BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang World Health Organization (WHO) merekomendasikan bahwa seorang ibu seharusnya menyusui bayinya dalam waktu satu jam pertama. Penyediaan ASI kepada bayi dalam waktu satu jam pertama disebut dengan inisiasi menyusu dini (IMD) (WHO, 2015b). Pelaksanaan IMD perlu dipastikan bahwa bayi benarbenar menerima kolostrum sebagai makanan sempurna yang kaya akan faktor protektif untuk bayi baru lahir (WHO, 2015c). Kontak kulit ke kulit antara ibu dan bayi membantu memulai IMD dan meningkatkan keberhasilan pemberian ASI eksklusif selama satu hingga empat bulan menyusui (WHO, 2015b). Pemberian ASI eksklusif dianjurkan sampai anak berusia 6 bulan, kemudian dilanjutkan menyusui dengan makanan pendamping yang bergizi hingga usia 2 tahun (WHO, 2015c). Hal tersebut dapat meningkatkan status gizi dan pertumbuhan fisik, mengurangi kerentanan terhadap penyakit dan ketahanan tubuh yang lebih baik. Peningkatan hasil kesehatan pada masa anak-anak memiliki efek kesehatan yang lebih tahan lama yakni sepanjang umur kehidupan, termasuk meningkatan kinerja produktivitas, dan mengurangi risiko penyakit tidak menular (WHO, 2015d). Melalui pelaksanaan IMD dan pemberian ASI, sekitar 800.000 jiwa anak akan diselamatkan setiap tahun dimana 16% kematian neonatal bisa diselamatkan jika semua bayi disusui pada hari pertama dan 22% kematian neonatal bisa diselamatkan jika menyusui dimulai dalam satu jam pertama. Namun kenyataanya secara global kurang dari 40% bayi di bawah usia enam bulan yang mendapat ASI eksklusif. Konseling menyusui yang memadai dan dukungan sangat penting bagi ibu dan keluarga untuk memulai dan mempertahankan praktik pemberian ASI optimal (Edmond, 2006; WHO, 2015d). Pemerintah Indonesia mendukung kebijakan WHO dan Unicef yang merekomendasikan IMD sebagai tindakan “penyelamatan kehidupan”. Hasil Riskesdas 2013 menyatakan bahwa persentase IMD pada anak umur 0-23 bulan di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 34,5% (Depkes R.I, 2014). Persentase 1 2 pemberian ASI eksklusif pada bayi 0-6 bulan di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 54,3%. Pemberian ASI eksklusif bila dibandingkan dengan tahun 2012 (48,6%) cukup meningkat, namun dapat dikatakan bahwa hanya separuh bayi 0-6 bulan di Indonesia yang diberikan ASI eksklusif (Depkes R.I, 2014). Provinsi Jawa Tengah masih berada di peringkat 17 se-Indonesia dari 19 provinsi yang berada di atas cakupan nasional, dengan cakupan sebesar 58,4%. Hal ini dapat disimpulkan bahwa 42% bayi di Jawa Tengah belum memperoleh haknya berupa ASI eksklusif. Kabupaten Kendal yang berada di Jawa Tengah memiliki cakupan pemberian ASI eksklusif yang belum memenuhi standar pelayanan minimal (SPM), meskipun terjadi peningkatan yg signifikan dari 22,9% (2012) menjadi 47,8% (2013). Selain itu, pelaksanaan IMD juga belum ada laporan pelaksanaannya di Dinas Kesehatan Kabupaten Kendal. Penelitian yang dilakukan oleh Raharjo (2015) di Kabupaten Kendal menunjukkan cakupan IMD tidak lebih dari 25% dan pelaksanaan ASI eksklusif hanya 46%. Penelitian yang dilakukan oleh Widiastuti et al. (2013), yang mengambil data dari RSUD Dr.H.Soewondo Kendal, jumlah bayi yang dilahirkan dari bulan Juli-September 2011 sebanyak 456 orang, namun bidan yang melakukan IMD pada bayi yang baru lahir hanya sebanyak 30% dari persalinan yang ditolong oleh bidan. Bidan yang bertugas di RSUD Dr. H. Soewondo