati hingga sekarang ini menjadi bukti bahwa matematika ada didalamnya. Peninggalan sejarah berupa candi Borobudur, piramida, dan sebagainya memiliki tingkat akurasi penghitungan yang tinggi serta pola-pola geometris yang sangat teliti. Namun masyarakat sering kurang menyadari bahwa dalam sebagian aktivitas kehidupan yang dilakukan terdapat aktivitas matematika. Keterkaitan antara matematika dengan budaya atau kegiatan kehidupan sehari-hari masyarakat suatu bangsa dikenal dengan istilah etnomatematika. Etnomatematika merupakan matematika 172 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 yang berkaitan dengan aktivitas masyarakat dalam kehidupan sehari-hari pada suatu kelompok budaya tertentu. Yusuf (2010) mendefinisikan etnomatematika adalah matematika yang tumbuh dan berkembang dalam kebudayaan tertentu. Daoed Joesoef (1982) menyatakan bahwa budaya merupakan sistem nilai dan ide yang dihayati oleh sekelompok manusia disuatu lingkungan hidup tertentu dan disuatu kurun tertentu. Kebudayaan diartikan sebagai semua yang berkaitan dengan budaya. Koentjaraningrat (1987) mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya. Dalam konteks ini tinjauan budaya dilihat dari aspek yang didalamnya memuat budaya lokal yang eksis dalam kehidupan masyarakat setempat. Berdasarkan kedua hal tersebut menunjukkan bahwa adanya keterkaitan matematika dengan kehidupan sehari-hari. Keterkaitan antara keduanya tersebut dikenal sebagai etnomatematika. Etnomatematika merupakan matematika yang berkaitan dengan aktivitas masyarakat dalam kehidupan sehari-hari pada suatu kelompok budaya tertentu. Shirley (1995), berpandangan bahwa sekarang ini bidang etnomathematika, yaitu matematika yang timbul dan berkembang dalam masyarakat dan sesuai dengan kebudayaan setempat, merupakan pusat proses pembelajaran dan metode pengajaran. Hal ini membuka potensi pedagogis yang mempertimbangkan pengetahuan para siswa yang diperoleh dari belajar diluar kelas. Menurut Barton (1996), ethnomathematics mencakup ide-ide matematika, pemikiran dan praktik yang dikembangkan oleh semua budaya. Ethnomathematics juga dapat dianggap sebagai sebuah program yang bertujuan untuk mempelajari bagaimana untuk memahami, mengartikulasikan, mengolah, dan akhirnya menggunakan ide-ide matematika, konsep, dan praktek-praktek yang dapat memecahkan masalah yang berkaitan dengan aktivitas sehari-hari. Etnomatematika menggunakan konsep matematika secara luas yang terkait dengan berbagai aktivitas matematika, meliputi aktivitas mengelompokkan, berhitung, mengukur, merancang bangunan atau alat, bermain, menentukan lokasi, dan lain sebagainya, sebagaimana yang dikatakan oleh D'Ambrosio (1985) bahwa tujuan dari adanya etnomatematika adalah untuk mengakui bahwa ada cara-cara berbeda dalam melakukan matematika dengan mempertimbangkan pengetahuan matematika yang dikembangkan dalam berbagai sektor masyarakat serta dengan mempertimbangkan cara yang berbeda dalam aktivitas mayarakat seperti cara mengelompokkan, berhitung, mengukur, merancang bangunan atau alat, bermain dan lainnya. Keterdekatan matematika dan praktek-praktek budaya masyarakat terlihat dalam pernyataan D’Ambrasio, “Ethnomathematics is used to express therelationship between culture and mathematics” (Suwarsono, 2015). Pernyataan ini mengandung pengertian bahwa etnomatematika digunakan untuk mengeskpresikan hubungan antara kebudayaan dan 173 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 matematika. Karena itu kebudayaan dan matematika merupakan dua substansi yang berbeda tetapi bertemu dalam satu wadah yang disebut etnomatematika. Masyarakat Jambi merupakan masyarakat heterogen yang terdiri dari masyarakat asli Jambi, yakni Suku Melayu yang menjadi mayoritas di Provinsi Jambi. Selain itu juga ada Suku Kerinci di daerah Kerinci dan sekitarnya yang berbahasa dan berbudaya mirip Minangkabau. Secara sejarah dan budaya merupakan bagian dari varian Rumpun Minangkabau. Juga ada suku-suku asli pedalaman yang masih primitif yakni Suku Kubu dan Suku Anak Dalam. Adat dan budaya mereka dekat dengan budaya Minangkabau. Selain itu juga ada pendatang yang berasal dari Minangkabau, Batak, Jawa, Sunda, Cina, India dan lain-lain. (https://id.wikipedia.org/wiki/ Jambi). Dalam keheterogenitasannya, masyarakat Jambi memiliki etnomatematika yang telah tertanam kuat dalam masyarakat. Salah satu konsep matematika yang digunakan yaitu konversi satuan luas dalam melakukan perhitungan luas tanah. Masyarakat Jambi memiliki satuan luas tanah yang unik dan tidak dimiliki oleh masyarakat lainnya di Indonesia. Masyarakat Jambi memiliki beberapa istilah dalam melakukan perhitungan pada satuan luas tanah yaitu tumbuk, baris dan parit. Tumbuk merupakan satuan luas yang ada pada masyarakat Jambi yang biasanya digunakan dalam melakukan penghitungan luas tanah yang mana didefinisikan dengan ukuran 100 . Tumbuk adalah istilah yang asing bagi sebagian besar masyarakat di luar Jambi. Satuan ukur tumbuk ini merupakan satuan lokal yang dimiliki Indonesia. Selain itu ada pula ukuran baris. Baris merupakan ukuran luas tanah yang digunakan untuk tanah yang sudah ditanami pohon (kebun). Tidak seperti ukuran tumbuk, baris memiliki ukuran yang dinamis tergantung besar kecilnya diameter suatu tanaman. Meskipun tidak termasuk dalam satuan ukur sistem internasional, namun penggunaannya diperbolehkan. Satuan ukuran luas diatas menunjukkan bahwa, masyarakat Jambi telah mengenal konsep satuan hitung. Artinya, masyarakat Jambi telah menggunakan matematika dalam budaya daerahnya. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan tindak lanjut dengan rumusan masalah yaitu bagaimana deskripsi etnomatematika masyarakat Jambi dalam mengukur luas tanah? Berdasarkan pertanyaan peneliti yang telah dirumuskan, maka tujuan dari peneliti yaitu mendeskripsikan hasil eksplorasi bentuk etnomatematika masyarakat Jambi dalam mengukur luas tanah yang berkaitan dengan matematika agar terus dilestarikan dan tidak hilang. B. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif eksploratif dengan pendekatan etnografi. Menurut Gulo (2000) penelitian eksploratif merupakan penelitian penggalian, menggali untuk menemukan dan mengetahui suatu gejala atau peristiwa (konsep atau masalah) dengan 174 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 melakukan penjajakan terhadap gejala tersebut. Sedangkan pendekatan pendekatan etnografi yaitu pendekatan empiris dan teoritis yang bertujuan mendapatkan deskripsi dan analisis mendalam tentang kebudayaan berdasarkan penelitian lapangan (fieldwork) yang intensif. Pendekatan ini memusatkan usaha untuk menemukan bagaimana masyarakat mengorganisasikan budaya mereka dalam pikiran mereka dan kemudian menggunakan budaya tersebut dalam kehidupan, budaya tersebut ada dalam pikiran manusia. Tugas etnograf adalah menemukan dan menggambarkan organisasi pikiran tersebut (Spradley, 2006). Dalam penelitian ini, peneliti berusaha menggali informasi melalui dokumentasi, pengamatan (observasi) serta wawancara dengan beberapa warga masyarakat Jambi yang mengetahui informasi mengenai satuan luas tanah yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari tahun 2016 di beberapa wilayah daerah yang ada dalam Provinsi Jambi, meliputi: (1) Pembukaan lahan permukiman di Kelurahan Talang Bakung, dengan informan 1 orang petugas agraria dan 2 orang penduduk setempat; (2) Kantor BPN, dengan informan 2 orang; (3) Developer perumahan Pesona Khayangan dan kaplingan tanah di daerah Simpang Nes Mendalo Kabupaten Muaro Jambi, dengan informan 3 orang. Peneliti melakukan penelitian sesuai dengan prosedur penelitian yang mengadopsi pada pendekatan etnografis oleh Spradley (2006), yang meliputi : 1. Menetapkan informan; yaitu informan yang terlibat langsung serta mengetahui secara baik tentang hal yang akan dikaji. 2. Melakukan wawancara terhadap informan; beberapa etika yang harus dipatuhi pewawancara, antara lain mempertimbangkan kepentingan informan terlebih dahulu, menyampaikan tujuan penelitian, melindungi privasi informan, dan jangan mengeksploitasi informan. 3. Membuat catatan etnografis; meliputi catatan lapangan, alat perekam gambar, artefak dan benda lain yang mendokumentasikan suasana budaya yang dipelajari. 4. Mengajukan pertanyaan deskriptif; merupakan pertanyaan yang membutuhkan jawaban penjelas. 5. Melakukan analisis wawancara etnografis; yaitu menggaris bawahi semua istilah asli informan yang telah diperoleh untuk mempertinggi peranannya dalam mengetahui tentang obyek budaya yang diteliti. Analisis ini dikaitkan dengan simbol dan makna yang disampaikan informan. 6. Membuat analisis domain; membuat istilah pencakup dari apa yang dinyatakan informan. Istilah tersebut seharusnya memiliki hubungan semantis yang jelas. 7. Mengajukan pertanyaan struktural; merupakan pertanyaan yang disesuaikan dengan informan. Pertanyaan struktural bertujuan mengetahui bagaimana informan mengorganisir pengetahuan mereka. 175 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 8. Melakukan analisis taksonomi; dengan memusatkan perhatian pada domain tertentu yang sangat berguna untuk menggambarkan fenomena atau masalah yang menjadi sasaran penelitian. Analisis taksonomik dilakukan untuk membuat kategori dari simbol-simbol budaya yang ada pada kebudayaan yang diteliti. 9. Menulis etnografi; menjelaskan secara naratif mengenai esensi dari temuannya yang diteliti dan mendapatkan makna pengalaman informan. C. HASIL DAN PEMBAHASAN Etnomatematika merupakan jembatan yang menghubungkan antara matematika dengan budaya. Etnomatematika mengakui adanya cara cara berbeda dalam menyikapi budaya, dengan etnomatematika kita mengetahui bahwa sebagian dari budaya mengandung matematika didalamnya. Dalam penghitungan luas tanah pada masyarakat Jambi mereka sudah menggunakan teknik-teknik matematika hal ini sudah mentradisi dari zaman dulu. Dalam ukuran luas tanah provinsi Jambi menggunakan satuan yang berbeda dengan biasanya. Masyarakat Jambi memiliki beberapa istilah dalam melakukan perhitungan pada satuan luas tanah yaitu tumbuk, baris dan parit. Berdasarkan hasil eksplorasi, dapat diketahui bahwa adanya aktivitas matematika yang muncul pada kegiatan penghitungan luas tanah pada masyarakat Jambi. Aktivitas matematika yang muncul antara lain membilang, menghitung dan mengukur. Aktivitas membilang muncul pada saat menyebutkan ukuran luas tanah. Ukuran luas tanah yang sering digunakan pada masyarakat Jambi yaitu tumbuk, baris dan parit. Ukuran tumbuk sering digunakan pada saat proses jual beli tanah biasanya pada lahan permukiman. Sedangkan baris dan parit sering digunakan masyarakat Jambi ketika melakukan proses jual beli kebun. Ukuran satu tumbuk setara dengan 100 m2. Penghitungan luas ini digunakan untuk membagi atau membelah tanah dari ukuran yang luas menjadi beberapa bagian yang diinginkan.Biasanya pada saat proses pengkaplingan tanah misalnya pembagian 1 hektar = 100 tumbuk. Aktivitas matematika kedua yang muncul yaitu menghitung. Aktivitas matematika masyarakat Jambi pada penghitungan luas tanah yang sering muncul yaitu menghitung, biasanya pada proses melakukan jual beli tanah. Pada saat memperkirakan luas tanah dengan ukuran tumbuk, maka konsep menghitung yang muncul adalah konsep perbandingan senilai. Misalnya untuk ukuran tanah 1 tumbuk seharga Rp. 50.000.000. Ketika tanah yang akan dibeli ukurannya 1,375 tumbuk artinya untuk membayar harga tanah itu, maka dibutuhkanlah konsep perbandingan. Dimana . . . = , sehingga didapat = . 68.750.000. Begitu pula dalam menentukan harga pada ukuran tanah yang lainnya. Pada aktivitas menghitung, selain konsep perbandingan senilai, juga terlihat konsep perkalian dan pembagian. Konsep perkalian muncul pada saat akan mengkalikan besar ukuran luasan tanah dengan harga tanah yang 176 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 ditawarkan. Sedangkan konsep pembagian muncul ketika membagi besaran ukurun luas tanah tersebut. Aktivitas matematika ketiga yang muncul yaitu mengukur. Mengukur merupakan aktivitas yang selalu dilakukan sebelum menentukan ukuran tanah. Pada saat mengukur, masyarakat Jambi jarang menggunakan satuan ukur m2. Satuan lain yang sering digunakan yaitu tumbuk (dalam jual beli tanah), baris dan parit (dalam jual beli kebun). Besar ukuran tumbuk yaitu 1 tumbuk = 100 m2. Masyarakat Jambi biasanya tidak terlalu memperhatikan satuan luas saat melakukan jual beli tanah. Ketika disebutkan 1 tumbuk mereka tidak menghiraukan bahwa ukuran itu mutlak selalu 10 m x 10 m akan tetapi ukuran itu dapat berubah dengan panjang dan lebar tanah berapapun itu namun ukurannya tetap 100 . Misalnya 12,5 m x 8 m dan 25 m x 8 m ini juga dapat dikatakan 1 tumbuk Begitu pula saat tanah tersebut berukuran 5 tumbuk = 500 m2, dalam satuan luas ukuran itu tidak selalu 10 m x 50 m atau 12,5 m x 40 m atau 25 m x 20 m dan sebagainya. Berikut disajikan ukuran luas tanah dan kebun serta model matematikanya. Tabel 1. Ukuran Luas Tanah dan Kebun Bahasa Jambi Setumbuk Sebaris Separit Bentuk Matematika 10 × 10 2 × 10 12,5 4 ×8 ×5 4 baris 1 1 = 100 = 20 1 parit D. KESIMPULAN Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa terdapat aktivitas matematika pada masyarakat Jambi dalam penghitungan luas tanah. Tanpa mempelajari teori tentang konsepkonsep matematika, masyarakat Jambi pun telah menerapkan konsep-konsep matematika dalam kehidupan sehari-harinya menggunakan etnomatematika. Terbukti adanya bentuk etnomatematika masyarakat Jambi yang tercermin melalui aktivitas matematika yang dimiliki di masyarakat Jambi, meliputi konsep-konsep matematika pada membilang, menghitung dan mengukur. Aktivitas membilang biasanya muncul pada saat menyebutkan ukuran luas tanah. Aktivitas menghitung muncul pada saat melakukan proses jual beli tanah. Sedangkan aktivitas mengukur muncul pada saat seblum dilakukannya pengukuran tanah.Mengukur merupakan aktivitas yang selalu dilakukan sebelum menentukan ukuran tanah. Saran untuk peneliti selanjutnya yaitu agar lebih teliti lagi dalam memilih subjek penelitian sehingga informasi yang diperoleh sesuai dengan yang diinginkan pada tujuan penelitian. Selain 177 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 itu, lebih teliti dalam mencari aktivitas etnomatematika yang ada pada suatu masyarakat serta mampu mendeskripsikan aktivitas matematika yang terdapat pada masyarakat Jambi khususnya tentang istilah dalam penghitungan luas tanah. DAFTAR PUSTAKA 1. Anonim. (tth). Jambi https://id.wikipedia.org/wiki/Jambi 2. Barton, B. (1996). Making Sense of Ethnomathematics: Ethnomathematics is Making Sense, Educational Studies in Mathematics, 31; 1-2. 3. D’ Ambrosio, U. (1985). Ethnomathematics and its Place in the History and Pedagogy of Mathematics, For the Learning of Mathematics, 5(1); 44-48. 4. Gulo, W. (2000). Metodologi Penelitian, Jakarta, Grasindo. 5. Joesoef, D. (1982). Aspek-Aspek Kebudayaan yang Harus Dikuasai Guru, Majalah Kebudayaan, No. 1 Tahun 1981/1982. 6. Koentjaraningrat. (1987). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta 7. Shirley, L. (1995). Using Ethnomathematics of Find Multicultural Mathematical Connection; NCTM. 8. Spradley, J.P. (2006). Metode Etnografi, Yogyakarta, Tiara Wacana. 9. Suwarsono. (2015). Etnomatematika (Ethnomathematics) dalam https://dialnet.unirioja.es/ descarga/articulo/3738356.pdf. 10. Yusuf, Mohammed Waziri, dkk. (2010). Ethnomathematics (a Mathematical Game in Hausa Culture). International Journal of Mathematical Science Education Technomathematics Research Foundation. http://www.tmrfindia.org/sutra/v3i16.pdf 178 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 ANALISIS 8 KETERAMPILAN DASAR MENGAJAR GURU DALAM MATA KULIAH MICROTEACHING MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP) PGRI SUMBAR Sefna Rismen Program Studi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Sumbar [email protected] Abstrak. Mata kuliah microteaching adalah mata kuliah yang memberikan kesempatan pada mahasiswa untuk berlatih menyiapkan diri sebagai seorang calon guru yang akan melaksanakan praktek lapangan (PL). Dalam praktek pembelajaran mahasiswa harus mempraktekan 8 keterampilan dasar mengajar guru.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat gambaran penguasaan mahasiswa terhadap 8 keterampilan dasar mengajar guru. Jenis penelitian adalah penelitian deskriptif. Penelitian dilakukan pada mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Sumbar yang mengambil mata kuliah microteaching angkatan 2012 atau semester genap 2014/2015. Instrumen penelitian yang digunakan adalah lembaran observasi. Analisis data menggunakan deskriptif kualitatif. Hasil analisis yang dilakukan terhadap penguasaan mahasiswa terhadap 8 keterampilan dasar mengajar guru diperoleh gambaran bahwa, secara keseluruhan mahasiswa belum menguasai dengan baik 8 keterampilan dasar mengajar guru dan penilaian secara keseluruhan dalm kriteria cukup. Kata kunci: microteaching, 8 keterampilan Dasar Mengajar A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Mahasiswa keguruan sebagai calon guru masa depan perlu dipersiapkan baik secara pisik maupun mental baik dari segi teori maupun praktek. Secara teori mahasiswa telah dibekali dengan berbagai ilmu baik ilmu matematika ataupun ilmu mendidik/mengajar, dan sebelum mahasiswa melakukan praktek lapangan mereka terlebih dahulu diberikan materi kuliah microteaching. Mata kuliah Microteaching adalah mata kuliah yang bertujuan untuk melatih mahasiswa mengajar di depan kelas yang dilakukan secara micro atau sederhana. Laughlin dan Moulton dalam Hasibuan mendefenisikan microteaching (pengajaran mikro) adalah sebuah metode latihan penampilan yang dirancang secara jelas dengan jalan mengisolasi bgaianbagian komponen dari proses mengajar, sehingga calon guru dapat menguasai setiap komponen satu persatu dalam situasi mengajar yang disederhanakan. Hamalik menyebutkan bahwa pengajaran micro merupakan teknik mengembangkan keterampilan 179 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 mengajar calon guru atau sebagai usaha peningkatan kompetensi calon guru dalam mengajar. Dengan demikian pengajaran micro sangat penting dilakukan sebagai bentuk nyata dari kompetensi yang telah dibekali kepada mahasiswa secara teori sehingga mahasiswa sebagai calon guru benar-benar mampu menguasai setiap komponen satu persatu atau bebarapa komponen secara terpadu dalam situasi pembelajaran yang disederhanakan. Mahasiswa sebagai calon guru akan melakukan praktek mengajar dengan menerapkan 4 kompetensi mengajar dan mencoba menerapkan 8 keterampilan mengajar yang harus dimiliki oleh seorang guru yang profesional sebagai penentu kualitas pendidikan. Bila Guru memiliki kualitas akademik, berkompeten dan profesional, maka diharapkan proses pendidikan yang berjalan dapat optimal dan menghasilkan output lulusan yang kompetitif. Sebaliknya, bila Guru tersebut tidak memenuhi kualitas akademik, tidak berkompeten dan tidak profesional maka keseluruhan proses pendidikan tidak akan optimal. Keterampilan dasar mengajar adalah keterampilan yang sangat kompleks dan bersifat generik yang memerlukan latihan secara bertahap dan sistematis untuk menguasainya.Untuk keperluan latihan keterampilan ini dapat dipilah-pilah, tetapi pada akhirnya harus diterapkan secara utuh dan terintegrasi. Dalam keterampilan dasar mengajar tersebut ada 8 keterampilan yang dapat digunakan guru selama proses belajar mengajar yaitu; keterampilan bertanya, keterampilan memberikan penguatan, keterampilan mengadakan variasi, keterampilan menjelaskan, keterampilan membuka dan ketrampilan mengajar kelompok kecil dan perseorangan. Namun tidak semua keterampilan dapat dikuasai dengan baik bagi setiap mahasiswa. Oleh karena itu, pada penelitian ini mencoba untuk menganalisis kemampuan mahasiswa dalam menerapkan 8 keterampilan dasar mengajar. 