BAB I - UIN Repository

advertisement
TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM
KELUARGA BERENCANA
(Analisa Terhadap Fatwa MUI Tentang Sterilisasi)
Oleh:
SABARUDIN BINTANG
NIM : 105043101284
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI
JAKARTA
1431 H/2010 M
1
2
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya sendiri yang diajukan memenuhi
salah satu persayaratan memperoleh gelar sarjana (S1) di Universitas Islam
Negeri Sayrif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Sayrif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Sayrif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta,
September 2010
Sabarudin Bintang
KATA PENGANTAR
‫بسى اهلل انرحًٍ انرحيى‬
Assalamu‟alaikum.Wr. Wb.
Tiada untaian kata yang pantas diucapkan seorang hamba selain puji dan
syukur atas kehadirat Allah Swt, semoga rahmat dan karunia-Nya selalu menyertai
setiap langkah-langkah kita di permukaan bumi ini. Tak lupa pula, shalawat serta
salam tetap tercurahkan kepada manusia paling mulia, Nabi Muhamad Saw, keluarga,
para sahabat, dan para pengikutnya yang selalu istiqamah dalam menjalankan
risalahnya, hingga akhir zaman.
Alhamdulillah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai
persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum Islam di Fakultas Syariah dan
Hukum. Dalam menyelesaikan skripsi ini tidak mengalami kesulitan serta hambatan
yang penulis alami dan berkat kesungguhan hati, kerja keras dan motivasi serta
bantuan dari para pihak, maka segala kesulitan tersebut memberikan hikmah
tersendiri bagi para penulis. Maka atas tersusunnya skripsi ini penulis mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan
bantuan, bimbingan, petunjuk serta dukungan terutama kepada kedua orang tua
penulis yang selalu mencurahkan kasih sayang dan doanya serta berharap ananda
dapat dapat menjadi anak yang mulia dan sukses dalam menempuh hidup di dunia
dan akhirat. “Semoga amal baik keduanya mendapat balasan yang setimpal disisi
yang maha kuasa”. Amin.
i
Atas bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak dalam menyelesaikan skripsi
ini, penulis secara khusus mempersembahkan ungkapan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. KH. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum, sekaligus sebagai dosen pembimbing yang dengan sabar
dalam memberikan arahan dan masukan yang amat bermanfaat kepada penulis
hingga selesainya skripsi ini, tiada kata yang pantas selain ucapan rasa terima
kasih dan do‟a semoga Allah Swt membalasnya.
2. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA sebagai ketua Program Studi Perbandingan
Madzhab dan Hukum, beserta Bapak Dr. H. Muhammad Taufiqi, M.Ag sebagai
Sekretaris Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membekali penulis dengan
ilmu yang berharga. Dan seluruh staf Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum
maupun Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas pelayanannya
yang sangat membantu penulis dalam memperoleh referensi-referensi untuk karya
ilmiah ini.
4. Teristimewa buat Ayahhanda H. Saan dan Ibunda Hj. Sunarmah (alm), serta
kakanda Rosidi dan Fajarudin. Yang selalu mendoakan dan memberikan motivasi
penulis dalam menyelesaikan skripsi.
5. Terima kasih kepada kawan-kawan senasib seperjuangan Fakultas Syariah dan
Hukum Konsentrasi Perbandingan Mazhab Fiqih angkatan 2005/2006, Faisal
ii
6. Muchtar, Ali Imran, Dedi Aldi Wahyudi, Ahmad Hambali, Tedy Ramadhani,
Ivan Sunarya, Eka Syarifudin dan
7. Terimakasih kepada kawan-kawan Fakultas Syariah dan Hukum Konsenterasi
Perbandingan Mazhab Fiqih angkatan 2005/2006 yang telah memberikan aroma
tersendiri bagi penulis selama menempuh masa-masa pendidikan di Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
8. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang turut
membantu dalam menyusun dan merampungkan skripsi ini.
Akhirul kalam, penulis ucapkan banyak terimakasih kepada seluruh
kompenen yang telah berjasa memberikan kontribusinya. Tidak ada yang dapat
diberikan sebagai tanda belas jasa penulis, kecuali hanya dengan doa semoga Allah
Swt membalas segala amal dan budi baik mereka dengan sebaik-baik balasan.
