Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan

advertisement
Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2, ISSN : 2443-1257
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL MATEMATIKA DAN
PENDIDIKAN MATEMATIKA
“Etnomatematika, Matematika dalam Perspektif Sosial dan Budaya”
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
(STKIP) PGRI SUMATERA BARAT
Editor:
Dra. Rahmi, M.Si
Tika Septia, S.Si, M.Pd
Anna Cesaria, M.Pd
Dewi Estetika Sari, M.Si
Sofia Edriati, S.Si, M.Pd
STKIP PGRI SUMATERA BARAT PRESS
ii
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2, No.1, ISSN : 2443-1257
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita ucapkan atas kehadirat Allah SWT sehingga Prosiding
Seminar Matematika dan Pendidikan Matematika ini dapat diselesaikan. Prosiding
ini bertujuan mendokumentasikan dan mengkomunikasikan hasil presentasi
makalah
pada
Seminar
Matematika
dan
Pendidikan
Matematika
yang
terselenggara pada Program Studi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Sumatera
Barat. Jumlah makalah yang masuk 29 makalah dari 12 Perguruan Tinggi dan
Institusi yang terkait. Makalah-makalah tersebut telah dipresentasikan di Seminar
Matematika dan Pendidikan Matematika pada tanggal 16 April 2016. Makalah
terdiri dari 13,8 % makalah untuk Matematika dan 86,2 % untuk Pendidikan
Matematika.
Terima kasih disampaikan kepada pemakalah yang telah berpartisipasi
pada desiminasi hasil kajian/penelitian yang dimuat pada Prosiding ini. Terima
kasih juga disampaikan kepada Tim Prosiding dan segenap panitia yang terlibat.
Semoga Prosiding ini bermanfaat.
Ketua Panitia,
Anna Cesaria, M.Pd
iii
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2, ISSN : 2443-1257
DAFTAR ISI
Halaman Judul ................................................................................................
i
Kata Pengantar ............................................................................................... iii
Daftar Isi .......................................................................................................... iv
Makalah Matematika
No
Pemakalah
1
Agus Dahlia
2
Alona Dwinata
3
Dedi Mardianto
4
Hazmira Yozza,
Maiyastri
Judul
KONVERGEN
SERAGAM
INTEGRAL
HENSTOCK-KURZWEIL
DARI
FUNGSI
BERNILAI DI RUANG BANACH
ANALISIS REGRESI LOGISTIK BINER PADA
PEMODELAN PARTISIPASI PEMILIH DALAM
PEMILIHAN
GUBERNUR
PROVINSI
KEPULAUAN RIAUTAHUN 2015 (STUDI
KASUS: KELURAHAN TANJUNGPINANG)
GENERATOR MODUL HOMOTOPI KEDUA
⟨ 𝑡 | 𝑡6⟩
UNTUK
PRESENTASI
GRUP
2
3
−1
−1
DAN ⟨ 𝑎, 𝑏 | 𝑎 , 𝑏 , 𝑎𝑏𝑎 𝑏 ⟩
ANALISIS KEPUASAN NASABAH SALAH
SATU BANK SYARIAH SWASTA DI KOTA.
PADANG
DENGAN
IMPORTANCE
PERFORMANCE ANALYSIS
Halaman
1-5
6-16
17-22
18-32
Makalah Pendidikan Matematika
No
Pemakalah
5
Dr. Ahmad Nizar
Rangkuti, S. Si., M.,Pd
6
Ainil Mardiyah, Lita
Lovia
7
Audra Pramitha Muslim
8
Aulia Sthephani
iv
Judul
MENGEMBANGKAN
KEMAMPUAN
KOMUNIKASI
MATEMATIS
MELALUI
PENDEKATAN
PENDIDIKAN MATEMATIKA
REALISTIK
Tahap Preliminary Research (Investigasi Awal)
Pengembangan Lembar Kerja Limit, Turunan,
Dan Integral Pada Mahasiswa Pendidikan Biologi
STKIP PGRI Sumatera Barat
PENERAPAN
TAPPS
DISERTAI
HYPNOTEACHING (HYPNO-TAPPS) DALAM
PENINGKATAN KEMAMPUAN REPRESENTASI
MATEMATIS SISWA SMP
PERBANDINGAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI
MATEMATIS ANTARA SISWA YANG BELAJAR
DENGAN PROBLEM BASED LEARNING DAN
DISCOVERY LEARNING
Halaman
33-39
40-43
44-57
58-64
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2, No.1, ISSN : 2443-1257
9
Deby Yolanda, Rina
Febriana
10
Effie Efrida Muchlis,
Syafdi Maizora
11
Endang Istikomah
12
Ergusni
13
Fitriana Yolanda
14
Ira Fatmi Musdalifah,
Anny Sovia, Rahima
15
Lenny Puwarsih,
Ratulani Juwita
16
Lucky Heriyanti Jufri
17
Melinda Yusri Rizki,
Jefri Marzal,
Syamsurizal
18
Mira Amelia Amri
19
Mulia Suryani
20
Prima Dona Putri Jamil
PENGARUH
PENERAPAN
STRATEGI
PEMBELAJARAN AKTIF TIPE LEARNING
TOURNAMENT
TERHADAPPEMAHAMAN
KONSEP MATEMATIS SISWAKELAS VIII SMPN
27 PADANG
PENERAPAN
METODE
DISCOVERY
BERBANTUAN GEOMETER’S SKETCHPAD
(GSP) PADA PEMBELAJARAN ALJABAR
RENDAH UNTUK MENINGKATKAN HASIL
BELAJAR
MAHASISWA
PENDIDIKAN
MATEMATIKA FKIP UNIVERSITAS BEGKULU
KESAN INTEGRASI PERISIAN GEOMETER’S
SKETCHPAD DALAM PENGAJARAN KE ATAS
PEMAHAMAN KONSEP TRANSFORMASI
PENERAPAN
MODEL
PEMBELAJARAN
KOOPERATIF TIPE ROUND ROBIN DALAM
PEMBELAJARAN MATEMATIKA
PENINGKATAN
KEMAMPUAN
BERPIKIR
KRITIS MATEMATIS SISWA SMP MELALUI
PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH
PENGARUH PEMBELAJARAN AKTIF TIPE
GIVING QUESTION AND GETTING ANSWER
(GQGA) TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP
MATEMATIS SISWA KELAS VIII SMP KARTIKA
I-7 PADANG
PENGARUH
MODEL
PEMBELAJARAN
KOOPERATIF TIPE THINK-TALK- WRITE (TTW)
TERHADAP
PEMAHAMAN
KONSEP
MATEMATIS SISWA KELAS X SMAN 14
PADANG
PENGARUH PENERAPAN DOUBLE LOOP
PROBLEM SOLVING (DLPS) TERHADAP SELFEFFICACY SISWA SEKOLAH MENENGAH
PERTAMA (SMP)
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN THINK
PAIR SHARE DAN GAYA KOGNITIF SISWA
TERHADAP
KETERAMPILAN
BERPIKIR
KREATIF SISWA DI KELAS VIII SMP NEGERI 6
KERINCI
DESAIN
PEMBELAJARAN
BILANGAN
PECAHAN SMP DENGAN MENGGUNAKAN
ALAT
PERAGA
PADA
KELAS
MICRO
TEACHING STKIP YDB LUBUK ALUNG
PENGARUH
PEMBERIAN
REWARD
TERHADAP MOTIVASI BELAJAR MAHASISWA
PADA PERKULIAHAN PROGRAM LINIER
PENGEMBANGAN
PERANGKAT
PEMBELAJARAN
MATEMATIKA BERBASIS
PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME UNTUK
MENINGKATKAN
KEMAMPUAN
REPREESENTASI SISWA KELAS VII MTsN
65-67
68-76
77-87
88-96
97-103
104-111
112-115
116-126
127-137
138-145
146-153
154-164
v
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2, ISSN : 2443-1257
BATUSANGKAR KABUPATEN TANAH DATAR
21
Radhya Yusri
22
Rikhe Saputri, Rini
Warti, Ali Murtadlo
23
Sefna Rismen
24
Sri Rezeki Utami, Rini
Warti, Ali Murtadlo
25
Trisna Rukhmana,
Kamid, Rayandra
Asyhar
26
Usmadi
27
Vivi Afdarni, Villia
Anggraini, Siskha
Handayani
28
Yusmarni, Hendra
Bestari
29
Zulfitri Aima
vi
PENGARUH
PENDEKATAN
PROBLEM
CENTERED
LEARNING
TERHADAP
KEMAMPUAN
PEMAHAMAN
KONSEP
MATEMATIS SISWA KELAS X SMA NEGERI
KABUPATEN SOLOK
DESKRIPSI
ETNOMATEMATIKA
DALAM
PENGHITUNGAN
LUAS
TANAH
PADA
MASYARAKAT JAMBI
ANALISIS
8
KETERAMPILAN
DASAR
MENGAJAR GURU DALAM MATA KULIAH
MICROTEACHING MAHASISWA PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA SEKOLAH
TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
(STKIP) PGRI SUMBAR
DESKRIPSI
ETNOMATEMATIKA
DALAM
PENGHITUNGAN
BERAT
EMAS
PADA
MASYARAKAT JAMBI
PENGARUH
MODEL
PEMBELAJARAN
INQUIRY
DAN GAYA KOGNITIF SISWA
TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA
SISWA DI KELAS VIII SMP NEGERI 8 KERINCI
PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN
ARCSI DENGAN PENDEKATAN SAINTIFIK
PENGARUH
MODEL
PEMBELAJARAN
KOOPERATIF DISERTAI MAKE A MATCH
TERHADAP
PEMAHAMAN
KONSEP
MATEMATIS SISWA KELAS X SMAN 4
SIJUNJUNG TAHUN PELAJARAN 2015/2016
PENGEMBANGAN
BAHAN
AJAR
PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS
KONSTRUKTIVISME
BUDAYA
DAERAH
BUDAYA DAERAH UNTUK MADRASAH
PRAKTIKALITAS LEMBAR KERJA SISWA (LKS)
MATEMATIKA
BERBASIS
PEMECAHAN
MASALAH PADA MATERI LUAS DAN KELILING
SEGIEMPAT DAN SEGITIGA KELAS VII SMP 13
PADANG
165-171
172-178
179-185
186-191
192-197
198-214
215-218
219-232
233-237
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
KONVERGEN SERAGAM INTEGRAL HENSTOCKKURZWEIL DARI FUNGSI BERNILAI DI RUANG
BANACH
Agus Dahlia
Universitas Islam Riau, Jl. Kaharuddin Nasution No. 113Marpoyan, Pekanbaru
[email protected]
Abstrak. Dalam makalah ini akan ditunjukkan sifat-sifat integral Henstock-Kurzweil dari fungsi bernilai
di ruang Banach. Dimisalkan terdapat suatu ruang Banach dari semua fungsi kontinu bernilai real yang
terdefinisi pada interval compact. Tujuan dalam makalah ini adalah untuk membuktikan bahwa
kekonvergenan seragam berlaku untuk fungsi-fungsi terintegral Henstock-Kurzweil yang bernilai di
ruang Banach.
Kata kunci: Integral Henstock-Kurzweil, Ruang Banach, Konvergen Seragam.
A. PENDAHULUAN
Permasalahan teorema kekonvergenan pada integral prinsipnya adalah mencari syarat cukup
agar limit barisan nilai integral fungsi terintegral sama dengan integral limit barisan fungsi
tersebut. Integral Henstock-Kurzweil lebih dikenal untuk fungsi bernilai riil dan telah sering
dibahas. Akan tetapi, integral Henstock-Kurzweil dapat diperluas untuk fungsi bernilai vektor.
Ruang Banach merupakan ruang vektor bernorm dimana terdapat barisan Cauchy yang
konvergen. Penelitian integral dari fungsi bernilai di ruang Banach dimulai oleh R.A. Gordon
pada tahun 1990. Dalam penelitiannya, ditemukan bahwa tidak semua integral dapat digunakan
untuk fungsi bernilai Banach, yakni integral McShane dan integral Bochner. berdasarkan hal
tersebut, dimungkinkan untuk menyelidiki teorema kekonvrgenan integral Henstock-Kurzweil
dari fungsi bernilai di ruang Banach. Model-model fungsi bernilai Banach memiliki banyak
jenis, diantaranya adalah fungsi dengan nilai di dalam ruang barisan
.
Pada makalah ini, permasalahan yang akan diselesaikan dalam penelitian ini adalah
mengungkapkan teorema kekonvergenan seragam yang berlaku untuk integral HenstockKurweil bernilai di dalam ruang barisan
.
Dalam tulisan ini, dimisalkan suatu fungsi
norm ‖∙‖
dan interval compact
= [ , ] adalah kumpulan
=[
⊂ℝ
=
<
dengan
adalah ruang Banach dengan
dengan ukuran Lebesgue
= { ,…,
, ], = 1, 2, … , , dengan
: →
. Partisi dari interval
} dari interval tertutup yang non-overlapping
<⋯<
<
= .
1
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
( = 0, 1, … , ) disebut titik-titik partisi dari
Titik-titik
maka titik-titik
. Jika
∈ , untuk = 1, 2, … , ,
disebut tags, dan himpunan dari pasangan-pasangan terurut dari
Ė‡ = {( , ), ( ,
), … , ( ,
disebut tagged partition dari . [Bartle, 2000; hal. 145]
Untuk suatu interval compact
ℝ
ī¯
⊂ℝ
suatu tagged interval. Dua interval compact , ⊂
ī¯
disebut non overlapping jika J ∩ L = ∅. Misal
kumpulan berhingga
suatu himpunan indeks berhingga. Maka
{( , ): ∈ }
dari pasangan non-overlapping tagged intervals dengan
untuk semua ∈ . Sistem
,
)}
diberikan ( , ) adalah suatu pasangan dari suatu tag
⊂ℝ
∈ ℝ dan suatu interval compact
dan
∈
disebut sistem
di disebut sebagai partisi
∈
⊆
di jika
jika
= .
Suatu fungsi : → ℝ disebut gauge pada , dan katakan suatu tagged interval ( , ) adalah
−
jika
⊆
( )(
), dengan
( )(
) menotasikan bola terbuka di (ℝ , |∙|) yang
berpusat pada dengan radius ( ). Lebih lanjut, sistem
intervals ( , ) adalah
−
disebut
yang sama dengan gauge .
−
jika semua tagged
B. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang dilakukan adalah metode teoritik, yaitu mempelajari karya-karya ilmiah
yang telah dihimpun dan hasilnya dijabarkan secara rinci yang disajikan dalam bentuk eoremateorema.kegiatan analisis dilakukan diskusi dengan para pakar matematika yang menguasai
permasalahan penelitian ini.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
Kekonvergenan dari suatu barisan bilangan riil dapat diperumum menjadi kekonvergenan untuk
barisan-barisan di ruang linier bernorm. Berikut definisi pendukung dari pernyataan tersebut.
Definisi 1 Barisan ⟨ ⟩ di ruang linier bernorm dikatakan konvergen ke suatu anggota
ruang tersebut jika diberikan
semua
→ .
2
>
didapat ‖ −
> 0, terdapat suatu bilangan
‖ < . Jika
konvergen ke
di
sedemikian sehingga untuk
, dapat ditulis
= lim
atau
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Definisi 2 Diberikan ( ) barisan dari fungsi-fungsi pada ,
∈ ℕ. Barisan fungsi { } dikatakan konvergen seragam pada
( ) sehingga jika
> 0 terdapat
untuk setiap
|
( )+⋯+
( )| <
‖∙‖
dan interval compact
untuk setiap
Definisi 3 Misal suatu fungsi : →
Kurzweil integrable dan
>
diberikan dengan
adalah ruang Banach dengan norm
dengan ukuran Lebesgue
∈
. Fungsi
dari , pertidaksamaan
∈ℑ
dipenuhi.
( ) ( )−
−
∈
sehingga untuk setiap
partisi
{( , )}
<
merupakan kumpulan dari fungsi-fungsi : →
Henstock-Kurzweil jika setiap
terdapat gauge
dikatakan Henstock-
adalah integral Henstock-Kurzweil jika untuk setiap
> 0 terdapat suatu gauge : → ℝ sehingga untuk setiap
Definisi 4 Diberikan
jika dan hanya jika
( ), maka
≥
∈ .
⊂ ℝ → ℝ untuk setiap
(2.2)
dikatakan terintegral
terintegral Henstock-Kurzweil dan untuk setiap
∈
pertidaksamaan
( ) ( ) − (ℋ )
dipenuhi dengan {( , ), = 1, … , } adalah
−
>0
<
partisi
dari .
Berikut ini akan ditunjukkan kekonvergenan seragam dari fungsi-fungsi bernilai di ruang
Banach yang terintegral Henstock-Kurzweil.
={ : → ;
Teorema (Kekonvergenan Seragam) Asumsikan bahwa
barisan fungsi terintegral ℋ
Maka fungsi : →
lim
→
lim (ℋ )
→
Bukti.diberikan
( ) = ( ),
terintegral Henstock-Kurzweil dan
dipenuhi.
untuk setiap
sehingga
∈ ℕ} adalah suatu
∈ .
= (ℋ )
sebagai gauge dari barisan fungsi-fungsi terintegral ( ) dengan
∈ ℕ diperoleh
> 0, maka
3
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
( ) ( ) − (ℋ )
−
untuk setiap
partisi
<
{( , ), = 1, … , } dari .
Jika partisi {( , ), = 1, … , } tetap maka titik konvergen
∈ ℕ sehingga untuk
Pilih
lim
( ) ( )=
→
>
menghasilkan
( ) ( ).
pertidaksamaan
( ) ( )−
→
(1)
( ) ( )
<
dipenuhi. Maka diperoleh
( ) ( ) − (ℋ )
>
untuk
Untuk ,
≤
( ) ( )−
( ) ( )
>
pertidaksamaan
(ℋ )
sehingga
− (ℋ )
,
lim (ℋ )
<4
∈ ℕ dari elemen-elemen
= ∈
→∞
> 0, dengan hipotesis bahwa terdapat gauge
∈ ℕ ketika {( , ), = 1, … , } adalah
sehingga
terdapat
Maka
4
≤2
.
menunjukkan bahwa barisan (ℋ ) ∫
Misal
( ) ( ) − (ℋ )
+
(ℋ ) ∫
≥
−
sehingga
<
−
( ) ( )−
ada.
(2)
sehingga (1) dipenuhi untuk semua
partisi
untuk semua
adalah Cauchy
≥
( ) ( )
dari . Dengan (2) pilih
. Karena
< .
∈ℕ
konvergen ke
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
( ) ( )−
≤
( ) ( )−
+ (ℋ )
−
Dan hal ini mengakibatkan bahwa
lim
→
(ℋ ) ∫
= = (ℋ ) ∫
( ) ( )
<3
+
( ) ( ) − (ℋ )
terintegral Henstock-Kurzweil pada
dan
.
D. KESIMPULAN
Untuk barisan fungsi-fungsi bernilai di ruag Banach yang terintegral Henstock-Kurzweil dan
konvergen seragam ke sebuah fungsi didalam [ , ] pada interval compact mengakibatkan
limit barisannya juga terintegral Henstock-Kurzweil.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Bartle, R.G. & Sherbert, D. R. (2000). Introduction to Real Analysis. (3rd ed). United State of
America: John Wiley & Sons, Inc.
Bartle, R. G. (2000). A Modern Theory of Integration.(MTI). Grad. Studies in Math., Amer. Math.
Society, Providence, RI.
Forkert, D. L. (2012). The Banach Spaces-Valued Integrals of Riemann, McShane, HenstockKurzweil and Bochner. November 22, 2012. Vienna University of Technology, Bachelor Thesis.
Kreyszig, Erwin. (1978). Introductory Functional Analysis with Aplications. Kanada: John Wiley &
sons. Inc.
M. Fabian., et al. (2010). Banach Space Theory : The Basis for Linier and NonLinier Analysis.
London : Springer.
Royden, H. L. (1988). Real analysis. New York: Collier Macmillan Canada, Inc.
Stefan, S. & Guoju, Ye. (2005). Topics in Banch Spaces Integration. Singapura: World Scientific
Publishing Co. Ptc. Ltd.
5
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Analisis Regresi Logistik Biner pada Pemodelan Partisipasi
Pemilih dalam Pemilihan Gubernur Provinsi Kepulauan
RiauTahun 2015(Studi Kasus: Kelurahan Tanjungpinang
Kota)
Alona Dwinata1
1
Pendidikan Matematika, Universitas Maritim Raja Ali Haji
1
[email protected]
Abstrak. Model regresi merupakan komponen penting dalam beberapa analisis data untuk
menggambarkan hubungan kausalitas antara variabel respon dengan satu atau lebih variabel prediktor.
Pada umumnya analisis regresi digunakan untuk menganalisis data dengan variabel respon berupa data
kuantitatif, tetapi dalam penelitian sosial sering ditemui kasus dengan variabel respon bersifat kualitatif.
Untuk mengatasi masalah tersebut dapat digunakan model regresi logistik. Model regresi logistik dengan
variabel respon bersifat dikotomus atau terdiri dari dua ketegori (0 dan 1) disebut regresi logistik biner.
Regresi logistik biner diimplementasikan untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi
pemilih dan dirancang untuk melihat seberapa jauh model yang diperoleh mampu memprediksi secara
benar kategori partisipasi pemilih. Pemilih yang berpartisipasi dalam Pemilihan Gubernur Provinsi
Kepulauan Riau diberi kode 1 dan pemilih yang tidak melaksanakan hak pilihnya diberi kode 0. Metode
untuk menduga parameter pada model regresi logistik biner adalah Maximum Likelihood Estimation
(MLE). Penelitian ini menggunakan data primer melalui survei terhadap 150 responden di Kelurahan
Tanjungpinang Kota yang dipilih secara acak berdasarkan daftar pemilih tetap tahun 2015. Data diambil
dengan menggunakan kuesioner berskala guttman. Model yang sesuai diperoleh setelah dilakukan
panaksiran parameter, uji signifikansi, dan uji kecocokan model. Hasil analisis menunjukkan persentase
seluruh partisipasi pemilih terklasifikasi dengan benar sesuai dengan partisipasinya dalam pemilu sebesar
80,7%. Hubungan kausalitas berdasarkan hasil analisis regresi logistik biner menyatakan variabel
prediktor yang berpengaruh nyata terhadap partisipasi pemilih adalah visi dan misi calon Gubernur,
sosialisasi politik melalui media cetak dan elektronik, kesadaran hak dalam memilih, partisipasi pemilih
dalam pemilu legislatif tahun 2014 dan partisipasi pemilih dalam pemilihan Walikota dan Wakil Walikota
Tanjungpinang Tahun 2012.
Kata kunci : Regresi Logistik Biner,Maximum Likelihood Estimation (MLE), Partisipasi Pemilih
A. PENDAHULUAN
Model regresi merupakan komponen penting dalam beberapa analisis data untuk
menggambarkan hubungan kausalitas antara variabel respon dengan satu atau lebih variabel
prediktor. Pada umumnya analisis regresi digunakan untuk menganalisis data dengan variabel
respon berupa data kuantitatif, tetapi dalam penelitian sosial sering ditemui kasus dengan
variabel respon bersifat kualitatif atau kategori. Untuk mengatasi masalah tersebut digunakan
model regresi logit atau lebih dikenal dengan model regresi logistik. Model regresi logistik
dirancang untuk melakukan prediksi keanggotaan grup. Hal ini berarti tujuan dari pemodelan
regresi logistik adalah untuk mengetahui seberapajauh model yang digunakan mampu
memprediksi secara benar kategori keanggotaan grup dari sejumlah individu. Model regresi
6
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
logistik dengan variabel respon bersifat dikotomus atau terdiri dari dua ketegori (0 dan 1)
disebut model regresi logistik biner.
Pemodelan regresi logistik biner memiliki peranan penting dalam memprediksi kategori
partisipasi pemilih dalam proses pemilihan umum (pemilu). Variabel respon bersifat dikotomus
atau terdiri dari dua ketegori yaitu masyarakat yang melaksanakan hak pilihnya termasuk
kategori partisipasi pemilih “1” dan masyarakat yang tidak melaksanakan hak pilihnya termasuk
kategori partisipasi pemilih “0” dalam proses pemilu. Pemilu merupakan elemen terpenting
dalam sistem demokrasi sebagai sistem politik negara Indonesia. Pemilu merupakan salah satu
proses politik yang dilaksanakan setiap lima tahun, baik untuk memilih anggota legislatif,
maupun untuk memilih anggota eksekutif. Dalam proes pemilu untuk pemilihan eksekutif,
rakyat telah diberi peluang untuk memilih President, Gubernur dan Bupati/Walikota. Tingkat
partisipasi pemilih pada pemilihan kepala daerah (pilkada) merupakan hal yang sangat penting
untuk dikaji, karena rendah atau tingginya suatu partisipasi merupakan indikator penting
terhadap jalannya proses demokrasi.
Realitas dan fenomena rendahnya partisipasi pemilih dalam proses pilkada merupakan hal yang
sangat memprihatinkan, kerana hak politik merupakan salah satu hak azazi. Namun masyarakat
yang telah diberi hak pilih justru tidak mau menggunakannya. Berdasarkan data DPT KPU Kota
Tanjungpinang dalam pemilihan umum Walikota dan Wakil Walikota Tanjungpinang tahun
2012, pemilih disetiap kecamatan yang tidak melaksanakan hak pilihnya (golput) mencapai
angka diatas 40%. Kecamatan Tanjungpinang Kota merupakan kecamatan yang memiliki angka
golput tertinggi sebesar 43,98% dari empat kecamatan yang ada di Kota Tanjungpinang.
Kecamatan Tanjungpinang Kota memiliki empat kelurahan dengan angka golput tertinggi
sebesar 51,44% berada di Kelurahan Tanjungpinang Kota.
Rangkaian fenomena rendahnya partisipasi pemilih dalam melaksanakan hak pilihnya
menimbulkan masalah dan pertanyaan yang perlu dikaji lebih lanjut demi tegaknya proses
demokrasi. Pemilihan Gubernur bulan Desember 2015 dapat memberikan informasi bagaimana
masyarakat memandang problematika yang ada dalam proses pemilihan kepala daerah
khususnya partisipasi pemilih di Provinsi Kepulauan Riau. Berdasarkan data KPU tahun 2012
dengan problematika yang mempengaruhi partisipasi pemilih dalam pilkada, Peneliti tertarik
untuk melihat bagaimana partisipasi pemilih di Kelurahan Tanjungpinang kota terhadap
Pemilihan Gubernur Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2015 dengan judul penelitian “Analisis
Regresi Logistik Biner pada Pemodelan Partisipasi Pemilih dalam Pemilihan Gubernur
Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2015(Studi Kasus: Kelurahan Tanjungpinang Kota)”.
7
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
B. Kajian Teori
1. Model Regresi Logistik
Regresi logistik digunakan untuk menggambarkan hubungan variabel respon yang bersifat
kategori dengan variabel prediktor bersifat kategori, kontinu atau kombinasi keduanya.
Variabel respon yang memiliki dua kemungkinan hasil dikatakan variabel respon biner
sehingga model regresi logistik ini dikenal dengan model regresi logistik biner. Model ini
sering digunakan dalam menyelesaikan masalah klasifikasi pada metode parametrik. Jika
data hasil pengamatan memiliki p-1 (p adalah banyaknya parameter) variabel prediktor
=( ,
yang ditunjukkan oleh vector
,…,
) yang berpasangan dengan variabel
respon Y yang bernilai 1 atau 0, dimana y=1 menyatakan “sukses” dan y=0 menyatakan
“gagal”, maka variabel respon Y mengikuti sebaran Bernoulli dengan parameter
dengan fungsi peluang :
| ( ) = [ ( )] [1 − ( )]
;
( )
= 1, . . ,
Untuk menggambar kondisional mean dari Y (respon) terhadap X (variabel prediktor)
digunakan hitungan ī° ( x) ī€Ŋ E (Y x) . Bentuk dari model logistik adalah sebagai berikut:
dengan īĸ′ = (
( )=
1+
1
(
)
=
(
1+
, īĸ , … , īĸ ) dan ′ = (1,
(
,
)
)
,…,
(1)
).Jika ( ′ ) → ∞ maka ( ) → 1
dan jika ( ′ ) → −∞ maka ( ) → 0, sehingga dapat dipastikan bahwa nilai ( ) selalu
berada pada selang [0,1].Fungsi (1) berbentuk nonlinier. Untuk itu, diperlukan transformasi
agar fungsi (1) menjadi fungsi linier, dengan menggunakan transformasi logit dari ( ),
maka model logistik dapat disebut model logit, yaitu
( )=
( )
= ′
1− ( )
(Hosmer dan Lemeshow, 2000).
2. Estimasi Parameter
Salah satu metode pendugaan yang digunakan untuk mengestimasi parameter yang belum
diketahui
adalahPenduga
Estimation(MLE).
Metode
Kemungkinan
tersebut
Maksimum
mengestimasi
atau
Maximum
parameter
β
Likelihood
dengan
cara
memaksimumkan fungsi kemungkinan dan mensyaratkan bahwa data harus mengikuti
suatu distribusi tertentu. Pada regresi logistik setiap pengamatan mengikuti distribusi
Bernoulli dan objek pengamatan saling bebas. Prinsip dari penduga kemungkinan
maksimun untuk mendapatkan nilai taksiran
adalah dengan memaksimumkan fungsi
kemungkinan. Nilai maksimum dari perkalian fungsi kemungkinan diperoleh melalui
8
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
transformasi logit. Nilai
diperoleh melalui diferensial parsial pertama ln L(īĸ) terhadap
yang disamadengankan nol. Persamaan ini bukan merupakan fungsi linier maka untuk
memperoleh taksiran parameter dilakukan proses iterasi dengan metode Newton-Raphson,
menentukan nilai awal dari
, yaitu
penduga kemungkinan maksimummerupakan
pendekatan dari estimasi Weighted Least Square, dimana matrik pembobotnya berubah
setiap iterasi. Proses menghitung estimasi maksimum likelihood ini disebut juga sebagai
Iteratif Reweighted Least Square.
3. Uji Signifikansi Model
Pengujian kesesuaian model dilakukan untuk memeriksa peranan variabel prediktor
terhadap variabel respon dalam model. Pengujian tersebut dilakukan secara keseluruhan
dan parsial.Menurut Hosmer dan Lemeshow (2000), pengujian secara keseluruhan
dilakukan dengan menggunakan uji nisbah kemungkinan (likelihood ratio test) yang
merupakan pengujian terhadap parameter
dengan hipotesis sebagai berikut :
H :β = ⋯ = β = 0
H : ada β ≠ 0
Statistik uji yang digunakan adalah statistikG :
= −2ln
; j = 1, 2, … , p
fungsi kemungkinan tanpa variabel prediktor
fungsi kemungkinan dengan variabel prediktor
= −2
=2
∏
(1 −
(1 −
)
)
−
−
dengan
n =
y
Statistik G akan mengikuti sebaran
diambil yaitu menolak H
parameter
jika
dan
n =
(1 − y )
dengan derajat bebas p. Kriteria keputusan yang
≥
( ; ) (Hosmer
& lemeshow, 2000).Pengujian
secara parsial dilakukan dengan uji Wald dengan cara merasiokan
dengan
standar error dugaannya. Statistik uji Wald yaitu :
=
9
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Hipotesis uji yang digunakan adalah :
:
:
≠0
=0
; = 1, 2, … ,
Kriteria pengambilan keputusan tolak H jika
A., 2000)
≥
/
atau
−
≤ .(Agresti,
4. Uji Kesesuaian model
Uji kesesuaian model regresi logistik yang digunakan adalah uji Hosmer dan Lemeshow
dengan hipotesis uji yang digunakan adalah :
: model sesuai (tidak ada perbedaan antara hasil observasi dengan hasil prediksi)
: model tidak sesuai (ada perbedaan antara hasil observasi dengan hasil prediksi)
Statistik uji yang digunakan adalah :
dengan
=
(
)
−
(1 − )
= observasi pada grup ke-k
= banyak pengamatan pada grup ke-k
= rata-rata taksiran peluang
Pada tingkat kepercayaan (1- )%,
(Hosmer dan Lemeshow, 2000).
ditolak jika
>
( ,
)
atau
−
≤ .
5. Evaluasi Model
Evaluasi fungsi logistik dilakukan dengan membuat tabulasi antara actual group dan
predicted group yang diperoleh dari fungsi logistik. Selanjutnya dihitung proporsi
pengamatan yang benar klasifikasinya, diharapkan proporsi pengamatan yang benar
diklasifikasikan tersebut sebesar mungkin atau proporsi pengamatan yang salah sekecil
mungkin.
6. Interpretasi Koefisien
Intepretasi koefisien pada model regresi logistik dapat dilakukan dengan melihat nilai odds
ratio-nya. odds ratio adalah ukuran untuk melihat seberapa besar kecendrungan pengaruh
variabel-variabel prediktor terhadap variabel respon (Hosmer&Lomeshow, 2000).Jika
suatu variabel prediktor mempunyai tanda koefisien positif, maka nilai odds ratio akan
10
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
lebih besar dari satu, sebaliknya jika tanda koefisien negatif maka nilai odds ratio-nya akan
lebih kecil dari satu.
7. Perilaku Pemilih
Menurut Firmanzah (2012), “Perilaku Pemilih diartikan sebagai semua pihak yang menjadi
tujuan utama para kontestan untuk mereka mempengaruhi dan yakinkan agar mendukung
dan kemudian memberikan suaranya kepada kontestan bersangkutan. Pemilih dalam ini
dapat berupa konstituen maupun masyarakat pada umumnya”. Pemilih pada saat ini
semakin hari menjadi sangat kritis dan selalu mengevaluasikan apa saja yang telah
dilakukan
kontestan
pemenang
pemilu.
Ketika
melihat
bahwa
program
kerja
yangdilaksanakan kontestan pemenang pemilu ternyata tidak sesuai dengan janji mereka
ketika kampanye pemilu, pemilih dapat menghukum kontestan dengan tidak memilihnya
kembali.Menurut Firmanzah (2012) pertimbangan pemilih dipengaruhi tiga faktor pada
saat bersamaan, yaitu kondisi awal pemilih, media massa, dan partai politik atau kontestan.
Kondisi awal dapat diartikan sebagai karakteristik yang melekat pada diri si pemilih.
Masing-masing individu mewarisi dan memiliki sistem nilai serta kepercayaan yang
berbeda satu sama lain. Faktor kedua yang mempengaruhi pemilih adalah media massa.
Kemampuan media massa untuk mendistribusikan informasi merupakan kekuatan untuk
pembentukan opini publik. Ketika semua pemberitahuan media massa tentang suatu partai
politik bersifat positif, masyarakan cenderung melihat keberadaan partai politik tersebut
sebagai sesuatu yang positif.Faktor ketiga adalah karakteristik partai politik dan kontestan
itu sendiri. Atribut kontestan seperti reputasi, image, citra, latar belakang, ideologi, dan
kualitas para politikusnya akan sangat mempengaruhi penilaian masyarakat atas partai
bersangkutan.Ketiga hal di atas akan mempengaruhi pertimbangan pemilih tentang
kedekatan dan ketertarikan mereka terhadap suatu partai politik. Cara mempengaruhinya
akan sangat tergantung pada kadar masing-masing faktor. Ketika media massa sangat
berperan dalam pembentukan opini publik dalam suatu masyarakat, faktor ini sangat
mempengaruhi cara bersikap dan bertindak masyarakat.
C. Rumusan Masalah
Fakta rendahnya partisipasi pemilih dalam pilkada di Kelurahan Tanjungpinang Kota
memunculkan pertanyaan akademis yang perlu dijawab dalam penelitian ini, yaitu :
a) Bagaimana model regresi logistik biner menjelaskan prediksi partisipasi pemilih dalam
pemilihan gubernur Provinsi Kepulauan Riau tahun 2015?
11
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
b) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi partisipasi pemilih dalam pemilihan
Gubernur Provinsi Kepulauan Riau tahun 2015?
Penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk mengevaluasi proses penyelenggaraan
pilkada dalam pemilihan Gubernur Provinsi Kepulauan Riau tahun 2015, sehingga dapat
dimanfaatkan oleh KPUD, pemerintah dan partai politik serta masyarakat lainnya dalam konteks
upaya peningkatan partispasi pemilih dalam pemilu pada tahun-tahun berikutnya.
D. METODE PENELITIAN
Pada metode penelitian ini akan dibahas mengenai lokasi penelitian, sumber data, variabel
penelitian dan metode analisis.
1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dalam kajian ini adalah Kelurahan Tanjungpinang Kota. Pemilihan lokasi
penelitian ini dilatar belakangi oleh data pemilukada walikota Tanjungpinang tahun 2012.
Kecamatan Tanjungpinang Kota adalah kecamatan yang memiliki angka golput tertinggi di
Kota Tanjungpinang sebesar 43,98% sedangkan Kelurahan Tanjungpinang Kota
merupakan Kelurahan dengan tingkat partisipasi terendah dengan angka golput mencapai
51,44 %.
2. Sumber data
Data yang digunakan pada penelitian ini merupakan data primer. Instrumen penelitian yang
digunakan untuk pengumpulan data berupa Kuisioner. Populasi adalah masyarakat
kelurahan Tanjungpinang kota yang terdaftar dalam DPT Pemilihan Gubernur Provinsi
Kepulauan Riau Tahun 2015. Teknik penarikan sampel yang digunakan adalah penarikan
sampel acak sederhana dengan melakukan survei terhadap 150 responden.
3. Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari variabel respon dan variabel
prediktor. Variabel respon pada penelitian ini adalah partisipasi masyarakat dalam
menggunakan hak pilihnya dalam proses pemilu, masyarakat yang melaksanakan hak
pilihnya termasuk kategori partisipasi pemilih “1” dan masyarakat yang tidak
melaksanakan hak pilihnya termasuk kategori partisipasi pemilih “0”. Variabel prediktor
yang digunakan untuk menjelaskan variabel respon adalah sebagai berikut :
a. Visi dan misi calon Gubernur (X1)
b. Isu ekonomi dari partai politik (X2)
c. Informasi perkembangan politik dari media cetak dan elektronik(X3)
d. Kesadaran hak memilih pemimpin dalam diri (X4)
e. Kepercayaan pada Pemerintah (X5)
12
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
f.
Partisipasi pemilih dalam pemilu legislatif tahun 2014 (X6)
g. Cuaca saat jadwal pemungutan suara dilaksanakan (X7)
h. Partisipasi pemilih dalam pilkada walikota Tanjungpinang 2012 (X8)
4. Langkah Analisis
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dirumuskan, maka tahapan analisis data yang
dilakukan adalah
a. Uji Validitas dan reliabilitas instrumen penelitian
Menurut Sugiyono (2012) “hasil penelitian yang valid bila terdapat kesamaan antara
data yang terkumpul dengan data yang sesungguhnya terjadi pada objek yang diteliti”,
jadi sebelum kuisioner digunakan untuk mengumpulkan data perlu dilakukan
pengujian validitas agar diperoleh data yang valid dari instrumen yang valid.Pengujian
validitas kuisioner dalam penelitian ini dilakukan dengan korelasi bivariate antara
masing-masing skor indikator dengan total skor konstruk.Uji Validitas Item atau butir
menggunakan Uji Korelasi Pearson Product Moment dengansoftware SPSS. Sugiyono
(2012) menyatakan “instrumen yang reliabel adalah instrumen yang bila digunakan
beberapa kali untuk mengukur obyek yang sama, akan menghasilkan data yang
sama.”.Pengujian reliabilitas kuisioner dalam penelitian ini digunakan statistik
Cronbach Aplha (α) dengan software SPSS.
b. Menentukan model regresi logistik
c. Uji bersama model regresi logistik
d. Uji parsial model regresi ogistik
e. Uji kesesuaian model
f.
Evaluasi model
g. Interpretasi koefisien
E. HASIL DAN PEMBAHASAN
Instrumen penelitian berupa kuisioner dengan skala Guttman dilakukan uji validitas. Pengujian
validitas kuisioner dalam penelitian ini dilakukan dengan korelasi bivariate antara masingmasing skor indikator dengan total skor konstruk.Uji Validitas Item atau butir menggunakan Uji
Korelasi Pearson Product Moment dengansoftware SPSS. Hasil uji validitas kuisioner disajikan
pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Uji Validitas Istrumen Penelitian
Variabel Pearson Correlation Keterangan validitas
X1
0,583
valid
X2
0,451
valid
13
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
X3
0,537
valid
X4
0,825
valid
X5
0,535
valid
X6
0,756
valid
X7
0,585
valid
X8
0,786
valid
Berdasarkan Tabel 1, semua variabel prediktor pada penelitian ini memiliki nilai korelasi > 3
hal ini berarti semua variabel dalam penelitian ini dapat digunakan untuk mengumpulkan data
yang valid.
Setelah pengujian validitas instrumen penelitian, selanjutnya dilakukan uji reliabilitas instrumen
penelitian. Pengujian reliabilitas kuisioner dalam penelitian ini digunakan statistik Cronbach
Aplha (α) dengan software SPSS. Nilai α = 0,791 artinya seluruh item reliabel dan seluruh tes
konsisten secara internal karena memiliki reliabilitas yang tinggi.
Model Regresi Logistik
Model regresi logistik dibentuk menggunakan delapanvariabel prediktor secara bersamaan.
Nilai statistik uji G yang dihasilkan pada model regresi logistik adalah 47,177, jika
dibandingkan dengan nilai
( . ; ) .Kesimpulan
( . ; )
= 13,36 maka nilai statistik uji G lebih besar daripada
pengujian model regresi logistik secara serentak adalah tolak H0, berarti
minimal terdapat satu variabel prediktor yang berpengaruh terhadap partisipasi pemilih dalam
pemilihan Gubernur Tahun 2015 di provinsi Kepulauan Riau.Penduga parameter dan hasil uji
hipotesis secara parsial dari model regresi logistik ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2.Penduga parameter model regresi logistik
Parameter Dugaan Galat baku [Wald]2 Odds Ratio
-2,89977 0,876667
10.941
1.014
.573
3.130*)
2.758
.467
.644
.527
1.596
1.162
.477
5.939*)
3.196
1.517
.764
3.944*)
4.561
.180
.455
.157
1.198
.928
.530
3.067*
2.529
-.641
.540
1.410
.527
1.010
.501
*)Parameter yang berpengaruh nyata pada
14
)
)
4.064*
= 0.1
2.747
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Tabel 2memperlihatkan nilai statistik uji Wald untuk semua parameter padatarafnyata (α)
sebesar 10% dengan nilai χ
( . ; )
= 2.71.Variabel prediktor yang berpengaruh nyata terhadap
partisipasi pemilih adalah visi dan misi calon Gubernur (X1), sosialisasi politik melalui media
cetak dan elektronik(X3), kesadaran hak dalam memilih (X4), partisipasi pemilih dalam pemilu
legislatif tahun 2014 (X6) dan partisipasi pemilih dalam pemilihan Walikota dan Wakil
Walikota Tanjungpinang Tahun 2012 (X8).
Statistik yang digunakan untuk menguji kelayakan model regresi logistik adalah uji HosmerLemeshow. Dengan tarafnyata (α) sebesar 10% maka nilai statistik uji 10,69 lebih kecil dari
( . ; )
= 13,36, artinya model regresi logistik sesuai (tidak ada perbedaan antara hasil
observasi dengan kemungkinan hasil prediksi model) pada kasus partisipasi pemilih dalam
pemilihan Gubernur Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2015.
Evaluasi model dilakukan dengan melihat Ketepatan klasifikasi yaitu seberapa besar persentase
observasi secara tepat diklasifikasikan oleh model. Ketepatan klasifikasi model regresi logistik
dapat dilihat berdasarkan hasil pengklasifikasian antara prediksi dan observasi pada Tabel 3.
Observasi
Tabel 3. Ketepatan klasifikasi modelregresi logistik
Prediksi
Persentase Ketepatan
Tidak memilih(0)
Memilih(1)
Klasifikasi
Tidak memilih(0)
31
21
59.6
Memilih(1)
8
90
91.8
Persentase Keseluruhan
80,7%
Tabel 3 menunjukkan partisipasi pemilih yang berstatus tidak memilih terklasifikasi dengan
benar sebesar 59,6%. partisipasi pemilih yang berstatus memilih terklasifikasi dengan benar
sebesar 91,8%. Persentase seluruh partisipasi pemilih terklasifikasi dengan benar sesuai dengan
partisipasinya sebesar 80,7%. Hal ini berarti dengan menggunakan model regresi logistik ada
121 pemilih dari 150 pemilih terklasifikasi dengan benar sesuai dengan partisipasinya. Jadi
dapat dikatakan bahwa model regresi logistik sudah baik.
Intepretasi koefisien pada model regresi logistik dapat dilakukan dengan melihat nilai odds ratio
variabel prediktor yang berpengaruh nyata terhadap partisipasi pemilih. Berdasarkan Tabel 2
dapat diinterpretasikan hal-hal sebagai berikut :
a. Kecendrungan Pemilih yang memiliki pemahaman terhadap visi dan misi pasangan
calon Gubernur akan melaksanakan hak pilihnya sebesar 2,8 kali dibanding pemilih
yang tidak tahu akan visi misi calon Gubernur.
15
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
b. Kecendrungan pemilih yang mengikuti perkembangan politik di media akan
berpartisipasi dalam pilkada sebesar 3,2 kali dibanding pemilih yang tidak mengikuti
perkembangan isu politik di media cetak dan elektronik.
c. Kecendrungan pemilih yang memiliki kesadaran politik akan berpartisipasi menunaikan
hak pilihnya sebesar 4,6 kali dibanding pemilih yang tidak menyadari hak nya sebagai
warga negara dalam bidang politik.
d. Kecendrungan pemilih berpartisipasi dalam pemilihan legislatif 2014 sebesar 2,5 kali
dibanding pemilih yang tidak berpartisipasi dalam pemilu legislatif 2014.
e. Kecendrungan pemilih berpartisipasi dalam pemilihan Wali Kota Tanjungpinang tahun
2012 juga berpartisipasi dalam pemilihan Gubernur 2015 sebesar 2,7 kali dibanding
pemilih yang tidak menunaikan hak pilihnya dalam pemilihan Wali Kota
Tanjungpinang tahun 2012.
F. KESIMPULAN
Pemodelan partisipasi pemilih dalam Pemilihan Gubernur Provinsi Kepulauan RiauTahun
2015dengan analisis regresi logistik biner diperoleh setelah dilakukan panaksiran parameter, uji
signifikansi, dan uji kecocokan model. Berdasarkan hasil analisismodel yang sesuai
menjelaskanketepatan klasifikasi dengan persentase seluruh partisipasi pemilih terklasifikasi
dengan benar sesuai dengan partisipasinya dalam pemilu sebesar 80,7%. Hubungan kausalitas
berdasarkan model regresi logistik biner menyatakan variabel prediktor yang berpengaruh nyata
terhadap partisipasi pemilih adalah visi dan misi calon Gubernur, sosialisasi politik melalui
media cetak dan elektronik, kesadaran hak dalam memilih, partisipasi pemilih dalam pemilu
legislatif tahun 2014 dan partisipasi pemilih dalam pemilihan Walikota dan Wakil Walikota
Tanjungpinang Tahun 2012.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
Agresti A. (2002). Categorical Data Analysis, John Willey and Sons,New York.
Firmanzah.(2012).Marketing Politik Antara Pemahaman dan Realitas, edisi revisi,Yayasan Pustaka
Obor Indonesia, Jakarta.
Hosmer DW, Lemeshow JS. (2000). Applied Logistic Regression, John Wiley & Sons, Inc.,Canada.
Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Alfabeta, Bandung.
16
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
GENERATOR MODUL HOMOTOPI KEDUA UNTUK
⟩
PRESENTASI GRUP⟨ | ⟩ DAN⟨ , | , ,
Dedi Mardianto
Universitas Andalas, Kampus Limau Manis, Padang, 25163 Indonesia
[email protected]
Abstrak. Pada artikel ini membahas tentang generator modul homotopi kedua untuk dua presentasi yang
berbeda yang mendefinisikan grup yang sama. Diberikan dua presentasi grup ⟨ | ⟩dan
⟨ , | , ,
⟩. Ditunjukan bahwa ⟨ | ⟩dan ⟨ , | , ,
⟩adalah isomorpis, dan
(⟨ , | , ,
⟩). Untuk menunjukan ini
terdapat barisan generator dari
(⟨ | ⟩) ke
digunakan transformasi Tietze dan operasi-operasi pada picture.
Kata kunci: modul homotopi kedua, generator, transformasi Tietze
A. PENDAHULUAN
Suatu picture atas
modul-ZG
disebut sebagai himpunan generator
( ) jika {[P]; P ∊ } membangun
( ) (Baik,et.al,1998). Selanjutnya Bogley dan Pride (1993) menyebutkan bahwa
himpunan generator jika dan hanya jika setiap spherical pictureatas
dapat
ditransformasikan ke picture kosong dengan operasi-operasi pada picture. Perhitungan
generator
( ) yang dilakukan oleh Bogley dan Pride (1993) hanya untuk melihat generator-
generator untuk modul homotopi kedua grup suatu presentasi grup. Yanita (2015) memberikan
aplikasi sederhana untuk teori modul homotopi kedua dari dua presentasi grup. Pada artikel ini
dibahas barisan generator modul homotopi kedua dari presentasi grup ⟨ |
homotopi kedua dari presentasi grup⟨ , |
,
⟩ke modul
⟩. Metode yang digunakan adalah
,
metode transformasi Tietze (Yanita dan Ahmad, 2013). Teori tranformasi Tietze dapat dilihat
pada Johnson (1997) dan Magnus, et al (1976). Pada transformasi ini, operasi picture sangatlah
berperan untuk mendapatkan generator dari modul homotopi kedua. Operasi-operasi pada
picture ini dapat dilihat pada Pride (1981).
B. Penghitungan Generator
Sesuai dengan tujuan tulisan ini adalah untuk menunjukan adanya barisan generator dari modul
⟩ke modul homotopi kedua dari presentasi
homotopi kedua dari presentasi grup⟨ |
grup⟨ , |
Lemma 2.1
Misalkan
,
⟩, maka dipunyai sifat berikut :
,
=⟨ |
isomorphis dengan
⟩dan
=⟨ , |
,
,
⟩ adalah dua presentasi grup maka
dan terdapat barisan generator dari
(
) ke
(
).
17
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Bukti :
Pembuktian dilakukan dua tahap. Tahap pertama membuktikan bahwa
isomorphis dengan
. Tahap kedua membuktikan terdapatnya barisan generator modul homotopi kedua dari
π (
) ke π (
).
Transformasi Tietze dari ⟨ |
[ ] ⟨ , |
=
⟩
,
Tambah generator
⟩→⟨ , |
,
⟩
,
=
ke himpunan generator dengan relasi
[ ] ⟨ , , |
=
,
=
,
⟩
[ ] ⟨ , , |
=
,
=
,
,
⟩
ke himpunan relasi, karena dapat diturunkan dari
[ ] ⟨ , , |
=
,
=
,
,
,
⟩
ke himpunan relasi, karena dapat diturunkan dari
[ ] ⟨ , , |
=
,
=
,
,
,
,
=
,
=
,
,
,
Tambah generator
Tambah relasi
Tambah relasi
Tambah relasi
dan
=
[ ] ⟨ , , |
Hapus relasi
[ ] ⟨ , |
⟩
Hapus generator
⟩
) , =(
) ,
,
=(
[ ] ⟨ , |
,
Hapus relasi
,
dan
=
dan
=
=
dan
dari himpunan generator, kemudian semua di himpunan relasi ganti
) ,
Hapus relasi
⟩
,
karena dapat diturunkan dari
[ ] ⟨ , |
=
ke himpunan relasi, karena dapat diturunkan dari
dari himpunan relasi, karena dapat diturunkan dari
=(
dengan
=
ke himpunan generator dengan relasi
=(
=(
,
,
⟩
=
dan
=
) karena dapat diturunkan dari
,
) karena dapat diturunkan dari
,
⟩
Selanjutnya adalah tahap penghitungan generator modul homotopi kedua. Menurut Bogley dan
Pride (1993) generator untuk modul homotopi kedua π (⟨ |
memuat disk
18
yaitu :
⟩) adalah generator yang
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Sedangkan generator untuk modul homotopi kedua π (⟨ , |
generator yang memuat disk
,
yaitu :
dan
yaitu
dimana
adalah
=
⟩) adalah
,
=
. Menurut
=
. Menurut
⟩) terdapat relasi baru yaitu
sehingga
Pada tahap 1 terdapat penambahan generator yaitu generator
Corrolari 1 [7] generator untuk π (⟨ , |
,
dengan relasi
⟩) adalah masih sama dengan π (⟨ |
,
⟩),
Pada tahap 2 terdapat penambahan generator yaitu generator
dengan relasi
Corrolari 1 [7] generator untuk π (⟨ , , |
⟩) adalah masih sama dengan
π (⟨ , |
=
,
⟩) adalah
yaitu
Pada tahap 3 untuk π (⟨ , , |
generatornya adalah
dan
=
dimana
dimana
,
=
,
yaitu :
=
,
=
adalah
,
,
19
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Pada tahap 4 untuk π (⟨ , , |
sehingga generatornya adalah
,
Pada tahap 5 untuk π (⟨ , , |
=
=
dan
,
dimana
,
=
,
sehingga generatornya adalah
=
,
,
,
,
,
,
,
yaitu :
dan
,
⟩) terdapat relasi baru yaitu
dimana
⟩) terdapat relasi baru yaitu
yaitu :
Pada tahap 6 terdapat penghapusan relasi
. Generator yang memuat
sehingga untuk π (⟨ , , |
,
dan
dimana
20
,
yaitu :
=
,
=
,
,
adalah
⟩) generatornya adalah ,
dan
,
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Pada tahap 7 terdapat penghapusan generator . Sehingga untuk π (⟨ , |
(
−1)2, 2, 3,
−1 −1) generatornya adalah 2′, 3′ dan 4 dimana =
Pada tahap 8 terdapat penghapusan relasi
(
)
π (⟨ , |
dalah
dan
=(
) ,
=(
sehingga diperoleh untuk generator
,
,
⟩) adalah
Pada tahap 9 terdapat penghapusan relasi
(
)
dan
dalah
dimana
) . Generator yang memuat
dan
=(
sehingga untuk π (⟨ , |
yaitu :
dan
,
=(
−1.
) , =
=
yaitu :
) . Generator yang memuat
,
=
⟩) generatornya adalah
21
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
C. KESIMPULAN
Diberikan dua presentasi grup . ⟨ |
⟩dan⟨ , |
dapat ditentukan terdapatnya barisan generator
,
(⟨ |
,
⟩)ke
⟩yang isomorfis. Kemudian
(⟨ , |
,
,
⟩).
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Baik, Y. G, Harlander, J, Pride, S.J. 1998. The Geometry of Group Extension. J.Group Theory 1. No.
4, 395-416
Bogley, W. A, Pride, S. J. 1993. Calculating Generator of . In Two-dimensional Homotopy and
Combinatorial Group Theory. (eds. C. Hog-Angeloni, W.Metzler dan A. J. Sieradski), London Math.
Soc. Lecture Note Ser. No. 197 (Cambridge University Press), pp. 157-188.
Johnson, D. L. 1997. Presentation of Group. Second Edition. London Mathematical Society, Student
Text 15. Cambridge: University Press.
Magnus, W, Karras, A, dan Solitar, D. 1976. Combinatorial Group Theory : Presentation of Groups
in Terms of Generator and Relations. New York: Dover Publications, Inc.
Miller III, C. F. 2004. Combinatorial Group Theory. Lecture notes on University of Melbourne.
S. J. Pride. Identities Among Relation of Groups Presentation, in Group Theory from Geometrical
view point-Trieste. World Sciencetific Publishing Co. Pte. Ltd, Singapore (1991) 687-717.
Yanita dan Ahmad, A. G. 2013. Computing Generators of Second Homotopy Module Using Tietze
Transformation Methods. International Journal of Contemporary and Mathematical Sciences, Vol. 8,
No. 15: 699-704.
22
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
ANALISIS KEPUASAN NASABAH SALAH SATU BANK
SYARIAH SWASTA DI KOTA. PADANG DENGAN
IMPORTANCE PERFORMANCE ANALYSIS
Hazmira Yozza1, Maiyastri2
Universitas Andalas, Kampus Unand Limau Manis, Padang
1
alamat email penulis1, 2alamat email penulis2 (11 pt)
Abstrak. Pemahaman terhadap kehutuhan dan keinganan pelanggan yang baik merupakan dasar
perbaikan kualitas pelayanan, termasuk dalam pelayanan jasa perbankan. Pada penelitian ini, dilakukan
analisis kepuasan nasabah salah satu bank syariah di Padang. Analisis dilakukan dengan Importance
Performance Analysis. Peroleh bahwa indeks kepuasan nasabah bank tersebut adalah 78,1 % yang berarti
bahwa nasabah puas dengan pelayanan yang diberikan oleh bank tersebut. Terdapat beberapa atribut
yang perlu ditingkatkan performanya, yang terkait dengan ruang tunggu, teller dan pengadaan ATM.
Kata kunci : kepuasan nasabah bank, importance performace analysis
A. PENDAHULUAN
Untuk
dapat
memenangkan
persaingan
dalam
bisnis
yang
dilakukannya,
setiap
perusahaan/lembaga harus berusaha sebaik mungkin untuk dapat memberikan pelayanan dan
menyediakan fasilitas yang baik untuk pelanggan. Salah satu hal utama yang harus dilakukan
adalah memperhatikan kebutuhan serta kepuasan pelanggan terhadap pelayanan dan fasilitas
yang telah diberikan. Pemahaman kebutuhan dan keinginan pelanggan yang baik merupakan
dasar perbaikan dalam tingkat kualitas pelayanan.
Demikian juga dalam bidang perbankan. Perkembangan sebuah perusahaan perbankan tidak
lepas dari banyaknya nasabah yang bertahan untuk menjadi nasabah bank tersebut. Untuk
mendapatkan simpati dan kerja sama yang baik dengan nasabah maka perusahaan harus tahu
apa yang diinginkan nasabah terhadap produk dan jasa yang akan diberikan oleh bank.
Bank X adalah salah satu bank syariah swasta yang relatif baru beroperasi di Kota Padang.
Sebagai sebuah bank yang baru menjalankan operasinya, bank selalu berusaha untuk menambah
jumlah nasabahnya melalui starategi pemasaran yang kreatif dan cukup efektif. Hal ini terlihat
dari banyaknya nasabahnya yang tertarik terhadap jasa perbankan yang ditawarkan.
Untuk mempertahankan kepercayaan yang telah diberikan nasabah, bank X harus senantiasa
meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikannya. Namun untuk itu, bank harus terlebih
dahulu melakukan analisis tingkat kepuasan nasabah terhadap setiap atribut pelayanan yang
sekarang diberikan. Dengan cara itu, bank akan dapat menentukan atribut pelayanan apa yang
seharusnya ditingkatkan, atribut mana yang seharusnya dipertahankan atau bahkan tidak perlu
diperhatikan sama sekali, karena mungkin nasabah tidak terlalu membutuhkannya.
23
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Dalam statistika, terdapat beberapa metode yang dapat dilakukan untuk menganalisis kepuasan
konsumen, dalam hal ini adalah nasabah bank. Dua di antaranya adalah Customer Satisfaction
Indeks (CSI) dan Importance Performance Analisis (IPA). Dengan CSI dapat diketahui tingkat
kepuasan konsumen terhadap indikator pelayanan. Dengan IPA dapat diketahui indikator apa
saja yang perlu ditingkatkan, dipertahankan atau tidak memerlukan perhatian lebih dari
perusahaan.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kepuasan nasabah Bank X dengan menggunakan
Indeks Kepuasan Konsumen dan Importance Performance Analisis (IPA).
B. LANDASAN TEORITIS
1. Kualitas Pelayanan
Kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berpengaruh dengan produk, jasa,
manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan [8]. Pelayanan
merupakan perilaku produsen dalam rangka memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen
demi tercapainya kepuasan pada konsumen tersebut [3].
Dengan demikian, kualitas
pelayanan adalah upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan konsumen serta ketepatan
penyampaiannya dalam mengimbangi harapan konsumen [7]. Kualitas pelayanan dapat
diketahui dengan membandingkan persepsi konsumen atas pelayanan yang nyata-nyata
mereka terima dengan pelayanan yang mereka harapkan/inginkan terhadap atribut-atribut
pelayanan suatu perusahaan.
Terdapat lima dimensi kualitas pelayanan, yaitu:
1. Tangibles (bukti fisik) yaitu kemampuan suatu perusahaan dalam menunjukkan
eksistensinya kepada pihak eksternal, meliputi fasilitas fisik, perlengkapan dan peralatan
yang dipergunakan, serta penampilan pegawainya.
2. Reliability (kehandalan) yaitu kemampuan perusahaan untuk memberikan pelayanan sesuai
yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya.
3. Responsiveness (ketanggapan) yaitu kemampuan memberikan pelayanan yang cepat dan
tepat kepada pelanggan dengan penyampaian informasi yang jelas.
4. Assurance (jaminan dan kepastian) yaitu pengetahuan, kesopansantunan, dan kemampuan
para pegawai perusahaan untuk menumbuhkan rasa percaya para pelanggan kepada
perusahaan, termasuk komunikasi, kredibilitas, keamanan, kompetensi, dan sopan santun.
5. Emphaty (empati) yaitu perhatian yang tulus dan bersifat individual atau pribadi kepada
pelanggan dengan berupaya memahami keinginan pelanggan [4].
24
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
2. Indeks Kepuasan Pelanggan
Customer satisfaction index (CSI) atau indeks kepuasan pelanggan digunakan untuk
menentukan tingkat kepuasan pelanggan secara menyeluruh dengan memperhatikan tingkat
kepentingan atribut-atribut jasa. Pengukuran kepuasan dari setiap atribut dilakukan dengan
membandingkan tingkat kinerja dan tingkat kepentingan atribut.
Misalkan dinyatakan
responden ke-i,
adalah skor kepentingan atribut ke-j yang diberikan oleh
adalah skor kinerja atribut ke-j yang diberikan oleh responden ke-i, dan
n adalah banyak responden. Rata-rata tingkat kepentingan (Importance Average) dan ratarata kinerja (Performance average) dari atribut ke-j masing-masing diperoleh dari :
∑
=
=
∑
Weighting Factors (WF) merupakan persentase tingkat kepentingan setiap atribut terhadap
total kepentingan seluruh atribut. Bila terdapat k atribut, Weighting Faktor (WF) atribut kej adalah
WF j ī€Ŋ
IA j
k
īƒĨ IA
j ī€Ŋ1
j
Selanjutnya, didefinisikan Weighting Score (WS) sebagai perkalian antara Weighting
Factor (WF) dengan rata-rata tingkat kenerja, yaitu
=
×
Indeks Kepuasan Pelanggan didefinisikan sebagai :
dengan
=∑
=
5
100%
Pedoman interpretasi nilai CSI adalah seperti pada tabel berikut.
Tabel 1 Pedoman Interpretasi terhadap Customer Satisfaction Index
Interval CSI
Tingkat Kepuasan
0,00 – 0,34
Tidak Puas
0,35 – 0,50
Kurang puas
0,51 – 0,65
Cukup puas
0,66 – 0,80
Puas
0,81 – 1,00
Sangat Puas
25
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
3.
Importance Performance Analysis
Analisis menggunakan metode Importance Performance Analysis (IPA) bertujuan untuk
membandingkan tingkat kepentingan (importance) responden dengan tingkat kepuasan
(performance) yang dirasakan oleh responden. Untuk mengukur tingkat kepentingan dan
tingkat kepuasan ini digunakan skala Likert Skala likert ini digunakan untuk mengukur
sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau sekelompok orang terhadap suatu kejadian
atau gejala sosial [2].
Misalkan dinyatakan
responden ke-i,
adalah skor kepentingan atribut ke-j yang diberikan oleh
adalah skor kinerja atribut ke-j yang diberikan oleh responden ke-i, dan
n adalah banyak responden. Rata-rata tingkat kepentingan dan rata-rata kinerja dari atribut
ke-j masing-masing diperoleh dari :
=
∑
dan
Ė… =
∑
Metode IPA ini dilakukan dengan membentuk diagram pencar dari data berpasangan ( Ė… ,
) dalam suatu salib sumbu sebagai berikut.
Gambar 1. Grafik IPA
Pada grafik tersebut, Ėŋ menyatakan nilai rata-rata dari rata-rata skor kinerja indikator dan
menyatakan nilai rata-rata dari rata-rata skor kepentingan indicator, dengan
k
k
xī€Ŋ
īƒĨx
j ī€Ŋ1
k
j
dan y ī€Ŋ
īƒĨy
j ī€Ŋ1
j
k
Diagram IPA ini terbagi ke dalam empat kuadran, yaitu :
26
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
1. Kuadran I, wilayah yang memuat indikator-indikator dengan tingkat harapan yang
relatif tinggi tetapi kenyataannya belum sesuai dengan apa yang diharapankan
pelanggan. Indikator-indikator yang masuk kuadran ini harus segera ditingkatkan
kinerjanya.
2. Kuadran II, wilayah yang memuat indikator-indikator yang memiliki tingkat harapan
relatif tinggi dengan tingkat kinerja yang relatif tinggi pula. Indikator yang masuk
kuadran ini dianggap sebagai faktor penunjang kepuasan pelanggan sehingga harus
tetap dipertahankan karena semua indikator ini menjadikan produk atau jasa unggul di
mata konsumen.
3. Kuadran III, wilayah yang memuat indikator-indikator dengan tingkat harapan yang
relatif rendah dan kenyataan kinerjanya tidak terlalu istimewa (tingkat kinerja yang
relatif rendah). Indikator yang masuk kuadran ini memberikan pengaruh sangat kecil
terhadap manfaat yang dirasakan oleh pelanggan, sehingga indikator tersebut tidak
perlu diprioritaskan.
4. Kuadran IV, wilayah yang memuat indikator-indikator dengan tingkat harapan yang
relatif rendah dan dirasakan oleh konsumen terlalu berlebihan dengan tingkat kinerja
yang relatif tinggi. Biaya yang digunakan untuk menunjang indikator yang masuk
kuadran ini dapat dikurangi agar dapat menghemat biaya pengeluaran [2].
C. METODE PENELITIAN
1.
Data
Data pada penelitian ini merupakan data primer yang diperoleh dengan cara menyebarkan
kuisioner kepada 50 orang nasabah Bank X yang dipilih dengan teknik Non-Probability
Sampling.
Data merupakan data persepsi nasabah mengenai tingkat kinerja bank dan
tingkat kepentingan dari 36 atribut layanan bank, yang terdiri dari 8 atribut terkait teller, 7
atribut terkait customer servive, 4 atribut terkait bangunan dan ruangan, 4 atribut terkait
fasilitas, 6 atribut terkait sistem transaksi, 4 atribut terkait fasilitas ATM, dan 3 atribut
terkait petugas keamanan. Jika dikaitkan dengan dimensi kepuasan, atrikut yang terkait
dengan assurance, tangible, reliability, responsiveness dan empathy masing-masing adalah
6, 14, 8, 4 dan 4 atribut.
Persepsi nasabah tentang tingkat kinerja diukur dengan menggunakan skala likert 5
tingkatan (tidak baik-kurang baik–cukup baik–baik–sangat baik). Persepsi nasabah
mengenai tingkat kepentingan diukur dengan 5 tingkatan skala likert (tidak penting–kurang
penting–cukup penting–penting– sangat penting).
Pengumpulan data dilakukan
menggunakan kuesioner yang semua item penyataannya valid dan reliabel dengan
27
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
koefisien relaiblitas sebesar 0,9078untuk tingkat kinerja dan 0,8268 untuk tingkat
kepentingan.
2.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan langkah-langlah sebagai berikut:
a. Menghitung Customer Satisfaction Index (CSI) untuk melihat tingkat kepuasan nasabah.
b. Melakukan analisis IPA (Important Performance Analysis) untuk melihat sejauh mana
pihak Bank X mampu memberikan pelayanan yang diharapkan oleh nasabah dan apa
saja yang harus ditingkatkan guna memperbaiki sistem pelayanan yang ada dengan
melihat penyebaran atribut layanan pada diagram kartesius.
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Indeka Kepuasan Nasabah
Indeks Kepuasan Nasabah (Cutomer Satisfaction Index/CSI) digunakan untuk mengukur
kepuasan nasabah secara menyeluruh dengan memperhatikan tingkat kepentingan dari
atribut-atribut pelayanan. Sebelumnya akan dihitung tingkat kepuasan nasabah terhadap
masing-masing atribut, dengan cara melihat persentase rasio skor rata-rata kinerja masingmasing atribut terhadap skor rata-rata kepentingan masing-masing atribut. Diperoleh ratarata tingkat kepentingan dan kinerja untuk 36 atribut seperti pada tabel berikut.
Tabel 2 Rata-rata Tingkat Kinerja dan Kepentingan Nasabah Bank X
N
o
Atribut
Skor Tingkat
kinerja
Kepentingan
3.94
4.02
Tk, kepuasan
IA
PA
WF
WS
98.01
4.020
3.940
0.026
0.104
1
Keramahan teller bank dalam melakukan transaksi
2
Kedisiplinan teller dalam melayani nasabah
3.96
4.38
90.41
4.380
3.960
0.029
0.114
3
Kerapian teller
3.86
3.58
107.82
3.580
3.860
0.024
0.091
4
Kecepatan layanan yang diberikan oleh teller bank
3.84
4.40
87.27
4.400
3.840
0.029
0.111
5
Teller bank melayani nasabah datang dengan baik
4.08
4.14
98.55
4.140
4.080
0.027
0.111
6
3.74
4.62
80.95
4.620
3.740
0.030
0.114
7
Teller memberikan pelayanan yang sama kepada
nasabah tanpa memandang status social nasabah
Kesabaran teller dalam menghadapi nasabah
4.28
4.10
104.39
4.100
4.280
0.027
0.116
8
Teller menguasai tugas dan tanggung jawabnya
3.86
4.58
84.28
4.580
3.860
0.030
0.116
9
3.88
4.16
93.27
4.160
3.880
0.027
0.106
3.50
3.92
89.29
3.920
3.500
0.026
0.090
3.80
4.20
90.48
4.200
3.800
0.028
0.105
3.82
4.30
88.84
4.300
3.820
0.028
0.108
13
Kesediaan CSO bank dalam membantu nasabah
menyelesaikan masalah yang dihadapi nasabah
CSO bank mampu memberikan keyakinan terhadap
nasabah untuk terus menjadi nasabah di bank
CSO mengetahui seluk beluk perbankan dan cepat
tanggap dalam memberi penjelsan pada nasabah
CSO mampu memberikan informasi yang
dibutukan nasabah dengan cepat dan tepat
Keramahan dan kesabaran CSO
3.82
3.84
99.48
3.840
3.820
0.025
0.097
14
CSO menguasai tugas dan tanggung jawabnya
3.92
4.46
87.89
4.460
3.920
0.029
0.115
15
Kedisiplinan CSO dalam bekerja/melayani nasabah
3.92
4.46
87.89
4.460
3.920
0.029
0.115
16
Satpam bersedia membantu nasabah
3.76
3.90
96.41
3.900
3.760
0.026
0.097
17
Kerapian dan kebersihan satpam yang bertugas
3.86
4.04
95.54
4.040
3.860
0.027
0.103
18
Satpam mengusai tugas dan tanggung jawabnya
4.36
88.07
4.360
3.840
0.029
0.110
10
11
12
28
3.84
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
19
Luas ruang tunggu cukup
20
Kebersihan ruang tunggu bank
4.44
77.48
4.440
3.440
0.029
0.101
4.16
4.22
98.58
4.220
4.160
0.028
0.116
3.44
21
Kerapian tata ruang tunggu yang dimiliki bank
3.86
4.00
96.50
4.000
3.860
0.026
0.102
22
Kursi tunggu yang ada cukup dan memadai
3.70
4.38
84.47
4.380
3.700
0.029
0.107
23
Tong sampah tersedia dan berfungsi dengan baik
4.12
4.10
100.49
4.100
4.120
0.027
0.111
24
4.44
4.10
108.29
4.100
4.440
0.027
0.120
25
Tersedua media hiburan dan dapat digunakan untuk
menghibur nasabah selama menunggu antrian
AC tersedia dan berfungsi baik
4.32
4.08
105.88
4.080
4.320
0.027
0.116
26
Tempat parkir tersedia yang cukup luas dan aman
4.24
4.42
95.93
4.420
4.240
0.029
0.123
27
Penyebaran mesin ATM didaerah cukup banyak
3.12
4.44
70.27
4.440
3.120
0.029
0.091
28
Informasi penggunaan ATM ditempelkan di setiap
ATM bank untuk mempermudah nasabah
Bangunan ATM aman dan nyaman
3.56
4.00
89.00
4.000
3.560
0.026
0.094
4.00
4.52
88.50
4.520
4.000
0.030
0.119
3.78
4.52
83.63
4.520
3.780
0.030
0.113
4.16
3.58
116.20
3.580
4.160
0.024
0.098
3.92
3.54
110.73
3.540
3.920
0.023
0.091
3.96
4.42
89.59
4.420
3.960
0.029
0.115
4.02
4.72
85.17
4.720
4.020
0.031
0.125
3.96
4.54
87.22
4.540
3.960
0.030
0.118
4.22
4.36
96.79
4.360
4.220
0.029
0.121
29
30
33
Keamanan transaksi di ATM bank dengan menempatkan CCTV dan pengawasan petugas keamanan
Penyediaan dan pengisian slip transaksi disertai
penjelasan pengisiannya
Brosur yang berisikan produk-produk bank tersedia
untuk mempermudah transaksi
Jaminan kerahasiaan data nasabah
34
Keamanan penyimpanan dokumen penting nasaba
35
Kejelasan pemotongan tabungan dari pihak bank
apabila terjadi pengurangan uang tabunga nasabah
Sistem antrian tertib dengan nomor antrian
31
32
36
Tingkat kepuasan nasabah secara menyeluruh terhadap pelayanan Bank X diketahui dari
nilai CSI, yang diperoleh melalui perhitungan seperti pada empat kolom terakhir Tabel 2.
CSI ī€Ŋ
3,905
x 100% ī€Ŋ 78,1%
5
Nilai CSI yang diperoleh berada pada interval 0,66-0,80 yang berarti secara umum nasabah
telah merasa puas dengan pelayanan yang diberikan oleh Bank X. Namun pihak Bank X
tetap harus memperhatikan kualitas pelayanannya agar nilai CSI meningkat mendekati
100% agar nasabah semakin puas dengan pelayanan yang diberikan oleh pihak Bank X.
2. Importance Performance Analysis (IPA)
Importance Performance Analysis (IPA) digunakan untuk membandingkan antara tingkat
harapan nasabah yang disimbolkan dengan Y dengan tingkat kinerja bank yang
disimbolkan dengan X , yang akan digambarkan dalam diagram kartesius. Titik-titik pada
diagram kartesius mewakili setiap atribut pelayanan. Absis dari setiap titik adalah rata-rata
dari skor tingkat kinerja, sedangkan ordinatnya adalah rata-rata dari skor tingkat
kepentingan. Dengan itu kita dapat mengetahui skala prioritas pembenahan atribut dalam
usaha perbaikan dan peningkatan mutu pelayanan. Selanjutnya dilakukan analisis IPA untuk
melihat posisi atribut-atribut berdasarkan dalam diagram kartesius.
Pada tahap awal, dilakukan perhitungan rata-rata tingkat kepentingan dan tingkat kinerja
semua atribut, yakni
29
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
3.94 ī€Ģ 3.82 ī€Ģ 3.78 ī€Ģ īŒ ī€Ģ 4.49
ī€Ŋ 3.907
36
4.02 ī€Ģ 3.84 ī€Ģ 4.52 ī€Ģ īŒ ī€Ģ 4.10
yī€Ŋ
ī€Ŋ 4.217
36
xī€Ŋ
Berdasarkan nilai ini, digambarkan suatu diagram kartesius yang dilengkapi dengan sebuah
horizontal yang akan memotong sumbu y di titik (0;4.217) dan garis vertikal yang akan
memotong sumbu x di titik (0;3.907). Dengan dua garis ini, diagram kartesius tersebut
akan terbagi ke dalam empat kuadran. Selanjutnya setiap pasangan ( ,
) yang mewakili
setiap atribut diplotkan ke diagram kartesius tersebut. Diperoleh hasil sebagai berikut.
Gambar 2 Diagram IPA Bank X
Keterangan:
Assurance
Tangiblee
Reliability
Responsiveness
Emphaty
Gambar 2 memperlihatkan peta penyebaran atribut pada empat buah kuadran pada diagram
IPA. Berdasarkan posisi atribut dalam keempat kuadran, dapat ditentukan skala prioritas
dalam mengambil kebijakan baik, seperti berikut ini.