2. Rumusan Masalah Masalah dalam penelitian dirumuskan sebagai berikut : bagaimana gambaran keterampilan dasar mengajar guru yang dimiliki mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika dalam mata kuliah micro teaching? 3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis 8 keterampilan dasar mengajar guru yang dimiliki mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika dalam mata kuliah micro teaching. 180 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 B. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Menurut Whitney dalam Moh. Nazir bahwa metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan-hubungan, kegiatan-kegiatan, sikapsikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlansung dan pengaruhpengaruh dari suatu fenomena.Penelitian dilakukan pada Mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika STKIP PGRI sumbar ynag mengambil mata kuliah microteaching angkatan 2012, semester genap 2014/2015. Instrumen penelitian yang digunakan adalah lembaran observasi berupa pengamatan 8 keterampilan dasar mengajar. Cartwright & cartwright dalam Herdiansyah (2010: 131) mendefinisikan sebagai suatu proses melihat, mengamati, dan mencermati serta “merekam” perilaku secara sistematis untuk suatu tujuan tertentu. Observasi adalah suatu kegiatan mencari data yang dapat digunakan untuk memberikan suatu kesimpulan atau diagnosis. Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan, selama di lapangan, dan setelah selesai di lapangan. Menurut Nasution (dalam Sugiyono, 2008: 245), analisis telah mulai sejak merumuskan dan mejelaskan masalah, sebelum terjun ke lapangan, dan berlangsung terus sampai penulisan hasil penelitian.Analisis data dalam penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dan kualitatif . Analisis data dilakukan secara terus menerus sejak awal hingga akhir penelitian. Analisis data dilakukan secara kualitatif, yaitu data yang berupa kalimat atau pernyataan yang diinterpretasikan untuk mengetahui makna serta untuk memahami keterkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti.Lembar observasi diisi oleh 5 orang pengamat yakni wakil dari mahasiswa yang bertugas mengamati pelaksanaan 8 dasar keterampilan mengajar setiap mahasiswa yang melakukan praktek pengajaran. Rumus yang digunakan untuk menganalisis data adalah : Ė = ∑ , (Walpole , 1993) Ė = rata-rata jumlah skor setiap keterampilan Penskoran yang digunakan menggunakan skala 4 yakni: 1 = kurang 2= cukup 3= baik 4= baik sekali Setelah analisis data, kemudian dilakukan penafsiran terhadap perolehan rata-rata dengan kategori sebagai berikut: Interval Jumlah 1≤ Ė < 2 Kurang 181 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 2≤ Ė < 3 Cukup 3≤ Ė < 4 Baik ≥4 Baik sekali (modifikasi dari Kurnasih 2014:6) C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Deskripsi Data Hasil observasi yang dilakukan terhadap 35 orang mahasiswa yang melakukan praktek mengajar pada mata kuliah microteaching, yang dilakukan oleh 5 orang pengamat untuk masing mahasiswa diperoleh nilai keterampilan dasar mengajar sebagai berikut: Tabel 2: Jumlah Rata-Rata 8 Keterampilan Dasar mengajar Guru Interval 1≤ <2 3≤ <4 2≤ Jumlah Kriteria 1 CUKUP 34 CUKUP 0 CUKUP 0 CUKUP <3 ≥4 Nilai rata-rata untuk masing-masing keterampilan dasar mengajar dapat dilihat sebagai berikut: Tabel 3: Rata-rata keterampilan dasar mengajar Mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika angkatan 2012 No 182 Keterampilan dasar Mengajar Rata-rata Kriteria 1 Membuka Pelajaran 2,4 cukup 2 Menjelaskan Materi 2,4 Cukup 3 Bertanya 2,2 Cukup 4 Memberi Penguatan 2,4 Cukup 5 Mengadakan variasi 2,4 Cukup 6 Mengelola Kelas 2,3 Cukup 7 Membimbing kelompok kecil 2,6 Cukup 8 Menutup pelajaran 2,6 cukup Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 2. Pembahasan Rata-rata keterampilan dasar mengajar yang dimiliki mahasiswa diberoleh kesimpulan bahwa secara rata-rata atau secara kuantitatif berada pada interval 2 ≤ < 3, atau dalam kriteria cukup. Hal ini memberi gambaran bahwa keterampilan mengajar mahasiswa dalam melakukan latihan praktek mengajar pada mata kuliah microteaching perlu ditingkatkan. Gambaran setiap katerampilan dasar mengajar mahasiswa dapat dilihat pada uraian berikut: 1. Keterampilan membuka pelajaran Keterampilan membuka pelajaran memuat 6 indikator yakni, menarik perhatian siswa, melakukan apersepsi, memberikan motivasi, menyampaikan tujuan, menyampaikan topik, dan memberikan pre-tes. Dari 4 indikator tersebut mahasiswa pada umumnya tidak memberikan pre-tes sebelum pembelajaran. Indikator menarik perhatian siswa, melakukan apersepsi, dan menyampaikan topik, pada umumnya mahasiswa ada melakukan tetapi masih perlu ditingkatkan. Mahasiswa juga belum bisa memberikan motivasi untuk meningkatkan rasa ingin tahu atau keiginan belajar siswa. 2. Keterampilan menjelaskan Keterampilan ini memuat 4 indikator, yakni memahami siswa, menggunakan contoh dan ilustrasi, menggunakan metode secara tepat, dan menekankan isis pelajaran. Pada ke 4 indikator ini mahasiswa masih kurang memberikan penekanan pada isi pelajaran karena mahasiswa dalam mengajar terkesan menghafal apa yang akan disampaikannya. Kemudian mahasiswa masih terlihat ragu-ragu dalam menjelaskan materi pelajaran, hal ini juga mengakibatkan penekanan kurang diperhatikan. Metode yang digunakan menjelaskan materi belum dapat membimbing siswa untuk bisa menemukan konsep dan mengembangkan daya nalar. 3. Keterampilan bertanya Keterampilan bertanya memuat 3 indikator, yakni mengungkapkan pertanyaan secara jelas, mendistribusikan pertanyaan di antara siswa, dan menggunakan teknik menggali potensi siswa. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan diperoleh gambaran bahwa mahasiswa kurang bisa membuat pertanyaan yang menggali potensi siswa sesuai dengan materi ajar, mereka cenderung memberikan pertanyaan mendasar. Pertanyaan yang banyak digunakan mahasiswa masih bersifat pegetahunan/pemahaman saja. Mahasiswa juga belum bisa menggunakan pertanyaan yang bervariasi. 4. Keterampilan memberi Penguatan Keterampilan memberi penguatan memuat 2 indikator, yakni penguaan verbal dan nonverbal. Dalam penguatan verbal secara umum mahasiswa sudah memberikan penguatan dengan memberikan kata “bagus” sedangkan pemberian kekuatan non-verbal terlihat mahasiswa belum bisa, seperti memberi anggukan, tatapan atau sentuhan, karena 183 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 mahasiswa masih terlihat malu-malu, hal ini mungkin disebabkan yang menjadi siswa adalah teman sendiri. 5. Keterampilan memberikan Variasi. Keterampilan mengadakan variasi memuat 5 indikator, yakni variasi gerak, variasi suara, penggunaan media, kontak perhatian, dan pola interaksi. Dari ke 5 indikator tersebut mahasiswa mengalami kendala dalam variasi gerak, variasi suara dan kontak perhatian. Dalam variasi gerak kebanyakan mahaiswa masih terlihat kaku dalam berdiri di depan atau berjalan di depan kelas. Dalam pemberian kontak perhatian kebanyak mahasiswa masih terfokus pada satu sisi. Intonasi suara juga belum ada, kebanyakan suara masih mendatar jadi tidak tampak penekanan terhadap materi. 6. Keterampilan mengelola kelas Keterampilan mengelola kelas memuat 4 indikator yakni membagi perhatian, menciptakan belajar optimal, memusatkan perhatian kelompok, mengatasi perilaku yang menimbulkan masalah. Dari 4 indikator tersebut mahasiswa kelihatan kesulitan dalam memusatkan perhatian siswa dan menciptakan belajar optimal. Mahasiswa lebih terpusat pada satu kelompok siswa saja, dan kurang bisa menengur siswa yang meribut dan main-main dalam belajar. 7. Keterampilan mengajar kelompok kecil Keterampilan mengajar kelompok kecil memuat 3 indikator, yakni menjelaskan pembagian kelompok, membimbing kerja kelompok, dan memberikan arahan yang jelas. Hasil pengamatan yang dilakukan secara keseluruhan mahasiswa telah bisa atau sudah memiliki keterampilan dalam mengajar kelompok kecil. Artinya, mahasiswa sudah bisa membimbing kelompok secara baik. 8. Keterampilan menutup pelajaran Keterampilan ini memuat 4 indikator yakni, meninjau kembali isi pelajaran, membimbing siswa membuat kesimpulan, memberi kuis atau tes di akhir dan memberikan tugas rumah serta materi berikutnya. Hasil pengamatan diperoleh gambaran bahwa maahasiswa secara umum tidak melakukan peninjauan ulang terhadap materi yang sudah dijelaskan, karena mahasiswa langsung dalam membuat kesimpulan dari materi yang sudah dipelajari. Mahaiswa juga tidak memberikan tes di akhir pelajaran sebagai bahan evaluasi untuk mengukur tingkat pemahaman siswa dari materi yang sudah dipelajari. Berdasarkan temuan hasil analisis 8 keterampilan dasar mengajar guru yang dipraktekkan mahasiswa dalam perkuliahan microteaching, dapat dieproleh gambaran bahwa belum semua keterampilan dasar mengajar dipahami dan diimplementasikan dalam latihan 184 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 praktek mengajar. Oleh karenanya, mahasiswa sebagai calon guru perlu memahami lagi setiap keterampilan dasar mengajar agar pembelajaran menjadi optimal. D. PENUTUP 1. Kesimpulan Berdasarkan analisis keterampilan dasar mengajar guru yang dilakukan pada latihan praktek pengajaran pada mahasiswa 2012 D diperoleh gambaran bahwa, secara keseluruhan mahasiswa belum menguasai dengan baik 8 keterampilan dasar mengajar yang perlu dimiliki oleh seorang guru. Kriteria penilaian berada dalam kategori cukup. 2. Saran - Bagi mahaiswa agar mempelajari dan memahami lagi 8 keterampilan dasar mengajar dan banyak berlatih - Bagi dosen pembimbing mata kuliah microteaching agar memberikan penjelasan dan penekanan kembali tentang pentingnya 8 keterampilan dasar mengajar dikuasai dan memberikan arahan setiap mahasiswa yang tampil. DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. JJ Hasibuan, Moedjiono, (2010). Proses Belajar mengajar, Bandung : PT Remaja Rosdakarya,. Kurnasih, Imas, 2014. Implementasi Kurikulum 2013 Konsep dan Penerapan. Kata Pena: Surabaya. Sardiman A.M, (2005). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta: Raja Grafindo Persada Zainal Asril,(2010). Micro Teaching, Jakarta : Rajawali Pers, Walpole, Ronald E.1993. Pengantar Statistika. Jakarta:PT Gramedia Pustaka. 185 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 DESKRIPSI ETNOMATEMATIKA DALAM PENGHITUNGAN BERAT EMAS PADA MASYARAKAT JAMBI Sri Rezeki Utami1, Rini Warti2, Ali Murtadlo3 1,2,3 Jurusan Pendidikan Matematika, FITK, IAIN STS Jambi 1 [email protected], [email protected],[email protected] Abstrak. Emas dengan berbagai klasifikasinya, sampai saat ini masih menjadi salah satu pilihan bentuk investasi masyarakat Jambi. Uniknya, masyarakat Jambi memiliki satuan ukur tersendiri. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap etnomatematika yang digunakan oleh masyarakat Jambi dalam penghitungan berat emas. Data penelitian diperoleh dari wawancara dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Jambi mempunyai istilah: (1) “suku” sebagai satuan berat emas, dan (2) “logam mulia, murni, graman” sebagai klasifikasi persentase kadar emas. Konsep matematika yang terdapat dalam penghitungan berat emas ini adalah konversi ukuran berat, pecahan, dan persentase. Kata Kunci: etnomatematika, satuan berat, emas A. PENDAHULUAN Emas merupakan salah satu media investasi klasik yang telah dilakukan oleh masyarakat sejak ratusan bahkan ribuan tahun silam. Kusnandar (2010) menyebutkan ada dua kriteria investasi yaitu investasi modern dan investasi klasik. Investasi modern terdiri atas penempatan deposito, saham, obligasi, waran, opsi, asuransi, dan lain-lain. Sedangkan investasi klasik terbagi atas investasi properti (tanah, rumah, ruko) dan emas. Investasi klasik khususnya dalam bentuk emas dilakukan oleh segenap lapisan masyarakat, termasuk masyarakat Jambi. Menurut Apriyanti (2011) emas merupakan logam mulia yang nilainya terus naik setiap waktunya. Bahkan kalangan investor menilai bahwa dengan berinvestasi emas, nilai dari kekayaan mereka akan tetap terjaga. Senada dengan itu, Evan (2012) dalam penelitiannya menyatakan bahwa berinvestasi dalam bentuk emas akan memberikan hasil dan tingkat sekuritas yang lebih baik jika dibandingkan dengan berinvestasi pada saham perusahaan pertambangan emas yang berskala menengah ataupun berskala besar sekalipun. Satuan emas secara internasional dinyatakan dalam troy ons. Troy ons merupakan satu-satunya ons yang digunakan untuk menghargai logam berharga seperti emas, platinum, dan perak. 1 (satu) troy ons seberat 31,1034768g. (https://id.wikipedia.org/wiki/Troy_(satuan)) Namun masyarakat Jambi memiliki berbagai satuan emas tersendiri yang tidak dimiliki oleh masyarakat lainnya. Misalnya, “suku”, “batu emas”, “mayam”, dan “tahil”. Berbagai satuan emas ini jika dikoversikan maka “batu emas” senilai Rp. 500.00,- satu mayam senilai 3,37 gram, dan satu 186 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 tahil senilai 2 gram. (Musri Nauli, 2016). Namun yang paling terkenal adalah “suku”. Satu suku emas di masyarakat Jambi senilai 6 gram. Aneka satuan emas yang digunakan oleh masyarakat Jambi tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara aktivitas sehari-hari masyarakat dengan matematika, berupa konversi nilai. Hubungan erat antara keduanya dikenal dengan istilah etnomatematika. Milton Rosa dan Daniel Clark Orey (2015) dalam artikelnya yang berjudul Ethnomathematics: the cultural aspects of mathematics menyatakan bahwa istilah etnomatetika pertama kali dicetuskan oleh D’Ambrosio. Etnomatematika diartikan sebagai berikut “The prefix ethno is today accepted as a very broad term that refers to the social-cultural context and therefore includes language, jargon, and codes of behavior,myths, and symbols. The derivation of mathema is difficult, but tends to meanto explain, to know, to understand, and to do activities such as ciphering,measuring, classifying, inferring, and modeling. The suffix tics is derived fromtechné, and has the same root as technique.” Jadi secara kebahasaan, menurut pencetusnya, etnomatematika dapat dipahami bahwa awalan etno saat ini diterima sebagai istilah yang sangat luas yang mengacu pada konteks sosial budaya budaya dan karena itu termasuk bahasa, jargon, dan kode perilaku, mitos dan simbolsimbol. Derivasi dari mathema sulit, tetapi cenderung berarti untuk menjelaskan, untuk mengetahui, memahami, dan melakukan kegiatan seperti pengkodean, pengukuran, pengklasifikasian, menyimpulkan, dan pemodelan. Akhiran tics berasal dari techne, dan memiliki akar yang sama dengan teknik. Etnomatematika berdasarkan definsi di atas dapat diartikan sebagai matematika yang dipraktekkan oleh sekelompok masyarakat dalam kehidupannya sehari-hari. Aktifitas masyarakat dalam pembangunan, perekonomian, dan lain-lain terkandung didalamnya penerapan matematika. Dengan kata lain, etnomatematika itu adalah matematika dalam praktekpraktek budaya masyarakat. Dedi Mulayana dan Jalaluddin Rahmat (2006) mendefinisikan budaya sebagai suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar, dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia. Pengertian senada dikemukakan juga oleh Koentjaraningrat (1987) yang mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya. Berdasarkan pengertian budaya, satuan “suku” merupakan salah satu bentuk kebudayaan yang berada di masyarakat Jambi. Hingga sekarang, satuan itu masih digunakan. Hal ini menunjukkan bahwa gagasan masyarakat berupa satuan emas itu diwariskan dan diajarkan terus menerus oleh masyarakat Jambi. Bentuk-bentuk pewarisannya antara lain terlihat pada 187 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 pemberian mas kawin pada perkawinan, transaksi hutang-piutang atau pinjam-meminjam emas, barter, dan sebagainya. Bentuk-bentuk pewarisan “suku” itu menjadi bukti bahwa terdapat kegiatan matematika dalam kehidupan budaya masyarakat Jambi. Oleh karena itu, peneliti tertarik melakukan penelitian dengan rumusan masalah yaitu bagaimana etnomatematika masyarakat Jambi dalam penghitungan berat emas? Karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan hasil eksplorasi bentuk etnomatematika masyarakat Jambi dalam menghitung berat emas. Ketercapaian tujuan ini sangat penting agar aktivitas matematika yang telah menyatu dengan budaya khususnya dalam penghitungan berat emas di Jambi tetap terjaga. B. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan etnografi. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara holistic, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Sugiono, 2013). Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan etnografi yaitu pendekatan empiris dan teoritis yang bertujuan mendapatkan deskripsi dan analisis mendalam tentang kebudayaan berdasarkan penelitian lapangan yang intensif. Pendekatan ini memusatkan usaha untuk menemukan bagaimana masyarakat mengorganisasikan budaya mereka dalam pikiran mereka dan kemudian menggunakan budaya tersebut dalam kehidupan, budaya tersebut ada dalam pikiran manusia. Tugas etnograf adalah menemukan dan menggambarkan organisasi pikiran tersebut (Spradley, 2006). Menurut Lila Na’imatul (2015) untuk mempermudah dalam melaksanakan penelitian, maka diperlukan alur penelitian dengan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Pendahuluan, langkah ini dilakukan dengan cara menentukan subjek penelitian dan mengamati atau menentukan aktivitas yang biasa dilakukan oleh masyarakat Jambi. 2. Melakukan kegiatan persiapan, langkah ini terdiri dari mengidentifikasi masalah dan informasi yang ditemukan pada tahap pendahuluan, pemilihan masalah, penentuan tujuan penelitian, serta menyiapkan instrumen berupa pedoman wawancara. 3. Mengumpulkan data, langkah ini dilakukan dengan cara wawancara, dokumentasi. 4. Analisis data, langkah ini dilakukan dengan membandingkan data hasil penelitian. 5. Kesimpulan, pada tahap ini, peneliti membuat kesimpulan dari analisis data yang didapat dan mengacu pada rumusan masalah. 188 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 C. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengumpulan data dilakukan bulan Januari 2016 dengan subjek penelitian yang terdiri dari dua toko mas yang berada di kawasan pasar Kota Jambi yaitu Toko Mas ”Gunung Sari” dan Toko Mas ”Cantik”. Berdasarkan hasil eksplorasi diketahui bahwa terdapat aktivitas matematika yang muncul pada kegiatan jual beli emas yang dilakukan oleh masyarakat kota Jambi. Aktivitas matematika tersebut diantaranya membilang, menghitung dan mengukur. Aktivitas matematika pertama yaitu membilang. Membilang hanya muncul pada saat menyebutkan ukuran berat emas. Pada saat menyebutkan ukuran berat, masyarakat Jambi mengunakan istilah suku. Emas yang diperjualbelikan juga memiliki beberapa klasifikasi berdasarkan persentase kadar emas yaitu emas logam mulia, emas murni, dan emas graman. Tabel 1. Klasifikasi kadar emas No Klasifikasi Emas Persentase kadar emas 1 Logam Mulia 100 % 2 Murni 99 % 3 Graman - Aktivitas matematika kedua yaitu aktivitas menghitung. Aktivitas ini sering muncul pada kegiatan jual beli emas pada masyarakat Jambi. Pada saat memperkirakan jumlah berat emas, aktivitas yang muncul adalah konsep perbandingan senilai. Para penjual emas mayoritas menggunakan berat suku sebagai acuan untuk menyatakan jumlah berat emas yang digunakan. Dengan ukuran berat tersebut, masyarakat Jambi dapat menentukan jumlah berat emas yang akan dibeli. Misalnya berat emas yang akan dihitung adalah 1 suku, 2 suku dan lain sebagainya. Jika 1 suku benilai 6,7 gram, maka 2 suku bernilai 2 kali dari berat 1 suku yaitu 13,4 gram. Selain konsep perbandingan senilai, terdapat aktivitas menghitung lainnya pada saat menentukan jumlah berat emas yang akan dihitung. Aktivitas berhitung ini berupa operasi perkalian dan pembagian. Operasi perkalian digunakan untuk menentukan jumlah berat emas lebih dari 1 suku sedangkan operasi pembagian kebalikannya. Konsep perkalian yang digunakan ada yang langsung mengalikan bilangan pengali dan yang dikali seperti biasa, ada juga yang mengubah perkalian menjadi penjumlahan. Konsep perkalian kedua yang digunakan oleh subjek penelitian berbeda dengan konsep yang ada dalam buku ajar. Misalnya 2 x 3, cara subjek penelitian menghitung perkalian tersebut dengan menjumlahkan 2 sebanyak 3 kali. Dalam buku ajar matematika dijelaskan apabila ada perkalian antara a dan b berarti bahwa b dijumlahkan sebanyak a kali, sehingga untuk perkalian antara 2 dengan 3 berarti bahwa 3 dijumlahkan 189 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 sebanyak 2 kali. Hal ini yang menyebabkan penggunaan konsep tersebut hingga sekarang karena hasil yang diperoleh sama dengan konsep dasar yang sesungguhnya. Sama halnya dengan perkalian, pada pembagian misalnya penghitungan berat emas yaitu setengah suku berarti jumlah beratnya adalah 3,35 gram yang diperoleh dari 6,7 = 3,35 = Pada aktivitas matematika menghitung juga termasuk didalamnya harga emas berdasarkan beratnya. Di pasaran kota Jambi pada saat peneliti melakukan observasi, harga 1 suku emas adalah Rp. 3.300.000,00 tidak termasuk dengan upah. Karena upah yang ditetapkan pada setiap emas berbeda-beda sesuai dengan kerumitan dalam pembuatan emas tersebut. Aktivitas matematika ketiga yang mencul adalah aktivitas mengukur. Pada saat menyebutkan ukuran berat emas istilah yang digunakan berdasarkan klasifikasi kadar emasnya yaitu logam mulia, murni atau graman. Pada kadar emas logam mulia terbuat dari 100% emas asli, sedangkan emas murni terbuat dari 99% emas asli dan 1% campuran. D. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak aktifitas etnomatematika dalam penghitungan berat emas pada masyarakat Jambi. Aktivitas etnomatematika tersebut meliputi aktivitas membilang, menghitung, dan mengukur. Aktivitas membilang hanya muncul pada saat menyebutkan ukuran berat emas. Pada saat menyebutkan ukuran berat, masyarakat Jambi mengunakan istilah suku. Dengan klasifikasi persentase kadar emasnya yaitu ”logam mulia, murni, graman”. Aktivitas yang sering muncul dalam aktivitas penghitungan berat emas adalah aktivitas menghitung, karena langsung disebutkan jumlah berat emas yang akan dihitung. Akivitas menghitung yang muncul pada saat memperkirakan jumlah berat emas berupa konsep perkalian. 1 suku bernilai 6,7 gram dan 2 suku bernilai 2 dikali 6,7 gram dan begitu seterusnya. Selain itu terdapat aktivitas menghitung lainnya yang muncul pada kegiatan perkiraan jumlah berat emas yaitu perbandingan senilai. Aktivitas matematika ketiga yang mencul adalah aktivitas mengukur. Pada saat menyebutkan ukuran berat emas istilah yang digunakan berdasarkan klasifikasi kadar emasnya yaitu logam mulia, murni atau graman. Saran untuk peneliti selanjutnya yaitu agar lebih teliti lagi dalam memilih subjek penelitian sehingga informasi yang diperoleh sesuai dengan yang diinginkan pada tujuan penelitian. Selain itu, lebih teliti dalam mencari aktivitas etnomatematika yang ada pada suatu masyarakat dan lebih tanggap terhadap jawaban yang diberikan subjek penelitian. Penelitian ini belum sempurna sehingga diharapkan pada penelitian selanjutnya penelitian dapat lebih fokus dalam mengungkap etnomatematika pada masyarakat Jambi. 190 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 DAFTAR PUSTAKA 1. Apriyanti. 2011. Anti Rugi Dengan Berinvestasi Emas. Yogyakarta: Pustaka baru press. 2. Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, 2006. Komunikasi Antarbudaya:Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. 2006. Bandung:Remaja Rosdakarya 3. Evan, W. 2012. The Differences of investing in real gold and gold shares. Bradford economic and management journal. 4. Kusnandar. 2011. Cara Cerdas Berkebun Emas. Jakarta:Transmedia. 5. Lila Na’imatul N, Susanto, Nurcholif Diah Sri Lestari. 2015. Identifikasi Aktivitas Etnomatematika Petani pada Masyarakat Jawa di Desa Sukoreno. Artikel Ilmiah Mahasiswa. 2015, I (1):1-6. 6. Milton Rosa dan Daniel Clark Orey, Ethnomathematics: The Cultural Aspects Of Mathematics, https://dialnet.unirioja.es/descarga/articulo/3738356.pdf 7. Musri Nauli, 2016. Jambi dalam Hukum, dalam http://musri-nauli.blogspot.com/2016/04/modelpenghitungan-di-jambi.html 8. Spradley, James P. (2006). Metode etnografi, Yogyakarta, Tiara Wacana. 9. Sugiono. (2013). Metode Penelitian Pendidikan, Bandung, Alfabeta. 191 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN INQUIRY DAN GAYA KOGNITIF SISWA TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA DI KELAS VIII SMP NEGERI 8 KERINCI Trisna Rukhmana1, Kamid2, Rayandra Asyhar3 Program Magister Pendidikan Matematika Universitas Jambi [email protected] Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran inquiry terhadap hasil belajar matematika siswa, pengaruh gaya kognitif siswa terhadap hasil belajar matematika siswa, dan pengaruh interaksi antara penggunaan model pembelajaran dan gaya kognitif siswa terhadap hasil belajar matematika siswa di kelas VIII (Delapan) SMP Negeri 8 Kabupaten Kerinci tahun pelajaran 2015/2016. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian eksperimen semu dengan menerapkan desain faktorial 2 × 2. Populasi penelitian adalah siswa SMP Negeri 8 Kabupaten Kerinci Kelas VIII Semeseter genap tahun pelajaran 2015/2016. Sampel penelitian terdiri dari 1 kelas eksperimen dan 1 kelas kontrol. Pengumpulan data dilakukan menggunakan dua macam instrumen yakni intrumen Group Embedded Figures Test (GEFT) untuk mengukur gaya kognitif siswa dan instrumen tes hasil belajar matematika siswa dalam bentuk essay. Uji statistic yang digunakan adalah dengan menggunakan anova dua jalur untuk melihat pengaruh model pembelajaran dan pengaruh gaya kognitif terhadap hasil belajar matematika serta interaksi antara model pembelajaran dan gaya kognitif siswa terhadap hasil belajar matematika siswa. Uji lanjut menggunakan uji t untuk melihat perbedaan hasil belajar siswa berdasarkan gaya kognitif siswa. Kata Kunci : Model pembelajaran discovery, konvensional, gaya kognitif dan hasil Belajar. A. PENDAHULUAN Tantangan terberat dunia pendidikan di Indonesia adalah peningkatan kualitas pembelajaran untuk menghasilkan lulusan yang memiliki daya saing dan mampu beradaptasi dengan perubahan serta kreatif dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Hal ini dipandang penting karena menghadapi abad-21, manusia dihadapkan pada berbagai masalah yang timbul sebagai dampak globalisasi dan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Penulis melakukan observasi pada tanggal 11 januari 2016 di SMP Negeri 8 Kerinci pada kelas VIII. Ternyata sikap ilmiah siswa termasuk dalam kategori Baik (B) dimana sikap ilmiah yang paling menonjol adalah rasa ingin tahu. Guru sebaiknya mempertimbangkan hakikat matematika dalam melaksanakan pembelajaran kepada siswa. Pada umumnya guru belum menggunakan model pembelajaran yang sesuai dengan gaya kognitif siswa sehingga siswa kurang termotivasi untuk belajar matematika. Selain itu proses belajar mengajar cenderung masih menggunakan model pembelajaran yang 192 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 konvensional. Aktivitas siswa untuk bertanya, menjawab dan mengajukan pendapat, sangat kurang pada saat pembelajaran berlangsung. Proses belajar mengajar juga belum dilakukan dengan disiplin dalam penggunaan waktunya. Akibatnya nilai ujian semester genap masih dibawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Dari permasalahan yang telah dikemukakan dibutuhkan adanya suatu model pembelajaran, agar proses pembelajaran matematika lebih menyenangkan dan bermanfaat sehingga diharapkan dapat meningkatkan aktifitas dan pemahaman siswa dalam pembelajaran. Salah satu model pembelajaran yang mampu mengantisipasi kelemahan model pembelajaran konvensional adalah dengan menggunakan model pembelajaran yang pendekatannya berpusat pada siswa, salah satunya adalah model pembelajaran Inquiry. Inquiry merupakan sebuah proses dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dan memecahkan masalah berdasarkan pengujian logis atas fakta-fakta dan observasi-observasi. Abidin (2014:49) mengemukakan model pembelajaran inquiry (selanjutnya disebut MPI) adalah suatu model pemelajaran yang dikemabangkan agar siswa menemukan dan menggunakan berbagai sumber informasi dan ide-ide untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang masalah, topic, atau isu-isu tertentu. Penggunaan model ini menuntut siswa untuk mampu untuk tidak hanya sekedar menjawab pertanyaan atau mendapatkan jawaban yang benar. Model ini menuntut siswa untuk melakukan serangkaian investigasi, eksplorasi, pencarian, eksperimen, penelusuran dan penelitian. Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran inquiry suatu rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuan dengan penuh percaya diri. Menurut Hartono (2013:61-62) salah satu strategi pembelajaran yang berpusat pada siswa adalah inkuiri. Inkuiri adalah startegi pembelajaran yang meransang, mengajarkan dan mengajak siswa untuk berpikir kritis, analitis dan sistematis dalam rangka menemukan jawaban secara mandiri dari berbagai permasalahan yang diutarakan. Strategi ini merupakan pembelajaran yang menuntut keterlibatan aktif para siswa untuk menyelidiki dan mencari melalui proses berpikir katif. Pihak yang punya banyak aktivitas dalam strategi ini adalah siswa melalui proses mental. Siswa mempunyai keleluasan dan kebebasan untuk mengeksplorasi seluruh kemampuan tanpa harus terbebani. Strategi ini juga menjadi bagian strategi yang dapat diterima oleh siswa. Strategi ini focus pada siwa. Pihak yang berperan sebagai subjek pembelajaran adalah siswa. Dalam proses pembelajaran ini, siswa tidak hanya berperan sebagai penerima materi pembelajaran dari keterangan verbal seorang guru, melainkan juga berperan aktif 193 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 untuk menemukan sendiri makna substansi dari materi pembelajaran itu sendiri. Aktivitas siswa diarahkan untuk menemukan sendiri makna dan substansi dari materi pembelajaran itu sendiri. Aktivitas siswa diarahkan untuk menemukan jawaban dari suatu yang dipertanyakan oleh guru. Guru hanya berperan sebagai fasilitator yang mengantarkan pada permaslahan melalui pertanyaan. Startegi pembelajaran inkuiri pada prinsipnya tak hanya mengajarrkan siswa untuk memahami dan mendalami materi pembelajaran, tapi juga melatih kemampuan siswa berpikir dengan baik. Siswa yang mempunyai kemampuan untuk menguasai materi pembelajaran belum tentu bias mengembangkan proses berpikir secara benar, tapi siswa yang sudah mempunyai kemampuan berpikir benar akan dengab mudah memahami materi pembelajaran. Strategi ini ingin mengembangkan kemampuan menguasai materi melalui proses berpikir yang baik. Selain pemilihan model pembelajaran yang tepat, perolehan hasil belajar suatu kegiatan pembelajaran yang dipengaruhi oleh kemampuan guru dalam mengenal dan memahami karakteristik siswa. Seorang guru mampu mengenali karakteristik siswa akan dapat membantu terselenggaranya proses pembelajaran secara peningkatan hasil belajar siswa. Seorang guru efektif yang memungkinkan hendaknya mampu mengenal dan mengetahui karakteristik siswa akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan proses belajar siswa. Apabila guru telah mengetahui karakteristik siswanya, maka selanjutnya dapat menyesuaikan dengan model pembelajaran yang akan digunakan. Proses pembelajaran dikatakan efektif apabila terjadi transfer belajar, yaitu materi pelajaran yang disajikan oleh guru dapat diserap oleh struktur kognitif siswa. Siswa dapat menguasai materi tersebut tidak hanya terbatas pada tahap ingatan tanpa pengertian (rote learning), tetapi diserap secara bermakna (meaningful learning). Agar terjadi transfer belajar yang efektif, maka guru harus memperhatikan karakteristik setiap siswa. Karakteristik adalah aspek-aspek yang ada dalam diri siswa yang dapat mempengaruhi prilakunya. Pembelajaran akan semakin efektif atau semakin berkualitas bila proses belajar mengajar dilakukan sesuai dengan karakteristik siswa yang diajar. Salah satu karakteristik siswa adalah gaya belajar siswa. Gaya belajar merupakan cara yang khas dimiliki seseorang dalam belajar. Gaya belajar meliputi beberapa komponen, antara lain : tipe belajar dan gaya kognitif (Rahman, 2008:454). Rahman (2008:455) juga mengemukakan gaya kognitif adalah cara yang khas yang digunakan seseorang dalam mengamati dan beraktivitas mental dibidang kognitif. Gaya kognitif adalah suatu cara yang konsisten yang dilakukan oleh siswa dalam menangkap stimulus atau informasi, cara mengingat berpikir dan memecahkan permasalahan. Dengan 194 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 kata lain setiap siswa memiliki cara yang relatif tetap atau konsisten dalam mengolah informasi, berpikir dan mengingat. Menurut Rahmatika (2014:64) gaya kognitif merupakan salah satu ide baru dalam kajian psikologi perkembangan dan pendidikan. Ide ini berkembang pada penelitian bagaimana individu menerima dan mengorganisasi informasi dari lingkungan sekitarnya. Sebagai seorang guru haruslah mengerti akan adanya keterkaitan antara kreativitas yang dihasilkan dari masing-masing gaya kognitif tersebut. Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa gaya kognitif adalah gaya yang konsisten yang dimiliki oleh siswa dalam belajar. Gaya kognitif siswa perlu disesuaikan dengan gaya mengajar guru. Salah satu dimensi gaya kognitif adalah Field Independent (FI) dan Field Dependent (FD). Gaya kognitif FI Menurut Arends (Sulani, 2014:10) melihat bagian-bagian secara terpisah, memiliki kemampuan analitis kuat, dan lebih memantau pemprosesan informasi dari pada berhubungan dengan orang lain, sedangkan gaya kognitif FD menganggap situasi secara keseluruhan, melihat gambaran masalah yang paling besar, impersonal, mementingkan hubungan disimpulkan soaial dan bahwa mengorganisasikan, bekerja gaya baik kognitif merespon, dalam adalah mengolah kelompok. Dari cara setiap informasi dan uraian individu tersebut dalam menyusunnya dapat menerima, berdasarkan pengalaman-pengalaman yang dialami berdasarkan kajian psikologis. Husdarta (2010:24) mengemukakan gaya belajar kognitif dapat dibagi menjadi tiga tipe siswa dalam belajar. Ketiga tipe tersebut terdiri dari : (1) Field dependence dan Field indepence, (2) impulsif dan reflektif, dan (3) preseptif/reseptif dan sistematis/intuitif. Menurut Ngilawajan (2013:73) gaya kognitif merupakan cara seseorang memproses, menyimpan maupun menggunakan informasi untuk menanggapi suatu tugas atau berbagai jenis lingkungannya. Dalam penelitian ini, peneliti memilihi fokus pada tipe gaya kognitif FI dan FD. Perbedaan mendasar dari kedua gaya kognitif tersebut yaitu dalam hal bagaimana melihat suatu permasalahan. Berdasarkan beberapa penelitian dibidang psikologi, ditemukan bahwa individu dengan gaya kognitif FI cenderung lebih analitis dalam melihat suatu masalah dibandingkan individu dengan gaya kognitif FD. Karakteristik dasar dari kedua gaya kognitif tersebut sangat cocok untuk diterapkan dalam penelitian yang melibatkan proses berpikir dalam pemecahan masalah matematika. Selain itu karakteristik kedua gaya kognitif tersebut sesuai dengan kondisi banyak siswa yang ditemui penulis dilapangan sehingga hal ini menjadi alasan bagi penulis untuk memilih gaya kognitif FI dan FD sebagai fokus penelitian. 195 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Nasution (2015:95) menyatakan berdasarkan studi longitudinal yang dilakukan oleh H. Witkin atas 1600 mahasiswa sejak tahun 1954 sampai 1970 ia menemukan test untuk membedakan tipe-tipe gaya belajar para mahasiswa. Perta-tama akan dibicarakan beda gaya belajar yang field dependent dan field independent. Witkin telah mengembangkan suatu instrumen berupa gambar sederhana dalam suatu pola yang kompleks. Instrumen yang dimaksud disebut dengan istilah Group Embedded Figures Test (GEFT). Dengan instrumen ini dapat diketahui jenis gaya kognitif siswa apakah Berdasarkan gaya FI atau FD. fenomena tersebut, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang Pengaruh model pembelajaran inquiry dan gaya kognitif siswa terhadap hasil belajar matematika siswa di kelas VIII (Delapan) SMP Negeri 8 Kerinci. B. METODE PENELITIAN Penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian eksperimen semu dengan menerapkan desain faktorial 2X2. Dimana faktor I : model pembelajaran inquiry dengan 2 jenis gaya kognitif FI dan FD dan faktor II : model pembelajaran konvensional dengan dua gaya kognitif yaitu gaya kognitif FI dan FD. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan faktorial 3 X 2. Adapun desainnya adalah sebagai berikut: Tabel 3.1. Tabel rancangan penelitian Gaya Kognitif Model Pembelajaran Inquiry (A1) Inquiry (A2) Konvensional (A3) Field Independent (B1) A1 B1 A2 B1 A3B1 Field Dependent (B2) A1 B2 A2 B2 A3B2 Keterangan : A1B1 = Kelompok siswa dengan gaya kognitif FI yang diberi perlakuan dengan Model inquiry. A1B2 = Kelompok siswa dengan gaya kognitif FD yang diberi perlakuan dengan Model inquiry. A2B1 = Kelompok siswa dengan gaya kognitif FI yang diberi perlakuan dengan Model inquiry. A2b2 = Kelompok siswa dengan gaya kognitif FD yang diberi perlakuan dengan Model inquiry. A3B1 = Kelompok siswa dengan gaya kognitif FI yang diberi perlakuan dengan Model Konvensional. A3B2 = Kelompok siswa dengan gaya kognitif FD yang diberi perlakuan dengan Model Konvensional. Prosedur yang dilakukan dalam penelitian ini adalah : 196 pembelajaran pembelajaran pembelajaran pembelajaran pembelajaran pembelajaran Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 a. Menentukan populasi; b. Menentukan sampel secara purposive sampling, sampel dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok eksperimen satu, kelompok eksperimen dua dan kelompok kontrol. c. Melakukan tes gaya kognitif siswa dengan menggunakan Group Embedded Figures Test (GEFT). Setelah tes dialkukan siswa dikategorikan menjadi 2 kelompok yaitu kelompok siswa dengan gaya kognitif FI dan kelompok siswa dengan gaya kognitif FD. d. Kelompok eksperimen diberikan pembelajaran dengan model pembelajaran inquiry, dan kelompok kontrol diberikan model pembelajaran konvensional. e. Melakukan tes prestasi belajar. f. Melakukan tes analisis data untuk mengetahui perbedaan prestasi belajar siswa. Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII SMP Negeri 8 Kerinci tahun pelajaran 2015/2016. Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki populasi tersebut. Pengambilan sampel dilakukan secara Total sampling pada kelas VIII SMP Negeri 8 Kerinci. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah total sampling. Total sampling adalah teknik penentuan sampel dengan mengambil seluruh anggota populasi sebagai responden atau sampel (sugiyono, 2013). Dengan demikian, maka peneliti mengambil sampel dari seluruh kelas VIII SMP Negeri 8 Kerinci. DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Abidin, Y., 2014. Desain sistem pembelajaran dalam konteks kurikulum 2013. Bandung: Refika aditama. Husdarta, J. Y. M., 2013. Belajar dan pembelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan. Bandung: ALFABETA. Nasution, S., 2015. Berbagai pendekatan dalam proses belajar dan mengajar. Bandung: Bumi Aksara. Ngilawajan, D. A., 2013. Proses berpikir siswa dalam memecahkan masalah matematika materi turunan ditinjau dari gaya kognitif Field independent dan field dependent. Pedagogia, 2(1): 73-74. Rahman, A., (2008). Analisis hasil belajar matematika berdasarkan perbedaan gaya kognitif secara psikologis dan konseptual tempo pada siswa kelas X SMA Negeri 3 Makassar. Jurnal pendidikan dan kebudayaan, 14(072) : 454-460. Rahmatina, S., 2014. Tingkat berpikir kreatif siswa dalam menyelesaikan masalah matematika berdasarkan gaya kognitif refleksif dan impulsif. Didaktik matematika, 1(1): 64. Sugiyono, 2013. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung: ALFABETA. 197 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN ARCSI DENGAN PENDEKATAN SAINTIFIK Usmadi Abstrak. Secara umum penelitian ini ingin menyumbang pengetahuan tentang suatu model pembelajaran baru yang berlandaskan suatu strategi motivasi model ARCS( Attention, Relevance, Confidence, Satisfaction ) yang digabungkan dengan nilai-nilai Islami untuk membentuk karakter Guru dan peserta didik yang berbasis Alqur’an dan Hadist, sedangkan pendekatan pembelajaran menggunakan pendekatan saintifik yang sesuai dengan tuntutan kurikulum 2013. Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan yang bertujuan untuk memperoleh Model Pembelajaran ARCSI dengan Pendekatan Saintifik yang memenuhi kriteria valid. Adapun langkah pengembangan model pembelajaran ini adalah 1) Preliminary Research, 2) Prototyping , dan 3) Assesment. Dengan mengikuti tahap pengembangan di atas diperoleh buku panduan tentang model pembelajaran ARCSI dengan pendekatan saintifik beserta sistem pendukung yang memenuhi kriteria valid. Adapun sintak Model Pembelajaran ARCSI (Attention, Relevance, Confidence, Satisfaction, Islami ) dengan Pendekatan Saintifik adalah (1) orientasi, (2) memfasilitasi peserta didik untuk melakukan pengamatan, (3) merumuskan pertanyaan tentang fenomena yang diamati, (4) mengumpulkan informasi untuk menjawab pertanyaan, (5) Diskusi kelompok untuk mengasosiasi/mengolah informasi, (6) diskusi kelas untuk mengkomunikasikan/ mempresentasikan hasil diskusi kelompok, (7) konfirmasi (penguatan) materi pembelajaran, (8) mereviu materi pembelajaran, dan (9) memberikan evaluasi dan tugas di rumah. Sedangkan sistem pendukung dalam pengembangan model ini adalah buku pedoman kerja guru (PKG), buku kerja peserta didik (PKPD) dan bahan ajar. Kata Kunci: Strategi motivasi ARCS, nilai-nilai Islami, pendekatan saintifik, dan model pembelajaran ARCSI A. PENDAHULUAN Harapan pendidikan nasional adalah agar peran guru dalam pendidikan di sekolah bisa secara maksimal dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan, khususnya mutu proses dan hasil pembelajaran. Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik ( PP Nomor 19 tahun 2005 Pasal 19). Hal ini berarti proses pembelajaran yang diharapkan adalah pembelajaran yang bermotivasi dan guru memiliki karakter Islami yang berbasiskan nilai-nilai luhur dalam Alqur’an dan hadist Rasulullah Muhammad Saw.. Begitu pula tuntutan akan kebutuhan pendidikan pada saat sekarang ini, siswa hendaknya mampu berpikir kritis dan mampu untuk menemukan atau merekonstruksi rumus-rumus matematika melalui pola metode ilmiah (pendekatan saintifik). Namun kenyataannya di lapangan (berdasarkan observasi bulan Februari 2016 dibeberapa SMP/ MTs di kabupaten Agam dan kota Bukittinggi), 198 ditemukan guru dalam proses pembelajaran Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 matematika di kelas masih tetap berpola tradisional,yakni proses pembelajaran matematika masih cenderung berlangsung satu arah, yaitu dari guru ke siswa. Umumnya pola pembelajaran pada setiap pertemuan yang diterapkan oleh guru adalah: menjelaskan materi ajar, memberikan contoh-contoh aplikasi, memberikan latihan, dan di akhir pembelajaran guru memberikan latihan di rumah. Nampak bahwa pola pembelajaran seperti itu menyebabkan siswa cenderung bersifat pasif, para siswa tidak mampu untuk mengkomunikasikan gagasan- gagasan yang mereka miliki, guru mendominasi kegiatan kelas, akibatnya daya nalar dan kreativitas siswa kurang berkembang dengan semestinya. Ini sejalan dengan pendapat Marpaung (2003) bahwa proses pembelajaran di sekolah pada umumnya bersifat mekanistik, siswa tidak diberdayakan untuk berpikir, kemampuan yang dikembangkan adalah kemampuan menghafal dan kemampuan kognitif tingkat rendah. Selama ini terpatri kebiasaan diajarkan dengan urutan sajian pembelajaran matematika sebagai berikut: (1) teori/definisi/teorema, (2) diberikan contoh-contoh, (3) diberikan latihan soal. Pembelajaran tidak diawali dengan masalah yang terkait dengan kehidupan sehari- hari siswa (Soedjadi, 2001). Akibatnya siswa menirukan saja apa yang diajarkan guru, tanpa terlibat aktif menemukan rumus/pengertian. Seharusnya, guru dalam proses pembelajaran dapat mengubah lingkungan pembelajaran agar siswa dapat memotivasi dirinya sendiri (Keller: 1987b). Strategi motivasi ARCS (Attention, Relevance, Confidence, Satisfaction ) merupakan salah satu model strategi motivasi yang khusus untuk bidang pendidikan yang telah dikembangkan oleh Keller (1983) dan Keller dan Kopp (1987: 2-9). Strategi motivasi model ARCS ini menekankan strategi dan desain bentuk motivasi yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran dan bahan pengajaran. Nilai- nilai Islami (berbasiskan Alqur’an dan Hadist) perlu diperkenalkan kepada guru, agar seorang guru dalam melaksanakan proses pembelajaran hendaknya bisa mencontoh pembelajaran yang dilakukan oleh Rasulullah Muhammad Saw. yakni beliau menggunakan hati nurani dan perasaan yang tulus ketika mendidik orang lain, dan menggunakan segala waktu beliau untuk mendidik semua orang (Elfindri, 2010; Ashori dkk.,2012). Berdasarkan uraian di atas, perlu kiranya dikembangkan suatu model pembelajaran yang bermotivasi dan bernuansa Islami yang mengoptimalkan keaktifan siswa, sederhana, sistematik, bermakna dan dapat digunakan oleh guru sebagai dasar untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan baik. Model pembelajaran yang dikembangkan adalah model pembelajaran ARCSI dengan pendekatan saintifik. Model pembelajaran ARCSI dengan pendekatan saintifik yang dikembangkan memperhatikan berbagai konsep teori belajar dan teori strategi motivasi model ARCS, dan dalam proses pembelajaran diharapkan guru mengajar dengan mengaplikasikan nilai- nilai Islami yang 199 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 bersumber dari Alqur’an dan Hadist, serta menggunakan pendekatan saintifik. Adapun permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah “ Bagaimana proses dan hasil pengembangan Model Pembelajaran ARCSI dengan Pendekatan Saintifik yang valid? B. METODOLOGI PENELITIAN Prosedur pengembangan dalam penelitian ini digunakan model desain pengembangan dari Plomp (2013). Proses pengembangan dapat digambarkan dalam diagram alir seperti gambar berikut ini. Analisis Kurikulum Analisis Konsep Analisis Karakteristik Siswa Analisis Buku Teks yang digunakan di lapangan Preliminary Research Phase Tahap Prototype: Prototype 1 Self Evaluation Expert Review Tidak Valid ? Revisi Ya Prototype 2 Evaluasi Perorangan (one to one) Development and Prototyping Phase Revisi Prototype 3 Evaluasi Kelompok Kecil Revisi Prototype 4 Revisitest) Uji Lapangan (field Analisis Praktis? Tidak Revisi Tahap Assesment: Produk Akhir Efektif ? Ya 200 Tidak Revisi Assesment Phase Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Model dan Perangkat yang valid, praktis, dan efektif untuk pembelajaran matematika Gambar 5. Diagram Alir Model Pengembangan (dimodifikasi dari Model McKenny) a. Fase Preliminary Research Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini mengkaji: analisis kurikulum, analisis konsep, analisis karakteristik siswa, dan analisis buku teks yang digunakan di lapangan. b. Fase Prototipe (Development or Prototyping Phase) Pada fase ini dirancang model pembelajaran ARCSI dengan pendekatan saintifik dengan mengoptimalkan keaktifan siswa. Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini meliputi: (1) merancang sintaks pembelajaran bermotivasi yang berdasarkan strategi motivasi model ARCS dan guru dalam proses pembelajaran memiliki karakter nilai- nilai Islami dan pendekatan dalam pembelajaran menggunakan pendekatan saintifik, (2) merancang lingkungan belajar atau sistem sosial, yaitu situasi atau suasana dan norma yang berlaku dalam model tersebut, seperti peran guru dan aktivitas yang harus dilakukan guru selama prose pembelajaran berlangsung, (3) merancang prinsip reaksi, yaitu memberikan gambaran kepada guru bagaimana harus memberikan intervensi kepada siswa serta bagaimana memandang dan merespon setiap perilaku yang ditunjukkan oleh siswa selama pembelajaran, (4) merancang sistem pendukung, yaitu syarat/kondisi yang diperlukan agar model pembelajaran yang sedang dirancang dapat terlaksana, seperti setting kelas, sistem instruksional, perangkat pembelajaran (seperti bahan ajar, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar Kerja Kelompok Peserta Didik (LKKPD) , dan Lembar Kerja Individu Peserta Didik (LKIPD)), fasilitas belajar, dan media yang diperlukan dalam pembelajaran, (5) merancang dampak dari pembelajaran. Dampak disini ada dua macam yaitu dampak instruksional dan dampak pengiring. Dampak instruksional adalah dampak yang merupakan akibat langsung dari pembelajaran, seperti meningkatnya motivasi belajar, dan hasil belajar matematika peserta didik, sedangkan dampak pengiring adalah akibat tidak langsung dari pembelajaran, seperti sifat jujur, demokratis, inovatif, kompetitif, bertaqwa, dan sebagainya. Hasil pada fase ini masih berupa ide-ide awal atau draf awal (Prototipe 1). c. Fase Penilaian (Assesment Phase) Tahap ini difokuskan pada dua hal, yakni: (1) memvalidasi dan (2) mengadakan uji coba lapangan prototipe 1 tentang model pembelajaran beserta sistem pendukung yang telah disusun. Penelitian ini hanya difokuskan pada memvalidasi model beserta perangkatnya secara teoritis dan uji coba terbatas. Produk yang akan diperoleh dalam penelitian ini adalah prototipe model pembelajaran ARCSI dengan pendekatan saintifik yang memenuhi kriteria valid. 201 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Adapun kegiatan yang dilakukan pada tahap ini secara rinci adalah sebagai berikut. 1) Memvalidasi Model Kegiatan yang dilakukan pada waktu memvalidasi model adalah sebagai berikut. a) melakukan self evaluation dan meminta pertimbangan validator tentang kelayakan prototipe model pembelajaran yang telah disusun. Untuk kegiatan ini diperlukan instrumen berupa lembar validasi yang diserahkan kepada validator. Validator terdiri dari ahli tentang pendidikan matematika, dan praktisi/guru. b) Melakukan analisis terhadap hasil validasi dari validator. Jika hasil analisis menunjukkan: (1) valid tanpa revisi, maka kegiatan selanjutnya adalah uji coba lapangan. (2) valid dengan revisi kecil, maka dilakukan revisi, setelah itu ujicoba lapangan tentang keterbacaan perangkat secara terbatas. Berdasarkan analisis hasil ujicoba terbatas dilakukan revisi, sehingga diperoleh prototipe 2. Setelah itu dilakukan ujicoba lapangan dengan skala yang lebih besar. (3) tidak valid, maka dilakukan revisi besar sehingga diperoleh prototipe 2. Kemudian kembali pada kegiatan (a), yaitu meminta pertimbangan ahli. Disini ada kemungkinan terjadi siklus. 2)Jika hasil dari expert review menyatakan valid maka diperoleh prototipe 2 yang dievaluasi melalui evaluasi orang perorang. Hasil evaluasi perorangan diperoleh prorotipe 3 yang akan diujicobakan pada kelompok kecil. 3) Jika prototipe 3 selesai direvisi maka diperoleh prototipe 4. Prototipe 4 ini yang akan diujicobakan di lapangan. Uji coba terbatas dilakukan untuk melihat keterbacaan perangkat yang dikembangkan, respon siswa, dan ketuntasan hasil belajar secara klasikal. Instrumen penelitian yang digunakan adalah lembar validasi buku pedoman model pembelajaran ARCSI dengan Pendekatan Saintifik, buku pedoman Kerja Guru (PKG), buku pedoman kerja peserta didik (PKPD), bahan ajar, dan tes hasil belajar. Lembar validasi ini bertujuan untuk memperoleh data tentang validitas model besera perangkatnya dari ahli dan praktisi. 4) Kegiatan analisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. a) Melakukan rekapitulasi terhadap semua pernyataan dari validator ke dalam tabel yang meliputi aspek, kriteria, dan hasil penilaian validator. Lalu mencari rerata hasil validasi dari semua validator untuk setiap kriteria. 202 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 b) Mencari validitas tiap aspek (Va) c) Mencari validitas rata-rata (VR) d) Menentukan kategori kevalidan (secara teoretis) dengan mencocokkan rerata total dengan kategori berikut. 4 ≤ Va < 5 → sangat valid 3 ≤ Va < 4 → valid 2 ≤ Va < 3 → kurang valid 1 ≤ Va < 2 → tidak valid Keterangan: Va = validitas rata-rata hasil penilaian ahli terhadap model pembelajaran untuk setiap aspek model pembelajaran ARCSI dengan pendekatan saintifik dikatakan memenuhi kriteria kevalidan apabila: (i) nilai Va (validitas setiap aspek) model pembelajaran ARCSI dengan pendekatan saintifik minimal berada dalam kategori valid, dan (ii) nilai VR (validitas rata-rata) model pembelajaran ARCSI dengan pendekatan saintifik minimal dalam kategori valid 5) Jika hasil validasi menunjukkan belum valid (secara teoretis) dan perlu revisi, maka dilakukan revisi terhadap model pembelajaran yang sedang dikembangkan. Revisi tersebut dapat berakibat langsung terhadap perangkat pembelajaran yang sedang dikembangkan. C. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. HASIL Pengembangan Model Pembelajaran ARCSI dengan Pendekatan Saintifik ini mengikuti model pengembangan yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, yaitu mengikuti tahap-tahap (1) Fase Preliminary Research, (2) Development and Prototyping Phase, (3) Assesment Phase. Adapun hasil pengembangan dari setiap tahap adalah sebagai berikut: a. Fase Preliminary Research Hasil dari Fase Preliminary Research adalah sebagai berikut. 1) Teori-teori belajar yang mendukung adalah teori konstruktivis, teori belajar penemuan, teori belajar Piaget, dan teori Vygotsky. 203 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 2) Karakter guru yang memiliki nilai-nilai Islami yang bersumber dari oleh Al-Qur’an dan Al-Hadist. Seperti guru dalam berkomunikasi, guru dalam bertindak dalam proses pembelajaran menggunakan hati dan perasaan tulus ketika berhadapan dengan orang lain. 3) Kondisi awal siswa SMP/MTs kelas VII sebagai tempat “ujicoba terbatas” sudah pernah belajar diskusi kelompok namun belum terbiasa belajar matematika dengan pendekatan saintifik. Suasana kelas VII SMP/ MTs cukup mendukung penerapan model pembelajaran ARCSI dengan pendekatan Saintifik, karena satu kelas terdiri atas 25-30 orang peserta didik. Dari hasil kajian dan identifikasi tersebut di atas, diperoleh suatu gagasan awal untuk mengembangkan Model pembelajaran Confidence, Satisfaction, Islami) yang ARCSI dikembangkan (Attention, Relevance, mem-perhatikan berbagai konsep teori belajar dan teori strategi motivasi model ARCS, dan dalam proses pembelajaran diharapkan guru mengajar dengan mengaplikasikan nilai- nilai Islami yang bersumber dari Alqur’an dan Hadist, serta menggunakan pendekatan saintifik. Model ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam proses meningkatkan motivasi peserta didik dalam proses pembelajaran dan hasil belajar matematika peserta didik. Proses pembelajaran matematika dengan model pembelajaran ARCSI dengan pendekatan saintifik ini akan membentuk kemampuan peserta didik dalam menyajikan gagasan dan pengetahuan konkret secara abstrak, menyelesaikan permasalahan abstrak yang terkait, dan berlatih berfikir rasional, kritis dan kreatif. Sebagai bagian dari Kurikulum 2013 yang menekankan pentingnya keseimbangan kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan. Kemampuan matematika yang dituntut dibentuk melalui pembelajaran berkelanjutan, yakni dimulai dengan meningkatkan pengetahuan tentang metode-metode matematika, dilanjutkan dengan keterampilan menyajikan suatu permasalahan secara matematis dan menyelesaikannya, serta bermuara pada pembentukan sikap jujur, kritis, kreatif, teliti, dan taat aturan. b. Hasil Development and Prototyping Phase Pada tahap ini dirancang model Pembelajaran ARCSI dengan Pendekatan Saintifik. Hasil yang diperoleh berupa sintak model Pembelajaran ARCSI dengan Pendekatan Saintifik, yakni: (1) orientasi, (2) memfasilitasi peserta didik untuk melakukan pengamatan, (3)merumuskan pertanyaan tentang fenomena yang diamati, (4) mengumpulkan informasi untuk menjawab pertanyaan, (5) meng-asosiasi/mengolah informasi, (6) diskusi kelas untuk meng-komunikasikan/mempresentasikan hasil 204 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 pemecahan masalah, (7) konfir-masi, (8) mereviu materi pembelajaran, (9) evaluasi dan tugas di rumah. Sedangkan sistem pendukung model berupa Buku Model, Buku Pedoman Kerja Guru (PKD), dan Buku Pedoman Kerja Peserta Didik (PKPD) Model Pembelajaran ARCSI dengan Pendekatan Saintifik. Buku Pedoman Kerja Guru (PKD) merupakan buku panduan untuk guru dalam mengelola proses pembelajaran yang digariskan dalam bentuk Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Sedangkan buku Pedoman Kerja Peserta Didik (PKPD) merupakan buku panduan tentang langkahlangkah proses pembelajaran yang akan dilakukan oleh peserta didik yang terdiri dari Lembar Kerja Kelompok Peserta Didik (LKKPD) dan Lembar Kerja Individu Peserta Didik (LKIPD) yang disesuaikan dengan komponen pembelajaran model pembelajaran ARCSI dengan pendekatan saintifik. c. Fase Penilaian (Assesment Phase) Pada penelitian ini baru dilaksanakan sampai fase kedua, sedangkan untuk fase penilaian akan dilanjutkan dengan uji coba lapangan untuk melihat efektifitas dari produk, yakni model pembelajaran ARCSI dengan pendekatan saintifik. Berikut dijabarkan hasil pengembangan yang diperoleh, pembahasan, serta evaluasi dan revisi yang dilakukan. a. Hasil Validasi Validasi para ahli bertujuan untuk melihat validitas isi (content validity). Validasi dilakukan dengan memberikan prototipe 1 dari model pem-belajaran beserta sistem pendukung. Validator diminta memberikan penilaian dan komentar pada lembar validasi (lihat lampiran). Model pembelajaran ini dinilai oleh 4 orang validator, yang terdiri dari tiga orang dosen dari Universitas Negeri Padang, tiga dari dosen Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat, empat dari guru mitra, dan dua puluh tiga orang dari guru muda alumni FKIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat melalui focus group discussion (FGD). Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, maka model pembelajaran yang dikembangkan termasuk dalam kategori valid karena memenuhi validitas konstruk dan validitas isi. Dari hasil validasi, selain diperoleh data tentang validitas konstruk dan validitas isi, juga diperoleh data tentang kepraktisan. Data tentang kepraktisan yang diperoleh adalah pernyataan dari ahli dan praktisi yang menyatakan bahwa model ini secara teoritis dapat dilaksanakan di kelas. 205 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Berdasarkan hasil validasi tersebut, diperoleh hasil bahwa secara teoretis model yang dikembangkan dapat dilaksanakan di lapangan. Selain hasil validasi tersebut, secara informal para praktisi juga menyatakan bahwa model tersebut dapat dilaksanakan di lapangan. Selain memberikan validasi/penilaian, para ahli juga memberikan saran yang konstruktif,diantaranya: 1) Cover dari sistem pendukung berupa buku Pedoman Model, buku Pedoman Kerja Guru (PKG), dan buku Pedoman Kerja Peserta Didik (PKPD) harus sinkron dengan keinginan Model yakni harus didesain lebih menarik lagi agar siswa termotivasi untuk mempelajarinya. 2) Buku model dibagian pendahuluan hendaknya sudah mulai membahas tentang strategi motivasi ARCS dan nilai-nilai karakter yang Islami yang harus dimiliki oleh guru. 3) Sintak model pembelajaran ARCSI dengan pendekatan saintifik, harus jelas sistem sosial yang diinginkan dalam penerapan model, yakni: (1) fasilitator, (2) motivator, (3) mediator dan reflektor, dan (4) pembimbing dalam kegiatan (diskusi). Sedangkan sistem sosial lain yang muncul adalah adanya kerjasama dan saling membantu dalam memahami konsep-konsep materi oleh peserta didik, adanya sikap tanggung jawab secara individual dan dalam kelompok. 4) Lembar Kerja Peserta Didik ( PKKPD dan PKIPD) perlu ditambahkan diketahui, ditanya, penyelesaian, dan simpulan untuk setiap LKKPD yang ada. Untuk proses penyelesaian soal hendaknya diberikan ruang yang lebih banyak agar siswa bisa langsung mengisi pada ruang tersebut. Kemudian soal-soal yang ada pada LKKPD hendaknya harus beda dengan yang ada pada bahan ajar atau buku teks siswa. b. Hasil Ujicoba Uji coba dilaksanakan pada tanggal 7-29 September 2016 di kelas VII SMP Negeri VII kota Bukittinggi dan di kelas VII MTs Pondok Pesantren Diniyah Moderen Pasia Kabupaten Agam. Uji coba dilakukan untuk memperoleh data tentang keterjelasan sintak model pembelajaran ARCSI dengan pendekatan saintifik dengan deskripsi kegiatan guru, serta waktu yang diperlukan untuk masing-masing kegiatan. 1) Prototipe model Pembelajaran ARCSI dengan Pendekatan Saintifik Berdasarkan hasil uji coba, dilakukan beberapa kali perubahan prototipe dari model pembelajaran adalah sebagai berikut. 206 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 a) Prototipe 1 Model Pembelajaran ARCSI dengan Pendekatan Saintifik dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini. Tabel 1. Sintak Model Pembelajaran ARCSI dengan Pendekatan Saintifik Kegiatan Pendahuluan Langkah-langkah Strategi Model ARCSI 1. Mengingatkan kembali siswa pada konsep yang telah dipelajari. Pendekatan Saintifik Dalam Pembelajaran a. Guru mengingatkan kembali materi pelajaran yang terkait dengan materi yang akan dipelajari dengan teknik bertanya yang bervariasi b.Menginformasikan tujuan pembelajaran (menggunakan power point melalui media Infocus). c. Guru mengingatkan kembali materi pelajaran yang terkait dengan materi yang akan dipelajari dengan teknik bertanya yang bervariasi d. Guru Memotivasi Siswa dengan cara memberikan wawasan tentang manfaat materi yang akan dipelajari dalam kehidupan sehari-hari dengan menggunakan power point melalui media In-focus. 2. Menyampaikan tujuan dan manfaat pembelajaran dalam kehidupan sehari- hari (R) Inti 3.Menyampaikan materi pelajaran (R) 1. Mengamati 4. Menggunakan contoh-contoh yang konkrit (A dan R) 2. Menanya 5. Memberi bimbingan belajar (R) 6. Memberi kesempatan kepada siswa untuk berpartisipasi dalam pembelajaran (C dan S) Aktivitas Guru 3. Mengumpulkan Informasi. e. Guru membagi siswa dalam kelompok belajar yang heterogen, terdiri dari 4 atau 5 orang. d. Guru membagikan bahan ajar, berupa Buku ajar, LKS f. Guru mengingatka siswa untuk belajar dengan sungguh- sungguh. Karena hasil kerja akan sesuai dengan usaha yang dilakukan. a. Guru menayangkan bahan ajar dengan bervariasi dan menyuruh siswa untuk membaca, mendengar, menyimak, melihat (tanpa atau dengan alat). b. Guru meminta siswa mengamati fenomena yang ada pada bahan ajar dan atau pada LKS. Guru memotivasi siswa untuk mengajukan pertanyaan tentang informasi yang tidak dipahami dari apa yang diamati atau pertanyaan untuk mendapatkan informasi tambahan tentang apa yang diamati (dimulai dari pertanyaan faktual sampai ke pertanyaan yang bersifat hipotetik). Misalnya guru mengemukakan pertanyaan atau masalah sehubungan dengan fenomena yang diamati. Guru memberikan arahan seandainya siswa masih bingung dengan pertanyaan yang akan dirumuskan. Guru meminta siswa mengumpulkan informasi untuk menyelesaikan pertanyaan atau masalah yang sudah dirumuskan dengan cara: a. melakukan eksperimen b. membaca sumber lain selain buku teks c. mengamati objek/ kejadian/ d. aktivitas e. wawancara dengan nara sumber 4. Mengasosiasi Guru meminta siswa untuk berdiskusi (asosiasi) dalam kelompok untuk menyelesaikan permasalahan yang sudah dirumuskan, melalui: a.Mengolah informasi yang sudah dikumpulkan baik terbatas dari hasil kegiatan mengumpulkan/eksperimen mau pun hasil dari kegiatan mengamati dan kegiatan mengumpulkan informasi. b.Pengolahan informasi yang dikumpulkan dari yang bersifat menambah keluasan dan kedalaman sampai kepada pengolahan informasi yang bersifat mencari 207 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 5. Mengkomunikasikan Penutup 7. Memberi umpan balik (S) 8. Menyimpulkan setiap materi yang telah disampaikan di akhir pembelajaran (S) 1. Menyimpulkan (Refleksi) 2. Assesment Autentik 3. Memberikan Tugas di Rumah solusi dari berbagai sumber yang memiliki pendapat yang berbeda sampai kepada yang bertentangan Guru menyuruh siswa untuk menyampaikan hasil pengamatan, kesimpulan berdasarkan hasil analisis secara lisan, tertulis, atau media lainnya. Misalnya Guru meminta siswa mempresentasikan hasil diskusinya di depan kelas dengan penyajian yang efektif dan variatif. Guru memberi umpan balik (S) Guru memandu siswa untuk menyimpulkan pelajaran dengan meminta siswa mengungkapkan ide-ide penting apa yang sudah dipelajari. Diakhir pembelajaran (S) Guru memberikan kuis Guru memberikan tugas di rumah : membaca dan mengerjakan latihan yang ada pada buku ajar. b) Prototipe 2. Model Pembelajaran ARCSI dengan Pendekatan Saintifik Prototipe 2. model pembelajaran ARCSI dengan pendekatan saintifik hasil revisi 1 setelah dilakukan uji coba terbatas di kelas VII MTs. PP Diniyah Pasia seperti Tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Sintak dan Deskripsi Prilaku Guru dalam Model Pembelajaran ARCSI dengan Pendekatan Saintifik Sintak 1. Orientasi 2. Memfasilitasi peserta didik untuk melakukan pengamatan 3. Merumuskan per-tanyaan tentang konsep/ fenomena/ permasalahan yang diamati 4. Mengumpulkan infor-masi untuk menjawab pertanyaan/ permasalahan dalam diskusi kelom-pok Deskripsi Prilaku Guru Guru mengkondisikan peserta didik untuk bersiap melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan cara: a. Mengajak peserta didik bersyukur kepada Allah Swt. atau berdoa b. Memotivasi peserta didik sehubungan dengan manfaat materi pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari dan untuk belajar dengan sungguh-sungguh c. Melakukan Apersepsi dengan metode yang bervariasi d. Menginformasikan materi dan tujuan pembelajaran e. Menjelaskan proses pembelajaran dengan meng-gunakan model pembelajaran ARCSI dengan pendekatan Saintifik a. Menayangkan materi ajar dengan bervariasi untuk diamati peserta didik b. Membagikan/memberikan bahan ajar atau Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD). c. Meminta peserta didik untuk mempelajari /mengamati bahan ajar atau LKPD yang berisikan konsep/ fenomena/permasalahan kontekstual sehari-hari peserta didik dengan waktu tertentu. a. Guru meminta peserta didik untuk merumuskan pertanyaan tentang permasalahan atau fenomena pada LKPD. b. Guru selalu berkeliling pada tiap kelompok untuk mengamati kerja peserta didik dan memberikan bimbingan jika diperlukan. c. Guru memberikan motivasi kepada peserta didik untuk selalu berusaha menyelesaikan permasalahan dengan bersungguhsungguh. a. Guru meminta peserta didik membaca buku sumber, bahan ajar atau sumber belajar lainnya untuk mencari informasi yang dibutuhkan dalam menjawab pertanyaan/ permasalahan. b. Guru selalu energik dengan gaya yang menyenangkan untuk membuat peserta didik selalu bersemangat. c. Guru memperhatikan sikap peserta didik dalam berdiskusi d. Guru meminta siswa untuk saling menghargai pendapat masingmasing. e. 5. Mengasosiasi untuk mengolah informasi 208 Guru perlu mengingatkan hasil kerja kelompok akan menjadi nilai untuk masing- masing individu. Guru meminta peserta didik dalam berdiskusi untuk mengolah/ menganalisis/ mengerjakan/ menjawab pertanyaan yang sudah Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 6. Diskusi Kelas 7. Konfirmasi 8. Mereviu materi pembelajaran 9. Evaluasi dan tugas di rumah dirumuskan. a. Guru meminta perwakilan kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusinya dengan tampilan yang kreatif. b. Guru meminta kelompok lainnya memberikan apresiasi dan tanggapan. a. Guru memberikan penguatan dan umpan balik untuk memperjelas konsep sesuai dengan materi pembelajaran. b. Guru memberikan hadiah pada kelompok yang dapat menyelesaikan permasalahan dengan benar. a. Guru meminta dan membimbing peserta didik menyimpulkan materi pembelajaran b. Guru menayangkan kesimpulan materi pembelajaran dengan tampilan yang bervariasi dan menarik. a. Guru memberikan evaluasi dengan memberikan Lembar Kerja Individu Peserta Didik (LKIPD) b. Guru Meminta peserta didik mempelajari dan meringkas materi pembelajaran berikutnya. c. Guru menutup pembelajaran dengan meminta peserta didik mengucapkan Alhamdulillah dan mengucapkan salam tanda proses pembelajaran sudah berakhir. c. Sintak model pembelajaran ARCSI dengan Pendekatan Saintifik setelah revisi 2 dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Sintak Model Pembelajaran ARCSI dengan Pendekatan Saintifik Sintak Model 1. Orientasi Aktivitas Guru a. Mengucapkan salam, mengkondisikan kelas dan mengajak siswa untuk bersyukur atas rahmat yang Allah Swt. telah berikan/ berdoa. b. Memotivasi Peserta didik: 1) Menjelaskan/ menayangkan manfaat materi harga penjualan, pembelian, untung dan rugi bermanfaat dalam menyelesaikan soal-soal kontekstual dalam kehidupan sehari-hari dengan menggunakan media In-focus. (R2.1) 2) Mengingatkan peserta didik untuk belajar dengan sungguh- sungguh karena hasil kerja akan sesuai dengan usaha yang dilakukan. c. Mengadakan Apersepsi 1) Melakukan tanya jawab (A3.6) a) Apa yang kamu ketahui tentang keuntungan? b) Apa yang kamu ketahui tentang kerugian? 2) Menanyakan hubungan pembelajaran dengan tujuan masa mendatang secara kontekstual. (R3.2) d. Menginformasikan materi ajar dan tujuan pembelajaran dengan menggunakan media In-focus. (A2.1 dan C1.1) e. Menjelaskan tata cara proses pembelajaran dengan penerapan model ARCSI dengan pendekatan saintifik. (A3.2) (disesuaikan dengan RPP) f.Membagi peserta didik dalam kelompok belajar yang heterogen, terdiri dari 2 sampai 3 orang. (A3.6) 209 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 2. Memfasilitasi peserta a. Menayangkan materi ajar untuk diamati oleh peserta didik yang ada pada LKPD-1 dengan media yang didik untuk melakukan bervariasi (A3.3) (A3.4) misalnya melalui media in pengamatan 3. Merumuskan pertanyaan tentang fenomena yang diamati. focus (C2.1) b.Membagikan bahan ajar dan LKPD (Pokok Bahasan: Nilai suatu barang, harga penjualan, pembelian, untung dan rugi ) kepada peserta didik (C4.1) c. Meminta peserta didik mengamati fenomena yang ada pada bahan ajar, dan atau pada LKPD. (A5.1) a. Memotivasi peserta didik untuk mengajukan pertanyaan. b. Mengarahkan peserta didik untuk merumuskan pertanyaan terkait dengan masalah yang diperoleh pada fenomena yang diamati dan menentukan alternatif jawabannya. (C3.3) c. Memberikan bimbingan untuk merumuskan pertanyaan dan menentukan alternatif jawabannya. (S3.2) 4. Mengumpulkan a.Guru meminta peserta didik untuk informasi untuk mencoba/mengerjakan/ mengumpulkan infor-masi menjawab pertanyaan untuk menyelesaikan pertanyaan atau masalah yang sudah dirumuskan. b.Mengarahkan peserta didik untuk meman-faatkan sumber-sumber belajar (C5.1) dengan cara: 1) Membaca sumber lain selain bahan ajar/ buku teks 2) Mengamati objek/ kejadian secara kontekstual. c. Memberikan dukungan kepada peserta didik untuk selalu menuntaskan tugas (S1.2) 5. Mengasosiasi/ mengolah informasi. Meminta peserta didik mengasosiasi untuk mengolah/menganalisis/mengerjakan/ menjawab pertanyaan dan menyelesaikan permasalahan yang sudah dirumuskan, (S1.3) (A3.6) dan ( A3.2) masing-masing kelompok untuk 6. Diskusi kelas untuk a. Meminta mempresentasikan hasil diskusi dan kelompok lainnya mengkomu-nikasikan memberikan apresiasi dan tanggapan (S3.1). /mem-presentasikan hasil b. Memberikan Hadiah (S2.2) diskusi kelom-pok. 7. Konfirmasi (penguatan) materi pembelajaran 8. Mereviu pembelajaran. materi 9. Memberikan evaluasi dan tugas di rumah. Guru memberikan penguatan dan umpan balik untuk memperjelas konsep sesuai dengan materi pembelajaran (S3.3) Memandu peserta didik untuk menyimpulkan pelajaran dengan meminta peserta didik mengungkapkan ide-ide penting apa yang sudah dipelajari (S5.2) 1. Memberikan evaluasi melalui LKIPD-1. (S1.1) 2. Memberikan tugas di rumah a. Membaca dan meringkas materi berikutnya tentang memahami Persentase Keuntungan / Kerugian. b. Mengerjakan (latihan pada buku siswa ) 3. Mengajak peserta didik mengucapkan Hamdallah tanda proses pembelajaran sudah berakhir. 2. PEMBAHASAN Untuk mengembangkan model pembelajaran beserta perangkatnya perlu diikuti tahap-tahap pengembangan yang dikemukakan oleh Plomp (2013) agar model yang dikembangkan terukur 210 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 kualitasnya. Salah satu tahapnya evaluasi formatif untuk melakukan uji validitas melalui expert validity, focus group discussion, dan field test. Berikutnya tahap revisi berdasarkan evaluasi formatif. Pada tahap ini peneliti meminta validator memeriksa model beserta perangkatnya dengan menggunakan lembar validasi. Agar peneliti dapat memahami komentar tertulis tersebut, maka peneliti perlu meminta penjelasan lisan dari validator. Bahkan peneliti melakukan suatu lokakarya dengan validator, seperti terlihat pada gambar berikut: Gambar 1. FGD dalam bentuk Loka Karya Walaupun pada pelaporan pertama ini, penelitian ini hanya terfokus kepada fase development and prototyping phase. uji lapangan di kelas perlu dilakukan agar peneliti dapat memperoleh ide-ide perbaikan tentang sintak model maupun perangkatnya. Pada gambar berikut terlihat guru sedang melakukan ujicoba penerapan model pembelajaran ARCSI dengan pendekatan saintifik di kelas VII SMP/MTs. Gambar 1. Uji coba di SMP N 7 Kota Bukittinggi Gambar 1. Uji coba di MTs. PP Diniyah Pasia 211 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Berdasarkan proses di atas, maka pada tahap awal ini diperoleh model pembelajaran beserta perangkat yang valid. Tahap berikutnya model dan perangkat ini akan diujicobakan pada skala yang lebih luas untuk mengetahui kepraktisan dan keefektifannya. Peneliti juga akan mengembangkan perangkat pembelajaran untuk satu semester yakni kelas VII semester 2 SMP/MTs. C. PENUTUP Berdasarkan hasil dan pembahasan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut. a. Model Pembelajaran ARCSI dikembangkan melalui tahap-tahap yang dikemukakan oleh Plomp (2013) adalah mengikuti langkah-langkah: 1) Preliminary research:Analisis kebutuhan dan konteks, kajian literatur, mengembangkan kerangka konseptual dan teoritis untuk penelitian. 2) Prototyping stage : Proses perancangan secara siklikal dan berurutan dalam bentuk proses penelitian yang lebih mikro serta menggunakan evaluasi formatif untuk meningkatkan dan memperbaiki model intervensi. 3) Assessment phase : Semi evaluasi sumatif untuk menyimpulkan apakah solusi atau intervensi sudah sesuai dengan diinginkan serta mengajukan rekomendasi pengembangan model intervensi. b. Hasil yang diperoleh dari pengembangan ini adalah sebagai berikut. 1) Buku pedoman model ARCSI dengan pendekatan saintifik dengan sintak model adalah 2) Berdasarkan evaluasi formatif , model ini telah memenuhi kriteria valid 3) Sistem pendukung dari model pembelajaran ARCSI dengan pendekatan Saintifik yang terdiri atas (a) buku pedoman kerja guru (PKG) yang berisi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), pedoman kerja guru (PKG), pedoman kerja peserta didik (PKPD), (b) buku pedoman kerja peserta didik (PKPD) yang terdiri dari pedoman kerja kelompok peserta didik (PKKPD) dan pedoman kerja individu peserta didik (PKIPD). 4) Berdasarkan evaluasi formatif, sistem pendukung model ini telah memenuhi kriteria valid. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas disarankan hal-hal berikut. 212 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 a. Untuk menerapkan model pembelajaran ARCSI dengan pendekatan saintifik dibutuhkan guru yang mempunyai wawasan keilmuan, strategi motivasi ARCS, dan berkarakter Islami, serta energik dan bersemangat dalam proses pembelajaran. b. Guru dalam mengaplikasikan model pembelajaran ARCSI dengan pendekatan saintifik hendaknya benar-benar memperhatikan sintak pembelajaran yang telah dirumuskan. c. Untuk mendapatkan model pembelajaran beserta perangkat yang berkualitas, validasi ahli secara teoritis belum cukup. Oleh karena itu peneliti perlu melanjutkan ujicoba tahap kedua yaitu melakukan tahap assesment yakni tahap evaluasi sumatif yakni menilai apakah pengguna di lapangan dapat menggunakan produk dan berkeinginan untuk mengaplikasikannya dalam pembelajaran matematika, serta menguji apakah produk efektif. DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. Ashari, Budi dan Sembodo,Ilham M. 2012. Modul Kuttab. Jakarta. Al-Fatih Pilar Peradaban. Baker, S. R. 2004). Intrinsic, extrinsic, and a motivational orientations: Their role in university adjustment, stress, well-being, and subsequent academic performance. Current Psychology: Developmental, Learning, Personality and Social 23(3), 189-202. Bandura, A. 1977. Self efficacy: Toward a unifying theory of behavioral change. Psychological Review, 84, 191-215. Barry, M. & Pitt, I. 2006. Interaction design: a multidimensional approach for learners with autism. Prosiding konferens Interaction design and children 2006, Tampere Finland, 33-36. Bushro A. & Halimah B. Z. 2005. Pembinaan perisian adaptif multimedia dalam meningkatkan motivasi pelajar berasaskan teori Kecerdasan Pelbagai. Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi Selangor. Bloom, Benyamin S. 1980. Human Characteristics young School learning. New York: McGraw-Hill Book Company. Duffy, T.M. & Jonasse, D.H. 1991. Constructivisme: New implications for instructional technology? Educational Technology, 31(5), 7-12. Hardre, P. 2001. Designing effective learning environments for continuing education. PerformanceImprovement Quarterly 14(3), 43-74. Hyland, P. 2006. A case study of online assessment for basic mathematics to motivate learners and enhance learning. http://www.pi.ac.ae/ metsmac /proceedings /2006/ Hyland-P-METSMaC 2006. pdf. [15 Agustus 2015]. Keller, J. M. & Suzuki, K. 1988. Use of the ARCS motivation model in courseware design. Dlm. Jonassen, D. H. (pnyt.). Instructional Designs for Microcomputer Courseware, Lawrence Erlbaum Associates, Hillsdale NJ, 401- 434. Keller, J. M. 1979. Motivation and instructional design: A theoretical perspective. Journal of Instructional Development 2(4), 26-34. Keller, J. M. 1983b. Motivational design of instruction. Dlm. Reigeluth, C. M. (pnyt.). Instructional design theories and models: An overview of the current status. Hillsdale, New Jersey, Lawrence Erlbaum Associates, Inc., 383-434. Keller, J. M. 1984. The use of the ARCS model of motivation in teacher training. Dlm. Shaw, K. (pnyt.). Aspects of educational technology: Staff development and career updating, Nichols, New York NY, 140-145. Keller, J. M. 1987a. Development and use of the ARCS model of motivational design. Journal of Instructional Development 10(3), 2-10. Keller, J. M. 1987b. Strategies for stimulating the motivation to learn. Performance and Instruction Journal 26(8), 1-7. Keller, J. M. 1987c. The systematic process of motivational design. Performance and Instruction Journal 25(7), 1-8. 213 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 17. Keller, J.M. Motivational design of instruction. 1983a In C.M. Reigeluth (Ed.), Instructional design theories and models. (pp. 383-433). New York: Lawrence Erlbaum Associates. 18. McClelland, D.C. 1985. The Achieving Society. New York: Irvington. 19. Means, T. B., Jonassen, D.H. & Dwyer, F. M. 1997. Enhancing relevance. Embedded ARCS strategies vs. purpose. Educational Technology, Research & Development 45, 5-17. 20. Mills, R. J. 2004. Kids CollegeTM 2004: An Implementation of the ARCS Model of Motivational Design. Utah State University. 21. Nor Hasbiah Ubaidullah. 2007. Perisian kursus multimedia dalam literasi matematik (D-Matematika) untuk pelajar disleksia. Tesis Doktor Filsafah Fakulti Teknologi & Sains Maklumat, Universiti Kebangsaan Malaysia. 22. Plomp, T. 2013. Educational Design Research : An Introduction, in An Introduction to Educational Research. Enschede, Netherland : National Institute for Curriculum Development 23. Popovich, N. G. & Wongwiwatthanannukit, S. 2000. Applying the ARCS Model of motivational design to pharmaceutical education. American Journal of Pharmaceutical Education 64, 188-196. 24. Prosiding. 2015. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP PGRI Sumatera Barat. Halaman 52- 59; 89-96; 214-218. 25. Santrock, John W. 2010 Educational Psychologi, Ed. 2.dialih bahasakan oleh Tri Wibowo B.S., Psikologi Pendidikan (Jakarta: Kencana 2010). 26. Shellnut, B., Knowlton, A. & Savage, T. 1999. Applying the ARCS model to the design and development of computer-based modules for manufacturing engineering courses. Educational Technology, Research and Development 47, 100-110. 27. Small, R. 2000. Motivation in instructional design. Teacher Librarian 27(5), 29-31. 28. Song, S. H. & Keller, J. M. 2001. Effectiveness of motivationally adaptive computer-assisted instruction on the dynamic aspects of motivation. Educational Technology, Research and Development 49, 5-22. 29. Sopah, D. 2008. Pengembangan dan penggunaan model pembelajaran ARIAS. Laporan penelitian. Tersedia pada www.depdiknas.go.id. Didownload tanggal 4 November 2014. 30. Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Dharma Bhakti. 31. Visser, J. & Keller, J. M. 1990. The clinical use of motivational message: An inquiry into the validity of the ARCS model of motivational design. Instruct. Science, 19, 2011, 467-599. 32. Wlodkowski, Raymond J. dan Jaynes, Judith H. (1981). Enhancing adult motivation to lear. San Francisco; Jossey- Bass Publisher. 214 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF DISERTAI MAKE A MATCH TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA KELAS X SMAN 4 SIJUNJUNG TAHUN PELAJARAN 2015/2016 Vivi Afdarni1, Villia Anggraini2, Siskha Handayani3 1,2,3 STKIP PGRI Sumatera Barat, Jl. Gunung Pangilun, Padang 1 [email protected], [email protected], [email protected] Abstrak. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pemahaman konsep matematis siswa yang masih rendah. Hal ini disebabkan karena siswa kurang aktif dalam pembelajaran dan siswa yang berkemampuan tinggi kurang mau berbagi pengetahuan dengan siswa yang lain. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah model pembelajaran kooperatif disertai Make a Match berpengaruh terhadap pemahaman konsep matematis siswa kelas X SMA N 4 Sijunjung. Jenis penelitian adalah penelitian pra eksperimen dengan rancangan The One Shot Case Study dan teknik analisis data regresi linier sederhana. Populasinya adalah seluruh siswa kelas X SMA N 4 Sijunjung Tahun Pelajaran 2015/2016. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara acak. Sampel pada penelitian ini terpilih kelas X1. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes akhir pemahaman konsep yang berbentuk esai dengan reliabilitas tes r11= 0,8892. Berdasarkan analisis data menunjukkan bahwa terdapat pengaruh model pembelajaran kooperatif disertai Make a Match terhadap pemahaman konsep siswa kelas X SMA N 4 Sijunjung. Interpretasi koefisien penentu (determinasi) pemahaman konsep 78,67% dipengaruhi oleh model pembelajaran kooperatif disertai Make a Match, yang artinya terjadi hubungan yang cukup positif atau terjadi hubungan yang searah antara model pembelajaran kooperatif disertai Make a Match terhadap pemahaman konsep matematika siswa. Kata kunci: Pembelajaran Kooperatif, Make a Match, Pemahaman Konsep A. PENDAHULUAN Berdasarkan peranan matematika, terdapat beberapa aspek kemampuan matematis yang harus dikuasai siswa. Menurut Depdiknas (2004) dalam Shadiq (2009: 13) “aspek kemampuan yang harus dikuasai oleh siswa dalam mempelajari matematika yaitu pemahaman konsep, penalaran dan komunikasi, serta pemecahan masalah”. Berdasarkan kutipan tersebut, salah satu kemampuan yang harus dikuasai siswa adalah pemahaman konsep. Pemahaman konsep sangat penting bagi siswa dalam mempelajari matematika. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan di SMAN 4 Sijunjung pada tanggal 26 sampai 29 Agustus 2015 pada kelas X, diperoleh gambaran bahwa pembelajaran masih terpusat pada guru. Aktivitas siswa hanya diam, mencatat dan menerima apa yang disampaikan guru. Siswa tidak memanfaatkan kesempatan untuk bertanya kepada guru terkait materi yang tidak dipahami sewaktu guru memberikan kesempatan untuk bertanya. Aktivitas siswa ketika diberi soal latihan, siswa kurang bertanggung jawab dalam menyelesaikannya. Siswa juga malu bertanya 215 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 dan kurang berani mengeluarkan pendapat ketika kesulitan dalam menjawab soal latihan yang diberikan guru. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan di atas adalah dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif disertai Make a Match. Model Pembelajaran kooperatif memberi kesempatan kepada siswa untuk berpartisipasi, bekerja sama dan berbagi informasi dalam kelompok. Menurut Trianto (2009: 58) pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan partisipasi siswa, memfasilitasi siswa untuk membuat keputusan dalam kelompok, serta memberikan kesempatan pada siswa untuk berinteraksi dan belajar bersama-sama yang berbeda latar belakangnya. Pembelajaran Kooperatif akan lebih baik apabila disertai Make a Match. Make a Match menuntun siswa untuk aktif dan belajar sambil bermain dengan menguasai konsep yang telah dipelajari. Pendapat Lie (2010: 55) menyatakan Make a Match memiliki keunggulan yaitu siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep dalam suasana yang menyenangkan. Hal ini diharapkan agar siswa yang memiliki kemampuan tinggi dapat berbagi informasi dengan siswa yang lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah model pembelajaran kooperatif disertai Make a Match berpengaruh terhadap pemahaman konsep matematis siswa kelas X SMA N 4 Sijunjung. Penelitian yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian yang telah dilakukan oleh Neza Nurvatjri (2014) dengan judul “Pengaruh Penerapan Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match Terhadap Pemahaman Konsep Matematis Siswa Kelas XI IPA SMA Adabiah Padang. Kesimpulan yang diperoleh pada penelitian ini adalah kemampuan pemahaman konsep matematis siswa dengan menggunakan pembelajaran kooperatif Make a Match lebih baik daripada pembelajaran konvensional. Perbedaan dengan penelitian Neza Nurvatjri adalah penelitian ini melaksanakan Make a Match pada tahap evaluasi, sedangkan penelitian Neza Nurvatjri melaksanakan Make a Match pada tahap membimbing kelompok belajar. Penelitian ini membentuk kelompok yang beranggotakan enam orang, sedangkan penelitian Neza Nurvatjri membentuk dua kelompok besar kemudian dibagi lagi menjadi dua kelompok kecil. Penelitian ini menambahkan pembelajaran kooperatif sebagai model pembelajaran sedangkan pada penelitian Neza Nurvatjri tidak dilakukan. Penelitian ini melihat gambaran pengaruh model pembelajaran kooperatif disertai Make a Match dengan pemahaman konsep matematis siswa kelas X SMA N 4 Sijunjung. Hipotesis penelitian ini adalah: “Model pembelajaran kooperatif disertai Make a Match berpengaruh terhadap pemahaman konsep matematis siswa kelas X SMA N 4 Sijunjung.” 216 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 B. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian pra eksperimen dengan rancangan penelitian The One Shot Case Study. Penelitian ini dilaksanakan pada semester II mulai dari tanggal 13 sampai 28 Januari 2016 di SMAN 4 Sijunjung. Populasi penelitian adalah seluruh siswa kelas X SMAN 4 Sijunjung dan sampel yang terpilih adalah kelas X.1. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes akhir pemahaman konsep yang berbentuk essay. Sebelum diadakan tes akhir dilakukan uji coba tes di kelas X SMAN 12 Sijunjung pada tanggal 23 Januari 2016. Hasil uji coba tes menunjukkan soal nomor 1, 2, 4 dan 5 diterima dan soal nomor 3 diterima tetapi perlu diperbaiki dengan reliabilitas 0,8892. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis data regresi linier sederhana. Sebelum menganalisis data hasil penelitian terlebih dahulu dilakukan uji normalitas menggunakan uji Liliefors yang berpedoman pada Sudjana, (2005: 466-467 dan 249), selanjutnya uji analisis regresi linier sederhana yang berpedoman pada Sembiring (1995: 38-48). C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Deskripsi data hasil belajar matematika siswa dapa dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Analisis Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas Sampel Kelas S Sampel 73,14 18,13 100 47 ≥ 75 < 75 10 12 Tabel 1. terlihat bahwa dari 22 orang siswa yang mengikuti tes akhir, terdapat 10 orang siswa yang memperoleh nilai lebih atau sama dengan KKM yang telah ditetapkan sekolah. Artinya 10 orang dikatakan tuntas. Sedangkan 12 orang siswa lainnya memperoleh nilai dibawah KKM dan mereka dikatakan belum tuntas. Tabel 2. Analisis Latihan Matematika Siswa Tiap Pertemuan Pertemuan Rata-rata I 69,53 II 72,85 III 75,67 IV 76,11 Hasil 73,54 Tabel 2. Terlihat bahwa rata-rata setiap pertemuan mengalami peningkatan. Artinya terdapat pengaruh model pembelajaran kooperatif disertai Make a Match pada pembelajaran matematika. Berdasarkan hasil pengujian teknik analisis data dengan uji analisis regresi, diperoleh F 69,39 dan F = = 3,14 dengan Fhitung > Ftabel maka H0 ditolak dan interpretasi koefisien penentu (determinasi) pemahaman konsep 78,67% dipengaruhi oleh model pembelajaran kooperatif disertai Make a Match, yang artinya terjadi hubungan yang cukup positif atau terjadi hubungan yang searah antara model pembelajaran kooperatif disertai Make a Match terhadap pemahaman konsep matematika siswa. 217 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 D. KESIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh model pembelajaran kooperatif disertai Make a Match terhadap pemahaman konsep siswa kelas X SMA N 4 Sijunjung. Interpretasi koefisien penentu (determinasi) pemahaman konsep 78,67% dipengaruhi oleh model pembelajaran kooperatif disertai Make a Match, yang artinya terjadi hubungan yang cukup positif atau terjadi hubungan yang searah antara model pembelajaran kooperatif disertai Make a Match terhadap pemahaman konsep matematika siswa. DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. Lie, Anita. 2010. Mempraktekkan Cooperative Learning Di Ruang-ruang Kelas. Jakarta: Grasindo. Sembiring. (1995). Analisis Regresi. Bandung: ITB Shadiq, Fadjar. 2009. Kemahiran Matematika. Yogyakarta: Depdiknas. Sudjana. 2005. Metode Statistika. Bandung: Tarsito. Trianto. (2009). Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka. 218 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 PENGEMBANGAN BAHAN AJAR PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS KONSTRUKTIVISME BUDAYA DAERAH BUDAYA DAERAH UNTUK MADRASAH Yusmarni1, Hendra Bestari2 1,2) Mahasiswa S3 UNP/ Dosen Pendidikan Matematika, IAIN STS Jambi [email protected] Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan Bahan Ajar Pembelajaran Matematika berbasi Konstruktivisme Budaya Daerah yang memenuhi aspek validitas, praktikalitas serta efektifitas untuk Madrasah. Penelitian ini adalah termasuk pada educational design research dengan jenis development studies dengan menggunakan disain pengembangan Plomp (2013:19) yang memiliki tiga tahap atau fase, yaitu: 1) Penelitian Pendahuluan (Preliminary Research) 2). Tahap Prototype (Development or Prototyping Phase) 3). Tahap Penilaian (Assesment Phase). Sumber data yang diperoleh dari praktek pembelajaran, tes, informan, peristiwa dan dokumen. Informan dalam penelitian ini adalah Wakil Kepala sekolah, guru-guru matematika dan siswa. Peristiwa dalam penelitian ini dapat menimbulkan keberanian berargumen dan memecahkan masalah matematis sedangkan dokumen yang dimaksud adalah dokumen yang berkaitan dengan hasil tes, catatan-catatan, foto yang berkaitan dengan pembelajaran. Hasil penelitian dapat dikemukakan berikut ini: dalam mata pelajaran matematika siswa kelas X MAL Kota Jambi dalam hal pemecahan masalah matematis masih rendah, bahan ajar yang diterapkan dalam pembelajaran matematika di MAL perlu pengembangan, setelah dilakukan praktikalitas awal (enam kali pertemuan) disertakan dengan tes kemampuan awal dan postest ternyata modul ini bisa meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Kata Kunci: Design research, Konstruktivisme Budaya Daerah, Bahan Ajar Matematika, Pemecahan Masalah Matematis A. PENDAHULUAN Pendekatan Konstruktivisme Budaya Daerah merupakan proses pembelajaran yang menerangkan bagaimana pengetahuan disusun dalam pemikiran siswa. Pengetahuan dikembangkan secara aktif oleh siswa itu sendiri dan tidak diterima secara pasif dari orang disekitarnya. Hal ini bermakna bahwa pembelajaran merupakan hasil dari usaha siswa itu sendiri dan bukan hanya ditransfer dari guru kepada siswa. Hal tersebut berarti siswa tidak lagi berpegang pada konsep pengajaran dan pembelajaran yang lama, dimana guru hanya menuangkan atau mentransfer ilmu kepada siswa tanpa adanya usaha terlebih dahulu dari siswa itu sendiri. Berdasarkan pendapat para ahli di atas terlihat bahwa dalam pembelajaran matematika di Indonesia masih ada guru yang menggunakan pola pembelajaran yang cenderung sama dari tahun ke tahun. Perubahan kurikulum tidak memberikan dampak dari perubahan materi ajar, metode, rancangan dan strategi pembelajaran.Kompetensi tertentu sebagai tujuan pembelajaran kebanyakan masih terbatas pada ranah kognitif dan psikomotor tingkat rendah. Pembelajaran 219 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 matematika masih menggunakan pembelajaran langsung. Pembelajaran langsung dipandang sebagai metode yang efektif dalam pencapaian tujuan pembelajaran tingkat rendah atau pemahaman prosedural, namun tidak berkontribusi pada kemampuan matematis tingkat tinggi. Proses pembelajaran matematika pada umumnya terbatas pada memberikan pengetahuan hafalan, dan kurang menekankan pada aspek kognitif yang tinggi, seperti ketajaman daya analisis dan evaluasi, berkembangnya kreativitas, pemecahan masalah, kemandirian belajar, dan berkembangnya aspek-aspek afektif. Siswa bersikap pasif dan pengetahuan yang diperoleh sering kali tidak berguna dalam hidup dan pekerjaannya. Kenyataan di lapangan tujuan-tujuan pembelajaran ini tampaknya masih belum tercapai sepenuhnya.Kondisi ini menimbulkan persepsi yang kompleks terhadap matematika itu sendiri yaitu kemampuan matematis yang sulit berkembang, kualitas hasil belajar matematika yang rendah.Siswa memandang matematika sebagai suatu mata pelajaran yang rumit, tidak bermotivasi, sangat membosankan, kurang bermanfaat /bermakna dan tidak memberi ruang bagi mereka untuk beraktifitas dan berkreaktifitas. Padahal matematika merupakan salah satu di antara mata pelajaran yang diujikan dalam ujian nasional yang merupakan syarat lulus dari siswa sekolah dasar, menengah pertama, maupun menengah atas sebagai tolak ukur dari kemampuan dan kualitas siswa. Selama ini pembelajaran matematika di kelas masih mengikuti ritme pengajaran pada tahuntahun sebelumnya, yaitu: (1) penyajian definisi/aksioma/teorema, (2) penyajian contoh-contoh dan non-contoh, (3) mengerjakan soal-soal latihan yang diberikan, dan (4) penugasan pekerjaan rumah. Dengan cara mengajar seperti ini pengembangan ketrampilan menghafalkan merupakan tujuan utama pengajaran. Hal ini terjadi karena guru memakai pola mengajar seperti guru mereka yang dulu, atau menurut pengalaman guru saat mereka menjadi siswa di sekolah. Guru belum berinisiatifuntuk memakai Bahan Ajar-Bahan Ajar pembelajaran apalagi membuat Bahan Ajar pembelajaran sehingga pembelajaran kurang bervariasi. Dari hasil penelitian pendahuluan di MAL Kota Jambi dengan memberikan tes kemampuan matematika kepada dua kelas siswa kelas X, ditemukan indikasi bahwa lemahnya kemampuan pemecahan masalah matematis siswa. Dari beberapa uraian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa banyaknya siswa yang tidak mampu menyelesaikan soal dikarenakan proses pembelajaran yang kurang bermakna sehingga menyebabkan rendahnya kemampuan siswa memecahkan masalah. Dengan demikian, tugas guru bukan sekedar mengajarkan ilmu semata kepada siswa, tetapi membantu siswa belajar. Guru juga diharapkan dapat memampukan siswa menguasai konsep dan memecahkan masalah dengan berfikir kritis, logis, sistematis, dan terstruktur. Guru matematika memiliki tugas berusaha memampukan siswa memecahkan masalah sebab salah satu fokus pembelajaran 220 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 matematika adalah pemecahan masalah, sehingga kompetensi dasar yang harus dimiliki setiap siswa adalah standar minimal tentang pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang terfleksi pada pembalajaran matematika dengan kebiasaan berpikir dan bertindak memecahkan masalah dengan mengkonstruksi pengetahuan siswa sendiri dari hasil pembelajaran yang lebih bermakna. Berdasarkan beberapa masalah yang telah disampaikan di atas, maka oleh sebab itu perludibuat bahan pembelajaran yaituPengembanganPembelajaran Matematika Konstruktivisme Budaya Daerah atau yang lebih sederhana sesuai kebutuhan siswa. Penelitian pengembangan dalam pembelajaran matematika ditingkat MA/SLTA adalah fenomena yang relatif baru, termasuk penelitian tentang pengembangan bahan ajar Pembelajaran Matematika Konstruktivisme Budaya Daerah(PMK).Padahal masalah dalam pendidikan matematika itu tidak bisa diselesaikan hanya dengan penelitian eksperimen tentang strategi atau metode pembelajaran. Oleh karena itu dirasakan pentingnya melakukan penelitian pengembangan dengan judul “Pengembangan bahan ajar Pembelajaran Matematika Konstruktivisme Budaya Daerah(PMK)”. Permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana bentuk Pengembangan bahan ajar Pembelajaran Matematika berbasis Konstruktivisme Budaya Daerahyang valid, praktis, dan efektif ? Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian adalah: 1. untuk mengembangkan bahan ajar matematika berbasis Konstruktivisme Budaya Daerah yang memenuhi aspek validitas, praktikalitas serta efektifitas. 2. mendeskripsikan bagaimanakah gambaran kegiatan siswa selama pembelajaran Produk dari hasil pengembangan ini adalah sebuah Bahan Ajar Pembelajaran Matematika Konstruktivisme Budaya Daerahyang didokumentasikan dalam bentuk bahan ajar. Bahan ajar ini memuat aspek yang berkaitan dengan Bahan Ajar Pembelajaran Matematika Konstruktivisme Budaya Daerah(PMK)yang dioptimalkan muncul prinsip-prinsip pembelajaran matematika Bahan AjarPMK untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran. Bahan ajar ini menghasilkan sebuah dokumentasi dalam bentuk bahan ajar yang dilengkapi dengan panduan kegiatan bagi guru dan panduan kerja bagi siswa berupa sintaks. Hal ini untuk membangun sistem sosial antara guru dengan siswa dalam perannya masing-masing, memperkuat peranan guru selaku fasilitator, mediator dan tanggapan guru terhadap kebutuhan belajar siswanya. Dengan Bahan Ajar masalah ini akan memudahkan dalam merencanakan dan mengimplementasikan tugas pembelajaran matematika yang memiliki banyak cakupan, sehingga dapat mengembangkan kemampuan matematis siswa. 221 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Bagi siswa, Bahan Ajar ini memberikan kesempatan untuk menumbuh kembangkan berpikir kreatif dan menyelidiki persoalan yang menarik rasa keingintahuannya. Selain itu, Bahan Ajar Pembelajaran Matematika berbasis Konstruktivisme Budaya Daerah ini juga memberikan dampak kepada siswa yaitu dampak instruksional dan pengiring, di mana dampak instruksional yang diharapkan adalah meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, penguasaan terhadap materi, sikap kritis, tingkat berpikir siswa, mengembangkan, dan menyelidiki sesuatu, kemampuan siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan. Dampak pengiring yang diharapkan adalah meningkatkan: kreativitas, produktivitas, motivasi, keterampilan dalam kerjasama, hubungan interaktif siswa dengan materi pelajaran, siswa dengan guru, atau antara siswa dan siswa, ketelitian serta kemampuan siswa dalam mengendalikan diri dan menyampaikan gagasan. Pengembangan ini dilakukan dengan harapan agar diperoleh Bahan Ajar Pembelajaran Matematika Konstruktivisme Budaya Daerahyang valid, praktis, dan efektif yang dapat meningkatkan aktifitas, kreaktifitas, produktifitas serta dapat menumbuhkembangkan kemampuan matematis siswa. Di mana Bahan Ajar pembelajaran matemarika yang selama ini tidak begitu menuntut perkembangan kemampuan matematis secara keseluruhan, sikap kritis, kreatifitas, memahami dari penjelasan konsep dan pembelajaran lebih cenderung dilakukan untuk pencapain batasan materi dari pada pengembangan kemampuan siswa. Pengembangan PMK ini akan mempermudah guru, praktisi pendidikan, siswa karena produk ini didesain dengan prinsip-prinsip masalah, bahasa yang mudah dipahami, dan efektif. Produk penelitian ini dapat dijadikan Bahan Ajar pembelajaran matematika di SLTA/MA, sekolah/madrasah berbagai tingkatan mulai dasar, menengah dan atas untuk menumbuhkembangkan kemampuan matematis, sikap kritis, serta aktivitas, kreaktifitas dan produktifitas yang beragam. Pengembangan Bahan Ajar Pembelajaran Matematika Konstruktivisme Budaya Daerahini masih terbatas pada pengembangan berupa panduan tugas guru dan panduan kerja siswa serta dokumentasi pembelajaran berupa bahan ajar ajar. Materi pembelajaran yang dikembangkan difokuskan pada materi siswa Sekolah Menengah Atas / madrasah Aliyah kelas X semester kedua dan hanya dilakukan pada satu semester. Pengembangan Bahan Ajar ini mengacu dan menggunakan beberapa sumber dari teori dan hasil kajian dari para ahli sebelumnya yang diadopsi dan disesuaikan dengan kebutuhan penelitian Konstruksi pengembangan Bahan Ajar ini berdasarkan pendapat Joyce & Weil (1992), Iru, La & La Ode Safian Arihi (2012) dan Kemp, Jerrold E. dkk (1994).Bahan Ajar pengembangan menggunakan desain Plomp (2010). 222 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 B. Kualitas Bahan Ajar Pembelajaran Nieveen (2013) menjelaskan, kualitas Bahan Ajar pembelajaran pada penelitian pengembangan ditentukan oleh beberapa kriteria, yaitu validity, (kesahihan), practicality (kepraktisan), dan effectivenees (keefektifan). a. Validitas Bahan Ajar Pembelajaran Nieveen (2013:160) dalam Nana S (2014: 32) menyatakan relevansi merupakan suatu kebutuhan untuk intervensi dan mengacu pada tingkat desain intervensi yang dikembangkan berdasarkan pada state of art pengetahuan yang disebutjugavaliditas isi dan konsistensi dimaksudkan bahwa berbagai komponen intervensi terkait secara logis antar satu dengan lainnya yang disebut validitas konstruk.Bahan Ajar pembelajaran matematika berbasis Konstruktivisme Budaya Daerah disimpulkan valid jika dikembangkan dengan teori yang memadai, disebut dengan validitas isi. Semua komponen Bahan Ajar pembelajaran, antara satu dengan lainnya berhubungan dengan konsisten, disebut dengan validitas konstruk. b. Praktikalitas Bahan Ajar Pembelajaran Nieveen (2013: 160) dalam Nana S (2014: 33) menyatakan Bahan Ajar hasil pengembangan dikatakan praktis jika Bahan Ajar diharapkan dapat berguna dilapangan sesuai dengan untuk apa Bahan Ajar tersebut dikembangkan. Akker (2013: 66) dalam Nana S (2014: 33) menyatakan kepraktisan mengacu pada pendapat praktisi dan ahli menyatakan bahwa Bahan Ajar jelas, dapat digunakan dan efektif pada kondisi normal. Jadi dapat disimpulkan bahwa kepraktisan Bahan Ajar pembelajaran ditentukan dari hasil penilaian pengguna atau praktisi. Penilaian kepraktisan oleh pengguna atau pemakai, dilihat jawaban-jawaban pertanyaan: (1) apakah praktisi berpendapat apa yang dikembangkan dapat digunakan dalam kondisi normal; dan (2) apakah kenyataan menunjukan bahwa apa yang dikembangkan tersebut dapat diterapkan oleh praktisi. c. Efektivitas Bahan Ajar Pembelajaran Reigeluth (1999: 635) dalam Nana S (2014: 33) menyatakan bahwa aspek yang penting untuk keefektifan dalam pengembangan Bahan Ajar adalah tingkat atau derjat penerapan teori (petunjuk atau metode) untuk memperoleh tujuan dalam situasi yang ada. Banyak cara yang bisa digunakan untuk melihat keefektifan Bahan Ajar dalam penelitian pengembangan. Akker (2013: 66) menyetakan keefektifan mengacu pada tingkat pengalaman dan hasil dari intervensi adalah kongguren dengan tujuan yang diharapkan. Keefektifan menurut Langkah-Langkah Menyelesaikan Pemecahan Masalah Matematika Cara memecahkan masalah dikemukakan oleh beberapa ahli, di antaranya Dewey dan Polya. Dewey (dalam Muzdalipah, 2009: 15) memberikan lima langkah utama dalam memecahkan masalah, 223 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 1) Mengenali/menyajikan masalah: tidak diperlukan strategi pemecahan masalah jika bukan merupakan masalah. 2) Mendefinisikan masalah: strategi pemecahan masalah menekankan pentingnya definisi masalah guna menentukan banyaknya kemungkinan penyelesian. 3) Mengembangkan beberapa hipotesis: hipotesis adalah alternatif penyelesaian dari pemecahan masalah. 4) Menguji beberapa hipotesis: mengevaluasi kelemahan dan kelebihan hipotesis. 5) Memilih hipotesis yang terbaik. 6) Sebagaimana Dewey, Polya (dalam Muzdalipah, 2009: 15) pun menguraikan proses yang dapat dilakukan pada setiap langkah pemecahan masalah. Lebih jauh Polya merinci setiap langkah di atas dengan pertanyaan-pertanyaan yang menuntun seorang problem solver menyelesaikan dan menemukan jawaban dari masalah. Sebagai contoh pada langkah memahami masalah diajukan pertanyaan-pertanyaan: Apa yang tidak diketahui? Data apa yang diberikan? Mungkinkah kondisi dinyatakan dalam bentuk persamaan atau hubungan lainnya?Buatlah gambar dan tulislahnotasi yang sesuai. Berangkat dari pemikiran yang dikemukakan oleh ahli tersebut, maka untukmenyelesaikan masalah diperlukan kemampuan pemahaman konsep sebagai prasyarat dan kemampuan melakukan hubungan antar konsep, dan kesiapan secara mental.Salah satu sebab siswa tidak berhasil dalam belajar matematika selama ini adalah siswa belum sampai pada pemahaman relasi (relation understanding), yang dapat menjelaskan hubungan antar konsep.Hal itu memberikan gambaran kepada kita adanya tantangan yang tidak kecil dalam mengajarkan pemecahan masalah matematika. Pemecahan masalahdianggap merupakan standar kemampuan yang harus dimiliki para siswa setelah mengikuti pembelajaran matematika. Kemampuan pemecahan masalah matematika adalah suatu tindakan untuk menyelesaikan masalah atau proses yang menggunakan keterampilan dan pengetahuan dalam menyelesaikan masalah matematika. pemecahan masalah sangat berguna bagi siswa Kemampuan dalam pelajaran matematika itu sendiri, relevansi matematika dengan mata pelajaran yang lain dan dalam kehidupan dunia nyatanya. Suatu masalah biasanya memuat situasi yang mendorong siswa untuk menyelesaikannya, akan tetapi tidak tahu secara langsung apa yang harus dikerjakan untuk menyelesaikannya. Jika suatu masalahdiberikan kepada seorang siswa dan siswa tersebut langsung mengetahui cara menyelesaikannya dengan benar, maka soal tersebut tidak dapat dikatakan suatu masalah. Pada saat siswa menemukan masalah, maka telah terjadi perbedaan keseimbangan (disequilibrium) dengan keadaan awal (equilibrium) sebelumnya. 224 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Siswa perlu membangun suatu keseimbangan baru, artinya ketika siswa mengalami konflik kognitif, ia akan berusaha untuk mencapai keseimbangan baru, yaitu solusi atas masalah yang dihadapi, sehingga pemecahan masalah merupakan fokus utama dalam pembelajaran matematika (Depdiknas, 2007).Bisa juga dikatakan bahwa pemecahan masalah sebagai usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan atau suatu aktivitas intelektual untuk mencari penyelesaiaan masalah yang dihadapi dengan menggunakan bekal pengetahuan yang dimiliki. Tidak semua pertanyaan merupakan suatu masalah. Suatu pertanyaan akanmenjadi masalah hanya jika pertanyaan itu menunjukkan adanya suatu tantangan (challenge) yang tidak dapat dipecahkan oleh prosedur rutin yang sudah diketahui oleh siswa. Apabila kita menerapkan pengetahuan matematika,keterampilan pengalaman untuk memecahkan suatu dilemma atau situasi baru yang membingungkan, maka kita sedang memecahkan masalah, siswa membutuhkan banyak kesempatan untuk menciptakan dan memecahkan masalah dalam bidangmatematika dan dalam konteks kehidupan nyata. Strategi untuk memecahkan suatu masalah matematika dapat digunakan bergantung pada masalah yang akan diselesaikan. Berkenaan dengan apa yang didapatkan siswa dari melakukan suatu pemecahan masalah. Menurut Sumarmo (2003), aktivitas-aktivitas yang tercakup dalamkegiatan pemecahan masalah meliputi: 1) Mengidentifikasi unsur yang diketahui, ditanyakan, serta kecukupan unsur yang diperlukan, merumuskan masalah situasi sehari-hari dan metematik; 2) Menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah (sejenis dan masalah baru) dalam atau luar matematika; 3) Menjelaskan/ menginterpretasikan hasil sesuaimasalah asal; 4) Menyusun Bahan Ajar matematika dan menyelesaikannya untuk masalah nyata dan menggunakan matematikasecara bermakna. Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa siswa dikatakan memiliki kemampuan pemecahan masalah jika siswa memiliki kemampuan mengidentifikasi unsur-unsur yang diketahui dari suatu permasalahan, membuat perumusan dari permasalahan, menentukan strategi yang tepat, dan mampu memberikan interpretasi dari permasalahan yang diberikan serta menyelesaikan masalah dengan sistematis dan bermakna. seringkali tidak dapat diterima juga oleh beberapa siswa (Lyod, 2009). C. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah termasuk pada educational design research dengan jenis development studies. Karena tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan suatu bahan ajar matematika 225 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 berbasis Konstruktivisme Budaya Daerah. Jenis penelitian ini juga dengan istilah penelitian pengembangan (research and development). Definisi yang lebih sederhana menurut sugiyono (2011:407) tentang penelitian dan pengembangan adalah suatu metode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu, dan menguji keefektifan produk tersebut. Produk yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah bahan ajar Pembelajaran Matematika berbasis Konstruktivisme Budaya Daerah yang valid, praktis dan efektif. PengembanganBahanPembelajaranMatematika Konstruktivisme Budaya Daerah ini menggunakan disain pengembangan Plomp (2013:19) yang memiliki tiga tahap atau fase, yaitu: 1. Penelitian Pendahuluan (Preliminary Research) 2. Tahap Prototype (Development or Prototyping Phase) 3. Tahap Penilaian (Assesment Phase) Berdasarkan ketiga fase tersebut menurut prosedur pengembangan Plomp (2013:19) tersebut, maka bentuk kegiatan yang dilakukan dalam pengembangan Prosedur Pengembangan 1. Tahap Penelitian Pendahuluan Tahap preliminary research (penelitian pendahuluan ) bertujuan untuk menganalisis masalah utama yang mendasari pentingnya Bahan Ajar Pembelajaran Matematika berbasis Konstruktivisme Budaya Daerah. Selain itu juga bertjuan mempersiapkan kerangka konseptual yang digunakan sebagai acuan untuk melakukan studi selanjutnya. Tahap ini dibedakan menjadi 3 bagian, yaitu (a) analisis kebutuhan dan konteks (need and context analysis) dan (b) ulasan literatur (review of literature); dan (c) pengembangan kerangka konseptual dan kerja studi lanjutan (development of conceptual and theorical frameworlk for the study). Kerangka konseptual dan kerangka teori diperoleh dari hasil analisis kebutuhan dan konteks permasalahan serta review literature. Kerangka konseptual dan kerangka teori ini akan digunakan untuk pengembangan Bahan Ajar Pembelajaran Matematika berbasis Konstruktivisme Budaya Daerah. 2. Tahap Prototipe Tahap ini bertujuan menghasilkan prototype yang valid. Tahap ini terdiri dari tiga langkah kegiatan, yaitu (a) mendesain prototype, (b) melakukan evaluasi formatif dan (c) revisi prototipe. a. Mendesain Prototipe Pada tahap ini, aktivitas yang dilakukan adalah merancang komponen PMK, yang meliputi (a) merancang sintak PMK, (b) merancang sistem sosial atau lingkungan belajar, yaitu situasi atau 226 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 aturan-aturan yang berlaku dalam PMK, (c) Merancang prinsip-prinsip reaksi, yaitu gambaran bagi guru tentang bagaimana menyikapi dan merespon perilaku-perilaku yang ditunjukkan oleh siswa dalam pembelajaran, (d) merancang sistem pendukung yaitu bahan ajar-bahan ajar yang mendukung terlaksananya proses pembelajaran dan tercapainya tujuan pembelajaran dengan baik. Hasil rancangan tersebut dibuat dalam bentuk bahan ajar rasional Bahan Ajar, bahan ajar Pedoman Kerja Guru (PKG), dan Bahan ajar Pedoman Kerja Siswa (PKS), (e) merancang dampak instruksional dan pengiring dalam pembelajaran. b. Melakukan Evaluasi Formatif Teknik evaluasi formatif (formatif evaluation) yang dilakukan untuk menentukan kualitas hasil pengembangan bahan ajar matematika adalah evaluasi formatif Tessmer (1993) dalam Plomp (2013:36), yaitu penilaian pakar (expert review), fokus grup (focus group) dan uji coba lapangan (field test).Para ahli yang bertindak sebagai validator adalah pakar matematika, pendidikan matematika, pakar pendidikan serta pakar bahasa dan guru matematika sebagi praktisi. c. Revisi prototipe Revisi terhadap diasin prototipe dilakukan berdasarkan masukan dan saran ahli/praktisi harus memperlihtakan bahwa prototype diketegorikan valid sehingga layak digunakan . Jika ahli/praktisi merekomendasikan bahwa prototipe tidak layak digunakan atau perlu direvisi maka akan dilakukan revisi kembali dan tahap evaluai formatif akan diulang. Jika penilaian para ahli/praktisi sudah menyatakan prototipe valid, penelitian dilanjutkan ke tahap penilaian (assessment phase). d. Tahap penilaian Tujuan tahap ini adalah melakukan penilaian lebih mendalam terhadap prototype yang telah direvisi. Penilaian yang dilakukan adalah summative evaluation, yaitu dengan melakukan uji praktikalitas dan uji efektifitas.Aktivitas pada tahap ini difokuskan pada uji coba lapangan yang bertujuan untuk mengetahui apakah Bahan Ajar pembelajaran yang dikembangkan bersifat aktif dan efektif. Uji yang dilakukan adalah uji coba lapangan terbatas (limited field test). Subjek Uji Coba Produk Populasi dalam penelitian ini adalah Seluruh siswa Madrasah Aliyah (MA). Siswa MA yang menjadi subyek penelitian adalah Madrasah Aliyah Laboratorium (MAL) di kota Jambi. Jenis Data Jenis data dalam penelitian ini adalah data kualitatif dan kuantitatif.Data kualitatif didapatkan dari hasil diskusi, observasi/pengamatan, serta wawancara.Data kuantitatif didapatkan dari tes kemampuan matematis. 227 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 InstrumenPenelitiandanPengembangan Instrumen Penelitian Intrumen yang digunakan untuk penelitian pendahuluan (preliminary research), menguji kevalidan (prototyping phase), kepraktisan dan keefektifan (assessment phase)PMK seperti dalam table berikut: Tabel 1. Instrumen Penelitian No Fase 1 Preliminary Fokus Penelitian Analisis Research 2 Kebutuhan dan Konteks 3 Instrumen Soal tes awal kemampuan matematis Format wawancara dengan guru Format wawancara dengan siswa 4 5 6 Prototyping Phase AssesmentPhase Validitas Lembar validasi bahan ajarPMK Praktikalitas Lembar observasi pelaksanaan proses pembelajaran PMK dan lembar validasinya Assesment Phase Praktikalitas Lembar observasi pelaksanaan proses pembelajaran PMK dan lembar validasinya Efektifitas Soal tes akhir kemampuan pemecahan masalah dan lembar validasinya 7 8 Format wawancara dengan guru dan lembar validasinya 9 Format wawancara dengan siswa dan Lembar validasinya Seluruh instrument kecuali instrument untuk penelitian pendahuluan, sebelum digunakan akan divalidasi terlebih dahulu kepada validator agar instrument yang digunakan dapat memberikan data yang valid. Para ahli yang bertindak sebagai validator rencananya adalah pakar pendidikan, pakar bahasa dan sastra, pakar pendidikan matematika. A. Teknik Pengumpulan Data Instrumen yang digunakan dalam penelitian untuk pengumpulan data ini adalah menggunakan lembar validasi/format validasi, lembar observasi, wawancara, lembar penilaian, angket respon siswa, lembar evaluasi. 