Wassalamu‟alaikum.Wr.Wb.
Jakarta, 25 Juni 2010 M.
Sabarudin Bintang
105043101284
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..........................................................................................
i
DAFTAR ISI .........................................................................................................
iv
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah..............................................................
1
B. Batasan dan Rumusan Masalah...................................................
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................
8
D. Tinjauan Pustaka .........................................................................
8
E. Metode Penelitian .......................................................................
10
F. Sistematika Penulisan .................................................................
13
TINJAUAN UMUM TENTANG KELUARGA BERENCANA DAN
STERILISASI
A. Pengertian KB dan Sterilisasi ....................................................
15
B. Alat-Alat Kontrasepsi Sebagai Sarana Pelaksanaan KB.............
24
C. Macam-macam Alat Kontrasepsi ................................................
27
iv
BAB III
PANDANGAN UMUM TENTANG KOMISI FATWA
A. Latar Belakang Komisi Fatwa.....................................................
34
B. Kedudukan Komisi Fatwa Dalam Hukum Islam ........................
37
C. Komisi Fatwa Sebagai Lembaga Ijtihad MUI …......................... 41
BAB IV
ANALISA TERHADAP FATWA MUI TENTANG STERILISASI
DITINJAU DARI HUKUM ISLAM
BAB V
A. Sterilisasi Dari Aspek Hukum Islma ..........................................
52
B. Fatwa MUI Tentang Sterilisasi Dalam Keluarga Berencana ......
59
C. Analisa Terhadap Fatwa MUI Tentang Sterilisasi ......................
64
PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................
71
B. Saran-Saran .................................................................................
72
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................
73
LAMPIRAN
v
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada masa sekarang ini Pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya
mengadakan pembangunan Nasional. Namun pembangunan tersebut tidak dapat
terlepas dari masalah penduduk tanpa pengatasan terhadap masalah penduduk
pembangunan tidak akan berjalan lancar. Masalah penduduk yang paling utama di
Negara yang sedang berkembang pada umumnya dan di Indonesia khususnya adalah
pertambahan jumlah penduduk. Yang di maksud pertambahan penduduk adalah
selisih antara angka kelahiran dan angka kematian.
Pada saat ini, sebagai akibat kemajuan yang di temukan dalam bidang
kedokteran, kemajuan dalam bidang pendidikan termasuk pendidikan kesehatan serta
sebagai akibat makin baiknya sistem komunikasi, maka angka kelahiran tetap tidak
banyak terpengaruh. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya masalah pertambahan
jumlah penduduk, yang terutama di alami oleh Negara yang sedang berkembang
termasuk Indonesia.
Karena pertambahan jumlah penduduk yang besar, maka timbul masalahmasalah sosio-ekonomi, pengangguran, kejahatan yang terus meningkat disamping
itu juga derajat kesehatan masyarakat, mutu lingkungan hidup dan kwalitas hidup
menjadi rendah. Banyak anak yang tidak dapat meneruskan sekolah bahkan sama
1
2
sekali tidak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah karena kekurangan
atau ketiadaan biaya, di lain pihak pendapatan perkapita Negara tidak sesuai dengan
jumlah penduduk yang ada.
Untuk mengatasi masalah kependudukan tadi, pelbagai upaya penyelesaian
banyak dilakukan terutama yang menuju kearah pengendalian jumlah penduduk.
Dalam rangka mencari jalan keluar dari tingginya laju pertambahan penduduk di
Indonesia, pemerintah melaksanakan beberapa aktivitas, antara lain peraturan dan
undangan-undang (tanggungan keluarga dan perkawinan) dan salah satu antaranya
ialah dengan melaksanakan program KB.1
Dalam kegiatan selanjutnya, keluarga berencana di Indonesia mengalami
proses yang tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Negara-negara lainya yang
sedang berkembang, yaitu sangat ditentukan oleh alasan kesehatan. Tetapi
perkembangan selanjutnya semakin di sadari lagi, bahwa permasalahannya
bertambah luas; dimana keluarga berencana dianggap sebagai salah satu cara untuk
menurunkan
angka
kelahiran,
sebagai
suatu sarana untuk
mengendalikan
pertambahan penduduk yang semakin pesat.2
Dalam hal ini KB dapat dipahami dalam dua pengertian : Pertama, KB dapat
dipahami sebagai suatu program nasional yang dijalankan pemerintah untuk
mengurangi populasi penduduk, karena diasumsikan pertumbuhan populasi penduduk
1
Aznul Azwar, Peranan Sterlisasi Dalam Pengendalian Pertambahan Penduduk (Seminar
Evaluasi ZPG Pusat Indonesia 29-30 September 1979) di Yogyakarta, hal. 3.