1. Kuadran I merupakan prioritas utama Bank X dalam upaya peningkatan kualitas
pelayanan bank. Atribut-atribut yang menjadi prioritas utama Bank X yaitu:
ī‚ˇ Penyebaran mesin ATM didaerah cukup banyak (aspek tangible pada ATM)
ī‚ˇ Luas ruang tunggu cukup untuk menampung nasabah yang datang untuk melakukan
transaksi (aspek tangible pada bangunan dan ruangan)
ī‚ˇ Kursi tunggu yang ada cukup dan memadai (aspek tangible pada fasilitas)
ī‚ˇ Keamanan transaksi di ATM bank dengan menempatkan CCTV dan pengawasan
dari petugas keamanan (aspek assurance pada ATM)
ī‚ˇ Teller memberikan pelayanan yang sama kepada nasabah (aspek emphaty pada
teller)
30
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
ī‚ˇ Teller menguasai tugas dan tanggung jawabnya (aspek reliability pada teller)
ī‚ˇ Kecepatan layanan yang diberikan oleh teller (aspek responsiveness pada teller)
ī‚ˇ CSO mampu memberikan informasi yang dibutukan nasabah dengan cepat dan tepat
(aspek responsiveness pada CSO)
ī‚ˇ Satpam mengusai tugas dan tanggung jawabnya (aspek reliability keamanan)
2. Kuadran II merupakan keadaan yang telah dipenuhi oleh Bank X namun tetap harus
diperhatikan untuk dipertahankan keadaannya. Atribut yag harus dipertahankan adalah:
ī‚ˇ Kejelasan pemotongan tabungan dari pihak bank apabila terjadi pengurangan uang
nasabah di tabungan (aspek assurance pada sistem transaksi)
ī‚ˇ Bangunan ATM aman dan nyaman (aspek tangible pada ATM)
ī‚ˇ CSO menguasai tugas dan tanggung jawabnya (aspek reliability pada CSO)
ī‚ˇ Kedisiplinan CSO dalam bekerja (aspek reliability pada CSO)
ī‚ˇ Jaminan kerahasiaan data nasabah (aspek assurance pada sitem transaksi)
ī‚ˇ Tempat parkir tersedia dengan luas yang cukup dan aman (aspek tangible pada
fasilitas)
ī‚ˇ Kedisiplinan teller dalam melayani nasabah (aspek reliability pada teller)
ī‚ˇ Sistem antrian tertib dengan nomor antrian (aspek tangible pada sistem transaksi)
ī‚ˇ Kebersihan ruang tunggu bank (aspek tangible pada bangunan dan ruangan)
3. Kuadran III merupakan keadaan yang dianggap kurang penting oleh nasabah dan
peningkatan kualitasnya pun kurang diperhatikan oleh Bank X. Atribut tersebut adalah:
ī‚ˇ CSO bank mampu memberikan keyakinan terhadap nasabah untuk terus menjadi
nasabah di bank (aspek reliability pada CSO)
ī‚ˇ Informasi tentang penggunaan ATM yang ditempelkan di setiap ATM bank untuk
mempermudah pemahaman nasabah (aspek tangible pada ATM)
ī‚ˇ CSO mengetahui dengan jelas seluk beluk perbankan sehingga cepat tanggap dalam
memberi penjelasan pada nasabah (aspek reliability pada CSO)
ī‚ˇ Kesediaan CSO bank dalam membantu nasabah menyelesaikan masalah yang
dihadapi nasabah (aspek responsiveness pada CSO)
ī‚ˇ Kerapian dan kebersihan satpam yang bertugas (aspek tangible pada kemanan)
ī‚ˇ Kerapian tata ruang tunggu (aspek tangible pada bangunan dan ruangan)
ī‚ˇ Satpam selalu bersedia membantu nasabah yang mengalami kesulitan dan butuh
bantuan (aspek responsiveness pada keamanan)
ī‚ˇ Keramahan dan kesabaran CSO dalam melayani nasabah (aspek assurance pada
CSO)
ī‚ˇ Kerapian teller (aspek tangible pada teller)
31
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
4. Kuadran IV merupakan keadaan yang sangat baik tingkat kinerja yang dilakukan oleh
pihak Bank X namun tidak begitu penting bagi nasabah. Atribut tersebut adalah:
ī‚ˇ Keramahan teller bank (aspek assurance pada teller)
ī‚ˇ Teller bank melayani nasabah dengan baik (aspek emphaty pada teller)
ī‚ˇ Kesabaran teller dalam menghadapi nasabah (aspek emphaty pada teller)
ī‚ˇ Tong sampah tersedia dan berfungsi dengan baik (aspek tangible pada fasilitas)
ī‚ˇ Tersedia media hiburan dan dapat digunakan untuk menghibur nasabah selama
menunggu antrian (aspek tangible pada fasilitas)
ī‚ˇ AC ada dan berfungsi baik (aspek tangible pada fasilitas)
ī‚ˇ Penyediaan dan pengisian slip transaksi disertai penjelasan pengisiannya (aspek
tangible pada sitem transaksi)
ī‚ˇ Brosur yang berisikan produk-produk bank tersedia untuk mempermudah transaksi
(aspek tangible pada sistem transaksi)
E. KESIMPULAN
Pada penelitian ini dilakukan analisis kepuasan nasabah bank X, salah satu bank syariah baru di
Kota Padang. Berdasarkan hasil survei, diperoleh bahwa indeks kepuasan nasabah adalah
sebesar 78,1% yang berarti bahwa nasabah bank X puas dengan pelayanan yang telah diberikan.
Beberapa atribut yang masih perlu ditingkatkan adalah penyebaran serta keamanan ATM,
fasilitas di ruang tunggu, teller yang menguasai tugas, memberikan pelayanan yang cepat dan
sama pada nasabah, CSO yang mampu memberikan informasi yang dibutukan nasabah
Atribut yang perlu dipertahankan adalah kejelasan pemotongan tabungan nasabah, kenyamanan
ATM, kedisiplinan CSO dan teller, jaminan kerahasiaan data nasabah, kondisi tempat parkir,
sistem atrian dan kebersihan ruang tunggu.
Sedangkan atribut lain tidak perlu menjapat
perhatian lebih dari bank.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Gaspersz, V. (1992). Teknik Analisis Dalam Penelitian Percobaan. Tarsito: Bandung
Martilla, JA and J.C. James. (1997). Importance Performance Analysis (Journal of Marketing). USA
Kotler, P. (2002). Manajemen Pemasaran di Indonesia : Analisis, Perencanaan, Implementasi dan
Pengendalian. Salemba Empat: Jakarta.
Lupiyoadi, R. (2001). Manajemen Pemasaran Jasa.Edisi Pertama. Salemba Empat: Jakarta
Martin, Bilodeau & David Brenner. 1999. Theory of Multivarite Statistic.Springer: New York
Rahman, A. (1980). Islamic Doctrine on Banking and Insurance. Muslim Trust Company: London
Singarimbun, M. & S. Effendi (editor). (1989). Metode Penelitian Survei, edisi revisi. LP3S, Jakarta
Tjiptono,F.(2001). Strategi Pemasaran. Edisi Pertama. Andi Ofset: Yogyakarta.
32
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Mengembangkan Kemampuan Komunikasi Matematis
Melalui Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik
Dr. Ahmad Nizar Rangkuti, S. Si., M.,Pd
IAIN Padangsidimpuan
[email protected]
Abstrak. Penelitian ini bertitik tolak dari rendahnya kemampuan siswa pada aspek komunikasi matematis
pada pembelajaran matematika di kelas. Siswa sulit untuk menganalisis suatu gambar, grafik, maupun
permasalahan matematika. Untuk itu perlu dilakukan perubahan dalam pengajaran matematika dengan
menggunakan pendekatan PMR yang merupakan pendekatan pembelajaran yang menggunakan konteks
dunia nyata sebagai titik tolak pembelajaran yang berawal dari matematika informal ke matematika
formal (konsep dan algoritma). Penelitian ini bertujuan untuk melihat peningkatan kemampuan
komunikasi matematis siswa dengan menggunakan pendekatan PMR pada materi pecahan siswa kelas
III.1 SD IT Bunayya Padangsidimpuan.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian tindakan kelas (PTK). Subjek penelitian ini adalah kelas
III.1 SD IT Bunayya Padangsidimpuan tahun ajaran 2013/2014 yang terdiri dari 20 siswa. Instrumen yang
digunakan untuk mengumpulkan data adalah tes, lembar observasi keterlaksanaan pembelajaran, lembar
observasi kemampuan komunikasi matematis siswa dan dokumentasi. Sedangkan analisis data yang
dilakukan adalah analisis data kuantitatif dan analisis data kualitatif.
.Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh bahwa pembelajaran matematika pada siswa kelas III.1 SD IT
Bunayya Padangsidimpuan dengan pendekatan PMR dapat meningkatkan kemampuan komunikasi
matematis siswa. Peningkatan kemampuan komunikasi matematis terdiri dari: 1) kemampuan
mengekspresikan ide-ide matematis melalui lisan, mendemonstrasikan dan menggambarkan secara visual;
2) kemampuan memahami, menginterpretasikan, dan mengevaluasi ide-ide matematis secara lisan,
maupun dalam bentuk visual lainnya, dan 3) kemampuan dalam menggunakan istilah-istilah, notasi-notasi
matematika dan struktur-strukturnya untuk menyajikan ide-ide, menggambarkan hubungan-hubungan
dengan model-model situasi.
Key words: Realistic Mathematics Education Approach, Mathematical Communication Ability, Fraction
Topic.
A. Pendahuluan
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran penting untuk dipelajari oleh siswa. Dalam
pembelajarannya siswa tidak hanya dituntut dalam mengingat atau menghapal rumus, akan
tetapi siswa juga harus mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan. Kemampuan siswa
dalam menyajikan, menganalisis, menginterpretasikan data, serta mengkomunikasikannya
sangat diperlukan oleh siswa.
Mengembangkan komunikasi matematis siswa merupakan salah satu hal penting dalam
pembelajaran. Siswa dikatakan berhasil dalam pembelajaran matematika apabila
mampu memahami dan mengkomunikasikan ide-ide matematis terhadap masalah
matematika. Dengan demikian diharapkan siswa mampu mengkomunikasikan gagasan
atau ide-idenya dengan simbol, diagram, atau tabel untuk menjelaskan persoalan, begitu
juga sebaliknya.
33
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis, salah satunya dapat dilakukan
dengan menciptakan pembelajaran interaktif. Salah satu pendekatan pembelajaran yang
dapat menciptakan pembelajaran interaktif adalah pendekatan Pendidikan Matematika
Realistik (PMR). Pendekatan PMR menggunakan masalah sehari-hari sebagai titik tolak
dalam membentuk dan membangun konsep bagi siswa. Pembelajaran selalu diawali
dengan serangkaian aktivitas dalam mengantarkan siswa kepada pengetahuan
matematika secara utuh dan mendasar sehingga siswa dapat mengaitkan suatu konsep
terhadap dunia nyata dan sebaliknya.
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di kelas III 1. SD Islam Terpadu (SD IT)
Bunayya Padangsidimpuan menunjukkan guru dan siswa belum terbiasa dengan
pembelajaran yang diawali dengan konteks. Ditemukan sebagian siswa belum mampu
dalam mengkomunikasikan gagasan atau ide-idenya dengan simbol, diagram, atau tabel
untuk menjelaskan persoalan, begitu juga sebaliknya. Diharapkan dengan pembelajaran
dengan pendekatan PMR masalah tersebut dapat teratasi. Penerapan pendekatan ini
dapat
mengembangkan
kemampuan
komunikasi
matematis
siswa.
Dalam
implementasinya, pendekatan ini dapat dilakukan secara mandiri atau berkelompok
dalam menyelesaikan masalah atau konteks yang diberikan. Dalam hal ini proses
komunikasi baik secara lisan maupun tulisan dapat terjadi dengan adanya interaksi
dalam pembelajaran.
Telah banyak hasil penelitian tentang PMR. Beberapa hasil penelitian menyebutkan
bahwa kemampuan matematis siswa lebih baik setelah diajar dengan pendekatan
matematika realistik (Rangkuti, 2014; Musdi, 2012; Kwon, et.al, 2013; Wawro, et.al,
2013; Prediger & Zuetszchler, 2013; Stephan & Cobb, 2013). Berdasarkan beberapa
hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa PMR adalah suatu pendekatan
pembelajaran matematika yang tepat untuk memperbaiki kemampuan matematis siswa.
Melihat masalah yang ada di kelas III.1 tersebut, hendaknya perlu dilakukan perubahan
pengajaran yang lebih menekankan kepada aktivitas siswa sehingga memungkinkan
tergalinya potensi siswa khususnya pada aspek komunikasi matematika. Secara khusus,
pokok bahasan pecahan pada kelas III merupakan salah satu pokok bahasan penting.
Karena pentingnya pokok bahasan ini, maka di kelas berikutnya juga akan dipelajari
topik pecahan lanjutan. Pokok bahasan ini diperlukan kemampuan komunikasi
matematika.
34
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Oleh karena itu perlu dilakukan pengkajian yang diwujudkan dalam suatu penelitian
dengan judul mengembangkan kemampuan komunikasi matematika melalui pendekatan
PMR pada pokok bahasan pecahan di kelas III.1 SDIT Bunayya Padangsidimpuan. Pada
penelitian ini yang dimaksudkan dengan kemampuan komunikasi matematis adalah
kemampuan siswa dalam memahami, menginterpretasikan, mengekspresikan ide-ide
matematika, mendemonstrasikan dan menyampaikannya baik secara lisan maupun
tulisan.
B. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan di kelas III.1 SDIT Bunayya Padangsidimpuan. Dilaksanakannya
penelitian di sekolah tersebut karena terdapat masalah yang terkait dengan hasil belajar
matematika khususnya pada aspek komunikasi matematika. Subjek dalam penelitian ini adalah
siswa kelas III.1 SDIT Bunayya Padangsidimpuan Tahun Ajaran 2013/2014 yang terdiri dari 20
orang siswa yaitu 12 siswa perempuan dan 8 siswa laki-laki
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2014 sampai dengan April 2014 sesuai
dengan jadwal mata pelajaran matematika di sekolah tersebut. Pokok bahasan pada
penelitian ini adalah pecahan, sesuai dengan silabus mata pelajaran matematika pada
semester genap.
Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research).
Penelitian Tindakan Kelas ini dilaksanakan secara kolaboratif dengan guru matematika
di sekolah yang diteliti, dalam hal ini peneliti terlibat langsung dalam proses
pembelajaran baik sebagai observer (pengamat) ataupun terlibat langsung sebagai
pengajar di dalam kelas. Instrumen yang digunakan adalah lembar aktivitas siswa,
lembar observasi, catatan lapangan, dan test.
Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model Kurt Lewin (Rangkuti, 2014)
yang terdiri dari 4 tahapan yaitu perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi. Tahapan
ini di gambarkan sebagai berikut:
35
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Perencanaan
Refleksi
Siklus 1
Tindakan
Observasi
Perencanaan
Refleksi
Siklus 2
Tindakan
Observasi
Dan Seterusnya
Gambar 1. Siklus Pelaksanaan PTK
C. Hasil dan diskusi
Setelah data terkumpul selama proses penelitian berlangsung selanjutnya dilakukan analisis data
dengan menggunakan statistik deskriptif yaitu dengan melihat rata-rata tes kemampuan
komunikasi matematika siswa pada setiap siklus untuk melihat sejauh mana peningkatan
kemampuan komunikasi matematika siswa. Data yang diperoleh pada setiap pertemuan dalam
setiap siklus terdiri dari hasil tes kemampuan komunikasi matematika siswa dan hasil observasi.
Tes dilakukan dengan tujuan mengumpulkan data kemampuan komunikasi matematika siswa
secara tertulis dan observasi dilakukan untuk mengumpulkan data kemampuan komunikasi
matematika siswa secara lisan. Setiap data yang diperoleh akan dianalisis sesuai dengan jenis
data yang dimaksud. Berikut dijabarkan analisis data untuk setiap data yang diperoleh :
5. Hasil Tes Kemampuan Komunikasi Matematika Siklus I dan Siklus II
Tes yang dilakukan pada setiap akhir siklus berfungsi untuk melihat sejauh mana
peningkatan kemampuan komunikasi matematika siswa secara tertulis. Tes komunikasi
matematika yang diujikan berbentuk essay test yang terdiri dari 5 soal yang disusun
berdasarkan indikator kemampuan komunikasi matematika siswa. Berdasarkan hasil tes
diperoleh bahwa pendekatan PMR dapat meningkatkan kemampuan komunikasi
matematika siswa pada materi pecahan. Hal ini dapat dilihat berdasarkan rata-rata hasil tes
kemampuan komunikasi matematika dan persentase ketuntasan belajar siswa yang semakin
meningkat pada setiap siklusnya. Hal ini dapat dilihat berdasarkan tabel di bawah ini :
36
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Tabel 1. Peningkatan Tes Kemampuan Komunikasi Matematika Siswa
Rata-Rata
Kelas
Jumlah Siswa
yang Tuntas
Tes Awal
66,27
10
Tes Siklus I
78,21
15
Tes Siklus II
85,20
18
Pelaksanaan
6. Hasil Observasi Kemampuan Komunikasi Matematika pada Siklus I dan Siklus II
Observasi kemampuan komunikasi matematika ini dilakukan untuk melihat sejauh mana
kemampuan siswa dalam memahami, menginterpretasikan, mengekspresikan ataupun
mengevaluasi ide-ide matematika dan juga menyampaikannya baik secara tulisan maupun
secara lisan. Observasi ini dilakukan pada setiap proses pembelajaran yang terjadi pada
setiap siklusnya. Kegiatan yang diobservasi meliputi:
a.
Kemampuan
mengekspresikan
ide-ide
matematis
melalui
lisan,
dan
mendemonstrasikannya serta menggambarkannya secara visual.
b.
Kemampuan memahami, menginterpretasikan, dan mengevaluasi ide-ide matematis
secara lisan, maupun dalam bentuk visual lainnya.
c.
Kemampuan dalam menggunakan istilah-istilah, notasi-notasi matematika dan
struktur-strukturnya untuk menyajikan ide-ide, menggambarkan hubungan-hubungan
dengan model-model situasi.
Berikut tabel peningkatan kemampuan komunikasi matematika siswa berdasarkan hasil
observasi yang dilakukan :
Tabel 2. Peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematika pada Siklus I dan Siklus II
Berdasarkan Hasil Observasi
Pelaksanaan
Siklus I
Siklus II
Indikator
Rata-Rata
KKM
Pertemuan 1
A
32,89%
B
35,53%
C
52,63%
Pertemuan 2
52,63%
57,53%
65,79%
58,65%
Pertemuan 1
73,68%
71,05%
76,32%
73,68%
Pertemuan 2
84,21%
80,26%
84,26%
82,91%
40,35%
Dengan demikian terlihat bahwa jumlah siswa yang telah berhasil meningkat kemampuan
komunikasi matematika. Dengan demikian, hipotesis tindakan telah berhasil tercapai yaitu
penerapan pendekatan PMR dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematika
siswa pada materi pecahan di SDIT Bunayya Padangsidimpuan.
37
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Berdasarkan analisis yang dilakukan, kemampuan komunikasi matematika siswa dapat
meningkat dengan menggunakan pendekatan PMR disebabkan oleh beberapa hal yaitu :
1.
Pendekatan PMR memiliki pola guide reinvention yang dapat mengkonstruksi
pengetahuan siswa dalam menemukan kembali konsep ataupun ide matematika
melalui bimbingan guru sehingga siswa dapat menganalisis suatu permasalahan,
diagram, ataupun gambar yang diberikan.
2.
Penggunaan masalah dunia nyata (konteks) sebagai titik awal pembelajaran pada
pendekatan PMR memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan
sendiri model-model matematika yang bersifat informal seperti diagram, simbol,
gambar,dan lainnya kepada matematika yang bersifat formal yaitu konsep dan
algoritma.
3.
Penggunaan interaktifitas dalam pendekatan PMR menjadikan siswa menjadi aktif
dalam pembelajaran yang dilakukann sehingga siswa tidak hanya diajak untuk
berfikir tetapi siswa juga harus dapat merespon, berdiskusi, menulis, membaca,
mendengarkan guru serta menemukan konsep-konsep matematika.
D. PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa kemampuan
komunikasi matematika siswa kelas III.1 SDIT Bunayya Padangsidimpuan mengalami
perkembangan melalui pendekatan PMR. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan rata-rata hasil
tes kemampuan komunikasi matematika yaitu 66,27 pada tes awal meningkat menjadi 78,21
pada tes akhir siklus I dan pada tes akhir siklus II rata-rata hasil tes kemampuan komunikasi
matematika siswa mencapai 85,20.
Sementara itu, persentase ketuntasan belajar siswa juga mengalami peningkatan, hal ini terlihat
dari peningkatan jumlah siswa yang mencapai KKM yaitu pada tes awal jumlah siswa yang
tuntas adalah 10 siswa atau 50 % dari 20 siswa, pada siklus I siswa yang tuntas ada 15 siswa
atau 75% dari 20 siswa dan pada siklus II jumlah siswa yang tuntas mencapai 90 % atau 18
siswa dari 20 siswa. Berdasarkan hasil observasi kemampuan komunikasi matematika selama
pembelajaran komunikasi lisan siswa meningkat pada siklus pertama pertemuan 1 diperoleh
40,35% menjadi 58,65 % pada pertemuan 2, dan pada siklus II pertemuan 1 diperoleh 73,68 %
dan pada pertemuan 2 diperoleh 82,91%.
38
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Kwon, O.N., et.al., 2013. Design research as an inquiry into students’ argumentation and
justifcation: Focusing on the design of intervention. In T. Plomp, & N. Nieveen (Eds.), Educational
design research – Part B: Illustrative cases (pp. 199-220). Enschede, the Netherlands: SLO.
Musdi, Edwin. 2012. Pengembangan Model Pembelajaran Geometri SMP dengan Pendekatan
Matematika Realistik. Disertasi. PPs UNP Padang
Prediger, S., & Zwetschler, L. 2013. Topic-specifc design research with a focus on learning
processes: The case of understanding algebraic equivalence in grade 8. In T. Plomp, & N. Nieveen
(Eds.), Educational design research – Part B: Illustrative cases (pp. 407-424). Enschede, the
Netherlands: SLO
Rangkuti, Ahmad Nizar. 2014. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Citapustaka Media
-----------------------------. 2015. Statistik untuk Penelitian Pendidikan. Bandung: Citapustaka Media.
-------------------------------. 2015. Pengembangan Alur Pembelajaran Topik Pecahan di Sekolah Dasar
dengan Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik. Disertasi, PPs UNP Padang.
Stephan, M., & Cobb, P., 2013. Teachers engaging in mathematics design research. In T. Plomp, &
N. Nieveen (Eds.), Educational design research – Part B: Illustrative cases (pp. 277-298). Enschede,
the Netherlands: SLO.
Wawro, M., et.al. 2013. Design research within undergraduate mathematics education: An example
from introductory linear algebra. In T. Plomp, & N. Nieveen (Eds.), Educational design research –
Part B: Illustrative cases (pp. 905-925). Enschede, the Netherlands: SLO.
39
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Tahap Preliminary Research (Investigasi Awal)
Pengembangan Lembar Kerja Limit, Turunan, Dan Integral
Pada Mahasiswa Pendidikan Biologi STKIP PGRI Sumatera
Barat
Ainil Mardiyah1, Lita Lovia2
1
STKIP PGRI Sumatera Barat, Gunung Pangilun, Padang
[email protected], [email protected]
Abstrak. Salah satu alat dalam matematika yang dapat digunakan untuk memecahkan berbagai masalah
di bidang biologi adalah Teori Limit, Turunan, dan Integral. Tujuan mempelajari Teori Limit, Turunan,
Dan Integral pada mahasiswa Pendidikan Biologi STKIP PGRI Sumatera Barat adalah agar mahasiswa
memiliki kemampuan pemecahan masalah sehingga dapat diterapkan di bidang biologi maupun
digunakan sebagai landasan dalam mempelajari mata kuliah lain seperti biostatistika. Proses perkuliahan
matematika dasar yang dilakukan selama ini belum menampakkan keterampilan-keterampilan berpikir
kritis, kreatif, dan pemecahan masalah. Hal ini disebabkan mahasiswa belum memahami materi yang
disajikan dalam bahan ajar. Untuk itu, dilakukan penelitian ini yang bertujuan untuk menganalisis
permasalahan, kebutuhan dan karakteristik mahasiswa untuk mengembangkan bahan ajar pada
perkuliahan Matematika Dasar pada Program Studi Pendidikan Biologi di STKIP PGRI Sumatera Barat.
Dari hasil analisis diperoleh bahwa mahasiswa membutuhkan Lembar Kerja Limit, Turunan, dan Integral
untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah mahasiswa Pendidikan Biologi STKIP PGRI
Sumatera Barat.
Kata Kunci : Lembar Kerja, Matematika Dasar
A. Pendahuluan
Dalam perkuliahan matematika dasar, mahasiswa diajarkan Teori limit, turunan, dan
integral.
Tujuan
mempelajari
teori
limit,
turunan,
dan
integral
pada
mahasiswa
Pendidikan Biologi STKIP PGRI Sumatera Barat adalah agar mahasiswa memiliki kemampuan
pemecahan masalah sehingga dapat diterapkan di bidang biologi maupun digunakan sebagai
landasan dalam mempelajari mata kuliah lain.
Proses perkuliahan Matematika Dasar selama ini menggunakan metode ceramah dan
menggunakan satu bahan ajar, yaitu buku teks. Berdasarkan pengamatan peneliti, penggunaan
metode konvensional menyebabkan perkuliahan monoton dan bahan ajar yang dipakai dalam
proses perkuliahan belum mampu mengkonstruksi pengetahuan mahasiswa, sehingga
mahasiswa tidak memahami materi yang disajikan dalam bahan ajar. Bahasa bahan ajar terlalu
to the point, mahasiswa tidak mempunyai kesempatan mengembangkan pola pikir kreatif serta
kemampuan pemecahan masalah mahasiswa yang masih rendah, khususnya untuk materi limit,
turunan, dan integral yang sangat berperan dalam pemecahan masalah biologi. Kondisi
40
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
ini menjadi kendala yang berarti karena keberadaan bahan ajar diperlukan untuk mendukung
pencapaian kompetensi pembelajaran.
Salah satu bentuk bahan ajar yang memfasilitasi kemampuan pemecahan masalah mahasiswa
adalah lembar kerja. Dalam kegiatan eksplorasi yang berupa penyelidikan dan penemuan
diperlukan lembar kerja. Prinsip lembar kerja adalah mengarahkan mahasiswa pada pola pikir
yang runut dan benar sehingga mahasiswa akan memahami proses pemecahan masalah yang
disajikan (Asnawi dan Paryanto, 2012: 149). Oleh karena itu, akan dilakukan penelitian
pengembangan yang bertujuan untuk menghasilkan lembar kerja limit, turunan, dan integral
untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah mahasiswa pendidikan biologi.
B. METODE PENELITIAN
Metode penelitian adalah dengan analisis deskriptif. Hal ini dilakukan untuk melihat kondisi
yang berhubungan dengan proses pembelajaran kemudian menganalisis permasalahan dan
kebutuhan. Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah sebagai berikut.
a. Menganalisis silabus, hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah materi yang diajarkan
sudah sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar mata kuliah.
b. Menganalisis buku yang berkaitan dengan Matematika Dasar, hal ini bertujuan untuk
melihat kesesuaian isi buku dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang harus
dicapai mahasiswa.
c. Wawancara dengan dosen pengampu mata kuliah, bertujuan untuk mengetahui
masalah/hambatan apa saja yang dihadapi di lapangan sehubungan dengan perkuliahan
Matematika Dasar. Hasil wawancara dianalisis secara deskriptif. Menurut Miles dan
Huberman dalam Nyimas (2007:62) menyatakan “bahwa wawancara dari para pakar
menghasilkan data kualitatif berdasarkan transkripsi tertulis dan catatan yang dibuat dibuat
saat wawancara berlangsung”. Miles menyatakan cara menganalisis data kualitatif terdiri
dari tiga tahap, yaitu mereduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Mereduksi
data
merupakan
proses
menyeleksi,
memfokuskan,
dan
mengabstraksi,
dan
mentransformasi data mentah yang diperoleh melalui observasi.
d. Wawancara dengan mahasiswa yang telah mengambil mata kuliah Matematika Dasar untuk
menganalisis kebutuhan mahasiswa terhadap bahan ajar.
Pertanyaan Wawancara
1.
2.
3.
Bagaimana menurut pendapat Saudara mengenai metode pembelajaran yang
digunakan oleh dosen dalam perkuliahan Matematika Dasar?
Apa saja kendala yang Saudara temui dalam perkuliahan Matematika Dasar?
Apakah waktu yang Saudara butuhkan dalam memahami materi perkuliahan
41
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
lebih singkat?
Apa saja bahan ajar (buku sumber) yang digunakan dalam perkuliahan
Matematika Dasar?
5. Apakah Saudara membutuhkan waktu yang relatif singkat dalam memahami
buku ajar tersebut?
6. Apakah penggunaan bahasa dalam buku ajar dapat Saudara pahami dengan
baik?
7. Apakah penggunaan buku ajar tersebut dapat meningkatkan aktivitas
Saudara dalam perkuliahan?
8. Bagaimana kriteria bahan ajar yang Saudara harapkan?
9. Menurut Saudara, apakah belajar dengan menggunakan lembar kerja dapat
meningkatkan aktivitas belajar Saudara?
10. Menurut Saudara, apakah dengan menggunakan lembar kerja dapat
membantu Saudara belajar secara mandiri?
4.
e. Mereviuw literatur yang terkait dengan penelitian pengembangan, bertujuan untuk melihat
rujukan mengenai penelitian pengembangan dan jenis-jenis bahan ajar yang tepat untuk
dikembangkan sesuai dengan permasalahan yang ditemukan berdasarkan hasil wawancara.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis silabus diperoleh bahwa materi yang diajarkan sudah sesuai dengan standar
kompetensi dan kompetensi dasar mata kuliah. Peneliti melihat bahwa kompetensi yang harus
dicapai mahasiswa cukup banyak. Untuk itu perlu bahan perkuliahan pendukung agar tujuan
perkuliahan tercapai, yaitu suatu bahan perkuliahan yang dapat membimbing, melatih serta
meningkatkan pemecahan masalah mahasiswa.
Setelah itu, peneliti melakukan analisis terhadap buku-buku yang berkaitan dengan Matematika
Dasar, khususnya pada materi Limit, Turunan dan Integral. Buku yang diamati diantaranya
adalah Buku Matematika Dasar karangan Wilson Simangunsong, Matematika Universitas
karangan Frank Ayres, JR.,Ph.D & Philip A. Schmidt, Ph.D, dan Kalkulus dan Ilmu Ukur
Analitik karangan Purcell, E & Varberg, D. Hasil analisis yang diperoleh menunjukkan bahwa
cakupan materi yang ada dalam buku terlalu luas dan cara penyajiannya menggunakan bahasa
analisis yang terlalu tinggi, sehingga susah dipahami oleh mahasiswa di STKIP PGRI Sumatera
Barat. Serta buku-buku yang ada tidak sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar
yang hendak dicapai.
Dari wawancara dengan dosen pengampu mata kuliah Matematika Dasar, diperoleh informasi
bahwa selama ini proses pembelajaran dominan dengan metode ceramah. Metode kelompok
sudah pernah diterapkan, tapi belum efektif karena mahasiswa banyak bergantung kepada dosen
dalam memahami materi. Saat diberikan soal yang bervariasi, mulai dari soal dengan tingkat
42
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
kesulitan rendah hingga soal yang memerlukan analisa, hanya beberapa mahasiswa saja yang
mampu mengerjakan dengan baik. Untuk itu diperlukan suatu bantuan berupa bahan ajar yang
dapat membimbing mahasiswa dalam belajar, melatih keterampilan pemecahan masalah
mahasiswa.
Berdasarkan hasil wawancara dengan mahasiwa menunjukkan bahwa mahasiswa membutuhkan
suatu bahan ajar untuk membantu dalam perkuliahan, yaitu berupa Lembar Kerja. Lembar Kerja
merupakan bahan ajar penunjang yang digunakan untuk belajar mandiri dalam memahami
konsep materi serta sebagai sarana untuk melatih keterampilan dalam menyelesaikan berbagai
persoalan.
Setelah
dilakukan wawancara, peneliti melakukan reviuw literatur mengenai penelitian
pengembangan. Buku yang direviuw adalah buku metodologi penelitian pengembangan
dianalisis guna mempelajari tahap-tahap pengembangan suatu produk. Dengan adanya literatur
yang berhubungan dengan penelitian pengembangan, Lembar Kerja, peneliti akan terbantu
dalam perancangan Lembar Kerja.
D. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa mahasiswa membutuhkan Lembar Kerja limit,
turunan, dan integral untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah mahasiswa
pendidikan biologi di STKIP PGRI Sumatera Barat.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
Riduwan, (2012). Belajar Mudah Penelitian untuk Guru-karyawan dan Peneliti Pemula. Bandung:
Alvabeta
Darminto, Bambang Priyo. (2013). “Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Mahasiswa melalui Pembelajaran Model Treffinger”. Jurnal Pendidikan Matematika dan Sains: I
(2): 101-107.
Asnawi dan Paryanto. 2012. “Upaya Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Kinematika dan
Dinamika Mesin melalui Implementasi Lembar Kerja terstruktur di Jurusan Pendidikan Teknik
Mesin”. Jurnal Pendidikan Teknologi dan Kejuruan: 21(2): 148-156.
43
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
PENERAPAN TAPPS DISERTAI HYPNOTEACHING
(HYPNO-TAPPS) DALAM PENINGKATAN KEMAMPUAN
REPRESENTASI MATEMATIS SISWA SMP
Audra Pramitha Muslim
STKIP PGRI Sumatera Barat, Jl. Gunung Pangilun, Padang
[email protected]
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji masalah peningkatan kemampuan representasi
matematis siswa sebelum dan setelah memperoleh pembelajaran Hypno-TAPPS dan konvensional, serta
perbedaan peningkatan kemampuan representasi matematis siswa ditinjau dari kemampuan awal
matematis siswa. Penelitian ini merupakan penelitian quasi experiment dengan desain kelompok kontrol
non-ekuivalen, dengan populasi siswa kelas VIII salah satu SMPN Kota Padang. Satu kelas sebagai
kelompok kontrol yang memperoleh pembelajaran konvensional dan satu kelas lainnya sebagai kelompok
eksperimen yang memperoleh pembelajaran Hypno-TAPPS. Instrumen pengumpulan data pada penelitian
ini ialah instrumen tes dengan analisis menggunakan uji perbedaan rataan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa; (1) peningkatan kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran
Hypno-TAPPS lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional, (2) terdapat
perbedaan peningkatan kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran
TAPPS disertai hypnoteaching dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional terhadap kategori
kemampuan awal matematis siswa (tinggi, sedang, dan rendah), dimana lebih spesifik terdapat pada siswa
berkemampuan awal matematis yang berkategori tinggi dan rendah, tetapi pasangan kemampuan awal
matematis tinggi dan sedang, serta sedang dan rendah tidak terdapat perbedaan.
Kata Kunci: Hypno-TAPPS dan Kemampuan Representasi Matematis
A. PENDAHULUAN
Setiap proses pembelajaran harus sesuai dengan tujuan pendidikan yang mengembangkan
kemampuan peserta didik, begitu pula dengan pembelajaran matematika. Hal ini sesuai dengan
tujuan pembelajaran matematika yang dirumuskan National Council of Teacher of Mathematics
(NCTM, 2000) diantaranya: (1) belajar untuk berkomunikasi, (2) belajar untuk bernalar, (3)
belajar untuk merepresentasikan ide-ide.
Standar representasi yang tertuang dalam NCTM (2000) menyatakan bahwa siswa selama
pembelajaran di sekolah memiliki kemampuan untuk:
1. Menciptakan dan menggunakan representasi untuk mengorganisir, mencatat dan
mengkomunikasikan ide-ide matematis.
2. Memilih, menerapkan dan menerjemahkan representasi matematis untuk memecahkan
masalah.
3. Menggunakan representasi untuk memodelkan dan menginterpretasikan fenomena fisik,
social, dan fenomena matematis.
4. Matematika merupakan pelajaran yang abstrak, sehingga dibutuhkan kemampuan untuk
menjadikan ide matematis menjadi lebih konkrit.
44
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Kegunaan kemampuan tersebut dapat membuat siswa bebas berimajinatif dan berpikir kreatif
dalam bentuk gambar, symbol, lisan, grafik maupun teks tertulis, sehingga tidak menghafal
semata. Meskipun demikian pada pelaksanaannya bukan merupakan hal yang sederhana.
Keterbatasan pengetahuan guru dan kebiasaan siswa belajar di kelas, belum memungkinkan
untuk menumbuhkan atau mengembangkan kemampuan representasi matematis siswa secara
optimal.
Hal ini menunjukkan terdapat permasalahan mendasar yaitu kurang berkembangnya
kemampuan representasi matematis siswa, khususnya pada siswa SLTP. Ini disebabkan karena
selain guru menyampaikan materi matematika dengan pembelajaran biasa, siswa juga
cenderung meniru langkah guru. Siswa jarang diberikan kesempatan untuk menghadirkan
representasinya sendiri yang dapat meningkatkan perkembangan kemampuan representasi
matematis siswa. Padahal menurut Piaget, usia siswa SLTP berada pada (permulaan) tahap
operasi formal yang tepat untuk memberikan banyak kesempatan memanipulasi benda konkrit,
membuat model, diagram, dan lain-lain, sebagai alat perantara untuk merumuskan dan
menyajikan konsep-konsep abstrak.
Kenyataan lain yang ditemukan yaitu siswa kurang termotivasi dan mudah menyerah dalam
menyelesaikan permasalahan matematis yang berpikir tingkat tinggi, selain itu perhatian siswa
terhadap hasil belajar atau nilai yang diperoleh siswa terkesan menerima apa adanya dan
“pasrah”, bahkan ketika mendapatkan nilai di bawah criteria ketuntasan minimalpun siswa tidak
mau untuk melakukan perbaikan.
Kesuksesan individu sangat ditentukan oleh kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan. Kebiasaankebiasaan positif yang dilakukan secara konsisten dan berpotensi dapat membentuk
kemampuan-kemampuan positif. Kemampuan positif juga dapat terjadi dari proses
pembelajaran yang diikuti dengan semangat positif. Semangat positif akan menarik sebanyak
mungkin nilai-nilai positif dalam kelas, sekolah, siswa dan sesame rekan. Semangat positif
tersebut juga harus diperoleh dari diri sendiri sebelum orang lain memberikan pengaruh positif
kepada diri kita.
Kebiasaan-kebiasaan positif tersebut dapat dipengaruhi dengan sugesti-sugesti yang tertanam
maupun ditanamkan oleh orang lain kepada kita. Hypnosis dapat mempengaruhi orang lain,
salah satunya dengan memberikan sugesti tertentu. Ilmu hypnosis yang dipergunakan dalam
kepentingan dunia pengajaran dan pendidikan dikenal dengan sebutan Hypnoteaching.
Hypnoteaching ini hanya bermain pada tataran “proses pembelajaran” saja, bukan pada masalah
filosofi dan kebijakan kependidikan. Peran guru dalam kegiatan pembelajaran matematis
dengan menggunakan metode hypnoteaching ini tidak bersifat sebagai dictator, tetapi sebatas
fasilitator, administrator, motivator, dan evaluatos, sehingga siswa bebas memberikan gagasan-
45
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
gagasan yang bervariasi dan kreatif dalam menyelesaikan masalah matematis yang diberikan.
Sugesti-sugesti yang diberikan guru juga menimbulkan keberanian siswa untuk mengemukakan
pendapatnya seperti menjelaskan suatu ide matematis secara lisan maupun tulisan serta
mendiskusikan segala sesuatu tentang matematika. Hal-hal tersebut diharapkan dapat
mendorong munculnya kemampuan representasi serta suasana yang menyenangkan.
Belajar matematika dengan hypnoteaching ini dapat memunculkan nilai-nilai positif pada diri
siswa serta lingkungannya (termasuk guru dan teman sejawat), oleh karena itu pelaksanaan
metose pembelajaran hypnoteaching ini akan disertai pada pelaksanaan metode TAPPS
(Thinking Aloud Pair Problem Solving). Aktivitas TAPPS ini dilakukan dalam kelompok kecil
yang beranggotakan dua orang yang heterogen dan memungkinkan terjadinya interaksi positif
antar siswa sehingga dapat meningkatkan kepercayaan diri siswa dalam menyelesaikan masalah
matematis.
Selain dari aspek kognitif, Kemampuan Awal Matematis (KAM) siswa juga dijadikan sebagai
focus dalam penelitian ini. Hal ini terkait dengan efektivitas implementasinya pada proses
pembelajaran. Tujuannya yaitu untuk melihat apakah implementasi metode pembelajaran
TAPPS diserta hypnoteaching dapat merata di semua kategori KAM siswa. Jika merata di
semua kategori KAM, maka penelitian ini dapat digeneralisir bahwa implementasi pembelajaran
TAPPS disertai hypnoteaching cocok diterapkan untuk semua tingkat kemampuan. Oleh karena
itu peneliti tertarik untuk melakukan suatu penelitian yang berjudul “Penerapan TAPPS disertai
Hypnoteaching (Hypno-TAPPS) dalam Peningkatan Kemampuan Representasi Matematis
Siswa”.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini ialah, untuk melihat:
(1) peningkatan kemampuan representasi matematis siwa yang memperoleh pembelajaran
TAPPS disertai hypnoteaching dan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. (2)
perpedaan peningkatan kemampuan representasi matematis siswa ditinjau dari kemampuan awal
matematis siswa.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian quasi experiment atau eksperimen semu. Pertimbangan
penggunaan desain penelitian ini adalah kelas yang ada sudah terbentuk sebelumnya, sehingga
tidak dilakukan lagi pengelompokkan secara acak. Apabila dilakukan pembentukan kelas baru
dimungkinkan akan menyebabkan kekacauan jadwal pelajaran dan mengganggu efektivitas
pembelajaran di sekolah.
Selain itu, penelitian ini menggunakan desain kelompok kontrol non-ekuivalen (Ruseffendi,
2005) berikut.
46
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Kelas Eksperimen
:O
X
O
Kelas Kontrol
:O
O
Keterangan:
O
: Pretes atau Postes Kemampuan Representasi Matematis.
X
: Pembelajaran TAPPS disertai hypnoteaching.
: Subjek tidak dikelompokkan secara acak.
Keterkaitan antara tingkat kemampuan siswa (KAM) dengan pembelajaran yang diberikan
disajikan pada rancangan ANOVA yang digunakan di bawah ini.
Tabel 1. Rancangan ANOVA
KAM
Pembelajara
n
Tinggi
Sedang
Rendah
TAPPS disertai Pembelajaran
Hypnoteaching Konvensional
HTTR
PKTR
HTSR
PKSR
HTRR
PKRR
Keterangan (Contoh): HTTR adalah kemampuan representasi matematis siswa bekemampuan
tinggi dengan menggunakan TAPPS disertai Hypnoteaching.
C. Prosedur Penelitian
Berikut ini merupakan tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini:
Identifikasi Masalah
Penyusunan Perangkat Pembelajaran
Penyusunan Instrumen
Uji Coba Instrumen
Analisis Validitas, Reliabilitas, Daya Pembeda, dan Tingkat Kesukaran
Tes Awal (Pretes)
Kelas Eksperimen
Pembelajaran matematika dengan TAPPS disertai
Hypnoteaching
Kelas Kontrol
Pembelajaran matematika dengan
konvensional
Tes Akhir (Postes)
Analisis Data
Kesimpulan
47
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
Program SPSS 16 for Windows dan Microsoft Office Excel 2007 digunakan untuk mencapai
tujuan penelitian tersebut.
1. Hasil Penelitian
Data hasil belajar diperoleh melalui pretes dan postes kemampuan representasi matematis.
Pretes kemampuan representasi matematis diadakan sebelum pembelajaran diberikan,
dengan tujuan untuk mengetahui kemampuan awal matematis siswa kelas kontrol dan kelas
eksperimen. Peningkatan kemampuan representasi matematis siswa dilihat dari data skor
gain ternormalisasi (Ngain) antar kedua kelas, serta kategori kemampuan awal
matematisnya. Data tersebut diperoleh dari 45 siswa, terdiri dari 22 siswa kelas kontrol dan
23 siswa kelas eksperimen.
Berikut ini merupakan deskripsi data pretes, postes, dan Ngain pada kelas kontrol dan kelas
eksperimen.
Tabel 2. Data Hasil Statistik Deskriptif Kemampuan Representasi Matematis
Nilai
Pretes
Postes
N-gain
N
22
22
22
Xmin
3
9
0,11
Kontrol
Eksperimen
Ė…
Ė…
Xmaks
%
N Xmin Xmaks
17
9,05
32,32 23 2
18
7,70
23
15,27 54,54 23 9
27
18,35
0,65
0,335 1,196 23 0,27 0,91
0,548
Skor Maksimum Ideal = 28
%
27,5
65,54
1,957
Untuk lebih jelasnya, tabel 2 di atas dapat dibuat diagram perbandingan rataan skor pretes
dan postes sebagai berikut.
Kontrol
Nilai Rataan
Eksperimen
20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
18,35
15,27
9,05 7,7
0,34 0,55
Pretes
Postes
N-gain
Tes Kemampuan Representasi
Gambar 1. Perbandingan Rataan Skor Pretes, Postes, dan N-gain Kemampuan Representasi
Matematis
Dari gambar 1 di atas, terlihat bahwa rataan pretes kelas kontrol lebih tinggi dari kelas
eksperimen sebelum diberikan perlakuan, sedangkan untuk rataan postes kelas eksperimen
yang memperoleh pembelajaran TAPPS disertai hypnoteaching menunjukkan hasil yang
48
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol yang memperoleh pembelajaran konvensional.
Data di atas menunjukkan bahwa terjadi peningkatan skor kemampuan representasi
matematis siswa setelah pembelajaran dilaksanakan.
Pada analisis data skor N-gain kemampuan representasi matematis menggunakan data gain
ternormalisasi. Data gain ternormalisasi juga menunjukkan klasifikasi peningkatan skor
siswa yang dibandingkan dengan skor maksimal idealnya. Rangkuman rataan skor N-gain
kemampuan representasi matematis siswa pada kelas kontrol dan kelas eksperimen
disajikan dalam tabel berikut ini.
Tabel 3. Data Hasil Rataan dan Klasifikasi N-gain Kemampuan Representasi Matematis
Kelas
Rataan N-gain
Klasifikasi
Kontrol
0,33
Sedang
Eksperimen
0,55
Sedang
Tabel 3 di atas terlihat bahwa siswa yang memperoleh pembelajaran TAPPS disertai
hypnoteaching (kelas eksperimen) memiliki rataan skor N-gain lebih besar daripada siswa
yang memperoleh pembelajaran konvensional (kelas kontrol). Meskipun klasifikasi skor Ngain kelas eksperimen dan kelas kontrol termasuk kategori sedang, tetapi skor peningkatan
kemampuan representasi matematis siswa kelas eksperimen lebih tinggi daripada kelas
kontrol.
Pengujian perbedaan rataan skor N-gain dengan uji independent sample t-test perlu
digunakan untuk mengetahui apakah peningkatan kemampuan representasi matematis
siswa yang memperoleh pembelajaran TAPPS disertai hypnoteaching lebih baik daripada
siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Pengujian perbedaan rataan skor Ngain dengan uji anova dua jalur juga perlu dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat
perbedaan peningkatan kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh
pembelajaran TAPPS disertai hypnoteaching dan siswa yang memperoleh pembelajaran
konvensional ditinjau dari kategori kemampuan awal matematis (tinggi, sedang, rendah).
Namun sebelumnya terlebih dahulu harus dilakukan uji prasyarat normalitas dan
homogenitas terhadap data skor N-gain kedua kelompok data tersebut.
a) Uji Normalitas Data Skor N-gain
Uji normalitas skor N-gain kemampuan representasi matematis menggunakan uji
Shapiro-Wilk, dengan rumusan hipotesisnya yaitu:
Ho :data sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal.
H1 :data sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal
Rangkuman hasilnya disajikan pada tabel berikut ini.
49
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Tabel 4. Data Hasil Uji Normalitas Skor N-gain Kemampuan Representasi Matematis
Shapiro-Wilk
Keterangan
Statistic
Df
Sig.
Kontrol
0,921
7
0,475
Terima H0
Tinggi
Eksperimen
0,870
7
0,185
Terima H0
Kontrol
0,843
8
0,080
Terima H0
Sedang
Eksperimen
0,935
9
0,531
Terima H0
Kontrol
0,898
7
0,317
Terima H0
Rendah
Eksperimen
0,873
7
0,195
Terima H0
H0 :data sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal.
Kategori
KAM
Kelas
Tabel 4 di atas terlihat bahwa data skor N-gain kemampuan representasi matematis
siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol memiliki nilai Sig. > α = 0,05, sehingga H0
diterima. Hal ini menunjukkan bahwa data skor N-gain kemampuan representasi
matematis siswa kelas kontrol dan kelas eksperimen berdistribusi normal.
b) Uji Homogenitas Data Skor N-gain
Pengujian homogenitas varians skor N-gain kemampuan representasi matematis
menggunakan uji Levene dengan bantuan program SPSS 16 for Windows pada taraf
signifikansi α = 0,05. Adapun hipotesis yang akan diuji yaitu:
Ho :data sampel memiliki variansi homogen.
H1 :data sampel tidak memliki bervariansi homogen
Rangkuman hasil perhitungan uji homogenitas disajikan pada tabel berikut.
Tabel 5. Data Hasil Uji Homogenitas Skor N-gain Kemampuan Representasi Matematis
Levene
df1 df2
Sig.
Keterangan
Statistic
0,472
5
39
0,795
Terima H0
H0 :data sampel memiliki variansi yang homogen.
Tabel 5 di atas terlihat bahwa skor N-gain kemampuan representasi matematis siswa
dengan ketiga kategori tersebut memiliki nilai Sig. lebih besar dari α = 0,05, sehingga
H0 diterima. Artinya skor N-gain kemampuan representasi matematis siswa kelas
kontrol dan kelas eksprimen dengan kategori (tinggi, sedang, rendah) berasal dari
varians yang homogen.
c) Uji Anova Dua Jalur
Hasil uji normalitas dan homogenitas di atas, menunjukkan bahwa data skor N-gain
berdasarkan KAM untuk kemampuan representasi matematis siswa kedua kelas yaitu
kelas kontrol dan kelas eksperimen berdistribusi normal dan homogen. Oleh karena itu,
untuk mengetahui signifikansi perbedaan rataan kedua kelompok data dilakukan analisis
varians (ANOVA) dua jalur. Analisis ini dilakukan untuk melihat pengaruh langsung
dari perlakuan yang berbeda terhadap kemampuan representasi matematis ditinjau dari
kategori kemampuan awal matematis siswa.
50
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Hasil perhitungan uji analisis varians menggunakan General Linear Model (GLM)Univariate dengan bantuan program SPSS 16 for Windows dilakukan pada taraf
signifikansi α = 0,05 atau 5%. Adapun hipotesis penelitian yang akan diujikan adalah
sebagai berikut:
H0 :Peningkatan kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh
pembelajaran TAPPS disertai hypnoteaching sama dengan siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional.
H1 :Peningkatan kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh
pembelajaran TAPPS disertai hypnoteaching lebih baik daripada siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional.
Hipotesis KAM : Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan representasi
matematis siswa yang memperoleh pembelajaran TAPPS
disertai
hypnoteaching
pembelajaran
dan
konvensional,
siswa
bila
yang
ditinjau
memperoleh
dari
kategori
kemampuan awal matematika siswa (tinggi, sedang, rendah).
Rangkuman hasilnya disajkan pada tabel 6 di bawah ini.
Tabel 6. Data Hasil Uji Anova Dua Jalur Kemampuan Representasi Matematis
Sumber
df
Mean
Square
F
Sig.
KAM
2
0,145
6,931
0,003
Kelas
1
0,540
25,749
0,000
Ket.
Kesimpulan
Tolak
H0
Tolak
H0
Hipotesis
Penelitian
Diterima
Tabel 6 di atas dapat disimpulkan bahwa faktor KAM siswa memberikan perbedaan
yang signifikan terhadap kemampuan representasi matematis siswa. Hal ini terlihat dari
nilai F yang diperoleh dengan nilai signifikan 0,003 < α = 0,05. Demikian juga faktor
kelas (kelas kontrol dan kelas eksperimen) memberikan perbedaan yang signifikan
terhadap kemampuan representasi matematis siswa. Hal ini terlihat dari nilai F yaitu
25,749 dan mempunyai nilai signifikansi yaitu 0,000 < α = 0,05. Berarti terdapat
perbedaan yang signifikan dalam skor N-gain kemampuan representasi matematis siswa
berdasarkan model pembelajaran dan kategori KAM.
Oleh karena itu uji Scheffe (karena varians kategori KAM homogen) akan dilakukan
untuk mengetahui KAM mana yang berbeda secara signifikan dalam kemampuan
representasi matematis, hasil perhitungannya disajikan pada tabel di bawah ini.
51
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Tabel 7. Data Hasil Uji Scheffe Rataan Skor N-gain Berdasarkan Kategori KAM
Perbedaan
Sig.
Keterangan
Rataan (I-J)
Sedang
0,1328
0,050 Terima H0
Tinggi
Rendah
0,1986
0,003
Tolak H0
Tinggi
-0,1328
0,050 Terima H0
Sedang
Rendah
0,0658
0,460 Terima H0
Tinggi
-0,1986
0,003
Tolak H0
Rendah
Sedang
-0,658
0,460 Terima H0
H0 : tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan representasi kedua kelas sampel
KAM (I)
KAM (J)
Tabel 7 memperlihatkan bahwa nilai signifikansi untuk pasangan KAM tinggi dan
sedang adalah 0,050 ini berarti rataan skor N-gain kemampuan representasi matematis
siswa kelompok tinggi secara signifikan tidak lebih tinggi dari rataan skor N-gain
kemampuan representasi matematis siswa kelompok sedang. Hal yang sama juga
terlihat pada pasangan KAM sedang dan rendah, dengan nilai signifikansi 0,460.
Artinya siswa pada kelompok sedang mempunyai rataan skor N-gain kemampuan
representasi matematis tidak lebih tinggi dari rataan skor N-gain kemampuan
representasi matematis siswa yang berada pada kelompok rendah. Namun, hal tersebut
tidak terjadi pada pasangan KAM yang berkategori tinggi dan rendah, dengan nilai
signifikansi 0,003 ini berarti rataan skor N-gain kemampuan representasi matematis
siswa yang berada pada kelompok tinggi secara signifikan lebih tinggi dari skor N-gain
kemampuan representasi matematis kelompok rendah.
Agar sebaran rataan skor Ngain siswa terhadap kemampuan representasi matematis,
dapat dilihat lebih jelas, maka ditampilkan boxplot berikut ini.
Gambar 2. Boxplot Rataan Skor N-gain
52
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Berdasarkan hasil analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa perbedaan peningkatan
kemampuan representasi matematis tersebut hanya terjadi pada siswa kelompok tinggi
dan rendah saja, sedangkan siswa kelompok tinggi dan sedang, serta pasangan
kelompok sedang dan rendah tidak terdapat perbedaan yang signifikan.
2. Pembahasan
Kemampuan representasi matematis merupakan kemampuan siswa dalam menyatakan
suatu situasi/masalah matematis ke dalam ide/gagasan/strategi matematis, berupa tabel,
grafik, gambar, atau pernyataan matematis secara tertulis dengan menggunakan bahasa
sendiri baik formal maupun informal. Berdasarkan uraian sebelumnya, kemampuan yang
diteliti menggunakan representasi visual untuk menyelesaikan masalah, membuat gambar
untuk memperjelas masalah dan memfasilitasi penyelesaiannya, menyelesaikan masalah
dengan melibatkan ekspresi matematis, menyusun cerita yang sesuai dengan suatu
representasi yang disajikan, dan menjawab soal dengan menggunakan kata-kata teks
tertulis.
Hasil analisis data skor pretes kemampuan representasi matematis antara kelas eksperimen
dan kelas kontrol tidak mengalami perbedaan. Hal ini dapat dilihat dari perolehan rataan
skor pretes kelas eksperimen dan rataan skor pretes kelas kontrol. Meskipun kelihatan
berbeda antara kedua data tersebut, namun setelah dilakukan uji perbedaan rataan skor
pretes kelas eksperimen dan kelas kontrol menunjukkan hipotesis yang berbunyi data skor
rataan pretes kemampuan representasi matematis kelas ekeperimen tidak sama dengan data
skor rataan pretes kemampuan representasi matematis kelas kontrol ditolak (Tolak H0),
artinya tidak terdapat perbedaan secara signifikan kemampuan awal kedua kelas tersebut.
Hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, jika dibandingkan dengan dua metode
pembelajaran yang dilakukan, metode pembelajaran TAPPS disertai hypnoteaching
menunjukkan peran yang berarti dalam meningkatkan kemampuan representasi matematis.
Siswa yang belajar matematika melalui problem sheet yang diberikan dengan siswa yang
mengkonstruksi sendiri kemampuanya sesuai dengan indikator dalam pembelajaran TAPPS
tersebut. Pembelajaran berkelompok berpasangan ini merupakan kelompok yang
diinginkan mereka, karena berdasarkan pengalaman mereka kelompok yang lebih dari dua
kurang efisien dalam pelaksanaannya untuk menyampaikan ide matematis yang mereka
peroleh. Oleh karena itu, berdasarkan analisis data hasil penelitian, diketahui bahwa
metode pembelajaran TAPPS disertai hypnoteaching ini memberikan peningkatan hasil
belajar siswa. Hal ini ditunjukkan dengan adanya perbedaan rataan skor gain ternormalisasi
kemampuan representasi matematis yang diperoleh siswa pada kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol setelah diberikan perlakuan.
53
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Secara umum, rataan skor N-gain kelas eksperimen memang lebih baik dari pada rataan
skor N-gain kelas kontrol, namun jika ditinjau dari perbedaan peningkatan kemampuan
representasi matematis siswa yang berkategori kemampuan awal matematis, hanya terdapat
perbedaan peningkatan pada kategori tinggi dengan rendah saja. Kategori tinggi dengan
sedang, dan sedang dengan rendah tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan
representasi matematis. Hal ini dikarenakan pembagian kelompok siswa yang berpasangan
dari kategori kemampuan awal matematis, sehingga kemampuan antar siswa bisa saling
melengkapi. Selain itu, hypnoteaching yang dilakukan peneliti, membuat semua siswa
termotivasi untuk mengikuti pembelajaran baik berkategori kemampuan tinggi, sedang dan
rendah.
Penemuan dilapangan terkait dengan jawaban tes kemampuan representasi matematis siswa
yang memperoleh pembelajaran TAPPS disertai hypnoteaching jika dibandingkan dengan
siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional terlihat sedikit berbeda dalam
merepresentasikan ide matematisnya. Lebih rinci dapat dilihat dari beberapa indikator yang
diwakili oleh soal kemampuan representasi matematis berikut ini.
1. Penyelesaian masalah dengan melibatkan ekspresi matematis.
Penyelesaian soal dengan indikator ini diwakili oleh soal berikut:
Sebuah kolam renang berbentuk balok dengan ukuran panjang 10m, lebar 8m,
dan kedalaman 6m. Kolam renang itu diperluas dengan menambah panjang 2m
dan lebar 3m dengan kedalamannya tetap.
a. Berapakah daya tamping air pada kolam itu hingga penuh setelah
diperluas?
b. Jika alas dan sisi-sisi dinding dalam kolam tersebut dipasang keramik
dengan biaya Rp. 10.000,- setiap meter persegi, interpretasikanlah selisih
biaya untuk pemasangan keramik pada kolam sebelum dan sesudah
diperluas?
Dalam menyelesaikan soal tersebut, terdapat beberapa siswa kelas kontrol yang keliru
jika dibandingkan dengan jawaban siswa eksperimen dalam menghitung biaya
pemasangan keramik pada alas dan dinding dalam kolam, seperti yang terlihat pada
Gambar 3 berikut ini.
54
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Gambar 3. Hasil Perbandingan Jawaban Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas
Kontrol
Indikator penyelesaian masalah dengan melibatkan ekspresi matematis.
Berdasarkan jawaban siswa pada gambar di atas, siswa kelas kontrol belum mampu
menemukan hubungan informasi yang diberikan soal, sehingga jawaban siswa belum
lengkap dalam mengkomunikasikan indikator representasi yang diinginkan. Siswa
lupa dalam menghitung luas permukaan bagian dalam kolam tersebut seperti
menghitung luas permukan balok tanpa tutup pada siswa kelas eksperimen maupun
control, sehingga tidak ada ditemukan siswa kelas kontrol yang menjawab dengan
sempurna. Tetapi pada kelas eksperimen ditemukan ada beberapa siswa yang dapat
menyelesaikan masalah tersebut dengan baik, yaitu tiga orang.
2. Menjawab soal dengan menggunakan kata-kata atau teks tertulis.
Penyelesaikan soal dengan indikator ini diwakili oleh soal berikut:
Suatu perusahaan makanan akan mengemas produknya dalam kotak berbentuk prisma
segiempat. Dia mendesain dua kotak yaitu kotak I dan kotak II. Kotak I memiliki
ukuran sisi alasnya 9cm dan 6cm, serta tinggi kotak 12cm, sedangkan kotak II
55
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
memiliki ukuran sisi alasnya 8cm dan 6cm, serta tinggi kotak 11cm. bila kamu
direktur perusahaan itu, manakah yang kamu pilih? Mengapa kamu pilih itu?
Jawaban dari siswa sangat bervariasi, walaupun jawabannya kotak I atau kotak II
tetapi mereka memiliki interpretasi yang berbeda-beda terhadap alasan pemilihan
kotak tersebut, yang salah satunya seperti terlihat pada gambar 4.22 berikut ini.
Gambar 6. Hasil Perbandingan Jawaban Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas
Kontrol
Indikator menjawab soal dengan menggunakan kata-kata atau teks
tertulis
56
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Berdasarkan jawaban siswa di atas menunjukkan bahwa siswa kelas eksperimen
maupun kelas kontrol telah mampu mengaitkan antara suatu kasus yang nyata dalam
kehidupan sehari-hari dengan alasan logis matematis sehingga mereka dapat menarik
suatu kesimpulan dengan menggunakan kata-kata yang matematis.
Pada kasus indikator lainnya, sebagian besar siswa pada kelas eksperimen maupun
kelas kontrol sudah mampu menjawab soal dengan benar, meskipun siswa kelas
eksperimen lebih banyak menjawab yang benar daripada siswa kelas kontrol. Hal ini
dikarenakan kefokusan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran, sehingga
penjelasan materi yang disampaikan guru maupun teman sejawat dapat cepat diserap
oleh otak.
Selain itu, soal yang memiliki kriteria berpikir tingkat tinggi ini membuat siswa
merasa cukup kurang nyaman dan tegang, sehingga timbul rasa kurang percaya diri
(malu), cemas serta takut dalam pembelajaran maematika. Oleh karena itu, dengan
pemberian sugesti-sugesti positif dari hypnoteaching pada siswa akan dipersiapkan
agar merasa nyaman dan siap untuk belajar, serta menghilangkan perasaan cemas
dalam diri siswa dalam menghadapi permasalahan yang diberikan.
E. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis, hasil penelitian, dan pembahasan yang telah dikemukakan
sebelumnya, maka didapatkankesimpulan, sebagai berikut:
1. Peningkatan kemampuan representasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran
TAPPS disertai hypnoteaching lebih baik daripada siswa yang memperoleh
pembelajaran konvensional.
2. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan representasi matematis siswa yang
memperoleh pembelajaran TAPPS disertai hypnoteaching dan siswa yang memperoleh
pembelajaran konvensional terhadap kategori kemampuan awal matematis siswa
(tinggi, sedang, dan rendah), dimana lebih spesifik terdapat pada siswa berkemampuan
awal matematis yang berkategori tinggi dan rendah. Tetapi pasangan kemampuan awal
matematis tinggi dan sedang, serta sedang dan rendah tidak terdapat perbedaan.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
Goldin, A.(2002). Representation in Mathematical Learning and Problem Solving. Dalam English,
L.D (Ed) Handbook of International Research in Mathematic Education. Nahwah, New Jersey:
Lawrent Erlbaun Associated, Inc, 197-218
NCTM. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston, VA: NCTM
Ruseffendi.(2005). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta Lainnya. Bandung:
Tarsito.
57
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
PERBANDINGAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI
MATEMATIS ANTARA SISWA YANG BELAJAR
DENGAN PROBLEM BASED LEARNING DAN
DISCOVERY LEARNING
1.
Aulia Sthephani
1
Universitas Islam Riau, Jl. Kaharuddin Nasution No.113, Pekanbaru(11 pt)
1
[email protected]
Abstrak.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) perbedaan peningkatan kemampuan
komunikasi matematis siswa yang memperoleh Problem Based Learning dengan siswa yang memperoleh
Discovery Learning,(2) perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang
memperoleh Problem Based Learning dengan siswa yang memperoleh Discovery Learning jika ditinjau
dari kemampuan awal matematis. Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen yang terdiri dari
kelas eksperimen yang memperoleh Discovery Learning dan Problem Based Learning.Populasi penelitian
ini siswa SMP dikota Bandung Jawa Barat dengan sampel penelitian siswa kelas VII. Analisis data
dilakukan secara kuantitatif yang digunakan untuk menghitung rataan gain ternormalisasi antara kedua
kelas sampel dengan menggunakan Uji-t. Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan
peningkatan kemampuan komunikasi secara signifikan untuk kedua kelas eksperimen, dan tidak terdapat
perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi secara signifikan jika ditinjau dari kemampuan awal
matematis.
Kata Kunci: Model Problem Based Learning, Model Discovery Learning,
KomunikasiMatematis.
Kemampuan
A. PENDAHULUAN
Kemampuan komunikasi merupakan salah satu kompetensi penting yang harus dikembangkan.
Hal ini dikarenakan melalui komunikasi matematis, siswa dapat mengorganisasikan berpikir
matematisnya baik secara lisan maupun secara tulisan yang terjadi dalam proses pembelajaran.
Peressini dan Bassett (1996) mengemukakan bahwa tanpa komunikasi dalam matematika kita
akan memiliki sedikit keterangan, data, dan fakta tentang pemahaman siswa dalam melakukan
proses dan aplikasi matematis. Pentingnya kemampuan komunikasi dalam pembelajaran
matematika diungkapkan oleh Dahlan (2011) bahwa kemampuan komunikasi memegang
peranan penting dalam pembelajaran matematika sebagaimana aktivitas sosial di masyarakat.
Komunikasi matematis sebagai aktivitas yang dapat membantu siswa dalam mengekspresikan
ide-ide matematika dengan bahasa sendiri dan dapat dipahami oleh orang lain.Namun dalam
kenyataan di lapangan menunjukan bahwa siswa mengalami kesulitan dalam mengembangkan
kemampuan komunikasi matematisnya.Pengembangan kemampuan komunikasi matematis
masih kurang diperhatikan dalam pembelajaran matematika. Berdasarkan studi pendahuluan
yang peneliti lakukan terhadap siswa kelas VIII pada salah satu SMP berstandar nasional di kota
Bandung, menunjukan bahawa siswa belum mampu menerapkan konsep himpunan yang telah
58
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
mereka pelajari dalam menyelesaikan soal yang peneliti berikan. Dari 35 siswa yang
berpartisipasi, masih banyak siswa kurang bisa mengemukakan permasalahan dalam model
matematika.Hanya 13 siswa yang menjawab mengarah benar.Di antara siswa yang menjawab
salah, terdapat enam siswa tidak menjawab.
Salah satu cara untuk mengembangkan kemampuan komunikasi matematis adalah dengan
memilih dan menggunakan strategi, pendekatan, metode, dan teknik yang melibatkan siswa
aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik, maupun sosial.Pembelajaran melalui Discovery
learning dan Problem Basen Learning merupakan pembelajaran yang melatih siswa untuk aktif
dalam proses pembelajaran. Ruseffendi (1991) mengemukakan bahwa metode Discovery adalah
metode mengajar yang diatur sedemikian rupa sehingga anak memperoleh pengetahuan yang
sebelumnya belum diketahuinya itu tidak melalui pemberitahuan, dimana sebagian atau seluruh
pengetahuan ditemukan sendiri dengan bantuan guru. Menurut Markaban (2006) bahwa
penggunaan model penemuan terbimbing dalam belajar matematika dapat meningkatkan
kemampuan kognitif siswa, kemampuan komunikasi siswa dan kemampuan penalaran siswa.
Oleh karena itu Discovery merupakan salah satu pembelajaran yang dapat meningkatkan
kemampuan kognitif siswa antara lain komunikasi matematis.Selanjutnya Menurut Herman
(2007), Problem Based Learning atau pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu
pendekatan pembelajaran yang diawali dengan menghadapkan siswa dengan masalah
matematika. Dengan segenap pengetahuan dan kemampuan yang telah dimilikinya, siswa
dituntut untuk menyelesaikan masalah yang kaya dengan konsep-konsep matematika.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Problem Based Learning dan Discovery Learning memiliki
keunggulan yang masing-masing dianggap dapat meningkatkan kemampuan komunikasi
matematis siswa. Oleh karena itu pada penelitian ini akan dikaji “perbandingan kemampuan
komunikasi matematis antara
siswa yang belajar dengan
Problem Based Learning dan
Discovery Learning”
B. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah quasi-experimental dengan desain penelitiannya non-equilvalent
control group design.Kelas eksperimen DL merupakan siswa yang diberikan pembelajaran
dengan Discovery Learning sedangkan kelas eksperimen PBL merupakan siswa yang diberikan
pembelajaran dengan Problem Based Learning.Berikut merupakan gambaran desain penelitian.
O
X1
O
O
X2
O
Gambar 1. Desain penelitian
Keterangan:
59
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
O
: pretest dan posttest
X1 : Model Discovery Learning
X2
: Model Problem Based Learning
(Ruseffendi, 2005)
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMP N 14 di Kota Bandung dengan sampel
siswa SMP kelas VII.Pengambilan sampel dilakukan tidak secara acak siswa, tetapi dengan
menerima kelas seadanya yang telah diizinkan oleh sekolah. Dipilih dua kelas yang akan
dijadikan sebagai kelas eksperimen DL dan eksperimen PBL.Variabel bebas dalam penelitian
ini adalah: (1) model pembelajaran Problem Based Learning; (2) model pembelajaran
Discovery learning. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah komunikasi matematis siswa.
Intrumen pada penelitian berupa tes kemampuan komunikasi matematis disusun dalam
bentuk uraian.Pedoman penskoran tes kemampuan komunikasi matematis, menggunakan
pedoman yang diusulkan Cai, Lane dan Jakabcin (1996).
Bahan tes diambil dari materi pelajaran Matemtika yang berkaitan dengan soal tes kemampuan
komunikasi matematis. Sebelum soal instrumen digunakan dalam penelitian, soal tersebut
diujicobakan terlebih dahulu pada siswa yang telah memperoleh materi yang berkenaan dengan
yang akan diteliti. Ujicoba dilakukan untuk mendapatkan alat ukur yang sesuai.Data yang
diperoleh dari hasil ujicoba tes kemampuan komunikasi matematis ini dianalisis untuk
mengetahui reliabilitas, validitas, daya pembeda dan tingkat kesukaran tes.Data diolah dengan
menggunakan bantuan Anates V.4 for Windows. . Sedangkan data hasil pretes, postes, NGaindiolah dengan bantuan program Microsoft Excel dan software SPSS Versi 21 for Windows.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menganalisis perbedaan peningkatan kemampuan
komunikasi dan kemandirian belajar siswa yang memperoleh Problem Based Learning dengan
siswa
yang
memperoleh
Discovery
Learning.Pada
penelitian
ini
tes
kemampuan
komunikasimatematis dilakukan sebanyak dua kali, yaitu sebelum pembelajaran dan sesudah
pembelajaran. Tes ini diberikan kepada kelas PBLyang memperoleh Problem Based Learning
dan kelas DL yang memperoleh Discovery Learning.
Data hasil kemampuan komunikasi matematis diperoleh dari jawaban pretes dan postes.
Peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa dilihat dari data skor Gain ternormalisasi
antara kelas PBL dan kelas DL. Pengolahan data pada penelitian ini adalah menggunakan
aplikasi Microsoft Office Excel 2013 dan Software SPSS Statistics 21. Berikut secara
keseluruhan deskriptif kemampuan komunikasi matematis siswa.
60
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Tabel 1. Statistik deskriptif Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa
Nilai
Kelas DL
Kelas PBL
Kemampuan
Komunikasi
N
Xmin
Xmaks
Sd
N
Xmin
Xmaks
Pretes
40
0
8
Postes
40
7
N_Gain
40
0,22
Sd
3,50
2,41
40
0
10
3,28
2,29
27
16,07
5,41
40
7
28
17,52
5,69
0,95
0,52
0,18
40
0,13
1,00
0,58
0,21
Skor Maksimal Ideal = 28
Tabel 1 menunjukan bahwa rataan skor pretes kelas DL dan kelas PBL masing-masing sebesar
yaitu 3,50 dan 3,28. Selisih rata-rata skor pretes kedua kelas sebesar 0,22. Hal ini berarti
diperoleh asumsi bahwa kemampuan awal kedua kelas tidak jauh berbeda. Sedangkan rataan
skor N-Gain untuk kedua kelas masing-masing sebesar 0,52 dan 0,58. Selisih dari rataan N-Gain
kedua kelas sebesar 0,06. Hal ini menunjukan bahwa kelas DL dan kelas PBL diasumsikan
peningkatan kemampuan komunikasi matematis kedua kelas tidak jauh berbeda. Jika dilihat dari
rata-rata skor N-Gain, maka diperoleh asumsi bahwa peningkatan kemampuan komunikasi
matematis kelas eksperimen DL sama dengan kemampuan komunikasi kelas eksperimen PBL.
Namun untuk memastikan asumsi-asumsi tersebut, dilakukan pengujian statistik pada bagian
selanjutnya.
Simpangan baku untuk skor pretes kedua kelas juga tidak menunjukan perbedaan yang cukup
besar artinya penyebaran data pada kedua kelas relatif sama. Simpangan baku untuk pretes kelas
DL sebesar 2,41 dan simpangan pretes kelas PBL sebesar 2,29. Sedangkan simpangan baku
skor N-Gain kelas DL dan kelas PBL masing-masing 0,18 dan 0,21 sehingga diperoleh
penyebaran peningkatan kedua kelas tidak memiliki perbedaan yang cukup besar, namun kelas
DL memiliki penyebaran skor N-Gain yang lebih rapat dari pada kelas PBL.
Analisis uji kesamaan rataan hasil pretes bertujuan untuk memperlihatkan tidak terdapat
perbedaan yang signifikan terhadap kemampuan komunikasi awal antara kelas DL dan kelas
PBL sebelum pembelajaran.Jenis statistik uji kesamaan rataan yang digunakan dapat diketahui
dengan terlebih dahulu melakukan uji normalitas sebaran data dan homogenitas varians. Jika
data memenuhi syarat normalitas dan homogenitas, maka uji kesamaan rataan menggunakan
Uji- , sedangkan jika data normal tetapi tidak homogen menggunakan Uji- ′, dan untuk data
yang tidak memenuhi syarat normalitas, menggunakan uji non-parametrik, Uji Mann-Whitney.
Uji normalitas dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk melalui IBM SPSS statistics 21
diperlihatkan pada tabel berikut:
61
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Tabel 4.2
Uji Normalitas Pretes
kelas
Shapiro-Wilk (SW)
Statistic
Sig.
Ket
DL
.939
.033
H0 ditolak
PBL
.923
.009
H0 ditolak
Karena data pretes berdistribusi tidak normal, maka tidak dilakukan uji homogenitas varians.
Langkah selanjutnya dilakukan uji peringkat antara kemampuan komunikasi awal siswa kelas
DL dengan siswa kelas PBL. Uji statistik yang digunakan adalah uji Mann-Whitney(2-tailed)
dengan mengambil taraf signifikansi (īĄ)sebesar 0,05.Hasil dari analisis uji MannWhitneydisajikan pada Tabel di bawah ini.
Tabel 3
Hasil Uji Mann-Whitney
Gain komunikasi
Mann-Whitney U
744.000
Sig. (2-tailed)
.586
Berdasarkan tabel tidak ada perbedaan kemampuan komunikasi awal antara siswa yang kelas
DL dengan siswa kelas PBL. Telah diketahui sebelumnya bahwa kemampuan awal komunikasi
matematis siswa sebelum diberi perlakuan pembelajaran menunjukan tidak ada perbedaan yang
signifikan. Berdasarkan table 1 jika ditinjau secara keseluruhan terlihat bahwa rataan
peningkatan (N-Gain) kemampuan komunikasi siswa yang memperoleh pembelajaran dengan
Discovery Learning tidak jauh berbeda dari siswa yang memperoleh pembelajaran dengan
Problem Based Learning. Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan peningkatan
kemampuan komunikasi matematis secara keseluruhan dilakukan uji perbedaan rataan N-Gain.
Namun sebelum dilakukan pengujian menggunakan uji perbedaan rataan tersebut , terlebih
dahulu dilakukan uji normalitas dan homogenitas data N-Gain.
Perhitungan hasil uji normalitas dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4
Hasil uji Normalitas Data N-Gain Kemampuan Komunikasi Matematis
Shapiro-Wilk
Model pembelajaran Statistic df
Sig.
Gain Komunikasi DL
.964
40
.225
PBL
.981
40
.718
Berdasarkan Tabel 4 nilai sig. untuk kedua kelas > = 0.05, artinya H0 diterima sehingga
peningkatan di kelas DL dan kelas PBL berdistribusi normal.
Dikarenakan data berdistribusi normal, selanjutnya dilakukan uji homogenitas untuk melihat
kesamaan varians data kedua sampel. Uji homogenitas data dilakukan dengan menggunakan uji
62
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Levene Statistic pada taraf
berikut.
= 0.05. Adapun hasil uji homogenitas ini dapat dilihat pada tabel
Tabel 5
Hasil Uji Homogenitas Variansi Data N-Gain kemampuan Komunikasi
Statistik
Sig.