Kendal sudah mengikuti pelatihan asuhan persalinan normal (APN), inisiasi menyusu dini (IMD), dan konselor air susu ibu (ASI), namun pada kenyataannya masih ada ibu yang mempunyai bayi pada saat melahirkan tidak dilakukan IMD. Pelaksanaan IMD dan Pemberian ASI eksklusif merupakan bagian dari scalling up nutrition (SUN) yang bertujuan meningkatkan status gizi anak selama seribu hari pertama kehidupan (1000 HPK). United Nations System Standing Comittee on Nutrition (UNSCN) menyatakan bahwa SUN sebagai dorongan global dalam tindakan dan investasi untuk meningkatkan gizi ibu dan anak. Masa 1000 HPK disebut sebagai periode emas karena terjadi pertumbuhan otak yang sangat pesat. Apabila terjadi kurang gizi di periode ini akan mengakibatkan kerusakan atau terhambatnya pertumbuhan yang tidak dapat diperbaiki dimasa 3 kehidupan selanjutnya. Bayi yang mendapat cukup gizi selama periode emas, berupa IMD langsung setelah bayi dilahirkan, ASI eksklusif sejak usia 0-6 bulan, imunisasi lengkap, dan gizi cukup dengan makanan pendamping ASI setelah usia 6 bulan, akan tumbuh menjadi balita yang sehat, kuat dan cerdas (Kemenkes RI, 2014a). Menyusui sebagai cara normal dan efektif dalam memberikan nutrisi untuk pertumbuhan yang sehat dan perkembangan secara optimal. Hampir semua ibu dapat menyusui, asalkan memiliki informasi yang akurat, dukungan dari keluarga, dan mendapat sistem pelayanan kesehatan masyarakat (WHO, 2015a). Pemberian ASI tidak eksklusif berisiko 5,6 kali terjadi perkembangan motorik kasar balita tidak sesuai umur dibandingkan dengan balita yang diberi ASI eksklusif (Lisa, 2012). Penelitian Husniati (2007) menyatakan bahwa pemberian ASI eksklusif >4 bulan berhubungan dengan perkembangan motorik anak. Selain itu, ASI yang memilki kandungan nutrisi yang sangat dibutuhkan di masa emas pertumbuhan anak, apabila nutrisi tidak terpenuhi maka diduga akan timbul masalah kesehatan yang mempengaruhi status gizi anak. Anak yang status gizi kurang berisiko 1,8 kali mengalami perkembangan yang suspect dibandingkan dengan yang status gizinya baik (Pilihaningtyas, 2010) Perkembangan kemampuan bicara dan bahasa, intelegensi, kesadaran sosial, moral, dan emosional berjalan dengan cepat pada masa balita dan menjadi landasan perkembangan berikutnya. Penyimpangan sekecil apapun apabila tidak dideteksi, tidak ditangani dengan baik akan mengurangi kualitas SDM dikemudian hari (Kemenkes RI, 2010a). Pemerintah Indonesia memiliki upaya penanggulangan masalah tumbuh kembang berupa program stimulasi deteksi intervensi tumbuh kembang (SDIDTK), namun pelaksanaannya masih belum terpantau dengan baik. Penelitian Maritalia (2009) di Semarang menyatakan bahwa pelaksanaan SDIDTK di Puskesmas dan jaringannya masih terbatas karena belum tersosialisasi dengan baik dan benar, fasilitas pendukung yang belum memadai dan kurangnya dukungan kepala puskesmas. Hal ini berindikasi pada tujuan akhir program belum tercapai seperti yang diharapkan, yang terlaksana hanya deteksi dini 4 penyimpangan pertumbuhan, sedangkan deteksi dini penyimpangan perkembangan, penyimpangan mental emosional dan stimulasi sesuai usia anak masih belum dilaksanakan. Deteksi penyimpangan perkembangan pada usia dini yang belum optimal perlu menjadi perhatian karena dapat diartikan bahwa skrining dan pemantauan masih jarang dilakukan sehingga balita yang mengalami penyimpangan ataupun keterlambatan tidak diketahui jumlahnya