2
Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah, Berbagai Kasus Yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini,
(Jakarta : Kalam Mulia, 2003), cet. Pertama, hal. 59.
3
tidak seimbang dengan ketersediaan barang dan jasa. Dalam pengertian ini, KB
didasarkan pada teori populasi menurut Thomas Robert Malthus. KB dalam
pengertian pertama ini diistilahkan dengan tahdid an-nasl (pembatasan kelahiran).3
Kedua, KB dapat dipahami sebagai aktivitas individual untuk mencegah kehamilan
(man‟u al-hamli) dengan berbagai cara dan sarana (alat). Misalnya dengan kondom,
IUD, pil KB, dan sebagainya. KB dalam pengertian kedua diberi istilah tanzhim annasl (pengaturan kelahiran).
Adapun hukum keduanya ulama kontemporer membolehkan tanzhim an-nasl
(pengaturan atau penjarangan kelahiran). Namun melarang dan mengharamkan
tahdid an-nasl (pembatasan kelahiran atau yang umum dikenal dengan KB).
Ulama kontemporer melarang tahdid an-nasl di dalam KB sebagai program
nasional
tidak
dibenarkan
secara
syara‟.
Jika
pembatasan
kelahiran
itu
dilatarbelakangi oleh sikap takut miskin, takut anak tidak kebagian rizki, dan yang
semisalnya, maka yang demikian ini hukumnya haram karena bertentangan dengan
Aqidah Islam.
Selain itu, dari segi tinjauan fakta, teori Malthus tidak sesuai dengan
kenyataan, bahwa produksi pangan dunia bukan kurang, melainkan cukup, bahkan
lebih dari cukup untuk memberi makan seluruh populasi manusia di dunia. Pada
bulan Mei tahun 1990, FAO (Food and Agricultural Organization) mengumumkan
3
Ali Ahmad As-Salus, Mausu‟ah Al-Qadhaya Al-Fiqhiyah Al-Mu‟ashirah, (Mesir :
Daruts Tsaqafah – Maktabah Darul Qur`an, 2002), hal. 53.
4
hasil studinya, bahwa produksi pangan dunia ternyata mengalami surplus 10 % untuk
dapat mencukupi seluruh populasi penduduk dunia.4
Sedangkan ulama kontemporer membolehkan tanzhim an-nasl (pengaturan
atau penjarangan kelahiran), apabila dijalankan oleh individu (bukan dijalankan
karena program negara) untuk mencegah kelahiran (man‟u al-hamli) dengan berbagai
cara dan sarana, hukumnya mubah, bagaimana pun juga motifnya.
Adapun dalil yang membolehkannya tanzhim an-nasl diantaranya : Hadits
dari sahabat Jabir RA yang berkata, ”Dahulu kami melakukan „azl pada masa
Rasulullah SAW sedangkan al-Qur`an masih turun.” (Muttafaq Alaihi). Menurut
riwayat Muslim: Hal itu sampai kepada Nabi SAW dan beliau tidak melarangnya
pada kami.
Namun
kebolehannya
disyaratkan
tidak
adanya
bahaya
(dharar).
Sebagaimana kaidah fiqih menyebutkan : Adh-dhararu yuzaal (Segala bentuk bahaya
haruslah dihilangkan). Dan kebolehan pengaturan kelahiran juga terbatas pada
pencegahan kehamilan yang temporal (sementara), misalnya dengan pil KB dan
kondom. Adapun pencegahan kehamilan yang permanen (sterilisasi), seperti
vasektomi atau tubektomi, hukumnya haram. Sebab Nabi SAW telah melarang
pengebirian (al-ikhtisha`), sebagai teknik mencegah kehamilan secara permanen yang
ada saat itu.
4
Ibid., hal. 31.