Ket
Uji Levene
1.069
.304
Homogen
Berdasarkan tabel tersebut, hasil signifikansi uji homogentitas data N-Gain adalah 0.304. Nilai
signifikansi ini lebih besar dari
= 0.05, sehingga dapat disimpulkan bahwa H0 diterima,
artinya kedua sampel memiliki varians sama. Selanjutnya dilakukan uji Independent_Samples T
Test untuk menguji kesamaan rataan N-Gain kemampuan komunikasi Matematis.Hasil uji
kesamaan dua rataan N-Gain kemampuan komunikasi matematis berdasarkan model
pembelajaran dengan menggunakan uji-t dapat dilihat pada table berikut:
Tabel 6
Hasil Uji Kesamaan Dua Rata-rata N-Gain Kemampuan Komunikasi Matematis
thitung
df
Sig.(2-tailed)
Keterangan
-1.346
78
.182
H0 diterima
Berdasarkan kriteria uji-t yang digunakan, jika nilai sig>
= 0.05, ini berarti H0
diterima.Dengan demikian dapat disimpulkan tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan
komunikasi antara siswa yang memperoleh pembelajaran Discovery Learning secara signifikan
dengan siswa yang memperoleh pembelajaran Problem Based Learning secara keseluruhan.
D. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa:
Tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang
memperoleh Problem Based Learning dengan siswa yang memperoleh Discovery Learning
Dalam penelitian ini, ada beberapa saran yang akanpeneliti kemukakan, diantaranyasebagai
berikut.
1.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan peningkatan yang signifikan
antara siswa yang memperoleh Problem Based Learning dengan siswa yang memperoleh
Discovery Learning. Ini berarti bahwa kedua model tersebut dapat digunakan sebagai
alternatif pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan komunikasi.
2.
Perlu diperhatikan kondisi pembagian kelompok siswa, sehingga nantinya setiap siswa
dapat berpartisipasi aktif dalam proses belajar mengajar.
3.
Pengaturan waktu sebaik mungkin agar proses pembelajaran sesuai dengan yang
diharapkan. Karena pembelajaran dengan discovery learning dan problem based learning
63
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
sesungguhnya membutuhkan waktu yang cukup banyak sehingga perlu manajemen waktu
yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
Dahlan, A. J. (2011). Analisis Kurikulum Matematika. Jakarta: Universitas Terbuka.
Cai, J., Lane, S., dan Jakabcin, M.S. (1996). Assesing Student Mathematical Communication.
Official Journal of The Science an Mathematics 238-246
Herman, T. (2007). Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran
Matematis Siswa SMP. Jurnal FMIPA-UPI. Cakrawala Pendidikan. Februari, 41-62.
Peressini, D dan Bassett, J. (1996). Mathematical Communication in Students’ Responses to a
Performance-Assessment Task. Dalam P.C Elliot and M.J Kenney (Eds). Yearbook. Communication
in Mathematics, K-12 and Beyond, 146-158. Reston: NCTM, Inc.
Russeffendi. (2005). Dasar-dasar penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta Lainnya.
Bandung: Tarsito.
64
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
PENGARUH PENERAPAN STRATEGI
PEMBELAJARAN AKTIF TIPE LEARNING
TOURNAMENT
TERHADAPPEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS
SISWAKELAS VIII SMPN 27 PADANG
Deby Yolanda1, Rina Febriana2
1
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Sumatera Barat
Staf Pengajar Program Studi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Sumatera Barat
2
Abstrak. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pemahaman konsep siswa yang masih rendah dan siswa
kurang bertanggung jawab dalam menyelesaikan soal latihan yang diberikan oleh guru. Penelitian ini
bertujuan apakah kemampuan pemahaman konsep matematis siswa dengan penerapan strategi
pembelajaran aktif tipe Learning Tournament lebih baik dari pada kemampuan pemahaman konsep
matematis siswa dengan pembelajaran konvensional pada siswa kelas VIII SMPN 27 padang.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan rancangan penelitian random terhadap subjek.
Populasi pada penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMPN 27 Padang Tahun pelajaran 2015/2016.
Teknik pengambilan sampel dilakukan secara acak, dengan kelas VIII.3 sebagai kelas eksperimen dan
kelas VIII.4 sebagai kelas kontrol. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes dan bentuk
tes yang digunakan adalah essay dengan reliabilitasnya 0,89. Berdasarkan analisis data tes akhir diketahui
bahwa kedua kelas sampel berdistribusi normal dan homogen.
Pengujian hipotesis digunakan uji-t satu pihak, diperoleh
= 4,48 lebih besar dari
= 1,67
maka hipotesis yang diajukan diterima pada selang kepercayaan 95%. Jadi disimpulkan bahwa
kemampuan pemahaman konsep matematis siswa dengan menggunakan strategi pembelajaran aktif tipe
Learning Tournament lebih baik daripada kemampuan pemahaman konsep matematis siswa dengan
menggunakan pembelajaran konvensional pada kelas VIII SMPN 27 Padang.
Kata kunci: Learning Tornament, pemahaman konsep
A. Pendahuluan
Matematika merupakan salah satu ilmu yang mempunyai peranan penting dalam dunia
pendidikan. Hal ini disebabkan karena matematika merupakan salah satu ilmu dasar esensial
yang dapat diterapkan dalam berbagai bidang kehidupan. Oleh karena itu, matematika dijadikan
sebagai salah satu mata pelajaran wajib pada setiap jenjang pendidikan, mulai dari sekolah
dasar, sekolah menengah hingga perguruan tinggi.
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan pada tanggal 2-3 Oktober 2015 di SMPN 27
Padang kelas VIII, terlihat pada saat guru menjelaskan pelajaran siswa kurang antusias dalam
mengikuti pelajaran. Siswa kurang memperhatikan guru dalam menjelaskan pelajaran. Siswa
mencatat materi dan kemudian guru memerintahkan siswa mengerjakan soal latihan, tetapi
hanya beberapa siswa saja yang mau mengerjakan. Siswa tidak aktif dalam pembelajaran, siswa
hanya menunggu dan mendengar penjelasan yang diberikan guru tanpa mau bertanya, dan tidak
bisa mengembangkan pengetahuan mereka. Siswa kesulitan dalam menyelesaikan soal yang
65
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
berbeda dengan contoh soal yang diberikan. Sehingga siswa tidak mampu mengembangkan
pemahaman konsepnya sendiri.
Salah satu model pembelajaran yang dapat meningkatkan pemahaman konsep siswa adalah
dengan penerapan pembelajaran Aktif Tipe Learning Tournament. Learning Tournament adalah
pembelajaran aktif yang menggabungkan siswa menjadi kelompok belajar dan kompetisi tim
dan bisa digunakan untuk meningkatkan pembelajaran beragam fakta dan konsep. Dalam proses
pembelajaran setiap kelompok akan berusaha untuk memenangkan kompetisi untuk
keberhasilan kelompok. Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul
“Pengaruh Penerapan Strategi Pembelajaran Aktif Tipe Learning Tournament terhadap
Pemahaman Konsep Matematis Siswa Kelas VIII SMPN 27 Padang.”
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah kemampuan pemahaman konsep matematis
siswa dengan penerapan strategi pembelajaran aktif tipe Learning Tournament lebih baik
daripada kemampuan pemahaman konsep matematis siswa dengan pembelajaran konvensional
pada kelas VIII SMPN 27 Padang.
Penelitian relevan dengan penelitian ini adalah Dio Suryanto pada tahun 2014 yang berjudul “
Pengaruh penerapan strategi pembelajaran aktif tipe Learning Tournament terhadap pemahaman
konsep matematis siswa kelas XI IPA SMA BUNDA PADANG. Kesimpulan yang diperoleh
adalah pemahaman konsep matematika siswa dengan strategi pembelajaran aktif tipe Learning
Tournament lebih baik dari pembelajaran konvensional.
B. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 19
januari s/d 3 februari 2016 semester II dikelas VIII SMPN 27 Padang.
Pengambilan sampel dilakukan secara acak. Pengambilan pertama kelas VIII.3 sebagai kelas
eksperimen dan pengambilan kedua yaitu kelas VIII.4 sebagai kelas kontrol.
Instrumen penelitian berupa tes yang berbentuk essay yang disusun berdasarkan materi yang
telah dipelajari. Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi atau validitas
kurikulum. Arikunto (2009:67).
Analisis data menggunakan uji t seperti yang dikemukakan oleh Arikunto (2010: 124).
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian berupa hasil tes akhir yang menunjukkan pemahaman konsep siswa yang
diperoleh berdasarkan pada kedua kelas sampel. Dapat dilihat pada Tabel berikut ini:
66
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Kelas Sampel
x
S
Xmaks
Xmin
Eksperimen
77,85 10,86 96,97 48,48
Kontrol
51,63 20,51 90,91 15,55
Berdasarkan Tabel di atas, bahwa rata-rata pemahaman konsep matematis siswa kelas
ekperimen lebih tinggi daripada kelas kontrol dengan nilai rata-rata kelas eksperimen adalah
10,86 dan kelas kontrol adalah 51,63. Selain itu, simpangan baku kelas eksperimen lebih kecil
dibandingkan dengan simpangan baku kelas kontrol, dimana simpangan baku kelas eksperimen
adalah 10,86 dan kelas kontrol adalah 20,51. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelas
eksperimen memiliki keragaman yang kecil, sehingga menyebabkan pada umumnya nilai
tersebar tidak terlalu jauh dari nilai rata-rata kelas. Selain itu , nilai maksimum dan minimum
yang diperoleh siswa pada kelas ekperimen lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol, dimana
nilai maksimum pada kelas ekperimen adalah 96,67 dan nilai minimum 48,48, sedangkan pada
kelas kontrol nilai maksimum adalah 90,91 dan nilai minimum adalah 15,15
=
Hasil perhitungan uji hipotesis yang dilakukan menggunakan uji t yang diperoleh
4,48 dengan
= 1,67412, karena
>
maka terima H1, dapat disimpulkan
bahwa kemampuan pemahaman konsep matematis siswa dengan penerapan strategi
pembelajaran aktif tipe Learning Tournament lebih baik daripada kemampuan pemahaman
konsep matematis siswa dengan pembelajaran konvensional pada siswa kelas VIII SMPN 27
Padang.
D. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh setelah melakukan analisis dan pembahasan
terhadap masalah yang telah dikemukakan dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan
kemampuan pemahaman konsep matematis siswa dengan menggunakan strategi aktif tipe
Learning Tournament lebih baik daripada kemampuan pemahaman konsep matematis siswa
dengan menggunakan pembelajaran konvensional pada kelas VIII SMPN 27 Padang.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
Arikunto, Suharsimi. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. rev.ed.Jakarta: PT
Rineka Cipta.
________.2008. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan.Jakarta: Bumi Aksara.
Dio Suryanto.2014. Pengaruh Penerapan strategi pembelajaran aktif tipe Learning Tournament
terhadap pemahaman konsep matematis siswa kelas XI IPA SMA BUNDA Padang. Skripsi
pendidikan matematika. Padang: Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan. PGRI SUMBAR
Muliyardi.(2002).Strategi Pembelajaran Matematika. Padang: FMIPA UNP.
67
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
PENERAPAN METODE DISCOVERY BERBANTUAN
GEOMETER’S SKETCHPAD (GSP) PADA
PEMBELAJARAN ALJABAR RENDAH UNTUK
MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MAHASISWA
PENDIDIKAN MATEMATIKA FKIP UNIVERSITAS
BEGKULU
Effie Efrida Muchlis 1, Syafdi Maizora 2
1,2)
Universitas Bengkulu, Bengkulu
ABSTRAK. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui 1) bagaimana cara meningkatkan aktivitas
mahasiswa dalam pembelajaran aljabar rendah dengan menggunakan metode discovery yang berbantuan
GSP pada Program studi pendidikan matematika. 2) bagaimana hasil belajar mahasiswa dalam
pembelajaran aljabar rendah dengan menggunakan metode discovery berbantuan GSP pada Program studi
pendidikan matematika. Subyek penelitian ini adalah mahasiswa mata kuliah aljabar rendah tahun
akademik 2015/2016. Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas dengan alur pelaksanaan
tindakan : rencana tindakan īƒž pelaksanaan tindakan īƒž observasi īƒž refleksi īƒž rencana tindakan
selanjutnya. Pengumpulan data menggunakan lembar observasi, lembar tes, dan foto. Dari penelitian
yang telah dilakukan disimpulkan bahwa 1) Cara meningkatkan aktivitas mahasiswa dalam pembelajaran
aljabar rendah yang berbantukan GSP pada Program studi pendidikan matematika adalah sebagai berikut :
(a). Mengamati gambar dan nilai yang tertera pada software GSP dan menentukan hubungannya. (b).
Meminta mahasiswa untuk menganalisis data-data khusus yang diperoleh dengan bantuan software GSP
untuk mendapatkan kesimpulan konsep secara umum. (c). Memberikan pertanyaan-pertanyaan yang
dapat membatu mahasiswa menemukan hubungan antar konsep. (d). Meminta mahasiswa mengemukakan
gagasan pada saat proses pengambilan kesimpulan. 2. Hasil belajar aljabar rendah meningkat yaitu dari
nilai rata-rata 63,25 dengan ketuntasan belajar secara klasikal 75% pada siklus1 dan pada siklus 2
mencapai nilai rata-rata 69,11 dengan ketuntasan belajar secara klasikal 82,5% serta pada siklus 3
mencapai nilai rata-rata 75,02 dengan ketuntasan belajar secara klasikal 85%.
Kata kunci : discovery, GSP, aktivitas dan hasil belajar
A. PENDAHULUAN
Mata kuliah aljabar rendah adalah matakuliah yang sebagian besar materi yang diajarkan adalah
materi yang sudah diterima mahasiswa sewaktu menempuh pendidikan di Sekolah Menengah
Atas (SMA). Agar mata kuliah ini lebih dipahami oleh mahasiswa maka pada pelaksanaan
perkuliahannya dilakukan dengan meminta mahasiswa untuk menemukan dan menyelidiki
mengenai konsep yang akan ditemukan. Karena dengan melaksanakan penyelidikan mahasiswa
dilatih untuk menganalisis berbagai bentuk masalah khusus melalui bimbingan dosen untuk
menemukan satu konsep baru dari materi aljabar yang berbantuan GSP.
Perkuliahan yang dilaksankan pada matakuliah aljabar rendah ini dilakukan dengan bantuan
software GSP. Didalam pembelajarannya banyak sekali menggambar grafik, sehingga untuk
melihat bentuk gambar grafik yang benar maka mahasiswa dapat menyelidiki gambar yang
68
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
diperoleh dengan menggambar secara manual dan membandingkannya dengan gambar yang
dibuat dengan bantuan GSP. Melakukan kegiatan penyelidikan dapat meningkatkan kesadaran
pribadi mahasiswa untuk memperoleh pengalaman langsung dalam kegiatan belajar mengajar.
Keterlibatan langsung siswa dalam menemukan suatu konsep dalam pembelajaran dengan
menyelidiki bentuk-bentuk khusus suatu permasalahan sehingga mendapatkan konsep baru
dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam pembelajaran, sejalan dengan yang diungkapkan
oleh Suprihatiningrum (2013 : 242) “guru menekankan keterlibatan siswa secara aktif, orientasi
induktif lebih ditekakkan dari pada deduktif, dan siswa menemukan atau mengkonstruksi
pengetahuan mereka sendiri”. Pengalaman yang diperoleh mahasiswa saat pembelajaran sangat
membantu mahasiswa dalam memahami materi dan menghubungkan konsep sebelumnya yang
dimiliki mahasiswa untuk mendapatkan konsep baru.
Pelaksaanaan perkuliahan pada matakuliah aljabar ini dilaksanakan dengan menggunakan
metode discoveri, metode ini menuntut mahasiswa untuk melakukan penemuan dan
mendapatkan pengalaman baru yang berkaitan dengan pemahaman suatu konsep. Seperti yang
diungkapkan oleh Illahi (2012 : 35) “pembelajaran harus menggunakan pengalaman anggota
kelas, sehingga pemahaman suatu konsep atau teori pembelajaran benar-benar terrelialisasikan
dengan baik”. Bentuk pembelajaran dengan menggunakan metode discovery meningkatkan
kemampuan mahasiswa untuk mampu menggeneralisasikan suatu konsep, yaitu mengajarkan
konsep dengan mengajak mahasiswa untuk mengidentifikasi karakteristik-karakteristik suatu
konsep secara khusus untuk mendapatkan suatu konsep baru secara umum. Bentuk
pembelajaran yang dapat membantu mahasiswa dalam menggeneralisasika sutu konsep adalah
dengan memberikan contoh yang merupakan bentuk generalisasi sesuai yang diungkapkan oleh
Eggen (2012 : 181) “generalisasi merupakan suaru pernyataan yang menghubungkan konsepkonsep satu sama lain dalam pola-pola umum” melalui hubungan natar konsep yang telah
dipelajari dan menyelidiki karakteristik-karakteristik khusus yang ditemukan pada sutu kasus
atau permasalahan akan menemukan satu konsep baru dalam meteri yang dipelajari.
Pelaksanaan perkuliahan dengan menggunakan metode discovery memiliki tujuan yaitu
mahasiswa mampu mengidentifikasi karakteristik yang terdapat pada konsep untuk menemukan
satu konsep baru secara umum (Eggen, 2012 : 183). Dengan demikian kemampuan mahasiswa
untuk menarik konsep secara umum sangat membantu pemahaman mahasiswa dalam
mempelajari materi aljabar rendah ini. Agar pelaksanaan perkuliahan dengan menggunakan
metode discovery dapat berlangsung dengan efektif, maka dilakukanlah Fase-fase dalam
menerapkan pelajaran dengan model discovery Eggen (2012 : 190) yaitu:
1. Pendahuluan
Menarik perhatian mahasiswa dan menetapkan fokus pelajaran.
2. Fase terbuka
69
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Memberi contoh dan meminta mahasiswa mengamati dan
membandingkan contoh-contoh
3. Fase Konvergen
Menanyakan pertanyaan-pertanyaan lebih spesifik yang dirancang untuk
membimbing siswa mencapai pemahaman tentang konsep dan
generalisasi.
4. Penutup dan penerapan.
Dosen membimbing mahasiswa memahami definisi suatu konsep atau
pernyataan generalisasi dan siswa menerapkan pemahaman mereka ke
dalam konteks baru.
Dalam pelaksanaannya perkuliahan dengan menggunakan metode discovery, peneliti
melaksankan perkuliahan dengan bantuan media berupa GSP. Software GSP ini merupakan
suatu media yang bermanfaat dan membantu dalam pelkasanaan perkuliahan yang banyak
melibatkan kegiatan menggambar grafik. Dengan bantu GSP ketelitian dalam menggambar
grafik yang dilakukan secara manual dapat diketahui kebenarannya melalui bantuan software
ini. Spark (2009: 22) dalam bukunya “Teaching Mathematics with The Geometer’s Sketchpad”
menjelaskan bahwah banyak manfaat yang dirasakan dalam pelaksanaan pembelajaran dengan
menggunakan GSP diantaranya adalah :
1. Sketchpad Support Elementery school students development of number
and early aljebra concept.
2. Sketchpad strengthens students conceptual understanding of geometric
shapes.
3. Sketchpad motivates student and increase their enjoyment
ofmathematics.
Park menjelaskan bahwa manfaat penggunaan software GSP adalah dapat meningkatkan
pemahaman konsep aljabar dan bangun-bangun geometri, dapat meningkatkan motivasi pelajar
agar merasa senang dalam mempelajari matematika. Software GSP ini sangat membantu
mahasiswa dalam melakukan penemuan dapat membantu dalam mengidentifikasi konsep yang
akan ditemukan. Seperti yang diungkapkan oleh Bannett (1999 : ix-x) manfaat lain yang
dipeoleh dalam penggunaan software GSP adalah “Opportunities for student insight come many
place throughout the cours of an investigation, not just from dragging a completed
construction”. Disini dijelaskan bahwa GSP dapat membantu proses pembelajaran dengan
melaksanakan penyelidikan.
Pelaksanaan perkuliahan dengan menggunakan metode discovery yang berbatuan software GSP
sangat membantu mahasiswa dalam memahami suatu konsep melalui kegiatan penemuan dan
penyelidikan. Kegiatan demikian dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar mahasiswa
pada matakuliah aljabar rendah pada program studi pendidikan matematika FKIP Universitas
Bengkulu.
70
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
B. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang dilaksankan adalah penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research)
yang dilaksanakan dalam beberapa siklus. Dimana pelaksanaannya terdiri dari langkah-langkah
: perencanaan, pelaksanaan, observasi, refleksi. Subjek
dalam penelitian
ini
mahasiswa
Progaram Studi Pendidikan Matematika yang mengambil mata kuliah aljabar rendah pada
semester ganjil tahun akademik 2015/2016. Data diperoleh dengan menggunakan instrumen
berupa lembar observasi, tes siklus dan dokumentasi. Pelaksanaan pembelajaran dilaksanakan
dengan menggunakan metode discovery yang berbantuan software GSP. Data yang diambil dari
tes hasil belajar digunakan untuk mengetahui nilai hasil tes belajar mahasiswa yang belajar
dengan menggunakan metode discovery yang berbantuan GSP. Lembar observasi digunakan
untuk mengetahui aktivitas mahasiswa selama pembelajaran dengan menggunakan metode
discovery yang berbantuan software GSP. Pada lembar observasi terdiri dari 10 aspek yang
diamati. Data hasil observasi di analisis dan dideskripsikan dalam bentuk narasi. Dokumentasi
berupa foto aktivitas selama pembelajaran dan portofolio hasil tugas dan latihan dalam bentuk
softcopy untuk penggunaan softwaare GSP. Adapun indikator keberhasilan dalam penelitian ini
adalah:
1. Aktivitas mahasiswa meningkat pada setiap siklus, dan berada pada kriteria aktif.
2. Hasil belajar mahasiswa memperoleh nilai > 65 sebanyak 85%.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilaksankan dalam tiga siklus pada matakuliah Aljabar Rendah dengan bobot 2-0
SKS. Dalam pelaksanaan pembelajarannya dilaksanakan dengan menggunakan metode
discovery yang berbantuan software GSP. Pembelajaran dimulai dengan dosen memberikan
permasalahan yang dapat membuat mahasiswa melakukan identifikasi untuk menarik suatu
kesimpulan berupa konsep baru. Penemuan juga dilakukan dengan cara mengidentifikasi
masalah dengan menggunakan software GSP. Setelah diperoleh suatu konsep, mahasiswa
diminta untuk mempresentasikan hasil yang diperoleh baik yang mengidentifikasi dengan
manual maupun yang berbantuan software GSP.
Siklus 1 perkuliahan dilaksanakan dosen memberikan permasalahan untuk menyelidiki letak
akar-akar persamaan kuadrat. Mahasiswa akan menemukan dengan menyelidiki nilai D dari
persamaan kuadrat, penemuan dilakukan dengan bantuan software GSP. Masalah yang
diberikan adalah : Selidikilah letak akar-akar persamaan kuadrat ax2 + bx + c = 0 dalam
hubungannya dengan grafik fungsi tersebut.
Diawal perkuliah mahasiswa masih kebingungan ketika mengamati gambar yang diperoleh.
Belum bisa memahami dan menghubungkan antar titik yang diperoleh, perbedaan setiap gambar
71
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
yang dihasilkan dan menganalisis dari setiap titik dan gambar untuk mendapatkan kesimpulan
akhir. Agar mahasiswa dapat menemukan konsep dosen membantu mahasiswa dengan
memberikan pertanyaan-pertanyaan yang dapat membantu mahasiswa menganalisis data yang
diperoleh. Perhatikan nilai a, b, dan c?, dari gambar yang diperoleh coba hubungkan dengan
nilai D yang didapat? Amati dan temukan hubungan antara nilai D yang diperoleh dengan
gambar yang didapat?. Melalui pertanyaan-pertanyaan seperti ini mahasiswa mulai
menggunakan konsep yang selama ini telah diperoleh dan mengemukakan gagasan mereka
untuk mendapatkan konsep baru.
Dalam pembelajaran pengalaman sangat membantu mahasiswa dalam menganalisis data dan
menarik kesimpulan. Setelah mengamati gambar-gambar yang diperoleh melalui software GSP,
mahasiswa dapat menarik beberapa kesimpulan. Berikut hasil analisis beberapa mahasiswa
dalam menentukan letak akar-akar persamaan kuadrat dalam grafik fungsi dengan menggunakan
GSP, dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut :
Mahasiswa 1
Mahasiswa 2
Mahasiswa 3
Mahasiswa 4
Gambar 2.1 Jawaban mahasiswa dalam menemukan hubungan niali D dengan grafik fungsi
kuadrat
Dari pengamatan dan data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa ketika nilai D ≤ 0
maka grafik akan terletak diatas atau dibawah atau menyinggung sumbu x. Sedangkan jika nilai
D > 0 maka grafik akan memotong sumbu x disuatu titik. Setelah mahasiswa menggunakan data
dan menganalisisnya maka mahasiswa dibimbing untuk memahami dengan mempresentasikan
72
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
hasil penemuan yang telah dilakukan. Dengan demikian mahasiswa dapat mengungkapkan
gagasan yang dimiliki dalam melakukan penemuan dengan bantuan software GSP.
Nilai rata-rata hasil belajar yang diperoleh pada siklus satu adalah 63,52 dimana ketuntasan
belajar klasikal yaitu 75% dengan 10 mahasiswa yang tidak tuntas dan aktivitas mahasiswa
masih berada pada kategori cukup aktif dengan rata-rata skor pengamat 21,25. Pada siklus satu
ini, mahasiswa masih terlalu sering menanyakan hal apa saja yang harus diamati dalam
pengumpulan data. Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa masih mengalami kesulitan dalam
pengumpulan data untuk menarik suatu kesimpulan. Selain itu diskusi kelas masih didomonasi
oleh mahasiswa tertentu saja.
Siklus 2, mahasiswa diminta menemukan bentuk umum mencari titik puncak fungsi kuadrat.
Penemuan terhadap bentuk umum nilai optimum dari suatu fungsi, akan memudahkan
mahasiswa ketika menggambarkan grafik fungsi kuadrat secara manual. Langkah yang
dilakukan mahasiswa adalah dengan mencoba menentukan hubungan antara nilai a, b dan c
yang telah dipilih mahasiswa
pada fungsi kuadrat dan menghubungkannya dengan nilai
maksimum atau minimum yang diperoleh dari gambar. Kegiatan penemuan dengan cara
menentukan nilai a, b, dan c secara sembarang dengan bantuan GSP. Simulasi dilakukan
beberapa kali, hasil simulasi berupa data yang harus dianalisis untuk dapat menarik kesimpulan
dari bentuk umum dalam mencari nilai maksimum dan nilai minimum suatu fungsi kuadrat.
Dengan menggunakan GSP mahasiswa melakukan penemuan dengan mengamati beberapa
gambar yang diperoleh. Mahasiswa sudah mulai terbiasa dengan mengidentifikasi beberapa hal
khusus untuk mendapatkan satu konsep baru. Seperti pada waktu menemukan bentuk umum
dari titik puncak. Aktivitas yang dilakukan mahasiswa adalah mengamati beberapa gambar yang
terbentuk dengan menggunakan GSP dan mendiskusikan dengan teman lainnya yang
memperoleh gambar yang berbeda. Grafik fungsi kuadrat yang didapat ada beberapa bentuk.
Dapat dilihat pada Gambar 2.3 berikut :
Mahasiswa 1
Mahasiswa 2
Mahasiswa 3
Mahasiswa 4
73
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Gambar 2.2 jenis-jenis garafik yang ditemukan oleh mahasiswa pada saat menentukan
koordinat titik puncak.
Dari grafik yang diperoleh dengan menggunakan GSP, mahasiswa mengamati nilai D yang
diperoleh dan titik koordinat titik puncak yang didapat, dari keempat grafik yang diamati .
Untuk menentukan bentuk umum dari titik puncak, mahasiswa diarahkan untuk mengamati
koordinat pada titik puncak. Untuk menentukan titik puncak koordinat x maka mahasiswa dapat
mengamati koordinat x titik puncak pada gambar dengan nilai a dan b yang tertera pada gambar.
Dari keempat gambar yang dihasilkan maka mahasiswa membandingkan setiap koordinat x
pada titik puncak. Perbandingan koordinat x titik puncak dengan nilai a dan b yang diperoleh
dari keempat gambar maka diperoleh kesimpulan yang sama bahwa titik puncak x = -b/2a.
Untuk koordinat y maka titik puncaknya dapat diperoleh dengan membandingkan nilai D
dengan nilai a. Dari keempat gambar yang diamati maka diperoleh bahwa titik puncak y = D/4a.
Selama perkuliahan berlangsung, mahasiswa diarahkan untuk mengamati kasus-kasus yang
diberikan, meminta mahasiswa untuk mempresentasikan hasil yang diperoleh dengan
menjelaskan gambar yang diperoleh melalui GSP dengan konsep yang ditemukan, selain itu
aktivitas mahasiswa sudah meningkat ditandai dengan kemampuan mahasiswa untuk
mengemukakan ide serta menjelaskan data yang diperoleh ketika menemukan konsep. Konsep
yang ditemukan dengan menggunakan GSP mempermudah mahasiswa ketika menggambar
grafik fungsi secara manual. Dengan menggunakan kertas dan penggaris, mahasiswa tetap
dilatih mengambar dengan konsep yang telah ditemukan melalui bantuan GSP. Berikut gambar
yag didapat mahasiswa dengan cara manual, dapat dilihat pada Gambar 2.4 berikut.
Gambar 2.4 Jawaban siswa dalam menggambar Grafik fungsi rasional
74
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Dari siklus dua yang dilakukan diperoleh tes hasil belajar dengan nilai rata-rata 69,11sedangkan
ketuntasan secara klasikal 82,5% dengan 7 mahasiswa yang tidak tuntas dan
aktivitas
mahasiswa sudah berada pada kategori aktif dengan skor rat-rata pengamatan 24,5. Dalam
perkuliahan masih terdapat mahasiswa yang belum mampu memberikan penjelasan dalam
pengambilan kesimpulan berdasarkan data yang diperoleh dan masih terdapat mahasiswa belum
mampu menanggapi serta memberikan gagasan ketika melaksankan penemuan.
Pada siklus tiga perkuliahan dilaksanakan dengan mengarahkan mahasiswa untuk mengamati
gambar yang diperoleh dengan menggunakan GSP. Pada siklus tiga ini mahasiswa
mengggambar grafik fungsi rasuonal dengan bentuk umum f (x) = (ax + b)/(px +q) bentuk
fungsi ini akan lebih teliti menggambarnya jika menggunakan GSP. Mahasiswa juga dilatih
untuk tetap mampu meggambar garafik secara manual dengan menggunakan penggarus dan
kertas. Setelah menemukan langkah-langkah yang dilakukan untuk menggambar grafik dan
mencoba menggambarnya baik menggunakan GSP maupun secara manual. Berikut gambar
yang diperoleh ketika mahasiswa menggambar grafik fungsi f(x) = (2x + 4)/(3x – 7) dapat
dilihat pada Gambar 2.4 berikut:
Gambar 2.5 Grafik fungsi Rasional untuk menemukan garis asimtut
Ketika menggambar dengan menggunakan GSP maka garis asimtut akan terlihat jelas, dari
beberapa gambar yang didapat maka mahasiswa dapat menyimpulkan bahwa asimtut mendatar
itu adalah garis yang makin lama makin dekat pada garis itu sehingga berjarak sekeci-kecilnya
yang diperoleh apabila x īƒ  ∞ dan asimtut tegak itu apabila y īƒ  ∞. Gambar yang dibuat
mahasiswa secara manual menyakinkan mahasiswa bahwa bentuk sebenarnya dari grafik yang
digambar adalah seperti yang mereka peroleh pada gambar dengan mengggunkan GSP.
Pada siklus tiga ini mahasiswa sudah terbiasa untuk megamati hasil yang diperoleh dengan
menggunakan GSP untuk mendapatkan kesimpulan secara umum. Selain itu mahasiswa juga
sudah menganalisis dan menghubungkan data yang diperolehnya dengan bantuan GSP serta
sudah mampu untuk menjelaskan dan mengemukakan ide sehingga memperoleh satu konsep
baru. Hasil belajar pada siklus tiga yaitu nilai rata-rata hasil belajar 75,02 % dimana ketuntasan
belajar secara klasikal 85% dengan 6 mahasiswa yang tidak tuntas dan aktivitas mencapai
kategori aktif pada skor pengamatan 27.
75
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
D. KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang dilaksankan dapat disimpulkan ;
1. Aktivitas mahasiswa dalam perkuliahan dapat ditingkatkan dengan cara :
a. Mengamati gambar dan nilai yang tertera pada software GSP dan menentukan
hubungannya.
b. Meminta mahasiswa untuk menganalisis data-data khusus yang diperoleh dengan bantuan
software GSP untuk mendapatkan kesimpulan konsep secara umum.
c. Memberikan pertanyaan-pertanyaan yang dapat membatu mahasiswa menemukan
hubungan antar konsep.
d. Meminta mahasiswa mengemukakan gagasan pada saat proses pengambilan kesimpulan.
2. Hasil belajar mahasiswa meningkat dengan nilai rata-rata 63,52 dimana ketuntasan belajar
klasikal yaitu 75% pada siklus1 dan pada siklus 2 mencapai nilai rata-rata nilai rata-rata
69,11dengan ketuntasan secara klasikal 82,5% serta pada siklus 3 mencapai nilai rata-rata
75,02 % dengan ketuntasan belajar secara klasikal 85%.
SARAN
Dari hasil penelitian yang dilaksankan maka dapat disarankan agar:
1. Perkuliahan dengan menggunakan metode discovery dengan berbatuan software GSP dapat
dilaksankan dalam kelompok kecil yang beranggotakan 2-3 orang.
2. Dapat memperluas penggunaan software GSP untuk pembelajaran dengan metode dan
materi yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
Bannet, Dan. 1999. Exploring Geometry with the geometer’s Sketchpad. The United states of
America: Key curriculum Press.
Eggen, Paul.,Kauchak, don. 2012. Straegi dan Model pembelajaran. Jakarta. Indeks
Illahi, Muhammmad Taakdir. 2012. Pembelajaran discovery strategy dan mental vocational skill.
Yogyakata. Diva Press
Spark. 2009. Teaching Mathematics with the geometer’s Sketchpad. Emeryville : Key curriculum
Press
Suprihatiningrum, jamil. 2013. Strategi Pembelajaran. Yogyakarta. Ar-Ruzz Media
76
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
KESAN INTEGRASI PERISIAN GEOMETER’S
SKETCHPAD DALAM PENGAJARAN KE ATAS
PEMAHAMAN KONSEP TRANSFORMASI
Endang Istikomah
Universitas Islam Riau, Jl. Khaharudin Nasution No. 113 Marpoyan Pekanbaru
[email protected]
Abstrak. Kajian ini dijalankan untuk melihat kesan intregasi Geometer’s Sketchpad dalam pengajaran ke
atas pemahaman konsep transformasi dalam mata pelajaran matematika pelajar Sekolah Menengah Atas
Indragiri Hulu Riau Indonesia. Kajian ini juga melihat hubungan antara pemahaman konsep matematika
dan pencapaian pelajar. Kajian ini menggunakan metodelogi eksperimen kuasi yang dijalankan keatas 88
pelajar sebuah sekolah menengah di Indragiri Hulu Riau Indonesia. Kajian ini dilaksanakan dalam
tempoh 7 minggu. Alat kajian yang digunakan dalam penyelidikan ini adalah ujian pemahaman konsep
dan ujian pencapaian pelajar. Data dianalisis dengan statistik deskriptif dan inferensial menggunakan
mean, standar deviasi, t-test dan korelasi. Hasil kajian menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan
dari segi pemahaman konsep kelompok pelajar yang mengikuti pembelajaran dengan menggunakan
pengajaran berintegrasikan perisian Geometer’s Sketchpad (Mean= 69.61, SD= 10.208) dengan
kelompok pelajar yang mengikuti pembelajaran dengan menggunakan pengajaran tradisional (Mean=
59.45, SD= 10.650). Dapat disimpulkan bahwa pengintregasian perisian Geometer’s Sketchpad dalam
pengajaran dapat memberi kesan yang positif yaitu mempengaruhi pemahaman konsep pelajar. Terdapat
hubungan antara pemahaman konsep matematika dengan pencapaian matematika (r= 7.97).
Kata kunci: Geometer’s Skecthpad, pemahaman konsep
A. PENDAHULUAN
Pengajaran dan pembelajaran matematika, terutama geometri telah banyak mengalami
perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan ini adalah seiring dengan pembangunan teknologi
yang berkembang saat ini. Teknologi adalah salah satu aspek utama dalam proses pendidikan di
semua tingkatan. Almehdadi (2005) menyatakan bahwa teknologi baru separti komputer dapat
mempengaruhi sistem sekolah jika mereka digunakan dengan cara yang tepat, karena teknologi
memberikan pelajar kekuatan mengontrol apa yang mereka pelajari. Seiring dengan itu Hai
(2010) menyatakan Geometer’s Skecthpad telah membawa banyak manfaat untuk pengajaran
dan pembelajaran matematika secara umum, dan bidang geometri khususnya.
Geometer’s Sketchpad (GSP) merupakan salah satu alat teknologi keterangan yang mampu
membantu guru untuk menyampaikan isi pengajaran terutama topik geometri. GSP adalah salah
satu perisian khusus bersistemkan komputer untuk membuat, menjelajahi dan menganalisis
berbagai konsep matematika di bidang algebra, geometri, trigonometri, kalkulus, dan bidang
lain (Geometer’s Sketchpad Reference Manual, 2001). Perisian GSP yang berkapasiti 1,33 MB
dihasilkan oleh Nicholas Jackiw (1993) bagi memudahkan para pengguna melukis apa pun
bentuk geometris serta berbagai bentuk dalam tiga dimensi. Salah satu program software yang
77
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
dapat merubah sistem pengajaran dan pembelajaran matematika khususnya pada bidang
geometri adalalah perisian GSP (Kamariah 2009). Perisian GSP merupakan perisian sistem
komputer untuk membuat, menerka dan menganalisis berbagai konsep matematika pada bidang
geometri, algebra, trigonometri dan kalkulus.
Dalam proses pengajaran dan pembelajaran yang menggunakan media cetak salah satunya
adalah komputer (Hai 2010), maka isi bahan pengajaran dan pembelajaran yang terdapat di
dalamnya merupakan data yang harus diproses oleh pelajar. Melalui proses analisis dan
eksplorasi, pelajar akan memperoleh informasi separti fakta, prosedur, konsep, dan prinsip. Jika
pelajar mampu melakukan sintesis dan eksplorasi terhadap informasi yang telah diperoleh
dengan membandingkan serta menyatukannya bersama dengan pengetahuan awal yang telah
dimilikinya, maka pelajar akan memperoleh pengetahuan awal tambahan yang telah
dimilikinya. Dengan demikian, tugas guru yang utama dalam proses memperoleh informasi
adalah membantu pelajar melakukan analisis, sintesis dan menerka kemampuan rasional yang
berkaitan dengan bukti generik dari bahan pengajaran dan pembelajaran.
Toumasis (2006) juga menunjukkan bahwa perisian GSP dapat membantu pelajar memahami
konsep geometri dengan cara penemuan dan tanpa menghafal separti pengajaran tradisional.
Seterusnya (Akuysal 2007) menyarankan bahwa ketika proses pengajaran dan pembelajaran
tentang konsep-konsep geometri harus ada kondisi belajar yang kondusif, supaya pelajar dapat
menemukan konsep-konsep itu sendiri. Perisian GSP dinamik ini dapat mengakses sejumlah
besar gambar digital dalam berbagai format umum (Afzal et al. 2004) dengan mengaitkan
pengajaran dan pembelajaran dengan contoh dalam kehidupan sehari-hari. Ini bertujuan untuk
mewujudkan konsep abstrak geometri kepada konsep konkrit.
Latar belakang kajian ini adalah hasil pencapaian matematika pelajar rendah (Ratna 2010).
Rendahnya hasil belajar matematika ini disebabkan konsep matematika yang dipelajari sukar
diingat atau tidak dipahami sama sekali, pelajar hanya sebagai penerima pasif. Hal ini
disebabkan kecenderungan guru melaksanakan proses pengajaran tradisional. Artinya guru
cenderung menjelaskan judul, memberikan contoh soal dan memberi latihan baik untuk di
sekolah maupun di rumah. Dengan demikian guru berfungsi sebagai pemberi keterangan dan
pelajar sebagai penerima keterangan. Tuntutan kurikulum menghendaki guru memilih, kreatif
dalam menggunakan proses pengajaran yang dapat melibatkan pelajar secara aktif dalam
pembelajaran, baik secara mental, fizikal, maupun sosial dan menekankan pembelajaran
matematika pada pemahaman konsep, keterampilan menyelesaikan masalah soal dan
penyelesaian masalah (Depdikbud 2005).
Antara kajian-kajian lepas berkait dengan pengintegrasian GSP ialah Renuwat (2009)
dimana hasil kajian beliau ialah pengajaran menggunakan perisian GSP mampu mempengaruhi
78
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
sikap positif dan cara berfikir sehingga mempengaruhi prestasi matematika pelajar. Almehdadi
(2005) mengkaji keberkesanan perisian GSP terhadap pemahaman beberapa konsep dalam
Geometri. Hasil menunjukkan pelajar dalam kelompok eksperimen menunjukkan peningkatan
skor yang lebih tinggi dibandingkan pelajar dalam kelompok kontrol.
Zeynep dan Nesrin (2010) dalam hasil kajiannya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan dalam hal pencapaian hasil ujian yang mendukung kelompok eksperimen yang
digunakan GSP didukung oleh foto-foto digital yang memberikan contoh kehidupan sehari-hari,
dibandingkan dengan kelompok kontrol yang hanya menggunakan GSP. Karen (2003) dalam
hasil kajiannya diperoleh bahwa pelajar belajar transformasi geometris dalam konteks teknologi
dapat mengembangkan pemahaman yang dipengaruhi oleh interaksi mereka dengan alat-alat
teknologi. Kamariah (2009) dalam hasil kajiannya mengenai GSP mempengaruhi terhadap cara
kerja dan berpikir matematika pelajar dalam memahami matematika tambahan. Maknanya
pelajar dapat lebih mudah dalam memahami konsep geometri melalui alat teknologi salah
satunya separti GSP. Dengan ini pelajar dapat mencipta dan menelusuri dugaan dan
mengembangkan penjelasan.
Pembangunan perisian telah dijalankan separti Mathsoft (Tang 2005) dan pembangunan modul
digital dan bercetak integrasi perisian GSP dalam Pembelajaran Matematika (Nik Rahimah
2008), serta Amaly dan Yasir (2004) mengkaji pengaruh perisian multimedia dalam
meningkatkan prestasi matematika pelajar. Begitu juga Marzita dan Rohaida (2004)
menjalankan kajian yang melibatkan pembangunan dan pengajaran satu prototaip menggunakan
perisian GSP untuk pengajaran dan pembelajaran matematika berjudul sukatan membulat
disekolah menengah. Hasil kajiannya ialah GSP ini dapat membantu mengukuhkan kepahaman
pelajar. Kajian kasus dengan kaidah kuasi ekperimen yang berasakan pendekatan etnografik
juga dijalankan dengan hasil pencapaian hasil pembelajaran matematika meningkat pada judul
matrik.
Beberapa kajian lain yang menggunakan perisian komputer juga telah ramai dijalankan (Agung
2009; Muhd Zainal 2008; Choirul 2009; Revillia 2007; Fitrah 2009). Analisis mendapati,
pemahaman, keaktifan dan hasil pencapaian matematika pelajar dapat meningkat. Analisis ini
dapat disokong dengan pernyataan Sinclair (2004) yang menyatakan dengan menggunakan GSP
membantu kegiatan siswa mengamati secara detail objek geometri, menerka hubungan antara
titik atau garis yang satu dengan titik atau garis yang lain dan meningkatkan kemampuan
rasional yang berkaitan dengan bukti geometri serta dapat berperan aktif mencapai pemahaman
konseptual konten geometri.
Norhayati (2002) menjalankan kajian keberkesanan penggunaan perisian GSP dalam
pembelajaran matematika judul penjelmaan menggunakan kuasi eksperimental ke atas 68
79
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
pelajar tingkatan dua. Hasil kajian ialah memberikan kesan yang positif keatas pencapaian
matematika pelajar. Bhasah dan Rafidah (2003) mengkaji keberkesanan kaidah pengajaran dan
pembelajaran berbantukan komputer menggunakan GSP di Pahang dalam judul penjelmaan ke
atas 66 pelajar tingkatan dua. Hasil kajian kaidah ini menyenangkan pelajar dan dapat
menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan pembelajaran konvensional.
Walaupun banyak kajian tentang perisian komputer khususnya GSP yang berhasil memberi
kesan positif terhadap pembelajaran matematika pelajar, tetapi ada kajian lain separti Teoh
(2005), Edwards (2002) dan Ling (2004) menyatakan bahwa pembelajaran berintegrasikan
perisian komputer ini tidak memberikan kesan yang positif terhadap pelajar. Walaupun begitu,
masih ramai pengkaji lain yang dapat membuktikan bahwa pengintegrasian alat teknologi dalam
pembelajaran dapat memberikan kesan positif. Hal ini dapat kita ketahui separti yang dijelaskan
penulis sebelum ini.
Berdasarkan kajian-kajian lepas, menunjukkan bahwa pengajaran dengan menggunakan perisian
GSP lebih memberi faedah kepada pelajar berbanding pengajaran tradisional (Sinclair et al.;
Ustun & Ubuz 2004). Kelebihan-kelebihan pengajaran berintegrasi perisian GSP ialah sistem ini
berjaya menarik perhatian dan minat pelajar terhadap suatu pelajaran. Bukan hanya pelajar
tetapi guru juga merasa terbantu dengan adanya perisian GSP.
Tujuan kajian ini dijalankan untuk melihat kesan integrasi perisian GSP dalam pengajaran ke
atas pemahaman konsep matematika pelajar antara kelompok eksperimen dengan kelompok
kontrol dalam mata pelajaran matematika Sekolah Menengah Atas (SMA), menganalisis
beberapa kesukaran yang timbul. Kajian ini juga menentukan hubungan antara pemahaman
konsep matematika topik tranformasi dengan pencapaian pelajar. Manakala Objektif kajian ini
adalah (1) Menentukan pemahaman konsep matematika antara pelajar kelompok ekperimen dan
pelajar kelompok kontrol, (2) Menentukan hubungan antara pemahaman konsep matematika
antara pelajar kelompok ekperimen dan pelajar kelompok kontrol dengan pencapaian pelajar.
Adapun dalam kajian ini mempunyai kepentingan untuk pihak-pihak berkaitan dalam
pendidikan yaitu pentadbir, guru, sekolah, pelajar dan penyelidik. Hasil kajian ini akan dapat
memberikan keterangan tentang perisian GSP terhadap pemahaman konsep matematika pelajar.
Perisian GSP ini dapat dijadikan sebagai alat bantu oleh guru-guru matematika di SMA. Dari
segi teoritis, pengajaran ini dapat memberikan dan mengembangkan pengetahuan tentang proses
pengajaran dan pembelajaran matematika, terutama tentang usaha peningkatan pengajaran
matematika melalui perisian GSP yang menggunakan komputer sebagai alat pembelajaran.
Dengan demikian, pengetahuan yang diperoleh dari kajian ini dapat dikembangkan untuk
meningkatkan pengajaran matematika.
80
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
B. METODOLOGI KAJIAN
Kajian ini menggunakan metodelogi kuasi eksperimen yang melibatkan kelompok ekperimen
dan kelompok kontrol tidak serupa yang diasaskan oleh Campbell dan Stanley (1963).
Eksperimen kuasi membawa maksud eksperimen yang terdiri dari unit yang menerima
ekperimen, pengukuran dilakukan terhadap kesan ekperimen namun unit berkenaan tidak dipilih
secara rawak untuk dibuat inferens tentang sebab dan akibat (Stouffer 1950 & Campbell 1957).
Dalam kajian eksperimen ini ada 12 ancaman yang kemungkinan dapat mempengaruhi kesahan
dalaman dan kesahan luaran kajian. Pertama, kesahan dalaman separti: Histori, pematangan,
ujian, pengukuran, regresi statistic, seleksi, mortalitas, interaksi antara responden kajian. Kedua,
kesahan luaran kajian yaitu: pengaruh pretes, perbedaan populasi dan sampel, pengaruh
penyusunan pelaksanaan kajian dan gangguan eksperimen lain.
Ujian pemahaman konsep pelajar disusun oleh pengkaji dibantu oleh pembimbing, dua orang
dosen universitas, seorang guru berpengalaman diindragiri hulu dengan menyesuaikan soal dari
kajian Rafidah (2003). 16 item diberikan kepada pelajar untuk diselesaikan. Setiap item
diberikan
nilai yang berbeda sesuai dengan tahap kepahaman pelajar dan jumlah skor
keseluruhan 42. Kelompok ekperimen menjalankan pengajaran dengan mengintegrasikan GSP,
manakala kelompok kontrol menggunakan pengajaran tradisional. Kedua-dua kelompok
menjalankan ujian pra dan ujian pos. Ujian pra dijalankan untuk mengetahui bahwa kedua-dua
kelompok memiliki kesetaraan pemahaman konsep transformasi yang sama. Setelah itu kajian
dijalankan sebagaimana mestinya dan setiap nilai pelajar direkod. Kelompok ekperimen dan
kelompok kontrol masing-masing terdiri dari 44 orang pelajar tingkatan tiga IPA SMA di
Indragiri Hulu Riau. Seluruh sampel kajian ialah 88 orang pelajar.
Variabel standar dalam kajian ini adalah pemahaman konsep matematika. Uji pemahaman
konsep ini menggunakan ujian geometri Van Hiele yang dibina untuk mengukur tahap
pemahaman tansformasi pelajar yang merupakan salah satu bahan ajar bidang geometri (Van
Hiele 1957). Kemudian pencapaian pelajar juga di uji dengan menggunakan ujian topik
transformasi yang dibina sendiri oleh pengkaji dan beberapa dosen Universitas Kebangsaan
Malaysia dengan bimbingan pembimbing. Kedua-dua kelompok ini akan mengadakan ujian pra
untuk ujian pemahaman dan pasca untuk ujian pemahaman dan pencapaian.
C. HASIL
Dalam kajian kuasi eksperimen ini pengkaji perlu meneliti pemahaman konsep pelajar
diperingkat awal kajian yaitu ujian pra. Pada ujian pra ini, data akan digunakan untuk melihat
kesetaraan pemahaman konsep antar pelajar dari masing-masing kelompok. Selain itu, ujian pos
akan digunakan untuk kajian berikutnya. Jadi data diperoleh daripada ujian pra dan ujian pos.
81
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Hasil menunjukkan bahwa min skor atau purata ujian pemahaman konsep pelajar tentang
transformasi pada kelompok ekperimen dan kelompok kontrol hampir sama sebelum di adakan
pengajaran. Min untuk kelompok ekperimen 42.68 dan min untuk kelompok kontrol 40.98. Ini
bermakna bahwa sebelum pelaksanaan pengajaran, pemahaman konsep pelajar adalah sama.
Hasil ujian juga terlihat bahwa selepas dilaksanakan pengajaran dengan menggunakan perisian
GSP yaitu ujian pos, diperoleh purata kelompok ekperimen lebih bervariasi daripada
kemampuan pelajar kelompok kontrol. Min kelompok ekperimen 69.61 manakala min untuk
kelompok kontrol 59.45. Dengan demikian, selepas dilaksanakan pengajaran dengan
menggunakan perisian GSP kelompok ekperimen lebih baik daripada pelajar kelompok kontrol.
Dengan menggunakan independent samples t test untuk membandingkan pemahaman konsep
pelajar pada ujian pra antara kelompok ekperimen dan kelompok kontrol nilai t adalah 0.892
serta signifikansinya sebesar p = 0.375 > 0.05 separti yang ditunjukkan dalam Tabel 1 dibawah.
Ini bermakna, tidak ada perbedaan antara pemahaman konsep matematika topik transformasi
pelajar kelompok ekperimen dengan kelompok kontrol pada ujian pra atau di awal
pembelajaran.
Tabel 1. Perhitungan ujian pra pemahaman konsep kumpulan eksperimen dan kumpulan
kawalan
Pemahaman Konsep Ujian
Pra
Eksperimen
Kawalan
N
Min
44
44
42.68
40.98
Sisihan Piawai
9.132
8.801
Nilai t
0.892
Sig.
0.375
Dari Tabel 2 di bawah, diperoleh pula min masing-masing kelompok ekperimen dan kelompok
kontrol adalah 69.61 dan 59.45, diketahui min kelompok ekperimen lebih besar dari kelompok
kontrol. Seterusnya hasil independent t test untuk menunjukkan terdapat perbedaan yang
signifikan antara pemahaman konsep pelajar kelompok ekperimen dengan pemahaman konsep
pelajar kelompok kontrol menunjukkan nilai signifikan p = 0.000 < 0. 05. Ini bermakna,
terdapat perbedaan pemahaman konsep antara pelajar kelompok ekperimen dengan pelajar
kelompok kontrol separti yang dipaparkan pada Tabel berikut.
Tabel 2. Perhitungan ujian pos pemahaman konsep kelompok ekperimen dan kelompok kontrol
Pemahaman Konsep Ujian Pos
Ekperimen
Kontrol
N
44
44
Min
69.61
59.45
Sisihan Piawai
10.208
10.650
Nilai t
4.568
Sig.
0.000
Berdasarkan penjelasan hasil kajian di atas maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis H0 ditolak.
Ini bermakna, terdapat perbedaan yang signifikan pemahaman konsep matematika topik
transformasi antara kelompok ekperimen dengan kelompok kontrol.
82
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Tabel 3 dan 4, memaparkan data tentang hubungan antara pemahaman konsep matematika
pelajar dengan pencapaian pelajar akan dianalisis menggunakan uji korelasi pearson. Hasil
analisis data menunjukkan bahwa hubungan antara pemahaman konsep pelajar dengan
pencapaian pelajar untuk kelompok eksperimen 0.797. Ini menunjukkan bahwa hubungan antara
pemahaman konsep pelajar dengan pencapaian pelajar adalah tinggi (Alias 1999). Manakala
hasil analisis hubungan antara pemahaman konsep pelajar dengan pencapaian pelajar kelompok
kontrol adalah 0.721. Ini menunjukkan bahwa hubungan antara pemahaman konsep pelajar
dengan pencapaian pelajar adalah tinggi (Alias 1999). Hal ini dapat diartikan pula bahwa
semakin tinggi pemahaman konsep pelajar maka semakin tinggi pula pencapaian pelajar dan
berlaku untuk sebaliknya.
Tabel 3. Hubungan antara pemahaman konsep pelajar dengan pencapaian pelajar kelompok
ekperimen
Pemahaman konsep
Pemahaman konsep
Pencapaian
Pearson Correlation
Sig.(2-Tailed)
N
Pearson Correlation
Sig.(2-Tailed)
N
Pencapaian
1
.
44
. 797**
.000
44
.797**
.000
44
Tabel 4. Hubungan antara pemahaman konsep dengan pencapaian pelajar kelompok kontrol.
Pemahaman konsep
Pemahaman konsep
Pencapaian
Pearson Correlation
Sig.(2-Tailed)
N
Pearson Correlation
Sig.(2-Tailed)
N
1
.
44
. 721**
.000
44
Pencapaian
. 721**
.000
44
1
.
44
D. PEMBAHASAN
Berdasarkan analisis data daripada hasil kajian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan dari segi pemahaman konsep pelajar antara pelajar kelompok ekperimen yang
menggunakan pengajaran berintegrasi perisian Geometer’s Skecthpad dengan pelajar kelompok
kontrol yang belajar dengan pengajaran tradisional. Min skor kelompok ekperimen ialah 69.61
dari 42 nilai sedangkan untuk min skor kelompok kontrol yaitu 59.45. Pengajaran
berintegrasikan perisian Geometer’s Skecthpad dapat memberikan kemudahan dalam
pemahaman konsep pelajaran yang diberikan kepada pelajar. Kemudahan ini diperoleh daripada
penggunaan alat dan bahan pengajaran sebagai alat bantu dan bahan untuk pengajaran. Perisian
Geometer’s Skecthpad itu pula menyediakan proses pengajaran dan pengajaran dengan cara
83
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
yang lebih kreatif (Venkataraman 2007). Hasil kajian ini menyokong hasil kajian dari Norazah
et. Al (2008) dan Renuwat (2009) .Hasil kajian menunjukkan kaidah kajian yang digunakan dan
diterapakan dapat meningkatkan kepahaman konsep pelajar, membantu pelajar secara aktif
dalam menyelesaikan masalah dan pelajar dapat lebih investigatif. Selain itu juga, hasil kajian
yang diperoleh menyokong hasil Purdy (2000), Ustun & Ubuz (2004). Beliau menyatakan kesan
penggunaan perisian GSP lebih baik dari pengajaran tradisional dan mempengaruhi cara kerja
dan berpikir matematis dalam memahami matematika tambahan (Almeqdadi 2005).
Peningkatan pemahaman konsep pelajar yang menerima pengajaran dengan berintegrasikan
perisian Geometer’s Skecthpad lebih tinggi berbanding dengan kelompok pelajar yang
menerima pengajaran tradisional. Terdapat perbedaan yang signifikan min pemahaman konsep
pelajar terhadap topik pembahasan transformasi bagi kelompok ekperimen dengan kelompok
kontrol tersebut. Pengkaji mendapati guru perlu merancang satu bahan pengajaran yang sesuai
dengan kebolehan pelajar, membuat objektif pengajaran dan pembelajaran disamping
memastikan objektif tersebut dicapai dalam proses pengajaran yang akan dilaksanakan serta
guru harus dapat menciptakan kondisi belajar yang kondusif bagi pelajar untuk menemukan
suatu konsep secara sendiri (Akuysal 2007). Bahan pengajaran yang dirancang dengan
berintegrasikan perisian Geometer’s Skecthpad disusun sesuai dengan pengajaran geometri
transformasi yang ditampilkan melalui layar komputer sehingga memberikan kemudahan
belajar kepada pelajar (Leong 2003), sehingga dapat maningkatkan pemahaman pelajar dan
meningkatkan proses pengajaran (Habre & Grunmeir 2007). Selain itu, Baharuddin (2008)
menyatakan bahwa suasana pembelajaran yang menarik akan menentukan pengajaran yang
berkesan dan suasana pembelajaran yang menarik harus dibina oleh guru yang mengajar.
Clarke dan kazinou (2001) berpendapat pembelajaran bukan hanya melibatkan pengajaran guru
saja dan penerimaan keterangan oleh pelajar semata-mata sebaliknya setiap pelajar memainkan
peranan penting dalam proses penerimaan keterangan-keterangan baru dan mengintegrasikan
keterangan itu bersesuaian dengan pengalaman pembelajaran diri. Seterusnya menurut sejumlah
penelitian yang dijalankan Baki (2001), Belfort & Guimaraes (2004) dan Toumasis (2006)
mendapati selain suasana pembelajaran yang menarik yang diciptakan dari penggunaan perisian
Geometer’s Skecthpad, perisian ini juga dapat membantu pelajar untuk belajar konsep dengan
menemukan tanpa menghafal.
Dalam pembelajaran matematika proses pembentukan konsep adalah hal yang paling utama dan
penting. Hal ini senada dengan konsepsi belajar yang mengacu pada pandangan konstruktivis
bahwa pemahaman konstruksi itu lebih penting berbanding dengan menghafal fakta (Abbullah
& Abbas 2006). Respon yang diberikan oleh pelajar sama ada kelompok ekperimen dan
kelompok kontrol dalam ujian pemahaman konsep transformasi
84
menunjukkan tahap yang
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
sederhana. Min skor kelompok ekperimen ialah 69.61 dari 42 nilai sedangkan untuk min skor
kelompok kontrol yaitu 59.45. Pelajar tidak menunjukkan pemahaman konsep yang kukuh
berhubung difinisi tranformasi. Jawaban yang diberikan menunjukkan tidak semua pelajar
dalam kelompok ekperimen dan kelompok kontrol mempunyai pengetahuan dan pemahaman
yang kukuh dengan apa yang terkandung dalam definisi transformasi sebenarnya. Beberapa
orang pelajar memberi jawaban yang salah, hal ini menunjukkan bahwa terdapat kekurangan
dalam pemahaman mereka tentang transformasi. Kajian yang teliti keatas kerja pelajar juga
dapat membantu kegiatan pelajar mengamati pelajaran secara detail, menerka dan memperluas
kemampuan berfikir rasional, sehingga hal ini dapat mengurangkan kesukaran pelajar dalam
memahami konsep geometri yang abstrak (Lin 2008).
Pelajar mempunyai berbagai pengetahuan sedia ada yang boleh digunakan dalam pembinaan
konsep dan meningkatkan pengetahuan pengajaran secara mendalam (Habre & Grunmeire
2007). Kemampuan pemahaman konsep sangat diperlukan untuk mencapai ke tingkat
kemampuan di atasnya Subhan (2007). Hal ini seiring dengan pendapat (Greeno, 2006 &
Reusser, 2006) Konsep baru diperkenalkan dengan membangun ide-ide, pengalaman pelajar dan
pengetahuan sebelumnya. Pemahaman konsep juga hadir secara eksplisit untuk konsep dan
menentukan hubungan antara fakta-fakta matematika, prosedur, ide dan representasi (Hiebert &
Grouws, 2007). Dalam kajian Stoffa (2007) menyatakan bahwa dengan menggunakan strategi
kognitif dan kreatif serta dapat mengorganisir pemahaman diri sendiri dari pengetahuan sedia
ada memiliki hubungan langsung dengan prestasi belajar. Oleh itu pendidik perlu mengetahui
bagaimana pelajar ini berfikir supaya persediaan awal boleh dibuat dan pedagogi pelajar dapat
ditingkatkan bagi membantu pelajar membentuk pemahaman konsep yang betul, jelas dan
sesuai dengan objektif pembelajaran.
Hasil kajian menunjukkan min keseluruhan adalah 64.53. Min yang diperoleh dalam kajian ini
menunjukkan pemahaman konsep yang sederhana. Skor maksimum untuk ujian pemahaman
konsep ialah 92 dan skor minimum adalah 48 untuk kelompok ekperimen. Manakala kelompok
kontrol skor maksimum untuk ujian pemahaman konsep ialah 84 dan skor minimum adalah 36.
Hasil kajian untuk min kelompok ekperimen 69.61. Min kelompok ekperimen yang diperoleh
dalam kajian ini menunjukkan pengetahuan konsep yang sederhana. Manakala untuk min
kelompok kontrol yaitu 59.45 ini menunjukkan pemahaman konsep pada kelompok ekperimen
berada pada tahap sederhana sama halnya dengan kelompok kontrol. Terdapat perbedaan min
antara kelompok ekperimen dengan kelompok kontrol, dimana min kelompok ekperimen lebih
tinggi dari min kelompok kontrol. Perbedaan pemahaman konsep yang ditunjukkan oleh
kelompok pelajar ini mungkin dipengaruhi oleh berbagai faktor. Ini sesuai dengan kajian Hai
(2010) yaitu salah satu faktor tersebut ialah guru mengintegrasikan perisian GSP dalam proses
85
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
pengajaran dan pembelajaran, karena perisian ini telah dirancang sedimikian rupa sehingga
dapat melayani berbagai macam keperluan pelajar sesuai dengan kemampuannya.
Berkaitan dengan hasil di atas, pemahaman sebagian pelajar terhadap konsep matematika
dipengaruhi oleh kemampuan kognitif. Hill (2008), Tarmizan (2010) dan Andersson & Lyxell
(2007) menyatakan ada interaksi antara kemampuan kognitif dalam belajar dengan kesukaran
pelajar dalam menyelesaikan masalah. Oleh karena itu, pelajar yang mengalami kesukaran
dalam menyelesaikan masalah atau soal di karenakan kemampuan kognitif yang lemah akan
menyebabkan pemahaman konsep yang buruk. Kajian ini mengintegrasikan perisian GSP dalam
pengajaran yang merupakan teknologi interaktif dan alat visualisasi yang dapat melibatkan
pelajar secara bermakna (Sediq & Liang, 2006). Perisian GSP ini juga memang telah dirancang
sedemikian untuk memenuhi keperluan pelajar, salah satunya untuk menerka konsep-konsep
matematika yang lebih sukar (Hai, 2010). Kesukaran pelajar dalam menyelesaikan soal
ditunjukkan dari kesalahan pelajar dalam menjawab soal (Nik aziz, 2008). Kesukaran
menunjukkan lemahnya pemahaman konsep pelajar (Latha, 2007). Kesukaran yang dihadapi
pelajar dapat mempengaruhi pencapaian matematika pelajar (Tarmizan et. al, 2010). Dari hasil
di atas, pengkaji menyimpulkan bahwa pemahaman tehadap pemahaman konsep matematika
amat penting karena dapat mempengaruhi pencapaian.
Hubungan antara pemahaman konsep dengan pencapaian pelajar dianalisis dengan korelasi
person. Analisis yang dijalankan terhadap 88 sampel kajian untuk melihat hubungan antara
pemahaman konsep dengan pencapaian matematika untuk kelompok ekperimen memberikan
nilai r yang didapati adalah 0.797 merupakan nilai korelasi yang tinggi (Alias 1999). Sedangkan
untuk hubungan pemahaman konsep dengan pencapaian matematika pelajar kelompok kontrol
adalah 0.721 yang juga merupakan nilai korelasi yang tinggi (Alias 1999). Terdapat hubungan
yang kuat diantara pemahaman konsep dengan pencapaian matematika pelajar. Hasil kajian ini
menyokong hasil kajian oleh Sarjiman (2006) dan Subhan (2007), Beliau mendapati keputusan
terdapat hubungan yang kuat diantara pemahaman konsep dengan pencapaian yang diperoleh.
Marlina (2010) dan Sri (2008) dalam kajiannya pula mengatakan pencapaian pelajar yang tinggi
memperlihatkan pemahaman konsep pelajar tersebut juga tinggi. Jelas antar pemahaman konsep
dengan pencapaian pelajar memiliki hubungan yang erat.
E. IMPLIKASI KAJIAN
Hasil kajian ini memberi beberapa implikasi besar terhadap amalan pendidikan yang
berhubungkait dengan pengajaran dan pembelajaran. Diharapkan kepada banyak pihak
terutamanya guru, pelajar dan pihak pentadbir sekolah agar mengambil sikap positif, proaktif
dan responsive terhadap implikasi-implikasi yang diberikan. Pelajar dapat belajar sendiri dan
86
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
menemukan konsep matematika melalui ganbar dan animasi-animasi sehingga hal ini dapat
melahirkan pelajar yang berfikir dan menemukan sesuatu konsep secara sendiri. . Guru dituntut
untuk lebih terampil dan mengetahui komputer karena dengan perisian membantu guru
menyampaikan keterangan secara mudah dan bertahap. Dapat dilihat, didengar dan mudah
untuk dianalisis. Sehingga keterangan yang akan disampaikan dapat langsung tersampaikan
keminda pelajar secara langsung. Dengan mengintegrasikan komputer dalam pengajaran
matematika, guru memiliki pengalaman lebih dalam. Hasil kajian ini dapat dijadikan sebagai
maklum balas yang sangat berharga kepada pihak pentadbir sekolah dalam membantu guru dan
pelajar. Pihak pentadbir sekolah perlu memastikan untuk kemudahan infrastruktur, kewangan,
alat-alat bantu pengajaran dan tenaga pengajar yang sepatutnya dalam pelaksanaannya agar
proses pengajaran dan pembelajaran mendapatkan hasil yang diharapkan. Pendedahan komputer
dan latihan dalam menggunakan komputer hendaklah disediakan dan diberikan kepada guru dan
bakal guru. Hal ini supaya dapat meningkatkan kefahaman dan kemahiran dalam menggunakan
komputer dalam pembelajaran secara berkesan.
F. KESIMPULAN
Kajian ini dapat menjelaskan kesan integrasi perisian GSP dalam pembelajaran ke atas
pemahaman konsep matematika pelajar. Hasil kajian ini menujukkan bahwa pembelajaran
matematika yang diintregasikan dengan perisian komputer dapat memberi kesan yang positif
terhadap pelajar dan guru. Hasil kajian mendapati pemahaman konsep dan pencapaian pelajar
yang mengikuti pengajaran dengan berbantukan perisian GSP lebih tinggi daripada pelajar yang
mengikuti pengajaran tradisional. Kesukaran dalam menyelesaikan soal matematika
transformasi dalam kelompok pelajar yang belajar dengan pengajaran berintegrasi perisian GSP
berkurang. Terdapat hubungan yang signifikan antara pemahaman konsep matematika
transformasi dengan pencapaian pelajar. Artinya, semakin tinggi pemahaman konsep
matematika pelajar semakin tinggi nilai pencapaiannya. Hasil kajian juga telah memberi
implikasi terutama terhadap pelajar dan guru untuk membina suasana pengajaran dan
pembelajaran yang menambah wawasan dengan menggunakan komputer dan menambah
keterampilan guru dalam menggunakan komputer dalam pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
Abdullah, S., & Abbas, M. 2006. The effect of inquiry-based komputer simulation with cooperative
learning on scientific thinking and conceptual understanding. Malaysian Online journal of
Instructional Technology. 3(2): 1-16
Agung Hariatmaka. 2010. Eksperimentasi Penggunaan Media Komputer Dalam Pembelajaran
Matematikaa Pada Pokok Bahasan Peluang Kelas Xi Sma Se-Kabupaten Kotawaringin Timur
Ditinjau Dari Kemampuan Awal Siswa Tahun Pelajaran 2009/2010. Tesis, Surakarta : Program
Studi Pendidikan Matematikaa, Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
87
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
Akuysal, N. 2007. Seventh grade students' misconceptions about geometrical concepts. Unpublished
Master Thesis, Selçuk University, Graduate School of Natural and Applied Sciences, Konya
Alias baba. 1999. Statistik Penyelidikan dalam Pendidikan dan Sains Sosial: Bangi, Universiti
Kebangsaan Malaysia.
Almeqdadi, Farouq. 2005. The Effect of Using the Geometer’s Sketchpad (GSP) on Jordanian
Students’ Understanding Some Geometrical Concepts. International Journal for Mathematics
Teaching
and
Learning
ISSN
1473
–
0111,
v.
43:
1-14.
(http://www.cimt.plymouth.ac.uk/journal/almeqdadi.pdf)
Andersson, U. & Lyxell, B. 2007. Working memory deficit in children with mathematics difficulties:
A general or specific deficit. Journal of Exeptional Children Psychology 96(3): 197-228.
Baharuddin & Wahyuni, E.N. (2008). Teori Belajar dan Pembelajaran. Arruzz Media, Jogjakarta.
Baki, A. (2001). Bilisim teknolojisi isigi altinda matematika egiitiminin degerlendirilmesi
[Evaluation of mathematics education in the light of information technology]. The Journal of
National Education, 1, 149–154.
Belfort, E. & Guimaraes, C.L. (2004). Teacher's practices and dynamic geometry. International
Group for the Psychology of Mathematics Education, 28th, Bergen, Norway, July 14-18, 2004. pp. 8.
Bhasah Hj. Bu Bakar & Rafidah Wahab. 2003. Keberkesanan penggunaan the geometer’s sketchpad
dalam mata pelajaran sains dan matematika. Konvensyen Teknologi Pendidikan ke 16: ICT dalam
pendidikan dan latihan: Trend dan isu. City Bayview Melaka, 13-16 Jun.
Campbell, D.T. & Stanley, J.C.C. 1963. Experimental and quasi-experimental designs for research.
Boston. Houghton Mifflin Company.
Choirul, Muhd Fuad. 2009. Pengunaan media pembelajaran yang inovatif Berbasis komputer untuk
meningkatkan Pemahaman siswa pada pokok bahasan Bangun ruang sisi datar. Skripsi. Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Clarke.R & Kazinoo.M. 2001. Promoting metacognitive skills among student in education.
Educational technology. 64:1-13
Depdikbud. 2005. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta Pusat: Kurikulum.
Edwards, M.T. (2002). Symbolic manipulation in a technological age. The Mathematics Teacher,
95(8):614.
Fitra Mayasari. 2009. Pendesainan LKS Matematikaa Interaktif Model E-Learning Berbasis Web di
Kelas X Sma Negeri 3 Palembang. Program studi pendidikan matematikaa Jurusan pendidikan
matematikaa dan ilmu pengetahuan alam. Skripsi.
Greeno, J. G. 2006. Theoretical and practical advances through research on learning. In Y. L.
Green, G. Camilli, P. Elmore, A. Skukauskaite, & E. Graceb (Eds.), Handbook of complementary
methods in education research (pp. 795e822). Washington, DC: American Educational Research
Association.
Habre, S. and T.A. Grunmeier, 2007. “Prospective Mathematics Teachers’’ Views on the Role of
Technology in Mathematics Education”, IUMPST: The Journal 3. [www.k-12prep.math.ttu.edu].
Hai-Ning Liang, Kamran Sedig. 2010. Can interactive visualization tools engage and support preuniversity students in exploring non-trivial mathematical concepts?. Komputers & Education, 54:
972–991 (journal homepage: www.elsevier.com/ locate/ compedu).
Hiebert, J., & Grouws, D. A. 2007. The effects of classroom mathematics teaching on students’
learning. In F. K. Lester (Ed.), Second handbook of research on mathematics teaching and learning
(pp. 371-404). Charlotte, NC: Information Age.
Hill, B. 2008. Cognitive skills and mathematics skills. 21st century skill. retrieved on
9/11/09.Fromhttp://www.21stcenturyskills.org/route21/index.php?option=com_ilibrary.
Kamariah Abu Bakar. 2009. Effect of utilizing Geometer’s Sketchpad on performance and
mathematical thinking of secondary mathematics learners: An initial exploration. International
journal of education and information technologies Issue 1, volum 3
Karen F. Hollebrands. (2003). High school students’ understandings of geometric transformations in
the context of a technological environment. Journal of Mathematical Behavior, 22 : 55–72.
Latha Maheswari Narayanan. 2007. Analysis of error in addition and subtraction of fraction among
form 2. Kertas Projek Sarjana Pendidikan. Universiti Malaya.
Leong Yew Hoong & Lim-Teo Suat Khoh. 2003. Effects of Geometer's Sketchpad on Spatial Ability
and Achievement in Transformation Geometry among Secondary Two Students in Singapore.The
Mathematik educator, Vol. 7. No.1: 32-48.
Lin, C.Y. 2008. Preservice teachers' beliefs about using technology in the mathematics classroom.
The Journal of Komputers in Mathematics and Science Teaching; 27, 3; Academic Research Library
pg. 341.
88
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
27. Ling, S. (2004). Enhancing the Learning of Conics with Technology. California: California State
University Dominguez Hills.
28. Marzita Puteh & Rohaidah Masri. 2004. Penggunaan geometer’s sketchpad dalam pembelajaran
matematika. Proceeding 2003 Regional Conference on Interating Technology in the Mathematical
sciences, hlm. 193-203.
29. Muhammad Zainal Abidin. 2008. Efektivitas penggunaan maple terhadap hasil belajar Matematikaa
pokok bahasan sistem persamaan linear Siswa kelas x madrasah aliyah al-falah Lemahabang kec.
Bone-bone Kab. Luwu utara. Skripsi UINAlaudin: makasar.
30. Nik Azis Nik Pa. 2008. Isu-isu kritikal dalam Pendidikan Matematika. Kuala Lumpur: Penerbit
Universiti Malaya.
31. N. Norazah, Z. Effandi, A.E. Mohamed, and M.Y. Ruhizan.2008. Pedagogical Usability of the
Geometer’s Sketchpad (GSP) Digital Module in the Mathematics Teaching. In Proceedings Of The
7th WSEAS International Conference On Education And EducationalTechnology (EDU'08), pp. 240245.
32. Nor Hayati. 2002. Pengajaran Dan Pembelajaran Matematika Berbantukan Komputer:
Keberkesanan Perisian “The Geometer’s Sketchpad” Untuk Judul Penjelmaan. Tesis: Universiti
Kebangsaan Malaysia.
33. Purdy. D.C. 2000, Using the geometer’s sketchpad to visualize maximum volume problems. The
Mathematics Teacher, 93(3):224.
34. Rafidah Binti Mohd. Nor. 2003. Mengnalpasti Tahap Pemahaman Pelajar Sekolah Menengah
Mengenai Konsep Geometri Berdasarkan Kepada Teori Van Hiele. Tesis: UKM.
35. Ratna herawati (2010) peningkatan pemahaman konsep matematikaa pokok Bahasan ruang dimensi
tiga melalui pendekatan Kooperatif tipe GI (group investigation) dengan Memanfaatkan Alat Peraga
Matematikaa. Skripsi. Universitas Surakarta.
36. Renuwat Phonguttha, Sombat Tayraukham dan Prasart Nuangchalerm. 2009. Comparisons of
Mathematics Achievement, Attitude towards Mathematics and Analytical Thinking between Using
the Geometer's Sketchpad Program as Media and Conventional Learning Activities. Australian
Journal of Basic and Applied Sciences , 3(3): 3036-3039.
37. Reusser, K. (2006). Konstruktivismus: Vom epistemologischen Leitbegriff zur Erneuerung der
didaktischen Kultur. [Constructivism: from a key epistemological concept to a new didactic culture].