di Indonesia. Gambaran seberapa besar balita yang mengalami masalah perkembangan dapat dilihat dari beberapa penelitian, seperti penelitian Lisa (2012) di Yogyakarta yang menyatakan bahwa 38,1% dari 231 balita yang memiliki perkembangan motorik kasar sesuai dengan umur, sedangkan sisanya 61,9% balita memiliki perkembangan yang tidak sesuai umur. Penelitian Fitri et al. (2014) di Kota Padang terhadap anak usia 6 bulan menunjukkan hasil 36% dari 50 bayi mengalami perkembangan yang tidak normal atau terhambat dan nutrisi dianggap sebagai faktor yang berperan dalam masalah tersebut. Penelitian serupa mengenai perkembangan anak usia 4-5 tahun menunjukkan 25 anak (26,6%) mengalami keterlambatan perkembangan (Wilar, 2015). Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Pilihaningtyas (2010) pada anak usia 12-24 bulan di Kabupaten Bantul terdapat hampir 50% anak mengalami supek perkembangan atau dicurigai mengalami keterlambatan perkembangan. Pelaksanaan SDIDTK di Jawa Tengah memiliki cakupan yang selalu meningkat dari tahun 2008 hingga 2011 yaitu 44,38%; 50,29%; 65,88%; dan 69,62%; namun capaian tersebut masih jauh dari SPM nasional (90%), serta penyimpangan atau keterlambatan perkembangan yang terjadi tidak diketahui. Kabupaten Kendal sebagai salah satu wilayah di Jawa Tengah perlu melakukan deteksi dini perkembangan balita. Pelaksanaan SDIDTK di Kabupaten Kendal tergabung dalam program pelayanan balita, bersamaan dengan penimbangan, dan pemberian vitamin A. Cakupan pelayanan anak balita di Kabupaten Kendal 2014 sebesar 95%, namun cakupan tersebut tidak dilaporkan secara spesifik pelaksanaan SDIDTK, sehingga balita yang mengalami gangguan perkembangan dan yang mendapatkan penanganan dini tidak diketahui. 5 Beberapa hal yang diuraikan di atas perlu menjadi perhatian karena upaya deteksi dini harus dilakukan, mengingat dapat mempengaruhi tumbuh kembang yang akan menentukan kualitas generasi penerus bangsa. Sesuai dengan hal tersebut peneliti bermaksud ingin mengetahui hubungan IMD dan ASI eksklusif dengan perkembangan anak di Kabupaten Kendal. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah inisiasi menyusu dini (IMD) dan ASI eksklusif merupakan determinan masalah perkembangan anak usia 12-24 bulan di Kabupaten Kendal? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui inisiasi menyusu dini (IMD) dan ASI eksklusif merupakan determinan masalah perkembangan anak usia 12-24 bulan di Kabupaten Kendal. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi responden a. Diharapkan dapat meningkatkan kesadaran pentingnya pelaksanaan IMD dan ASI eksklusif bagi kesehatan anak. b. Diharapkan dapat meningkatkan kesadaran ibu tentang pentingnya deteksi dini tumbuh kembang anak sejak usia dini, sehingga dapat segera mendapatkan menanganan yang sesuai dengan keterlambatan yang terjadi. 2. Bagi masyarakat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan pentingnya IMD dan ASI eksklusif serta determinan yang mempengaruhi perkembangan anak, agar dapat ditanggulangi masalah kesehatan yang mungkin terjadi. 3. Bagi puskesmas di Kabupaten Kendal Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai determinan yang mempengaruhi perkembangan anak, sehingga dapat dilakukan upaya preventif. 6 4. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Kendal Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam menentukan kebijakan-kebijakan terkait upaya kesehatan berupa deteksi dini dan penanggulangan masalah kesehatan, khususnya perkembangan anak E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian yang berhubungan dengan penelitian ini dapat dilihat dari tabel sebagai berikut : Tabel 1. Keaslian penelitian Peneliti Abubakar et al. (2008) Angelson et al. (2001) Ariani and Yosoprawoto (2013) Judul Penelitian Socioeconomic status, anthropometric status, and psychomotor development of kenyan children from resource-limited settings: a pathanalytic study Breastfeeding is associated with improved child cognitive development: a populationbased cohort study Usia anak dan pendidikan ibu sebagai faktor risiko gangguan perkembangan anak Hasil Penelitian Persamaan Perbedaan Terdapat hubungan yang signifikan antara status antropometri dengan fungsi perkembangan psikomotorik. Terdapat hubungan yang tidak langsung antara sosioekonomi dengan perkembangan anak Independen variabel: perkembangan anak Dependen variabel: antropometri status (weight for age), sosioeconomi Tidak ada hubungan antara durasi menyusui dengan perkembangan motorik anak usia 13 bulan sampai 5 tahun Pemberian ASI eksklusif yang lebih lama bermanfaat pada perkembangan kognitif anak Usia anak (OR=2,93) dan pendidikan ibu (OR=3,44) merupakan faktor risiko terjadinya gangguan tumbuh kembang anak. Independen variabel: pemberian ASI Dependen variabel: perkembangan anak Lokasi penelitian: Provinsi Coast di Kenya Instrument perkembangan: Kilifi developmental inventory Desain Penelitian: cross sectional Usia responden: 6-35 bulan Lokai Penelitian: Scandinavia Instrument perkembangan: bayle’s scale Usia responden anak: 1-5 tahun Variabel dependen: perkembangan anak Variabel independen: usia anak dan pendidikan ibu Instrumen perkembangan anak menggunakan KPSP Usia responden anak: 3-6 bulan Lokasi penelitian: TK dan PAUD di wilayah Puskesmas Arjuno Klojen Kotamadya Malang Desain Penelitian: cross sectional 7 Lanjutan Tabel 1. Peneliti Chiu WC et al. (2011) Judul Penelitian Duration of breast feeding and risk of developmental delay in taiwanese children: a nationwide birth cohort study Fitri et al. (2014) Hubungan pemberian ASI dengan tumbuh kembang bayi umur 6 bulan di puskesmas nanggalo Gunawan et al. (2011) Hubungan status gizi dan perkembangan anak usia 1-2 tahun Jonsdottir O.H. et al. (2013) Exclusive breastfeeding and developmental and behavioral status in early childhood Hasil Penelitian Persamaan Perbedaan Proporsi anak yang telah menguasai peringkat perkembangan tertentu secara konsisten memilki riwayat durasi menyusui yang lebih lama. Anak yang diberi ASI lebih dari 6 bulan memiliki risiko yang rendah mengalami keterlambatan perkembangan daripada yang tidak pernah disusui Variabel independen: durasi pemberian ASI Variabel dependen: perkembangan anak (motorik kasar, motorik halus, bahasa, dan sosial) Instrumen perkembangan anak dengan menggunakan DDST atau denver II Variabel Indenpenden: pemberian asi variabel dependen: Perkembangan bayi Instrumen perkembangan anak: denver II Variabel dependen: perkembangan anak Usia responden anak: 1-2 tahun (12-24 bulan) Variabel dependen: perkembangan anak Usia responden: 0-18 bulan Lokasi penelitian: Taiwan Desain penelitian: kohor Bayi ASI eksklusif berpeluang mengalami pertumbuhan normal 1,62 kali lebih besar dibandingkan bayi ASI non eksklusif dan perkembangan sesuai umur 5,474 kali lebih besar dibandingkan bayi ASI non