1. Lembar/Format validasi prototype Format validasi disusun untuk memperoleh data yang menyatakan validitas isi dan konstruk dari bahan ajar/Bahan Ajar yang dikembangkan. 2. Lembar observasi Lembar observasi yang dimaksudkan adalah lembar observasi yang dapat digunakan untuk mengetahui praktikalitas dan efektifitas PMKdalamketerpakaian/keterlaksanaan dan aktifitas, kreaktifitas, dan produktifitas siswa. 3. Wawancara Wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi data secara langsung dari pakar/validator, teman sejawat, guru, praktisi pendidikan, siswaatau pengguna dan yang ikut terlibat dalam pengumpulan data tentang keberadaan produk. 228 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 4. Lembar Penilaian/ Instrumen tes hasil belajar Lembar penilaian yang dimaksud adalah lembar penilaian terstruktur dengan PMK melalui soal-soal yang akan digunakan untuk mengetahui kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dengan menggunakan PMK. 5. Angket respon siswa Angket respon siswa disusun untuk memperoleh data tentang sikap dan pendapat siswa terhadap Bahan Ajar pembelajaran, respon siswa terhadap komponen, pelaksanaan pembelajaran dan respon siswa terhadap dampak pembelajaran dengan PMK. 6. Lembar evaluasi Lembar evaluasi disusun untuk memperoleh data tentang ketuntasan belajar siswa sebagai data utama keefektifan. Lembar evaluasi yang dimaksudkan adalah lembar evaluasi hasil belajar. 7. Fokus diskusi kelompok/ focus group discussion (FGD) FGD ini dilakukan agar bahan ajar yang dikembangkan sesuai dengan tujuan yang dirancang. Mengungkapkan makna dan kebutuhan serta masalah yang menjadi fokus pengembangan, sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh dari pandangan bersama terhadap bahan ajar yang dikembangkan atau terhadap masalah yang diteliti. B. Teknik Analisa Data Data yang diperoleh dari berbagai instrumen dianalis secara deskriptif, kualitatif dan kuantitatif untuk dapat mengidentifikasi bahan ajar pembelajaran yang dikembangkan apakah sudah valid, praktis dan efektif atau belum. Demikian juga untuk mengidentifikasi apakah bahan ajar yang dikembangkan dapat terlaksana dikelas dengan baik dan dapat menunjukan hasil kemampuan matematis siswa. 1. Validitas Untuk menguji validitas Bahan Ajar ini, digunakan pendapat dari ahli (judgment experts). Para validator/ahli diminta pendapatnya tentang Bahan Ajar yang dikembangkan.Validasi yang dikembangkan ini meliputi Validitas kontruk (contruct validity) dan validitas isi (content validity).Validitas kontruk yaitu kesesuaian komponen Bahan Ajar dengan unsur yang sudah ditetapkan dalam pengembangan Bahan Ajar.Validasi isi yaitu apakah Bahan Ajar yang dikembangkan sudah sesuai dengan tujuan dan aspek-aspek pembelajaran yang ditetapkan. Hasil penilain terhadap bahan ajar yang diberikan validator di analisis dengan langkah- langkah yang di adopsi dari Muliyardi (2006) yaitu menentukan rerata skor dengan menggunakan rumus: 229 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 n RīŊ īĨV i īŊ1 i n Ket: R = rerata hasil penilaian dari para ahli/validator Vi = skor hasil penilaian validator ke-i n = banyaknya validator Kemudian dihitung rerata semuaaspek untuk validasi bahan ajar dengan menggunakan kriteria sebagai berikut: 1) Bila rerata > 3,20 maka dikategorikan sangat valid 2) Bila 2,40 < rerata īŖ 3,20 maka dikategorikan valid 3) Bila 1,60 < rerata īŖ 2,40 maka dikategorikan cukup valid 4) Bila 0,80 < rerata īŖ 1,60 maka dikategorikan kurang valid 5) Bila rerata īŖ 0,80 maka dikategorikan tidak valid Untuk pengembangan bahan ajar ini dikatakan valid jika nilai rerata dari validator yang bernilai cukup valid. 2. Praktikalitas Data kepraktisan bahan ajar ditentukan dari hasil penilaian mudah digunakan, dan dipahami dalam pelaksanaan pembelajaran kepraktisan dinilai oleh praktisi, pelaksanaan pembelajaran oleh observer dan penggunaan mudah digunakan dan dipahami oleh guru dan siswa. Analisis hasil dari kepraktisan dengan langkah-langkah yang di adopsi dari Muliyardi (2006) yaitu menentukan rerata skor dengan menggunakan rumus: n RīŊ dengan īĨV i īŊ1 i n R = rerata hasil penilaian dari para ahli/validator Vi = skor hasil penilaian validator ke-i n = banyaknya validator Kemudian dihitung rerata semua aspek untuk praktikalitas bahan ajar dengan kriteria sebagai berikut: 1) Bila rerata > 3,20 maka dikategorikan sangat praktis 2) Bila 2,40 < rerata īŖ 3,20 maka dikategorikan praktis 3) Bila 1,60 < rerata īŖ 2,40 maka dikategorikan cukup praktis 4) Bila 0,80 < rerata īŖ 1,60 maka dikategorikan kurang praktis 230 menggunakan Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 5) Bila rerata īŖ 0,80 maka dikategorikan tidak praktis Untuk pengembangan bahan ajar ini dikatakan praktis jika nilai rerata dari praktisi yang bernilai cukup praktis. Untuk menggambarkan data hasil observasi digunakan teknik deskriptif.Angket praktikalitas prototipe bahan ajar dideskripsikan dengan teknik analisis frekuensi data dengan rumus : Skor rata - rata ī´ 100 % Skor maksimum Untuk pengembangan bahan ajar dikatakan mudah digunakan dan dipahami jika lebih dari 70% Tingkat kepraktisan īŊ responden menilai cukup mudah/ cukup praktis. 3. Analisa data Efektivitas Analisis terhadap keefektivan dari bahan ajarPMK diperoleh hasil dari aktivitas, respon, hasil belajar siswa, dan perkembangan kemampuan pemecahan masalah matematis. C. PEMBAHASAN Berdasarkan observasi dilapangan, siswa mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal pemecahan masalah karena soal yang diberikan adalah soal rutin yng ada dalam bahan ajar dan LKS. Bahan ajar yang dicobakan kepada siswa setelah diganti dengan budaya dan lingkungan daerah dengan tetap memakai bahasa Indonesia yang baik maka siswa lebih tertarik untuk menyelesaikan tugas-tugas dan soal-soal dari bahan ajar tetapi sebagian disesuaikan dengan lingkungan daerahnya. Siswa lebih memahami soal-soal jika masalahnya dihubungkan dengan tempat-tempat atau masalah-masalah yang dekat dengan kesehariannya dan mengenal daerahdaerah yang dikenalnya. Setelah divalidasi oleh 2 orang guru yang akan mengajar dan layak digunakan, kemudian bahan ajar diujicobakan kepada siswa, Uji coba yang pertama yaitu uji coba perorangan, pada tahap ini evaluasi dilakukan melalui komunikasi langsung dengan empat orang siswa untuk memperoleh saran dan masukan mengenai bahan ajar yang dihasilkan. Saran dan masukan tersebut digunakan untuk merevisi bahan ajar dan hasilnya diuji coba terhadap kelompok kecil siswa yang terdiri dari 10 orang siswa. Uji coba kelompok kecil bertujuan untuk memeproleh masukan yangakan digunakan untuk memperbaiki kualitas bahan ajar. Hasil revisi kelompok kecil kemudian diuji coba lagi terhadap kelompok besar terdiri dari 27 siswa kelas XA MA Laboratorium sebanyak 4 kali pertemuan. 231 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 DAFTAR PUSTAKA 1. Barab,S.&Squire,K. 2004. Design-BasedResearch: Puttinga Stakeinthe Ground. Journalof the Learning Sciences,13(1), 1-14. 2. Baroody, A. J. (1993). Problem Solving, Reasoning, and Communicating, K-8: 3. Bay, J. (2000). Linking Problem Solvingto Student Achievement in Mathematics: Issues and Outcomes. [Online] Tersedia: http://www.ngacasi.org/jsi/ 2000v1i2/problem_solv_3 4. Bell, F.H. (1978). Teaching and Learning Mathematics (In Secondary School). Iowa: Wm. C. Brown Company Publisher. 5. Riduwan. (2005). Belajar Mudah Penelitian. Penerbit: Alpabeta 6. NCTM. 1989. Curriculum andEvaluation Standards for School Mathematics. Reston, VA: Authur. 7. NCTM.2000.PrinciplesandStandardsforSchoolMathematics. Reston, VA: Authur. 8. Joyce,B.,Weil, M.,danCalhoun,E.2000.ModelofTeaching (6th Edition). Sydney:Allyn & Bacon 9. Plomp, Tjeer. 2010. Educational Design Research: An Introduction. Dalam Tjeer Plom and Nienken Nieven (Ed). An Introduction to Educational Design. Nedtherland in www.slo.nl/organisatie/International /publications 10. Sepriyanti, Nana. 2014. Pengembangan Model Pembelajaran Kalkulus Berbasis Kontekstual untuk Perguruan Tinggi. Disertasi. Tidak diterbitkan. UNP 232 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 PRAKTIKALITAS LEMBAR KERJA SISWA (LKS) MATEMATIKA BERBASIS PEMECAHAN MASALAH PADA MATERI LUAS DAN KELILING SEGIEMPAT DAN SEGITIGA KELAS VII SMP 13 PADANG Zulfitri Aima STKIP PGRI Sumatera Barat [email protected] Abstrak. Penelitian ini dilatarbelakangi pada bahan ajar yang digunakan SMPN 13 Padang, yang tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk memahami masalah sesuai dengan kehidupan sehari-hari. Mengatasi masalah tersebut dikembangkan LKS berbasis Pemecahan Masalah untuk materi luas dan keliling persegi dan segitiga. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan LKS berbasis pemecahan masalah yang praktis. Pengembangan LKS ini menggunakan model 4D. Model 4D terdiri dari 4 langkah yaitu define, design,develop dan desseminate. Instrumen praktikalitas adalah kuesoner dan pedoman wawancara. Hasil Praktikalitas dari guru menunjukan bahwa LKS sangat Praktis dengan presentase 83,75% dan Praktikalias dari siswa menunjukan bahwa LKS sangat praktis dengan presentase 84,3%. Hal ini dapat disimpulkan bahwa LKS berbasis pemecahan masalah pada materi luas dan keliling persegi dan segitiga sangat praktis sehingga dapat digunakan. Kata kunci: praktis, Lembar Kerja Siswa (LKS), Problem Solving, persegi dan segitiga. A. PENDAHULUAN Pendidikan formal yang diselenggarakan di sekolah banyak mengajarkan materi pelajaran yang bersifat akademis dan kurikulum yang jelas. Salah satu contoh mata pelajaran yang bersifat akademis adalah matematika. Dimana matematika merupakan pelajaran penting yang harus diperlajari karena matematika adalah salah satu ilmu dasar yang penting dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang berkembang saat ini. Oleh karena itu, matematika dijadikan salah satu mata pelajaran wajib pada setiap jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan dasar sampai sekolah menengah. Materi dalam pelajaran matematika saling berkaitan dan berlanjut mulai dari matematika di sekolah dasar sampai di sekolah menengah. Contoh materi yang memiliki kaitan dengan materi berikutnya dan berlanjut pada jenjang pendidikan berikutnya adalah materi segiempat dan segitiga. Jika siswa tidak memahami materi segitiga maka siswa akan sulit untuk memahami dan melanjutkan materi selanjutnya yang berkaitan dengan materi segitiga seperti phytagoras serta segitiga merupakan dasar bagi siswa untuk mempelajari bangun ruang. 233 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan di SMPN 13 Padang pada tanggal 26 - 31 Januari 2015 di kelas VII, diketahui bahwa Bahan ajar yang digunakan guru hanya buku teks dan guru tidak menggunakan sumber lain. Hasil wawancara dengan guru matematika kelas VII SMPN 13 Padang adalah buku yang digunakan di sekolah belum mampu mendorong siswa untuk mencari dan memecahkan masalah atau persoalan dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran, khususnya pada materi luas dan keliling segiempat dan segitiga. Hasil wawancara dengan siswa kelas VII SMPN 13 Padang, mereka menganggap bahasa dan isi buku teks sulit untuk dipahami dan tampilan buku teks juga kurang menarik. Berdasarkan permasalahan yang ada, maka diperlukan suatu bahan ajar yang dapat memfasilitasi dan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk belajar sendiri. Melalui bahan ajar ini guru dapat mengupayakan untuk melibatkan sebanyak mungkin karakteristik peserta didik sehingga bahan ajar dapat membantu siswa dalam memecahkan masalah yang ada. Kemandirian siswa dapat diatasi dengan pengembangan LKS berbasis pemecahan masalah sehingga materi dengan mudah dipahami oleh siswa secara mandiri. LKS yang dikembangkan terdapat materi serta pertanyaan – pertanyaan dan pembelajaran yang diawali dengan penyajian masalah kemudian siswa dapat menyelesesaikan masalah yang diberikan serta prinsip matematika yang dapat membimbing siswa, sehingga diberikan bias mengarahkan siswa untuk Berdasarkan uraian di atas rumusan masalah pengembangan LKS matematika berbasis LKS yang dapat menyelesaikan masalah matematika. dari penelitian ini adalah Bagaimana pemecahan masalah yang praktis pada materi luas dan keliling segiempat dan segitiga untuk siswa kelas VII SMPN 13 Padang, sehingga penelitian bertujuan untuk untuk menghasilkan LKS matematika berbasis pemecahan masalah yang praktis pada materi luas dan keliling segiempat dan segitiga bagi siswa kelas VII SMPN 13 Padang. Menurut Majid ( 2008 : 173 ) bahan ajar merupakan informasi, alat dan teks yang diperlukan guru untuk perencanaan dan penelaahan implementasi pembelajaran. Menurut Hamdani (2011: 84) metode pemecahan masalah (problem solving) merupakan metode dalam kegiatan pembelajaran dengan jalan melatih siswa menghadapi berbagai masalah, baik masalah pribadi maupun masalah kelompok untuk dipecahkan sendiri atau secara bersama-sama. LKS yang dibuat mengandung unsur-unsur dari pemecahan masalah yang dikemukan oleh polya dalam Suherman (2003: 91) yaitu memahami masalah, merencanakan masalah, menyelesaikan masalah sesuai dengan rencana dan melakukan pengecekan kembali terhadap semua langkah yang telah dikerjakan. LKS berbasis pemecahan masalah adalah suatu LKS yang berlandaskan pada masalah yang mana dapat membuat siswa terlatih dalam menghadapi permasalahan yang ada dalam kehidupan sehari-hari. 234 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 B. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian pengembangan (research and development). Penelitian ini menghasilkan produk LKS berbasis pemecahan masalah pada materi luas dan keliling segiempat dan segitiga kelas VII SMP. Menurut Arifin (2011: 127) model pengembangan adalah dasar untuk mengembangkan produk yang akan dihasilkan. Model prosedural pada penelitian ini menggunakan Menurut Thiagarajan dkk dalam Arifin (2011: 128) model ini terdiri dari 4 model 4-D. tahap, yaitu pendefinisian (define), perancangan (design), pengembangan (develop), dan penyebaran (desseminate). Pada penelitian ini tahap penelitian terbatas sampai tahap develop saja yaitu sampai tahap praktikalitas. Untuk tahap keempat yaitu tahap penyebaran (desseminate) tidak dilakukan karena memerlukan waktu yang panjang dan jumlah sampel yang banyak. Pada tahap define yang dilakukan adalah menganalisis silabus, analisis buku teks, analisis literatur, analisis karakteristik siswa dan wawancara dengan guru dan siswa. Kedua yaitu tahap design. Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah merancang produk LKS berbasis pemecahan masalah. Selanjutnya kegiatan yang dilakukan pada tahap develop adalah validasi produk oleh validator dan praktikalitas. Instrumen yang digunakan adalah angket dan pedoman wawancara. Angket dan pedoman wawancara digunakan untuk melakukan praktikalitas produk. Praktikalitas produk bertujuan untuk melihat keterpakaian produk yang telah disusun, dengan melakukan uji-cobaproduk secara terbatas pada sembilan orang siswa dan dua orang guru Matematika SMPN 13 Padang C. HASIL DAN PEMBAHASAN Praktikalitas LKS diterapkan sesuai dengan langkah-langkah pemecahan masalah yang ada di dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang telah dibuat Uji coba dilakukan pada 9 orang siswa. Uji coba terbatas bertujuan untuk mengetahui kepraktisan LKS berbasis pemecahan masalah, data uji coba diperoleh dari pengisian angket oleh siswa dan guru serta wawancara dengan siswa. Berikut merupakan hasil praktikalitas dari pengisian angket oleh guru dan siswa: 235 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Tabel 1. Hasil Praktikalitas LKS oleh Guru No Indikator 1 Kemudahan penggunaan LKS Waktu yang diperlukan Daya tarik LKS Mudah diinterpresta sikan 2 3 4 Rata-rata Nilai praktik alitas 85% Kategori 87,5% Sangat praktis Sangat praktis Sangat Praktis 87,5% 75% 83,75 Sangat praktis Sangat praktis Tabel 2. Hasil Praktikalitas LKS oleh Siswa No Indikator 1 Kemudahan penggunaan LKS 2 Waktu yang diperlukan 3 Daya tarik LKS 4 Mudah diinterpresta sikan Rata-rata Nilai praktik alitas 87,5% Kategori 84,7% Sangat praktis Sangat praktis Sangat Praktis 84,3% 80,6% 84,3% Sangat praktis Sangat praktis Pada Tabel 1 dan 2, ditunjukkan respon guru dan siswa SMPN 13 Padang yang dihasilkan. Berdasarkan hasil analisis respons guru didapatkan hasil 83,75% dan respon siswa 84,3% dengan kategori sama yaitu sangat praktis. Secara umum siswa merasa mudah dalam menggunakan LKS, waktu yang diperlukan sesuai, daya tariknya bagus dan mudah diinterprestasikan serta siswa senang dengan pembelajaran LKS berbasis pemecahan masalah. Praktikalitas LKS dilihat melalui wawancara dengan siswa. Berdasarkan wawancara terhadap siswa, siswa mudah melakukan kegiatan yang terdapat pada LKS berbasis pemecahan masalah. Berikut kutipan percakapan peneliti dengan siswa berkaitan dengan kemudahan penggunaan LKS. 236 Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257 Peneliti : Apakah LKS berbasis pemecahan masalah ini membantu kamu dalam memahami materi pembelajaran? Siswa : Ya, karena dengan menggunakan LKS ini saya lebih mengerti tentang pembelajaran luas dan keliling bangun datar. Dari segi waktu yang diperlukan untuk melaksanakan pembelajaran sudah mencukupi, hal ini dilihat ketika siswa mengerjakan kegiatan menyelesaikan masalah pada LKS, mereka dengan cepat menyelesaikanya. Berikut kutipan percakapan peneliti dengan siswa berkaitan dengan waktu yang diperlukan dalam pelaksanaan pembelajaran. Peneliti : Apakah kamu memerlukan waktu yang lama dalam mengerjakan soal-soal latihan pada LKS? Mengapa? Siswa : Tidak, karena di dalam LKS ini kita dibimbing dengan langkah- langkah yang mudah Dari segi daya tarik LKS ini sudah dapat menambah minat belajar dan minat baca siswa karena LKS ini memiliki warna yang bervariasi. Berikut kutipan percakapan peneliti dengan siswa berkaitan dengan tarik LKS. Peneliti : Apakah desain LKS berbasis pemecahan masalah yang dirancang menarik bagi kamu? Mengapa? Siswa : Ya, karena LKS ini mempunyai variasi warna yang menarik Berdasarkan ujicoba kepraktisan LKS yang dilakukan dengan angket kepraktisan oleh guru dan siswa, wawancara terhadap siswa dapat disimpulkan bahwa LKS dikategorikan praktis. Hal ini terlihat dari segi kemudahan, waktu, daya tarik dan mudah diinterprestasikan pada pembelajaran dapat dilaksanakan dengan baik. D. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang dilakukan dapatdisimpulkan bahwa: LKS yang dikembangkan sudah valid, artinya LKS berbasis pemecahan masalah telah layak digunakan. LKS mudah digunakan karena terdapat petunjuk belajar yang jelas, uraian materi berupa masalah yang sering dihadapi dalam kehidupan sehari-hari dan latihan yang diberikan dapat membimbing siswa dalam memahami dan menyelesaikan masalah. DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. Arifin, Zainal. (2011). Penelitian Pendidikan (Metode dan Paradigma Baru). Bandung: Rosda. Hamdani. 2011. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: Pustaka Setia. Majid, Abdul. 2008. Perencanaan Pembelajaran- Mengembangkan Standar Kompetensi Guru. Bandung: Remeja Rosdakarya. Suherman, Herman. 2003. Strategi pembelajaran matematika kontemporer. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia. 237