In M. Baer, M. Fuchs, P. Fu¨glister, K. Reusser, & H. Wyss (Eds.), Didaktik auf psychologischer
Grundlage. Von Hans Aeblis kognitionspsychologischer Didaktik zur modernen Lehr- und
Lernforschung (pp. 151e168). Bern: H.E.P.
38. Revillia Ardhi. 2007. Efektifitas Pembelajaran dengan Media Animasi dan LKS Mandiri pada Pokok
Bahasan Pengukuran Luas dan Keliling Daerah Segiempat terhadap Hasil Belajar dan Ketuntasan
Belajar Siswa Kelas VII di SMP Negeri I Wonosobo Tahun Ajaran 2006/2007. Program Studi
Pendidikan Matematikaa, Jurusan Matematikaa, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Semarang.
39. Sarjiman, P. 2006. Peningkatan Pemahaman Rumus Geometri Melalui Pendekatan Realistik Di
Sekolah Dasar. Cakrawala Pendidikan, Th. XXV, No. 1 Journal UNY.
40. Sedig, K., & Sumner, M. (2006). Characterizing interaction with visual mathematical representations.
International Journal of Komputers for Mathematical Learning, 11(1):1–55.
41. Sinclair, M., Bruyn, Y., Hanna, G., & Harrison, P. 2004. Cinderella and the Geometer's Sketchpad.
Canadian Journal of Science, Mathematics, & Technology Education, 4(3): 423-437.
42. Sri hajiyati. 2008. Peningkatan pemahaman konsep simetri Melalui model pembelajaran kreatif
dengan Permainan Matematikaa. Skripsi : Universitas Muhammadiyah Surakarta.
43. Stoffa, R.C. (2007). Generation 1.5 Immigrant Students’ Self-Regulation and Learning Strategies.
The International Journal of The Humanties, 5(5): 191-200, http://www.Humanities-Journal.com.
44. Subhan, A. (2007). Meningkatkan Pemahaman Konsep dan Sikap Peserta Didik Melalui Pelatihan
Guru Dengan Vcd Pemodelan dan Pendampingan Pada Pembelajaran Matematikaa Bercirikan
Pendayagunaan Alat Peraga Materi Pokok Luas Bangun Datar Kelas V Sd Sekaran 2 Tahun
Pelajaran 2006/2007. Skripsi: Universitas Negeri Semarang.
45. Tarzimah Tambychika, Thamby Subahan Mohd Meerahb, Zahara Azizb. 2010. Mathematics Skills
Difficulties: A Mixture of Intricacies. Procedia Sosial and Behavioral Sciences. 7(c):171–180.
46. Teoh Boon Tat & Fong Soon Fook. 2005. The Effects of Geometer’s Sketchpad and Graphic
Calculator in the Malaysian Mathematics Classroom. Malaysian Online Journal of Instructional
Technology. 2(2): 82-96.
47. Toumasis, C. (2006). Expanding in-service mathematics teachers’ horizons in creative work using
technology. International Journal of Mathematical Education in Science and Technology, 37
(8&15): 901–912.
89
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
48. Ustun, I. & Ubuz, B. (2004). Geometrik kavramlarin Geometer’s Sketchpad yazilimi ile gelistirilmesi
[The development of geometric concepts through a Geometer's Sketchpad software]. Best Practices
in Education Conference 2004. Istanbul:Sabanci University.
49. Van Hiele – Geldof, D. 1957. De didaktiek van de meetkunde in de eerste klas van het V. H. M. O.
(The didactics of geometry in the lowest class of the secondary school), Hlm. 179 – 183. English
summary of doctoral dissertation, University of Utrecht.
50. Van Hiele, P. M. 1957. De Problematiek van het inzicht, gedemonstreed aan het inzicht van school
kideren in meetkunde – leerstof (The problem of insight in connection with school children’s insight
into subject matter of geometry), hlm. 211-215. English summary of doctoral dissertation,
Universitas Of Utrecht.
51. Venkataraman, S. 2007. “Learning Triangle Proparties through Sketchp ad Activities”, Proceedings
of the Redesigning Pedagogy: Culture, Knowledge and Understanding Conference. Singapore.
52. Zeynep Gecu, Nesrin Ozdener. 2010.The effects of using geometry software supported by digital
daily life photographs on geometry learning. Procedia Sosial and Behavioral Sciences 2: 2824–2828.
90
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF
TIPE ROUND ROBIN DALAM PEMBELAJARAN
MATEMATIKA
Ergusni
Abstrak. Pembelajaran matematika dapat membentuk pola pikir yang logis dan sistematis. Matematika
juga merupakan alat dan sarana berpikir bagi ilmu yang lain dalam penyelesaian masalah. Siswa dituntut
untuk dapat mempelajari, memahami, dan menguasai konsep matematika dengan baik. Pembelajaran
matematika seharusnya mengoptimalkan semua unsur pembelajaran dan indra siswa sebagai pembelajar.
Guru, perlu merancang pembelajaran sehingga proses pembelajaran dapat terlaksana dengan baik,
bersemangat dan menyenangkan, dengan harapan matematika tidak lagi dianggap mata pelajaran yang
menakutkan. Oleh karena itu, peran guru sebagai motivator dan fasilitator lebih diutamakan demi
tercapainya tujuan pembelajaran. Maka penulis mengemukakan suatu solusi yaitu dengan menawarkan
model pembelajaran kooperatif tipe Round Robin. Sedangkan permasalahan dalam makalah ini adalah
“Bagaimana langkah-langkah penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Round Robin dalam
pembelajaran matematika?
Kata kunci: Model pembelajaran Kooperatif tipe Round Robin, Pebelajaran Matematika
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Matematika mempunyai peranan penting dalam perkembangan ilmu dan teknologi.
Pelajaran matematika dapat membentuk pola pikir yang logis dan sistematis. Karena itu
matematika dijadikan salah satu mata pelajaran yang diajarkan pada setiap jenjang
pendidikan, mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Melihat pentingnya
pelajaran matematika tersebut, seorang guru harus mampu mendidik dan melatih siswanya
dalam belajar sehingga pembelajaran dapat terlaksana dalam suasana yang menyenangkan.
Hal ini diharapkan dapat membuat siswa selalu antusias mengikuti pembelajaran dari awal
sampai selesai.Upaya untuk meningkatkan aktivitas siswa dalam mengikuti pembelajaran
perlu ditumbuhkan untuk meningkatkan hasil belajar, mengatasi masalah dan dapat
menerapkannya dalam kehidupan.
Banyak model pembelajaran yang dapat digunakan guru dalam mengajar untuk
meningkatkan aktivitas, kreatifitas dan kemandirian siswa. Salah satu model yang dibahas
dalam makalah ini adalah model pembelajaran kooperatif tipe Round Robin. Menurut
Ibrahim (2000:49) Round Robin adalah “suatu kegiatan yang mengajarkan siswa
bagaimana menunggu giliran pada saat bekerja dalam kelompok”. Pada model ini
mengharuskan setiap siswa untuk berbagi sesama anggota kelompok dengan mengeluarkan
ide kreatif dan pendapat mereka mengenai masalah pembelajaran yang sedang dibahas.
91
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Siswa dilatih untuk tertip dalam menunggu giliran memberikan kontribusi dalam menjawab
pertanyaan. Siswa juga dituntut untuk bisa mempertanggung jawabkan hasil diskusi
mereka dalam memnyelesaikan masalah.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka, rumusan masalah adalah “Bagaimana
langkah-langkah model pembelajaran kooperatif tipe Round Robin dalam pembelajaran
matematika?
3. Tujuan
Berdasarkan
permasalahan
di
atas,
maka
makalah
ini
bertujuan
untuk
mendeskripsikan langkah-langkah model pembelajaran Round Robin dalan
pembelajaran matematika.
4. Manfaat
Sebagai tambahan referensi bagi pembaca, dan bahan masukan dalam upaya meningkatkan
kualitas pembelajaran matematika.
B. PEMBAHASAN
1. Pembelajaran Kooperatif Tipe Round Robin
Round robin adalah model pembelajaran kooperatif yang lebih menekankan pada
keterampilan berbagi. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibrahim(2000:49) Round robin
adalah“suatu kegiatan yang mengajarkan siswa bagaimana menunggu giliran pada saat
bekerja dalam kelompok”. Prosesnya amat sederhana dimana guru mengemukakan suatu
ide atau mengajukan suatu pertanyaan yang mempunyai banyak jawaban. Kemudian setiap
siswa harus memberikan konstribusinya dalam menyelesaikan tugas tersebut. Siswa harus
memupuk kerjasama dalam kelompok dengan baik, yaitu dengan saling menghargai
pendapat masing masing.
Menurut Irfan Dani (2013) Round Robin adalah suatu tipe pembelajaran dimana para siswa
bergiliran memberikan konstribusi menjawab pertanyaan dalam sebuah kelompok dalam
bentuk tulisan. Dalam pembelajaran ini guru mengajukan permasalahan yang memiliki
beberapa alternatif jawaban.
Menurut Wahyuni (2008:5): Langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe round robin
sebagai berikut:
1. Siswa dibagi kedalam beberapa kelompok terdiri dari 4-5 orang. Guru membagi siswa
diluar jam pelajaran, agar saat pelajaran dimulai siswa sudah duduk berdasarkan
kelompoknya masing-masing.
92
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
2. Tiap anggota kelompok diberikan nomor. Ini bertujuan untuk memudahkan guru
dalam mengontrol siswa dalam pelaksanaan diskusi.
3. Guru memberikan tugas dan pertanyaan pada siswa.
4. Masing-masing siswa memiliki tanggung jawab untuk menjawab pertanyaan secara
individu dan kelompok.
5. Setiap siswa juga diberikan lembar jawaban untuk menjawab tugas yang diberikan.
6. Siswa diberikan waktu berfikir dan bekerja dalam kelompok, sementara itu guru
berkeliling untuk membimbing siswa dari kelompok yang satu ke kelompok yang lain.
7. Setiap siswa dari setiap kelompok wajib memberikan jawaban atas masalah yang
diberikan guru. Disini setiap siswa bertanggung jawab atas jawaban yang mereka
berikan.
8. Setelah siswa selesai memberikan jawaban masing-masing, satu siswa mulai
memperlihatkan jawaban pada anggota kelompoknya. Sedangkan teman-teman yang
lain mendengar dan memperhatikan dengan serius. Begitu seterusnya sampai semua
anggota kelompok saling mengetahui jawaban satu sama lain.
9. Kelompok menentukan jawaban yang paling tepat dari hasil diskusi untuk
dipresentasikan kedepan kelas
10. Guru menunjuk kelompok-kelompok tertentu untuk memberikan jawaban, sedangkan
kelompok yang lain sebagai penanggap dan memberikan penilaian.
2. Langkah-langkah model Pembelajaran kooperatif tipe Round Robin dalam
pembelajaran matematika
Pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaranKooperatif tipe Round
Robin menuntut siswa untuk melakukan pemecahan masalah secara kreatif. Kegiatan
pembelajaran didominasi oleh siswa, sedangkan guru hanya sebagai fasilitator dan
pembimbing dalam penyelesaian masalah.
Dalam pembelajaran ini siswa diberikan masalah-masalah yang kontektual dan bersifat
opend ended yang harus dipecahkan. Masalah tersebut berupa soal pemecahan masalah
yang terdapat dalam Lembar Kerja Siswa (LKS). Selama proses pembelajaran berlangsung,
masing-masing siswa aktif membahas permasalahan sesuai idenya, dan mengemukakan
alternatif penyelesaian masalah dalam kelompok dan dalam diskusi kelas. Guru selalu
memonitor kerja siswa dan
membimbing
bila diperlukan
agar siswa mampu
menyelesaikan masalah dengan baik.
Setelah diberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan alternatif penyelesaian,
guru membimbing siswa untuk mengevaluasi hasil kerja dan memilih alternatif
penyelesaian masalah yang tepat. Untuk melihat kemampuan siswa setelah dilaksanakan
93
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
evaluasi dan pemilihan alternatif penyelesaian masalah, siswa diberikan masalah yang
harus dipecahkan sebagai latihan.
Untuk melihat secara lebih jelas, pembelajaran matematika menggunakan model
pembelajaran Kooperatif tipe Round Robin dapat dikemukakan dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
1. Guru mengkodisikan siswa untuk siap memulai pembelajaran, dengan mengajak
berdo’a, menyampaikan tujuan pembelajaran matematika, memotivasi siswa
dengan menayangkan manfaat materi pembelajaran dalam kehidupan, selanjutnya
menggali pengalaman siswa sehubungan materi pembelajaran matematika yang
akan dibahas.
2. Guru menjelaskan strategi pembelajaran yang akan dilaksanakan.
3. Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok yang terdiri dari 4
orang tiap
kelompok.
4. Guru memberikan nomor pada masing-masing siswa sesuai nomor urut di absen.
5. Guru memfasilitasi siswa dengan bahan ajar dan lembar kegiatan siswa(LKS)
dengan
permasalah
kontekstual yang bersifat open-ended, beserta lembar
jawaban pada masing-masing anggota kelompok.
6. Masing-masing siswa diminta mempelajari bahan ajar yang diberikan dan
mendiskusikan hal-hal yang kurang dimengerti.
7. Guru berkeliling memantau kerja siswa.
8. Masing-masing siswa menyelesaikan permasalahan yang sudah diberikan pada
lembar jawaban sesuai pendapat masing-masing.
9.
Setiap siswa bertanggung jawab atas jawaban yang mereka berikan.
10. Guru berperan sebagai pembimbing selama proses pembelajaran.
11. Dalam satu kelompok masing-masing anggota menyampaikan hasil jawabannya
secara bergiliran, dan mendiskuaikannya , sampai semua anggota kelompok betulbetul memahami jawaban dari masing-masing anggotanya.
12. Anggota kelompok bermusyawarah untuk memilih hasil penyelesaian yang akan
dipresentasikan.
13. Guru menunjuk satu atau dua
kelompok
untuk mempersentasikan
hasil
diskusinya kedepan kelas.
14. Guru meminta kelompok lain untuk meberikan tanggapannya.
15. Guru mengkonfirmasi dengan menyempurnakan hasil diskusi.
16. Guru membimbing siswa membuat kesimpulan terhadap materil pembelajaran.
17. Guru memberikan kuis untuk melihat ketercapaian tujuan pembelajaran.
94
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
18. Guru memberikan pekerjaan rumah dengan meminta siswa membuat ringkasan
untuk materi berikutnya dan mengerjakan beberapa permasalahan sesuai materi
yang telah dibahas.
19. Diakhir pembelajaran siswa diajak bersyukur kepada Allah dengan mengucapkan
hamdallah.
Untuk jelasnya langkah-langkah pelaksanaan model pembelajaran Round Robin dapat
dapat dilihat pada kegiatan rencana pelaksanaan pembelajaran seperti pada tabel 1.
Tabel 1. Kegiatan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
No
Langkah
Kegiatan
1
Kegiatan awal
2
Kegiatan inti
a. Siswa memimpin do’a
b. Guru mengingatkan siswa, bahwa semua yang
akan kita pelajari, dapat dipahami atas izin Allah.
c. Guru menayangkan atau menuliskan tujuan
pembelajaran matematika.
d. Guru memotivasi siswa dengan menayangkan
fenomena yang berhubungan dengan materi
matematika
yang
akan
dipelajari,
dan
menyampaikan manfaat materi dalam kehidupan
sehari-hari.
e. Guru menggali pengetahuan siswa tentang materi
yang akan dipelajari.
f. Guru menjelaskan strategi pembelajaran.
a. Guru meminta siswa untuk duduk berdasarkan
kelompok yang sudah dibagi sebelumnya agar
bisa bersosialisasi dengan anggota kelompoknya
b. Guru
memberikan
bahan
ajar,
lembar
permasalahan matematika yang bersifat openended dan lembar jawaban pada tiap-tiap anggota
kelompok.
c. Guru
meminta
masing-masing
siswa
mempelajari bahan ajar dan permasalahan yang
diberikan, serta mendiskusikannya jika ada yang
kurang di mengerti.
d. Guru
meminta
siswa
menyelesaikan
permasalahan sesuai petunjuk pada lembaran
yang diberikan secara individual.
e. Gura meminta siswa untuk saling menukar
lembar jawaban masing-masing pada teman
kelompok dan membahasnya secara bergiliran
sampai semua jawaban dipahami anggota
kelompok.
f. Guru meminta anggota kelompok bermusyawarah
untuk memilih salah satu lembar jawaban yang
akan dipresentasikan
95
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
3
Kegiatan
Penutup
g. Guru memilih secara acak satu atau dua
kelompok untuk mempresentasikan hasil kerja
kelompoknya.
h. Guru mengkonfirmasi lembar jawaban yang
sudah di presentasikan
a. Guru membimbing siswa menyimpulkan materi.
b. Guru memberikan PR dengan meminta siswa
membuat ringkasan materi pertemuan berikutnya
dan membahas permasalahan tentang materi yang
sudah dipelajari.
c. Guru memberikan kuis.
d. Guru mengajak siswa bersyukur kepada Allah
dengan mengucapkan hamdallah.
C. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa :
1. Model pembelajaran kooperatif tipe Round robin mempunyai 19 langkah yang
menggambarkan kegiatan yang harus dilaksanakan guru, sehingga tercipta pembelajaran
yang menyenangkan menantang dan mengasah otak siswa.
2. Langkah-langkah pelaksanaan kooperatif tipe Round robin menggambarkan kegiatan
yang akan dilaksakan oleh guru dan siswa selama pembelajaran.
2. Saran
Berdasarkan uraian di atas penulis menyarankan, diharapkan kepada Guru matematika atau
guru bidang studi lainnya dapat menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Round
Robin dalam proses pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Ergusni, dan Usmadi. 2011. Buku Pedoman Penulisan dan Ujian Skripsi. Padangpanjang: Program
Studi Matematika
2. Hamalik, Omar. 2011. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara
3. Hamdani. 2011. Strategi Belajar mengajar. Bandung :Pustaka Setia
4. Ibrahim, Muslim dkk.2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya
5. Lie, Anita. 2002. Kooperatif Learning. Jakarta: PT Gramedia Sarana Cipta
6. Sardiman. 20011. Interaksi Dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada
7. Silberman, Melvin. 2006. Active Learning 101 Cara Belajar Siswa Aktif. Bandung : Nuansa
8. Suherman, Erman dkk. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: Jica
9. Suryabrata, Sumadi. 2010. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Raja Grafindo
10. Dani, Irfan. 2013. http://Pustaka.Pandani.web.id/2013/10/Model-pembelajaran-Round-Robin.html
11. Tikmayasa, Agustina. 2013. http://tikmayasa.wordpress.com/2013/13/29/model-pembelajarankooperatif
12. Dianidewi. 2013. http://dianidewi.blogspot.com/2013/07/model-pembelajaran-round-robin.html
96
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS
MATEMATIS SISWA SMP MELALUI PEMBELAJARAN
BERBASIS MASALAH
Fitriana Yolanda
Universitas Islam Riau, Jl. Khaharudin Nasution No. 113 Marpoyan Pekanbaru
[email protected]
Abstrak.Penelitian ini bertujuan untuk menelaah peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa
yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah dan siswa yang memperoleh pembelajaran dengan
pendekatan saintifik.Penelitian ini merupakan penelitian quasi eksperimen dengan desain Pretes-Post-test
two treatment design.Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII salah satu SMPN di
Bandung.Hasil penelitian menunjukkan:(1)Kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh
pembelajaran berbasis masalah lebih tinggi dari pada siswa yang memperoleh pembelajaran dengan
pendekatan saintifik;(2)Peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh
pembelajaran berbasis masalah lebih tinggi dari pada siswa yang memperoleh pembelajaran dengan
pendekatan saintifik
Kata kunci:
Pembelajaran berbasis masalah, Kemampuan Berpikir Kritis
A. PENDAHULUAN
Salah satu gerbang untuk meningkatkan sumber daya manusia adalah melalui pendidikan yang
membuat
identitas
seseorang
menjadi
lebih
terampil,
inovatif,
produktif
dan
berpengetahuan.Bahkan pendidikan diyakini sebagai salah satufaktor yang menentukan kulitas
sumber
daya
manusia
(Effendi,
1992).Melalui
pendidikan
seseorang
dapat
lebih
berpengetahuan, terampil, inovatif dan produktif daripada mereka yang tidak berpendidikan.
Pendidikan dikatakan bermutu apabila proses pendidikan berlangsung secara efektif dan
menghasilkan individu-individu atau sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu
bersaing dalam berbagai bidang dunia teknologi saat sekarang ini.
Untuk terciptanya sumber daya manusia tersebut maka mutu pendidikan merupakan alternatif
yang perlu ditingkatkan untuk memenuhi keinginan tersebut.Salah satu mutu yang harus
ditingkatkan adalah pengembangan pembelajaran yang berkualitas diantaranya pengembangan
pembelajaran matematika.Proses pembelajaran matematika menurut Sabandar (2009:1)
berkaitan erat dengan aktivitas dan proses belajar serta berpikir karena karakteristik matematika
merupakan suatu ilmu dan human activity, yaitu bahwa matematika adalah pola berpikir, pola
mengorganisasikan pembuktian yang logis, yang menggunakan istilah yang didefinisikan
dengan cermat, jelas, dan akurat.Langkah pertama dalam peningkatan proses pembelajaran
adalah pengembangan kurikulum di dalamnya menyangkut tujuan pembelajaran matematika.
Tujuan-tujuan pembelajaran matematika SMP yang terdapat dalam Departemen Pendidikan
97
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Nasional (2006) tersebut pada hakikatnya dapat dikelompokkan ke dalam dua tujuan
kemampuan berpikir matematis yaitu berpikir tingkat tinggi (high-order mathematical thinking)
dan berpikir tingkat rendah (low-order mathematical thinking).
Berpikir kritis merupakan salah satu kemampuan berpikir tingkat tinggi yang perlu
dikembangkan dalam pembelajaran matematika baik dari tingkat dasar sampai sekolah
menengah. Menurut Anderson (2004) bila berpikir kritis telah dikembangkan, maka seseorang
akan cenderung untuk mencari kebenaran, berpikir terbuka dan toleran terhadap ide-ide baru,
dapat menganalisis masalah dengan baik, berpikir secara sistematis, penuh rasa ingin tahu,
dewasa dalam berpikir, dan dapat berpikir kritis secara mandiri.Namun kenyataannya, beberapa
studi menunjukkan masih rendahnya kemampuan berpikir kritis yang dimiliki oleh
siswa.Berdasarkan hasil penelitian Osarenren dan Asiedu (2007:1) permasalahan dalam
keterampilan bermatematika siswa yang rendah akibat dari ketidakmampuan siswa untuk
berpikir kritis dan menganalisa konsep matematika secara sistematis.Selain itu, Karim (2010)
menunjukkan bahwa rata-rata kemampuan berpikir kritis siswa SMP berada pada kualifikasi
kurang.
Jika melihat lebih jauh pembelajaran matematika yang terjadi di kelas-kelas di Indonesia pada
umumnya belum menghadirkan pembelajaran yang menumbuhsuburkan kemampuan berpikir
kritis.Hasil dari penelitian-penelitian di atas, mengindikasikan bahwa kemampuan berpikir kritis
siswa di Indonesia masih belum mencapai hasil yang memuaskan.Oleh karena itu diperlukan
suatu pembelajaran yang dapat mendorong siswa untuk terlibat secara aktif dalam diskusi,
bertanya serta menjawab pertanyaan, berpikir secara kritis, sehingga pada akhirnya akan
berdampak positifpada prestasi dan hasil belajar siswa. Pembelajaran yang diharapkan dapat
mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa adalah pembelajaran berbasis masalah
(Problem Based Learning).
Pembelajaran berbasis masalah merupakan salah satu pembelajaran yang berlandaskan pada
teori belajar konstruktivisme, yang berorientasi pada student centered-learning.Dalam
pembelajaran berbasis masalah guru tidak menyajikan konsep matematika dalam bentuk yang
sudah jadi, namun dengan menghadapkan siswa pada suatu masalah yang didalamnya ada fakta,
situasi, keadaan yang dapat berpotensi menimbulkan konflik kognitif pada siswa.Melalui
bantuan teman dan juga guru diharapkan siswa dapat menyusun kembali dan menemukan
konsep yang benar dari masalah yang diberikan.Bantuan yang diberikan guru tidak berarti harus
menjawab pertanyaan siswa secara langsung, tetapi bisa balik bertanya dengan menggunakan
teknik bertanya dan mengarahkan siswa untuk menemukan konsep yang benar.Dengan segenap
pengetahuan dan kemampuan yang telah dimilikinya, siswa dituntut untuk menyelesaikan
masalah yang kaya dengan konsep-konsep matematika.Rusman (2011:229) menyatakan bahwa
98
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
pembelajaran berbasis masalah merupakan salah satu alternatif pembelajaran yang
memungkinkan dikembangkannya keterampilan berpikir siswa seperti berpikir kritis.
Dilain pihak, pendekatan pembelajaran yang direkomendasikan di dalam kurikulum 2013
adalah pendekatan saintifik. Pendekatan saintifik yang diterapkan di Indonesia menjabarkan
langkah-langkah pembelajaran tersebut menjadi lima langkah,yaitu: mengamati, menanya,
mencoba,
mengasosiasi
dan
mengkomunikasikan
(Kemendikbud,2013:9-10).Susilo,
Wiyanto,dan Supartono,(2012)menunjukkan bahwa model pembelajaran berbasis masalah erat
sekali hubungannya dengan kemampuan berpikir kritis.Berdasarkan uraian di atas, maka penulis
tertarik untuk meneliti apakah pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan kemampuan
berpikir kritissiswa dalam pembelajaran matematika. Sehingga penelitian ini penulis beri
judul“Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMP melalui Pembelajaran
Berbasis Masalah”.
B. KAJIAN TEORI
1. Kemampuan Berpikir Kritis Matematis
Glaser (Fisher, 2007:3) mendefinisikan berpikir kritis sebagai berikut: 1) Suatu sikap mau
berpikir secara mendalam tentang masalah-masalah dan hal-hal yang berada dalam
jangkauan pengalaman seseorang, 2) Pengetahuan tentang metode-metode pemeriksaan
dan penalaran yang logis, 3) Semacam suatu keterampilan untuk menerapkan metodemetode tersebut.Salah satu kontributor terkenal dalam perkembangan tradisi berpikir kritis
Robert Ennis mendefinisikan berpikir kritis adalah pemikiran yang masuk akal dan reflektif
yang berfokus untuk memutuskan apa yang mesti dipercaya atau dilakukan (Fisher,
2007:2-4).Ennis (Baron dan Sternberg, 1987:12) menyatakan bahwa terdapat lima
kemampuan yang termuat di dalam berpikir kritis, yaitu: (1) memberikan penjelasan
sederhana (elementary clarification), (2) membangun keterampilan dasar (basic support),
(3) membuat kesimpulan (infering), (4) membuat penjelasan lebih lanjut (advanced
clarification), (5) mengatur strategi dan taktik (strategies and tactics).
2. Pembelajaran Berbasis Masalah
Duch (Ibrahim dan Nur, 2000) menyatakan pembelajaran berbasis masalah atau Problem
Based Learning adalah metode pembelajaran yang mendorong siswa untuk mengenal cara
belajar dan bekerja sama dalam kelompok untuk mencari penyelesaian masalah-masalah di
dunia nyata.Karakteristik pembelajaran berbasis masalah terdiri dari tiga hal pokok, yaitu
siswa menyelesaikan masalah sesuai dengan kemampuannya, masalahnya tidak terstruktur
dengan baik (ill-structured), berarti kurangnya informasi yang diperlukan dan memuat isu
yang tidak terselesaikan, menjadi kompleks melalui inkuiri dan investigasi, memerlukan
alasan untuk dapat diselesaikan, jika mungkin dapat diselesaikan dengan lebih dari satu
99
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
cara (University of Southern California, 2001).Langkah-langkah dalam pembelajaran
berbasis masalahmenurut Arends(2007-57) meliputi lima tahap yang dimulai dengan guru
mengorientasi siswa pada masalah, mengorganisasikan siswa untuk belajar,membimbing
penyelidikan individual maupun kelompok, mengembangkan dan menyajikan hasil karya,
serta menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.
3. Pendekatan Saintifik
Pendekatan saintifik mengarahkan siswa untuk mencari tahu masalah, tidak sekedar
menjawab masalah. Melalui proses mencari tahu, siswa memahami bahwa pengetahuan
tidak hanya dapat diperoleh melalui guru saja, tetapi berasal dari mana saja dan kapan saja.
Pendekatan saintifik tidak hanya memandang hasil belajar sebagai muara akhir, namun
proses pembelajaran dipandang sangat penting. Oleh karena itu pembelajaran saintifik
menekankan pada keterampilan proses. Pendekatan saintifik yang diterapkan di Indonesia
menjabarkan langkah-langkah pembelajaran tersebut menjadi lima, yaitu: mengamati,
menanya, mencoba, mengasosiasi dan mengkomunikasikan (Kemendikbud, 2013:9-10).
C. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian Quasi Experimental yang terdiri dari dua kelompok
penelitian yaitu kelas eksperimen merupakan kelompok siswa yang melakukan
pembelajaran berbasis masalah dan kelas kontrol adalah kelompok siswa yang melakukan
pembelajaran dengan pendekatan saintifik.Desain penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah desain kelompok kontrol non-ekuivalen (Ruseffendi, 2006:52).Pada
desain ini, subjek tidak dikelompokkan secara acak, tetapi peneliti menerima keadaan
subjek seadanya.Pretes diberikan sebelum proses pembelajaran dalam penelitian ini
dimulai, sedangkan postes diberikan setelah keseluruhan proses pembelajaran selesai.
Penelitian ini dilaksanakan pada salah satu Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri di
kota Bandung, Provinsi Jawa Barat. Penelitian dilaksanakan di kelas VIII semester ganjil
tahun pelajaran 2014/2015. Penentuan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling
yaitu teknik penarikan sampel yang berdasarkan pertimbangan
tertentu (Sugiyono,
2013:126) yaitu kelas yang memiliki karakteristik dan kemampuan akademik setara.
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
1. Analisis Skor Postes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa
Pengolahan data postes kemampuan berpikir kritis matematis siswa dilakukan dengan
menguji perbedaan rerata.Uji perbedaan rerata bertujuan untuk melihat perbedaan
100
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
kemampuan berpikir kritis matematis siswa di kelas yang memperoleh pembelajaran
berbasis masalah maupun pada siswa di kelas yang memperoleh pembelajaran dengan
pendekatan saintifik.Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 1. Hasil Uji Perbedaan Rerata Data Skor Postes Kelas Pembelajaran Berbasis
Masalah danKelas Pembelajaran dengan Pendekatan Saintifik
Levene's Test
t-test for Equality of Means
for Equality
of Variances
F
Sig.
T
df
Sig.
Mean
Std.
(2Differenc
Error
tailed)
e
Differen
ce
Equal
,65
variances
,420 2,308
72
,024
6,892
2,986
7
assumed
Postkesel
Equal
variances not
2,308 70,587
,024
6,892
2,986
assumed
Dari hasil uji independent sample t-test diperoleh nilai
. (2 −
) sebesar
0,024.Karena uji yang digunakan adalah uji satu pihak maka besarnya probablibitas
penolakan
adalah ×
= × 0,024 = 0,012 < , sehingga dapat disimpulkan bahwa
kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis
masalah lebih tinggi secara signifikan daripada siswa yang memperoleh pembelajaran
dengan pendekatan saintifik.
2. Analisis SkorN-gain Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa.
Analisis skor N-gain kemampuan berpikir kritis matematis menggunakan data gain
ternormalisasi. Rataan N-gain menggambarkan peningkatan kemampuan berpikir kritis
matematis siswa setelah diberikan tindakan baik pada kelas pembelajaran berbasis masalah
maupun pada kelas pembelajaran dengan pendekatan saintifik.Hasil perhitungan
selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 2.Hasil Uji Perbedaan Rata-Rata Data N-gainKemampuan Berpikir Kritis Matematis
Independent Samples Test
Levene's
t-test for Equality of Means
Test for
Equality of
Variances
F
Sig.
T
Df
Sig.
Mean
Std. Error
(2- Differenc Differenc
tailed)
e
e
Equal variances
Ngainkesel
,906 ,344 2,203
72
,031
,06757
,03067
assumed
101
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Equal variances
not assumed
2,203
69,31
7
,031
,06757
,03067
Berdasarkan tabel di atas nilai signifigansi t-test adalah 0,031. Karena uji hipotesis yang
digunakan satu sisi (1-tailed) maka nilai signifikansinya0,0155< . Akibatnya
ditolak
sehingga dapat dikatakan bahwa peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa
yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah lebih tinggi secara signifikan dari siswa
yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan saintifik.
PEMBAHASAN
1. Pembelajaran Berbasis Masalah
Penelitian ini dilaksanakan pada salah satu SMP Negeri di Bandung semester ganjil tahun
ajaran 2014/2015 tepatnya pada siswa kelas VIII (delapan).Penelitian dilakukan selama
satu bulan (delapan kali pertemuan).Secara umum pelaksanaan pembelajaran berbasis
masalah berjalan dengan baik. Setiap pertemuan terdiri atas 2 jam pelajaran dimana setiap
jam pelajaran terdiri atas 40 menit. Proses pembelajaran dilaksanakan pada kelas
eksperimen menggunakan pembelajaran berbasis masalah dan kelas kontrol menggunakan
pembelajaran dengan pendekatan saintifik. Guru memperkenalkan diri pada pertemuan
pertama dan menjelaskan tujuan kedatangan kesekolah tersebut. Guru menjelaskan
prosedur dan mekanisme penelitian. Selanjutnya, guru memberikan tes kemampuan
berpikir kritis (pretes) untuk mengetahui kemampuan awal siswa. Pelaksanaan
pembelajaran yang dilakukan tidak terlepas dari acuan yang telah disusun dalam RPP
(Rencana Pelaksanaan Pembelajaran).Dimana di dalamnya terdapat tahapan-tahapan yang
harus dilakukan agar pembelajaran berjalan sesuai dengan yang telah direncanakan.
2. Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa
Kemampuan berpikir kritis matematis diukur melalui indikator antara lain: (1) Mencari
persamaan
dan
mempertimbangkan
perbedaan;
keputusan
(2)
Membuat
serta
generalisasi;
menerapkan
(3)
Membuat
dan
prinsip-prinsip;(4)Kemampuan
memberikan alasan; (5) Mengidentifikasi masalah. Berdasarkan data awal hasil perolehan
skor pretest didapatkan fakta bahwa siswa kelas pembelajaran berbasis masalah dan kelas
pembelajaran dengan pendekatan saintifik memiliki kemampuan berpikir kritis matematis
yang sama. Setelah diberikan pembelajaran berbasis masalah pada kelas eksperimen dan
pembelajaran dengan pendekatan saintifik pada kelas kontrol, terjadi peningkatan
kemampuan berpikir kritis yang signifikan pada kelas pembelajaran berbasis masalah
dibandingkan dengan kelas pembelajaran dengan pendekatan saintifik ditinjau dari
keseluruhan siswa. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran berbasis masalah dapat
meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa
102
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Penelitian ini juga melihat peningkatan N-gain terhadap kemampuan berpikir kritis
matematis siswa. Dari hasil analisis diperoleh bahwa rata-rata skor N-gain kemampuan
berpikir kritis matematis siswa di kedua kelas menunjukan bahwa peningkatan kemampuan
berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah termasuk
ke dalam kategori sedang dengan rata-rata sebesar 0,37 dan peningkatan kemampuan
berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan
saintifik juga termasuk ke dalam kategori sedang dengan rata-rata sebesar 0,31.
Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa pembelajaran berbasis masalah
memberi pengaruh positif terhadap peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis
secara signifikan.Terjadi peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis pada siswa
kelas pembelajaran berbasis masalah yang lebih tinggi daripada kelas pembelajaran dengan
pendekatan saintifik tidak terlepas dari keterkaitan antara peran guru, siswa dan materi.
E. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data, dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis matematis
siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah (Problem based learning) lebih tinggi
daripada siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan saintifik dan peningkatan
kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah
(Problem based learning) lebih tinggi daripada siswa yang memperoleh pembelajaran dengan
pendekatan saintifik. Berdasarkan kesimpulan, maka disarankan kepada guru agar diperhatikan
pengaturan waktu seefisien mungkin sehingga proses pembelajaran sesuai dengan yang
diharapkan. Karena pembelajaran berbasis masalah sesungguhnya membutuhkan waktu yang
cukup banyak sehingga perlu manajemen waktu yang baik. Selanjutnya bahasan matematika
yang dikembangkan dalam penelitian ini hanya pada jenjang Sekolah Menengah Pertama dan
pada materi Fungsi. Masih terbuka peluang untuk melakukan penelitian lanjutan pada jejang
dan materi lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
Anderson, T., Garrison, D.R.,dan Archer, W.(2004). Critical Thinking, Cognitive Presence,Computer
Conferencing
in
Distance
Learning.[Online].Tersedia:http://communityofinquiry.com/files/CogPres_Final.pdf[15Desember
2010].
Arend, R.I. (2007). Learning to Teach. New York: McGraw Hill.
Asiedu, O. (2007). Councelling implications on the role of the new mathematics teacher in the
teaching and learning of mathematics. Internasional Journal of Educational Research, 3(1), 13-20.
Nigeria.
Baron, J. B & Sternberg, R. J. (1987). Teahcing Thinking Skill. NewYork:W. H. Freeman and
Company.
Depdiknas. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Depdiknas.
103
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
6.
7.
Dewanto, S.P. (2007).Meningkatkan Kemampuan Multipel Representasi Mahasiswa melalui
Problem-based Learning. Disertasi pada SPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.
Effendi, T.N. (1992). Sumber Daya Manusia di Indonesia.Yogyakarta: Pusat Pendudukan
Universitas Gajah Mada.
Ennis, R. H. (1996). Critical Thinking. United State of America: Prentice-Hall Inc.
8.
9. Fisher, Alec. (2007). Berpikir Kritis Sebuah Pengantar. Jakarta: Erlangga.
10. Fogarty, R. (1997). Problem Based Learning And Other Curriculum Models For The Multiple
Intelligences Classroom. Melbourne:Hawker Bronlow Education.
11. Ibrahim, M., Nur, M. (2000). Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: UNESA University
Press.
12. Johnson, E, (2006). Contextual Teaching and Learning. Bandung: MLC
13. Karim, A. (2010). Meningkatkan Kemampuan Penalaran dan Berpikir Kritis Matematis Siswa SMP
Melalui Pembelajaran Model Reciprocal Teaching. Tesis pada SPs UPI. Bandung: Tidak
Diterbitkan.
14. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan direktorat Jenderal pendidikan Menengah.(2013).
Pembelajaran Berbasis Kompetensi Mata Pembelajaran Matematika (perminatan). Direktorat
PSMA.
15. Liberna, H. (2012). Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa melalui Penggunaan
Metode Improve pada Materi Sistem Persamaan Linear Dua Variabel. Jurnal Formatif 2(3), 190197.
16. Meltzer, D.E. (2002). The Relationship Between Mathematics Preparation and Conceptual Learning
Gains in Physics: A Possible “Hidden Variable” in Diagnostic Pretes Scores. American Journal of
Physics.Vol 70 no.12 ,1259-68.
17. National Council of Teachers of Mathematics (NCTM). (1999). Principles and Standards for School
Mathematics. Reston, Virginia: NCTM.
18. Rahmawati, T.D. (2012). “Kompetensi Berpikir Kritis dan Kreatif dalam Pemecahan Masalah
Matematika di SMP Negeri 2 Malang”. Elektronik Jurnal Pendidikan Matematika Universitas
Muhammadiyah
Malang.[Online].Tersedia:http://ejournal.umm.ac.id/index.php/penmath/article/viewFile/612/634_um
m_scientific_journal. pdf [13 Desember 2012].
19. Ruseffendi, H. E. T. (2006). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya
dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA, Edisi. Bandung: Tarsito.
20. Sabandar, J. (2009). “Thinking Classroom dalam Pembelajaran Matematika di
Sekolah”.http://file.upi.edu/Direktori/FPMIPA/jur.pend.matematika/194705241981031-jozua
sabandarkumpulan makalah dan jurnal/Thinking-Classroom-dalam-Pembelajaran-Matematika-diSekolah.pdf.[22November 2013].
21. Savery. J. R (2006).OverviewofProbelm Based Learning:Definitions and Distingtions.The
Interdisciplinary
Journal
of
Problem
BasedLearning.Vol.1,(1),Page920.[Online].Tersedia:http://www.tne.uconn.edu/Case$20Method/Savery,%202006.pdf (22 Mei2013).
22. Sugiyono. (2013). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
23. Suherman, E. (2003). Evaluasi Pembelajaran Matematika. Bandung: JICA.
24. Susilo, A.B,Wiyanto, & Supartono. (2012). Model Pembelajaran IPA Berbasis Masalah Untuk
Meningkatkan Motivasi Belajar Dan Berpikir Kritis Siswa SMP) :Model. Unnes Science Education
Journal
25. Tasdikin. (2012). Pembelajaran Berbasis Masalah Untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi
dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP. Tesis pada SPs UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan.
26. Trianto. (2011) Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. (Konsep, Landasan Teori,
Praktis dan Implementasinya. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher
27. Wahyudin. (1999).”Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematika, dan Siswa dalam
Pelajaran Matematika”. Disertasi pada SPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.
104
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
PENGARUH PEMBELAJARAN AKTIF TIPE GIVING
QUESTION
AND GETTING ANSWER (GQGA) TERHADAP
PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA KELAS
VIII SMP KARTIKA I-7 PADANG
Ira Fatmi Musdalifah1, Anny Sovia2, Rahima3
STKIP PGRI Sumatera Barat, Jl. Gunung Pangilun, Padang
1
[email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pemahaman konsep siswa kelas VIII SMP Kartika I-7
Padang yang masih rendah, malu dan tidak percaya diri dalam bertanya dan mengeluarkan pendapat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pemahaman konsep matematika siswa dengan
menerapkan pembelajaran aktif tipe Giving Question and Getting Answer lebih baik daripada pemahaman
konsep matematika siswa yang menerapkan pembelajaran konvensional pada siswa kelasVIII SMP
Kartika I-7 Padang. Penelitian ini adalah penelitian eksperimen dengan rancangan random terhadap
subjek. Instrumen yang digunakan adalah tes akhir dengan reliabelitas 0,74. Teknik analisis data yang
digunakan adalah uji-t satu pihak pada taraf nyata 0,05. Hasil uji hipotesis diperoleh thitung = 1,75 > ttabel =
1,67, maka hipotesis diterima. Hasil dari penelitian ini adalah pemahaman konsep matematika siswa
dengan menerapkan pembelajaran aktif tipe Giving Question and Getting Answer lebih baik daripada
pemahaman konsep matematika siswa dengan menerapkan pembelajaran konvensional dikelas VIII SMP
Kartika I-7 Padang.
Kata Kunci: Giving Question and Getting Answer, pemahaman konsep Matematika
A. PENDAHULUAN
Berdasarkan observasi di SMP Kartika I-7 Padang pada tanggal 13 sampai 14 Agustus 2015,
terlihat bahwa pembelajaran masih terpusat pada guru. Tidak ada umpan balik dari siswa saat
guru menerangkan pelajaran, begitu juga saat guru memberikan kesempatan siswa untuk
bertanya tentang materi yang belum dipahami, siswa lebih banyak diam sehingga guru tidak
mengetahui sejauh mana pemahaman siswa terhadap materi yang diajarkan. Siswa malu
bertanya tentang materi yang belum dipahami dan tidak percaya diri dalam mengungkapkan
pendapat tentang hal yang dipahami. Disaat mengerjakan latihan, sebagian siswa menyalin
jawaban teman yang berkemampuan tinggi. Siswa sering tidak mampu menyelesaikan soal
yang berbeda dengan contoh soal yang diberikan guru. Hasil belajar matematika yang diperoleh
siswa banyak yang di bawah kriteria ketuntasan minimum (KKM).
Strategi pembelajaran yang dianggap sesuai untuk mengatasi masalah
siswa yang malu
bertanya dan mengeluarkan pendapat serta dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa
adalah strategi pembelajaran aktif tipe Giving Question and Getting Answer(GQGA). Menurut
Silbermen (2009: 244) “strategi ini dengan lemah lembut menantang peserta didik untuk
105
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
mengingat kembali apa yang telah dipelajari dalam setiap topik atau unit pelajaran”. Giving
Quetionand Getting Answer
(memberikan pertanyaan-memperoleh jawaban),
strategi
pembelajaran aktif tipe GQGA sangat baik digunakan untuk melibatkan siswa dalam mengulang
materi pelajaran yang telah disampaikan, dikembangkan untuk melatih siswa memiliki
kemampuan keterampilan bertanya dan menjawab pertanyaan. Tipe ini memberikan kesempatan
pada siswa untuk bertanya hal yang tidak dimengerti dan memberikan kesempatan kepada siswa
yang sudah mengerti untuk menjelaskannya. Strategi ini akan meningkatkan keberanian siswa
dalam mengemukakan pendapatnya dan memberikan sikap saling menghargai antar siswa.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pemahaman konsep matematika siswa yang
menerapkan pembelajaran aktif tipe Giving Question and Getting Answer lebih baik daripada
pemahaman konsep matematika siswa yang menerapkan pembelajaran konvensional dikelas
VIII SMP Kartika I-7 Padang.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 17 November 2015 sampai tanggal 1 Desember 2015
di SMP Kartika I-7 Padang. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen dengan rancangan
penelitian random terhadap subjekmerujuk pada Arikunto (2010). Variabel pada penelitian ini
adalah pembelajaran aktif tipe Giving Question and Getting Answer sebagai variabel bebas dan
pemahaman konsep matematika siswa sebagai variabel terikat.
Populasi penelitian adalah seluruh kelas VIII SMP Kartika I-7 Padang.Teknik pengambilan
sampel pada penelitian ini adalah secara acak. Kelas sampel ekperimen yang terpilih adalah
kelas VIII.3 dan VIII.1 sebagai kelas kontrol.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian adalah tes akhir. Sebelum diadakan tes akhir
dilakukan uji coba tes dikelas VIII.4 SMP PGRI 1 Padang pada tanggal 27 November 2015.
Hasil uji coba tes menunjukkan semua soal diterima dengan reliabelitas 0,74. Teknik analisis
data yang digunakan adalah analisis dengan uji-t satu pihak yang dikemukakan oleh Sudjana
(2005: 239).
=
dengan
=
(
)
(
)
dengan :
: Nilai rata-rata kelas eksperimen
: Nilai rata-rata kelas kontrol
: Variansi kemampuan pemahaman konsep kelas eksperimen
: Variansi kemampuan pemahaman konsep kelas kontrol
: Jumlah siswa kelas eksperimen
: Jumlah siswa kelas kontrol
106
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
s
: Simpangan baku kelas eksperimen
: Simpangan baku kelas kontrol
: Simpangan baku kedua kelas
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil tes yang diperoleh dari tes akhir berupa esai sebanyak 5 butir soal. Jumlah siswa yang
mengikuti tes akhir pada kelas eksperimen sebanyak 27 orang, sedangkan pada kelas kontrol
sebanyak 26 orang. Hasil analisis data tes akhir pemahaman konsep matematis siswa kelas
eksperimen dan kelas kontrol dapat dilihat pada Tabel berikut:
Tabel Analisis Hasil Tes Pemahaman Konsep Matematis Siswa Kelas Sampel
Kelas Sampel
S
Xmaks
Xmin
Eksperimen
67,9
15,6
95
44
Kontrol
61,2
11,9
84
37
Tabel di atas menunjukkan bahwa rata-rata nilai tes akhir kelas eksperimen lebih tinggi daripada
kelas kontrol. Rata-rata nilai tes akhir kelas eksperimen yaitu 67,89 sedangkan kelas kontrol
61,19. Selanjutnya simpangan baku kelas eksperimen tinggi dibandingkan simpangan baku
kelas kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelas eksperimen memiliki keragaman yang
tinggi, sehingga menyebabkan pada umumnya nilai siswa tersebar jauh dari nilai rata-rata kelas.
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis yang dilakukan dengan uji-t satu pihak, diperoleh bahwa
t
= 1,75 dan t
= 1,67 dengan t
>t
maka H
ditolak. Jadi dapat
disimpulkan bahwa pemahaman konsep matematika siswa dengan menerapkan pembelajaran
aktif tipe Giving Question and Getting Answer lebih baik daripada pemahaman konsep
matematika siswa dengan menerapkan pembelajaran konvensional pada siswa kelas VIII SMP
Kartika 1-7 Padang.
Gambaran untuk hasil dari tes akhir siswa dapat dilihat dari lembar jawaban siswa yang diambil
berdasarkan tingkat kemampuan siswa kedua kelas sampel. Pada soal nomor 1 terdapat
indikator pemahaman konsep yaitu menyatakan ulang sebuah konsep, mengaplikasikan konsep
atau algoritma kepemecahan masalah dan menyajikan konsep dalam berbagai bentuk
representasi matematis. Jawaban soal nomor 1 siswa kemampuan tinggi kelas eksperimen dapat
dilihat pada Gambar 1.
107
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Gambar 1. Jawaban Soal Nomor 1 Siswa Kemampuan Tinggi Kelas Eksperimen
Gambar 1 menunjukkan bahwa siswa mampu menyatakan ulang sebuah konsep yaitu
menentukan titik potong pada sumbu x dan y pada persamaan 1, sedangkan pada persamaan 2
siswa tersebut tidak membuatkan titik potong pada sumbu x dan y. Pada indikator
mengaplikasikan konsep atau algoritma dan indikator menyajikan konsep dalam berbagai
bentuk representasi matematis siswa mampu menjawab dengan benar dan tepat. Sehingga siswa
tersebut memperoleh skor pada soal nomor 1 yaitu 42. Namun lain halnya pada jawaban soal
nomor 1 siswa kelas kontrol yang dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Jawaban Soal Nomor 1 Siswa Kemampuan Tinggi pada Kelas Kontrol
Berdasarkan Gambar 2, terlihat bahwa siswa kemampuan tinggi pada kelas kontrol tidak dapat
menyatakan ulang sebuah konsep yaitu menentukan titik potong pada sumbu x dan y. Namun
pada indikator mengaplikasikan konsep atau algoritma kepemecahan masalah dan indikator
menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis siswa dapat menjawab
dengan benar. Sehingga siswa tersebut belum mencapai skor maksimum yaitu 48, sedangkan
skor yang diperoleh siswa hanya 33.
Soal nomor 2 terdapat indikator pemahaman konsep yaitu menyatakan ulang sebuah konsep dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma kepemecahan masalah. Hal ini dapat dilihat pada
gambar berikut.
108
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Gambar 3. Jawaban Soal Nomor 2 Siswa Kemampuan Sedang Kelas Eksperimen
Gambar 3 terlihat bahwa siswa belum dapat menjawab dengan tepat indikator menyakatan ulang
sebuah konsep. Namun pada indikator memengaplikasikan konsep kepemecahan masalah siswa
dapat menjawab dengan benar yaitu mengeliminasi dan mensubstitusi kedua persamaan. Skor
yang diperoleh siswa pada soal nomor 2 belum mencapai skor maksimum yaitu 27, sedangkan
skor yang diperoleh siswa hanya 20. Lain halnya dengan siswa kemampuan sedang pada kelas
kontrol dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Jawaban Soal Nomor 2 Siswa Kemampuan Sedang Kelas Kontrol
Gambar 19 terlihat bahwa siswa dapat menyatakan ulang sebuah konsep yaitu merubah kedua
persamaan menjadi bentuk ax + by = c. Sedangkan indikator mengaplikasikan konsep atau
algoritma kepemecahan masalah siswa tidak dapat menjawab dengan benar
yaitu
mengeliminasi dan mensubstitusi kedua persamaan. Sehingga siswa belum mencapai skor
maksimal yaitu 27, sedangkan skor yang diperoleh siswa hanya 18.
Soal nomor 3 terdapat indikator pemahamanan konsep yaitu menyatakan ulang sebuah konsep
dan menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis. Jawaban soal nomor 3a
siswa kemampuan rendah kelas eksperimen dapat dilihat pada Gambar 5.
109
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Gambar 5. Jawaban Soal Nomor 3a Siswa Kemampuan Rendah Kelas Eksperimen
Gambar 5 terlihat jawaban siswa berkemampuan rendah kelas eksperimen dapat menjawab
dengan dengan benar indikator pemahaman konsep yaitu menyatakan ulang sebuah konsep dan
menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis. Sehingga siswa dapat
mencapai skor maksimum yaitu 12. Hal yang sama juga terjadi pada siswa kemampuan rendah
kelas kontrol yang dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Jawaban Soal Nomor 3a Siswa Kemampuan Rendah Kelas Kontrol
Gambar 6 terlihat jawaban siswa kemampuan rendah kelas kontrol sudah bisa menjawab dengan
benar indikator pemahaman konsep pada soal nomor 3a yaitu menyatakan ulang sebuah konsep
dan menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis. Sehingga siswa tersebut
memperoleh skor maksimum yaitu 12.
D. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa pemahaman konsep
matematika siswa yang menggunakan pembelajaran aktif tipe Giving Question and Getting
Answer lebih baik daripada pemahaman konsep
matematika siswa yang menggunakan
pembelajaran konvensional di kelas VIII SMP Kartika I-7 Padang Tahun Pelajaran 2015/2016.
110
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
Arikunto, Suharsimi. (2010). Prosedur Penelitian (suatu pendekatan praktek) edisi revisi VI. Jakarta :
Rineka Cipta.
Silberman . (2009). Active Learning 101 Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta: Nusamedia.
Sudjana. (2005). Metoda statistika. Bandung : Tarsito.
111
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF
TIPE THINK-TALK- WRITE (TTW) TERHADAP
PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA KELAS X
SMAN 14 PADANG
Lenny Puwarsih1 , Ratulani Juwita2
STKIP PGRI Sumatera Barat, Jl. Gunung Pangilun, Padang
1
[email protected], [email protected]
Abstrak. Penelitian ini dilatar belakangi oleh pemahaman konsep matematis siswa masih rendah dan
proses pembelajaran masih terpusat pada guru dikelas X SMAN 14 Padang. Tujuan penelitian ini yaitu
untuk mengetahui apakah pemahaman konsep matematis siswa yang menerapkan Model Pembelajaran
Kooperatif Tipe Think Talk Write (TTW) lebih baik daripada siswa yang menggunakan pembelajaran
konvensional. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen dengan rancangan penelitian random
terhadap subjek. Instrumen yang digunakian dalam penelitian ini adalah tes skhir dalam bnentuk esay
dengan reliabilitasnya 0,838. Pengujian hipotesis digunakan uji-t satu pihak, diperoleh thitung > ttabel
(8,64>1,68), maka hipotesis yang diajukan diterima. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemahaman
konsep matematis siswa dalam pembelajaran matematika yang menerapkan model pembelajaran
kooperatif tipe Think Talk Write lebih baik dari pemahaman konsep matematis siswa yang menggunakan
pembelajaran konvensional di kelas X SMAN 14 Padang.
Kata Kunci : Pemahaman Konsep Matematis, Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Talk Write
A. PENDAHULUAN
Matematika adalah salah satu ilmu dasar yang mempunyai peranan penting dalam upaya
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, matematika diajarkan mulai dari
jenjang SD sampai dengan perguruan tinggi. Mengingat peranan matematika sangat penting,
maka pemerintah berupaya untuk meningkatkan mutu pendidikan matematika antara lain
melalui penyempurnaan kurikulum, meningkatkan sarana dan prasarana untuk pendidikan, serta
perbaikan mutu guru melalui sertifikasi. Dengan berbagai usaha yang telah dilakukan
pemerintah, maka sudah seharusnya kualitas pembelajaran matematika juga mengalami
peningkatan ke arah yang lebih baik. Berdasarkan tujuan pembelajaran matematika, proses
pembelajaran matematika merupakan suatu hal yang sangat kompleks. Dalam pembelajaran
matematika siswa diharapkan dapat memahami konsep dan memahami keterkaitan antar konsep
tersebut. Pembelajaran matematika juga bertujuan untuk mengembangkan segala kemampuan
yang dimiliki siswa dalam memecahkan masalah, memahami masalah dan dapat menafsirkan
solusi dari permasalahan tersebut. Siswa juga diharapkan untuk dapat memiliki rasa ingin tahu,
perhatian, sikap ulet dan percaya diri dalam mempelajari matematika.
Berdasarkan observasi di SMAN 14 Padang pada tanggal 20 dan 21 Agustus 2015, ditemukan
bahwa pembelajaran matematika masih terpusat pada guru dan siswa tidak mau bertanya
112
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
tentang apa yang tidak mereka pahami sehingga membuat kurang optimalnya kemampuan
berfikir siswa dan saat diberi latihan siswa cenderung menyalin punya temannya. Jika diadakan
diskusi hanya beberapa orang yang berdiskusi dan yang lain sibuk dengan urusan masingmasing. Tidak hanya itu, jika diberikan soal yang berbeda dengan contoh mereka tidak mampu
menyelesaikannya. Siswa hanya akan mengerjakan soal yang penyelesaiannya sesuai dengan
contoh.
Hasil wawancara dengan guru matematika diperoleh informasi bahwa jika diadakan diskusi
siswa yang tidak memiliki keinginan belajar tidak termotivasi untuk belajar, hanya siswa yang
pintar saja yang berdiskusi. Ketika diberi latihan dimana latihan tersebut menggabungkan
beberapa materi mereka mengalami kesulitan. Jika dalam menyelesaikan latihan yang berbeda
dengan contoh soal yang diberikan mereka mengalami kesulitan karena pemahaman konsep
siswa kurang pada pelajaran matematika. Siswa hanya menunggu hasil temannya yang pintar.
Siswa menganggap pelajaran matematika itu tidak menarik, sesuai dengan pernyataan salah satu
siswa yang menyatakan matematika itu pelajaran yang sulit dan membosankan.
Salah satu usaha untuk mengatasi masalah di atas adalah dengan menerapkan strategi
pembelajaran kooperatif tipe Think-Talk-Write (TTW). Strategi pembelajaran kooperatif
memberi kesempatan kepada siswa untuk berpartisipasi aktif dalam kelompok, bekerja sama
serta berbagi informasi. Menurut Yamin & Ansari (2009: 84) “Pembelajaran kooperatif tipe
Think-Talk-Write (TTW) adalah strategi pembelajaran yang dapat menumbuh kembangkan
kemampuan pemahaman dan komunikasi matematika siswa”. Alur pembelajaran kooperatif tipe
Think-Talk-Write (TTW) ini dimulai dari keterlibatan siswa dalam berfikir (Think) atau
berdialog dengan dirinya sendiri setelah proses membaca, pada tahap think ini siswa diberikan
LKS, selanjutnya berbicara (Talk) dan membagi ide dengan kelompok masing-masing sebelum
menulis (Write). Pada tahap Talk siswa diminta untuk bertukar pikiran dengan teman
kelompoknya sesuai dengan solusi yang mereka peroleh masing-masing pada tahap think,
sehingga hal ini akan meningkatkan pemahaman konsep siswa. Penerapan strategi pembelajaran
kooperatif tipe Think-Talk-Write (TTW) ini, diharapkan bisa membuat kemampuan Pemahaman
Konsep Matematis siswa akan menjadi lebih baik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pemahaman konsep matematis siswa dengan
menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Think-Talk-Write (TTW) lebih baik dari
pemahaman konsep matematis siswa dengan menerapkan pembelajaran konvensional di kelas
X SMAN 14 Padang.
113
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
B. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen dengan rancangan penelitian random terhadap
subjek. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 26 Januari sampai 10 Februari semester genap
tahun pelajaran 2015/2016 di kelas X2 dan X5 SMAN 14 Padang. Teknik pengambilan sampel
pada penelitian ini adalah secara acak. Kelas sampel yang terpilih adalah kelas X5 sebagai kelas
eksperimen dan kelas X2 sebagai kelas kontrol.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes akhir belajar yang memuat indikator
pemahaman konsep. Sebelum diadakan tes akhir dilakukan uji coba tes di kelas X9 SMAN 5
Padang pada tanggal 4 Februari 2016. Hasil uji coba tes menunjukkan semua soal dipakai
dengan reliabelitas 0,838.
Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis dengan uji-t satu pihak.
Sebelum
menganalisis data hasil penelitian terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dengan KolmogorovSmirnov (Santoso, 2010:89) dan uji homogenitas (Walpole, 1993:314)), kemudian uji hipotesis
dengan uji-t satu pihak (Sudjana, 2005: 239).
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis data tes akhir diperoleh rata-rata ( ), simpangan baku (S), skor tertinggi (
dan skor terendah (
) dari masing-masing kelas diperoleh data seperti Tabel 1.
)
Tabel 1. Analisis Nilai Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas Sampel
Kelas Sampel
Eksperimen
Kontrol
75,5
8
32,9
7
S
18,5
8
19,9
2
xmaks
xmin
100
40
87
6,7
Tabel 1 terlihat bahwa rata-rata nilai siswa pada kelas eksperimen lebih besar dari nilai rata-rata
siswa kelas kontrol, sedangkan simpangan baku kelas eksperimen lebih tinggi dari kelas
kontrol.
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis yang dilakukan dengan uji-t satu pihak, diperoleh bahwa
= 8,64 dan
= 1,68 sehingga diperoleh
>
maka H ditolak. Jadi
dapat disimpulkan pemahaman pemahaman konsep matematis siswa dengan menerapkan
pembelajaran kooperatif tipe Think Talk Write lebih baik daripada pemahaman konsep
matematis siswa dengan pembelajaran konvensional siswa kelas X SMAN 14 Padang.
114
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
D. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan terhadap masalah yang telah dikemukakan dapat
diambil kesimpulan, yaitu pemahaman konsep matematis siswa dengan menerapkan model
pembelajaran kooperatif tipe Think Talk Write (TTW) lebih baik daripada pemahaman konsep
matematis siswa dengan menerapkan pembelajaran konvensional pada kelas X SMAN 14
Padang.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
Santoso, Singgih. (2010). Statistik Nonparametrik. Jakarta: PT Elek Media Komputindo.
Sudjana. 2005. Metoda Statistik.
Bandung: Tarsito.
Walpole, Ronald E. (1993). Pengantar Statistika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Yamin, Martinis & Ansari, Bansu. (2009). Taktik Mengembangkan Kemampuan Individual Siswa.
Jakarta: Gaung Persada Press Jakarta.
115
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
PENGARUH PENERAPAN DOUBLE LOOP PROBLEM
SOLVING (DLPS) TERHADAP SELF-EFFICACY SISWA
SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP)
Lucky Heriyanti Jufri
Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Sumatera Barat
[email protected]
Abstrak. Self-efficacy merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan prestasi matematika
seseorang. Self-efficacyberkaitan dengan penilaian seseorang terhadap kemampuan dirinya sendiri dalam
menyelesaikan suatu tugas tertentu. Hal ini selaras dengan tujuan mempelajari matematika yang
tercantum dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yaitu agar siswa memiliki rasa ingin
tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam
pemecahan masalah.Penelitian ini bertujuan untuk menelaah perbedaan peningkatan literasi matematis
siswa, pada siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan pendekatan DLPS dan siswa yang
mendapatkan pembelajaran konvensional ditinjau berdasarkan kategori kemampuan awal matematis
(KAM) siswa.Oleh sebab itu, dibutuhkan self-efficacy yang baik dalam diri siswa agar dapat berhasil
dalam proses pembelajaran.
Desain penelitian yang digunakan pada penelitian kali ini adalah desain kelompok kontrol non-ekivalen
(nonequivalent control grup design). Instrumen yang digunakan adalah instrumen non tes berupa angket
self-efficacy. Pada penelitian ini digunakan format respon skala self-efficacy yang diadaptasi dari skala
respon yang digunakan oleh Compeau & Higgins (1995) dan merujuk pada skala respon yang
dikemukakan Bandura (2006).Self-efficacy siswa kelas eksperimen yang memperoleh pembelajaran
dengan pendekatan DLPS tidak berbeda dengan siswa kelas kontrol yang memperoleh pembelajaran
secara konvensional. Namun, rataan Self-Efficacy siswa kategori tinggi dan sedang pada kelas eksperimen
bila dibandingkan dengan rataan Self-Efficacy siswa dikelas kontrol memiliki selisih skor sekitar 2,69 dan
10,03.
Kata Kunci :Pendekatan Double Loop Problem Solving (DLPS), Self-Efficacy
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Selain kemampuan kognitif, terdapat aspek lain yang juga memberikan pengaruh yaitu
aspek psikologis. Aspek psikologis ini turut memberikan kontribusi terhadap keberhasilan
seseorang dalam menyelesaikan tugas/soal dengan baik. Salah satu aspek psikologis
tersebut adalah self-efficacy.Self-efficacy merupakan salah satu faktor penting dalam
menentukan prestasi matematika seseorang. Self-efficacyberkaitan dengan penilaian
seseorang terhadap kemampuan dirinya sendiri dalam menyelesaikan suatu tugas tertentu.
Penilaian kemampuan diri yang akurat merupakan hal yang sangat penting, karena
perasaan positif yang tepat tentang self-efficacy dapat mempertinggi prestasi, meyakini
kemampuan, mengembangkan motivasi internal, dan memungkinkan siswa untuk meraih
tujuan yang menantang (Bandura, 2006). Selain itu diperkuat juga oleh Fennema dan
Sherman (dalam Cleary, Breen, O’Shea, 2010)bahwa keyakinan pada kemampuan
seseorang untuk belajar matematika telah ditemukan memiliki korelasi positif yang kuat
116
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
dengan prestasi matematika. Siswa yang memiliki self-efficacy rendah akan cenderung
ragu-ragu dalam penyelesaian masalah matematika. Sebaliknya siswa yang memiliki selfefficacy tinggi akan sangat yakin dengan yang akan dikerjakannya dan cenderung akan
melakukan kegiatan lebih sulit yang mungkin tidak dapat diraih, sehingga ia mengalami
kesulitan dan kegagalan.
Hal ini selaras dengan salah satu tujuan mempelajari matematika dalam Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) menyebutkan bahwa agar siswa memiliki sikap menghargai
kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan
minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan
masalah. Selain itu, tujuan dari pentingnya mempelajari matematika juga tercantum di
dalam Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang standar isi mata pelajaran matematika
tingkat SMP / MTs, matematika bertujuan agar siswa memiliki sikap menghargai kegunaan
matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki keingintahuan, perhatian, dan minat dalam
mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.Oleh
sebab itu, dibutuhkan self-efficacy yang baik dalam diri siswa agar dapat berhasil dalam
proses pembelajaran.
Bandura (1977) mengatakan bahwa self-efficacy seseorang dapat dibangkitkan melalui
empat sumber, yaitu (1)Performance Accomplishment(pengalaman otentik) (2)Vicarious
Experience (pengalaman orang lain) (3) Verbal Persuasion (pendekatan sosial atau verbal)
(4)Emotional arousal (aspek psikologi). Self-efficacyakan berkembang optimal jika
aktifitas belajar yang diterapkan dapat menumbuhkan hal-hal yang menjadi sumber
peningkatan self-efficacy tersebut. Salah satu pembelajaran yang diharapkan dapat
meningkatkan kemampuan self-efficacysiswa ini adalah Pembelajaran dengan pendekatan
Double Loop Problem Solving (DLPS).
Pembelajaran DLPS ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat aktif pada saat
pembelajaran berlangsung, dan juga memacu siswa untuk menjadi pribadi yang lebih
berani, ekspresif dan kreatif. Hal ini dapat dimunculkan ketika siswa diminta untuk
mengerjakan soal-soal pemecahan masalah secara berkelompok, sehingga mereka dituntut
untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang diberikan berdasarkan ide-ide yang mereka
miliki, memberikan pendapat, saran maupun pertanyaan yang ingin mereka lontarkan.
Selain itu, pada langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan DLPS ini siswa
diarahkan untuk dapat meyakini masalah mana yang harus diselesaikan terlebih dahulu
agar dapat memberikan jalan serta solusi untuk menyelesaikan masalah utama yang
diminta pada soal.
117
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian yang berfokus tentang pendekatan Double
Loop Proble Solving (DLPS) ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan self-efficacy
siswa. Untuk menunjang terlaksananya DLPS dengan baik maka perlu diperhatikan
beberapa hal, yaitu level sekolah dan kemampuan awal matematis siswa (tinggi, sedang,
rendah). Bagaimanapun juga penerapan DLPS pada level sekolah yang berbeda perlu
menjadi perhatian, karena level sekolah identik dengan kualitas pendidikan serta hasil
belajar siswa. Selain itu, faktor kemampuan awal matematis juga berpengaruh terhadap
kemampuan matematis siswa. Pada umumnya kemampuan siswa di sekolah terbagi atas
tiga kelompok yakni siswa kelompok atas, siswa kelompok sedang dan siswa kelompok
rendah. Galton (Ruseffendi, 2005) mengatakan bahwa dari sekelompok siswa yang dipilih
secara acak, akan selalu dijumpai siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan
rendah. Hal ini disebabkan kemampuan siswa menyebar secara distribusi normal.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka peneliti menuangkan
masalah tersebut dalam judul penelitian Pengaruh Penerapan Double Loop Problem
Solving (DLPS) Terhadap Self-Efficacy Siswa Sekolah Menengah Pertama.
2. Permasalahan
Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah self-efficacy pada siswa yang
mendapatkan pembelajaran dengan pendekatan DLPS lebih baik dari pada siswa yang
memperoleh pembelajaran konvensional?
3. Tujuan Penulisan
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah membandingkan self-efficacy siswa yang
mendapatkan pembelajaran dengan pendekatan DLPS dan siswa yang memperoleh
pembelajaran konvensional.
B. Kajian Teoritis
1. Self Efficacy
Secara umum self-efficacy adalah penilaian seseorang tentang kemampuannya sendiri
untuk menjalankan perilaku tertentu atau mencapai tujuan tertentu.
Self-efficacy
mempengaruhi setiap bidang usaha manusia. Seseorang lebih mungkin terlibat dalam
perilaku tertentu ketika orang tersebut yakin bahwa mereka akan mampu menjalankan
perilaku tersebut dengan sukses, yaitu ketika mereka memiliki self-efficacy yang tinggi.
Self-efficacy adalah suatu komponen dari keseluruhan perasaan diri seseorang. Dalam
Ormrod (2010), hal ini mungkin mirip dengan konsep lain seperti konsep diri (self-concept)
dan harga diri (self-esteem), tapi sifat-sifat yang penting membedakannya dari kedua
konsep tersebut.
118
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Ketika para psikolog berbicara tentang self-concept dan self-esteem, mereka biasanya
menjelaskan gambaran diri yang bersifat umum yang meliputi banyak aktivitas, misalnya
“Apakah aku baik?” dan bisa mencakup perasaan-perasaan dan juga kepercayaankepercayaan, misalnya “Seberapa banggakah aku terhadap performaku di kelas?”.
Sebaliknya, self-efficacy lebih spesifik pada tugas atau situasi dan hanya melibatkan
penilaian (bukan perasaan), misalnya “Dapatkah aku menguasai soal pembagian yang
panjang?”. Ormrod (2010) juga menjelaskan, perasaan self-efficacy siswa mempengaruhi
pilihan aktivitas mereka, tujuan mereka, dan usaha serta prestasi mereka dalam aktivitasaktivitas kelas. Dengan demikian, self-efficacy pun pada akhirnya mempengaruhi
pembelajaran dan prestasi mereka.
Salah satu faktor yang efektif dalam menyelesaikan masalah adalah sikap keyakinan siswa
melihat masalah tersebut. Faktor keyakinan ini dimunculkan beberapa ahli sebagai faktor
yang efektif dalam mengerjakan tugas-tugas pemecahan masalah.Dengan demikian selfefficacy dapat digunakan oleh para guru untuk meningkatkan dan mengembangkan
kemampuan siswa dalam beragam pelajaran matematika (Warwick,2008).
Keyakinan diri dalam belajar sangat diperlukan untuk dimiliki oleh siswa, mengingat
perkembangan zaman yang menuntut seseorang untuk dapat mengembangkan dirinya
secara utuh dalam menghadapi persaingan global. Dalam usaha pengembangan diri
diperlukan keyakinan diri agar siswa dapat dengan percaya diri atas apa yang mereka
miliki, tidak mudah putus asa, berpasrah diri, dan hanya menerima nasib saja. Selama
proses pembelajaran, banyak ditemui siswa yang tidak memiliki keyakinan diri cenderung
mengalami kegagalan dalam proses pembelajaran. Kegagalan yang dihasilkan pada materi
tertentu tentu saja akan berpengaruh besar terhadap kegagalan pada materi selanjutnya.
Bandura (1997) mengemukakan bahwa orang yang memiliki self-efficacy rendah akan
berdampak pada tidak adanya usaha yang dilakukan oleh dirinya sendiri. Mereka akan
cenderung apatis dan menghindari kinerjanya sehingga mengarahkan mereka pada
kesuraman. Ketika mereka tidak menemui kesuksesan dari apa yang mereka lakukan,
mereka akan tidak bersemangat untuk meningkatkan kondisi dan performa mereka.
Akibatnya mereka tidak melakukan banyak upaya ke arah hal yang mempengaruhi
perubahan.
Margolis dan McCabe (2006) menjelaskan bahwa menurut teori self-efficacy, self-efficacy
yang rendah menyebabkan permasalahan motivasi. Jika siswa percaya bahwa mereka tidak
bisa berhasil pada tugas-tugas tertentu, maka mereka akan kurang melakukan usaha atau
akan cenderung menolak atau menghindar. Keyakinan self-efficacy yang rendah dapat
menghambat prestasi akademik dan dalam jangka panjang diramalkan dapat membuat
119
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
kegagalan atau ketidakberdayaan atas apa yang dipelajari yang dapat menghancurkan
keadaan psikologis.
Bandura (1977) mendalilkan mekanisme umum terbentuknya self-efficacy atau biasa
disebut efficacy expectation, dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.1 Sumber Utama Perubahan Efficacy Expectation
Berdasarkan gambar di atas, perubahan tingkah laku akan terjadi jika sumber efficacy
expectation (persepsi diri sendiri mengenai seberapa yakin diri dapat berfungsi dalam
situasi tertentu) berubah, hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Performance Accomplishment, hal ini berkaitan dengan prestasi yang pernah dicapai.
Kegagalan atau keberhasilan dari pengalaman masa lalu dapat menurunkan ataupun
meningkatkan self-efficacy seseorang untuk pengalaman yang serupa kelak.
2. Vicarious Experience, hal ini berkaitan dengan observasi atau memperhatikan terhadap
orang lain. Keberhasilan atau kegagalan orang lain dapat mempengaruhi seseorang
dalam membuat pertimbangan atau penilaian terhadap kemampuan dirinya sendiri. Hal
ini didasarkan pada teori belajar observasional yang menyatakan bahwa seseorang dapat
belajar secara terus menerus dengan mengamati tingkah laku orang lain. Akan tetapi hal
ini pengaruhnya lebih lemah terhadap self-efficacy dibandingkan dengan pengalaman
yang diperoleh dengan cara sendiri. Self-efficacy akan meningkat apabila seseorang
mengamati keberhasilan orang lain, dan sebaliknya akan menurun apabila melihat orang
lain dengan kemampuan yang hampir sama dengannya mengalami kegagalan.
3. Verbal Persuasion, hal ini merupakan suatu pendekatan yang dilakukan melalui
perkataan atau ucapan (verbal), untuk meyakini seseorang bahwa ia memiliki
kemampuan atau tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan sesuatu. Verbal
Persuasion ini memberikan dampak yang terbatas pada self-efficacy, tetapi pada kondisi
yang tepat, cara ini justru dapat mempengaruhi self-efficacy. Kondisi yang tepat di sini
antara lain adalah kepercayaan seseorang terhadap orang yang memberikan persuasi
tersebut, cara orang tersebut menyampaikan persuasi, dan sifat realistik dari persuasi
apa yang diberikan.
120
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
4. Emotional arousal, hal ini tergantung kepada reaksi fisiologis seseorang, baik yang
menyenangkan maupun yang tidak. Reaksi fisiologis yang menyenangkan dapat
menyebabkan seseorang meragukan kemampuannya dalam menyelesaikan sesuatu, dan
sebaliknya.
2. Pendekatan Double Loop Problem Solving (DLPS)
a) Masalah dan Pemecahan Masalah
Ruseffendi (1991) mengatakan bahwa masalah dalam matematika adalah suatu persoalan
yang orang itu sendiri mampu menyelesaikannya tanpa menggunakan cara atau logaritma
yang rutin. Suatu persoalan itu akan menjadi masalah bagi seseorang apabila:
a. Persoalan itu tidak dikenalnya (untuk menyelesaikannya belum memikirkan prosedur
atau algoritma tertentu).
b. Siswa
harus
siap
menyelesaikannya
(baik
kesiapan
mentalnya
maupun
pengetahuannya).
c. Sesuatu itu merupakan masalah baginya bila ia ada niat menyelesaikannya.
Gagne (dalam Ruseffendi, 1991) berpendapat bahwa pemecahan masalah adalah tipe
belajar yang paling tinggi karena lebih kompleks dari pada tipe belajar sebelumnya.
Pengelompokan tipe belajar yang dilakukan oleh Gagne adalah tipe belajar isyarat,
stimulus respons, rangkaian gerak, rangkaian verbal, membedakan, pembentukan konsep,
pembentukan aturan, dan pemecahan masalah.