5
Di mana gerakan program keluarga berencana di Indonesia sudah dirintis
sejak tahun 1953 oleh tokoh-tokoh masyarakat. Kemudian tahun 1957 berdiri
organisasi swasta bernama Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI)
mulai melopori pelaksanaannya. Kegiatannya dilakukan secara diam-diam dan
bersifat perseorangan, karena waktu itu program keluarga berencana masih dilarang
oleh pemerintah.
Sejak lahirnya orde baru tahun 1996, Pemerintah mulai menyadari bahwa
masalah penduduk harus segera mendapat perhatian. Tahun 1967 Preside RI ikut
mendatangi Deklarasi Kependudukan Dunia dan sejak itu pemerintah mengambil alih
tanggung jawab pelaksanaan keluarga berencana melalui intruksi presiden No.20
tahun 1968 yang membentuk Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN) yang
berstatus semi pemerintah. Fungsi dari lembaga ini adalah untuk mengembangkan
keluarga berencana dan mengelola segala jenis bantuan. Pada tahun 1970 pemerintah
mengambil kebijaksanaan bahwa keluarga berencana merupakan bagian integral dari
pembangunan nasional. Dengan keputusan presiden No.8 tahun 1970 dibentuklah
Badan Koordinasi Keluarga Berencan Nasional (BKKBN) yang berstatus lembaga
pemerintah yang berfungsi :

Membantu presiden dalam menetapkan kebijaksanaan pemerintah dalam
bidang keluarga berencana.

Mengkoordinasikan pelaksanaan keluarga berencana yang dilakukan oleh
unit-unit keluarga berencana.
6
Sesuai dengan perkembangan yang telah meningkat maka organisasi BKKBN
pun terus disempurnakan. Tahun 1972 dikeluarkan Surat Keputusan Presiden No. 38
tahun 1978 organisasi dan tata kerja BKKBN menjadi Lembaga Pemerintah Non
Departemen yang berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada presiden.
Bertugas mempersiapkan kebijaksanaan umum dan mengkoordinasikan pelaksanaan
program keluarga berencana dan kependudukan yang mendukungnya, baik ditingkat
pusat maupun daerah serta mengkoordinasikan pelaksanaannya dilapangan.5
Pada dasarnya syari‟at Islam tidak membenarkan usaha pengaturan kehamilan
dengan cara sterilisasi karena akan menimbulkan ketidakmampuan menurunkan
keturunan, adapun keluarga berencanan yang dikehendaki Islam adalah keluarga
berencana dalam arti “membatasi kelahiran secara mutlak bagi setiap orang dalam
berbagai kondisi”. Oleh karena itu, sterilisasi apabila dilaksanakan hanya untuk
pencegahan kehamilan serta dijiwai niat segan mempunyai keturunan tanpa alasan
lain tidak dibolehkan dalam Islam, karena tindakan sterilisasi itu tidak sesuai dengan
tinjauan terhadap keluarga berencana menurut pandangan Islam: “Ikhtiar manusia
untuk mengatur kelahiran diseimbangkan dengan kemampuan dan kesanggupan dan
bukan karena adanya rasa segan mempunyai anak”.6
5
A. Rahmat Rosyadi-Soerso Dasar, Indonesia : Keluarga Berencana Ditinjau Dari
Hukum Islam, (Bandung : Penerbit Pustaka, 1406 H-1986 M), cet. I, hal. 11.
6
BKKBN, Biro Penerangan dan Motivasi, Pandangan Islam Terhadap Keluarga Berencana,
(Jakarta : BKKBN, 1979), hal. 8.
7
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis sangat tertarik melakukan
penelitian tentang bagaimana sterilisasi dapat digunakan atau diterapkan di dalam
Keluarga Berencana terhadap masyarakat. Oleh karena itu, penulis akan mengangkat
judul “TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STERILISASI DALAM
KELUARGA BERENCANA (Studi Analisa Terhadap Fatwa MUI Tentang
Sterilisasi)”.
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah
Secara substantif, pembahasan mengenai fatwa MUI sangat luas cakupannya.
Untuk menghindari agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam kajian ini, maka penulis
membatasi kepada fatwa yang dikeluarkan olah MUI pusat tentang sterilisai,
dikarenakan banyaknya fatwa yang dikeluarkan oleh komisi fatwa yang berada
ditingkat daerah dan sebagainya.