eksklusif. Tidak terdapat hubungan antara status gizi dengan gangguan perkembangan. Faktor yang berhubungkan dengan status perkembangan adalah umur anak. Tidak ada pengaruh durasi pemberian ASI eksklusif dengan perkembangan pada usia 18 bulan, namun orang tua dari anak usia 30-35 bulan yang mendapat MP-ASI pada usia 4 bulan, banyak yang menyatakan keprihatinan pada perkembangan motorik kasar. Variabel dependen: pertumbuhan bayi Lokasi penelitian: Puskesmas Nanggalo Kota Padang Usia responden anak: 6 bulan Desain penelitian: cross Sectional Variabel independen: Status gizi Lokasi penelitian: Kabupaten Bandung Instrumen perkembangan anak menggunakan KPSP Desain penelitian: cross Sectional Variabel independen: ASI eksklusif Instrumen perkembangan anak: brigance screens-II Lokasi penelitian: Boston USA 8 Lanjutan Tabel 1. Peneliti Nurwati, 2014 Judul Penelitian Asupan energi dan finger food dengan perkembangan motorik anak Hasil Penelitian Persamaan Ada hubungan antara asupan energi dengan perkembangan anak. Ada hubungan antara finger food dengan perkembangan anak. Variabel Dependen: perkembangan anak Instrumen perkembangan denver II Variabel indenpenden: pemberian asi, status gizi Variabel Terikat: perkembangan anak Instrumen Perkembangan denver II Usia: 12-24 bulan Variabel dependen: perkembangan motorik anak Pilihaningtyas (2010) Pemberian ASI episode kejadian penyakit infeksi dan status gizi hubungannya dengan perkembangan anak usia 12-24 bulan di kabupaten bantul Provinsi D.I.Yogyakarta Tidak terdapat hubungan antara pemberian ASI, kejadian ISPA dan riwayat TB dengan perkembangan anak usia 12-24 bulan. Sedangkan kejadian diare dan status gizi memiliki hubungan bermakna dengan perkembangan anak usia 12-24 bulan. Shafir T. et al. (2008) Iron deficiency and infant motor development Wijayanti (2010) Hubungan pemberian ASI dan penyapihan dengan perkembangan anak manifestasi kemampuan kognitif anak usia 4-6 tahun di TK IT AlMawaddah Seruni Tlogosari Semarang Ada pengaruh status zat besi pada tahap perkembangan, kemampuan motorik buruk terjadi pada bayi dengan defisiensi zat besi dan tanpa anemia. Bayi dengan status defisiensi zat besi tidak anemia memilki kemampuan motorik buruk atau memprihatinkan, bayi dengan status defisiensi besi tanpa anemia tidak dapat dideteksi dengan skrining dan lebih dari sekedar keadaaan anemia defisiensi besi. Tidak ada hubungan antara pemberian ASI, usia penyapihan dengan perkembangan anak. Tidak ada hubungan antara pemberian ASI dengan kemampuan kognitif. Tidak ada hubungan antara usia penyapihan dengan perkembangan kognitif Variabel independen: pemberian ASI Variabel dependen: perkembangan anak Perbedaan Variabel dependen: asupan energi Lokasi penelitian: kecamatan Srandakan Bantul Usia responden anak: 7-12 bulan Desain penelitian: cross sectional Variabel indenpenden: kejadian penyakit infeksi Lokasi penelitian: kabupaten bantul Yogyakarta Desain penelitian: cross sectional Variabel independen: anemia defisiensi zat besi dan status zat besi tanpa anemia Usia responden anak: usia 9-10 bulan Instrumen perkembangan: bayley behavioral rating scale Tempat penelitian: general pediatric clinic of the children’s hospital of Michigan Variabel independen: usia penyapihan Variabel dependen: kemampuan kognitif Usia responden anak: 4-6 tahun Lokasi penelitian: TK IT Al-Mawaddah Seruni Tlogosari Semarang Desain penelitian: cross sectional