Menurut Polya, solusi soal pemecahan masalah memuat empat langkah fase penyelesaian,
yaitu memahami masalah, merencanakan penyelesaian, menyelesaikan masalah sesuai
rencana, dan melakukan pengecekan kembali terhadap semua langkah yang telah
dikerjakan. Untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam pemecahan masalah, hal
yang perlu ditingkatkan adalah kemampuan menyangkut berbagai teknik dan strategi
pemecahan masalah.
b) Pendekatan Double Loop Problem Solving (DLPS)
Pemecahan masalah melalui pendekatan DLPS dimulai dengan mencari penyebab langsung
dari timbulnya suatu masalah, kemudian menyelesaikan masalah tersebut sesuai dengan
analisis penyebab langsung yang telah dilakukan. Kegiatan ini dilakukan dalam dua loop
terpisah, dimana loop pertama diarahkan kepada pendeteksian penyebab utama dari
timbulnya masalah, kemudian merancang dan mengimplementasikan sebuah solusi yang
disebut solusi sementara. Sedangkan loop kedua menekankan pada pencarian dan
penemuan penyebab di tingkat yang lebih tinggi dari masalah itu, kemudian merencanakan
dan mengimplementasikan solusinya, yang disebut solusi utama.
121
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Secara umum, teori tersebut digambarkan dalam diagram berikut (Yuspriyanti, 2011):
Gambar 2.2 Flowchart Double Loop Problem Solving
Secara umum double loop problem solving meliputi :
a. Mengidentifikasi masalah, tidak hanya gejalanya (identifying the problem, not just
the symptoms).
b. Mendeteksi penyebab langsung, dan secara cepat menerapkan solusi sementara
(detecting direct couses and rapidly applying temporary solutions).
c. Mengevaluasi keberhasilan dari solusi sementara (evaluating the success of the
temporary solutions).
d. Memutuskan apakah analisis akar masalah diperlukan, jika diperlukan dilanjutkan
ke loop kedua (deciding if root cause analysis is needed, and if so).
e. Mendeteksi penyebab masalah yang tingkatannya lebih tinggi (detecting higher
level causes).
f. Merancang solusi akar masalah (designing root cause solutions).
C. Metode Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk mengetahuipengaruh pendekatan DLPS terhadap kemampuan self
efficacy siswa pada kelas eksperimen bila dibandingkan dengan kelaskonvensional. Pada
penelitian ini digunakan dua kelas yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol. Kelas eksperimen
belajar dengan pendekatan DLPS, sedangkan kelas kontrol belajar matematika secara
konvensional. Disebabkan penelitian ini dilakukan di sekolah, maka peneliti tidak mungkin
membentukdua kelas secara acak, sehingga pada penelitian ini peneliti menggunakan kelas yang
telah terbentuk sebelumnya dan keadaan subjek diterima sebagaimana adanya, maka desain
yang digunakan pada penelitian ini adalah kuasieksperimen.
Desain penelitian yang digunakan pada penelitian kali ini adalah desain kelompok kontrol nonekuivalen (nonequivalent control grup design). Desain penelitiannya digambarkan sebagai
berikut :
122
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Kelas Eksperimen
:
X
O
----------------------------------------------------------Kelas Kontrol
:
O
Keterangan :
O
: Instrumen Non Tes (posttest / angket self-efficacy)
X
: Pembelajaran dengan pendekatan Double Loop Problem Solving (DLPS)
Non tes yang diberikan kepada kedua kelas ini adalah skala self-efficacyberbentuk kuesioner
(angket) yang digunakanuntuk mengukur keyakinan siswa terhadap kemampuannya melakukan
tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menyelesaikan soal. Pada penelitian ini digunakan
format respons skala self-efficacy yang diadaptasi dari skala respons yang digunakan oleh
Compeau & Higgins (1995) dan merujuk pada skala respons yang dikemukakan Bandura
(2006).
Format respons skala self-efficacy pada penelitian ini diberikan sebagai berikut:
Tidak Begitu
Yakin
Sangat
Yakin
YA
1
Yakin
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Tidak
Seluruh pengolahan dan analisis data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan SPSS
17.
D. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Hasil Penelitian
Data yang diperoleh melalui angket merupakan data interval 0-10. Sebagaimana yang
dikatakan oleh format respons skala self-efficacy yang diadaptasi dari skala respons yang
digunakan oleh Compeau & Higgins (1995) dan merujuk pada skala respons yang
dikemukakan Bandura (2006) dengan interval 0-10. Kemudian data tersebut diolah dengan
menggunakan SPSS 16 for Windows untuk mengetahui perbedaan rataannya dengan
menggunakan statistik parametrik. Sebagaimana yang dikatakan oleh Siegel (1986) bahwa
skala intreval ini adalah skala kuantitatif sejati pertama kita jumpai. Semua statistik
parametrik biasa (rata-rata, standar deviasi, korelasi pearson, dan sebagainya) dapat
diterapkan terhadap data dalam suatu skala interval.
Dibawah ini akan ditunjukkan hasil rangkuman data self-efficacy kelas kontrol dan kelas
eksperimen.
Tabel 4.1 Uji Perbedaan Rataan Self-Efficacy
Kelas
Rataan Self-Efficacy
Eksperimen
183,60
Kontrol
174,02
123
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Berdasarkan data pada tabel 4.1, dapat dilihat bahwa self-efficacy siswa pada kelas
eksperimen lebih baik dari kelas kontrol. Hal ini ditunjukkan berdasarkan rataan yang
diperoleh oleh kelas eksperimen lebih tinggi bila dibandingkan secara statistik deskriptif
dengan data self-efficacy siswa kelas kontrol. Namun, untuk lebih mengetahui dengan
jelas, apakah perbedaan tersebut secara uji statistik berbeda sognifikan ataupun tidak, maka
akan dilakukan uji perbedaan rataan.
Hasil rangkuman uji kesamaan rataan skor self-efficacy disajikan pada tabel berikut ini
(Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran C):
Tabel 4.2 Uji Kesamaan Rataan Skor self-efficacy
t-test for Equality of Means
Keterangan
t
Df
sig. (2-tailed)
diterima
1,124
70
0,265
Kesimpulan
Tidak terdapat perbedaan
Berikut disajikan secara deskriptif data rataan skor self-efficacy kelas eksperimen dan kelas
kontrol:
Kategori KAM
Tinggi
Sedang
Rendah
Tabel 4.3 Deskripsi Rataan Self-Efficacy Siswa
Rataan self-EfficacySiswa
EKS
KONT
196,62
189,33
189,55
179,52
151,71
147,11
Berdasarkan data rataan di atas, jika dilihat dari sudut pandang kategori siswa berdasarkan
KAM, rataan Self-Efficacy siswa kategori tinggi dan sedang pada kelas eksperimen bila
dibandingkan dengan rataan Self-Efficacy siswa dikelas kontrol memiliki selisih skor
sekitar 2,69 dan 10,03. Hal ini apabila dilihat berdasarkan sumber efficacy expectation,
diperoleh besar rataan dari masing-masing sumber yang mempengaruhi self-efficacy
sebagai berikut:
Tabel 4.4 Rataan efficacy expectation
Efficacy Expectation
Rataan
Performance Accomplishment
226,37
Vicarious Experience
266,75
Verbal Persuasion
209,40
Emotional Arousal
227,36
2. Pembahasan
Dengan memperhatikan enam langkah pada pendekatan DLPS dan empat sumber selfefficacy, sangat dimungkinkan bahwa pembelajarn dengan pendekatan DLPS ini dapat
menumbuhkan self-efficacy. Berdasarkan data yang diperoleh, dapat dilihat bahwa faktor
pembelajaran juga memberikan pengaruh terhadap self-efficacy siswa. Hal ini
124
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
dimungkinkan terjadi karena langkah-langkah pada pendekatan DLPS ini mengacu pada
kreativitas, keaktifan dan kritis dalam berpikir dan menyampaikan ide-ide, baik di dalam
kelompok maupun di depan kelas. Fakta ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh
Bandura (1998) bahwa self-efficacy dapat dipengaruhi atau dapat dibangkitkan dari diri
siswa melalui empat sumber, yaitu pengalaman autentik, pengalaman oranng lain,
pendekatan sosial atau verbal dan aspek psikologi.
Pada awal pembelajaran para siswa dikelas eksperimen masih sangat kaku dan takut untuk
bertanya maupun mengemukakan pendapat mereka, baik di dalam kelompok maupun di
depan kelas ketika persentasi hasil jawaban lembar LKS. Akan tetapi, seiring berjalannya
waktu, mereka mulai bisa mengungkapkan ide dan gagasan mereka dan berani bertanya
tentang soal-soal pemecahan masalah yang diberikan pada pembelajaran. Hal ini terlihat
jelas pada rataan skor self-efficacy siswa kelas eksperimen yang lebih tinggi dibandingkan
kelas kontrol. Jika dilihat lebih dalam, maka skor self-efficacy siswa pada kategori KAM
tinggi dan sedang kelas eksperimen yang terlihat lebih baik bila dibandingkan dengan kelas
kontrol.
Namun, pada kategori KAM rendah kelas eksperimen, perolehan skor self-efficacy tidak
jauh berbeda bila dibandingkan dengan kelas kontrol. Berdasarkan wawancara yang
dilakukan dengan beberapa siswa dari kategori KAM rendah pada kelas eksperimen,
mereka menyatakan bahwa, ketika pembelajaran secara kelompok dibentuk dengan cara
mendistribusikan siswa dengan kemampuan tingi, sedang dan rendah pada setiap
kelompoknya, siswa pada kategori KAM rendah merasa kurang mendapatkan kesempatan
untuk mengungkapkan pendapat mereka. Selain itu, pada saat pengerjaan soal-soal
pemecahan masalah yang diberikan pada lembar LKS, mereka mengalami kesulitan, karena
belum terbiasa dan jarang mereka temui selama dalam pembelajaran sebelumnya. Oleh
karena mereka kurang memahami soal dan tidak bisa menjawab pertanyaan yang diajukan,
maka mereka tidak banyak untuk mengajukan jawaban, ide dan pendapat mereka selama
dalam diskusi kelompok.
Tingkahlaku yang ditunjukkan oleh siswa ini sesuai dengan pendapat Verschaffel & de
Corte, Lesh & Doerr dan Gravemeijer (dalam Parlaung, 2008) yang menyatakan bahwa
penyelesaian masalah matematik saat ini difokuskan terhadap sikap dan keyakinan siswa
dan kapasitas mereka untuk mengaplikasikan pengetahuan matematika dalam masalahmasalah yang bersifat non-rutin. Dilihat dari hasil skor self-efficacy siswa yang berada
pada kategori KAM tinggi dan sedang yang mengalami peningkatan literasi matematis
yang tinggi dibandingkan dengan kelas kontrol, juga memiliki rataan skor self-efficacy
yang tinggi bila dibandingkan dengan kelas kontrol.
125
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
E. Penutup
1. Kesimpulan
Self-efficacy siswa kelas eksperimen yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan
DLPS tidak berbeda dengan siswa kelas kontrol yang memperoleh pembelajaran secara
konvensional.
2. Rekomendasi
a) Pembelajaran DLPS hendaknya dilakukan di kelas yang kemampuan matematika
siswanya tergolong baik, karena pembelajaran dengan pendekatan DLPS dapat
meningkatkan self efficacy siswa berkemampuan sedang dan tinggi.
b) Perlu diperhatikan oleh guru bahwa pembelajaran seperti ini memerlukan waktu yang
relatif lebih lama karena siswa harus lebih memahami soal-soal pemecahan masalah
pada pendekatan DLPS ini yang dianggap sulit oleh siswa karena belum terbiasa dengan
soal-soal yang bersifat non rutin.
Daftar Pustaka
1.
2.
3.
Argyris, C. (1976). Single-Loop And Double-Loop Models In Research On Decision Making.
Administrative Science Quarterly, Vol. 21, No. 3. Cornel University. [Online]. Tersedia:
http://www.jstor.org/stable/2391848
Arikunto, S. (2008). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Yogyakarta : Bumi Aksara
Bandura, A. (1977). Self-Efficacy : Toward a Unifiying Theory of Behavioral
Change. Standford University : Psychological review, vol.84, no.2, 191-215.
[Online]. Tersedia: http://www.ou.edu/cls/online/lstd5423/pdfs/bandura.pdf
4. _______. (1989). Human Agency in Social Cognitive Theory. American
Psychologist, 44. [Online]. Tersedia: http:// www. des. emory. edu/ mfp/ Bandura
1989. pdf
5. ___________. (2006).Guide for Constructing Self-Efficacy Scales, pp. 307337.[Online].Tersedia
http://www.uky.edu/~eushe2/Bandura/BanduraGuide2006.pdf
6. Cartwright, S. (2002). Double-Loop Learning: A Concept and Process for
Leadership Educators. Volume 1, Issue 1 - Summer 2002 ISSN 1552-9045.
[Online].
Tersedia:http://www.leadershipeducators.org/Resources/Documents/jole/2002_sum
mer/JOLE_1_1.pdf
7.
8.
9.
Cleary,J., Breen, S., O’Shea, A. (2010). Mathematical literacy and self-efficacy of first year third
level
students.
MSOR
Connections,
Vol
10
No
2.
[Online].Tersedia:http://www.heacademy.ac.uk/assets/documents/subjects/msor/10241_cleary_j_etal
_mathliteracy.pdf
Compeau, D. R., & Higgins, C. A. (1995). Computer Self-Efficacy: Develipment of measure and
initial test. MIS Quarterly. Volume 19, Number 2, pp. 189-211.
Dewanto, S. P. (2007). Meningkatkan Kemampuan Representasi Multipel
Matematis Mahasiswa Melalui Belajar Berbasis-Masalah. Disertasi. UPI: Tidak
diterbitkan.
10. Dooley, J. (1999). Problem-Solving as a Double-Loop Learning System. Adaptive
LearningDesign.[Online].Tersedia:http://www.bmt.smm.lt/wpcontent/uploads/2009/09/6-100209Jeff-Dooley-Problem-solving-as-a-Double-Loop-Learning-System.pd
126
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
11. Handayani, I. (2011). Penggunaan Model Method Dalam Pembelajaran Pecahan Sebagai Upaya
Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Dan Self-Efficacy Siswa Sekolah Dasar.
Tesis UPI Bandung : Tidak diterbitkan.
12. Hayat, B & Yusuf, S. (2010). Mutu Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara.
13. Hendriana, H.(2009). Pembelajaran dengan Pendekatan Metaphorical Thinking
untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Matematik, Komunikasi Matematik
dan Kepercayaan Diri Siswa SMP. Disertasi UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
14. Margolis, H & McCabe, P.P. (2006). Improving Self-Efficacy and Motivation: What To Do, What To
Say.
Vol
41,
No.
4,
March
2006.
(pp.
218-227).
[Online].
Tersedia:http://uqu.edu.sa/files2/tiny_mce/plugins/filemanager/files/4340129/4_Improving_SelfEfficacy.pdf#page=1&zoom=auto,-78,270.
15. Miliyawati, B. (2012). Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis dan Self-Efficacy
Matematis Siswa SMA dengan Menggunakan Pendekatan Investigasi. Tesis SPS UPI: Tidak
diterbitkan.
16. MKBPM. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung : JICA – Universitas
Pendidikan Indonesia.
17. Ruseffendi, E.T. (1991). Penilaian Pendidikan dan Hasil Belajar Siswa Khususnya dalam
Pengajaran Matematika untuk Guru dan Calon Guru .Bandung : Transito
18. Ruseffendi, E.T. (1991). Pengajaran Matematika Modern dan Masa Kimia Untuk Guru dan PGSD
D2. Bandung : Transito.
19. ____________. (1993). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Bandung: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
20. ____________. (2005). Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan dan Non Eksakta Lainnya. Bandung :
Transito.
21. Somakim. (2010). Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis dan Self-Efficacy Matematik Siswa
Sekolah Menengah Pertama dengan Penggunaan Pendekatan Matematika Realistik. Disertasi UPI
Bandung: Tidak diterbitkan.
22. Sudjana. (2005). Metode Statistika. Bandung. Tarsito.
23. Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.
Bandung : Alfabeta Bandung.
24. Suryosubroto, B. (2010). Dasar-Dasar Kependidikan. Jakarta : Rineka Cipta.
25. Tilaar, H.A.R. (2006). Standarisasi Pendidikan Nasional. Jakarta : Rineka Cipta.
26. Wardhani, Sri dan Rumiati. (2011). Instrumen Penilaian Hasil Belajar Matematika
27. Siswa SMP : Belajar Dari PISA dan TIMSS. Yogyakarta : PPPPTK Matematika.
28. Warwick, J. (2008). Enhancing Mathematical Self-Efficacy in Non-Specialist Mathematics Students.
Higher Education Academy Annual Conference Harrogate International Centre : London South Bank
University.
29. Widyastuti. (2010). Pengaruh Pembelajaran Model Elicting Activities Terhadap Kemampuan
Representasi Matematis Dan Self-Efficacy Siswa. Tesis UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
30. Yuspriyanti, D.N. (2011). Implementasi Pembelajaran Matematika Dengan Menggunakan Double
Loop Problem Solving Untuk Meningkatkan Kompetensi Strategis Siswa SMP. Tesis Pada Jurusan
Pendidikan Matematika SPS UPI. Bandung : Tidak Diterbitkan.
127
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN THINK PAIR
SHARE DAN GAYA KOGNITIF SISWA TERHADAP
KETERAMPILAN BERPIKIR KREATIF
SISWA DI KELAS VIII SMP NEGERI 6 KERINCI
Melinda Yusri Rizki1, Jefri Marzal2, Syamsurizal3
Program Magister Pendidikan Matematika Universitas Jambi
[email protected]
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh yang signifikan model pembelajaran
Think pair share (TPS) dan gaya kognitif siswa terhadap keterampilan berpikir kreatif siswa
pada materi bangun ruang sisi datar di kelas VIII SMP Negeri 6 Kerinci. Pengaruh yang
signifikan model pembelajaran Thinks pair share (TPS) terhadap keterampilan berpikir kreatif
siswa pada materi bangun ruang sisi datar di kelas VIII SMP Negeri 6 Kerinci. Pengaruh yang
signifikan gaya kognitif siswa terhadap keterampilan berpikir kreatif siswa pada materi bangun
ruang sisi datar di kelas VIII SMP Negeri 6 Kerinci Dan interaksi antara model pembelajaran
dan gaya kognitif dalam mempengaruhi hasil belajar matematika siswa pada materi bangun
ruang sisi datar di kelas VIII SMP Negeri 6 Kerinci tahun pelajaran 2015/2016.
Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian eksperimen semu dengan menerapkan desain faktorial
2 × 2. Populasi penelitian adalah siswa SMP Negeri 6 Kerinci Kelas VIII Semeseter genap tahun
pelajaran 2015/2016. Sampel penelitian terdiri dari 1 kelas eksperimen dan 1 kelas kontrol. Pengumpulan
data dilakukan menggunakan dua macam instrumen yakni intrumen Group Embedded Figures Test
(GEFT) untuk mengukur gaya kognitif siswa dan instrumen tes keterampilan berpikir kreatif
matematika siswa dalam bentuk essay.
Uji statistik yang digunakan adalah dengan menggunakan anova dua jalur untuk melihat pengaruh model
pembelajaran Thinks Pair Share (TPS) dan pengaruh gaya kognitif terhadap hasil belajar matematika
siswa serta interaksi antara model pembelajaran dan gaya kognitif siswa terhadap hasil belajar
matematika siswa. Uji lanjut menggunakan uji t untuk melihat perbedaan hasil belajar siswa berdasarkan
gaya kognitif siswa.
Kata kunci : Model pembelajaran Thinks Pair Share (TPS), konvensional, gaya kognitif dan
keterampilan berpikir kreatif.
A. PENDAHULUAN
Pengembangan
kemampuan
berpikir
kreatif merupakan salah satu focus pembelajaran
matematika. Melalui pembelajaran matematika, siswa diharapkan memiliki kemampuan
berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta memiliki kemampuan bekerja sama
(Depdiknas, 2004). Pengembangan kemampuan berpikir kreatif memang perlu dilakukan
karena kemampuan inimerupakan salah satu kemampuan yang dikehendaki dunia kerja
(Career Center Maine Department of Labor USA, 2004). Tak diragukan lagi bahwa
kemampuan berpikir kreatif juga menjadi penentu keunggulan suatu bangsa. Daya
kompetitif suatu bangsa sangat ditentukan oleh kreativitas sumber daya manusianya.
Pembelajaran
matematika
perlu
dirancang
sedemikian
sehingga
berpotensi
mengembangkan kemampuan berpikir kreatif siswa. Pengembangan kemampuan berpikir
128
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
kreatif perlu dilakukan seiring dengan pengembangan cara mengevaluasi atau cara
mengukurnya.
Menurut
Slameto
(Azhari, 2013:3)
Berpikir,
Memecahkan masalah dan menghasilkan
sesuatu yang baru adalah kegiatan yang kompleks dan berhubungan erat satu dengan yang
lain. Suatu masalah umumnya tidak dapat dipecahkan tanpa berpikir, dan banyak masalah
memerlukan pemecahan yang baru bagi orang-orang atau kelompok. Sebaliknya, menghasilkan
sesuatu (benda-benda, gagasan-gagasan) yang baru bagi seseorang, menciptakan sesuatu, itu
mencakup pemecahan masalah. Jadi, Berpikir adalah keadaan berpikir rasional, dapat
diukur.
Dapat
dikembangkan dengan latihan sadar dan sengaja. Tujuan berpikir untuk
menemukan pemahaman atau pengertian yang dikehendaki.
Tingkatan berpikir yang lebih spesifik adalah berpikir kreatif. Berpikir kreatif sebagai
kemampuan untuk melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian
terhadap
suatu
masalah, merupakan bentuk pemikiran yang sampai saat ini masih kurang mendapat
perhatian dalam pendidikan. Munandar. (Azhari, 2013:4). Kemampuan
berpikir
kreatif
meliputi empat kriteria, antara lain kelancaran, kelenturan, keaslian dalam berpikir dan
elaborasi atau keteperincian dalam mengembangkan gagasan.
Keterampilan berpikir kreatif adalah keterampilan kognitif untuk memunculkan dan
mengembangkan gagasan baru, ide baru sebagai pengembangan dari ide yang telah lahir
sebelumnya dan keterampilan untuk memecahkan masalah secara divergen (dari berbagai
sudut
pandang).
Menurut
Abdullah
(2014:15)
berpikir
kreatif
yaitu
kemampuan
mengembangkan ide yang tidak biasa, berkualitas dan sesuai tugas. Salah satu aspek
intelegensi ini adalah kemampuan mengidentifikasikan kembali suatu permasalahan secara
efektif
dan berpikir mendalam.
Keterampilan berpikir kreatif untuk memecahkan suatu permasalahan ditunjukkan dengan
pengajuan ide yang berbeda dengan solusi pada umumnya. Pemikiran kreatif masingmasing orang akan berbeda dan terkait dengan cara mereka berpikir dalam melakukan
pendekatan terhadap suatu permasalahan. Kemampuan siswa untuk mengajukan ide
kreatif seharusnya dikembangkan dengan meminta mereka untuk
memikirkan ide-ide
atau pendapat yang berbeda dari yang diajukan temannya.
Manfaat berpikir kreatif diantaranya adalah mempermudah siswa untuk menyerap dan
menyimpan informasi yang didapat melalui proses belajar. Mendorong siswa untuk dapat
memahami masalah dengan cepat dan bisa menimbulkan gagasan-gagasan yang bersifat
solitif dengan metode yang tepat. Berpikir kreatif sangatlah penting dalam belajar
matematika. Hal itu dikarenakan dengan berpikir kreatif seorang siswa akan mampu
menciptakan berbagai kreativitas dalam belajar. Selanjutnya siswa tersebut akan mudah
129
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
menguasai materi pelajaran matematika. Seumpanya mampu mengiasai materi dengan
rumus matematika, memahami penempatan rumus matematika ketika menyelesaikan soal,
mampu menyelesaikan soal yang lebih rumit dari contoh yang ada bahkan mampu
menguraikan penerapan materi matematika terhadap permasalahan yang ada dalam
kehidupan sehari-hari.
Proses berpikir merupakan langkah awal dalam memahami konsep matematika. Proses
berpikir
kemudian
dipahami
adalah
penentu
keberhasilan
dalam
belajar.
Apabila
kemampuan berpikir kreatif itu lemah maka penyerapan materi ketika belajar itupun
tidak akan maksimal.
Untuk
mengetahui
tingkat
kekreatifan
seseorang,
perlu
adanya
penilaian terhadap
kemampuan berpikir kreatif pada orang tersebut. Penilai tersebut harus meliputi empat
kriteria dari berpikir kreatif, yaitu kelancaran, kelenturan, keaslian, dan keterperincian
dalam mengemukakan gagasan.
Ciri-ciri kemampuan berpikir kreatif antara lain : (1) Keterampilan berpikir lancer
meliputi : (a) Menghasilkan banyak gagasan/jawaban
yang
relevan, (b)
Menghasilkan
motivasi belajar (c) Arus pemikiran lancer. (2) Keterampilan berpikir lentur (fleksibel)
meliputi : (a) Menghasilkan gagasan-gagasan yang seragam, (b) Mampu mengubah cara
atau pendekatan dan (c) Arah pemikiran yang berbeda. (3) Keterampilan berpikir orisinil
meliputi : (a) Memberikan jawaban yang tidak lazim, (b) Memberikan jawaban yang lain
daripada yang lain dan (c) Memberikan jawaban yang jarang diberikan kebanyakan orang.
Dan (4) Keterampilan berpikir terperinci (elaborasi) meliputi (a) Mengembangkan,
menambah, memperkaya suatu gagasan, (b) Memperinci detail-detail dan (c) Memperluas
suatu gagasan. Munandar, (Azhari. 2013:4-5).
Berdasarkan penjelasan di atas, maka ciri-ciri kemampuan berpikir kreatif dapat dijadikan
indikator dalam menilai kemampaun berpikir kreatif seseorang.Perlu disadari bahwa selama
ini pendidikan formal hanya menekankan perkembangan yang terbatas pada ranah
kognitif
saja. Sedangkan perkembangan pada ranah afektif (sikap dan perasaan) kurang
diperhatikan. Terbukti pada pengajaran di sekolah, jarang sekali ada kegiatan yang menuntut
pemikiran divergen atau berpikir kreatif sehingga siswa tidak terangsang untuk berpikir,
bersikap, dan berperilaku kreatif. Oleh sebab itu dalam proses pembelajaran diperlukan cara
yang mendorong siswa untuk memahami masalah, meningkatkan kemampuan berpikir kreatif
siswa dalam menyusun rencana penyelesaian dan melibatkan siswa secara aktif dalam
menemukan sendiri penyelesaian masalah, serta mendorong pembelajaran yang berpusat pada
siswa dan guru hanya sebagai fasilitator.
130
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Menurut Siswono (Supardi, 2009: 249), “meningkatkan kemampuan berpikir kreatif artinya
menaikkan skor kemampuan siswa dalam memahami masalah, kefasihan, fleksibilitas dan
kebaruan penyelesaian masalah”. Siswa dikatakan memahami masalah bila menunjukkan apa
yang diketahui dan apa yang ditanyakan, siswa memiliki kefasihan dalam menyelesaikan
masalah bila dapat menyelesaikan masalah dengan jawaban bermacam-macam yang benar
secara
logika. Siswa memiliki fleksibilitas dalam meyelesaikan masalah bila dapat
menyelesaikan soal dengan dua cara atau lebih yang berbeda dan benar. Siswa memiliki
kebaruan dalam menyelesaikan masalah bila dapat membuat jawaban
yang berbeda dari
jawaban sebelumnya atau yang umum diketahui siswa.
Untuk dapat mengoptimalkan kemampuan berpikir kreatif siswa, guru dapat merancang
proses pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif. Guru dapat menggunakan
pendekatan yang dapat melibatkan aktifitas aktif siswa selama proses belajar mengajar
dan menciptakan materi ajar yang memilki pertanyaan yang divergen (terbuka).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berpikir kreatif dapat diartikan sebagai suatu
kegiatan mental yang digunakan seseorang untuk membangun ide atau gagasan yang baru.
kemampuan berpikir kreatif merupakan hal yang telah dimiliki seseorang sejak ia lahir.
Banyaknya permasalahan yang dihadapi dalam dunia pendidikan. Salah satunya adalah
masalah lemahnya proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran, siswa didorong
untuk mengembangkan kemampuan berpikir. Kenyataan yang terjadi siswa diarahkan
kepada kemampuan untuk menghafalkan informasi. Siswa dipaksa untuk mengingat dan
menimbun
berbagai
informasi
tanpa
dituntut
untuk
memahami
informasi
dan
mengaplikasikan informasi tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini mengakibatkan
ketika anak lulus sekolah mereka hanya terampil secara teoritis tetapi sangat kurang
pada aplikasi.
Upaya
meningkatkan
kualitas
pendidikan
seharusnya
dimulai
dari
pembenahan
kemampuan guru. Salah satu kemampuan yang harus dimiliki guru adalah merancang
suatu pembelajaran yang sesuai dengan tujuan atau kompetensi yang akan dicapai hanya
dengan satu strategi saja. Kemajuan teknologi informasi di era globalisasi saat ini
menuntut
guru untuk
mengubah paradigma
tentang mengajar
yaitu dari
sekedar
menyampaikan materi pelajaran menjadi aktivitas mengatur suasana agar siswa belajar.
Selain
itu
guru
kurang
mengarahkan
dan
memotivasi
siswa
untuk mengaitkan
permasalahan yang dihadapi dengan kehidupan sehari-hari dan memunculkan ide-ide kreatif
melalui pembuatan suatu karya. Hal ini menyebabkan rendahnya kreativitas siswa dalam
belajar matematika, karena siswa tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan potensi
yang ada pada diri siswa.
131
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Berpikir kreatif ini harus terus dikembangkan dan dilatih. Guru dapat melatih kemampuan
berpikir kreatif siswa dalam suasana pembelajaran di kelas. Salah satunya menerapkan
pembelajaran yang bisa memberikan siswa kesempatan
dalam
mengemukakan
dan
mengembangkan gagasan mereka secara bebas namun tetap dibawah bimbingan
guru
sebagai fasilitator.
Pentingnya keterampilan berpikir kritis dan kreatif dilatihkan kepada siswa, didukung
oleh visi pendidikan matematika yang mempunyai dua arah pengembangan, yaitu
memenuhi kebutuhan masa kini dan masa yang akan dating (Sumarmo dalam Istianah,
2013:44). Visi pertama untuk kebutuhan masa kini, pembelajaran matematika mengarah
pada
pemahaman
konsep-konsep
yang
diperlukan
untuk
menyelesaikan
masalah
matematika dan ilmu pengetahuan lain. Visi kedua untuk kebutuhan masa yang akan
dating atau mengarah ke masa depan, mempunyai arti lebih luas, sistematis, kritis, dan
cermat serta berpikir objektif dan terbuka, yang sangat diperlukan dalam kehidupan
sehari-hari serta untuk menghadapi masa depan yang selalu berubah.
Penyebab
lain
sulitnya
siswa
memahami
pelajaran
matematika
adalah
karena
pembelajaran matematika yang mereka rasakan kurang bermakna. Masih ada guru, pada
saat pembelajaran matematika tidak mengkaitkan dengan kehidupan sehari-hari, padahal
menurut Jenning dan Dunne (Ratnaningsih, 2007) bahwa mengaitkan pengalaman
kehidupan nyata siswa dengan idea-idea matematika dalam pembelajaran di kelas penting
dilakukan, agar pembelajaran bermakna.
Sebagai upaya memfasilitasi siswa agar kemampuan berpikir kreatifnya berkembang,
yaitu dengan suatu pembelajaran dimana pembelajaran tersebut harus berangkat dari
pembelajaran
yang
membuat
siswa
aktif
sehingga
leluasa
untuk
berpikir
dan
mempertanyakan kembali apa yang mereka terima dari gurunya. Hal ini sejalan dengan
yang dikemukakan oleh Ibrahim (2007) bahwa untuk membawa ke arah pembelajaran
yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif harus berangkat dari
pembelajaran yang membuat siswa aktif.
Salah satu model pembelajaran yang dapat dijadikan alternatif agar siswa aktif dalam
proses pembelajaran yaitu dengan menggunakan model pembelajaran Think Pair Share
(TPS). Model pembelajaran TPS menuntut siswa lebih aktif dalam pembelajaran, dengan
berpikir
secara
berpasangan
melalui mengamati, menanya, mengumpulkan informasi,
mengolah informasi dan menyimpukan kemudian membagikan atau menyajikan informasi
tersebut.
Model TPS dianggap menjadi sebuah model yang kreatif, inovatif dan bias menjadi
salah satu solusi yang efektif dalam pengembangan kemampuan berpikir kreatif siswa.
132
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Penerapan
model
ini
dapat
menunjang
kegiatan
belajar
mengajar
karena
dapat
memberikan kesempatan kepada siswa baik secara individu maupun secara kelompok
untuk ikut aktif membahas suatu permasalahan.
Hal tersebut di atas sejalan dengan penelitian Herpina (2015) dengan judul “Penerapan
model Think Pair Share (TPS) dengan pendekatan open-ended untuk meningkatkan
kemampuan berpikir kreatif matematika siswa kelas VII SMP”. Adapun kesimpulan dari
penelitiannya adalah pembelajaran dengan penerapan model TPS dengan pendekatan
open-ended dapat meningkatkan kemampuan bnerpikir kreatif matematika siswa.
Hasil penelitian Hariyono (2013) dengan judul penelitian “Penerapan pembelajaran
kooperatif model think pair share untuk meningkatkan keaktifan belajar ipa melalui media
flash movie siswa kelas IV SD Negeri 5 Karangrejo tahun pelajaran 2012 / 2013”. Hasil
penelitiannya adalah penerapan pembelajaran kooperatif model Think Pairs Share (TPS)
dengan media flas movie dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar Ilmu Pengetahuan
Alam (IPA) Siswa.
Penelitian Ni’mah (2014) dengan judul penelitian “Penerapan model Pembelajaran Think
Pair Share (TPS) dengan metode eksperimen untuk meningkatkan hasil Belajar dan Aktivitas
belajar
Siswa
Kelas
VIII
Mts. Nahdlatul
Muslimin
Kudus”.
Dengan
kesimpulan
penelitian yaitu model pembelajaran Think Pair Share (TPS) dengan metode eksperimen dapat
meningkatkan hasil belajar dan aktivitas siswa kelas VIII MTs. Nahdlatul Muslimin. Aktivitas
belajar yang dapat dikembangkan dengan model pembelajaran Think Pair Share (TPS) disertai
metode eksperimen adalah melakukan
percobaan,
menyimpulkan
hasil
percobaan,
mengajukan pertanyaan, mendengarkan presentasi dan mengemukakan pendapat serta
mengerjakan tes.
Lie (Ni’mah, 2014: 19) mengungkapkan bahwa Think Pair Share (TPS) merupakan strategi
pembelajaran yang dikembangkan pertama kali oleh Profesor Frank Lyman di Universitas
of Maryland pada 1981 dan diadopsi oleh banyak penulis di bidang pembelajaran
kooperatif pada tahun-tahun selanjutnya.
Trianto (Surayya, 2014:3) menyatakan Model pembelajaran kooperatif tipe think pair
share merupakan model pembelajaran kooperatif yang efektif untuk membuat variasi
suasana pola diskusi. Prosedur yang digunakan dalam model think pair share dapat
memberi siswa lebih banyak waktu berpikir, merespon dan saling membantu.
Hariyono (2013:3) mengemukakan bahwa model Think Pair Share (TPS) mengajarkan
siswa untuk lebih mandiri dalam mengerjakan soal-soal yang diberikan sehingga dapat
membangkitkan rasa percaya diri siswa, dimana siswa dapat bekerja sama dengan orang
133
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
lain dalam kelompok kecil yang heterogen. Dengan menerapkan model ini dapat
meningkatkan keaktifan siswa dikelas. Karena siswa akan berdiskusi dengan pasangannya
(pairs) untuk memecahkan masalah yang diberikan oleh guru, siswa berbagi (share)
dengan teman sekelasnya dengan mempresentasikan hasil diskusinya dengan pasangannya.
Selain itu dengan penerapan model ini siswa akan lebih menguasai materi, karena siswa
harus berpikir (think) untuk menyelesaikan masalah yang ditugaskan kepadanya.
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran Think Pair
Share (TPS) merupakan salah satu model pembelajaran kooperatif sederhana yang
melatih siswa bagaimana cara mengutarakan pendapat, belajar menghargai pendapat orang
lain dengan tetap mengacu pada materi atau tujuan pembelajaran dan dirancang untuk
mempengaruhi
interaksi
siswa
serta
menghendaki
siswa
saling
membantu
dalam
kelompok kecil.
Seperti namanya “Thinking”, pembelajaran ini diawali dengan guru mengajukan pertanyaan
atau isu terkait dengan pelajaran untuk dipikirkan siswa. Guru memberikan kesempatan
kepada mereka memikirkan jawabannya. Selanjutnya “Pairing”, pada tahap ini guru meminta
siswa berpasang-pasangan. Guru memberi kesempatan kepada pasangan-pasangan itu untuk
berdiskusi. Hasil diskusi intersubjektif di tiap-tiap pasangan dibicarakan dengan pasangan
seluruh kelas. Tahap ini dikenal dengan “Sharing” Suprijono (Ni’mah, 2014: 19).
Selain pemilihan model pembelajaran yang tepat, perolehan hasil belajar suatu kegiatan
pembelajaran yang dipengaruhi oleh kemampuan guru dalam mengenal dan memahami
karakteristik siswa. Seorang guru mampu mengenali karakteristik siswa akan dapat
membantu terselenggaranya proses pembelajaran secara
peningkatan
hasil
belajar
siswa. Seorang
guru
efektif yang memungkinkan
hendaknya
mampu
mengenal
dan
mengetahui karakteristik siswa akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan proses
belajar siswa. Apabila guru telah mengetahui karakteristik siswanya, maka selanjutnya
dapat menyesuaikan dengan model pembelajaran yang akan digunakan.
Proses pembelajaran dikatakan efektif apabila terjadi transfer belajar, yaitu materi
pelajaran yang disajikan oleh guru dapat diserap oleh struktur kognitif siswa. Siswa
dapat menguasai materi tersebut
tidak hanya terbatas pada tahap ingatan tanpa
pengertian (rote learning), tetapi diserap secara bermakna (meaningful learning). Agar
terjadi transfer belajar yang efektif, maka guru harus memperhatikan karakteristik setiap
siswa. Karakteristik adalah aspek-aspek yang ada dalam diri
siswa yang dapat
mempengaruhi prilakunya. Pembelajaran akan semakin efektif atau semakin berkualitas
bila proses belajar mengajar dilakukan sesuai dengan karakteristik siswa yang diajar.
134
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Salah satu karakteristik siswa adalah gaya belajar siswa. Gaya belajar merupakan cara
yang khas dimiliki seseorang dalam belajar. Gaya belajar meliputi beberapa komponen,
antara lain : tipe belajar dan gaya kognitif (Rahman, 2008:454).
Salah satu karakter berpikir yang dapat mempengaruhi performa siswa dalam penyelesaian
masalah yaitu karakter berpikir divergen dan konvergen. Berpikir divergen digambarkan
sebagai berpikir yang spekulatif, serba kemungkinan. Pemikir divergen memulai dengan
sedikit fakta dan mengembangkannya menjadi beberapa jawaban yang beralasan. Cara
berpikir divergen adalah cara berpikir individu yang mencari berbagai alternatif jawaban
dari suatu persoalan. Berpikir divergen seringkali melibatkan pertimbangan dari beberapa
arah
atau
sumber
informasi
yang berbeda. Pemikir
divergen
akan
lebih
mampu
mematahkan gangguan dan berhasil menuju berbagai bentuk penyelesaian. Berpikir
konvergen adalah cara-cara individu dalam memikirkan sesuatu dengan berangggapan
bahwa
hanya ada
satu
jawaban yang benar. Pemikir konvergen mampu memutuskan
penyelesaian terbaik berdasarkan informasi yang ada. Mereka dapat memikirkan hubungan
kuat antara penyelesaian yang diambil dengan penafsiran benar/salah terhadap permasalahan.
Molle dkk., (Khery, 2013:344).
Alamolhodaei
(2001)
menyatakan
bahwa
ada
perbedaan
kemampuan
dalam
hal
memahami konsep dan memvisualisasi langkah-langkah penyelesaian masalah antara siswa
divergen dan konvergen. Namun bagaimana performa mereka dalam pembelajaran kimia
dengan strategi PBL, masih perlu lagi untuk dijelaskan.
Menurut Guilford dalam Cohen (Soenarto, 2011:6-7) mengemukakan bahwa individu-individu
dibedakan dalam gaya berpikir divergen dan gaya berpikir konvergen. untuk menyelesaikan
suatu masalah, seseorang harus merencanakan suatu strategi yang mencakup berpikir divergen
dan berpikir konvergen. Gaya berpikir divergen dan gaya berpikir konvergen dapat
digunakan untuk menklasifikasikan kecenderungan gaya berpikir dalam merespon informasi
dan menyelesaikan masalah/tugas. Perbedaan berpikir divergen dan berpikir konvergen dalam
menyelesaikan suatu masalah secara tegas dinyatakan oleh Seifert (soenarto, 2011:7),
bahwa berbagai situasi dan masalah mendorong siswa untuk menyelesaikan masalah tersebut
dengan menggunakan gaya berpikir konvergen, sebaliknya dalam situasi dan masalah
yang lain, mendorong siswa untuk menyelesaikan masalah dengan gaya berpikir divergen.
Berdasarkan
fenomena tersebut, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang
Pengaruh model pembelajaran Think pair share (TPS) dan gaya kognitif siswa terhadap
hasil belajar matematika siswa di kelas VIII (Delapan) SMP Negeri 6 Kerinci.
135
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
B. METODE PENELITIAN
Penelitian yang dilaksanakan dengan menerapkan desain faktorial 2X2. Dimana faktor I :
model pembelajaran Think Pair Share (TPS)
dengan 2 jenis gaya kognitif divergen dan
konvergen dan faktor II : model pembelajaran konvensional dengan dua gaya kognitif
yaitu gaya kognitif divergen dan konvergen.
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan faktorial 2 X 2.
Adapun desainnya adalah sebagai berikut:
Tabel 3.1. Tabel Amatan
Gaya
Kognitif
Model
Pembelajaran
Think Pair Share
(TPS) (A1)
Konvensional (A2)
Divergen
(B1)
Konvergen
(B2)
A1 B1
A1 B2
A2 B1
A2 B2
Keterangan :
A1B1 = Kelompok siswa dengan gaya kognitif divergen
pembelajaran dengan Model Think Pair Share (TPS)
A1B2 = Kelompok siswa dengan gaya kognitif konvergen
pembelajaran dengan Model Think Pair Share (TPS)
A2B1 = Kelompok siswa dengan gaya kognitif divergen
pembelajaran dengan Model Konvensional.
A2B2 = Kelompok siswa dengan gaya kognitif konvergen
pembelajaran dengan Model Konvensional.
yang diberi perlakuan
.
yang diberi perlakuan
.
yang diberi perlakuan
yang diberi perlakuan
Prosedur yang dilakukan dalam penelitian ini adalah :
a. Menentukan populasi;
b. Menentukan sampel secara purposive sampling, sampel dibagi menjadi 2 kelompok,
yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
c. Melakukan pengambilan data tentang gaya kognitif siswa dengan tes kemampuan
kognitif dari angket dikategorikan menjadi 2 kelompok siswa yaitu kelompok siswa
dengan gaya kognitif divergen dan kelompok siswa dengan gaya kognitif konvergen.
d. Kelompok eksperimen diberikan pembelajaran dengan model pembelajaran Think
Pair
Share
(TPS)
,
dan
kelompok
kontrol
diberikan
model
pembelajaran
konvensional.
e. Melakukan tes prestasi belajar.
f. Melakukan tes analisis data untuk mengetahui perbedaan prestasi belajar siswa.
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai
kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan
136
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas
VIII SMP Negeri 6 Kerinci tahun pelajaran 2015/2016.
Sampel adalah bagian dari populasi itu sendiri. Pengambilan sampel dilakukan secara
random sampling pada kelas VIII SMP Negeri 6 Kerinci.
Variable penelitian dalam penelitian terdiri dari variable bebas (model pembelajaran TPS
dan konvensional), variable moderator (gaya berpikir divergen dan konvergen) dan
variable terikat adalah keterampilan berpikir kreatif siswa.
Instrument penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket untuk mengukur
gaya kognitif siswa, apakah divergen atau konvergen serta soal untuk test keterampilan
berpikir kreatif siswa.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Abdullah, S.R., 2014. Pembelajaran saintifik untuk implementasi kurikulum 2013. Jakarta: Bumi
Aksara.
Alamolhodaei, H. 2001. Convergent/Divergent Cognitive Styles and Mathematical Problem Solving.
Journal of science and mathematics education in S.E. Asia, 24(2) :102-117.
Azhari. 2013. Peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa melalui pendekatan
konstruktivisme dikelas VII Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Banyuasin III. Jurnal
pendidikan matematika. 7(2): 1-10.
Depdiknas (2004). Kurikulum 2004. Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika Sekolah
Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah. Jakarta: Depdiknas.
Hariyono, 2013, Penerapan pembelajaran kooperatif model TPS untuk meningkatkan aktivitas belajar
IPA melalui media Flash movie siswa kelas IV SD Negeri 5 Karangrejo tahun pelajaran 2012/2013,
Skripsi, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.
Herpina, K. R., 2013, Penerapan pembelajaran model TPS dengan pendekaran open-ended untuk
meningkatkan kemampuan berpikir kreatif matematika siswa, Skripsi, Universitas Sebelas Maret
Surakarta, Surakarta.
Ibrahim. 2007. Pengembangan kemampuan berpikir kritis dan kreatif siswa SMP dalam matematika
melalui pendekatan Advokasi dengan penyajian masalah Open-Ended. Tesis Sekolah Pascasarjana
UPI. Bandung: Tidak dipublikasikan.
Istianah, E., 2013. Meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematika dengan
pendekatan model eliciting activities (MEAs) pada siswa SMA. Infinity, 2(1) : 43-54.
Ni’mah, A. & Dwijananti, P. 2014. Penerapan model pembelajaran Think Pair Share (TPS)
dengan metode eksperimen untuk meningkatkan hasil belajar dan aktivitas belajar siswa kelas
VIII MTs. Nahdatul muslimin Kudus. Unnes physic education journal. 3(2):19-25
Rahman, A., 2008. Analisis hasil belajar matematika berdasarkan perbedaan gaya kognitif secara
psikologis dan konseptual tempo pada siswa kelas X SMA Negeri 3 Makassar. Jurnal pendidikan
dan kebudayaan, 14(072): 454-460.
Ratnaningsih, N.S. 2007. Pengaruh Pembelajaran Konstekstual Terhadap Kemampuan Berpikir
Kritis dan Kreatif Matematika Siswa Sekolah Menengah Atas. Disertasi Sekolah Pascasarjana UPI.
Bandung: Tidak dipublikasikan.
Soenarto, S., 2011, Pengaruh Strategi Pembelajaran Dan Gara Berpikir Terhadap Hasil Belajar
Fisika, Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA,
Universitas Negeri Yogyakarta, 6-7.
Supardi, U.S. 2009. Peran berpikir kreatif dalam proses pembelajaran matematika. Jurnal formatif.
2(3):148-162.
Surayya, L., Subagia, I.W. & Tika, I.N. 2014. Pengaruh model pembelajaran Think Pair Share
(TPS) terhadap hasil belajar IPA ditinjau dari keterampilan berpikir kritis siswa. E-Journal
Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Program Studi IPA. 4(1): 1-11.
137
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
DESAIN PEMBELAJARAN BILANGAN PECAHAN SMP
DENGAN MENGGUNAKAN ALAT PERAGA PADA
KELAS MICRO TEACHING STKIP YDB LUBUK ALUNG
Mira Amelia Amri
STKIP YDB Lubuk Alung, Jl. Pulau Jantung 91, Lubuk Alung
[email protected]
Abstrak. Belajar operasi hitung bilangan pecahan sangat penting bagi siswa. Hal ini dikarenakan belajar
operasi hitung bilangan cenderung dapat mendukung pemikiran dan pemahaman siswa, untuk
memecahkan masalah sehari-hari. Pembelajaran pecahan pada sekolah dasar belum mampu untuk
membawa pemikiran siswa dari konkrit keabstrak. Siswa langsung melakukan operasi hitung tanpa tahu
dasarnya dari mana. Hal ini menjadi permasalahan kembali bagi guru dalam mengajarkan kembali operasi
hitung bilangan pecahan di SMP. Media merupakan perantara untuk menyampaikan pesan kepada
penerima atau suatu alat peraga yang digunakan untuk menjelaskan suatu konsep matematika kepada
peserta didik. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan teknologi telah menuntut semua pendidik dan calon
pendidik untuk dapat menguasai berbagai media pembelajaran. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mendesain pembelajaran bilangan pecahan pada SMP dengan menggunakan alat peraga. Hal ini bertujuan
agar mahasiswa calon guru dapat menggunakan berbagai media dalam mengajar dimasa yang akan
datang. Selain itu desain pembelajaran operasi hitung bilangan juga bertujuan untuk menghindari
kesalahan konsep pada pembelajaran bilangan pecahan selama ini. Subjek penelitian ini adalah
mahasiswa pada kelas microteaching STKIP YDB Lubuk Alung. Jenis penelitian ini adalah penelitian
kualitatif deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa desain pembelajaran bilangan pecahan
dengan menggunakan alat peraga menghindari kesalahan konsep matematis siswa. Kesimpulan dari
penelitian ini adalah bahwa pembelajaran bilangan pecahan akan lebih baik dengan menggunakan alat
peraga. Kompetensi mahasiswa calon guru dapat ditingkatkan dengan desain pembelajaran yang baik
selama perkuliahan micro teaching.
Kata kunci: alatperaga, desain, bilangan, micro teaching
A. PENDAHULUAN
Perkuliahan Microteaching adalah perkuliahan yang menjadi bekal utama bagi mahasiswa
sebelum praktek lapangan. Perkuliahan micro teaching mengajarkan mahasiswa bagaimana
menjadiseorang guru yang sesungguhnya melalui simulasi mengajar. Berbagai materi pada
setiap satuan pendidikan disimulasikan dalam perkuliahan micro teaching. Salah satunya adalah
materi Bilangan Pecahan. Belajar operasi hitung bilangan pecahan sangat penting bagi siswa.
Hal ini dikarenakan belajar operasi hitung bilangan cenderung dapat mendukung pemikiran dan
pemahaman siswa, untuk memecahkan masalah sehari-hari. Pembelajaran pecahan pada sekolah
dasar belum mampu untuk membawa pemikiran siswa dari konkrit keabstrak. Siswa langsung
melakukan operasi hitung tanpa tahu dasarnya dari mana. Hal
ini menjadi permasalahan
kembali bagi guru dalam mengajarkan kembali operasi hitung bilangan pecahan di SMP. Media
merupakan perantara untuk menyampaikan pesan kepada penerima atau suatu alat peraga yang
digunakan untuk menjelaskan suatu konsep matematika kepada peserta didik. Kemajuan Ilmu
138
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Pengetahuan dan teknologi telah menuntut semua pendidik dan calon pendidik untuk dapat
menguasai berbagai media pembelajaran, Tujuan penelitian ini adalah untuk mendesain
pembelajaran bilangan pecahan pada SMP dengan menggunakan alat peraga. Hal ini bertujuan
agar mahasiswa calon guru dapat menggunakan berbagai media dalam mengajar dimasa yang
akan datang. Selain itu desain pembelajaran operasi hitung bilangan juga bertujuan untuk
menghindari kesalahan konsep pada pembelajaran bilangan pecahan selama ini.
B. METODE PENELITIAN
Sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya, maka jenis penelitian ini
adalah penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif kualitatif yang dimaksudkan disini
adalah untuk melihat, meninjau, dan mengambarkan tentang objek yang diteliti seperti apa
adanya tanpa melakukan pengontrolan terhadap suatu perlakuan dan akhirnya menarik suatu
kesimpulan tentang hal tersebut. Arikunto (2005:234) berpendapat bahwa penelitian deskriptif
kualitatif hanya menggambarkan “apa adanya” tentang suatu variabel, gejala, atau keadaan.
Data yang diperoleh dari lapangan akan dideskripsikan melalui kata-kata oleh peneliti.
Penelitian ini dilakukan di STKIP YDB Lubuk Alung bertempat di Jalan Pulau Jantung Indah.
Dalam penelitian ini, subjek penelitian yang dijadikan sumber data yaitu mahasiswa yang
mengikuti kuliah micro teaching.
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode: observasi, wawancara dan
dokumentasi. Proses pengumpulan data dalam penelitian ini adalah:
1. Observasi
Observasi dilakukan dengan tujuan mengamati mahasiswa selama berlangsungnya
workshop desain pembelajaran dan dalam pelaksanaan simulasi pembelajaran di kelas.
Untuk melihat kesiapan mahasiswa dalam melaksanakan desain pembelajaran setelah
mengikuti workshop, saat penelitian berlangsung peneliti terlibat langsung dalam
pelaksanaan pembelajaran dengan cara ikut masuk kelas bersama mahasiswa untuk
observasi.
2. Wawancara
Wawancara dilakukan terhadap mahasiswa untuk melihat perkembangan kompetensi
mahasiswa sebelum dan sesudah mengikuti workshop. Kemudian juga melihat bagaimana
tanggapan mahasiswa terhadap pelaksanaan pembelajaran yang telah mereka cobakan di
kelas. Dengan wawancara dapat diketahui situasi dan fenomena yang terjadi yang tidak
bisa ditemukan dalam observasi.
139
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
3. Dokumentasi
Dokumentasi dengan menggunakan video taping dalam workshop dan simulasi kegiatan
pembelajaran di kelas. Dokumentasi berguna untuk melengkapi informasi yang diperoleh
pada teknik observasi dan wawancara. Studi dokumentasi nantinya berguna untuk
dipelajari dengan seksama dan secermat mungkin.
Adapun tahap pengumpulan data tersebut adalah sebagai berikut:
1. Observasi awal
Peneliti melakukan observasi awal melihat pembelajaran di SMP, melakukan wawancara
dengan beberapa siswa mengenai pembelajaran pecahan. Menanya pengalaman mahasiswa
dalam memahami materi pecahan, menanyakan ide mahasiswa tentang suatu pembelajaran
pecahan.
2. Workshop desain pembelajaran
Workshopinidiikutioleh
10
mahasiswa
yang
teaching.Penelitianiniberfokuspadamahasiswacalon
mengambilmatakuliah
guru
padamatakuliah
micro
micro
teaching.Dalamhalinimahasiswadidampingidalampraktikmengajardansimulasidi
kelasuntukselanjutnyadiamatibagaimanakompetensimahasiswacalon guru terhadapdesain
yang telahdilakukan.
Dosen bersama mahasiswa melakukanworkshop awal selama 3 hari. Pada saat
workshopmahasiswa mendapat informasi tentang pembelajaran bilangan pecahan,media
pembelajaran serta
bagaimana mengimplementasikan dalam simulasi pembelajaran di
kelas.
Kegiatanpertamayaiturefleksiawal,mahasiswamenceritakanhasilwawancaratentangpembela
jaranbilanganpecahandisekolah,
mahasiswajugamenceritakantentangpengalamanmerekadalambelajarbilanganpecahan.
3. Observasi lanjutan
Observasi ini dilakukan setiap minggunya untuk mengamati pembelajaran yang telah dirancang
selama workshop. Apabila terdapat kendala, maka langsung dilakukan wawancara dan refleksi
bersama-sama setelah selesai simulasi pembelajaran.
4. Workshop lanjutan
Workshop lanjutan dilaksanakan 1 hari setiap minggunya untuk merefleksi simulasi praktik
mengajar yang dilakukan di kelas. Pada workshop refleksi ini mahasiswa
menceritakan
pengalaman mengajar dan kesulitan yang dialami selama simulasi di kelas. Kemudian
mahasiswa merancang pembelajaran untuk minggu berikutnya dengan harapan lebih baik dari
minggu sebelumnya. Kesulitan dan kendala pada minggu sebelumnya juga diharapkan tidak
muncul lagi.
140
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Mengingat tujuan yang ingin dicapai, maka program desain yang disusun merupakan kombinasi
tiga komponen, yaitu workshop, simulasi praktik mengajar, dan pertemuan refleksi. Selanjutnya
dapat dilihat pada Gambar 1.
WOKSHOP
Ceramah Teori Pembelajaran dan media
Pemutaran Video
Persiapan Praktek Mengajar
PRAKTIK MENGAJAR
Menggunakan Desain pada
workshop
PERTEMUAN REFLEKSI
Berbagi Pengalaman
UmpanBalikdanDiskusi
Gambar 1.Dimodifikasidari Model Pengembangan Guru dalam Indo Math Program
(Sutarto: 2005)
Keabsahan data yang diperoleh di lapangan diperiksa dengan teknik-teknik sebagai berikut
sebagai mana dikemukakan oleh Sugiyono (2005:121) bahwa: ’’uji keabsahan data dalam
penelitian kualitatif meliputi uji, credibility (validitas internal), transferability (validitas
eksternal), dependability (reliabilitas), dan confirmability (obyektivitas)”.
1. Uji kredibilitas
Uji kredibilitas data atau kepercayaan terhadap data hasil penelitian kualitatif antara lain
dilakukan dengan perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan dalam penelitian,
triangulasi, diskusi dengan teman sejawat, analisis kasus negatif, dan member check.
2. Pengujian Transferability
Transferability menunjukkan derajat ketepatan atau dapat diterapkannya hasil penelitian
ke populasi di mana sampel itu diambil. Nilai transfer ini berkenaan dengan pertanyaan,
hinggamana hasil penelitian dapat diterapkan atau digunakan dalam situasi sosial lain.
3. Pengujian dependability
Uji dependability dilakukan dengan melakukan audit terhadap keseluruhan proses
penelitian. Menurut Sanafiah faisal dalam Sugiyono (2005:131) ’’jika peneliti tak
mempunyai dan tak dapat menunjukkan ’jejak aktivitas lapangannya’, maka
dependabilitas penelitiannya patut diragukan”.
141
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
4. Pengujian Confirmability
Menguji confirmability berarti menguji hasil penelitian, dikaitkan dengan proses yang
dilakukan. Bila hasil penelitian merupakan fungsi dari penelitian yang dilakukan, maka
penelitian tersebut telah memenuhi standar Confirmability.
Analisis data Kualitatif menurut Patton dalam Lexy (2002:102) adalah “suatu proses mengatur
urutan data, mengorganisasikannya kedalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar”.
Berdasarkan cara kerja dalam teknik analisis yang dilakukan model miles dan Huberman dari
reduksi data, penyajian data kemudian di verifekasi, dilakukan selama dan sesudah penelitian
berlangsung. Selanjutnya apabila terjadi kekurangan data atau kesalahan sehingga yang diambil
kurang sesuai dapat dilakukan proses ulang dengan tahapan yang sama. Proses dan teknik
analisis data sebagaimana dikemukakan Miles dan Huberman dalam Sugiyono (2005:91)
bahwa: “aktivitas dalam analisis data kulalitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung
secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh”. Aktivitas dalam analisis
data, yaitu: data reduction, data display, dan conclusion drawing/ verification.
1. Reduksi data
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan,
pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatancatatan yang tertulis di lapangan.
2. Penyajian data
Penyajian data yang digunakan adalah bentuk teks naratif berdasarkan hasil observasi
dan hasil wawancara yang direduksi selama penelitian berlangsung.
3. Penarikan kesimpulan atau verifikasi
Penarikan kesimpulan atau verifikasi adalah kegiatan akhir dari suatu penelitian,
dimana data yang dianalisis kemudian diverifikasi untuk meninjau ulang maupun
melakukan pembuktian kebenaran yang diambil.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
Setelah serangkaian penelitian selesai dilaksanakan, tahap selanjutnya adalah tahap analisis
data. Analisis data penelitian diarahkan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini,
sebagaimana yang telah diuraikan pada bagian pendahuluan. Analisis ini dilakukan untuk
mengungkapkan bagaimana pengaruh workshop desain pembelajaran bilangan pecahan dengan
menggunakan media terhadap pengembangan kompetensi mahasiswa calon guru. Kompetensi
yang dimaksud adalah kompetensi mahasiswa dalam mengajarkan bilangan pecahan,
keterampilan mahasiswa dalam menggunakan media, beserta keterampilan dasar mengajar yang
diamati secara umum di dalam simulasi mengajar.
142
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Analisis dimulai dengan melihat rancangan pelaksanaan pembelajaran mahasiswa. Rancangan
yang telah dirancang sudah sesuai dengan desain yang telah dilakukan pada
workshop.
Rancangan disimulasikan dalam pembelajaran dikelas dengan menggunakan media. Kegiatan
pembelajaran sebagai berikut:
1. Mahasiswa memulai pembelajaran dengan melakukan apersepsi tentang bilangan bulat
2. Mahasiswa memberikan motivasi mengenai kaitan materi bilangan pecahan dengan
kehidupan sehari-hari dengan menggunakan kue, yaitu memberikan permasalahan dengan
pembagian kue.
3. Selanjutnya guru menjelaskan mengenai definisi bilangan pecahan dan menjelaskan operasi
hitung bilangan pecahan dengan menggunakan media. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada Gambar 2.
Gambar 2. Simulasi pembelajaran Bilangan Pecahan
Pada Gambar 2 terlihat bahwa mahaiswa yang melakukan simulasi sudah melaksanakan proses
pembelajaran yang sesuaidengan desain sewaktu workshop. Adapun contoh permasalahan yang
digunakan dalam pembelajaran dapat dilihat pada Gambar 3.
Permasalahan yang diberikan oleh mahasiswa pada saat simulasi dapat dilihat pada Gambar 3.
143
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Gambar 3. Permasalahan yang diberikan kepada Siswa
Berdasarkan Gambar 3 terlihat bahwa mahasiswa sudah menghubungkan pembelajaran bilangan
pecahan dengan kehidupan sehari-hari siswa. Melalui media siswa dipandu untuk memahami
konsep pecahan biasa dan pecahan campuran, bagaimana merubah pecahan biasa ke dalam
bentuk pecahan campuran dan sebaliknya. Implementasi dari simulasi ini adalah siswa tertarik
dan senang menerima pembelajaran dari
guru. Mahasiswa sudah dapat melaksanakan
pembelajaran layaknya keadaan sesungguhnya di kelas.
D. KESIMPULAN
Kesimpulan dari penelitian ini adalah kompetensi mahasiswa meningkat setelah mengikuti
workshop desain pembelajaran khususnya bilangan pecahan, mahasiswa mampu menggunakan
media dalam simulasi mengajar. Mahasiswa dapat mengembangkan ide kreatif dalam
144
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
mendesain pembelajaran dengan menggunakan berbagai media pembelajaran. Saran dalam
penelitian ini adalah mahasiswa sebaiknya menggunakan media dalam simulasi pembelajaran di
kelas agar terbiasa nantinya ketika praktek lapangan. Pelaksanaan workshop
desain
pembelajran sebaiknya dilakukan rutin sehingga semua mahasiswa dapat memperoleh
bimbingan dan pengarahan dalam simulasi praktik mengajar di kelas. Penelitian ini dapat
dikembangkan menjadi penelitian kuantitatif yang
dapat menihat peningkatan kompetensi
mahasiswa calon guru dan hasil belajar siswa pada praktek lapangan nantinya.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Hadi, Sutarto. 2005. Pendidikan Matematika Realistik dan Implementasinya. Tulip: Banjarmasin
2.
Suharsimi, Arikunto.2005. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
3.
Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta
4.
Lexy J, Moleong. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya
145
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
PENGARUH PEMBERIAN REWARD TERHADAP
MOTIVASI BELAJAR MAHASISWA PADA
PERKULIAHAN PROGRAM LINIER
Mulia Suryani
STKIP PGRI Sumatera Barat
muliasuryani @gmail.com
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui “Bagaimana pengaruh pemberian reward terhadap
motivasi belajar mahasiswa Pada Perkuliahan Program Linier?”. penelitian ini adalah penelitian jenis
Deskriptif kuantitatif. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 6 Oktober- 6 November 2015 pada Sesi
2013 Program Studi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Sumatera Barat pada semester ganjil tahun
Akademik 2015/2016. Sampel dalam penelitian ini adalah 29 orang mahasiswa. Berkenaan dengan
masalah yang diteliti, maka dirumuskan pertanyaan penelitiannya adalah “Bagaimana pengaruh
pemberian reward terhadap motivasi belajar mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika pada
Perkuliahan Program Linier?”. Instrumen penelitian ini adalah non tes, yakni berupa angket atau
kuesioner. Data yang dihasilkan dari penyebaran angket berskala pengukuran interval mengingat angket
yang disebarkan menggunakan skala Likert dengan kisaran 1-4. Untuk mendapatkan data tentang
motivasi belajar mahasiswa digunakan angket sebagai alat pengumpul data yang diberikan kepada 29
responden. Angket yang diberikan berisi 13 item pernyataan tentang motivasi belajar dan bersifat
tertutup. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh pemberian reward terhadap
motivasi belajar mahasiswa pada perkuliahan Program Linier.
Kata kunci : reward, motivasi belajar, angket
A. PENDAHULUAN
Pembelajaran merupakan suatu proses yang dilakukan secara sadar pada setiap individu atau
kelompok untuk mengubah sikap dari tidak tahu menjadi tahu sepanjang hidupnya. Sedangkan
proses belajar mengajar merupakan kegiatan pokok yang di dalamnya terjadi proses mahasiswa
belajar dan dosen mengajar dalam konteks interaktif dan terjadi interaksi edukatif antara dosen
dan mahasiswa, sehingga terdapat perubahan dalam diri mahasiswa baik perubahan pada tingkat
pengetahuan, pemahaman dan keterampilan ataupun sikap. Melalui proses mengajar tersebut
akan dicapai tujuan pendidikan tidak hanya dalam hal membentuk perubahan tingkah laku
dalam diri mahasiswa, akan tetapi juga meningkatkan pengetahuan yang ada dalam diri
mahasiswa.
Dalam pendidikan saat ini, dosen seringkali mendapatkan kesulitan dalam pembelajaran.
Misalnya: mahasiswa merasa bosan ketika pembelajaran berlangsung karena tidak ada yang
membuat semangat dalam pembelajaran tersebut. Hal ini menyebabkan kurang aktifnya
mahasiswa dalam kegiatan pembelajaran, apalagi pada pelajaran yang dianggapnya sulit.
Dosen adalah pendidik profesional dengan tugas utamanya mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik dalam jalur formal. Dosen dalam
146
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
menjalankan fungsinya diantaranya berkewajiban untuk menciptakan suasana pendidikan yang
bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dialogis, dan memberikan motivasi kepada
mahasiswa dalam membangun gagasan, prakarsa, dan tanggung jawab mahasiswa untuk belajar.
Untuk meningkatkan motivasi belajar mahasiswa, maka harus dicarikan solusi. Seorang dosen
perlu mengembangkan pendekatan dan metode yang lebih bervariatif untuk mengatasi berbagai
kesulitan mahasiswa seperti rasa jenuh, bosan, adanya kemungkinan peserta didik kurang
mendapat motivasi dari orang tua mahasiswa dalam mendukung mahasiswanya atau faktor
lingkungan yang kurang mendukung. Untuk itu, dosen harus mencari strategi atau inisiatif agar
mahasiswa dapat tertarik atau lebih antusias dalam proses belajara mengajar.
Teori motivasi yang dikemukakan oleh Salvin bahwa motivasi belajar adalah memberikan
penghargaan kepada kelompok terhadap personal maupun kelompok yang mampu
mengekspresikan ide, pernyataan serta pendapat. Pemberian Perhatian. Pemberian perhatian
yang cukup terhadap mahasiswa dengan segala potensi yang dimilikinya merupakan bentuk
motivasi yang sederhana, karena banyak yang tidak memiliki motivasi belajar diakibatkan tidak
dirasakannya adanya perhatian. Sebagaimana yang dijelaskan Dimyati dan Mudjiono (2002:42)
prinsip-prinsip yang berkaitan dengan perhatian dan motivasi pembelajaran yaitu perhatian
merupakan peranan penting dalam kegiatan belajar.
Pemberian hadiah dan pujian merupakan reward atau penghargaan atas perilaku baik yang
dilakukan mahasiswa. Hal ini sangat diperlukan dalam hubungannya dengan minat dan
penerapan disiplin pada mahasiswa. Reward atau penghargaan memiliki tiga fungsi penting
dalam mengajari mahasiswa berperilaku yang disetujui secara sosial. Fungsi yang pertama ialah
memiliki nilai pendidikan. Yang kedua, pemberian reward harus menjadi motivasi bagi
mahasiswa untuk mengulangi perilaku yang diterima oleh lingkungan atau masyarakat. Melalui
reward, mahasiswa justru akan lebih termotivasi untuk mengulangi perilaku yang memang
diharapkan oleh masyarakat. Fungsi yang terakhir ialah untuk memperkuat perilaku yang
disetujui secara sosial dan tiadanya penghargaan melemahkan keinginan untuk mengulangi
perilaku tersebut. Dengan kata lain, mahasiswa akan mengasosiasikan reward dengan perilaku
yang disetujui masyarakat. Oleh karena itu, peneliti mencoba membuat mahasiswa lebih aktif di
dalam kegiatan pembelajaran, dan meningkatkan semangat belajar dalam diri mahasiswa.
Dengan pemberian reward kepada mahasiswa, diharapkan dapat meningkatkan motivasi mereka
untuk lebih giat belajar dalam proses pembelajaran di kelas.
Berdasarkan pada latar belakang permasalahan di atas, maka dapat diidentifikasi masalah
sebagai berikut : motivasi belajar mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika pada
perkuliahan Program linier rendah, disebabkan karena dosen masih kurang memberi
penghargaan (reward) terhadap pencapaian belajar mahasiswa. maka rumusan masalahnya
147
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
adalah “Bagaimana pengaruh pemberian reward terhadap motivasi belajar mahasiswa Pada
Perkuliahan Program Linier?”.
B. METODE PENELITIAN
Berdasarkan rumusan masalah yang diajukan, penelitian ini adalah penelitian jenis Deskriptif
kuantitatif. Menurut Nawawi (2003: 64) metode deskriptif yaitu metode-metode penelitian yang
memusatkan perhatikan pada masalah-masalah atau fenomena yang bersifat aktual pada saat
penelitian dilakukan, kemudian menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki
sebagaimana adanya diiringi dengan interpretasi yang rasional dan akurat.
Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada tanggal 6 Oktober- 6 November 2015 pada Sesi 2013
D Program Studi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Sumatera Barat. Dalam penelitian ini
populasinya adalah mahasiswa-mahasiswa Sesi 2013 A-D dengan Jumlah 142 orang
mahasiswa. Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi.
Sampel adalah meneliti sebagian populasi. Arikunto (1996:117), menegaskan apabila subjek
eksperimen kurang dari 100, lebih baik diambil semuanya, sehingga eksperimen yang dipakai
termasuk model eksperimen populasi. Sedangkan populasi di atas 100 maka sampel diambil
10%-15% atau 20%-25% dari populasi. Maka sampel dalam penelitian ini adalah 29 orang
mahasiswa.
Untuk mendapatkan dan mengumpulkan data dalam penelitian, dibutuhkan sebuah alat atau
instrumen, adapun instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
skala Likert yang menggunakan lima alternatif jawaban. Aspek dalam angket ini adalah
motivasi mahasiswa. Motivasi mahasiswa dapat dirincikan dalam beberapa indikator, kemudian
masing-masing indikator dijabarkan menjadi butir-butir pernyataan.
Tabel 1. Pernyataan Angket Motivasi Belajar Mahasiswa
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
148
Pernyataan
Saya senang diberi reward karena dapat menyelesaikan soal
Saya berusaha cepat-cepat mengerjakan tugas untuk mendapatkan nilai tambahan
Saya bersemangat menjawab pertanyaan/ soal yang diberikan untuk mendapatkan nilai
tambahan
Saya suka kalau di kelas, dosen selalu memberi reward
Saya akan lebih rajin belajar jika dosen selalu memberi nilai tambahan
Saya akan bertanya jika menemukan kesulitan dalam menyelesaikan soal
Saya lebih giat belajar untuk mendapatkan nilai yang bagus
Saya mengulang pelajaran di rumah
Dengan adanya reward, saya tertarik untuk belajar mata kuliah program linier
Karena diberi reward, saya mengerjakan setiap tugas yang diberikan dosen
Dengan adanya reward, saya menjadi lebih aktif belajar di kelas
Sebelum perkuliahan dimulai, saya mempersiapakan buku dan perlengkapan lainnya
terlebih dahulu
Saya merasa rugi jika tidak dapat mengikuti perkuliahan
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Sesuai dengan jenis penelitian dan jenis data, maka analisis yang digunakan dalam penelitian ini
adalah analisis deskriptif kualitatif yang didukung oleh analisis kuantitatif. Langkah-langkah
analisa sebagai berikut:
a.
Reduksi data
Reduksi
data
merupakan
proses
memilih,
memusatkan
perhatian
dan
menyederhmahasiswaan melalui seleksi dari data mentah yang muncul dari catatan- catatan
tertulis di lapangan sehingga menjadi informasi bermakna.
b.
Display data
Paparan data dilakukan dengan penyajian data dalam bentik uraian singkat, bagan dan
grafik sehingga mudah dibaca. Data yang telah diperoleh melalui angket, kemudian
dihitung dengan presentase. Presentase tersebut dapat diperoleh dengan rumus berikut:
Jumlah Skor
× 100%
Skor Maksimum
Selanjutnya data kuantitatif tersebut ditafsirkan dengan kalimat yang bersifat kualitatif.
Presentase(P) =
Setelah diperolah perhitungan tersebut, kemudian ditafsirkan sebagai berikut:
Tabel
No.
1.
2.
3.
4.
c.
2. Kriteria Motivasi Belajar Mahasiswa
Kualifikasi
Presentase
Sangat Tinggi
≥ 76
Tinggi
56 ≤ < 76
Cukup
40 ≤ < 56
Kurang
< 40
Pengambilan kesimpulan
Data yang diperoleh kemudian dinalisis dan kemudian disimpulkan secara keseluruhan.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemberian reward pada proses perkuliahan sangat berpengaruh terhadap motivasi belajar
mahasiswa, dengan diberi reward berupa tambahan nilai, mahasiswa lebih termotivasi dalam
belajar terutama dalam menyelesaikan soal. Dari 29 responden, 24 orang memiliki motivasi
yang sangat tinggi dalam belajar, apabila pada saat pembelajaran diberikan reward (tambahan
nilai) oleh dosen, dan 5 lainnya memiliki motivasi yang tinggi.
Berikut ini penjabaran lebih detail tentang respon mahasiswa terhadap pernyataan-pernyataan
yang diberikan:
149
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Tabel 3. Data Motivasi Belajar Mahasiswa ditinjau dari jumlah respon mahasiswa tiap
pernyataan
Pernyataan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
SL (4 )
Jumlah %
18
62
22
76
15
52
13
45
2
6
7
24
20
69
2
7
15
52
18
62
14
48
14
48
25
86
Alternatif Jawaban Siswa
SR (3)
KD (2)
Jumlah % Jumlah %
5
17
6
21
6
21
1
3
11
38
3
10
10
34
6
21
7
24
0
0
14
48
8
28
9
31
0
0
13
45
14
48
9
31
5
17
6
21
5
17
15
52
0
0
14
48
1
4
4
14
0
0
KD (1)
Jumlah %
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Berdasarkan Tabel 3 diperoleh bahwa
1.
Senang diberi reward karena dapat menyelesaikan soal.
Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa 62 % responden selalu merasa senang diberi
reward karena dapat menyelesaikan soal, 17% responden sering merasa senang diberi
reward karena dapat menyelesaikan soal, 21% responden kadang-kadang merasa senang
diberi reward karena dapat menyelesaikan soal. Dan tidak ada responden tidak pernah
senang diberi reward karena dapat menyelesaikan soal. Dari data tersebut dapat
disimpulkan bahwa pemberian reward sangat berpengaruh untuk meningkatkan motivasi
mahasiswa untuk menyelesaikan soal.
2.
Berusaha cepat-cepat mengerjakan tugas untuk mendapatkan reward (nilai tambahan).
Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa 76 % responden selalu berusaha cepat-cepat
mengerjakan tugas untuk mendapatkan nilai tambahan (reward), 21% responden sering
berusaha cepat-cepat mengerjakan tugas untuk mendapatkan nilai tambahan (reward), 3%
responden kadang-kadang berusaha cepat-cepat mengerjakan tugas untuk mendapatkan
nilai tambahan (reward). Dan tidak ada responden tidak pernah berusaha cepat-cepat
mengerjakan tugas untuk mendapatkan nilai tambahan (reward). Dari data tersebut dapat
disimpulkan bahwa pemberian reward sangat berpengaruh untuk meningkatkan motivasi
mahasiswa untuk menyelesaikan soal dengan cepat.
150
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
3.
Bersemangat menjawab pertanyaan/ soal yang diberikan untuk mendapatkan nilai
tambahan (reward)
Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa 52 % responden selalu bersemangat menjawab
pertanyaan/ soal yang diberikan untuk mendapatkan reward,
38%
responden sering
bersemangat menjawab pertanyaan/ soal yang diberikan untuk mendapatkan reward, 10%
responden kadang-kadang bersemangat menjawab pertanyaan/ soal yang diberikan untuk
mendapatkan reward. Dan tidak ada responden tidak pernah bersemangat menjawab
pertanyaan/ soal yang diberikan untuk mendapatkan reward. Dari data tersebut dapat
disimpulkan bahwa pemberian reward sangat berpengaruh untuk meningkatkan semangat
mahasiswa untuk menyelesaikan soal untuk mendapatkan reward.