Melihat dari pembatasan diatas, maka penulis mengambil rumusan-rumusan
masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana Majlis Ulama Indonesia menyikapi permasalahan program
keluarga berencana ?
2. Apa dasar hukum yang digunakan komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia
tentang sterilisasi ?
3. Bagaimana istinbath hukum yang digunakan komisi fatwa Majelis Ulama
Indonesia tentang sterilisasi ?
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Supaya penulis lebih mengetahui secara mendalam tentang keluarga
berencana pada masyarakat.
b. Agar penulis mengetahui konsep hukum islam terhadap keluarga
berencana.
c. Untuk mendapatkan kesejahteraan keluarga.
2. Manfaat Penelitian
Adapun kegunaan skripsi ini adalah sebagai berikut:
a. Kegunaan akademik untuk memenuhi satu syarat guna memperoleh gelar
S1 dalam bidang Hukum Islam.
b. Pengembangan dan pengaktualisasian dalam konteks Hukum Islam
(syariah) umumnya dan Hukum ber-KB pada khususnya.
c. Sumbangsih kepada masyarakat dalam memberikan pemahaman tentang
alat kontrasepsi didalam keluarga berencana.
D. Tinjaun Pustaka
Pembahasan tentang keluarga berencana telah dilakukan oleh peneliti
sebelumnya, sedikitnya terdapat dua penelitian yang dapat di jadikan fokus kajian
kepustakaan berkenaan dengan topik yang di pilih penulis dalam penelitian ini.
9
1. Judul : Masalah Sterilisasi Dan Penggunaan Alat-Alat Kontrasepsi Sebagai
Sarana Keluarga Berencana di Tinjau Dari Aspek Sosial Dan Hukum
Islam.
Penulis : Ria Fajriah, ASS, Tahun 2004
Skripsi ini membahas tentang program keluarga berencana yang diterapkan di
Indonesia yang dilakukan oleh suami istri secara sadar dan sukarela dan membahas
alatkontrasepsi yang sudah dikenal
dan upaya untuk memperlambat kehamilan,
sesuai dengan kondisi kesehatan, sosio-ekonomi masyarakat.
2. Judul : Tinjauan Hukum Islam Terhadap Vasektomi dan Tubektomi (KB) di
Indonesia.
Penulis : Heni Marlina, SJPMH, Tahun 2004
Skripsi ini membahas tentang berbagai cara yang dilakukan oleh dokter ahli
dalam upaya (Vasektomi dan Tubektomi). Dan pelaksanaan Vasektomi dan
Tubektomi di Indonesia akan besar peranannya untuk menurunkan tingkat kematian
ibu (MMR) serta kematian bayi (IMR) di Indonesia serta pelaksanaan program
Vasektomi dan Tubektomi itu sendiri.
Adapun perbedaan antara skripsi ini dengan sebelumnya, dimana penelitian
sebelumnya hanya menitik beratkan kepada program keluarga berencananya saja dan
hanya melihat kepada kualitas sumber daya manusia sehingga aspek dan tinjauan
hukum islam yang berkenaan dengan masalah keluarga berencana dan sterilisasi itu
sendiri tidak terlalu diperhatikan sebagaimana mestinya. Sehingga sekiripsi ini,
10
mudah-mudah dapat membantu di dalam memahami hukum islam yang berkenaan di
dalam masalah keluarga berencana.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Metode merupakan strategi utama dalam mengumpulkan data. Data yang
diperlukan untuk menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi, disamping itu
metode merupakan cara utama yang digunakan untuk mencapai satu tujuan, sehingga
hasil penelitian ini untuk memperoleh data yang lengkap dan akurat serta obyektif,
peneliti melakukan penggabbungan antara dua macam pendekatan yaitu;
a. Field Reseach
Field dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti padang medan
daerah, sedangkan reseach adalah pemeriksaan penyelidikkan, field reseach
juga diartikan sebagai penelitian lapangan, jenis penelitian ini biasanya di
gunakan dalam penelitian yang digunakan pendekatan kaulitatif. Data-data
tersebut diperoleh dari sumber-sumber otentik yang terdiri dari:
1. Sumber data primer yaitu : sumber yang harus ada dan menjadi pokok
dari data-data yang dikumpulkan yaitu Fatwa Majelis Ulama Indonesia
tentang sterilisasi dan wawancara dengan komisi Fatwa Majelis Ulama
Indonesia.