4.
Suka kalau di kelas, dosen selalu memberi reward.
Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa 45 % responden selalu suka berada di kelas jika
Dosen memberikan reward, 34% responden sering suka berada di kelas jika Dosen
memberikan reward, 21% responden kadang-kadang suka berada di kelas jika Dosen
memberikan reward. Dan tidak ada responden tidak pernah suka berada di kelas jika Dosen
memberikan reward. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberian reward sangat
berpengaruh untuk memotivasi mahasiswa untuk selalu berada di kelas.
5.
Lebih rajin belajar jika dosen selalu memberi nilai tambahan.
Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa 76 % responden selalu lebih rajin belajar jika
dosen selalu memberi nilai tambahan, 24% responden sering Lebih rajin belajar jika
dosen selalu memberi nilai tambahan, tidak ada responden kadang-kadang atau tidak ada
responden tidak pernah lebih rajin belajar jika dosen selalu memberi nilai tambahan. Dari
data tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberian reward sangat berpengaruh untuk
meningkatkan motivasi mahasiswa untuk lebih rajin belajar.
6.
Akan bertanya jika menemukan kesulitan dalam menyelesaikan soal.
Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa 24% responden selalu bertanya jika menemukan
kesulitan dalam menyelesaikan soal, 48% responden sering bertanya jika menemukan
kesulitan dalam menyelesaikan soal, 48%
responden kadang-kadang bertanya jika
menemukan kesulitan dalam menyelesaikan soal dan tidak ada responden tidak pernah
bertanya jika menemukan kesulitan dalam menyelesaikan soal. Dari data tersebut dapat
disimpulkan bahwa pemberian reward sangat berpengaruh untuk meningkatkan motivasi
mahasiswa untuk bertanya jika menemukan kesulitan dalam menyelesaikan soal.
7.
Lebih giat belajar untuk mendapatkan nilai yang bagus.
Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa 69 % responden selalu lebih giat belajar untuk
mendapatkan nilai yang bagus,
31%
responden sering Lebih giat belajar untuk
mendapatkan nilai yang bagus, tidak ada responden kadang-kadang atau tidak ada
151
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
responden tidak pernah lebih giat belajar untuk mendapatkan nilai yang bagus. Dari data
tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberian reward sangat berpengaruh untuk
meningkatkan motivasi mahasiswa untuk lebih giat belajar untuk mendapatkan nilai yang
bagus.
8.
Mengulang pelajaran di rumah.
Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa 7 % responden selalu Mengulang pelajaran di
rumah, 45% responden sering Mengulang pelajaran di rumah, 48% responden kadangkadang Mengulang pelajaran di rumah. Dan tidak ada responden tidak pernah Mengulang
pelajaran di rumah. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberian reward sangat
berpengaruh untuk memotivasi mahasiswa untuk selalu Mengulang pelajaran di rumah.
9.
Dengan adanya reward, saya tertarik untuk belajar mata kuliah program linier.
Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa 52 % responden selalu tertarik untuk belajar mata
kuliah program linier apabila ada reward, 31% responden sering tertarik untuk belajar
mata kuliah program linier apabila ada reward, 17% responden kadang-kadang tertarik
untuk belajar mata kuliah program linier apabila ada reward. Dan tidak ada responden tidak
pernah tertarik untuk belajar mata kuliah program linier apabila ada reward. Dari data
tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberian reward sangat berpengaruh untuk memotivasi
mahasiswa untuk belajar mata kuliah program linier.
10. Karena diberi reward, saya mengerjakan setiap tugas yang diberikan dosen.
Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa 62 % responden selalu mengerjakan setiap tugas
yang diberikan dosen apabila ada reward, 21% responden sering mengerjakan setiap tugas
yang diberikan dosen apabila ada reward, 17% responden kadang-kadang mengerjakan
setiap tugas yang diberikan dosen apabila ada reward. Dan tidak ada responden tidak
pernah mengerjakan setiap tugas yang diberikan dosen apabila ada reward. Dari data
tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberian reward sangat berpengaruh untuk memotivasi
mahasiswa untuk mengerjakan setiap tugas yang diberikan dosen.
11. Dengan adanya reward, saya menjadi lebih aktif belajar di kelas.
Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa 48 % responden selalu lebih aktif belajar di kelas,
52% responden sering lebih lebih aktif belajar di kelas, tidak ada responden kadangkadang atau tidak ada responden tidak pernah aktif belajar di kelas. Dari data tersebut dapat
disimpulkan bahwa pemberian reward sangat berpengaruh untuk meningkatkan motivasi
mahasiswa untuk lebih aktif belajar di kelas.
12. Sebelum perkuliahan dimulai, saya mempersiapakan buku dan perlengkapan lainnya
terlebih dahulu.
152
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa 48 % responden selalu mempersiapakan buku dan
perlengkapan lainnya terlebih dahulu sebelum perkuliahan dimulai, 48% responden sering
mempersiapakan buku dan perlengkapan lainnya terlebih dahulu sebelum perkuliahan
dimulai, 4% responden kadang-kadang mempersiapakan buku dan perlengkapan lainnya
terlebih dahulu sebelum perkuliahan dimulai. Dan tidak ada responden tidak pernah
mempersiapakan buku dan perlengkapan lainnya terlebih dahulu sebelum perkuliahan
dimulai. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa pemberian reward sangat berpengaruh
untuk memotivasi mahasiswa untuk mempersiapakan buku dan perlengkapan lainnya
terlebih dahulu sebelum perkuliahan dimulai.
13. Merasa rugi jika tidak dapat mengikuti perkuliahan.
Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa 84 % responden selalu merasa rugi jika tidak
dapat mengikuti perkuliahan,
14%
responden sering merasa rugi jika tidak dapat
mengikuti perkuliahan, tidak ada responden kadang-kadang atau tidak ada responden tidak
pernah merasa rugi jika tidak dapat mengikuti perkuliahan. Dari data tersebut dapat
disimpulkan bahwa pemberian reward sangat berpengaruh untuk meningkatkan motivasi
mahasiswa untuk menghadiri perkuliahan program linier.
D. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa pemberian nilai
tambahan sebagai reward dalam proses perkuliahan dapat berpengaruh terhadap motivasi belajar
mahasiswa. Dengan diberikan reward pada proses perkuliahan dapat membuat siswa lebih
termotivasi dalam belajar, mereka juga menjadi bersemangat dalam mengerjakat tugas-tugas
yang diberikan.
PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Arikunto, Suharsimi. 1997. Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta.
Sardiman AM. 2002. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Setyosari, Punaji. (2012). Metode Penelitian Pendidikan dan Pengembangannya.
Edisi ke-2. Jakarta: Kencana 2012.
Ratumanan, G. dan Laurens, Th. (2011).Penilaian Hasil Belajar Pada Tingkat
Satuan Pendidikan.Edisi ke-2. Unesa University Press
Sugiyono. 2010. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta
http://blogkatte.blogspot.com/2009/12/menentukan-instrumen-penelitian.htm. Diunggah 14 januari
2014
153
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN
MATEMATIKA BERBASIS PENDEKATAN
KONSTRUKTIVISME UNTUK MENINGKATKAN
KEMAMPUAN REPREESENTASI SISWA KELAS VII
MTsN BATUSANGKAR KABUPATEN TANAH DATAR
Prima Dona Putri Jamil
Mahasiswa Pascasarjana FMIPA UNP, Jln. Prof. Dr. Hamka Air Tawar, Padang, Indonesia
e-mail: [email protected]
Abstrak. Perangkat pembelajaran yang dipakai di sekolah-sekolah seperti RPP dan LKS belum optimal
dalam membantu siswa membangun pemahamannya. Untuk itu, perludi kembangkan perangkat
pembelajaran matematika yang dapat memberikan kesempatan bagi siswa untuk menemukan konsep dari
materi pembelajarannya sendiri. Pemahaman konsep yang merupakan salah satu dan sekaligus yang
utama sebagai komponen kecakapan matematika yang perlu dikembangkan dalam matematika.
Pemahaman konsep dalam matematika berkaitan erat dengan representasi dalam matematika yang
merujuk pada proses dan produk. Bentuk representasi merupakan proses kognisi yang berhubungan
dengan memori siswa yang disebut representasi internal yaitu ide-ide atau peristiwa-peristiwa dalam
pikiran akan dituangkan sebagai produk melalui aktivitas matematika (doing mathematics) yang disebut
representasi eksternal. Multi representasi, seperti: verbal, tabel, diagram, grafik, model, simbol,
merupakan bagian dari pelajaran matematika, namun representasi tersebut terkadang dipelajari hanya
sebagai pelengkap dalam penyelesaian masalah matematika, sebaiknya dilatih sedini mungkin.
Pendekatan merupakan salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk membantu siswa dalam
memahami konsep matematika dan meningkatkan kemampuan representasinya. Melalui pendekatan
konruktivisme dapat membantu siswa dalam memahami setiap konsep-konsep matematika yang
dipelajari, dan dapat mengantisipasi terhindar dari kekeliruan konsep dalam matematika sehingga siswa
mendukung siswa untuk meningkatkan kemampuan representasinya.Penelitian pengembangan ini
menggunakan model formative evaluation. Model ini dikembangkan oleh Tjeerd Plomp yang terdiri dari
3 tahap, yaitu preliminary, prototyping dan assesment. Perangkat pembelajaran yang dikembangkan
adalah Lembar Kerja Siswa (LKS) dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Subjek penelitian
adalah siswa kelas VII MTsN Batusangkar. Validasi dilakukan oleh pakar/dosen pendidikan matematika,
teknologi pendidikan, bahasa dan guru matematika. Kepraktisan perangkat pembelajaran dilihat dari hasil
pengamatan pelaksanaan pembelajaran, pengisian angket praktikalitas oleh siswa dan guru serta
melakukan wawancara dengan siswa dan guru. Keefektifan dilihat dari hasil aktivitas dan hasil belajar
siswa. Data yang terkumpul dianalisa secara deskriptif.
Kata Kunci : perangkat pembelajaran matematika, , representasi
A. PENDAHULUAN
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang penting dalam system pendidikan
Indonesia. matematika merupakan bidang studi yang dipelajari oleh semua siswa dari SD
hingga SLTA dan bahkan juga di perguruan tinggi. Atas dasar itu, pelajaran matematika perlu
diberikan kepada semua peserta didik sejak sekolah dasar (SD), untuk membekali peserta didik
dengan kemampuan berfikir logis, analitis, sistematis, kritis, kreatif, dan kemampuan bekerja
sama.
154
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Matematika adalah angka-angka perhitungan yang merupakan bagian dari hidup manusia. Mata
pelajaran matematika sangat penting peranannya dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Matematika menolong manusia memperkirakan secara eksak berbagai ide dan
kesimpulan. Matematika adalah pengetahuan atau ilmu mengenai logika dan problem – problem
menarik. Banyak hal disekitar kita yang selalu berhubungan dengan matematika seperti jual beli
barang, menukar uang, mengukur jarak dan waktu, pembagian harta warisan, bahkan
matematika merupakan dasar dari berbagai ilmu pengetahuan.
Karna begitu banyaknya manfaat dari matematika maka dari itulah penting bagi kita untuk
belajar matematika. Cornelius dalam Mulyono (2003:253) mengemukakan lima alasan perlunya
belajar matematika karena matematika merupakan: (1) sarana berpikir yang jelas dan logis, (2)
sarana untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari, (3) sarana mengenal pola-pola
hubungan dan generalisasi pengalaman, (4) sarana untuk mengembangkan kreativitas, dan (5)
sarana untuk meningkatkan kesadaran terhadap perkembangan budaya.
Mengingat begitu pentingnya matematika dalam kehidupan, maka pemerintah telah melakukan
berbagai usaha untuk meningkatkan mutu atau sistem pengajaran matematika, diantaranya
meningkatkan kualitas guru matematika melalui pelatihan, melengkapi sarana dan prasarana
pendidikan serta penyempurnaan kurikulum. Berdasarkan hasil studi internasional yang
dilakukan Third International Mathematics and Science Study (TIMSS), dilaporkan bahwa
pembelajaran matematika pada umumnya masih berfokus pada pengembangan berpikir tahap
rendah yang bersifat prosedural (Mullis dkk, 2000).
Berbagai hasil pengamatan peneliti di lapangan cenderung mengemukakan sebagian besar guru
masih menggunakan pembelajaran biasa atau langsung. Proses pembelajaran yang masih
berfokus pada guru. Guru kurang memacu aktivitas siswa. Selain itu, selama ini pembelajaran
matematika yang diberikan guru belum mengembangkan kreativitas siswa. Guru mengambil
porsi dominan dalam proses pembelajaran.
Padahal agar terlaksananya proses pembelajaran dengan baik, maka untuk itu para guru dituntut
untuk selalu meningkatkan diri baik dalam pengetahuan matematika maupun pengelolaan proses
pembelajaran. Seorang guru merupakan salah satu faktor penentu kelancaran dalam proses
pembelajaran. Kegiatan tersebut melibatkan siswa dan guru. Pada proses pembelajaran terdapat
interaksi antara siswa dan guru.
Kebanyakan siswa belum dapat membuat hubungan antara apa yang mereka pelajari dan
bagaimana pengetahuan tersebut dapat diaplikasikan dalam kehidupan mereka. Siswa cenderung
menghafal rumus dari pada memahami konsep matematika yang diberikan sehingga berakibat
siswa kurang mampu menentukan dan menerapkan konsep matematika yang diperlukan saat
diberikan latihan. Masih banyak siswa yang bingung menentukan konsep mana yang diperlukan
155
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
pada suatu soal.Siswa suka cepat menyerah dan kurang termotivasi untuk menyelesaikan
persoalan matematika sehingga latihan dikerjakan kurang serius.
Saat diberikan contoh soal dalam proses pembelajaran, sepertinya siswa mengikuti dengan baik,
tetapi saat diberikan pertanyaan dan latihan, beberapa siswa masih belum mampu berpikir
sendiri bagaimana menyelesaikan soal tersebut. Walaupun telah diberikan arahan dan
bimbingan oleh guru namun siswa masih kurang mampu menentukan konsep yang
sesuai.Dalam menyelesaikan persoalan matematika,sering kali siswa kurang termotivasi untuk
menyelesaikannya karena kurang menyadari bahwa apa yang mereka pelajari sangatlah berguna
dalam kehidupan nyata mereka sehingga mereka belum merasakan kebutuhan untuk memahami
materi tersebut.
Padahal dalam pembelajaran matematika siswa diharapkan mampu untuk mengenal pola-pola
hubungan dan generalisasi pengalaman atau yang sering kita sebut dengan representasi. hal ini
sesuai dengan pendapat (NCTM, dalam Tarwiyah, 2011:4) merekomendasikan bahwa ada lima
kompetensi standar yang diutamakan yaitu kemampuan pemecahan masalah (problem solving),
kemampuan komunikasi (communication), kemampuan koneksi (connection), kemampuan
penalaran (reasoning), dan kemampuan representasi (representation).
Representasi matematika merupakan suatu hal yang selalu muncul ketika orang mempelajari
matematika pada semua tingkatan pendidikan, maka representasi dipandang sebagai suatu
komponen yang layak mendapatkan perhatian serius. Oleh karena itu dalam pembelajaran
matematika
di
sekolah
kemampuan
mengungkapkan
gagasan/ide
matematik
dan
merepresentasikan gagasan/ide matematik merupakan suatu hal yang harus dilalui oleh setiap
orang yang sedang belajar matematika.
Kemampuan representasi itu sendiri merupakan suatu konfigurasi (bentuk atau susunan) yang
dapat menggambarkan, mewakili, atau melambangkan sesuatu dalam suatu cara. Contohnya,
suatu kata dapat menggambarkan suatu objek kehidupan nyata atau suatu angka dapat mewakili
suatu posisi dalam garis bilangan (Goldin dalam Tarwiyah, 2011:17).
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kemampuan representasi matematika siswa masih
tergolong rendah. Hal ini berdasarkan hasil penelitian Tarwiyah (2011:8-9) yang
mengemukakan bahwa kemampuan representasi siswa SMP Angkasa LANUD masih tergolong
rendah. Hal itu juga terlihat dari penelitian yang dilakukan Aisyah (2012). Rendahnya
kemampuan representasi siswa disebabkan oleh beberapa factor, diantaranya adalah kurangnya
kemampuan siswa untuk mengungkapkan gagasan atau ide, kurangnya keterlibatan siswa dalam
proses belajar mengajar, model pembelajaran yang diterapkan cenderung teoritik dan kurang
berhubungan dengan kehidupan sehari-hari.
156
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Eis Sri Wahyuningsih (2012:11) bahwasanya
kemampuan representasi siswa masih rendah. Hal ini disebabkan oleh beberapa factor,
diantaranya yaitu: kurangnya motivasi siswa dalam mendengarkan dan membaca soal yang
diberikan, kurangnya kemandirian siswa dalam belajar dengan cara bekerja sama dengan siswa
lain, kurangnya keberanian siswa untuk mempresentasikan jawaban yang mereka peroleh.
Dari beberapa hasil penelitian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan reprsentasi
matematika siswa masih tergolong rendah. Untuk itu perlu dilakukan suatu pembelajaran yang
melibatkan siswa aktif dan kreatif dalam pembelajaran yaitu dengan pendekatan . Pendekatan
ini memberi siswa kesempatan untuk memperoleh pengetahuan, pengalaman, menemukan,
mengenali dan memecahkan masalah dengan beberapa cara yang berbeda serta dapat
meningkatkan representasi siswa terhadap suatu masalah.
Agar efektif dan efisiennya penerapan proses pembelajaran menggunakan penekatan ini harus
didukung oleh bahan ajar yang memadai. Berdasarkan observasi yang telah dilakukan di MTsN
Batusangkar, pada tahun ajaran 2015-2016 MTsN memakai kurikulum tiga belas sebagai
kurikulum acuan pembelajaran. Bahan ajar yang digunakan peserta didik pada saat ini hanya
bergantung pada buku paket yang disediakan pemerintah dan bahan ajar yang di buat guru.
Ketersediaan buku paket yang masih kurang dan bahan ajar yang digunakan tersebut belum
memiliki standar validitas dan efektivitas yang baik. Bahan ajar yang ada terkadang ada yang
belum direvisi dari tahun ke tahun. Begitu juga dengan bahan ajar yang ada.
Kemampuan siswa MTsN Batusangkar yang terbatas dan cendrung lemah dalam bidang
matematika maka penyajian materi, contoh soal dan soal-soal latihan dalam buku paket atau
bahan ajar yang ada tersebut masih susah dipahami peserta didik dengan baik sehingga sulit
baginya untuk terlibat aktif dalam pembelajaran. Hal ini terlihat dari adanya beberapa peserta
didik yang mendapatkan nilai dibawah kriteria ketuntasan minimmal yang sudah ditetapkan
sehingga diperlukan pembelajaran remedial yang berulang.
Padahal motivasi, aktivitas, dan hasil belajar yang akan dicapai peserta didik pada proses
pembelajaran dapat ditingkatkan dengan adanya kegiatan belajar yang dilakukan di kelas.
Kegiatan belajar peserta didik yang akan terjadi di kelas dapat dibantu dengan memberikan
lembar kegiatan siswa. Menurut Trianto (2009: 223) lembar kegiatan siswa (LKS) adalah
panduan yang memuat sekumpulan kegiatan mendasar yang harus dilakukan oleh siswa untuk
memaksimalkan pemahaman dalam upaya pembentukan kemampuan dasar sesuai indikator
pencapaian hasil belajar yang harus ditempuh. LKS berfungsi sebagai bahan ajar yang kaya
tugas untuk berlatih dalam memaksimalkan pemahaman dan pembentukan konsep terhadap
materi yang dipelajari oleh siswa. LKS dirancang dengan menggunakan bahasa yang mudah
dipahami oleh siswa.
157
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Berdasarkan hasil analisis dokumen terhadap LKS yang digunakan di beberapa sekolah di
Tanah datar menunjukkan bahwa LKS hanya menyajikan materi berupa poin-poin penting saja.
Materi yang disajikan sangat ringkas sehingga siswa tidak melihat proses untuk menemukan
konsep tersebut. Penyajian materi seperti ini, siswa hanya diberikan fakta dan informasi tanpa
diberi kesempatan untuk mengevaluasi dan menyimpulkan sendiri materi yang dipelajari.
Melalui penyajian materi yang berupa rangkuman tersebut, tidak tersedia kesempatan bagi siswa
untuk berpikir kritis dan kreatif. Rangkuman materi seperti itu hanya mengajarkan kepada siswa
untuk menghafalkan fakta-fakta tanpa memberikan kesempatan kepada siswa untuk memikirkan
materi secara lebih mendalam.
Padahal LKS yang digunakan seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai sarana pendukung yang
dapat menfasilitasi siswa untuk berpartisipasi aktif dalam pembelajaran. Hal ini sejalan dengan
penerapan kurikulum duaribu tiga belas yang menyebutkan bahwa salah satu prinsip dalam
pelaksanaan pembelajaran adalah mendorong siswa agar dapat berpartisipasi aktif dalam
pembelajaran. Konsep yang harus diketahui siswa hendaknya tidak disajikan secara instan tapi
merupakan hasil konstruksi dari siswa sendiri dengan mengoptimalkan pengetahuan awal yang
telah dimilikinya. Agar proses konstruksi ini berjalan lebih mudah bagi siswa, maka bahan ajar
yang digunakan harus disusun sedemikian rupa supaya lebih menarik, mudah dipahami dan
digunakan oleh siswa.
LKS berbasis konstruktivisme memuat bagaimana cara siswa mengkonstruksi pengetahuannya.
LKS ini dibuat secara bertahap untuk melatih dan meningkatkan keterampilan serta pemahaman
siswa untuk menyelesaikan soal yang diberikan. Melalui LKS ini siswa dituntun untuk
menemukan atau mengkonstruksi pengetahuan matematikanya.
Perencanaan yang tepat dan matang dibutuhkan agar penggunaan LKS berbasis konstruktivisme
berjalan dengan maksimal. Perencanaan pembelajaran yang terangkum dalam RPP
dikembangkan berdasarkan silabus dan prinsip-prinsip pembelajaran konstruktivisme. RPP
berbasis konstruktivisme berisi tahapan-tahapan yang dapat membantu siswa untuk
mengembangkan motivasi, menggali ide-ide dan mendiskusikannya serta menyimpulkan sendiri
materi yang dipelajari.
Hal inilah yang mendorong penulis untuk melakukan sebuah penelitian pengembangan
mengenai perangkat pembelajaran berbasis
yang dapat membimbing peserta didik dalam
memahami konsep pembelajaran matematika yang diberikan di kelas. Penelitian yang akan
penulis lakukan berupaya untuk mengembangkan sebuah lembar kegiatan siswa (LKS) yang
diharapkan dapat membantu peserta didik untuk memaksimalkan pemahamannya dalam upaya
pembentukan kemampuan dasar sesuai indikator pencapaian hasil belajar.
158
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Berdasarkan pemaparan tersebut, dilakukan penelitian tentang pengembangan perangkat
pembelajaran berbasis konstruktivisme yang diharapkan dapat menjadikan siswa lebih aktif,
kreatif dan termotivasi sehingga siswa dapat memahami konsep dengan baik. Pengembangan ini
diwujudkan dalam sebuah penelitian yang berjudul pengembangan perangkat pembelajaran
matematika
berbasis
pendekatan
konstruktivisme
untuk
meningkatkan
kemampuan
repreesentasi siswa kelas VII MTsN Batusangkar Kabupaten Tanah Datar
B. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian pengembangan dengan menggunakan model Plomp, yang
terdiri atas tiga fase, yaitu fase investigasi awal (preliminary research),fase pengembangan atau
pembuatan prototipe (prototyping stage), dan fase penilaian (assessment stage. Fase investigasi
awal (preliminary research) terdiri dari analisis kebutuhan, analisis kurikulum, analisis konsep
dan analisis siswa.Pada prototyping stage, pembuatan prototipe ini dilakukan evaluasi formatif.
Fase pengembangan atau pembuatan prototype (prototyping stage) terdiri atas prototype 1, yaitu
evaluasi diri sendiri (self evaluation) dan expert review; prototype 2yaitu one to one; prototype 3
yaitusmall group; prototype 4, yaitu field test, Pada fase penilaian (assessment stage), dilakukan
uji lapangan pada siswa kelas VII MTsN Batusangkar
untuk melihat praktikalitas dan
efektivitas.Data penelitian dikumpulkan melalui lembar self evaluation, lembar validasi, lembar
observasi dan pedoman wawancara, lembar angket respon guru dan siswa, lembar observasi
keterlaksanaan RPP, lembar observasi keaktifan siswa dan tes akhir hasil belajar.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Hasil Investigasi Awal (Analisis Pendahuluan)
Tujuan tahap ini adalah untuk menetapkan dan mendefenisikan syarat-syarat yang
dibutuhkan dalam pengembangan perangkat pembelajaran matematika.Tahap ini dilakukan
dengan menganalisis tujuan dalam batasan materi pelajaran yang dikembangkan. Ada
empat langkah pokok dalam dalam tahap ini, yaitu:
a. Analisis Kebutuhan
Pengumpulan informasi dilakukan dengan cara mewawancarai dan melakukan observasi
pelaksanaan pembelajaran matematika di kelas. Wawancara dengan guru dilakukan
secara informal.Wawancara ini terkait beberapa hal diantaranya kendala yang ditemui
siswa dalam belajar dan topik-topik pelajaran yang dianggap sulit bagi siswa.Hasil yang
diperoleh dari analisis kebutuhan tersebut adalah masih dapat dioptimalkannya
perangkat pembelajaran matematika yang digunakan.Dari hasil wawancara dengan
guru, guru menjelaskan bahwa RPP yang digunakan belum terlihat dengan jelas rincian
159
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
langkah kegiatan pembelajaran yang sesuai dengan model dan pendekatan pembelajaran
yang
digunakan
sendiri.Inidisebabkan
untuk
masih
membantu
terbatasnya
siswa
mengkonstruksi
kemampuan
guru
pengetahuannya
dalam
mendesain
pembelajaran. Sering guru mengeluh, kadang telah mempersiapkan RPP akan tetapi
tidak sesuai pada pelaksanaannya. LKS yang digunakan juga belum membantu secara
optimal pelaksanaan RPP dengan baik. Kebutuhan guru akan perangkat pembelajaran
matematika yang valid, praktis dan efektif sangat dirasakan perlu.
b. Analisis Kurikulum
Analisis kurikulum bertujuan untuk menganalisis standar kompetensi dan kompetensi
dasar mata pelajaran matematika pada kurikulum 2013 untuk SMP/MTs. Tanpa adanya
kurikulum yang baik dan tepat maka akan sulit dalam mencapai tujuan dan sasaran
pendidikan yang dicita-citakan. Dalam hal ini dilakukan telaah terhadap Kurikulum
2013 yang digunakan di MTsN Batusangkar untuk kelas VII, Analisa ini dilakukan
untuk mempelajari cakupan materi, tujuan pembelajaran, dan strategi yang dipilih
sebagai landasan mengembangkan perangkat pembelajaran yang akan dilakukan.
Analisis ini berupa penentuan indikator dari materi barisan dan deret yang akan
dikembangkan perangkat pembelajarannya. Analisis kurikulum ini bertujuan untuk
mengorganisasikan materi dan menentukan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai
pada setiap pertemuan. Berdasarkan analisis kurikulum yang dilakukan diperoleh
pengembangan terhadap indikator-indikator dari setiap kompetensi dasar materi barisan
dan deret. Indikator yang dikembangkan berdasarkan pada pembelajaran berbasis
pendekatan kontruktivisme.Indikator yang dikembangkan terdapat pada Tabel 1.
160
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Tabel 1. KD dan Indikator Pencapaian Kompetensi
Kompetensi Dasar
3.6. Mengidentifikasi sifatsifat bangun datar dan
menggunakannya
untuk
menentukan keliling dan
luas.
3.8.
Menaksir
dan
menghitung luas permukaan
bangun datar yang tidak
beraturan
dengan
menerapkan prinsip-prinsip
geometri
4.7.
Menyelesaikan
permasalahan nyata yang
terkait penerapan sifat-sifat
persegi panjang, persegi,
trapesium,
jajargenjang,
belah ketupat, dan layanglayang
Indikator Sebelum Analisis
3.6.1Menentukan jenis segi
empat.
3.6.2Menentukan
sifat-sifat
segi empat.
3.8.1
Menentukan keliling
persegi panjang dan
persegi
3.8.2
Menentukan
luas
persegi panjang dan
persegi
3.8.3
Menentukan keliling
jajargenjang
dan
belah ketupat.
3.8.4
Menentukan
luas
jajargenjang
dan
belah ketupat.
3.8.5
Menentukan keliling
trapezium
dan
layang-layang
3.8.6
Menentukan
luas
trapesium
dan
layang-layang
4.7.1Menyelesaikan
permasalahan nyata yang
terkait penerapan sifat-sifat
persegi panjang, persegi,
trapesium, jajargenjang, belah
ketupat, dan layang-layang
Indikator Sesudah Analisis
3.6.1 Menentukan jenis segi empat yang
terbentuk dari masalah nyata.
3.6.2 memahami konsep sifat-sifat segi
empat berdasarkan masalah di kehidupan
sehari-hari
sehingga siswa dapat
Menentukan sifat-sifat segi empat. 3.8.1.
memahami konsep keliling pesegi
panjang dan persegi berdasarkan masalah
di kehidupan sehari-hari sehingga siswa
dapat Menentukan keliling pesegi
panjang dan persegi
3.8.2 Memahami konsep luas pesegi
panjang dan persegi berdasarkan masalah
di kehidupan sehari-hari sehingga siswa
dapat Menentukan luas pesegi panjang
dan persegi
3.8.3. Memahami konsep keliling
jajargenjang
dan
belah
ketupat
berdasarkan masalah di kehidupan
sehari-hari
sehingga siswa dapat
Menentukan keliling jajargenjang dan
belah ketupat
3.8.4.
Memahami
konsep
luas
jajargenjang
dan
belah
ketupat
berdasarkan masalah di kehidupan
sehari-hari
sehingga siswa dapat
Menentukan luas jajargenjang dan belah
ketupat
3.8.5. memahami konsep keliling
trapesium dan layang-layang berdasarkan
masalah di kehidupan sehari-hari
sehingga siswa dapat Menentukan
keliling trapesium dan layang-layang
4.7. Memahami konsep sifat-sifat persegi
panjang
berdasarkan
masalah
di
kehidupan sehari-hari sehingga siswa
dapat menyelesaikan masalah berkaitan
dengan sifat-sifat segi empat
c. Analisis Siswa
Analisis siswa dilakukan dengan mewawancarai dan memberikan angket kepada 10
orang siswa dan empat orang guru matematika MTsN Batusangkar. Analisis ini
bertujuan untuk mengetahui karakteristik siswa yang meliputi: kemampuan akademis
siswa, gaya belajar, tingkat perkembangan kemampuan berpikir dan aktivitas belajar
siswa dalam belajar matematika. Wawancara ini dijadikan sebagai latar belakang
perancangan perangkat pembelajaran yang akan dikembangkan agar sesuai dengan
karakteristik siswa. Berdasarkan hasil wawancara dan angket tersebut diperoleh data
bahwa siswa membutuhkan LKS yang menarik dari segi warna dan tampilan dan
mempunyai langkah-langkah dapat membimbing mereka menemukan konsep
pembelajarannya sendiri.Selain itu masalah yang diberikan mempunyai kaitan yang erat
161
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
dengan kehidupan siswa.Dalam penelitian yang akan dilakukan, siswa yang dijadikan
subjek adalah siswa kelas VII MTsN Batusangkar
d. Analisis Konsep
Pada tahap ini dilakukan kegiatan mengidentifikasi, merinci, dan menyusun secara
sistematis materi-materi utama yang akan dipelajari oleh siswa. Selanjutnya materi
tersebut disusun secara hirarkis.Sesuai materi yang akan dikembangkan maka dirinci
dan disusun secara garis besar, mulai dari pengertian, cara menemukan konsepnya, dan
implementasinya dalam kehidupan sehari-hari, serta menggunakan dalam pemecahan
masalah sehari-hari.
Hasil Preliminary Research dijadikan dasar pada pengembangan atau pembuatan
prototype. Setelah indikator dirumuskan, serta peta konsep ditetapkan maka langkah
selanjutnya adalah merancang perangkat pembelajaran berupa RPP dan LKS berbasis
pendekatan kontruktivisme.. Berikut ini akan diuraikan karakteristik RPP dan LKS
berbasis pendekatan kontruktivisme yang telah dirancang.
1) Karakteristik RPP
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) merupakan pedoman bagi guru dalam
melaksanaan pembelajaran.RPP disusun untuk setiap KD yang dapat dilaksanakan
dalam satu kali pertemuan atau lebih. Guru merancang penggalan RPP untuk setiap
pertemuan yang disesuaikan dengan penjadwalan di satuan pendidikan. Hasil
rancangan RPP yang dibuat adalah pada materi matematika kelas VII semester 2
MTs/SMP
Kegiatan pembelajaran terdiri dari tiga tahap yaitu pendahuluan, inti dan penutup.Di
dalam ketiga kegiatan tersebut terdapat langkah-langkah pembelajaran berbasis
pendekatan .Kegiatan pendahuluan merupakan tahap untuk menyampaikan tujuan
pembelajaran dan memotivasi yang berfungsi untuk membangkitkan motivasi dan
memfokuskan perhatian siswa untuk berpastisipasi aktif dalam proses pembelajaran
serta menciptakan suasana pembelajaran yang responsif. Kegiatan pembelajaran
dalam RPP diawali dengan mengajak siswa berpikir kaitan materi yang akan
dipelajari dengan permasalahan sehari-hari yang diketahui siswa sehingga dapat
memotivasi siswa untuk belajar lebih baik. Kegiatan pembelajaran dalam RPP
mengarahkan
siswa
untuk
berdiskusikan
agar
menemukan
konsep
dan
mengembangkan kemampuan representasinya. Kegiatan pembelajaran dalam RPP
mengarahkan agar siswa menyelesaikan soal-soal kegiatan siswa dalam LKS,
kemudian saling berbagi ide-ide dan pengetahuan yang diperoleh dalam
kelompoknya. Sebagai kegiatan penutup dilakukan kegiatan refleksi dari
162
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
pembelajaran yang telah dilakukan. Selanjutnya kegiatan pembelajaran dalam RPP
menjelaskan bahwa guru akan melakukan kegiatan penilaian pada setiap proses
pembelajaran.
LKS yang baik adalah LKS yang dapat digunakan sesuai kemampuan
siswa.Kemampuan siswa yang berbeda-beda memungkinkan untuk belajar dengan
sistem diskusi kelompok. Pembelajaran dengan sistem kelompok yang bersifat
heterogen, akan membuat siswa dengan kemampuan rendah dapat belajar dengan
anggota kelompok yang memiliki kemampuan tinggi. Oleh karena itu perlu dipilih
model diskusi kelompok yang tepat agar semua anggota kelompok dapat berperan
aktif dalam diskusi kelompok. Model pembelajaran yang dipilih adalah kooperatif
learning.
2) Karakteristik LKS
LKS yang dikembangkan sesuai kompetensi inti, kompetensi dasar, indikator dan
tujuan pembelajaran. Penyajian materi pada LKS dimulai dengan kegiatan
pendahuluan yang menyajikan gambar atau cerita singkat dan menarik yang dekat
dengan kehidupan sehari-hari yang dapat membimbing proses berpikirnya untuk
menemukan sendiri konsep dari materi yang dipelajari yang diberi nama “tahap
pengenalan”. LKS menyediakan tempat bagi siswa untuk melaksanakan kegiatan
inkuiri. LKS memiliki contoh-contoh soal dan penyelesaiannya sebagai model
pembelajaran yang dapat dipelajari siswa sendiri.Selanjutnya LKS menyediakan
tempat bagi siswa untuk membuat rangkuman pembelajaran sebagai tahap refleksi.
Untuk melihat tingkat pemahaman siswa, LKS memiliki soal-soal latihan sebagai
penilaian yang diberi nama “mari berlatih”. Soal-soal yang disajikan dapat
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan siswa.
LKS menggunakan bahasa baku yang komunikatif dan tidak
ambigu sehingga
mudah dipahami oleh siswa. Penggunaan simbol dan istilah yang baru dikenal oleh
siswa dijelaskan secara rinci pada bagian akhir pokok bahasan (jika ada) agar siswa
tidak salah memahami penggunaan simbol dan istilah.
D. KESIMPULAN
Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan yang akan menghasilkan perangkat
pembelajaran berbasis pendekatan yang valid, praktis dan efektif untuk meningkatkan aktivitas
dan hasil belajar siswa kelas VII MTsN. Berdasarkan analisis kebutuhan (Preliminary
Research) diambil kesimpulan bahwa guru dan siswa memerlukan perangkat pembelajaran yang
163
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
dapat menciptakan pembelajaran yang bermakna bagi siswa. Peneliti menyarankan bagi guruguru untuk dapat merancang pengembangan perangkat pembelajaran berbasis pendekatan pada
materi lainnya dan dapat dijadikan pedoman bagi guru dalam melaksanakan pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Aisyah, Siti. (2012). Meningkatkan Kemampuan Representasi dan Pemecahan Masalah Matematis
melalui Mathematical Modelling dalam Model Problem Based Learning. Tesis SPs UPI Bandung.
Tidak Diterbitkan.
2. Alhadad, S.F. (2010). Meningkatkan Kemampuan Representasi Multiple Matematis, Pemecahan
Masalah Matematis dan Self-esteem Siswa SMP melalui Pembelajaran dengan Pendekatan OpenEnded. Disertasi SPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.
3. Dewanto, S.P. (2006). Upaya Meningkatkan Kemampuan Multiple Representasi Matematik melalui
Pembelajaran Berbasis Masalah. Disertasi SPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.
4. Effendi, Leo Adhar. (2012). Pembelajaran Matematika dengan Metode Penemuan Terbimbing untuk
Meningkatkan Kemampuan Representasi dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP. Tesis SPs
UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.
5. Effendi, Zakaria, 2007.Trend Pengajaran dan Pembelajaran Matematik. Kuala Lumpur:Lohprint
SDN,BHD
6. Hamzah B. Uno.2009.Model Pembelajaran, Menciptakan Proses BelajarMengajar yang
KreatifdanEfektif, Jakarta: PT. BumiAksara
7. Hudiono, B. (2005). Peran Pembelajaran Dikursus Multi Representasi terhadap Pengembangan
Kemampuan Matematik dan Daya Representasi pada Siswa. Disertasi SPs UPI Bandung: Tidak
Diterbitkan.
8. Hutagaol, K. (2007). Pembelajaran Matematika Kontruktivisme untuk Meningkatkan Kemampuan
Representasi Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama. Tesis SPs UPI Bandung: Tidak
Diterbitkan.
9. Hutagaol, K. (2012). Strategi Multirepresentasi dalam Kelompok Kecil untuk Meningkatkan
Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa SMP. Disertasi SPs UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.
10. Hudojo, Herman. 1990. StrategiMengajar Belajar Matematika. Malang: IKIP Malang
11. Sri Wahyuningsih, Eis. 2012. Perbadaan Peningkatan Kemampuan Penalaran dan Representasi
Matematis Siswa Sekolah Dasar Dengan Menggunakan Pembelajaran Kooperatif Tipe CIRC.
Program Studi Pendidikan Matematika Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Medan : Medan.
12. Tarwiyah. 2011. Meningkatkan Kemmapuan Pemecahan Masalah yang Menekankan Pada
Representasi Matematik Melalui Pmenbelajaran Berbasis Masalah Untuk Sekolah Menengah
Pertama. Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Medan : Medan.
13. Trianto. 2009. Model-Model Pembelajaran Inovatif Beriorientasi Konstruktivistik,
Konsep, Landasan Teoritis-Praktis dan Implementasinya. Prestasi Pustaka : Jakarta.
164
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
PENGARUH PENDEKATAN PROBLEM CENTERED
LEARNING
TERHADAP KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP
MATEMATIS SISWA KELAS X SMA NEGERI
KABUPATEN SOLOK
Radhya Yusri
Sekolah Tinggi Keguruandan Ilmu Pendidikan( STKIP ) PGRI Sumbar
E-mail:[email protected]
Abstrak. Kemampuan pemahaman konsep matematika siswa SMA Negeri Kabupaten Solok masih
rendah. Hal ini terjadi karena proses pembelajaran masih terpusat pada guru dan kurangnya kemampuan
siswa dalam memahami materi. Alternatifsolusiuntukmengatasimasalahtersebutadalahdenganpendekatan
Problem Centered Learning.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pendekatan Problem
Centered Learning dan kemampuan awal siswa terhadap kemampuan pemahaman konsep. Penelitian
dilakukan di dua kelas yaitu kelas eksperimen dan kontrol. Pembelajaran pada kelas eksperimen dengan
menggunakan pendekatan Problem Centered Learning sedangkan pada kelas kontrol dengan
menggunakan pembelajaran konvensional. Siswa dibagi dalam dua kelompok yakni tingkat kemampuan
awal tinggi dan rendah. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji t dan anava 2 arah untuk n
berbeda. Hasil analisis data menunjukkan bahwa: 1) kemampuan pemahaman konsep siswa yang
menggunakan pendekatan Problem Centered Learning
lebih tinggi dari siswa yang
menggunakanpembelajarankonvensional2)
kemampuanpemahamankonsep
matematika
siswa
berkemampuan awal tinggiyang menggunakan pendekatan Problem Centered Learning
lebihtinggidaripada
siswa
yang
menggunakanpembelajarankonvensional
3)
kemampuanpemahamankonsep matematika siswa berkemampuan awal rendahyangmenggunakan
pendekatan
Problem
Centered
Learning
lebih
tinggi
dari
siswa
yang
menggunakanpembelajarankonvensional 4) tidakterdapat interaksi antara pendekatan Problem Centered
Learning dan kemampuan awal dalammempengaruhikemampuanpemahamankonsep matematika siswa.
Kata kunci:Problem Centered Learning, Kemampuan Pemahaman Konsep.
A. PENDAHULUAN
Matematika mempunyai peranan penting dalam berbagai disiplin ilmu yaitu memajukan daya
pikir manusia dan sebagai dasar perkembangan teknologi modern. Peranan matematika bukan
hanya memberikan kemampuan dalam perhitungan-perhitungan kuantitatif tetapi juga dalam
penataan cara berpikir dan pembentukan kemampuan menganalisis, membuat sintesis,
melakukan evaluasi hingga kemampuan menyelesaikan masalah.
Pembelajaran hendaknya lebih ditekankan pada upaya guru mendorong atau memfasilitasi agar
siswa belajar, bukan pada apa yang dipelajari siswa. Jadi, pembelajaran matematika merupakan
upaya guru mendorong atau memfasilitasi siswa mengkonstruksi pengetahuannya terhadap
matematika. Guru seharusnya bisa mengembangkan potensi yang ada pada diri siswa karena
setiap siswa mempunyai potensi yang berbeda-beda. Untuk itu, guru harus mampu menggali
potensi yang ada pada semua siswa terutama kemampuan siswa dalam memahami konsep
165
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
untuk menyelesaikan masalah. Pemahaman konsep menjadi dasar yang sangat penting dalam
menyelesaikan masalah, karena dalam menyelesaikan masalah diperlukan penguasaan konsep
yang mendasari untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Oleh karena itu, untuk memahami
konsep matematika, siswa terlebih dahulu harus memahami konsep yang menjadi prasyarat dari
materi tersebut. Dalam hal ini kemampuan awal berpengaruh terhadap kemampuan mereka
dalam memahami konsep tersebut. Ketika siswa memiliki pemahaman konsep dalam wilayah
matematika,
mereka
akan
melihat
hubungan antar
konsep-konsep dan
prosedur
penyelesaiannya serta mereka dapat memberikan pendapat ketika menjelaskan alasan. Proses
pembelajaran bukan lagi sekedar pengetahuan kepada siswa, tetapi merupakan proses perolehan
konsep yang melibatkan siswa secara aktif dan langsung dalam menyelesaikan permasalahan.
Apabila konsep tersebut sudah ada dalam pikiran siswa, maka permasalahan apapun akan dapat
diselesaikan. Karena dari pemahaman konsep
yang dimiliki siswa tersebut, siswa akan
mengkaji informasi yang dapat digunakan.
Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kemampuan pemahaman konsep siswa
masih rendah. Hal ini disebabkan pembelajaran yang dilakukan kurang mendukung kemampuan
pemahaman konsep siswa. Pembelajaran masih didominasi oleh guru. Proses pembelajaran
umumnya diawali dengan definisi, menghafal rumus-rumus kemudian memberikan contoh soal
dan selanjutnya siswa diberi latihan yang serupa dengan contoh soal yang diberikan.
Disamping itu, hasil wawancara peneliti terhadap beberapa siswa terungkap bahwa pada saat
menyelesaikan soal matematika siswa sulit untuk memahami maksud soal dan kurang mengerti
cara menyelesaikan soal yang diberikan. Mereka tidak dapat menyebutkan dan menerapkan
konsep secara benar.
Berdasarkan kondisi yang telah dikemukakan tersebut, maka diperlukan sebuah pembelajaran
yang dapat mengoptimalkan kemampuan pemahaman konsep siswa. Salah satu pembelajaran
yang diperkirakan dapat mengembangkan kemampuan pemahaman konsep siswa adalah
pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered). Salah satu alternatif pembelajaran
yang berpusat pada siswa (centered learning) adalah pendekatan Problem Centered Learning
(PCL).
Pendekatan PCL merupakan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada masalah dimana
terjadi kegiatan bernegosiasi antar siswa dan siswa dengan guru. Pendekatan PCL menurut
Jokubowski (Hafriani, 2004) merupakan aktivitas pembelajaran yang
menekankan belajar
melalui penelitian. Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan PCL memungkinkan siswa
menstimulasi pikirannya untuk membuat konsep-konsep yang
ada menjadi logis melalui
aktivitas pembelajaran pada masalah-masalah yang menarik bagi siswa, selalu berusaha untuk
menyelesaikan masalah. Pendekatan ini dapat memberi kesempatan kepada siswa untuk
166
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, sehingga memperoleh pengetahuan, menemukan,
mengenali, dan dapat menyelesaikan masalah. Seperti yang dikemukakan Wood dan seller
(Cassel, 2003) bahwa dalam pendekatan PCL
proses
belajar terjadi ketika siswa
mengkonstruksi pemahaman untuk pengalaman mereka sendiri, siswa bertindak dan berinteraksi
dengan kelompoknya, sehingga mereka aktif mencoba untuk menyelesaikan permasalahan
matematis yang dihadapi.
Pembelajaran dengan pendekatan PCL bertujuan untuk memberi kesempatan yang seluasluasnya kepada siswa melakukan aktivitas belajar potensial. Untuk membangun konsep dan ide
matematika mereka sendiri, melalui proses berfikir, bertanya dan berkomunikasi dalam situasi
matematika, sehingga dapat menyelesaikan masalah. Dimulai dengan menghadapi suatu situasi
berpusat pada masalah yang diberikan untuk menuju pada masalah lain. Pembelajaran dengan
pendekatan PCL melibatkan tiga langkah penting yang harus dilakukan dalam pembelajaran,
yaitu mengerjakan tugas, kegiatan kelompok dan diskusi kelas (sharing).
Faktor lain yang juga menentukan dan mempengaruhi keberhasilan belajar matematika siswa
adalah kemampuan awal. Kemampuan awal merupakan prasyarat yang harus dimiliki siswa
sebelum memasuki materi berikutnya yang lebih tinggi. Karena kemampuan awal merupakan
dasar untuk menerima pengetahuan baru, dan merupakan pondasi untuk pembentukan konsep
baru dalam pembelajaran. Dalam pembelajaran, pengetahuan awal merupakan salah satu faktor
yang dapat membantu siswa dalam proses penerimaan dan penyerapan informasi baru.
Pengetahuan awal juga berkaitan erat dengan tingkat kesiapan siswa dalam memulai
pembelajaran. Kesiapan merupakan kondisi siswa dalam memberikan respon tertentu. Kondisi
siswa tersebut dapat berupa keterampilan, pengetahuan dan pengertian lain yang telah dipelajari
sebelumnya. (Slameto, 2003: 113). Hal ini memberikan gambaran bahwa apabila siswa sudah
memiliki pengetahuan awal mengenai materi atau informasi baru maka setidaknya siswa akan
siap dalam menerima materi baru tersebut berdasarkan pengalaman yang sudah diperoleh.
Dengan kata lain, pengetahuan awal merupakan salah satu faktor yang
juga dapat
mempengaruhi prestasi belajar siswa
Oleh sebab itu, dirancanglah suatu penelitian yang bertujuan untuk melihat sejauh mana
pendekatan PCL dapat berpengaruh terhadap kemampuan pemahaman konsep siswa.
B. METODE
Jenis penelitian ini adalah eksperimen semu (quasi experiment) dengan rancangan penelitian
Randomized Group Only Design. Populasi pada penelitian ini adalah Siswa kelas X SMANegeri
Kabupaten Solokdengan levelsedang. Teknik pengambilan sampel adalah Random Sampling,
167
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
dengan cara mengundi.Sampel yang terpilih adalah siswa kelas X Sains 2 SMA Negeri 1
Lembah Gumanti sebagai kelas eksperimen dan siswa kelas X Sains 1 sebagai kelas kontrol.
Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data adalah tes kemampuan awal dan tes akhir
untuk melihat kemampuan pemahaman konsep siswa.
Teknik analisis data yang digunakan adalah melakukan uji normalitas, uji homogenitas, dan uji
hipotesis terhadap skor kemampuan pemahaman konsep siswa.
Pengujian hipotesis terhadap peningkatan kemampuan pemahaman konsep dilakukan dengan
uji tdan uji u,sedangkan pengujian hipotesis terhadap interaksi antara pendekatan pembelajaran
dan kemampuan awal dalam mempengaruhi kemampuan pemahaman konsep siswa dilakukan
dengan menggunakan metode Unweighted Means.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
Setelah dilakukan penelitian pada kedua kelas sampel, diperoleh data hasil tes kemampuan
pemahaman konsep siswa.
Kemampuan Pemahaman Konsep
Data kemampuan pemahaman konsep siswa diperoleh dari hasil tes akhir. Rata-rata kemampuan
pemahaman konsep siswa dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1. Hasil Perhitungan Data Tes Kemampuan Pemahaman Konsep
Kelas
Eksperimen
Kontrol
KA
N
Tinggi
Rendah
Total
Tinggi
Rendah
Total
22
6
34
15
8
33
21,50
17
20,32
20,93
15,63
18,85
Skor Tes Akhir
Xmax
1,87
24
2,37
20
2,58
24
1,62
24
3,54
19
3,17
24
Xmin
17
14
14
19
11
11
Dari tabel 1 terlihat rata-rata skor tes akhir kemampuan pemahaman konsep kelompok siswa
kemampuan awal tinggi kelas eksperimen adalah 21,50 dan siswa kelas kontrol 20,93. Kelas
eksperimen memperoleh nilai maksimum yang sama dengan kelas kontrol dan nilai minimum
kelas eksperimen lebih rendah daripada nilai minimum yang diperoleh kelas kontrol. Ini berarti
bahwa kemampuan pemahaman konsep siswa berkemampuan awal tinggi kelas eksperimen
lebih tinggi dibanding hasil belajar siswa dari kelas kontrol. Begitu juga dengan rata-rata skor
tes akhir kemampuan pemahaman konsep siswa yang berkemampuan awal rendah kelas
eksperimen adalah 17 dan siswa kelas kontrol 15,63. Kelas eksperimen memperoleh nilai
maksimum lebih tinggi dari pada nilai maksimum kelas kontrol. Rata-rata skor tes akhir
kemampuan pemahaman konsep siswa kelas eksperimen adalah 20,32 dan siswa kelas kontrol
168
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
18,85. Kelas eksperimen memperoleh nilai maksimum yang sama dengan kelas kontrol dan
standar deviasi kelas kontrol lebih tinggi daripada standar deviasi yang diperoleh kelas
eksperimen. Sedangkan nilai minimum kelas eksperimen lebih tinggi dari nilai minimum kelas
kontrol. Perbandingan Perbedaan nilai rata-rata masing-masing kelas menjadi ukuran bahwa
nilai kemampuan pemahaman konsep siswa yang pembelajarannya menggunakan pendekatan
PCL lebih tinggi dari pada siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional. Hasil
perhitungan di atas memberikan gambaran bahwa kemampuan pemahaman konsep
siswa
berkemampuan awal rendah maupun tinggi dari kelas eksperimen lebih tinggi dibanding
kemampuan pemahaman konsep siswa dari kelas kontrol.
Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh melalui pengujian hipotesis, terlihat bahwa
hipotesis 1 dan 3yang diajukan H0 di tolak atau H1diterima. Sedangkan hipotesis 2 dan 4terjadi
sebaliknya H0 diterima atau H1ditolak. Penyebab diterima atau ditolaknya H0 dapat dijelaskan
sebagai berikut:
Pengaruh Pendekatan Problem Centered Learning Terhadap Kemampuan Pemahaman
Konsep Siswa
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis pertamadapat dilihat bahwa nilai rata-rata kemampuan
pemahaman konsep pada kelompok eksperimen yang menggunakan pembelajaran pendekatan
Problem Centered Learning lebih tinggi dibandingkan nilai rata-rata kelompok kontrol yang
menggunakan pembelajaran konvensional. Tingginya perolehan nilai pada kelompok
eksperimen dikarenakan proses pembelajaran yang dilakukan bersifat student centered, dimana
siswa mengkontruksi sendiri pengetahuan yang dimilikinya. Sesuai dengan yang di ungkapkan
Splizer (Redhana, 2003) bahwa dalam proses pembelajaran yang bersifat student centered
siswa diharapkan mampu mengkonstruksi pengetahuannya sendiri.
Disamping itu, dalam proses pembelajaran dengan pendekatan Problem Centered Learning
memberikan kesempatan kepada seluruh siswa untuk berpartisipasi dan terlibat aktif dalam
pembelajaran, mampu bekerja sama dalam kelompok , saling bertukar pikiran dengan
sesamanya dan saling membantu dalam menyelesaikan permasalahan yang diberikan. Sehingga
dari aktivitas siswa tersebut, mereka memiliki gagasan untuk menyelesaikan masalah. Sesuai
dengan pendapat yang dikemukakan oleh Wood (1996).
Problem Centered Learning adalah suatu pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada
masalah agar siswa memiliki gagasan untuk mengkontruksi subyek yang penting dan untuk
merefleksi jalan pengertian yang dibangun melalui aktivitas partisipasi.
169
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Seluruh siswa berusaha menginvestigasi masalah matematika yang diberikan. Dengan
kemampuan pemahaman konsep yang diperoleh dengan pendekatan Problem Centered
Learning membuat siswa aktif membangun atau mengkonstruksi sendiri pengetahuannya.
Selain itu, dalam pembelajaran siswa tidak di tuntut pada hasilnya saja, melainkan pembelajaran
yang di lakukan lebih mengutamakan proses. Dengan tujuan agar siswa dapat mengaplikasikan
konsep yang telah mereka miliki kedalam bahasa matematika.
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa orang siswa terungkap bahwa mereka senang
dan bersemangat dalam mengikuti pembelajaran yang dilakukan, karena mereka memang
menginginkan pembelajaran yang berbeda dari biasanya dan menarik bagi siswa sehingga
dengan penerapan pendekatan Problem Centered Learning mereka mempunyai keinginan untuk
mempelajari materi pelajaran dengan lebih serius. Dengan penerapan pendekatan ini, maka
ingatan siswa terhadap konsep yang didapatkannya akan tersimpan lebih lama karena mereka
mengalami sendiri hal tersebut tanpa pembelajaran langsung dari guru. Siswa dituntut untuk
mengidentifikasi apa yang mereka ketahui serta apa yang mereka tidak ketahui dengan
pemahaman mereka sendiri sehingga menemukan konsep-konsep yang relevan.
Pada kelas konvensional konsep-konsep diperkenalkan
guru dalam bentuk ceramah.
Pembelajaran yang terjadi bersifat satu arah. Siswa lebih banyak menunggu penjelasan dari
guru, akibatnya siswa menjadi bergantung kepada guru. Pengetahuan yang mereka dapatkan
hanya terbatas kepada pengetahuan transfer dari guru saja dan tidak dikembangkan secara
efektif. Kebanyakan siswa kurang mampu menjelaskan konsep dengan bahasa mereka sendiri
dan mereka cenderung membuka catatan mereka dan membacanya.
D. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, diperoleh kesimpulan bahwa (1) kemampuan
pemahaman konsep siswa yang diajar dengan pendekatan PCLlebih tinggi daripada siswa yang
diajar
dengan
pembelajaran
konvensional;(2)kemampuan
pemahaman
konsep
siswa
berkemampuan awal tinggidiajar dengan pendekatan PCL sama dengan siswa yang diajar
dengan pembelajaran konvensional; (3)kemampuan pemahaman konsep siswa berkemampuan
awal rendah yang diajar dengan pendekatan PCLlebih tinggi daripada siswa yang diajar dengan
pembelajaran konvensional; dan (4) tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran dan
kemampuan awal dalam mempengaruhi kemampuan pemahaman konsep siswa.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
Baroody, A.J. 1993. Problem Solving, Reasoning, and Communica-ting, K-8 Helping Children Think
Mathematically. New York: Macmillan Publishing Company.
Depdiknas. 2006. Permendiknas No.2 tentang SI dan SKL. Jakarta: SinarGrafika.
170
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Huinker, D.A. dan Laughin, C. 1996. “Talk Your Way into Writing”. Dalam Communi-cation in
mathematics K-12 and Beyond,1996 yearbook. The National Council of Teacher of mathematics.
Muliyardi. 2002. Strategi Pembelaja-ran Matematika. Padang: FMIPA UNP.
NCTM. 1989. Curriculum and Eva-lution Standars for School Mathematics. Reston, VA: NCTM
Sumarmo, U. 2007. Pembelajaran Matematika. Dalam Rujukan Filsafat, Teori, dan Praktis Ilmu
Pendidikan. Bandung: Universitas Pendidikan Indo-nesia Press.
Toeti Soekamto & Udin S. Winataputra. 1995. Teori Belajar dan Model-Model Pembelajaran.
Jakarta: Ditjen Dikti, Depdiknas
Yamin, M dan Bansu, A. 2008. Taktik Mengembangkan Kemampuan Individu Siswa. Jakarta :
Gaung Persada Press.
171
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
DESKRIPSI ETNOMATEMATIKA DALAM
PENGHITUNGAN LUAS TANAH PADA MASYARAKAT
JAMBI
Rikhel Saputri1, Rini Warti2, Ali Murtadlo3
1,2,3
Jurusan Pendidikan Matematika, FITK, IAIN STS Jambi
1
[email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak. Masyarakat Jambi memiliki satuan luas tanah yang unik, dan tidak dimiliki oleh masyarakat
lainnya. Satuan ini tidak hanya digunakan oleh masyarakat awam semata, tetapi para developer pun turut
menggunakannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap aktivitas etnomatematika masyarakat
Jambi dalam mengukur luas tanah. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, dan
dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Jambi mempunyai beberapa istilah dalam
ukuran luas tanah, seperti tumbuk, baris, dan parit. Konsep matematika yang terdapat dalam penghitungan
ini adalah konversi satuan luas dan konsep bilangan.
Kata kunci: etnomatematika, satuan luas, tanah
A. PENDAHULUAN
Penggunaan konsep matematika di luar sekolah jelas berkaitan dengan aktifitas kehidupan
masyarakat sehari-hari. Misalnya dalam membangun rumah, mengukur luas tanah, menentukan
pola-pola geometri yang serasi, menjual dan membeli barang dan sebagainya. Aktifitas-aktifitas
tersebut melibatkan penghitungan matematis. Penerapan matematika seperti ini sering berbeda
dengan matematika yang dipelajari di sekolah. Disamping itu matematika dalam kehidupan
sehari-hari sering dijumpai berbeda antara daerah satu dengan lainnya misalnya dalam sistem
numerasi atau alat-alat hitung yang digunakan. Keberadaan matematika dalam berbagai aktifitas
kehidupan masyarakat itu menunjukkan bahwa matematika adalah bagian dari kebudayaan, dan
adanya bersifat universal, sehingga matematika adalah milik semua umat manusia.
Matematika memiliki peranan yang penting dalam berbagai budaya, tepatnya pada kebiasaan
suatu suku atau masyarakatnya maupun dalam hal adat istiadatnya. Tingkat kemajuan budaya
suatu bangsa tidak terlepas dari kemampuan matematis bangsa itu sendiri. Peninggalanpeninggalan budaya suatu bangsa yang masih dapat dinikmati hingga sekarang ini menjadi bukti
bahwa matematika ada didalamnya. Peninggalan sejarah berupa candi Borobudur, piramida, dan
sebagainya memiliki tingkat akurasi penghitungan yang tinggi serta pola-pola geometris yang
sangat teliti. Namun masyarakat sering kurang menyadari bahwa dalam sebagian aktivitas
kehidupan yang dilakukan terdapat aktivitas matematika.
Keterkaitan antara matematika dengan budaya atau kegiatan kehidupan sehari-hari masyarakat
suatu bangsa dikenal dengan istilah etnomatematika. Etnomatematika merupakan matematika
172
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
yang berkaitan dengan aktivitas masyarakat dalam kehidupan sehari-hari pada suatu kelompok
budaya tertentu. Yusuf (2010) mendefinisikan etnomatematika adalah matematika yang tumbuh
dan berkembang dalam kebudayaan tertentu. Daoed Joesoef (1982) menyatakan bahwa budaya
merupakan sistem nilai dan ide yang dihayati oleh sekelompok manusia disuatu lingkungan
hidup tertentu dan disuatu kurun tertentu. Kebudayaan diartikan sebagai semua yang berkaitan
dengan budaya. Koentjaraningrat (1987) mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan
gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan dari
hasil budi dan karyanya. Dalam konteks ini tinjauan budaya dilihat dari aspek yang didalamnya
memuat budaya lokal yang eksis dalam kehidupan masyarakat setempat.
Berdasarkan kedua hal tersebut menunjukkan bahwa adanya keterkaitan matematika dengan
kehidupan sehari-hari. Keterkaitan antara keduanya tersebut dikenal sebagai etnomatematika.
Etnomatematika merupakan matematika yang berkaitan dengan aktivitas masyarakat dalam
kehidupan sehari-hari pada suatu kelompok budaya tertentu. Shirley (1995), berpandangan
bahwa sekarang ini bidang etnomathematika, yaitu matematika yang timbul dan berkembang
dalam masyarakat dan sesuai dengan kebudayaan setempat, merupakan pusat proses
pembelajaran dan metode pengajaran. Hal ini membuka potensi pedagogis yang
mempertimbangkan pengetahuan para siswa yang diperoleh dari belajar diluar kelas.
Menurut Barton (1996), ethnomathematics mencakup ide-ide matematika, pemikiran dan
praktik yang dikembangkan oleh semua budaya. Ethnomathematics juga dapat dianggap sebagai
sebuah
program
yang
bertujuan
untuk
mempelajari
bagaimana
untuk
memahami,
mengartikulasikan, mengolah, dan akhirnya menggunakan ide-ide matematika, konsep, dan
praktek-praktek yang dapat memecahkan masalah yang berkaitan dengan aktivitas sehari-hari.
Etnomatematika menggunakan konsep matematika secara luas yang terkait dengan berbagai
aktivitas matematika, meliputi aktivitas mengelompokkan, berhitung, mengukur, merancang
bangunan atau alat, bermain, menentukan lokasi, dan lain sebagainya, sebagaimana yang
dikatakan oleh D'Ambrosio (1985) bahwa tujuan dari adanya etnomatematika adalah untuk
mengakui
bahwa
ada
cara-cara
berbeda
dalam
melakukan
matematika
dengan
mempertimbangkan pengetahuan matematika yang dikembangkan dalam berbagai sektor
masyarakat serta dengan mempertimbangkan cara yang berbeda dalam aktivitas mayarakat
seperti cara mengelompokkan, berhitung, mengukur, merancang bangunan atau alat, bermain
dan lainnya.
Keterdekatan matematika dan praktek-praktek budaya masyarakat terlihat dalam pernyataan
D’Ambrasio, “Ethnomathematics is used to express therelationship between culture and
mathematics”
(Suwarsono,
2015).
Pernyataan
ini
mengandung
pengertian
bahwa
etnomatematika digunakan untuk mengeskpresikan hubungan antara kebudayaan dan
173
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
matematika. Karena itu kebudayaan dan matematika merupakan dua substansi yang berbeda
tetapi bertemu dalam satu wadah yang disebut etnomatematika.
Masyarakat Jambi merupakan masyarakat heterogen yang terdiri dari masyarakat asli Jambi,
yakni Suku Melayu yang menjadi mayoritas di Provinsi Jambi. Selain itu juga ada Suku Kerinci
di daerah Kerinci dan sekitarnya yang berbahasa dan berbudaya mirip Minangkabau. Secara
sejarah dan budaya merupakan bagian dari varian Rumpun Minangkabau. Juga ada suku-suku
asli pedalaman yang masih primitif yakni Suku Kubu dan Suku Anak Dalam. Adat dan budaya
mereka dekat dengan budaya Minangkabau. Selain itu juga ada pendatang yang berasal
dari Minangkabau, Batak, Jawa, Sunda, Cina, India dan lain-lain. (https://id.wikipedia.org/wiki/
Jambi). Dalam keheterogenitasannya, masyarakat Jambi memiliki etnomatematika yang telah
tertanam kuat dalam masyarakat. Salah satu konsep matematika yang digunakan yaitu konversi
satuan luas dalam melakukan perhitungan luas tanah. Masyarakat Jambi memiliki satuan luas
tanah yang unik dan tidak dimiliki oleh masyarakat lainnya di Indonesia. Masyarakat Jambi
memiliki beberapa istilah dalam melakukan perhitungan pada satuan luas tanah yaitu tumbuk,
baris dan parit.
Tumbuk merupakan satuan luas yang ada pada masyarakat Jambi yang biasanya digunakan
dalam melakukan penghitungan luas tanah yang mana didefinisikan dengan ukuran 100
.
Tumbuk adalah istilah yang asing bagi sebagian besar masyarakat di luar Jambi. Satuan ukur
tumbuk ini merupakan satuan lokal yang dimiliki Indonesia. Selain itu ada pula ukuran baris.
Baris merupakan ukuran luas tanah yang digunakan untuk tanah yang sudah ditanami pohon
(kebun). Tidak seperti ukuran tumbuk, baris memiliki ukuran yang dinamis tergantung besar
kecilnya diameter suatu tanaman. Meskipun tidak termasuk dalam satuan ukur sistem
internasional, namun penggunaannya diperbolehkan.
Satuan ukuran luas diatas menunjukkan bahwa, masyarakat Jambi telah mengenal konsep satuan
hitung. Artinya, masyarakat Jambi telah menggunakan matematika dalam budaya daerahnya.
Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan tindak lanjut dengan rumusan masalah yaitu
bagaimana deskripsi etnomatematika masyarakat Jambi dalam mengukur luas tanah?
Berdasarkan pertanyaan peneliti yang telah dirumuskan, maka tujuan dari peneliti yaitu
mendeskripsikan hasil eksplorasi bentuk etnomatematika masyarakat Jambi dalam mengukur
luas tanah yang berkaitan dengan matematika agar terus dilestarikan dan tidak hilang.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif eksploratif dengan pendekatan etnografi. Menurut
Gulo (2000) penelitian eksploratif merupakan penelitian penggalian, menggali untuk
menemukan dan mengetahui suatu gejala atau peristiwa (konsep atau masalah) dengan
174
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
melakukan penjajakan terhadap gejala tersebut. Sedangkan pendekatan pendekatan etnografi
yaitu pendekatan empiris dan teoritis yang bertujuan mendapatkan deskripsi dan analisis
mendalam tentang kebudayaan berdasarkan penelitian lapangan (fieldwork) yang intensif.
Pendekatan
ini
memusatkan
usaha
untuk
menemukan
bagaimana
masyarakat
mengorganisasikan budaya mereka dalam pikiran mereka dan kemudian menggunakan budaya
tersebut dalam kehidupan, budaya tersebut ada dalam pikiran manusia. Tugas etnograf adalah
menemukan dan menggambarkan organisasi pikiran tersebut (Spradley, 2006).
Dalam penelitian ini, peneliti berusaha menggali informasi melalui dokumentasi, pengamatan
(observasi) serta wawancara dengan beberapa warga masyarakat Jambi yang mengetahui
informasi mengenai satuan luas tanah yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari tahun 2016 di beberapa wilayah daerah yang ada
dalam Provinsi Jambi, meliputi: (1) Pembukaan lahan permukiman di Kelurahan Talang
Bakung, dengan informan 1 orang petugas agraria dan 2 orang penduduk setempat; (2) Kantor
BPN, dengan informan 2 orang; (3) Developer perumahan Pesona Khayangan dan kaplingan
tanah di daerah Simpang Nes Mendalo Kabupaten Muaro Jambi, dengan informan 3 orang.
Peneliti melakukan penelitian sesuai dengan prosedur penelitian yang mengadopsi pada
pendekatan etnografis oleh Spradley (2006), yang meliputi :
1. Menetapkan informan; yaitu informan yang terlibat langsung serta mengetahui secara baik
tentang hal yang akan dikaji.
2. Melakukan wawancara terhadap informan; beberapa etika yang harus dipatuhi pewawancara,
antara lain mempertimbangkan kepentingan informan terlebih dahulu, menyampaikan tujuan
penelitian, melindungi privasi informan, dan jangan mengeksploitasi informan.
3. Membuat catatan etnografis; meliputi catatan lapangan, alat perekam gambar, artefak dan
benda lain yang mendokumentasikan suasana budaya yang dipelajari.
4. Mengajukan pertanyaan deskriptif; merupakan pertanyaan yang membutuhkan jawaban
penjelas.
5. Melakukan analisis wawancara etnografis; yaitu menggaris bawahi semua istilah asli
informan yang telah diperoleh untuk mempertinggi peranannya dalam mengetahui tentang
obyek budaya yang diteliti. Analisis ini dikaitkan dengan simbol dan makna yang
disampaikan informan.
6. Membuat analisis domain; membuat istilah pencakup dari apa yang dinyatakan informan.
Istilah tersebut seharusnya memiliki hubungan semantis yang jelas.
7. Mengajukan pertanyaan struktural; merupakan pertanyaan yang disesuaikan dengan
informan. Pertanyaan struktural bertujuan mengetahui bagaimana informan mengorganisir
pengetahuan mereka.
175
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
8. Melakukan analisis taksonomi; dengan memusatkan perhatian pada domain tertentu yang
sangat berguna untuk menggambarkan fenomena atau masalah yang menjadi sasaran
penelitian. Analisis taksonomik dilakukan untuk membuat kategori dari simbol-simbol
budaya yang ada pada kebudayaan yang diteliti.
9. Menulis etnografi; menjelaskan secara naratif mengenai esensi dari temuannya yang diteliti
dan mendapatkan makna pengalaman informan.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
Etnomatematika merupakan jembatan yang menghubungkan antara matematika dengan budaya.
Etnomatematika mengakui adanya cara cara berbeda dalam menyikapi budaya, dengan
etnomatematika kita mengetahui bahwa sebagian dari budaya mengandung matematika
didalamnya. Dalam penghitungan luas tanah pada masyarakat Jambi mereka sudah
menggunakan teknik-teknik matematika hal ini sudah mentradisi dari zaman dulu. Dalam
ukuran luas tanah provinsi Jambi menggunakan satuan yang berbeda dengan biasanya.
Masyarakat Jambi memiliki beberapa istilah dalam melakukan perhitungan pada satuan luas
tanah yaitu tumbuk, baris dan parit. Berdasarkan hasil eksplorasi, dapat diketahui bahwa adanya
aktivitas matematika yang muncul pada kegiatan penghitungan luas tanah pada masyarakat
Jambi. Aktivitas matematika yang muncul antara lain membilang, menghitung dan mengukur.
Aktivitas membilang muncul pada saat menyebutkan ukuran luas tanah. Ukuran luas tanah yang
sering digunakan pada masyarakat Jambi yaitu tumbuk, baris dan parit. Ukuran tumbuk sering
digunakan pada saat proses jual beli tanah biasanya pada lahan permukiman. Sedangkan baris
dan parit sering digunakan masyarakat Jambi ketika melakukan proses jual beli kebun. Ukuran
satu tumbuk setara dengan 100 m2. Penghitungan luas ini digunakan untuk membagi atau
membelah tanah dari ukuran yang luas menjadi beberapa bagian yang diinginkan.Biasanya pada
saat proses pengkaplingan tanah misalnya pembagian 1 hektar = 100 tumbuk.
Aktivitas matematika kedua yang muncul yaitu menghitung. Aktivitas matematika masyarakat
Jambi pada penghitungan luas tanah yang sering muncul yaitu menghitung, biasanya pada
proses melakukan jual beli tanah. Pada saat memperkirakan luas tanah dengan ukuran
tumbuk, maka konsep menghitung yang muncul adalah konsep perbandingan senilai. Misalnya
untuk ukuran tanah 1 tumbuk seharga Rp. 50.000.000. Ketika tanah yang akan dibeli ukurannya
1,375 tumbuk artinya untuk membayar harga tanah itu, maka dibutuhkanlah konsep
perbandingan. Dimana
.
.
.
=
,
sehingga didapat
=
. 68.750.000. Begitu pula
dalam menentukan harga pada ukuran tanah yang lainnya. Pada aktivitas menghitung, selain
konsep perbandingan senilai, juga terlihat konsep perkalian dan pembagian. Konsep perkalian
muncul pada saat akan mengkalikan besar ukuran luasan tanah dengan harga tanah yang
176
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
ditawarkan. Sedangkan konsep pembagian muncul ketika membagi besaran ukurun luas tanah
tersebut.
Aktivitas matematika ketiga yang muncul yaitu mengukur. Mengukur merupakan aktivitas yang
selalu dilakukan sebelum menentukan ukuran tanah. Pada saat mengukur, masyarakat Jambi
jarang menggunakan satuan ukur m2. Satuan lain yang sering digunakan yaitu tumbuk (dalam
jual beli tanah), baris dan parit (dalam jual beli kebun). Besar ukuran tumbuk yaitu 1 tumbuk =
100 m2. Masyarakat Jambi biasanya tidak terlalu memperhatikan satuan luas saat melakukan
jual beli tanah. Ketika disebutkan 1 tumbuk mereka tidak menghiraukan bahwa ukuran itu
mutlak selalu 10 m x 10 m akan tetapi ukuran itu dapat berubah dengan panjang dan lebar tanah
berapapun itu namun ukurannya tetap 100
. Misalnya 12,5 m x 8 m dan 25 m x 8 m ini juga
dapat dikatakan 1 tumbuk Begitu pula saat tanah tersebut berukuran 5 tumbuk = 500 m2, dalam
satuan luas ukuran itu tidak selalu 10 m x 50 m atau 12,5 m x 40 m atau 25 m x 20 m dan
sebagainya. Berikut disajikan ukuran luas tanah dan kebun serta model matematikanya.
Tabel 1. Ukuran Luas Tanah dan Kebun
Bahasa Jambi
Setumbuk
Sebaris
Separit
Bentuk Matematika
10
× 10
2
× 10
12,5
4
×8
×5
4 baris
1
1
= 100
= 20
1 parit
D. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa terdapat aktivitas matematika pada
masyarakat Jambi dalam penghitungan luas tanah. Tanpa mempelajari teori tentang konsepkonsep matematika, masyarakat Jambi pun telah menerapkan konsep-konsep matematika dalam
kehidupan
sehari-harinya
menggunakan
etnomatematika.
Terbukti
adanya
bentuk
etnomatematika masyarakat Jambi yang tercermin melalui aktivitas matematika yang dimiliki di
masyarakat Jambi, meliputi konsep-konsep matematika pada membilang, menghitung dan
mengukur. Aktivitas membilang biasanya muncul pada saat menyebutkan ukuran luas tanah.
Aktivitas menghitung muncul pada saat melakukan proses jual beli tanah. Sedangkan aktivitas
mengukur muncul pada saat seblum dilakukannya pengukuran tanah.Mengukur merupakan
aktivitas yang selalu dilakukan sebelum menentukan ukuran tanah.
Saran untuk peneliti selanjutnya yaitu agar lebih teliti lagi dalam memilih subjek penelitian
sehingga informasi yang diperoleh sesuai dengan yang diinginkan pada tujuan penelitian. Selain
177
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
itu, lebih teliti dalam mencari aktivitas etnomatematika yang ada pada suatu masyarakat serta
mampu mendeskripsikan aktivitas matematika yang terdapat pada masyarakat Jambi khususnya
tentang istilah dalam penghitungan luas tanah.
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim. (tth). Jambi https://id.wikipedia.org/wiki/Jambi
2. Barton, B. (1996). Making Sense of Ethnomathematics: Ethnomathematics is Making Sense,
Educational Studies in Mathematics, 31; 1-2.
3. D’ Ambrosio, U. (1985). Ethnomathematics and its Place in the History and Pedagogy of
Mathematics, For the Learning of Mathematics, 5(1); 44-48.
4. Gulo, W. (2000). Metodologi Penelitian, Jakarta, Grasindo.
5. Joesoef, D. (1982). Aspek-Aspek Kebudayaan yang Harus Dikuasai Guru, Majalah Kebudayaan, No.
1 Tahun 1981/1982.
6. Koentjaraningrat. (1987). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta
7. Shirley, L. (1995). Using Ethnomathematics of Find Multicultural Mathematical Connection; NCTM.
8. Spradley, J.P. (2006). Metode Etnografi, Yogyakarta, Tiara Wacana.
9. Suwarsono. (2015). Etnomatematika (Ethnomathematics) dalam https://dialnet.unirioja.es/
descarga/articulo/3738356.pdf.
10.
Yusuf, Mohammed Waziri, dkk. (2010). Ethnomathematics (a Mathematical Game in Hausa
Culture). International Journal of Mathematical Science Education Technomathematics
Research Foundation. http://www.tmrfindia.org/sutra/v3i16.pdf
178
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
ANALISIS 8 KETERAMPILAN DASAR MENGAJAR
GURU
DALAM MATA KULIAH MICROTEACHING
MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN
MATEMATIKA
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN (STKIP) PGRI SUMBAR
Sefna Rismen
Program Studi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Sumbar
[email protected]
Abstrak. Mata kuliah microteaching adalah mata kuliah yang memberikan kesempatan pada mahasiswa
untuk berlatih menyiapkan diri sebagai seorang calon guru yang akan melaksanakan praktek lapangan
(PL). Dalam praktek pembelajaran mahasiswa harus mempraktekan 8 keterampilan dasar mengajar
guru.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat gambaran penguasaan mahasiswa terhadap 8
keterampilan dasar mengajar guru. Jenis penelitian adalah penelitian deskriptif. Penelitian dilakukan pada
mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika STKIP PGRI Sumbar yang mengambil mata kuliah
microteaching angkatan 2012 atau semester genap 2014/2015. Instrumen penelitian yang digunakan
adalah lembaran observasi. Analisis data menggunakan deskriptif kualitatif. Hasil analisis yang dilakukan
terhadap penguasaan mahasiswa terhadap 8 keterampilan dasar mengajar guru diperoleh gambaran
bahwa, secara keseluruhan mahasiswa belum menguasai dengan baik 8 keterampilan dasar mengajar guru
dan penilaian secara keseluruhan dalm kriteria cukup.
Kata kunci: microteaching, 8 keterampilan Dasar Mengajar
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Mahasiswa keguruan sebagai calon guru masa depan perlu dipersiapkan baik secara pisik
maupun mental baik dari segi teori maupun praktek. Secara teori mahasiswa telah dibekali
dengan berbagai ilmu baik ilmu matematika ataupun ilmu mendidik/mengajar, dan sebelum
mahasiswa melakukan praktek lapangan mereka terlebih dahulu diberikan materi kuliah
microteaching.
Mata kuliah Microteaching adalah mata kuliah yang bertujuan untuk melatih mahasiswa
mengajar di depan kelas yang dilakukan secara micro atau sederhana. Laughlin dan
Moulton dalam Hasibuan mendefenisikan microteaching (pengajaran mikro) adalah sebuah
metode latihan penampilan yang dirancang secara jelas dengan jalan mengisolasi bgaianbagian komponen dari proses mengajar, sehingga calon guru dapat menguasai setiap
komponen satu persatu dalam situasi mengajar yang disederhanakan. Hamalik
menyebutkan bahwa pengajaran micro merupakan teknik mengembangkan keterampilan
179
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
mengajar calon guru atau sebagai usaha peningkatan kompetensi calon guru dalam
mengajar. Dengan demikian pengajaran micro sangat penting dilakukan sebagai bentuk
nyata dari kompetensi yang telah dibekali kepada mahasiswa secara teori sehingga
mahasiswa sebagai calon guru benar-benar mampu menguasai setiap komponen satu
persatu atau bebarapa komponen secara terpadu dalam situasi pembelajaran yang
disederhanakan.
Mahasiswa sebagai calon guru akan melakukan praktek mengajar dengan menerapkan 4
kompetensi mengajar dan mencoba menerapkan 8 keterampilan mengajar yang harus
dimiliki oleh seorang guru yang profesional sebagai penentu kualitas pendidikan. Bila Guru
memiliki kualitas akademik, berkompeten dan profesional, maka diharapkan proses
pendidikan yang berjalan dapat optimal dan menghasilkan output lulusan yang kompetitif.
Sebaliknya, bila Guru tersebut tidak memenuhi kualitas akademik, tidak berkompeten dan
tidak profesional maka keseluruhan proses pendidikan tidak akan optimal.
Keterampilan dasar mengajar adalah keterampilan yang sangat kompleks dan bersifat
generik
yang
memerlukan
latihan
secara
bertahap
dan
sistematis
untuk
menguasainya.Untuk keperluan latihan keterampilan ini dapat dipilah-pilah, tetapi pada
akhirnya harus diterapkan secara utuh dan terintegrasi. Dalam keterampilan dasar mengajar
tersebut ada 8 keterampilan yang dapat digunakan guru selama proses belajar mengajar
yaitu; keterampilan bertanya, keterampilan memberikan penguatan, keterampilan
mengadakan variasi, keterampilan menjelaskan, keterampilan membuka dan ketrampilan
mengajar kelompok kecil dan perseorangan. Namun tidak semua keterampilan dapat
dikuasai dengan baik bagi setiap mahasiswa. Oleh karena itu, pada penelitian ini mencoba
untuk menganalisis kemampuan mahasiswa dalam menerapkan 8 keterampilan dasar
mengajar.
2. Rumusan Masalah
Masalah dalam penelitian dirumuskan sebagai berikut : bagaimana gambaran keterampilan
dasar mengajar guru yang dimiliki mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika dalam mata
kuliah micro teaching?
3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis 8 keterampilan dasar mengajar guru yang
dimiliki mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika dalam mata kuliah micro teaching.
180
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
B. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Menurut Whitney dalam Moh. Nazir bahwa
metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Penelitian deskriptif
mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat
serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan-hubungan, kegiatan-kegiatan, sikapsikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlansung dan pengaruhpengaruh dari suatu fenomena.Penelitian dilakukan pada Mahasiswa Prodi Pendidikan
Matematika STKIP PGRI sumbar ynag mengambil mata kuliah microteaching angkatan 2012,
semester genap 2014/2015.
Instrumen penelitian yang digunakan adalah lembaran observasi berupa pengamatan 8
keterampilan dasar mengajar. Cartwright & cartwright dalam Herdiansyah (2010: 131)
mendefinisikan sebagai suatu proses melihat, mengamati, dan mencermati serta “merekam”
perilaku secara sistematis untuk suatu tujuan tertentu. Observasi adalah suatu kegiatan mencari
data yang dapat digunakan untuk memberikan suatu kesimpulan atau diagnosis.
Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan, selama
di lapangan, dan setelah selesai di lapangan. Menurut Nasution (dalam Sugiyono, 2008: 245),
analisis telah mulai sejak merumuskan dan mejelaskan masalah, sebelum terjun ke lapangan,
dan berlangsung terus sampai penulisan hasil penelitian.Analisis data dalam penelitian ini
bersifat deskriptif kuantitatif dan kualitatif . Analisis data dilakukan secara terus menerus sejak
awal hingga akhir penelitian. Analisis data dilakukan secara kualitatif, yaitu data yang berupa
kalimat atau pernyataan yang diinterpretasikan untuk mengetahui makna serta untuk memahami
keterkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti.Lembar observasi diisi oleh 5 orang
pengamat yakni wakil dari mahasiswa yang bertugas mengamati pelaksanaan 8 dasar
keterampilan mengajar setiap mahasiswa yang melakukan praktek pengajaran. Rumus yang
digunakan untuk menganalisis data adalah :
Ė…=
∑
, (Walpole , 1993)
Ė… = rata-rata jumlah skor setiap keterampilan
Penskoran yang digunakan menggunakan skala 4 yakni:
1 = kurang
2= cukup
3= baik
4= baik sekali
Setelah analisis data, kemudian dilakukan penafsiran terhadap perolehan rata-rata dengan
kategori sebagai berikut:
Interval
Jumlah
1≤ Ė…< 2
Kurang
181
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
2≤ Ė…< 3
Cukup
3≤ Ė…< 4
Baik
≥4
Baik sekali
(modifikasi dari Kurnasih 2014:6)
C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Deskripsi Data
Hasil observasi yang dilakukan terhadap 35 orang mahasiswa yang melakukan praktek
mengajar pada mata kuliah microteaching, yang dilakukan oleh 5 orang pengamat untuk
masing mahasiswa diperoleh nilai keterampilan dasar mengajar sebagai berikut:
Tabel 2: Jumlah Rata-Rata 8 Keterampilan Dasar mengajar Guru
Interval
1≤
<2
3≤
<4
2≤
Jumlah
Kriteria
1
CUKUP
34
CUKUP
0
CUKUP
0
CUKUP
<3
≥4
Nilai rata-rata untuk masing-masing keterampilan dasar mengajar dapat dilihat sebagai
berikut:
Tabel 3: Rata-rata keterampilan dasar mengajar Mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika
angkatan 2012
No
182
Keterampilan dasar Mengajar
Rata-rata
Kriteria
1
Membuka Pelajaran
2,4
cukup
2
Menjelaskan Materi
2,4
Cukup
3
Bertanya
2,2
Cukup
4
Memberi Penguatan
2,4
Cukup
5
Mengadakan variasi
2,4
Cukup
6
Mengelola Kelas
2,3
Cukup
7
Membimbing kelompok kecil
2,6
Cukup
8
Menutup pelajaran
2,6
cukup
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
2. Pembahasan
Rata-rata keterampilan dasar mengajar yang dimiliki mahasiswa diberoleh kesimpulan
bahwa secara rata-rata atau secara kuantitatif berada pada interval 2 ≤
< 3, atau dalam
kriteria cukup. Hal ini memberi gambaran bahwa keterampilan mengajar mahasiswa dalam
melakukan latihan praktek mengajar pada mata kuliah microteaching perlu ditingkatkan.
Gambaran setiap katerampilan dasar mengajar mahasiswa dapat dilihat pada uraian berikut:
1. Keterampilan membuka pelajaran
Keterampilan membuka pelajaran memuat 6 indikator yakni, menarik perhatian siswa,
melakukan apersepsi, memberikan motivasi, menyampaikan tujuan, menyampaikan
topik, dan memberikan pre-tes. Dari 4 indikator tersebut mahasiswa pada umumnya
tidak memberikan pre-tes sebelum pembelajaran. Indikator menarik perhatian siswa,
melakukan apersepsi, dan menyampaikan topik, pada umumnya mahasiswa ada
melakukan tetapi masih perlu ditingkatkan. Mahasiswa juga belum bisa memberikan
motivasi untuk meningkatkan rasa ingin tahu atau keiginan belajar siswa.
2. Keterampilan menjelaskan
Keterampilan ini memuat 4 indikator, yakni memahami siswa, menggunakan contoh
dan ilustrasi, menggunakan metode secara tepat, dan menekankan isis pelajaran. Pada
ke 4 indikator ini mahasiswa masih kurang memberikan penekanan pada isi pelajaran
karena mahasiswa dalam mengajar terkesan menghafal apa yang akan disampaikannya.
Kemudian mahasiswa masih terlihat ragu-ragu dalam menjelaskan materi pelajaran, hal
ini juga mengakibatkan penekanan kurang diperhatikan. Metode yang digunakan
menjelaskan materi belum dapat membimbing siswa untuk bisa menemukan konsep dan
mengembangkan daya nalar.
3. Keterampilan bertanya
Keterampilan bertanya memuat 3 indikator, yakni mengungkapkan pertanyaan secara
jelas, mendistribusikan pertanyaan di antara siswa, dan menggunakan teknik menggali
potensi siswa. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan diperoleh gambaran bahwa
mahasiswa kurang bisa membuat pertanyaan yang menggali potensi siswa sesuai
dengan materi ajar, mereka cenderung memberikan pertanyaan mendasar. Pertanyaan
yang banyak digunakan mahasiswa masih bersifat pegetahunan/pemahaman saja.
Mahasiswa juga belum bisa menggunakan pertanyaan yang bervariasi.
4. Keterampilan memberi Penguatan
Keterampilan memberi penguatan memuat 2 indikator, yakni penguaan verbal dan nonverbal. Dalam penguatan verbal secara umum mahasiswa sudah memberikan penguatan
dengan memberikan kata “bagus” sedangkan pemberian kekuatan non-verbal terlihat
mahasiswa belum bisa, seperti memberi anggukan, tatapan atau sentuhan, karena
183
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
mahasiswa masih terlihat malu-malu, hal ini mungkin disebabkan yang menjadi siswa
adalah teman sendiri.
5. Keterampilan memberikan Variasi.
Keterampilan mengadakan variasi memuat 5 indikator, yakni variasi gerak, variasi
suara, penggunaan media, kontak perhatian, dan pola interaksi. Dari ke 5 indikator
tersebut mahasiswa mengalami kendala dalam variasi gerak, variasi suara dan kontak
perhatian. Dalam variasi gerak kebanyakan mahaiswa masih terlihat kaku dalam berdiri
di depan atau berjalan di depan kelas. Dalam pemberian kontak perhatian kebanyak
mahasiswa masih terfokus pada satu sisi. Intonasi suara juga belum ada, kebanyakan
suara masih mendatar jadi tidak tampak penekanan terhadap materi.
6. Keterampilan mengelola kelas
Keterampilan mengelola kelas memuat 4 indikator yakni membagi perhatian,
menciptakan belajar optimal, memusatkan perhatian kelompok, mengatasi perilaku
yang menimbulkan masalah. Dari 4 indikator tersebut mahasiswa kelihatan kesulitan
dalam memusatkan perhatian siswa dan menciptakan belajar optimal. Mahasiswa lebih
terpusat pada satu kelompok siswa saja, dan kurang bisa menengur siswa yang meribut
dan main-main dalam belajar.
7. Keterampilan mengajar kelompok kecil
Keterampilan mengajar kelompok kecil memuat 3 indikator, yakni menjelaskan
pembagian kelompok, membimbing kerja kelompok, dan memberikan arahan yang
jelas. Hasil pengamatan yang dilakukan secara keseluruhan mahasiswa telah bisa atau
sudah memiliki keterampilan dalam mengajar kelompok kecil. Artinya, mahasiswa
sudah bisa membimbing kelompok secara baik.
8. Keterampilan menutup pelajaran
Keterampilan ini memuat 4 indikator yakni, meninjau kembali isi pelajaran,
membimbing siswa membuat kesimpulan, memberi kuis atau tes di akhir dan
memberikan tugas rumah serta materi berikutnya. Hasil pengamatan diperoleh
gambaran bahwa maahasiswa secara umum tidak melakukan peninjauan ulang terhadap
materi yang sudah dijelaskan, karena mahasiswa langsung dalam membuat kesimpulan
dari materi yang sudah dipelajari. Mahaiswa juga tidak memberikan tes di akhir
pelajaran sebagai bahan evaluasi untuk mengukur tingkat pemahaman siswa dari materi
yang sudah dipelajari.
Berdasarkan temuan hasil analisis 8 keterampilan dasar mengajar guru yang dipraktekkan
mahasiswa dalam perkuliahan microteaching, dapat dieproleh gambaran bahwa belum
semua keterampilan dasar mengajar dipahami dan diimplementasikan dalam latihan
184
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
praktek mengajar. Oleh karenanya, mahasiswa sebagai calon guru perlu memahami lagi
setiap keterampilan dasar mengajar agar pembelajaran menjadi optimal.
D. PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan analisis keterampilan dasar mengajar guru yang dilakukan pada latihan
praktek pengajaran pada mahasiswa 2012 D diperoleh gambaran bahwa, secara
keseluruhan mahasiswa belum menguasai dengan baik 8 keterampilan dasar mengajar yang
perlu dimiliki oleh seorang guru. Kriteria penilaian berada dalam kategori cukup.
2. Saran
- Bagi mahaiswa agar mempelajari dan memahami lagi 8 keterampilan dasar mengajar
dan banyak berlatih
- Bagi dosen pembimbing mata kuliah microteaching agar memberikan penjelasan dan
penekanan kembali tentang pentingnya 8 keterampilan dasar mengajar dikuasai dan
memberikan arahan setiap mahasiswa yang tampil.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
JJ Hasibuan, Moedjiono, (2010). Proses Belajar mengajar, Bandung : PT Remaja Rosdakarya,.
Kurnasih, Imas, 2014. Implementasi Kurikulum 2013 Konsep dan Penerapan. Kata Pena: Surabaya.
Sardiman A.M, (2005). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta: Raja Grafindo Persada
Zainal Asril,(2010). Micro Teaching, Jakarta : Rajawali Pers,
Walpole, Ronald E.1993. Pengantar Statistika. Jakarta:PT Gramedia Pustaka.
185
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
DESKRIPSI ETNOMATEMATIKA DALAM
PENGHITUNGAN BERAT EMAS PADA MASYARAKAT
JAMBI
Sri Rezeki Utami1, Rini Warti2, Ali Murtadlo3
1,2,3
Jurusan Pendidikan Matematika, FITK, IAIN STS Jambi
1
[email protected], [email protected],[email protected]
Abstrak. Emas dengan berbagai klasifikasinya, sampai saat ini masih menjadi salah satu pilihan bentuk
investasi masyarakat Jambi. Uniknya, masyarakat Jambi memiliki satuan ukur tersendiri. Penelitian ini
bertujuan untuk mengungkap etnomatematika yang digunakan oleh masyarakat Jambi dalam
penghitungan berat emas. Data penelitian diperoleh dari wawancara dan dokumentasi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa masyarakat Jambi mempunyai istilah: (1) “suku” sebagai satuan berat emas, dan (2)
“logam mulia, murni, graman” sebagai klasifikasi persentase kadar emas. Konsep matematika yang
terdapat dalam penghitungan berat emas ini adalah konversi ukuran berat, pecahan, dan persentase.
Kata Kunci: etnomatematika, satuan berat, emas
A. PENDAHULUAN
Emas merupakan salah satu media investasi klasik yang telah dilakukan oleh masyarakat sejak
ratusan bahkan ribuan tahun silam. Kusnandar (2010) menyebutkan ada dua kriteria investasi
yaitu investasi modern dan investasi klasik. Investasi modern terdiri atas penempatan deposito,
saham, obligasi, waran, opsi, asuransi, dan lain-lain. Sedangkan investasi klasik terbagi atas
investasi properti (tanah, rumah, ruko) dan emas.
Investasi klasik khususnya dalam bentuk emas dilakukan oleh segenap lapisan masyarakat,
termasuk masyarakat Jambi. Menurut Apriyanti (2011) emas merupakan logam mulia yang
nilainya terus naik setiap waktunya. Bahkan kalangan investor menilai bahwa dengan
berinvestasi emas, nilai dari kekayaan mereka akan tetap terjaga. Senada dengan itu, Evan
(2012) dalam penelitiannya menyatakan bahwa berinvestasi dalam bentuk emas akan
memberikan hasil dan tingkat sekuritas yang lebih baik jika dibandingkan dengan berinvestasi
pada saham perusahaan pertambangan emas yang berskala menengah ataupun berskala besar
sekalipun.
Satuan emas secara internasional dinyatakan dalam troy ons. Troy ons merupakan satu-satunya
ons yang digunakan untuk menghargai logam berharga seperti emas, platinum, dan perak. 1
(satu) troy ons seberat 31,1034768g. (https://id.wikipedia.org/wiki/Troy_(satuan)) Namun
masyarakat Jambi memiliki berbagai satuan emas tersendiri yang tidak dimiliki oleh masyarakat
lainnya. Misalnya, “suku”, “batu emas”, “mayam”, dan “tahil”. Berbagai satuan emas ini jika
dikoversikan maka “batu emas” senilai Rp. 500.00,- satu mayam senilai 3,37 gram, dan satu
186
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
tahil senilai 2 gram. (Musri Nauli, 2016). Namun yang paling terkenal adalah “suku”. Satu suku
emas di masyarakat Jambi senilai 6 gram.
Aneka satuan emas yang digunakan oleh masyarakat Jambi tersebut menunjukkan bahwa
terdapat hubungan antara aktivitas sehari-hari masyarakat dengan matematika, berupa konversi
nilai. Hubungan erat antara keduanya dikenal dengan istilah etnomatematika. Milton Rosa dan
Daniel Clark Orey (2015) dalam artikelnya yang berjudul Ethnomathematics: the cultural
aspects of mathematics menyatakan bahwa istilah etnomatetika pertama kali dicetuskan oleh
D’Ambrosio. Etnomatematika diartikan sebagai berikut “The prefix ethno is today accepted as a
very broad term that refers to the social-cultural context and therefore includes language,
jargon, and codes of behavior,myths, and symbols. The derivation of mathema is difficult, but
tends to meanto explain, to know, to understand, and to do activities such as
ciphering,measuring, classifying, inferring, and modeling. The suffix tics is derived fromtechné,
and has the same root as technique.”
Jadi secara kebahasaan, menurut pencetusnya, etnomatematika dapat dipahami bahwa
awalan etno saat ini diterima sebagai istilah yang sangat luas yang mengacu pada konteks sosial
budaya budaya dan karena itu termasuk bahasa, jargon, dan kode perilaku, mitos dan simbolsimbol. Derivasi dari mathema sulit, tetapi cenderung berarti untuk menjelaskan, untuk
mengetahui,
memahami,
dan
melakukan
kegiatan
seperti
pengkodean,
pengukuran,
pengklasifikasian, menyimpulkan, dan pemodelan. Akhiran tics berasal dari techne, dan
memiliki akar yang sama dengan teknik.
Etnomatematika berdasarkan definsi di atas dapat diartikan sebagai matematika yang
dipraktekkan oleh sekelompok masyarakat dalam kehidupannya sehari-hari. Aktifitas
masyarakat dalam pembangunan, perekonomian, dan lain-lain terkandung didalamnya
penerapan matematika. Dengan kata lain, etnomatematika itu adalah matematika dalam praktekpraktek budaya masyarakat.
Dedi Mulayana dan Jalaluddin Rahmat (2006) mendefinisikan budaya sebagai suatu pola hidup
menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut
menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar, dan meliputi banyak
kegiatan sosial manusia. Pengertian senada dikemukakan juga oleh Koentjaraningrat (1987)
yang mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus
dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya.
Berdasarkan pengertian budaya, satuan “suku” merupakan salah satu bentuk kebudayaan yang
berada di masyarakat Jambi. Hingga sekarang, satuan itu masih digunakan. Hal ini
menunjukkan bahwa gagasan masyarakat berupa satuan emas itu diwariskan dan diajarkan terus
menerus oleh masyarakat Jambi. Bentuk-bentuk pewarisannya antara lain terlihat pada
187
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
pemberian mas kawin pada perkawinan, transaksi hutang-piutang atau pinjam-meminjam emas,
barter, dan sebagainya.
Bentuk-bentuk pewarisan “suku” itu menjadi bukti bahwa terdapat kegiatan matematika dalam
kehidupan budaya masyarakat Jambi. Oleh karena itu, peneliti tertarik melakukan penelitian
dengan rumusan masalah yaitu bagaimana etnomatematika masyarakat Jambi dalam
penghitungan berat emas? Karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan hasil
eksplorasi bentuk etnomatematika masyarakat Jambi dalam menghitung berat emas.
Ketercapaian tujuan ini sangat penting agar aktivitas matematika yang telah menyatu dengan
budaya khususnya dalam penghitungan berat emas di Jambi tetap terjaga.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan etnografi. Penelitian kualitatif
adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh
subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara holistic,
dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang
alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Sugiono, 2013). Sedangkan
pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan etnografi yaitu pendekatan
empiris dan teoritis yang bertujuan mendapatkan deskripsi dan analisis mendalam tentang
kebudayaan berdasarkan penelitian lapangan yang intensif. Pendekatan ini memusatkan usaha
untuk menemukan bagaimana masyarakat mengorganisasikan budaya mereka dalam pikiran
mereka dan kemudian menggunakan budaya tersebut dalam kehidupan, budaya tersebut ada
dalam pikiran manusia. Tugas etnograf adalah menemukan dan menggambarkan organisasi
pikiran tersebut (Spradley, 2006).
Menurut Lila Na’imatul (2015) untuk mempermudah dalam melaksanakan penelitian, maka
diperlukan alur penelitian dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Pendahuluan, langkah ini dilakukan dengan cara menentukan subjek penelitian dan
mengamati atau menentukan aktivitas yang biasa dilakukan oleh masyarakat Jambi.
2. Melakukan kegiatan persiapan, langkah ini terdiri dari mengidentifikasi masalah dan
informasi yang ditemukan pada tahap pendahuluan, pemilihan masalah, penentuan tujuan
penelitian, serta menyiapkan instrumen berupa pedoman wawancara.
3. Mengumpulkan data, langkah ini dilakukan dengan cara wawancara, dokumentasi.
4. Analisis data, langkah ini dilakukan dengan membandingkan data hasil penelitian.
5. Kesimpulan, pada tahap ini, peneliti membuat kesimpulan dari analisis data yang didapat dan
mengacu pada rumusan masalah.
188
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengumpulan data dilakukan bulan Januari 2016 dengan subjek penelitian yang terdiri dari dua
toko mas yang berada di kawasan pasar Kota Jambi yaitu Toko Mas ”Gunung Sari” dan Toko
Mas ”Cantik”. Berdasarkan hasil eksplorasi diketahui bahwa terdapat aktivitas matematika yang
muncul pada kegiatan jual beli emas yang dilakukan oleh masyarakat kota Jambi. Aktivitas
matematika tersebut diantaranya membilang, menghitung dan mengukur.
Aktivitas matematika pertama yaitu membilang. Membilang hanya muncul pada saat
menyebutkan ukuran berat emas. Pada saat menyebutkan ukuran berat, masyarakat Jambi
mengunakan istilah suku. Emas yang diperjualbelikan juga memiliki beberapa klasifikasi
berdasarkan persentase kadar emas yaitu emas logam mulia, emas murni, dan emas graman.
Tabel 1. Klasifikasi kadar emas
No
Klasifikasi Emas
Persentase kadar emas
1
Logam Mulia
100 %
2
Murni
99 %
3
Graman
-
Aktivitas matematika kedua yaitu aktivitas menghitung. Aktivitas ini sering muncul pada
kegiatan jual beli emas pada masyarakat Jambi. Pada saat memperkirakan jumlah berat emas,
aktivitas yang muncul adalah konsep perbandingan senilai. Para penjual emas mayoritas
menggunakan berat suku sebagai acuan untuk menyatakan jumlah berat emas yang digunakan.
Dengan ukuran berat tersebut, masyarakat Jambi dapat menentukan jumlah berat emas yang
akan dibeli. Misalnya berat emas yang akan dihitung adalah 1 suku, 2 suku dan lain sebagainya.
Jika 1 suku benilai 6,7 gram, maka 2 suku bernilai 2 kali dari berat 1 suku yaitu 13,4 gram.
Selain konsep perbandingan senilai, terdapat aktivitas menghitung lainnya pada saat
menentukan jumlah berat emas yang akan dihitung. Aktivitas berhitung ini berupa operasi
perkalian dan pembagian. Operasi perkalian digunakan untuk menentukan jumlah berat emas
lebih dari 1 suku sedangkan operasi pembagian kebalikannya. Konsep perkalian yang digunakan
ada yang langsung mengalikan bilangan pengali dan yang dikali seperti biasa, ada juga yang
mengubah perkalian menjadi penjumlahan. Konsep perkalian kedua yang digunakan oleh subjek
penelitian berbeda dengan konsep yang ada dalam buku ajar. Misalnya 2 x 3, cara subjek
penelitian menghitung perkalian tersebut dengan menjumlahkan 2 sebanyak 3 kali. Dalam buku
ajar matematika dijelaskan apabila ada perkalian antara a dan b berarti bahwa b dijumlahkan
sebanyak a kali, sehingga untuk perkalian antara 2 dengan 3 berarti bahwa 3 dijumlahkan
189
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
sebanyak 2 kali. Hal ini yang menyebabkan penggunaan konsep tersebut hingga sekarang
karena hasil yang diperoleh sama dengan konsep dasar yang sesungguhnya.
Sama halnya dengan perkalian, pada pembagian misalnya penghitungan berat emas yaitu
setengah suku berarti jumlah beratnya adalah 3,35 gram yang diperoleh dari
6,7
= 3,35
=
Pada aktivitas matematika menghitung juga termasuk didalamnya harga emas berdasarkan
beratnya. Di pasaran kota Jambi pada saat peneliti melakukan observasi, harga 1 suku emas
adalah Rp. 3.300.000,00 tidak termasuk dengan upah. Karena upah yang ditetapkan pada setiap
emas berbeda-beda sesuai dengan kerumitan dalam pembuatan emas tersebut.
Aktivitas matematika ketiga yang mencul adalah aktivitas mengukur. Pada saat menyebutkan
ukuran berat emas istilah yang digunakan berdasarkan klasifikasi kadar emasnya yaitu logam
mulia, murni atau graman. Pada kadar emas logam mulia terbuat dari 100% emas asli,
sedangkan emas murni terbuat dari 99% emas asli dan 1% campuran.
D. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak aktifitas
etnomatematika dalam penghitungan berat emas pada masyarakat Jambi. Aktivitas
etnomatematika tersebut meliputi aktivitas membilang, menghitung, dan mengukur. Aktivitas
membilang hanya muncul pada saat menyebutkan ukuran berat emas. Pada saat menyebutkan
ukuran berat, masyarakat Jambi mengunakan istilah suku. Dengan klasifikasi persentase kadar
emasnya yaitu ”logam mulia, murni, graman”. Aktivitas yang sering muncul dalam aktivitas
penghitungan berat emas adalah aktivitas menghitung, karena langsung disebutkan jumlah berat
emas yang akan dihitung. Akivitas menghitung yang muncul pada saat memperkirakan jumlah
berat emas berupa konsep perkalian. 1 suku bernilai 6,7 gram dan 2 suku bernilai 2 dikali 6,7
gram dan begitu seterusnya. Selain itu terdapat aktivitas menghitung lainnya yang muncul pada
kegiatan perkiraan jumlah berat emas yaitu perbandingan senilai. Aktivitas matematika ketiga
yang mencul adalah aktivitas mengukur. Pada saat menyebutkan ukuran berat emas istilah yang
digunakan berdasarkan klasifikasi kadar emasnya yaitu logam mulia, murni atau graman.
Saran untuk peneliti selanjutnya yaitu agar lebih teliti lagi dalam memilih subjek penelitian
sehingga informasi yang diperoleh sesuai dengan yang diinginkan pada tujuan penelitian. Selain
itu, lebih teliti dalam mencari aktivitas etnomatematika yang ada pada suatu masyarakat dan
lebih tanggap terhadap jawaban yang diberikan subjek penelitian. Penelitian ini belum sempurna
sehingga diharapkan pada penelitian selanjutnya penelitian dapat lebih fokus dalam
mengungkap etnomatematika pada masyarakat Jambi.
190
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
DAFTAR PUSTAKA
1. Apriyanti. 2011. Anti Rugi Dengan Berinvestasi Emas. Yogyakarta: Pustaka baru press.
2. Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, 2006. Komunikasi Antarbudaya:Panduan Berkomunikasi
dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. 2006. Bandung:Remaja Rosdakarya
3. Evan, W. 2012. The Differences of investing in real gold and gold shares. Bradford economic and
management journal.
4. Kusnandar. 2011. Cara Cerdas Berkebun Emas. Jakarta:Transmedia.
5. Lila Na’imatul N, Susanto, Nurcholif Diah Sri Lestari. 2015. Identifikasi Aktivitas Etnomatematika
Petani pada Masyarakat Jawa di Desa Sukoreno. Artikel Ilmiah Mahasiswa. 2015, I (1):1-6.
6. Milton Rosa dan Daniel Clark Orey, Ethnomathematics: The Cultural Aspects Of Mathematics,
https://dialnet.unirioja.es/descarga/articulo/3738356.pdf
7. Musri Nauli, 2016. Jambi dalam Hukum, dalam http://musri-nauli.blogspot.com/2016/04/modelpenghitungan-di-jambi.html
8. Spradley, James P. (2006). Metode etnografi, Yogyakarta, Tiara Wacana.
9. Sugiono. (2013). Metode Penelitian Pendidikan, Bandung, Alfabeta.
191
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN INQUIRY DAN
GAYA KOGNITIF
SISWA TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA
SISWA
DI KELAS VIII SMP NEGERI 8 KERINCI
Trisna Rukhmana1, Kamid2, Rayandra Asyhar3
Program Magister Pendidikan Matematika Universitas Jambi
[email protected]
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran inquiry terhadap hasil
belajar matematika siswa, pengaruh gaya kognitif siswa terhadap hasil belajar matematika siswa, dan
pengaruh interaksi antara penggunaan model pembelajaran dan gaya kognitif siswa terhadap hasil belajar
matematika siswa di kelas VIII (Delapan) SMP Negeri 8 Kabupaten Kerinci tahun pelajaran 2015/2016.
Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian eksperimen semu dengan menerapkan desain faktorial
2 × 2. Populasi penelitian adalah siswa SMP Negeri 8 Kabupaten Kerinci Kelas VIII Semeseter genap
tahun pelajaran 2015/2016. Sampel penelitian terdiri dari 1 kelas eksperimen dan 1 kelas kontrol.
Pengumpulan data dilakukan menggunakan dua macam instrumen yakni intrumen Group Embedded
Figures Test (GEFT) untuk mengukur gaya kognitif siswa dan instrumen tes hasil belajar matematika
siswa dalam bentuk essay. Uji statistic yang digunakan adalah dengan menggunakan anova dua jalur
untuk melihat pengaruh model pembelajaran dan pengaruh gaya kognitif terhadap hasil belajar
matematika serta interaksi antara model pembelajaran dan gaya kognitif siswa terhadap hasil belajar
matematika siswa. Uji lanjut menggunakan uji t untuk melihat perbedaan hasil belajar siswa berdasarkan
gaya kognitif siswa.
Kata Kunci : Model pembelajaran discovery, konvensional, gaya kognitif dan hasil Belajar.
A. PENDAHULUAN
Tantangan terberat dunia pendidikan di Indonesia adalah peningkatan kualitas pembelajaran
untuk menghasilkan lulusan yang memiliki daya saing dan mampu beradaptasi dengan
perubahan serta kreatif dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Hal ini dipandang
penting karena menghadapi abad-21, manusia dihadapkan pada berbagai masalah yang
timbul
sebagai
dampak
globalisasi
dan
perkembangan
teknologi
informasi
dan
komunikasi.
Penulis melakukan observasi pada tanggal 11 januari 2016 di SMP Negeri 8 Kerinci pada
kelas VIII. Ternyata sikap ilmiah siswa termasuk dalam kategori Baik (B) dimana sikap
ilmiah yang paling menonjol adalah rasa ingin tahu.
Guru sebaiknya mempertimbangkan hakikat matematika dalam melaksanakan pembelajaran
kepada siswa. Pada umumnya guru belum menggunakan model pembelajaran yang sesuai
dengan gaya kognitif siswa sehingga siswa kurang termotivasi untuk belajar matematika.
Selain itu proses belajar mengajar cenderung masih menggunakan model pembelajaran yang
192
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
konvensional. Aktivitas siswa untuk bertanya, menjawab dan mengajukan pendapat, sangat
kurang pada saat pembelajaran berlangsung. Proses belajar mengajar juga belum dilakukan
dengan disiplin dalam penggunaan waktunya. Akibatnya nilai ujian semester genap masih
dibawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM).
Dari permasalahan yang telah dikemukakan dibutuhkan adanya suatu model pembelajaran, agar
proses pembelajaran matematika lebih menyenangkan dan bermanfaat sehingga diharapkan
dapat meningkatkan aktifitas dan pemahaman siswa dalam pembelajaran.
Salah satu model pembelajaran yang mampu mengantisipasi kelemahan model pembelajaran
konvensional adalah dengan menggunakan model pembelajaran yang pendekatannya berpusat
pada siswa, salah satunya adalah model pembelajaran Inquiry. Inquiry merupakan sebuah
proses dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dan memecahkan masalah berdasarkan
pengujian logis atas fakta-fakta dan observasi-observasi.
Abidin (2014:49) mengemukakan model pembelajaran inquiry (selanjutnya disebut MPI)
adalah suatu model pemelajaran yang dikemabangkan agar siswa menemukan dan
menggunakan berbagai sumber informasi dan ide-ide untuk meningkatkan pemahaman
mereka tentang masalah, topic, atau isu-isu tertentu. Penggunaan model ini menuntut
siswa untuk mampu untuk tidak hanya sekedar menjawab pertanyaan atau mendapatkan
jawaban yang benar. Model ini menuntut siswa
untuk melakukan serangkaian
investigasi, eksplorasi, pencarian, eksperimen, penelusuran dan penelitian.
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran inquiry
suatu rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan
siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis sehingga
mereka dapat merumuskan sendiri penemuan dengan penuh percaya diri.
Menurut Hartono (2013:61-62) salah satu strategi pembelajaran yang berpusat
pada
siswa adalah inkuiri. Inkuiri adalah startegi pembelajaran yang meransang, mengajarkan
dan mengajak siswa untuk berpikir kritis, analitis dan sistematis dalam
rangka
menemukan jawaban secara mandiri dari berbagai permasalahan yang diutarakan. Strategi
ini
merupakan
pembelajaran
yang
menuntut
keterlibatan
aktif
para
siswa
untuk
menyelidiki dan mencari melalui proses berpikir katif. Pihak yang punya banyak
aktivitas dalam strategi ini adalah siswa melalui proses mental. Siswa mempunyai
keleluasan
dan
kebebasan
untuk mengeksplorasi
seluruh
kemampuan
tanpa
harus
terbebani. Strategi ini juga menjadi bagian strategi yang dapat diterima oleh siswa.
Strategi ini focus pada siwa. Pihak yang berperan sebagai subjek pembelajaran adalah
siswa. Dalam proses pembelajaran ini, siswa tidak hanya berperan sebagai penerima
materi pembelajaran dari keterangan verbal seorang guru, melainkan juga berperan aktif
193
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
untuk menemukan sendiri makna substansi dari materi pembelajaran itu sendiri. Aktivitas
siswa diarahkan untuk menemukan sendiri makna dan substansi dari materi pembelajaran
itu sendiri. Aktivitas siswa diarahkan untuk menemukan jawaban dari suatu yang
dipertanyakan oleh guru. Guru hanya berperan sebagai fasilitator yang mengantarkan
pada permaslahan melalui pertanyaan.
Startegi pembelajaran inkuiri pada prinsipnya tak hanya mengajarrkan siswa untuk
memahami dan mendalami materi pembelajaran, tapi juga melatih kemampuan siswa
berpikir dengan baik. Siswa yang mempunyai kemampuan untuk menguasai materi
pembelajaran belum tentu bias mengembangkan proses berpikir secara benar, tapi siswa
yang sudah mempunyai kemampuan berpikir benar akan dengab mudah memahami
materi pembelajaran. Strategi ini ingin mengembangkan kemampuan menguasai materi
melalui proses berpikir yang baik.
Selain pemilihan model pembelajaran yang tepat, perolehan hasil belajar suatu kegiatan
pembelajaran yang dipengaruhi oleh kemampuan guru dalam mengenal dan memahami
karakteristik siswa. Seorang guru mampu mengenali karakteristik siswa akan dapat
membantu terselenggaranya proses pembelajaran secara
peningkatan
hasil
belajar
siswa. Seorang
guru
efektif yang memungkinkan
hendaknya
mampu
mengenal
dan
mengetahui karakteristik siswa akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan proses
belajar siswa. Apabila guru telah mengetahui karakteristik siswanya, maka selanjutnya
dapat menyesuaikan dengan model pembelajaran yang akan digunakan.
Proses pembelajaran dikatakan efektif apabila terjadi transfer belajar, yaitu materi
pelajaran yang disajikan oleh guru dapat diserap oleh struktur kognitif siswa. Siswa
dapat menguasai materi tersebut
tidak hanya terbatas pada tahap ingatan tanpa
pengertian (rote learning), tetapi diserap secara bermakna (meaningful learning). Agar
terjadi transfer belajar yang efektif, maka guru harus memperhatikan karakteristik setiap
siswa. Karakteristik adalah aspek-aspek yang ada dalam diri
siswa yang dapat
mempengaruhi prilakunya. Pembelajaran akan semakin efektif atau semakin berkualitas
bila proses belajar mengajar dilakukan sesuai dengan karakteristik siswa yang diajar.
Salah satu karakteristik siswa adalah gaya belajar siswa. Gaya belajar merupakan cara
yang khas dimiliki seseorang dalam belajar. Gaya belajar meliputi beberapa komponen,
antara lain : tipe belajar dan gaya kognitif (Rahman, 2008:454).
Rahman (2008:455) juga mengemukakan gaya kognitif adalah cara yang khas yang
digunakan seseorang dalam mengamati dan beraktivitas mental dibidang kognitif. Gaya
kognitif adalah suatu cara yang konsisten yang dilakukan oleh siswa dalam menangkap
stimulus atau informasi, cara mengingat berpikir dan memecahkan permasalahan. Dengan
194
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
kata lain setiap siswa memiliki cara yang relatif tetap atau konsisten dalam mengolah
informasi, berpikir dan mengingat.
Menurut Rahmatika (2014:64) gaya kognitif merupakan salah satu ide baru dalam kajian
psikologi perkembangan dan pendidikan. Ide ini berkembang pada penelitian bagaimana
individu menerima dan mengorganisasi informasi dari lingkungan sekitarnya. Sebagai
seorang guru haruslah mengerti
akan adanya keterkaitan antara kreativitas
yang
dihasilkan dari masing-masing gaya kognitif tersebut. Dari beberapa pendapat diatas dapat
disimpulkan bahwa gaya kognitif adalah gaya yang konsisten yang dimiliki oleh siswa
dalam belajar.
Gaya kognitif siswa perlu disesuaikan dengan gaya mengajar guru. Salah satu dimensi
gaya kognitif adalah Field Independent (FI) dan Field Dependent (FD). Gaya kognitif
FI Menurut Arends (Sulani, 2014:10) melihat bagian-bagian secara terpisah, memiliki
kemampuan analitis kuat, dan lebih memantau pemprosesan informasi dari pada
berhubungan dengan orang lain, sedangkan gaya kognitif FD menganggap situasi secara
keseluruhan, melihat gambaran masalah yang paling besar, impersonal, mementingkan
hubungan
disimpulkan
soaial
dan
bahwa
mengorganisasikan,
bekerja
gaya
baik
kognitif
merespon,
dalam
adalah
mengolah
kelompok. Dari
cara
setiap
informasi
dan
uraian
individu
tersebut
dalam
menyusunnya
dapat
menerima,
berdasarkan
pengalaman-pengalaman yang dialami berdasarkan kajian psikologis.
Husdarta (2010:24) mengemukakan gaya belajar kognitif dapat dibagi menjadi tiga
tipe
siswa dalam belajar. Ketiga tipe tersebut terdiri dari : (1) Field dependence dan Field
indepence, (2) impulsif dan reflektif, dan (3) preseptif/reseptif dan sistematis/intuitif.
Menurut Ngilawajan (2013:73) gaya kognitif merupakan cara seseorang memproses,
menyimpan maupun menggunakan informasi untuk menanggapi suatu tugas atau berbagai
jenis lingkungannya. Dalam penelitian ini, peneliti memilihi fokus pada tipe gaya
kognitif FI dan FD. Perbedaan mendasar dari kedua gaya kognitif tersebut yaitu dalam
hal bagaimana melihat suatu permasalahan. Berdasarkan beberapa penelitian dibidang
psikologi, ditemukan bahwa individu dengan gaya kognitif FI cenderung lebih analitis
dalam
melihat
suatu
masalah
dibandingkan
individu
dengan
gaya
kognitif
FD.
Karakteristik dasar dari kedua gaya kognitif tersebut sangat cocok untuk diterapkan
dalam penelitian yang melibatkan proses berpikir dalam pemecahan masalah matematika.
Selain itu karakteristik kedua gaya kognitif tersebut sesuai dengan kondisi banyak siswa
yang ditemui penulis dilapangan sehingga hal ini menjadi alasan bagi penulis untuk
memilih gaya kognitif FI dan FD sebagai fokus penelitian.
195
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Nasution (2015:95) menyatakan berdasarkan studi longitudinal yang dilakukan oleh H.
Witkin atas 1600 mahasiswa sejak tahun 1954 sampai 1970 ia menemukan test untuk
membedakan tipe-tipe gaya belajar para mahasiswa. Perta-tama akan dibicarakan beda
gaya belajar yang field dependent dan field independent. Witkin telah mengembangkan
suatu instrumen berupa gambar sederhana dalam suatu pola yang kompleks. Instrumen
yang dimaksud disebut
dengan istilah Group Embedded Figures Test (GEFT). Dengan
instrumen ini dapat diketahui jenis gaya kognitif siswa apakah
Berdasarkan
gaya FI atau FD.
fenomena tersebut, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang
Pengaruh model pembelajaran inquiry dan gaya kognitif siswa terhadap hasil belajar
matematika siswa di kelas VIII (Delapan) SMP Negeri 8 Kerinci.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian eksperimen semu dengan menerapkan
desain faktorial 2X2. Dimana faktor I : model pembelajaran inquiry dengan 2 jenis gaya
kognitif FI dan FD dan faktor II : model pembelajaran konvensional dengan dua gaya
kognitif yaitu gaya kognitif FI dan FD.
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan faktorial 3 X 2.
Adapun desainnya adalah sebagai berikut:
Tabel 3.1. Tabel rancangan penelitian
Gaya Kognitif
Model
Pembelajaran
Inquiry (A1)
Inquiry (A2)
Konvensional (A3)
Field
Independent
(B1)
A1 B1
A2 B1
A3B1
Field
Dependent
(B2)
A1 B2
A2 B2
A3B2
Keterangan :
A1B1 = Kelompok siswa dengan gaya kognitif FI yang diberi perlakuan
dengan Model inquiry.
A1B2 = Kelompok siswa dengan gaya kognitif FD yang diberi perlakuan
dengan Model inquiry.
A2B1 = Kelompok siswa dengan gaya kognitif FI yang diberi perlakuan
dengan Model inquiry.
A2b2 = Kelompok siswa dengan gaya kognitif FD yang diberi perlakuan
dengan Model inquiry.
A3B1 = Kelompok siswa dengan gaya kognitif FI yang diberi perlakuan
dengan Model Konvensional.
A3B2 = Kelompok siswa dengan gaya kognitif FD yang diberi perlakuan
dengan Model Konvensional.
Prosedur yang dilakukan dalam penelitian ini adalah :
196
pembelajaran
pembelajaran
pembelajaran
pembelajaran
pembelajaran
pembelajaran
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
a. Menentukan populasi;
b. Menentukan sampel secara purposive sampling, sampel dibagi menjadi 3 kelompok,
yaitu kelompok eksperimen satu, kelompok eksperimen dua dan kelompok kontrol.
c. Melakukan tes gaya kognitif siswa dengan menggunakan Group Embedded Figures
Test (GEFT). Setelah tes dialkukan siswa dikategorikan menjadi 2 kelompok yaitu
kelompok siswa dengan gaya kognitif FI dan kelompok siswa dengan gaya kognitif
FD.
d. Kelompok eksperimen diberikan pembelajaran dengan model pembelajaran inquiry, dan
kelompok kontrol diberikan model pembelajaran konvensional.
e. Melakukan tes prestasi belajar.
f. Melakukan tes analisis data untuk mengetahui perbedaan prestasi belajar siswa.
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai
kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan
kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas
VIII SMP Negeri 8 Kerinci tahun pelajaran 2015/2016.
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik
yang dimiliki populasi tersebut.
Pengambilan sampel dilakukan secara Total sampling
pada kelas VIII SMP Negeri 8
Kerinci. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah total
sampling. Total sampling adalah teknik penentuan sampel dengan mengambil seluruh
anggota populasi sebagai responden atau sampel (sugiyono, 2013). Dengan demikian,
maka peneliti mengambil sampel dari seluruh kelas VIII SMP Negeri 8 Kerinci.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Abidin, Y., 2014. Desain sistem pembelajaran dalam konteks kurikulum 2013. Bandung: Refika
aditama.
Husdarta, J. Y. M., 2013. Belajar dan pembelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan. Bandung:
ALFABETA.
Nasution, S., 2015. Berbagai pendekatan dalam proses belajar dan mengajar. Bandung: Bumi Aksara.
Ngilawajan, D. A., 2013. Proses berpikir siswa dalam memecahkan masalah matematika materi
turunan ditinjau dari gaya kognitif Field independent dan field dependent. Pedagogia, 2(1): 73-74.
Rahman, A., (2008). Analisis hasil belajar matematika berdasarkan perbedaan gaya kognitif secara
psikologis dan konseptual tempo pada siswa kelas X SMA Negeri 3 Makassar. Jurnal pendidikan dan
kebudayaan, 14(072) : 454-460.
Rahmatina, S., 2014. Tingkat berpikir kreatif siswa dalam menyelesaikan masalah matematika
berdasarkan gaya kognitif refleksif dan impulsif. Didaktik matematika, 1(1): 64.
Sugiyono, 2013. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung: ALFABETA.
197
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN ARCSI
DENGAN PENDEKATAN SAINTIFIK
Usmadi
Abstrak. Secara umum penelitian ini ingin menyumbang pengetahuan tentang suatu model pembelajaran
baru yang berlandaskan suatu strategi motivasi model ARCS( Attention, Relevance, Confidence,
Satisfaction ) yang digabungkan dengan nilai-nilai Islami untuk membentuk karakter Guru dan peserta
didik yang berbasis Alqur’an dan Hadist, sedangkan pendekatan pembelajaran menggunakan pendekatan
saintifik yang sesuai dengan tuntutan kurikulum 2013.
Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan yang bertujuan untuk memperoleh Model
Pembelajaran ARCSI dengan Pendekatan Saintifik yang memenuhi kriteria valid. Adapun langkah
pengembangan model pembelajaran ini adalah 1) Preliminary Research, 2) Prototyping , dan 3)
Assesment. Dengan mengikuti tahap pengembangan di atas diperoleh buku panduan tentang model
pembelajaran ARCSI dengan pendekatan saintifik beserta sistem pendukung yang memenuhi kriteria
valid.
Adapun sintak Model Pembelajaran ARCSI (Attention, Relevance, Confidence, Satisfaction, Islami )
dengan Pendekatan Saintifik adalah
(1) orientasi, (2) memfasilitasi peserta didik untuk melakukan
pengamatan, (3) merumuskan pertanyaan tentang fenomena yang diamati, (4) mengumpulkan informasi
untuk menjawab pertanyaan, (5) Diskusi kelompok untuk mengasosiasi/mengolah informasi, (6) diskusi
kelas untuk mengkomunikasikan/ mempresentasikan hasil diskusi kelompok, (7) konfirmasi (penguatan)
materi pembelajaran, (8) mereviu materi pembelajaran, dan (9) memberikan evaluasi dan tugas di rumah.
Sedangkan sistem pendukung dalam pengembangan model ini adalah buku pedoman kerja guru (PKG),
buku kerja peserta didik (PKPD) dan bahan ajar.
Kata Kunci: Strategi motivasi ARCS, nilai-nilai Islami, pendekatan saintifik, dan model pembelajaran
ARCSI
A. PENDAHULUAN
Harapan pendidikan nasional adalah agar peran guru dalam pendidikan di sekolah bisa secara
maksimal dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan, khususnya mutu proses dan hasil
pembelajaran. Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif,
inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta
memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat,
minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik ( PP Nomor 19 tahun 2005 Pasal
19).
Hal ini berarti proses pembelajaran yang diharapkan adalah pembelajaran yang
bermotivasi dan guru memiliki karakter Islami yang berbasiskan nilai-nilai luhur dalam
Alqur’an dan hadist Rasulullah Muhammad Saw.. Begitu pula tuntutan akan kebutuhan
pendidikan pada saat sekarang ini, siswa hendaknya mampu berpikir kritis dan mampu untuk
menemukan atau merekonstruksi
rumus-rumus matematika melalui pola metode ilmiah
(pendekatan saintifik).
Namun kenyataannya di lapangan (berdasarkan observasi bulan Februari 2016 dibeberapa SMP/
MTs di kabupaten Agam dan kota Bukittinggi),
198
ditemukan guru dalam proses pembelajaran
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
matematika di kelas masih tetap berpola tradisional,yakni proses pembelajaran matematika
masih cenderung berlangsung satu arah, yaitu dari guru ke siswa. Umumnya pola pembelajaran
pada setiap pertemuan yang diterapkan oleh guru adalah: menjelaskan materi ajar, memberikan
contoh-contoh aplikasi, memberikan latihan, dan di akhir pembelajaran guru memberikan
latihan di rumah. Nampak bahwa pola pembelajaran seperti itu menyebabkan siswa cenderung
bersifat pasif, para siswa tidak mampu untuk mengkomunikasikan gagasan- gagasan yang
mereka miliki, guru mendominasi kegiatan kelas, akibatnya daya nalar dan kreativitas siswa
kurang berkembang dengan semestinya.
Ini sejalan dengan pendapat Marpaung (2003) bahwa proses pembelajaran di sekolah pada
umumnya bersifat mekanistik, siswa tidak diberdayakan untuk berpikir, kemampuan yang
dikembangkan adalah kemampuan menghafal dan kemampuan kognitif tingkat rendah. Selama
ini terpatri kebiasaan
diajarkan
dengan urutan sajian pembelajaran matematika sebagai berikut: (1)
teori/definisi/teorema, (2) diberikan contoh-contoh, (3) diberikan latihan soal.
Pembelajaran tidak diawali dengan masalah yang terkait dengan kehidupan sehari- hari siswa
(Soedjadi, 2001). Akibatnya siswa menirukan saja apa yang diajarkan guru, tanpa terlibat aktif
menemukan rumus/pengertian.
Seharusnya, guru dalam proses pembelajaran dapat mengubah lingkungan pembelajaran agar
siswa dapat memotivasi dirinya sendiri (Keller: 1987b). Strategi motivasi ARCS (Attention,
Relevance, Confidence, Satisfaction ) merupakan salah satu model strategi motivasi yang
khusus untuk bidang pendidikan yang telah dikembangkan oleh Keller (1983) dan Keller dan
Kopp (1987: 2-9). Strategi motivasi model ARCS ini menekankan strategi dan desain bentuk
motivasi yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran dan bahan pengajaran.
Nilai- nilai Islami (berbasiskan Alqur’an dan Hadist) perlu diperkenalkan kepada guru, agar
seorang guru dalam melaksanakan proses pembelajaran hendaknya bisa mencontoh
pembelajaran yang dilakukan oleh Rasulullah Muhammad Saw. yakni beliau menggunakan hati
nurani dan perasaan yang tulus ketika mendidik orang lain, dan menggunakan segala waktu
beliau untuk mendidik semua orang (Elfindri, 2010; Ashori dkk.,2012).
Berdasarkan
uraian di atas, perlu kiranya dikembangkan suatu model pembelajaran yang
bermotivasi dan bernuansa Islami yang mengoptimalkan keaktifan siswa, sederhana, sistematik,
bermakna dan dapat digunakan oleh guru sebagai dasar untuk melaksanakan kegiatan
pembelajaran dengan baik. Model pembelajaran yang dikembangkan adalah model
pembelajaran ARCSI dengan pendekatan saintifik.
Model pembelajaran ARCSI dengan pendekatan saintifik yang dikembangkan memperhatikan
berbagai konsep teori belajar dan teori strategi motivasi model ARCS, dan dalam proses
pembelajaran diharapkan guru mengajar dengan mengaplikasikan nilai- nilai Islami yang
199
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
bersumber dari Alqur’an dan Hadist, serta menggunakan pendekatan saintifik.
Adapun
permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah “ Bagaimana proses dan hasil pengembangan
Model Pembelajaran ARCSI dengan Pendekatan Saintifik yang valid?
B. METODOLOGI PENELITIAN
Prosedur pengembangan dalam penelitian ini digunakan model desain pengembangan dari
Plomp (2013). Proses pengembangan dapat digambarkan dalam diagram alir seperti gambar
berikut ini.
Analisis Kurikulum
Analisis Konsep
Analisis Karakteristik Siswa
Analisis Buku Teks yang digunakan di lapangan
Preliminary
Research Phase
Tahap Prototype: Prototype 1
Self Evaluation
Expert Review
Tidak
Valid ?
Revisi
Ya
Prototype 2
Evaluasi Perorangan (one to one)
Development and
Prototyping
Phase
Revisi
Prototype 3
Evaluasi Kelompok Kecil
Revisi
Prototype 4
Revisitest)
Uji Lapangan (field
Analisis
Praktis?
Tidak
Revisi
Tahap Assesment: Produk Akhir
Efektif ?
Ya
200
Tidak
Revisi
Assesment
Phase
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Model dan Perangkat yang valid, praktis, dan efektif
untuk pembelajaran matematika
Gambar 5. Diagram Alir Model Pengembangan (dimodifikasi dari Model McKenny)
a. Fase Preliminary Research
Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini mengkaji: analisis kurikulum, analisis konsep, analisis
karakteristik siswa, dan analisis buku teks yang digunakan di lapangan.
b. Fase Prototipe (Development or Prototyping Phase)
Pada fase ini dirancang model pembelajaran ARCSI dengan pendekatan saintifik dengan
mengoptimalkan keaktifan siswa. Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini meliputi: (1)
merancang sintaks pembelajaran bermotivasi yang berdasarkan strategi motivasi model ARCS
dan guru dalam proses pembelajaran memiliki karakter nilai- nilai Islami dan pendekatan dalam
pembelajaran menggunakan pendekatan saintifik, (2) merancang lingkungan belajar atau sistem
sosial, yaitu situasi atau suasana dan norma yang berlaku dalam model tersebut, seperti peran
guru dan aktivitas yang harus dilakukan guru selama prose pembelajaran berlangsung, (3)
merancang prinsip reaksi, yaitu memberikan gambaran kepada guru bagaimana harus
memberikan
intervensi kepada siswa serta bagaimana memandang dan merespon setiap
perilaku yang ditunjukkan oleh siswa selama pembelajaran, (4) merancang sistem pendukung,
yaitu syarat/kondisi yang diperlukan agar model pembelajaran yang sedang dirancang dapat
terlaksana, seperti setting kelas, sistem instruksional, perangkat pembelajaran (seperti bahan
ajar, Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP), Lembar Kerja Kelompok Peserta Didik
(LKKPD) , dan Lembar Kerja Individu Peserta Didik (LKIPD)), fasilitas belajar, dan media
yang diperlukan dalam pembelajaran, (5) merancang dampak dari pembelajaran. Dampak disini
ada dua macam yaitu dampak instruksional dan dampak pengiring. Dampak instruksional
adalah dampak yang merupakan akibat langsung dari pembelajaran, seperti meningkatnya
motivasi belajar, dan hasil belajar matematika peserta didik, sedangkan dampak pengiring
adalah akibat tidak langsung dari pembelajaran, seperti sifat jujur, demokratis, inovatif,
kompetitif, bertaqwa, dan sebagainya. Hasil pada fase ini masih berupa ide-ide awal atau draf
awal (Prototipe 1).
c. Fase Penilaian (Assesment Phase)
Tahap ini difokuskan pada dua hal, yakni: (1) memvalidasi dan (2) mengadakan uji coba
lapangan prototipe 1 tentang model pembelajaran beserta sistem pendukung yang telah disusun.
Penelitian ini hanya difokuskan pada memvalidasi model beserta perangkatnya secara teoritis
dan uji coba terbatas. Produk yang akan diperoleh dalam penelitian ini adalah prototipe model
pembelajaran ARCSI dengan pendekatan saintifik yang memenuhi kriteria valid.
201
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Adapun kegiatan yang dilakukan pada tahap ini secara rinci adalah sebagai berikut.
1) Memvalidasi Model
Kegiatan yang dilakukan pada waktu memvalidasi model adalah sebagai berikut.
a) melakukan self evaluation dan meminta pertimbangan validator tentang kelayakan
prototipe model pembelajaran yang telah disusun. Untuk kegiatan ini diperlukan
instrumen berupa lembar validasi yang diserahkan kepada validator. Validator terdiri
dari ahli tentang pendidikan matematika, dan praktisi/guru.
b) Melakukan analisis terhadap hasil validasi dari validator. Jika hasil analisis
menunjukkan:
(1) valid tanpa revisi, maka kegiatan selanjutnya adalah uji coba lapangan.
(2) valid dengan revisi kecil, maka dilakukan revisi, setelah itu ujicoba lapangan
tentang keterbacaan perangkat secara terbatas. Berdasarkan analisis hasil ujicoba
terbatas dilakukan revisi, sehingga diperoleh prototipe 2. Setelah itu dilakukan
ujicoba lapangan dengan skala yang lebih besar.
(3) tidak valid, maka dilakukan revisi besar sehingga diperoleh
prototipe 2.
Kemudian kembali pada kegiatan (a), yaitu meminta pertimbangan ahli. Disini
ada kemungkinan terjadi siklus.
2)Jika hasil dari expert review menyatakan valid maka diperoleh prototipe 2 yang dievaluasi
melalui evaluasi orang perorang. Hasil evaluasi perorangan diperoleh prorotipe 3 yang
akan diujicobakan pada kelompok kecil.
3) Jika prototipe 3 selesai direvisi maka diperoleh prototipe 4. Prototipe 4 ini yang akan
diujicobakan di lapangan.
Uji coba terbatas dilakukan untuk melihat keterbacaan perangkat yang
dikembangkan,
respon siswa, dan ketuntasan hasil belajar secara klasikal.
Instrumen penelitian yang digunakan adalah lembar validasi buku pedoman
model
pembelajaran ARCSI dengan Pendekatan Saintifik, buku pedoman Kerja Guru (PKG),
buku pedoman kerja peserta didik (PKPD), bahan ajar, dan tes hasil belajar. Lembar
validasi ini bertujuan untuk memperoleh data tentang validitas model besera
perangkatnya dari ahli dan praktisi.
4) Kegiatan analisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
a) Melakukan rekapitulasi terhadap semua pernyataan dari validator ke dalam tabel yang
meliputi aspek, kriteria, dan hasil penilaian validator. Lalu mencari rerata hasil
validasi dari semua validator untuk setiap kriteria.
202
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
b) Mencari validitas tiap aspek (Va)
c) Mencari validitas rata-rata (VR)
d) Menentukan kategori kevalidan (secara teoretis) dengan mencocokkan rerata total
dengan kategori berikut.
4 ≤ Va < 5 → sangat valid
3 ≤ Va < 4 → valid
2 ≤ Va < 3 → kurang valid
1 ≤ Va < 2 → tidak valid
Keterangan:
Va = validitas rata-rata hasil penilaian ahli terhadap model pembelajaran untuk setiap
aspek model pembelajaran ARCSI dengan pendekatan saintifik dikatakan
memenuhi kriteria kevalidan apabila:
(i) nilai Va (validitas setiap aspek) model pembelajaran ARCSI dengan pendekatan
saintifik minimal berada dalam kategori valid, dan
(ii) nilai VR (validitas rata-rata) model pembelajaran ARCSI dengan pendekatan
saintifik minimal dalam kategori valid
5) Jika hasil validasi menunjukkan belum valid (secara teoretis) dan perlu revisi, maka
dilakukan revisi terhadap model pembelajaran yang sedang dikembangkan.
Revisi
tersebut dapat berakibat langsung terhadap perangkat pembelajaran yang sedang
dikembangkan.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. HASIL
Pengembangan Model Pembelajaran ARCSI dengan Pendekatan Saintifik ini mengikuti model
pengembangan yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, yaitu mengikuti tahap-tahap (1)
Fase Preliminary Research, (2) Development and Prototyping Phase, (3) Assesment Phase.
Adapun hasil pengembangan dari setiap tahap adalah sebagai berikut:
a. Fase Preliminary Research
Hasil dari Fase Preliminary Research adalah sebagai berikut.
1) Teori-teori belajar yang mendukung adalah teori konstruktivis, teori belajar
penemuan, teori belajar Piaget, dan teori Vygotsky.
203
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
2) Karakter guru yang memiliki nilai-nilai Islami yang bersumber dari oleh Al-Qur’an
dan Al-Hadist. Seperti guru dalam berkomunikasi, guru dalam bertindak dalam
proses pembelajaran menggunakan hati dan perasaan tulus ketika berhadapan
dengan orang lain.
3) Kondisi awal siswa SMP/MTs kelas VII sebagai tempat “ujicoba terbatas” sudah
pernah belajar diskusi kelompok namun belum terbiasa belajar matematika dengan
pendekatan saintifik. Suasana kelas VII SMP/ MTs cukup mendukung penerapan
model pembelajaran ARCSI dengan pendekatan Saintifik, karena satu kelas terdiri
atas 25-30 orang peserta didik.
Dari hasil kajian dan identifikasi tersebut di atas, diperoleh suatu gagasan awal
untuk
mengembangkan
Model
pembelajaran
Confidence, Satisfaction, Islami) yang
ARCSI
dikembangkan
(Attention,
Relevance,
mem-perhatikan berbagai
konsep teori belajar dan teori strategi motivasi model ARCS, dan dalam proses
pembelajaran diharapkan guru mengajar dengan mengaplikasikan nilai- nilai Islami
yang bersumber dari Alqur’an dan Hadist, serta menggunakan pendekatan saintifik.
Model ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam proses meningkatkan
motivasi peserta didik dalam proses pembelajaran dan hasil belajar matematika peserta
didik.
Proses pembelajaran matematika dengan
model pembelajaran ARCSI dengan
pendekatan saintifik ini akan membentuk kemampuan peserta didik dalam menyajikan
gagasan dan pengetahuan konkret secara abstrak, menyelesaikan permasalahan abstrak
yang terkait, dan berlatih berfikir rasional, kritis dan kreatif. Sebagai bagian dari
Kurikulum 2013 yang menekankan pentingnya keseimbangan kompetensi sikap,
pengetahuan dan keterampilan. Kemampuan matematika yang dituntut dibentuk
melalui pembelajaran berkelanjutan, yakni dimulai dengan meningkatkan pengetahuan
tentang metode-metode matematika, dilanjutkan dengan keterampilan menyajikan
suatu permasalahan secara matematis dan menyelesaikannya, serta bermuara pada
pembentukan sikap jujur, kritis, kreatif, teliti, dan taat aturan.
b. Hasil Development and Prototyping Phase
Pada tahap ini dirancang model Pembelajaran ARCSI dengan Pendekatan Saintifik.
Hasil yang diperoleh berupa sintak model Pembelajaran ARCSI dengan Pendekatan
Saintifik, yakni: (1) orientasi, (2) memfasilitasi peserta didik
untuk melakukan
pengamatan, (3)merumuskan pertanyaan tentang fenomena yang diamati, (4) mengumpulkan informasi untuk menjawab pertanyaan, (5) meng-asosiasi/mengolah
informasi, (6) diskusi kelas untuk meng-komunikasikan/mempresentasikan hasil
204
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
pemecahan masalah, (7) konfir-masi, (8) mereviu materi pembelajaran, (9) evaluasi
dan tugas di rumah. Sedangkan sistem pendukung model berupa Buku Model, Buku
Pedoman Kerja Guru (PKD), dan Buku Pedoman Kerja Peserta Didik (PKPD) Model
Pembelajaran ARCSI dengan Pendekatan Saintifik. Buku Pedoman Kerja Guru (PKD)
merupakan buku panduan untuk guru dalam mengelola proses pembelajaran yang
digariskan dalam bentuk Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Sedangkan buku
Pedoman Kerja Peserta Didik (PKPD) merupakan buku panduan tentang langkahlangkah proses pembelajaran yang akan dilakukan oleh peserta didik yang terdiri dari
Lembar Kerja Kelompok Peserta Didik (LKKPD) dan Lembar Kerja Individu Peserta
Didik
(LKIPD)
yang
disesuaikan
dengan
komponen
pembelajaran
model
pembelajaran ARCSI dengan pendekatan saintifik.
c. Fase Penilaian (Assesment Phase)
Pada penelitian ini baru dilaksanakan sampai fase kedua, sedangkan untuk fase
penilaian akan dilanjutkan dengan uji coba lapangan untuk melihat efektifitas dari
produk, yakni model pembelajaran ARCSI dengan pendekatan saintifik.
Berikut dijabarkan hasil pengembangan yang diperoleh, pembahasan, serta evaluasi
dan revisi yang dilakukan.
a. Hasil Validasi
Validasi para ahli bertujuan untuk melihat validitas isi (content validity).
Validasi dilakukan dengan memberikan prototipe 1 dari model pem-belajaran
beserta sistem pendukung. Validator diminta memberikan penilaian dan
komentar pada lembar validasi (lihat lampiran). Model pembelajaran ini dinilai
oleh 4 orang validator, yang terdiri dari tiga orang dosen dari Universitas
Negeri Padang, tiga dari dosen Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat,
empat dari guru mitra, dan dua puluh tiga orang dari guru muda alumni FKIP
Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat melalui focus group discussion
(FGD).
Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, maka model pembelajaran yang
dikembangkan termasuk dalam kategori valid karena memenuhi validitas
konstruk dan validitas isi. Dari hasil validasi, selain diperoleh data tentang
validitas konstruk dan validitas isi, juga diperoleh data tentang kepraktisan.
Data tentang kepraktisan yang diperoleh adalah pernyataan dari ahli dan praktisi
yang menyatakan bahwa model ini secara teoritis dapat dilaksanakan di kelas.
205
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Berdasarkan hasil validasi tersebut, diperoleh hasil bahwa secara teoretis model
yang dikembangkan dapat dilaksanakan di lapangan. Selain hasil validasi
tersebut, secara informal para praktisi juga menyatakan bahwa model tersebut
dapat dilaksanakan di lapangan. Selain memberikan validasi/penilaian, para
ahli juga memberikan saran yang konstruktif,diantaranya:
1) Cover dari sistem pendukung berupa buku Pedoman Model, buku Pedoman
Kerja Guru (PKG), dan buku Pedoman Kerja Peserta Didik (PKPD) harus
sinkron dengan keinginan Model yakni harus didesain lebih menarik lagi
agar siswa termotivasi untuk mempelajarinya.
2) Buku model dibagian pendahuluan hendaknya sudah mulai membahas
tentang strategi motivasi ARCS dan nilai-nilai karakter yang Islami yang
harus dimiliki oleh guru.
3) Sintak model pembelajaran ARCSI dengan pendekatan saintifik, harus jelas
sistem sosial yang diinginkan dalam penerapan model, yakni: (1) fasilitator,
(2) motivator, (3) mediator dan reflektor, dan (4) pembimbing dalam
kegiatan (diskusi). Sedangkan sistem sosial lain yang muncul adalah adanya
kerjasama dan saling membantu dalam memahami konsep-konsep materi
oleh peserta didik, adanya sikap tanggung jawab secara individual dan dalam
kelompok.
4) Lembar Kerja Peserta Didik ( PKKPD dan PKIPD) perlu ditambahkan
diketahui, ditanya, penyelesaian, dan simpulan untuk setiap LKKPD yang
ada. Untuk proses penyelesaian soal hendaknya diberikan ruang yang lebih
banyak agar siswa bisa langsung mengisi pada ruang tersebut. Kemudian
soal-soal yang ada pada LKKPD hendaknya harus beda dengan yang ada
pada bahan ajar atau buku teks siswa.
b. Hasil Ujicoba
Uji coba dilaksanakan pada tanggal 7-29 September 2016 di kelas VII SMP Negeri VII kota
Bukittinggi dan di kelas VII MTs Pondok Pesantren Diniyah Moderen Pasia Kabupaten Agam.
Uji coba dilakukan untuk memperoleh data tentang keterjelasan sintak model pembelajaran
ARCSI dengan pendekatan saintifik dengan deskripsi kegiatan guru, serta waktu yang
diperlukan untuk masing-masing kegiatan.
1) Prototipe model Pembelajaran ARCSI dengan Pendekatan Saintifik
Berdasarkan hasil uji coba, dilakukan beberapa kali perubahan prototipe dari model
pembelajaran adalah sebagai berikut.
206
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
a) Prototipe 1 Model Pembelajaran ARCSI dengan Pendekatan Saintifik
dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Sintak Model Pembelajaran ARCSI dengan Pendekatan Saintifik
Kegiatan
Pendahuluan
Langkah-langkah
Strategi
Model
ARCSI
1. Mengingatkan
kembali siswa
pada konsep yang
telah dipelajari.
Pendekatan
Saintifik Dalam
Pembelajaran
a. Guru mengingatkan kembali materi pelajaran yang
terkait dengan materi yang akan dipelajari dengan
teknik bertanya yang bervariasi
b.Menginformasikan
tujuan
pembelajaran
(menggunakan power point melalui media
Infocus).
c. Guru mengingatkan kembali materi pelajaran yang
terkait dengan materi yang akan dipelajari dengan
teknik bertanya yang bervariasi
d. Guru Memotivasi Siswa dengan cara memberikan
wawasan tentang manfaat materi yang akan
dipelajari dalam kehidupan sehari-hari dengan
menggunakan power point melalui media In-focus.
2. Menyampaikan
tujuan dan
manfaat
pembelajaran
dalam kehidupan
sehari- hari (R)
Inti
3.Menyampaikan
materi pelajaran
(R)
1. Mengamati
4. Menggunakan
contoh-contoh
yang konkrit (A
dan R)
2. Menanya
5. Memberi
bimbingan belajar
(R)
6. Memberi
kesempatan
kepada siswa
untuk
berpartisipasi
dalam
pembelajaran (C
dan S)
Aktivitas Guru
3. Mengumpulkan
Informasi.
e. Guru membagi siswa dalam kelompok belajar yang
heterogen, terdiri dari 4 atau 5 orang.
d. Guru membagikan bahan ajar, berupa Buku ajar,
LKS
f. Guru mengingatka siswa untuk belajar dengan
sungguh- sungguh. Karena hasil kerja akan sesuai
dengan usaha yang dilakukan.
a. Guru menayangkan bahan ajar dengan bervariasi dan
menyuruh siswa untuk membaca, mendengar,
menyimak, melihat (tanpa atau dengan alat).
b. Guru meminta siswa mengamati fenomena yang ada
pada bahan ajar dan atau pada LKS.
Guru memotivasi siswa untuk mengajukan pertanyaan
tentang informasi yang tidak dipahami dari apa yang
diamati atau pertanyaan untuk mendapatkan informasi
tambahan tentang apa yang diamati (dimulai dari
pertanyaan faktual sampai ke pertanyaan yang bersifat
hipotetik). Misalnya guru mengemukakan pertanyaan
atau masalah sehubungan dengan fenomena yang
diamati. Guru memberikan arahan seandainya siswa
masih bingung dengan pertanyaan yang akan
dirumuskan.
Guru meminta siswa mengumpulkan informasi untuk
menyelesaikan pertanyaan atau masalah yang sudah
dirumuskan dengan cara:
a. melakukan eksperimen
b. membaca sumber lain selain buku teks
c. mengamati objek/ kejadian/
d. aktivitas
e. wawancara dengan nara sumber
4. Mengasosiasi
Guru meminta siswa untuk berdiskusi (asosiasi) dalam
kelompok untuk menyelesaikan permasalahan yang
sudah dirumuskan, melalui:
a.Mengolah informasi yang sudah dikumpulkan baik
terbatas
dari
hasil
kegiatan
mengumpulkan/eksperimen mau pun hasil dari
kegiatan mengamati dan kegiatan mengumpulkan
informasi.
b.Pengolahan informasi yang dikumpulkan dari yang
bersifat menambah keluasan dan kedalaman sampai
kepada pengolahan informasi yang bersifat mencari
207
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
5.
Mengkomunikasikan
Penutup
7. Memberi umpan
balik (S)
8.
Menyimpulkan
setiap
materi
yang
telah
disampaikan di
akhir
pembelajaran (S)
1. Menyimpulkan
(Refleksi)
2.
Assesment
Autentik
3.
Memberikan
Tugas
di
Rumah
solusi dari berbagai sumber yang memiliki pendapat
yang berbeda sampai kepada yang bertentangan
Guru menyuruh siswa untuk menyampaikan hasil
pengamatan, kesimpulan berdasarkan hasil analisis
secara lisan, tertulis, atau media lainnya.
Misalnya Guru meminta siswa mempresentasikan hasil
diskusinya di depan kelas dengan penyajian yang
efektif dan variatif.
Guru memberi umpan balik (S)
Guru memandu siswa untuk menyimpulkan pelajaran
dengan meminta siswa
mengungkapkan ide-ide penting apa yang sudah
dipelajari. Diakhir pembelajaran (S)
Guru memberikan kuis
Guru memberikan tugas di rumah : membaca dan
mengerjakan latihan yang ada pada buku ajar.
b) Prototipe 2. Model Pembelajaran ARCSI dengan Pendekatan Saintifik
Prototipe 2. model pembelajaran ARCSI dengan pendekatan saintifik hasil revisi 1
setelah dilakukan uji coba terbatas di kelas VII MTs. PP Diniyah Pasia seperti Tabel 2
berikut ini.
Tabel 2. Sintak dan Deskripsi Prilaku Guru dalam Model Pembelajaran ARCSI dengan
Pendekatan Saintifik
Sintak
1. Orientasi
2. Memfasilitasi peserta didik untuk
melakukan pengamatan
3. Merumuskan per-tanyaan tentang
konsep/ fenomena/ permasalahan
yang diamati
4. Mengumpulkan infor-masi untuk
menjawab pertanyaan/ permasalahan dalam diskusi kelom-pok
Deskripsi Prilaku Guru
Guru mengkondisikan peserta didik untuk bersiap melaksanakan
kegiatan pembelajaran dengan cara:
a. Mengajak peserta didik bersyukur kepada Allah Swt. atau berdoa
b. Memotivasi peserta didik sehubungan dengan manfaat materi
pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari dan untuk belajar dengan
sungguh-sungguh
c. Melakukan Apersepsi dengan metode yang bervariasi
d. Menginformasikan materi dan tujuan pembelajaran
e. Menjelaskan proses pembelajaran dengan meng-gunakan model
pembelajaran ARCSI dengan pendekatan Saintifik
a. Menayangkan materi ajar dengan bervariasi untuk diamati peserta
didik
b. Membagikan/memberikan bahan ajar atau Lembar Kerja Peserta
Didik (LKPD).
c. Meminta peserta didik untuk mempelajari /mengamati bahan ajar
atau LKPD yang berisikan konsep/ fenomena/permasalahan
kontekstual sehari-hari peserta didik dengan waktu tertentu.
a.