11
2. Sumber data sekunder yaitu : sejumlah literatur yang ada hubungannya
dengan masalah yang diteliti.
b. Library Reseach
Studi kepustakaan dilakukan dalam penelitian untuk mendapatkan
dasar pemikiran, perumusan dan operasinonalisasi konsep yaitu dengan cara
mengumpulkan data-data yang bersumber dari buku, artikel-artikel diinternet
yang khusus yang membahas kasus dan hal-hal yang berkaitan dengan teoriteori yang mendukung dalam bab analisa yang berkenaan dengan masalah
sterilisasi.
2. Teknik Pengumpulan Data
Karena pada penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, maka teknik
yang digunakan dalam mengumpulkan data dengan melalui metode wawancara.
Wawancara merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang dilakukan secara
dialogis terhadap responden mengenai masalah penelitian. Wawancara ini ditunjukan
kepada salah satu anggota komisi fatwa MUI dengan memberikan beberapa
pertanyaan berkaitan dengan masalah sterilisasi dengan alat bantu perekam seperti
walkman, hp dan sebagainya yang dapat digunakan dalam wawancara tersebut.
3. Jenis dan Alat Pengumpulan Data
Berhubung dalam penelitian ini menggunakan metode dan pendekatan
kaulitatif, maka jenis data yang digunakan adalah wawancara. Data kaulitatif
memerlukan data-data yang diperoleh dari hasil wawancara lapangan kepada pihak-
12
pihak yang terkait dengan permasalahan yang telah ditentukan. Data yang diperoleh
dari hasil wawancara merupakan data primer yang nantinya diolah dan kemudian di
analisa secara deskriptif, dalam metode wawancara maka instrument yang digunakan
untuk mengumpulkan data adalah sebagai berikut :

Pedoman wawancara, yaitu berlaku sebagai pegangan peneliti dalam
melakukan proses wawancara agar tidak menyimpan dan tujuan penelitian.
Kemudian untuk melengkapi data maka penelitian ini, selain data primer,
peneliti juga menggunakan data sekunder, diperoleh dari buku, dokumen, arsip atau
jurnal yang kesemuanya adalah sebagai pelengkap dalam landasan teoritis, karena
penelitian ini menggunakan juga pendekatan kuantitatif maka data-data yang
mendukung tentunya dari dokumen-dokumen yang dengan kasus-kasus masalah
sterilisasi.
4. Analisa Data
Setelah memperoleh data baik yang diperoleh melalui metode pustaka
maupun melalui metode wawancara, data-data tersebut kemudian dikumpulkan,
diolah, dianalisa, dan diinterprestasikan untuk dapat menjawab permasalahanpermasalahan yang telah dirumuskan.
Data yang diperoleh, dari buku-buku, artikel-artikel, maupun tulisan-tulisan
yang didapat melalui internet kemudian diklasifikasi untuk di masukkan kemasingmasing variable dan kemudian diinterprestasikan. Begitu pula data yang diperoleh
13
dari hasil lapangan maka setiap poin pertanyaan-pertanyaan di jawab dari wawancara.
Kemudian, dimasukkan kevariabel yang tepat untuk dapat diinterprestasikan.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembahasan dan penulisan pada skripsi ini, maka penulis
mengklasifikasikan permasalahan dalam beberapa bab, dengan sistematika penulisan
sebagai berikut :
BAB I
Bab pendahuluan yang membahas latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penulisan, metode
penelitian yang meliputi jenis penelitian, teknik pengumpulan data,
jenis dan alat pengumpulan data dan analisa data. sistematika
penulisan.
BAB II
Berisikan tentang pandangan umum Majlis Ulama Indonesia (MUI)
sebagai institusi, yang mencakup kepada sejarah singkat pembentukan
MUI, peranan MUI dalam masyarakat indonesia, dan metode MUI dalam
menetapkan fatwa, serta kedudukan fatwa dalam Islam.
BAB III
Landasan teoritis terdiri dari penjabaran konsep-konsep mulai dari
pengertian keluarga berencana dan sterilisasi sampai alat-alat
kontrasepsi yang digunakan di dalam program keluarga berencana.