Guru meminta peserta didik untuk merumuskan pertanyaan tentang
permasalahan atau fenomena pada LKPD.
b. Guru selalu berkeliling pada tiap kelompok untuk mengamati kerja
peserta didik dan memberikan bimbingan jika diperlukan.
c. Guru memberikan motivasi kepada peserta didik untuk selalu
berusaha menyelesaikan permasalahan dengan bersungguhsungguh.
a. Guru meminta peserta didik membaca buku sumber, bahan ajar atau
sumber belajar lainnya untuk mencari informasi yang dibutuhkan
dalam menjawab pertanyaan/ permasalahan.
b. Guru selalu energik dengan gaya yang menyenangkan untuk
membuat peserta didik selalu bersemangat.
c. Guru memperhatikan sikap peserta didik dalam berdiskusi
d. Guru meminta siswa untuk saling menghargai pendapat masingmasing.
e.
5. Mengasosiasi untuk mengolah
informasi
208
Guru perlu mengingatkan hasil kerja kelompok akan menjadi nilai
untuk masing- masing individu.
Guru meminta peserta didik dalam berdiskusi untuk mengolah/
menganalisis/ mengerjakan/ menjawab pertanyaan yang sudah
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
6. Diskusi Kelas
7. Konfirmasi
8. Mereviu materi pembelajaran
9. Evaluasi dan tugas di rumah
dirumuskan.
a. Guru meminta perwakilan kelompok untuk mempresentasikan hasil
diskusinya dengan tampilan yang kreatif.
b. Guru meminta kelompok lainnya memberikan apresiasi dan
tanggapan.
a. Guru memberikan penguatan dan umpan balik untuk memperjelas
konsep sesuai dengan materi pembelajaran.
b. Guru memberikan hadiah pada kelompok yang dapat menyelesaikan
permasalahan dengan benar.
a. Guru meminta dan membimbing peserta didik menyimpulkan
materi pembelajaran
b. Guru menayangkan kesimpulan materi pembelajaran dengan
tampilan yang bervariasi dan menarik.
a. Guru memberikan evaluasi dengan memberikan Lembar Kerja
Individu Peserta Didik (LKIPD)
b. Guru Meminta peserta didik mempelajari dan meringkas materi
pembelajaran berikutnya.
c. Guru menutup pembelajaran dengan meminta peserta didik
mengucapkan Alhamdulillah dan mengucapkan salam tanda proses
pembelajaran sudah berakhir.
c. Sintak model pembelajaran ARCSI dengan Pendekatan Saintifik setelah revisi 2 dapat
dilihat pada tabel 3 berikut ini.
Tabel 3. Sintak Model Pembelajaran ARCSI dengan Pendekatan Saintifik
Sintak Model
1. Orientasi
Aktivitas Guru
a. Mengucapkan salam, mengkondisikan kelas dan
mengajak siswa untuk bersyukur atas rahmat yang
Allah Swt. telah berikan/ berdoa.
b. Memotivasi Peserta didik:
1) Menjelaskan/ menayangkan manfaat materi harga
penjualan, pembelian, untung dan rugi bermanfaat
dalam menyelesaikan soal-soal kontekstual dalam
kehidupan sehari-hari dengan menggunakan media
In-focus. (R2.1)
2) Mengingatkan peserta didik untuk belajar dengan
sungguh- sungguh karena hasil kerja akan sesuai
dengan usaha yang dilakukan.
c. Mengadakan Apersepsi
1) Melakukan tanya jawab (A3.6)
a) Apa yang kamu ketahui tentang keuntungan?
b) Apa yang kamu ketahui tentang kerugian?
2) Menanyakan hubungan pembelajaran dengan tujuan
masa mendatang secara kontekstual. (R3.2)
d. Menginformasikan materi ajar dan tujuan pembelajaran
dengan menggunakan media In-focus. (A2.1 dan C1.1)
e. Menjelaskan tata cara proses pembelajaran dengan
penerapan model ARCSI dengan pendekatan
saintifik. (A3.2) (disesuaikan dengan RPP)
f.Membagi peserta didik dalam kelompok belajar yang
heterogen, terdiri dari 2 sampai 3 orang. (A3.6)
209
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
2. Memfasilitasi peserta a. Menayangkan materi ajar untuk diamati oleh peserta
didik yang ada pada LKPD-1 dengan media yang
didik untuk melakukan
bervariasi (A3.3) (A3.4) misalnya melalui media in
pengamatan
3.
Merumuskan
pertanyaan
tentang
fenomena yang diamati.
focus (C2.1)
b.Membagikan bahan ajar dan LKPD (Pokok Bahasan:
Nilai suatu barang, harga penjualan, pembelian, untung
dan rugi ) kepada peserta didik (C4.1)
c. Meminta peserta didik mengamati fenomena yang ada
pada bahan ajar, dan atau pada LKPD. (A5.1)
a. Memotivasi peserta didik untuk mengajukan pertanyaan.
b. Mengarahkan peserta didik untuk merumuskan
pertanyaan terkait dengan masalah yang diperoleh pada
fenomena yang diamati dan menentukan alternatif
jawabannya. (C3.3)
c. Memberikan bimbingan untuk merumuskan pertanyaan
dan menentukan alternatif jawabannya. (S3.2)
4.
Mengumpulkan a.Guru
meminta
peserta
didik
untuk
informasi
untuk
mencoba/mengerjakan/ mengumpulkan infor-masi
menjawab pertanyaan
untuk menyelesaikan pertanyaan atau masalah yang
sudah dirumuskan.
b.Mengarahkan peserta didik untuk meman-faatkan
sumber-sumber belajar (C5.1) dengan cara:
1) Membaca sumber lain selain bahan ajar/ buku
teks
2) Mengamati objek/ kejadian secara kontekstual.
c. Memberikan dukungan kepada peserta didik untuk
selalu menuntaskan tugas (S1.2)
5.
Mengasosiasi/
mengolah informasi.
Meminta peserta didik mengasosiasi untuk
mengolah/menganalisis/mengerjakan/ menjawab
pertanyaan dan menyelesaikan permasalahan yang
sudah dirumuskan, (S1.3) (A3.6) dan ( A3.2)
masing-masing
kelompok
untuk
6. Diskusi kelas untuk a. Meminta
mempresentasikan hasil diskusi dan kelompok lainnya
mengkomu-nikasikan
memberikan apresiasi dan tanggapan (S3.1).
/mem-presentasikan hasil
b.
Memberikan Hadiah (S2.2)
diskusi kelom-pok.
7. Konfirmasi (penguatan)
materi pembelajaran
8.
Mereviu
pembelajaran.
materi
9. Memberikan evaluasi dan
tugas di rumah.
Guru memberikan penguatan dan umpan balik untuk
memperjelas konsep sesuai dengan materi pembelajaran
(S3.3)
Memandu peserta didik untuk menyimpulkan pelajaran
dengan meminta peserta didik mengungkapkan ide-ide
penting apa yang sudah dipelajari (S5.2)
1. Memberikan evaluasi melalui LKIPD-1. (S1.1)
2. Memberikan tugas di rumah
a. Membaca dan meringkas materi berikutnya tentang
memahami Persentase Keuntungan / Kerugian.
b. Mengerjakan (latihan pada buku siswa )
3. Mengajak peserta didik mengucapkan Hamdallah tanda
proses pembelajaran sudah berakhir.
2. PEMBAHASAN
Untuk mengembangkan model pembelajaran beserta perangkatnya perlu diikuti tahap-tahap
pengembangan yang dikemukakan oleh Plomp (2013) agar model yang dikembangkan terukur
210
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
kualitasnya. Salah satu tahapnya evaluasi formatif untuk melakukan uji validitas melalui expert
validity, focus group discussion, dan field test. Berikutnya tahap revisi berdasarkan evaluasi
formatif. Pada tahap ini peneliti meminta validator memeriksa model beserta perangkatnya
dengan menggunakan lembar validasi. Agar peneliti dapat memahami komentar tertulis
tersebut, maka peneliti perlu meminta penjelasan lisan dari validator. Bahkan peneliti
melakukan suatu lokakarya dengan validator, seperti terlihat pada gambar berikut:
Gambar 1. FGD dalam bentuk Loka
Karya
Walaupun pada pelaporan pertama ini, penelitian ini hanya terfokus kepada fase development
and prototyping phase. uji lapangan di kelas perlu dilakukan agar peneliti dapat memperoleh
ide-ide perbaikan tentang sintak model maupun perangkatnya. Pada gambar berikut terlihat guru
sedang melakukan ujicoba penerapan model pembelajaran ARCSI dengan pendekatan saintifik
di kelas VII SMP/MTs.
Gambar 1. Uji coba di SMP N 7 Kota
Bukittinggi
Gambar 1. Uji coba di MTs. PP Diniyah
Pasia
211
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Berdasarkan proses di atas, maka pada tahap awal ini diperoleh model pembelajaran beserta
perangkat yang valid. Tahap berikutnya model dan perangkat ini akan diujicobakan pada skala
yang lebih luas untuk mengetahui kepraktisan dan keefektifannya. Peneliti juga akan
mengembangkan perangkat pembelajaran untuk satu semester yakni kelas VII semester 2
SMP/MTs.
C. PENUTUP
Berdasarkan hasil dan pembahasan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut.
a. Model Pembelajaran ARCSI dikembangkan melalui tahap-tahap yang dikemukakan oleh
Plomp (2013) adalah mengikuti langkah-langkah:
1) Preliminary
research:Analisis
kebutuhan
dan
konteks,
kajian
literatur,
mengembangkan kerangka konseptual dan teoritis untuk penelitian.
2) Prototyping stage : Proses perancangan secara siklikal dan berurutan dalam bentuk
proses penelitian yang lebih mikro serta menggunakan evaluasi formatif untuk
meningkatkan dan memperbaiki model intervensi.
3) Assessment phase : Semi evaluasi sumatif untuk menyimpulkan apakah solusi atau
intervensi sudah sesuai dengan diinginkan serta
mengajukan rekomendasi
pengembangan model intervensi.
b. Hasil yang diperoleh dari pengembangan ini adalah sebagai berikut.
1) Buku pedoman model ARCSI dengan pendekatan saintifik dengan sintak model
adalah
2) Berdasarkan evaluasi formatif , model ini telah memenuhi kriteria valid
3) Sistem pendukung dari model pembelajaran ARCSI dengan pendekatan Saintifik yang
terdiri atas (a) buku pedoman kerja guru (PKG) yang berisi Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP), pedoman kerja guru (PKG), pedoman kerja peserta didik
(PKPD),
(b) buku pedoman kerja peserta didik (PKPD) yang terdiri dari pedoman
kerja kelompok peserta didik (PKKPD) dan pedoman kerja individu peserta didik
(PKIPD).
4) Berdasarkan evaluasi formatif, sistem pendukung model ini telah memenuhi kriteria
valid.
Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas disarankan hal-hal berikut.
212
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
a. Untuk menerapkan model pembelajaran ARCSI dengan pendekatan saintifik dibutuhkan
guru yang mempunyai wawasan keilmuan, strategi motivasi ARCS, dan berkarakter
Islami, serta energik dan bersemangat dalam proses pembelajaran.
b. Guru dalam mengaplikasikan model pembelajaran ARCSI dengan pendekatan saintifik
hendaknya benar-benar memperhatikan sintak pembelajaran yang telah dirumuskan.
c. Untuk mendapatkan model pembelajaran beserta perangkat yang berkualitas,
validasi ahli secara teoritis belum cukup. Oleh karena itu peneliti perlu melanjutkan
ujicoba tahap kedua yaitu melakukan tahap assesment yakni tahap evaluasi sumatif yakni
menilai apakah pengguna di lapangan dapat menggunakan produk dan berkeinginan
untuk mengaplikasikannya dalam pembelajaran matematika, serta menguji apakah produk
efektif.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
Ashari, Budi dan Sembodo,Ilham M. 2012. Modul Kuttab. Jakarta. Al-Fatih Pilar Peradaban.
Baker, S. R. 2004). Intrinsic, extrinsic, and a motivational orientations: Their role in university
adjustment, stress, well-being, and subsequent academic performance. Current Psychology:
Developmental, Learning, Personality and Social 23(3), 189-202.
Bandura, A. 1977. Self efficacy: Toward a unifying theory of behavioral change. Psychological
Review, 84, 191-215.
Barry, M. & Pitt, I. 2006. Interaction design: a multidimensional approach for learners with autism.
Prosiding konferens Interaction design and children 2006, Tampere Finland, 33-36.
Bushro A. & Halimah B. Z. 2005. Pembinaan perisian adaptif multimedia dalam meningkatkan
motivasi pelajar berasaskan teori Kecerdasan Pelbagai. Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi
Selangor.
Bloom, Benyamin S. 1980. Human Characteristics young School learning. New York: McGraw-Hill
Book Company.
Duffy, T.M. & Jonasse, D.H. 1991. Constructivisme: New implications for instructional technology?
Educational Technology, 31(5), 7-12.
Hardre, P. 2001. Designing effective learning environments for continuing education.
PerformanceImprovement Quarterly 14(3), 43-74.
Hyland, P. 2006. A case study of online assessment for basic mathematics to motivate learners and
enhance learning. http://www.pi.ac.ae/ metsmac /proceedings /2006/ Hyland-P-METSMaC 2006.
pdf. [15 Agustus 2015].
Keller, J. M. & Suzuki, K. 1988. Use of the ARCS motivation model in courseware design. Dlm.
Jonassen, D. H. (pnyt.). Instructional Designs for Microcomputer Courseware, Lawrence Erlbaum
Associates, Hillsdale NJ, 401- 434.
Keller, J. M. 1979. Motivation and instructional design: A theoretical perspective. Journal of
Instructional Development 2(4), 26-34.
Keller, J. M. 1983b. Motivational design of instruction. Dlm. Reigeluth, C. M. (pnyt.). Instructional
design theories and models: An overview of the current status. Hillsdale, New Jersey, Lawrence
Erlbaum Associates, Inc., 383-434.
Keller, J. M. 1984. The use of the ARCS model of motivation in teacher training. Dlm. Shaw, K.
(pnyt.). Aspects of educational technology: Staff development and career updating, Nichols, New
York NY, 140-145.
Keller, J. M. 1987a. Development and use of the ARCS model of motivational design. Journal of
Instructional Development 10(3), 2-10.
Keller, J. M. 1987b. Strategies for stimulating the motivation to learn. Performance and Instruction
Journal 26(8), 1-7.
Keller, J. M. 1987c. The systematic process of motivational design. Performance and Instruction
Journal 25(7), 1-8.
213
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
17. Keller, J.M. Motivational design of instruction. 1983a In C.M. Reigeluth (Ed.), Instructional design
theories and models. (pp. 383-433). New York: Lawrence Erlbaum Associates.
18. McClelland, D.C. 1985. The Achieving Society. New York: Irvington.
19. Means, T. B., Jonassen, D.H. & Dwyer, F. M. 1997. Enhancing relevance. Embedded ARCS
strategies vs. purpose. Educational Technology, Research & Development 45, 5-17.
20. Mills, R. J. 2004. Kids CollegeTM 2004: An Implementation of the ARCS Model of Motivational
Design. Utah State University.
21. Nor Hasbiah Ubaidullah. 2007. Perisian kursus multimedia dalam literasi matematik (D-Matematika)
untuk pelajar disleksia. Tesis Doktor Filsafah Fakulti Teknologi & Sains Maklumat, Universiti
Kebangsaan Malaysia.
22. Plomp, T. 2013. Educational Design Research : An Introduction, in An Introduction to Educational
Research. Enschede, Netherland : National Institute for Curriculum Development
23. Popovich, N. G. & Wongwiwatthanannukit, S. 2000. Applying the ARCS Model of motivational
design to pharmaceutical education. American Journal of Pharmaceutical Education 64, 188-196.
24. Prosiding. 2015. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika STKIP PGRI Sumatera
Barat. Halaman 52- 59; 89-96; 214-218.
25. Santrock, John W. 2010 Educational Psychologi, Ed. 2.dialih bahasakan oleh Tri Wibowo B.S.,
Psikologi Pendidikan (Jakarta: Kencana 2010).
26. Shellnut, B., Knowlton, A. & Savage, T. 1999. Applying the ARCS model to the design and
development of computer-based modules for manufacturing engineering courses. Educational
Technology, Research and Development 47, 100-110.
27. Small, R. 2000. Motivation in instructional design. Teacher Librarian 27(5), 29-31.
28. Song, S. H. & Keller, J. M. 2001. Effectiveness of motivationally adaptive computer-assisted
instruction on the dynamic aspects of motivation. Educational Technology, Research and
Development 49, 5-22.
29. Sopah, D. 2008. Pengembangan dan penggunaan model pembelajaran ARIAS. Laporan penelitian.
Tersedia pada www.depdiknas.go.id. Didownload tanggal 4 November 2014.
30. Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Dharma
Bhakti.
31. Visser, J. & Keller, J. M. 1990. The clinical use of motivational message: An inquiry into the validity
of the ARCS model of motivational design. Instruct. Science, 19, 2011, 467-599.
32. Wlodkowski, Raymond J. dan Jaynes, Judith H. (1981). Enhancing adult motivation to lear. San
Francisco; Jossey- Bass Publisher.
214
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF
DISERTAI MAKE A MATCH TERHADAP PEMAHAMAN
KONSEP MATEMATIS SISWA KELAS X SMAN 4
SIJUNJUNG TAHUN PELAJARAN 2015/2016
Vivi Afdarni1, Villia Anggraini2, Siskha Handayani3
1,2,3
STKIP PGRI Sumatera Barat, Jl. Gunung Pangilun, Padang
1
[email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pemahaman konsep matematis siswa yang masih rendah.
Hal ini disebabkan karena siswa kurang aktif dalam pembelajaran dan siswa yang berkemampuan tinggi
kurang mau berbagi pengetahuan dengan siswa yang lain. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
apakah model pembelajaran kooperatif disertai Make a Match berpengaruh terhadap pemahaman konsep
matematis siswa kelas X SMA N 4 Sijunjung. Jenis penelitian adalah penelitian pra eksperimen dengan
rancangan The One Shot Case Study dan teknik analisis data regresi linier sederhana. Populasinya adalah
seluruh siswa kelas X SMA N 4 Sijunjung Tahun Pelajaran 2015/2016. Teknik pengambilan sampel
dilakukan secara acak. Sampel pada penelitian ini terpilih kelas X1. Instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini adalah tes akhir pemahaman konsep yang berbentuk esai dengan reliabilitas tes r11= 0,8892.
Berdasarkan analisis data menunjukkan bahwa terdapat pengaruh model pembelajaran kooperatif disertai
Make a Match terhadap pemahaman konsep siswa kelas X SMA N 4 Sijunjung. Interpretasi koefisien
penentu (determinasi) pemahaman konsep 78,67% dipengaruhi oleh model pembelajaran kooperatif
disertai Make a Match, yang artinya terjadi hubungan yang cukup positif atau terjadi hubungan yang
searah antara model pembelajaran kooperatif disertai Make a Match terhadap pemahaman konsep
matematika siswa.
Kata kunci: Pembelajaran Kooperatif, Make a Match, Pemahaman Konsep
A. PENDAHULUAN
Berdasarkan peranan matematika, terdapat beberapa aspek kemampuan matematis yang harus
dikuasai siswa. Menurut Depdiknas (2004) dalam Shadiq (2009: 13) “aspek kemampuan yang
harus dikuasai oleh siswa dalam mempelajari matematika yaitu pemahaman konsep, penalaran
dan komunikasi, serta pemecahan masalah”. Berdasarkan kutipan tersebut, salah satu
kemampuan yang harus dikuasai siswa adalah pemahaman konsep. Pemahaman konsep sangat
penting bagi siswa dalam mempelajari matematika.
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan di SMAN 4 Sijunjung pada tanggal 26 sampai 29
Agustus 2015 pada kelas X, diperoleh gambaran bahwa pembelajaran masih terpusat pada guru.
Aktivitas siswa hanya diam, mencatat dan menerima apa yang disampaikan guru. Siswa tidak
memanfaatkan kesempatan untuk bertanya kepada guru terkait materi yang tidak dipahami
sewaktu guru memberikan kesempatan untuk bertanya. Aktivitas siswa ketika diberi soal
latihan, siswa kurang bertanggung jawab dalam menyelesaikannya. Siswa juga malu bertanya
215
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
dan kurang berani mengeluarkan pendapat ketika kesulitan dalam menjawab soal latihan yang
diberikan guru.
Upaya yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan di atas adalah dengan menerapkan model
pembelajaran kooperatif disertai Make a Match. Model Pembelajaran kooperatif memberi
kesempatan kepada siswa untuk berpartisipasi, bekerja sama dan berbagi informasi dalam
kelompok. Menurut Trianto (2009: 58) pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan partisipasi
siswa, memfasilitasi siswa untuk membuat keputusan dalam kelompok, serta memberikan
kesempatan pada siswa untuk berinteraksi dan belajar bersama-sama yang berbeda latar
belakangnya. Pembelajaran Kooperatif akan lebih baik apabila disertai Make a Match. Make a
Match menuntun siswa untuk aktif dan belajar sambil bermain dengan menguasai konsep yang
telah dipelajari. Pendapat Lie (2010: 55) menyatakan Make a Match memiliki keunggulan yaitu
siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep dalam suasana yang
menyenangkan. Hal ini diharapkan agar siswa yang memiliki kemampuan tinggi dapat berbagi
informasi dengan siswa yang lainnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah model pembelajaran kooperatif disertai Make
a Match berpengaruh terhadap pemahaman konsep matematis siswa kelas X SMA N 4
Sijunjung.
Penelitian yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian yang telah
dilakukan oleh Neza Nurvatjri (2014) dengan judul “Pengaruh Penerapan Pembelajaran
Kooperatif Tipe Make a Match Terhadap Pemahaman Konsep Matematis Siswa Kelas XI IPA
SMA Adabiah Padang. Kesimpulan yang diperoleh pada penelitian ini adalah kemampuan
pemahaman konsep matematis siswa dengan menggunakan pembelajaran kooperatif Make a
Match lebih baik daripada pembelajaran konvensional. Perbedaan dengan penelitian Neza
Nurvatjri adalah penelitian ini melaksanakan Make a Match pada tahap evaluasi, sedangkan
penelitian Neza Nurvatjri melaksanakan Make a Match pada tahap membimbing kelompok
belajar. Penelitian ini membentuk kelompok yang beranggotakan enam orang, sedangkan
penelitian Neza Nurvatjri membentuk dua kelompok besar kemudian dibagi lagi menjadi dua
kelompok kecil. Penelitian ini menambahkan pembelajaran kooperatif sebagai model
pembelajaran sedangkan pada penelitian Neza Nurvatjri tidak dilakukan. Penelitian ini melihat
gambaran pengaruh model pembelajaran kooperatif disertai Make a Match dengan pemahaman
konsep matematis siswa kelas X SMA N 4 Sijunjung.
Hipotesis penelitian ini adalah: “Model pembelajaran kooperatif disertai Make a Match
berpengaruh terhadap pemahaman konsep matematis siswa kelas X SMA N 4 Sijunjung.”
216
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
B. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian pra eksperimen dengan rancangan penelitian The One Shot
Case Study. Penelitian ini dilaksanakan pada semester II mulai dari tanggal 13 sampai 28
Januari 2016 di SMAN 4 Sijunjung. Populasi penelitian adalah seluruh siswa kelas X SMAN 4
Sijunjung dan sampel yang terpilih adalah kelas X.1.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes akhir pemahaman konsep yang
berbentuk essay. Sebelum diadakan tes akhir dilakukan uji coba tes di kelas X SMAN 12
Sijunjung pada tanggal 23 Januari 2016. Hasil uji coba tes menunjukkan soal nomor 1, 2, 4 dan
5 diterima dan soal nomor 3 diterima tetapi perlu diperbaiki dengan reliabilitas 0,8892.
Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis data regresi linier sederhana. Sebelum
menganalisis data hasil penelitian terlebih dahulu dilakukan uji normalitas menggunakan uji
Liliefors yang berpedoman pada Sudjana, (2005: 466-467 dan 249), selanjutnya uji analisis
regresi linier sederhana yang berpedoman pada Sembiring (1995: 38-48).
C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Deskripsi data hasil belajar matematika siswa dapa dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Analisis Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas Sampel
Kelas
S
Sampel 73,14 18,13
100
47
≥ 75 < 75
10
12
Tabel 1. terlihat bahwa dari 22 orang siswa yang mengikuti tes akhir, terdapat 10 orang siswa
yang memperoleh nilai lebih atau sama dengan KKM yang telah ditetapkan sekolah. Artinya 10
orang dikatakan tuntas. Sedangkan 12 orang siswa lainnya memperoleh nilai dibawah KKM dan
mereka dikatakan belum tuntas.
Tabel 2. Analisis Latihan Matematika Siswa Tiap Pertemuan
Pertemuan
Rata-rata
I
69,53
II
72,85
III
75,67
IV
76,11
Hasil
73,54
Tabel 2. Terlihat bahwa rata-rata setiap pertemuan mengalami peningkatan. Artinya terdapat
pengaruh model pembelajaran kooperatif disertai Make a Match pada pembelajaran matematika.
Berdasarkan hasil pengujian teknik analisis data dengan uji analisis regresi, diperoleh F
69,39 dan F
=
= 3,14 dengan Fhitung > Ftabel maka H0 ditolak dan interpretasi koefisien
penentu (determinasi) pemahaman konsep 78,67% dipengaruhi oleh model pembelajaran
kooperatif disertai Make a Match, yang artinya terjadi hubungan yang cukup positif atau terjadi
hubungan yang searah antara model pembelajaran kooperatif disertai Make a Match terhadap
pemahaman konsep matematika siswa.
217
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
D. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa terdapat
pengaruh model pembelajaran kooperatif disertai Make a Match terhadap pemahaman konsep
siswa kelas X SMA N 4 Sijunjung. Interpretasi koefisien penentu (determinasi) pemahaman
konsep 78,67% dipengaruhi oleh model pembelajaran kooperatif disertai Make a Match, yang
artinya terjadi hubungan yang cukup positif atau terjadi hubungan yang searah antara model
pembelajaran kooperatif disertai Make a Match terhadap pemahaman konsep matematika siswa.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
Lie, Anita. 2010. Mempraktekkan Cooperative Learning Di Ruang-ruang Kelas. Jakarta: Grasindo.
Sembiring. (1995). Analisis Regresi. Bandung: ITB
Shadiq, Fadjar. 2009. Kemahiran Matematika. Yogyakarta: Depdiknas.
Sudjana. 2005. Metode Statistika. Bandung: Tarsito.
Trianto. (2009). Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka.
218
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
PENGEMBANGAN BAHAN AJAR PEMBELAJARAN
MATEMATIKA
BERBASIS KONSTRUKTIVISME BUDAYA DAERAH
BUDAYA DAERAH UNTUK MADRASAH
Yusmarni1, Hendra Bestari2
1,2)
Mahasiswa S3 UNP/ Dosen Pendidikan Matematika, IAIN STS Jambi
[email protected]
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan Bahan Ajar Pembelajaran Matematika berbasi
Konstruktivisme Budaya Daerah yang memenuhi aspek validitas, praktikalitas serta efektifitas untuk
Madrasah. Penelitian ini adalah termasuk pada educational design research dengan jenis development
studies dengan menggunakan disain pengembangan Plomp (2013:19) yang memiliki tiga tahap atau fase,
yaitu: 1) Penelitian Pendahuluan (Preliminary Research) 2). Tahap Prototype (Development or
Prototyping Phase) 3). Tahap Penilaian (Assesment Phase). Sumber data yang diperoleh dari praktek
pembelajaran, tes, informan, peristiwa dan dokumen. Informan dalam penelitian ini adalah Wakil Kepala
sekolah, guru-guru matematika dan siswa. Peristiwa dalam penelitian ini dapat menimbulkan keberanian
berargumen dan memecahkan masalah matematis sedangkan dokumen yang dimaksud adalah dokumen
yang berkaitan dengan hasil tes, catatan-catatan, foto yang berkaitan dengan pembelajaran. Hasil
penelitian dapat dikemukakan berikut ini: dalam mata pelajaran matematika siswa kelas X MAL
Kota Jambi dalam hal pemecahan masalah matematis masih rendah, bahan ajar yang diterapkan
dalam pembelajaran matematika di MAL perlu pengembangan, setelah dilakukan praktikalitas awal
(enam kali pertemuan) disertakan dengan tes kemampuan awal dan postest ternyata modul ini bisa
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.
Kata Kunci: Design research, Konstruktivisme Budaya Daerah, Bahan Ajar Matematika, Pemecahan
Masalah Matematis
A. PENDAHULUAN
Pendekatan
Konstruktivisme
Budaya
Daerah
merupakan
proses
pembelajaran
yang
menerangkan bagaimana pengetahuan disusun dalam pemikiran siswa. Pengetahuan
dikembangkan secara aktif oleh siswa itu sendiri dan tidak diterima secara pasif dari orang
disekitarnya. Hal ini bermakna bahwa pembelajaran merupakan hasil dari usaha siswa itu
sendiri dan bukan hanya ditransfer dari guru kepada siswa. Hal tersebut berarti siswa tidak lagi
berpegang pada konsep pengajaran dan pembelajaran yang
lama, dimana guru hanya
menuangkan atau mentransfer ilmu kepada siswa tanpa adanya usaha terlebih dahulu dari siswa
itu sendiri.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas terlihat bahwa dalam pembelajaran matematika di
Indonesia masih ada guru yang menggunakan pola pembelajaran yang cenderung sama dari
tahun ke tahun. Perubahan kurikulum tidak memberikan dampak dari perubahan materi ajar,
metode, rancangan dan strategi pembelajaran.Kompetensi tertentu sebagai tujuan pembelajaran
kebanyakan masih terbatas pada ranah kognitif dan psikomotor tingkat rendah. Pembelajaran
219
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
matematika masih menggunakan pembelajaran langsung. Pembelajaran langsung dipandang
sebagai metode yang efektif dalam pencapaian tujuan pembelajaran tingkat rendah atau
pemahaman prosedural, namun tidak berkontribusi pada kemampuan matematis tingkat tinggi.
Proses pembelajaran matematika pada umumnya terbatas pada memberikan pengetahuan
hafalan, dan kurang menekankan pada aspek kognitif yang tinggi, seperti ketajaman daya
analisis dan evaluasi, berkembangnya kreativitas, pemecahan masalah, kemandirian belajar, dan
berkembangnya aspek-aspek afektif. Siswa bersikap pasif dan pengetahuan yang diperoleh
sering kali tidak berguna dalam hidup dan pekerjaannya.
Kenyataan di lapangan tujuan-tujuan pembelajaran ini tampaknya masih belum tercapai
sepenuhnya.Kondisi ini menimbulkan persepsi yang kompleks terhadap matematika itu sendiri
yaitu kemampuan matematis yang sulit berkembang, kualitas hasil belajar matematika yang
rendah.Siswa memandang matematika sebagai suatu mata pelajaran yang rumit, tidak
bermotivasi, sangat membosankan, kurang bermanfaat /bermakna dan tidak memberi ruang bagi
mereka untuk beraktifitas dan berkreaktifitas. Padahal matematika merupakan salah satu di
antara mata pelajaran yang diujikan dalam ujian nasional yang merupakan syarat lulus dari
siswa sekolah dasar, menengah pertama, maupun menengah atas sebagai tolak ukur dari
kemampuan dan kualitas siswa.
Selama ini pembelajaran matematika di kelas masih mengikuti ritme pengajaran pada tahuntahun sebelumnya, yaitu: (1) penyajian definisi/aksioma/teorema, (2) penyajian contoh-contoh
dan non-contoh, (3) mengerjakan soal-soal latihan yang diberikan, dan (4) penugasan pekerjaan
rumah. Dengan cara mengajar seperti ini pengembangan ketrampilan menghafalkan merupakan
tujuan utama pengajaran. Hal ini terjadi karena guru memakai pola mengajar seperti guru
mereka yang dulu, atau menurut pengalaman guru saat mereka menjadi siswa di sekolah. Guru
belum berinisiatifuntuk memakai Bahan Ajar-Bahan Ajar pembelajaran apalagi membuat Bahan
Ajar pembelajaran sehingga pembelajaran kurang bervariasi.
Dari hasil penelitian pendahuluan di MAL Kota Jambi dengan memberikan tes kemampuan
matematika kepada dua kelas siswa kelas X, ditemukan indikasi bahwa lemahnya kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa.
Dari beberapa uraian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa banyaknya siswa yang tidak
mampu menyelesaikan soal dikarenakan proses pembelajaran yang kurang bermakna sehingga
menyebabkan rendahnya kemampuan siswa memecahkan masalah. Dengan demikian, tugas
guru bukan sekedar mengajarkan ilmu semata kepada siswa, tetapi membantu siswa belajar.
Guru juga diharapkan dapat memampukan siswa menguasai konsep dan memecahkan masalah
dengan berfikir kritis, logis, sistematis, dan terstruktur. Guru matematika memiliki tugas
berusaha memampukan siswa memecahkan masalah sebab salah satu fokus pembelajaran
220
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
matematika adalah pemecahan masalah, sehingga kompetensi dasar yang harus dimiliki setiap
siswa adalah standar minimal tentang pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang
terfleksi pada pembalajaran matematika dengan kebiasaan berpikir dan bertindak memecahkan
masalah dengan mengkonstruksi pengetahuan siswa sendiri dari hasil pembelajaran yang lebih
bermakna.
Berdasarkan beberapa
masalah yang telah disampaikan di atas, maka oleh
sebab itu
perludibuat bahan pembelajaran yaituPengembanganPembelajaran Matematika Konstruktivisme
Budaya Daerah atau yang lebih sederhana sesuai kebutuhan siswa.
Penelitian pengembangan dalam pembelajaran matematika ditingkat MA/SLTA adalah
fenomena yang relatif baru, termasuk penelitian tentang pengembangan bahan ajar
Pembelajaran Matematika Konstruktivisme Budaya Daerah(PMK).Padahal masalah dalam
pendidikan matematika itu tidak bisa diselesaikan hanya dengan penelitian eksperimen tentang
strategi atau metode pembelajaran. Oleh karena itu dirasakan pentingnya melakukan penelitian
pengembangan dengan judul
“Pengembangan
bahan ajar
Pembelajaran Matematika
Konstruktivisme Budaya Daerah(PMK)”.
Permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
Bagaimana
bentuk
Pengembangan
bahan
ajar
Pembelajaran
Matematika
berbasis
Konstruktivisme Budaya Daerahyang valid, praktis, dan efektif ?
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian adalah:
1. untuk mengembangkan bahan ajar matematika berbasis Konstruktivisme Budaya Daerah
yang memenuhi aspek validitas, praktikalitas serta efektifitas.
2. mendeskripsikan bagaimanakah gambaran kegiatan siswa selama pembelajaran
Produk dari hasil pengembangan ini adalah sebuah Bahan Ajar Pembelajaran Matematika
Konstruktivisme Budaya Daerahyang didokumentasikan dalam bentuk bahan ajar. Bahan ajar
ini
memuat
aspek yang berkaitan dengan Bahan Ajar Pembelajaran Matematika
Konstruktivisme Budaya Daerah(PMK)yang dioptimalkan muncul prinsip-prinsip pembelajaran
matematika Bahan AjarPMK untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran.
Bahan ajar ini menghasilkan sebuah dokumentasi dalam bentuk bahan ajar yang dilengkapi
dengan panduan kegiatan bagi guru dan panduan kerja bagi siswa berupa sintaks. Hal ini untuk
membangun sistem sosial antara guru dengan siswa dalam perannya masing-masing,
memperkuat peranan guru selaku fasilitator, mediator dan tanggapan guru terhadap kebutuhan
belajar siswanya. Dengan Bahan Ajar masalah ini akan memudahkan dalam merencanakan dan
mengimplementasikan tugas pembelajaran matematika yang memiliki banyak cakupan,
sehingga dapat mengembangkan kemampuan matematis siswa.
221
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Bagi siswa, Bahan Ajar ini memberikan kesempatan untuk menumbuh kembangkan berpikir
kreatif dan menyelidiki persoalan yang menarik rasa keingintahuannya. Selain itu, Bahan Ajar
Pembelajaran Matematika berbasis Konstruktivisme Budaya Daerah ini juga memberikan
dampak kepada siswa yaitu dampak instruksional dan pengiring, di mana dampak instruksional
yang diharapkan adalah meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, penguasaan terhadap
materi, sikap kritis, tingkat berpikir siswa, mengembangkan, dan menyelidiki sesuatu,
kemampuan siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan. Dampak pengiring yang diharapkan
adalah meningkatkan: kreativitas, produktivitas, motivasi, keterampilan dalam kerjasama,
hubungan interaktif siswa dengan materi pelajaran, siswa dengan guru, atau antara siswa dan
siswa, ketelitian serta kemampuan siswa dalam mengendalikan diri dan menyampaikan gagasan.
Pengembangan ini dilakukan dengan harapan agar diperoleh Bahan Ajar Pembelajaran
Matematika Konstruktivisme Budaya Daerahyang valid, praktis, dan efektif yang dapat
meningkatkan aktifitas, kreaktifitas, produktifitas serta dapat
menumbuhkembangkan
kemampuan matematis siswa. Di mana Bahan Ajar pembelajaran matemarika yang selama ini
tidak begitu menuntut perkembangan kemampuan matematis secara keseluruhan, sikap kritis,
kreatifitas, memahami dari penjelasan konsep dan pembelajaran lebih cenderung dilakukan
untuk pencapain batasan materi dari pada pengembangan kemampuan siswa.
Pengembangan PMK ini akan mempermudah guru, praktisi pendidikan, siswa karena produk ini
didesain dengan prinsip-prinsip masalah, bahasa yang mudah dipahami, dan efektif. Produk
penelitian ini dapat dijadikan Bahan Ajar pembelajaran matematika di SLTA/MA,
sekolah/madrasah
berbagai
tingkatan
mulai
dasar,
menengah
dan
atas
untuk
menumbuhkembangkan kemampuan matematis, sikap kritis, serta aktivitas, kreaktifitas dan
produktifitas yang beragam.
Pengembangan Bahan Ajar Pembelajaran Matematika Konstruktivisme Budaya Daerahini
masih terbatas pada pengembangan
berupa panduan tugas guru dan panduan kerja siswa serta
dokumentasi pembelajaran berupa bahan ajar ajar. Materi pembelajaran yang dikembangkan
difokuskan pada materi siswa Sekolah Menengah Atas / madrasah Aliyah kelas X semester
kedua dan hanya dilakukan pada satu semester. Pengembangan Bahan Ajar ini mengacu dan
menggunakan beberapa sumber dari teori dan hasil kajian dari para ahli sebelumnya yang
diadopsi dan disesuaikan dengan kebutuhan penelitian Konstruksi pengembangan Bahan Ajar
ini berdasarkan pendapat Joyce & Weil (1992), Iru, La & La Ode Safian Arihi (2012) dan
Kemp, Jerrold E. dkk (1994).Bahan Ajar pengembangan menggunakan desain Plomp (2010).
222
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
B. Kualitas Bahan Ajar Pembelajaran
Nieveen (2013) menjelaskan, kualitas Bahan Ajar pembelajaran pada penelitian pengembangan
ditentukan oleh beberapa kriteria, yaitu validity, (kesahihan), practicality (kepraktisan), dan
effectivenees (keefektifan).
a. Validitas Bahan Ajar Pembelajaran
Nieveen (2013:160) dalam Nana S (2014: 32) menyatakan relevansi merupakan suatu
kebutuhan untuk intervensi dan mengacu pada tingkat desain intervensi yang
dikembangkan berdasarkan pada state of art pengetahuan yang disebutjugavaliditas isi dan
konsistensi dimaksudkan bahwa berbagai komponen intervensi terkait secara logis antar
satu dengan lainnya yang disebut validitas konstruk.Bahan Ajar pembelajaran matematika
berbasis Konstruktivisme Budaya Daerah disimpulkan valid jika dikembangkan dengan
teori yang memadai, disebut dengan validitas isi. Semua komponen Bahan Ajar
pembelajaran, antara satu dengan lainnya berhubungan dengan konsisten, disebut dengan
validitas konstruk.
b. Praktikalitas Bahan Ajar Pembelajaran
Nieveen (2013: 160) dalam Nana S (2014: 33) menyatakan Bahan Ajar hasil
pengembangan dikatakan praktis jika Bahan Ajar diharapkan dapat berguna dilapangan
sesuai dengan untuk apa Bahan Ajar tersebut dikembangkan. Akker (2013: 66) dalam
Nana S (2014: 33) menyatakan kepraktisan mengacu pada pendapat praktisi dan ahli
menyatakan bahwa Bahan Ajar jelas, dapat digunakan dan efektif pada kondisi normal.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kepraktisan Bahan Ajar pembelajaran ditentukan dari hasil
penilaian pengguna atau praktisi. Penilaian kepraktisan oleh pengguna atau pemakai, dilihat
jawaban-jawaban pertanyaan: (1) apakah praktisi berpendapat apa yang dikembangkan dapat
digunakan dalam kondisi normal; dan (2) apakah kenyataan menunjukan bahwa apa yang
dikembangkan tersebut dapat diterapkan oleh praktisi.
c. Efektivitas Bahan Ajar Pembelajaran
Reigeluth (1999: 635) dalam Nana S (2014: 33) menyatakan bahwa aspek yang penting untuk
keefektifan dalam pengembangan Bahan Ajar adalah tingkat atau derjat penerapan teori
(petunjuk atau metode) untuk memperoleh tujuan dalam situasi yang ada. Banyak cara yang bisa
digunakan untuk melihat keefektifan Bahan Ajar dalam penelitian pengembangan. Akker (2013:
66) menyetakan keefektifan mengacu pada tingkat pengalaman dan hasil dari intervensi adalah
kongguren dengan tujuan yang diharapkan. Keefektifan menurut
Langkah-Langkah Menyelesaikan Pemecahan Masalah Matematika
Cara memecahkan masalah dikemukakan oleh beberapa ahli, di antaranya Dewey dan Polya.
Dewey (dalam Muzdalipah, 2009: 15) memberikan lima langkah utama dalam memecahkan
masalah,
223
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
1) Mengenali/menyajikan masalah: tidak diperlukan strategi pemecahan masalah jika bukan
merupakan masalah.
2) Mendefinisikan masalah: strategi pemecahan masalah menekankan pentingnya definisi
masalah guna menentukan banyaknya kemungkinan penyelesian.
3) Mengembangkan beberapa hipotesis: hipotesis adalah alternatif penyelesaian dari
pemecahan masalah.
4) Menguji beberapa hipotesis: mengevaluasi kelemahan dan kelebihan hipotesis.
5) Memilih hipotesis yang terbaik.
6) Sebagaimana Dewey, Polya (dalam Muzdalipah, 2009: 15) pun menguraikan proses yang
dapat dilakukan pada setiap langkah pemecahan masalah.
Lebih jauh Polya merinci setiap langkah di atas dengan pertanyaan-pertanyaan yang menuntun
seorang problem solver menyelesaikan dan menemukan jawaban dari masalah. Sebagai contoh
pada langkah memahami masalah diajukan pertanyaan-pertanyaan: Apa yang tidak diketahui?
Data apa yang diberikan? Mungkinkah kondisi dinyatakan dalam bentuk persamaan atau
hubungan lainnya?Buatlah gambar dan tulislahnotasi yang sesuai.
Berangkat dari pemikiran yang dikemukakan oleh ahli tersebut, maka untukmenyelesaikan
masalah diperlukan kemampuan pemahaman konsep sebagai prasyarat dan kemampuan
melakukan hubungan antar konsep, dan kesiapan secara mental.Salah satu sebab siswa tidak
berhasil dalam belajar matematika selama ini adalah siswa belum sampai pada pemahaman
relasi (relation understanding), yang dapat menjelaskan hubungan antar konsep.Hal itu
memberikan gambaran kepada kita adanya tantangan yang tidak kecil dalam mengajarkan
pemecahan masalah matematika.
Pemecahan masalahdianggap merupakan standar kemampuan yang harus dimiliki para siswa
setelah mengikuti pembelajaran matematika. Kemampuan pemecahan masalah matematika
adalah suatu tindakan untuk menyelesaikan masalah atau proses yang menggunakan
keterampilan dan pengetahuan dalam menyelesaikan masalah matematika.
pemecahan masalah sangat berguna bagi siswa
Kemampuan
dalam pelajaran matematika itu sendiri,
relevansi matematika dengan mata pelajaran yang lain dan dalam kehidupan dunia nyatanya.
Suatu masalah biasanya memuat situasi yang mendorong siswa untuk menyelesaikannya, akan
tetapi tidak tahu secara langsung apa yang harus dikerjakan untuk menyelesaikannya. Jika suatu
masalahdiberikan kepada seorang siswa dan siswa tersebut langsung mengetahui cara
menyelesaikannya dengan benar, maka soal tersebut tidak dapat dikatakan suatu masalah. Pada
saat siswa menemukan masalah, maka telah terjadi perbedaan keseimbangan (disequilibrium)
dengan keadaan awal (equilibrium) sebelumnya.
224
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Siswa perlu membangun suatu keseimbangan baru, artinya ketika siswa mengalami konflik
kognitif, ia akan berusaha untuk mencapai keseimbangan baru, yaitu solusi atas masalah yang
dihadapi, sehingga pemecahan masalah merupakan fokus utama dalam pembelajaran
matematika (Depdiknas, 2007).Bisa juga dikatakan bahwa pemecahan masalah sebagai usaha
mencari jalan keluar dari suatu kesulitan atau suatu aktivitas intelektual untuk mencari
penyelesaiaan masalah yang dihadapi dengan menggunakan bekal pengetahuan yang dimiliki.
Tidak semua pertanyaan merupakan suatu masalah. Suatu pertanyaan akanmenjadi masalah
hanya jika pertanyaan itu menunjukkan adanya suatu tantangan (challenge) yang tidak dapat
dipecahkan oleh prosedur rutin yang sudah diketahui oleh siswa. Apabila kita menerapkan
pengetahuan matematika,keterampilan pengalaman untuk memecahkan suatu dilemma atau
situasi baru yang membingungkan, maka kita sedang memecahkan masalah, siswa
membutuhkan banyak kesempatan untuk menciptakan dan memecahkan masalah dalam
bidangmatematika dan dalam konteks kehidupan nyata. Strategi untuk memecahkan suatu
masalah matematika dapat digunakan bergantung pada masalah yang akan diselesaikan.
Berkenaan dengan apa yang didapatkan siswa dari melakukan suatu pemecahan masalah.
Menurut Sumarmo (2003), aktivitas-aktivitas yang tercakup dalamkegiatan pemecahan masalah
meliputi:
1) Mengidentifikasi unsur yang diketahui, ditanyakan, serta kecukupan unsur yang diperlukan,
merumuskan masalah situasi sehari-hari dan metematik;
2) Menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah (sejenis dan masalah baru)
dalam atau luar matematika;
3) Menjelaskan/ menginterpretasikan hasil sesuaimasalah asal;
4) Menyusun Bahan Ajar matematika dan menyelesaikannya untuk masalah nyata dan
menggunakan matematikasecara bermakna.
Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa siswa dikatakan memiliki kemampuan
pemecahan masalah jika siswa
memiliki kemampuan mengidentifikasi unsur-unsur yang
diketahui dari suatu permasalahan, membuat perumusan dari permasalahan, menentukan strategi
yang tepat, dan mampu memberikan interpretasi dari permasalahan yang diberikan serta
menyelesaikan masalah dengan sistematis dan bermakna.
seringkali tidak dapat diterima juga oleh beberapa siswa (Lyod, 2009).
C. METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah termasuk pada educational design research dengan jenis development
studies. Karena tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan suatu bahan ajar matematika
225
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
berbasis Konstruktivisme Budaya Daerah. Jenis penelitian ini juga dengan istilah penelitian
pengembangan (research and development). Definisi yang lebih sederhana menurut sugiyono
(2011:407) tentang penelitian dan pengembangan adalah suatu metode penelitian yang
digunakan untuk menghasilkan produk tertentu, dan menguji keefektifan produk tersebut.
Produk yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah bahan ajar Pembelajaran Matematika
berbasis Konstruktivisme Budaya Daerah yang valid, praktis dan efektif.
PengembanganBahanPembelajaranMatematika
Konstruktivisme
Budaya
Daerah
ini
menggunakan disain pengembangan Plomp (2013:19) yang memiliki tiga tahap atau fase, yaitu:
1. Penelitian Pendahuluan (Preliminary Research)
2. Tahap Prototype (Development or Prototyping Phase)
3. Tahap Penilaian (Assesment Phase)
Berdasarkan ketiga fase tersebut menurut prosedur pengembangan Plomp (2013:19) tersebut,
maka bentuk kegiatan yang dilakukan dalam pengembangan
Prosedur Pengembangan
1.
Tahap Penelitian Pendahuluan
Tahap preliminary research (penelitian pendahuluan ) bertujuan untuk menganalisis masalah
utama yang mendasari pentingnya Bahan Ajar Pembelajaran Matematika berbasis
Konstruktivisme Budaya Daerah. Selain itu juga bertjuan mempersiapkan kerangka konseptual
yang digunakan sebagai acuan untuk melakukan studi selanjutnya. Tahap ini dibedakan menjadi
3 bagian, yaitu (a) analisis kebutuhan dan konteks (need and context analysis) dan (b) ulasan
literatur (review of literature); dan (c) pengembangan kerangka konseptual dan kerja studi
lanjutan (development of conceptual and theorical frameworlk for the study).
Kerangka konseptual dan kerangka teori diperoleh dari hasil analisis kebutuhan dan konteks
permasalahan serta review literature. Kerangka konseptual dan kerangka teori ini akan
digunakan
untuk
pengembangan
Bahan
Ajar
Pembelajaran
Matematika
berbasis
Konstruktivisme Budaya Daerah.
2.
Tahap Prototipe
Tahap ini bertujuan menghasilkan prototype yang valid. Tahap ini terdiri dari tiga langkah
kegiatan, yaitu (a) mendesain prototype, (b) melakukan evaluasi formatif dan (c) revisi
prototipe.
a. Mendesain Prototipe
Pada tahap ini, aktivitas yang dilakukan adalah merancang komponen PMK, yang meliputi (a)
merancang sintak PMK, (b) merancang sistem sosial atau lingkungan belajar, yaitu situasi atau
226
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
aturan-aturan yang berlaku dalam PMK, (c) Merancang prinsip-prinsip reaksi, yaitu gambaran
bagi guru tentang bagaimana menyikapi dan merespon perilaku-perilaku yang ditunjukkan oleh
siswa dalam pembelajaran, (d) merancang sistem pendukung yaitu bahan ajar-bahan ajar yang
mendukung terlaksananya proses pembelajaran dan tercapainya tujuan pembelajaran dengan
baik. Hasil rancangan tersebut dibuat dalam bentuk bahan ajar rasional Bahan Ajar, bahan ajar
Pedoman Kerja Guru (PKG), dan Bahan ajar Pedoman Kerja Siswa (PKS), (e) merancang
dampak instruksional dan pengiring dalam pembelajaran.
b. Melakukan Evaluasi Formatif
Teknik evaluasi formatif (formatif evaluation) yang dilakukan untuk menentukan kualitas hasil
pengembangan bahan ajar matematika adalah evaluasi formatif Tessmer (1993) dalam Plomp
(2013:36), yaitu penilaian pakar (expert review), fokus grup (focus group) dan uji coba lapangan
(field test).Para ahli yang bertindak sebagai validator adalah pakar matematika, pendidikan
matematika, pakar pendidikan serta pakar bahasa dan guru matematika sebagi praktisi.
c. Revisi prototipe
Revisi terhadap diasin prototipe dilakukan berdasarkan masukan dan saran ahli/praktisi harus
memperlihtakan bahwa prototype diketegorikan valid sehingga layak digunakan . Jika
ahli/praktisi merekomendasikan bahwa prototipe tidak layak digunakan atau perlu direvisi maka
akan dilakukan revisi kembali dan tahap evaluai formatif akan diulang. Jika penilaian para
ahli/praktisi sudah menyatakan prototipe valid, penelitian dilanjutkan ke tahap penilaian
(assessment phase).
d. Tahap penilaian
Tujuan tahap ini adalah melakukan penilaian lebih mendalam terhadap prototype yang telah
direvisi. Penilaian yang dilakukan adalah summative evaluation, yaitu dengan melakukan uji
praktikalitas dan uji efektifitas.Aktivitas pada tahap ini difokuskan pada uji coba lapangan yang
bertujuan untuk mengetahui apakah Bahan Ajar pembelajaran yang dikembangkan bersifat aktif
dan efektif. Uji yang dilakukan adalah uji coba lapangan terbatas (limited field test).
Subjek Uji Coba Produk
Populasi dalam penelitian ini adalah Seluruh siswa Madrasah Aliyah (MA).
Siswa MA yang menjadi subyek penelitian adalah Madrasah Aliyah Laboratorium (MAL) di
kota Jambi.
Jenis Data
Jenis data dalam penelitian ini adalah data kualitatif dan kuantitatif.Data kualitatif didapatkan
dari hasil diskusi, observasi/pengamatan, serta wawancara.Data kuantitatif didapatkan dari tes
kemampuan matematis.
227
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
InstrumenPenelitiandanPengembangan Instrumen Penelitian
Intrumen yang digunakan untuk penelitian pendahuluan (preliminary research), menguji
kevalidan (prototyping phase), kepraktisan dan keefektifan (assessment phase)PMK seperti
dalam table berikut:
Tabel 1. Instrumen Penelitian
No
Fase
1
Preliminary
Fokus Penelitian
Analisis
Research
2
Kebutuhan dan
Konteks
3
Instrumen
Soal tes awal kemampuan matematis
Format wawancara dengan guru
Format wawancara dengan siswa
4
5
6
Prototyping
Phase
AssesmentPhase
Validitas
Lembar validasi bahan ajarPMK
Praktikalitas
Lembar observasi pelaksanaan proses pembelajaran PMK dan lembar validasinya
Assesment
Phase
Praktikalitas
Lembar observasi pelaksanaan proses pembelajaran PMK dan lembar validasinya
Efektifitas
Soal tes akhir kemampuan pemecahan masalah dan lembar validasinya
7
8
Format wawancara dengan guru dan lembar validasinya
9
Format wawancara dengan siswa dan Lembar validasinya
Seluruh instrument kecuali instrument untuk penelitian pendahuluan, sebelum digunakan akan
divalidasi terlebih dahulu kepada validator agar instrument yang digunakan dapat memberikan
data yang valid. Para ahli yang bertindak sebagai validator rencananya adalah pakar pendidikan,
pakar bahasa dan sastra, pakar pendidikan matematika.
A. Teknik Pengumpulan Data
Instrumen yang digunakan dalam penelitian untuk pengumpulan data ini adalah menggunakan
lembar validasi/format validasi, lembar observasi, wawancara, lembar penilaian, angket respon
siswa, lembar evaluasi.
1. Lembar/Format validasi prototype
Format validasi disusun untuk memperoleh data yang menyatakan validitas isi dan konstruk dari
bahan ajar/Bahan Ajar yang dikembangkan.
2. Lembar observasi
Lembar observasi yang dimaksudkan adalah lembar observasi yang dapat digunakan untuk
mengetahui praktikalitas dan efektifitas PMKdalamketerpakaian/keterlaksanaan dan aktifitas,
kreaktifitas, dan produktifitas siswa.
3. Wawancara
Wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi data secara langsung dari pakar/validator,
teman sejawat, guru, praktisi pendidikan, siswaatau pengguna dan yang ikut terlibat dalam
pengumpulan data tentang keberadaan produk.
228
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
4. Lembar Penilaian/ Instrumen tes hasil belajar
Lembar penilaian yang dimaksud adalah lembar penilaian terstruktur dengan PMK melalui
soal-soal yang akan digunakan untuk mengetahui kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa dengan menggunakan PMK.
5. Angket respon siswa
Angket respon siswa disusun untuk memperoleh data tentang sikap dan pendapat siswa terhadap
Bahan Ajar pembelajaran, respon siswa terhadap komponen, pelaksanaan pembelajaran dan
respon siswa terhadap dampak pembelajaran dengan PMK.
6. Lembar evaluasi
Lembar evaluasi disusun untuk memperoleh data tentang ketuntasan belajar siswa sebagai data
utama keefektifan. Lembar evaluasi yang dimaksudkan adalah lembar evaluasi hasil belajar.
7. Fokus diskusi kelompok/ focus group discussion (FGD)
FGD ini dilakukan agar bahan ajar yang dikembangkan sesuai dengan tujuan yang dirancang.
Mengungkapkan makna dan kebutuhan serta masalah yang menjadi fokus pengembangan,
sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh dari pandangan bersama terhadap bahan ajar yang
dikembangkan atau terhadap masalah yang diteliti.
B. Teknik Analisa Data
Data yang diperoleh dari berbagai instrumen dianalis secara deskriptif, kualitatif dan kuantitatif
untuk dapat mengidentifikasi bahan ajar pembelajaran yang dikembangkan apakah sudah valid,
praktis dan efektif atau belum. Demikian juga untuk mengidentifikasi apakah bahan ajar yang
dikembangkan dapat terlaksana dikelas dengan baik dan dapat menunjukan hasil kemampuan
matematis siswa.
1. Validitas
Untuk menguji validitas Bahan Ajar ini, digunakan pendapat dari ahli (judgment experts). Para
validator/ahli diminta pendapatnya tentang Bahan Ajar yang dikembangkan.Validasi yang
dikembangkan ini meliputi Validitas kontruk (contruct validity) dan validitas isi (content
validity).Validitas kontruk yaitu kesesuaian komponen Bahan Ajar dengan unsur yang sudah
ditetapkan dalam pengembangan Bahan Ajar.Validasi isi yaitu apakah Bahan Ajar yang
dikembangkan sudah sesuai dengan tujuan dan aspek-aspek pembelajaran yang ditetapkan.
Hasil penilain terhadap bahan ajar yang diberikan validator di analisis dengan langkah- langkah
yang di adopsi dari Muliyardi (2006) yaitu menentukan rerata skor dengan menggunakan
rumus:
229
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
n
Rī€Ŋ
īƒĨV
i ī€Ŋ1
i
n
Ket: R = rerata hasil penilaian dari para ahli/validator
Vi = skor hasil penilaian validator ke-i
n = banyaknya validator
Kemudian dihitung rerata semuaaspek untuk validasi bahan ajar dengan
menggunakan
kriteria sebagai berikut:
1) Bila rerata > 3,20 maka dikategorikan sangat valid
2) Bila 2,40 < rerata ī‚Ŗ 3,20 maka dikategorikan valid
3) Bila 1,60 < rerata ī‚Ŗ 2,40 maka dikategorikan cukup valid
4) Bila 0,80 < rerata ī‚Ŗ 1,60 maka dikategorikan kurang valid
5) Bila rerata ī‚Ŗ 0,80 maka dikategorikan tidak valid
Untuk pengembangan bahan ajar ini dikatakan valid jika nilai rerata dari validator yang bernilai
cukup valid.
2. Praktikalitas
Data kepraktisan bahan ajar ditentukan dari hasil penilaian mudah digunakan, dan dipahami
dalam pelaksanaan pembelajaran kepraktisan dinilai oleh praktisi, pelaksanaan pembelajaran
oleh observer dan penggunaan mudah digunakan dan dipahami oleh guru dan siswa. Analisis
hasil dari kepraktisan dengan langkah-langkah yang di adopsi dari Muliyardi (2006) yaitu
menentukan rerata skor dengan menggunakan rumus:
n
Rī€Ŋ
dengan
īƒĨV
i ī€Ŋ1
i
n
R = rerata hasil penilaian dari para ahli/validator
Vi = skor hasil penilaian validator ke-i
n = banyaknya validator
Kemudian dihitung rerata semua aspek untuk praktikalitas bahan ajar dengan
kriteria sebagai berikut:
1) Bila rerata > 3,20 maka dikategorikan sangat praktis
2) Bila 2,40 < rerata ī‚Ŗ 3,20 maka dikategorikan praktis
3) Bila 1,60 < rerata ī‚Ŗ 2,40 maka dikategorikan cukup praktis
4) Bila 0,80 < rerata ī‚Ŗ 1,60 maka dikategorikan kurang praktis
230
menggunakan
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
5) Bila rerata ī‚Ŗ 0,80 maka dikategorikan tidak praktis
Untuk pengembangan bahan ajar ini dikatakan praktis jika nilai rerata dari praktisi
yang
bernilai cukup praktis.
Untuk menggambarkan data hasil observasi digunakan teknik deskriptif.Angket praktikalitas
prototipe bahan ajar dideskripsikan dengan teknik analisis frekuensi data dengan rumus :
Skor rata - rata
ī‚´ 100 %
Skor maksimum
Untuk pengembangan bahan ajar dikatakan mudah digunakan dan dipahami jika lebih dari 70%
Tingkat kepraktisan ī€Ŋ
responden menilai cukup mudah/ cukup praktis.
3. Analisa data Efektivitas
Analisis terhadap keefektivan dari bahan ajarPMK diperoleh hasil dari aktivitas, respon, hasil
belajar siswa, dan perkembangan kemampuan pemecahan masalah matematis.
C. PEMBAHASAN
Berdasarkan observasi dilapangan, siswa mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal
pemecahan masalah karena soal yang diberikan adalah soal rutin yng ada dalam bahan ajar dan
LKS. Bahan ajar yang dicobakan kepada siswa setelah diganti dengan budaya dan lingkungan
daerah dengan tetap memakai bahasa Indonesia yang baik maka siswa lebih tertarik untuk
menyelesaikan tugas-tugas dan soal-soal dari bahan ajar tetapi sebagian disesuaikan dengan
lingkungan daerahnya. Siswa lebih memahami soal-soal jika masalahnya dihubungkan dengan
tempat-tempat atau masalah-masalah yang dekat dengan kesehariannya dan mengenal daerahdaerah yang dikenalnya. Setelah divalidasi oleh 2 orang guru yang akan mengajar dan layak
digunakan, kemudian bahan ajar diujicobakan kepada siswa, Uji coba yang pertama yaitu uji
coba perorangan, pada tahap ini evaluasi dilakukan melalui komunikasi langsung dengan empat
orang siswa untuk memperoleh saran dan masukan mengenai bahan ajar yang dihasilkan. Saran
dan masukan tersebut digunakan untuk merevisi bahan ajar dan hasilnya diuji coba terhadap
kelompok kecil siswa yang terdiri dari 10 orang siswa. Uji coba kelompok kecil bertujuan untuk
memeproleh masukan yangakan digunakan untuk memperbaiki kualitas bahan ajar. Hasil revisi
kelompok kecil kemudian diuji coba lagi terhadap kelompok besar terdiri dari 27 siswa kelas
XA MA Laboratorium sebanyak 4 kali pertemuan.
231
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
DAFTAR PUSTAKA
1.
Barab,S.&Squire,K. 2004. Design-BasedResearch: Puttinga Stakeinthe Ground. Journalof the
Learning Sciences,13(1), 1-14.
2. Baroody, A. J. (1993). Problem Solving, Reasoning, and Communicating, K-8:
3. Bay, J. (2000). Linking Problem Solvingto Student Achievement in
Mathematics: Issues and
Outcomes. [Online] Tersedia: http://www.ngacasi.org/jsi/
2000v1i2/problem_solv_3
4. Bell, F.H. (1978). Teaching and Learning Mathematics (In Secondary School). Iowa: Wm. C. Brown
Company Publisher.
5. Riduwan. (2005). Belajar Mudah Penelitian. Penerbit: Alpabeta
6. NCTM. 1989. Curriculum andEvaluation Standards for School Mathematics. Reston, VA: Authur.
7. NCTM.2000.PrinciplesandStandardsforSchoolMathematics. Reston, VA: Authur.
8. Joyce,B.,Weil, M.,danCalhoun,E.2000.ModelofTeaching (6th Edition). Sydney:Allyn & Bacon
9. Plomp, Tjeer. 2010. Educational Design Research: An Introduction. Dalam Tjeer Plom and Nienken
Nieven
(Ed).
An
Introduction
to
Educational
Design.
Nedtherland
in
www.slo.nl/organisatie/International /publications
10. Sepriyanti, Nana. 2014. Pengembangan Model Pembelajaran Kalkulus Berbasis Kontekstual untuk
Perguruan Tinggi. Disertasi. Tidak diterbitkan. UNP
232
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
PRAKTIKALITAS LEMBAR KERJA SISWA (LKS)
MATEMATIKA BERBASIS PEMECAHAN MASALAH
PADA MATERI LUAS DAN KELILING
SEGIEMPAT DAN SEGITIGA
KELAS VII SMP 13 PADANG
Zulfitri Aima
STKIP PGRI Sumatera Barat
[email protected]
Abstrak. Penelitian ini dilatarbelakangi pada bahan ajar yang digunakan SMPN 13 Padang, yang tidak
memberikan kesempatan kepada siswa untuk memahami masalah sesuai dengan kehidupan sehari-hari.
Mengatasi masalah tersebut dikembangkan LKS berbasis Pemecahan Masalah untuk materi luas dan
keliling persegi dan segitiga. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan LKS berbasis pemecahan
masalah yang praktis. Pengembangan LKS ini menggunakan model 4D. Model 4D terdiri dari 4 langkah
yaitu define, design,develop dan desseminate. Instrumen praktikalitas adalah kuesoner dan pedoman
wawancara. Hasil Praktikalitas dari guru menunjukan bahwa LKS sangat Praktis dengan presentase
83,75% dan Praktikalias dari siswa menunjukan bahwa LKS sangat praktis dengan presentase 84,3%. Hal
ini dapat disimpulkan bahwa LKS berbasis pemecahan masalah pada materi luas dan keliling persegi dan
segitiga sangat praktis sehingga dapat digunakan.
Kata kunci: praktis, Lembar Kerja Siswa (LKS), Problem Solving, persegi dan segitiga.
A. PENDAHULUAN
Pendidikan formal yang diselenggarakan di sekolah banyak mengajarkan materi pelajaran yang
bersifat akademis dan kurikulum yang jelas. Salah satu contoh mata pelajaran yang bersifat
akademis adalah matematika. Dimana matematika merupakan pelajaran penting yang harus
diperlajari karena matematika adalah salah satu ilmu dasar yang penting dalam penguasaan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang berkembang saat ini. Oleh karena itu, matematika
dijadikan salah satu mata pelajaran wajib
pada
setiap
jenjang pendidikan, mulai dari
pendidikan dasar sampai sekolah menengah.
Materi dalam pelajaran matematika saling berkaitan dan berlanjut mulai dari matematika di
sekolah dasar sampai di sekolah menengah. Contoh materi yang memiliki kaitan dengan materi
berikutnya dan berlanjut pada jenjang pendidikan berikutnya adalah materi segiempat dan
segitiga. Jika siswa tidak memahami materi segitiga maka siswa akan sulit untuk memahami
dan melanjutkan materi selanjutnya yang berkaitan dengan materi segitiga seperti phytagoras
serta segitiga merupakan dasar bagi siswa untuk mempelajari bangun ruang.
233
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan di SMPN 13 Padang pada tanggal 26 - 31 Januari
2015 di kelas VII, diketahui bahwa Bahan ajar yang digunakan guru hanya buku teks
dan guru tidak menggunakan sumber lain. Hasil wawancara dengan guru matematika kelas
VII SMPN 13 Padang adalah buku yang digunakan di sekolah belum mampu mendorong siswa
untuk mencari dan memecahkan masalah atau persoalan dalam rangka mencapai tujuan
pembelajaran, khususnya pada materi luas
dan
keliling
segiempat
dan segitiga. Hasil
wawancara dengan siswa kelas VII SMPN 13 Padang, mereka menganggap bahasa dan isi
buku teks sulit untuk dipahami dan tampilan buku teks juga kurang menarik. Berdasarkan
permasalahan yang ada, maka diperlukan suatu bahan ajar yang dapat memfasilitasi dan
memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk belajar sendiri.
Melalui bahan ajar ini guru dapat mengupayakan untuk melibatkan sebanyak mungkin
karakteristik peserta didik sehingga bahan ajar dapat membantu siswa dalam memecahkan
masalah yang ada. Kemandirian siswa dapat diatasi dengan pengembangan LKS berbasis
pemecahan masalah sehingga materi dengan mudah dipahami oleh siswa secara mandiri. LKS
yang dikembangkan terdapat materi serta pertanyaan – pertanyaan dan pembelajaran yang
diawali dengan penyajian masalah kemudian siswa dapat menyelesesaikan masalah yang
diberikan serta prinsip matematika yang dapat membimbing siswa, sehingga
diberikan bias mengarahkan
siswa
untuk
Berdasarkan uraian di atas rumusan masalah
pengembangan
LKS matematika
berbasis
LKS
yang
dapat menyelesaikan masalah matematika.
dari
penelitian
ini
adalah Bagaimana
pemecahan masalah yang praktis pada
materi luas dan keliling segiempat dan segitiga untuk siswa kelas VII SMPN 13 Padang,
sehingga penelitian bertujuan untuk untuk menghasilkan LKS matematika berbasis pemecahan
masalah yang praktis pada materi luas dan keliling segiempat dan segitiga bagi siswa kelas
VII SMPN 13 Padang.
Menurut Majid ( 2008 : 173 ) bahan ajar merupakan informasi, alat dan teks yang diperlukan
guru untuk perencanaan dan penelaahan implementasi pembelajaran. Menurut Hamdani (2011:
84) metode pemecahan
masalah
(problem solving) merupakan metode dalam kegiatan
pembelajaran dengan jalan melatih siswa menghadapi berbagai masalah, baik masalah pribadi
maupun masalah kelompok untuk dipecahkan sendiri atau secara bersama-sama. LKS yang
dibuat mengandung
unsur-unsur
dari pemecahan masalah yang dikemukan oleh polya
dalam Suherman (2003: 91) yaitu memahami masalah, merencanakan masalah, menyelesaikan
masalah sesuai dengan rencana dan melakukan pengecekan kembali terhadap semua langkah
yang telah dikerjakan. LKS berbasis pemecahan masalah adalah suatu LKS yang berlandaskan
pada masalah yang mana dapat membuat siswa terlatih dalam menghadapi permasalahan yang
ada dalam kehidupan sehari-hari.
234
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
B. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian pengembangan (research and development). Penelitian ini
menghasilkan produk LKS berbasis pemecahan
masalah
pada
materi luas dan keliling
segiempat dan segitiga kelas VII SMP.
Menurut Arifin (2011: 127) model pengembangan adalah dasar untuk mengembangkan produk
yang akan dihasilkan. Model prosedural pada penelitian
ini
menggunakan
Menurut Thiagarajan dkk dalam Arifin (2011: 128) model ini terdiri dari
4
model 4-D.
tahap,
yaitu
pendefinisian (define), perancangan (design), pengembangan (develop), dan penyebaran
(desseminate). Pada penelitian ini tahap penelitian terbatas sampai tahap develop saja yaitu
sampai tahap praktikalitas. Untuk tahap keempat yaitu tahap penyebaran (desseminate) tidak
dilakukan karena memerlukan waktu yang panjang dan jumlah sampel yang banyak.
Pada tahap define yang dilakukan adalah menganalisis silabus, analisis buku teks, analisis
literatur, analisis karakteristik siswa dan wawancara dengan guru dan siswa. Kedua yaitu tahap
design. Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah merancang produk LKS berbasis
pemecahan masalah.
Selanjutnya kegiatan yang dilakukan pada tahap develop adalah validasi
produk oleh validator dan praktikalitas.
Instrumen yang digunakan adalah angket dan pedoman wawancara. Angket dan pedoman
wawancara digunakan untuk melakukan praktikalitas produk. Praktikalitas produk bertujuan
untuk melihat keterpakaian produk yang telah disusun, dengan melakukan uji-cobaproduk
secara terbatas pada sembilan orang siswa dan dua orang guru Matematika SMPN 13 Padang
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
Praktikalitas LKS diterapkan sesuai dengan langkah-langkah pemecahan masalah yang ada di
dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang telah dibuat Uji coba dilakukan pada 9
orang siswa. Uji coba terbatas bertujuan untuk mengetahui kepraktisan LKS berbasis
pemecahan masalah, data uji coba diperoleh dari pengisian angket oleh siswa dan guru serta
wawancara dengan siswa. Berikut merupakan hasil praktikalitas dari pengisian angket oleh guru
dan siswa:
235
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Tabel 1. Hasil Praktikalitas LKS oleh Guru
No
Indikator
1
Kemudahan
penggunaan
LKS
Waktu yang
diperlukan
Daya tarik
LKS
Mudah
diinterpresta
sikan
2
3
4
Rata-rata
Nilai
praktik
alitas
85%
Kategori
87,5%
Sangat
praktis
Sangat
praktis
Sangat
Praktis
87,5%
75%
83,75
Sangat
praktis
Sangat
praktis
Tabel 2. Hasil Praktikalitas LKS oleh Siswa
No
Indikator
1
Kemudahan
penggunaan
LKS
2 Waktu yang
diperlukan
3 Daya tarik
LKS
4 Mudah
diinterpresta
sikan
Rata-rata
Nilai
praktik
alitas
87,5%
Kategori
84,7%
Sangat
praktis
Sangat
praktis
Sangat
Praktis
84,3%
80,6%
84,3%
Sangat
praktis
Sangat
praktis
Pada Tabel 1 dan 2, ditunjukkan respon guru dan siswa SMPN 13 Padang yang dihasilkan.
Berdasarkan hasil analisis respons guru didapatkan hasil 83,75% dan respon siswa 84,3%
dengan kategori sama yaitu sangat praktis. Secara umum siswa merasa mudah dalam
menggunakan LKS, waktu yang diperlukan
sesuai,
daya
tariknya bagus dan mudah
diinterprestasikan serta siswa senang dengan pembelajaran LKS berbasis pemecahan masalah.
Praktikalitas LKS dilihat melalui wawancara dengan siswa. Berdasarkan
wawancara
terhadap siswa, siswa mudah melakukan kegiatan yang terdapat pada LKS berbasis pemecahan
masalah. Berikut kutipan percakapan peneliti dengan siswa berkaitan dengan kemudahan
penggunaan LKS.
236
Prosiding Semnas Mat-PMat STKIP PGRI Sumatera Barat
Padang, 16 April 2016, Vol 2 No.1, ISSN : 2443-1257
Peneliti : Apakah LKS berbasis pemecahan masalah ini membantu kamu dalam
memahami
materi pembelajaran?
Siswa : Ya, karena dengan menggunakan LKS ini saya lebih mengerti tentang pembelajaran
luas dan keliling bangun datar. Dari segi waktu yang diperlukan untuk melaksanakan
pembelajaran sudah mencukupi, hal ini dilihat ketika siswa mengerjakan kegiatan
menyelesaikan masalah pada LKS, mereka dengan cepat menyelesaikanya. Berikut
kutipan percakapan peneliti dengan siswa berkaitan dengan waktu yang diperlukan
dalam pelaksanaan pembelajaran.
Peneliti : Apakah kamu memerlukan waktu yang lama dalam mengerjakan soal-soal latihan
pada LKS? Mengapa?
Siswa : Tidak, karena di dalam LKS ini kita dibimbing dengan langkah- langkah yang mudah
Dari segi daya tarik LKS ini sudah dapat menambah minat belajar dan minat baca
siswa karena LKS ini memiliki warna yang bervariasi. Berikut kutipan
percakapan peneliti dengan siswa berkaitan dengan tarik LKS.
Peneliti : Apakah desain LKS berbasis pemecahan masalah yang dirancang menarik bagi
kamu? Mengapa?
Siswa : Ya, karena LKS ini mempunyai variasi warna yang menarik
Berdasarkan ujicoba kepraktisan LKS yang dilakukan dengan angket kepraktisan oleh guru
dan siswa, wawancara terhadap siswa dapat disimpulkan bahwa LKS dikategorikan praktis. Hal
ini terlihat dari segi kemudahan, waktu, daya tarik dan mudah diinterprestasikan pada
pembelajaran dapat dilaksanakan dengan baik.
D. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang dilakukan dapatdisimpulkan bahwa: LKS
yang dikembangkan sudah valid, artinya LKS berbasis pemecahan masalah telah layak
digunakan. LKS mudah digunakan karena terdapat petunjuk belajar yang jelas, uraian materi
berupa masalah yang sering dihadapi dalam kehidupan sehari-hari dan latihan yang diberikan
dapat membimbing siswa dalam memahami dan menyelesaikan masalah.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
Arifin, Zainal. (2011). Penelitian Pendidikan (Metode dan Paradigma Baru). Bandung: Rosda.
Hamdani. 2011. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: Pustaka Setia.
Majid, Abdul. 2008. Perencanaan Pembelajaran- Mengembangkan
Standar Kompetensi Guru.
Bandung: Remeja Rosdakarya.
Suherman, Herman. 2003. Strategi pembelajaran matematika kontemporer. Bandung : Universitas
Pendidikan Indonesia.
237
Download