BAB IV
Dalam bab ini akan dijelaskan kajian terhadap fatwa MUI tentang
alat-alat kontrasepsi-sterilisasi di tinjau dari hukum islam, serta
14
fatwa MUI tentang sterilisasi dalam keluarga berencana, dan analisa
terhadap fatwa MUI mengenai sterilisasi .
BAB V
Penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KELUARGA BERENCANA
DAN STERILISASI
A. Pengertian KB dan Sterilisasi
Setiap kalimat yang telah dirumuskan dalam bentuk suatu istilah, ada baiknya
dijelaskan lebih dahulu makna maksudnya secara definitif, agar terdapat kesatuan
pengertian pada pihak-pihak yang bersangkutan dalam memahamkan persoalan
sebaik-baiknya.
Yang dimaksud dengan keluarga di sini ialah suatu kesatuan sosial yang diikat
oleh tali perkawinan yang sah, atau dapat dikatakan kelompok orang yang ada
hubungan darah atau perkawinan dan yang termasuk dalam kelompok tersebut adalah
bapak, ibu, dan anak-anaknya.1
1. Keluarga Berencana
Keluarga berencana adalah pasangan suami istri yang telah mempunyai
perencanaan yang konkrit mengenai kapan anak-anaknya diharapkan lahir dan
pasangan suami istri tersebut juga merencanakan beberapa anak yang dicita-citakan,
1
A. W. Widjaja, Manusia Indonesia, Individu, Keluarga dan Masyarakat, (Jakarta:
Akademika Pressindo, 1986), hal. 5.
15
16
yang sesuai dengan kemampuannya sendiri dan situasi kondisi masyarakat dan
negaranya.2
Jadi keluarga berencana dititikberatkan pada perencanaan, pengaturan, dan
pertanggungan jawaban orang terhadap anggota-anggota keluarganya, berbeda
dengan istilah birth control yang artinya pembatasan/penghapusan kelahiran.3 Jika
dilihat dari definisi keluarga berencana seperti tersebut di atas maka tidak ada alasan
kita menolaknya. Hanya sekarang yang dipermasalahkan cara pelaksanaan keluarga
berencana dimana dari sebagaian prakteknya ada cara-cara yang dilarang oleh agama
(Islam), misalnya vasektomi dan tubektomi.
Keluarga berencana di Indonesia selain untuk kepentingan Nasional juga
berkaitan erat dengan kepentingan pribadi dari suami isteri. Sebagai kepentingan
Nasional sebab keluarga berencana oleh Pemerintah dimaksudkan untuk menekan
laju pertambahan penduduk. Kalau keluarga berencana berhasil berarti Pemerintah
akan lebih mudah menanggulangi masalah kependudukan yang semakin rumit,
masalah sandang, pangan, perumahan, penanggulangan, kependudukan akan mudah
diatasi jika program keluarga berencana berhasil dilaksanakan.
Setelah kita mengetahui betapa pentingnya keluarga berencana, baik untuk
kepentingan pribadi maupun demi kepentingan umum, dalam upaya mendukung
program pemerintah, maka kita tidak perlu lagi menyaksikan atau ragu-ragu menjadi
2
Aminudin Yakub, Kb Dalam Polemik: Melacak Pesan Substantif Islam, (Jakarta: Pusat
Bahasa dan Budaya, UIN Syarif Hidayatullah, 2003), hal. 24.
3
Masjfuk Zuhdi, Islam dan Keluarag Berencana di Indonesia, (Surabaya : PT Bina Ilmu,
1986), cet. V, hal. 40.
17
peserta keluarga berencana. Hanya saja untuk menjadi peserta keluarga berencana
harus berpijak pada tiga dasar yaitu:
a. Tidak hanya dengan cara yang bertentangan dengan ajaran agama (Islam).
b. Tidak menggangu dan merusak hubungan suami isteri.
c. Mendapat izin dari suami atau dari isteri.
Keputusan ikut dan tidaknya menjadi keluarga berencana ada sepenunya
ditangani suami isteri, tetapi ada juga yang berdasarkan nasehat dokter. Menurut
Nasaruddin Latif menjelaskan bahwa usaha-usaha keluarga berencana di Negaranegara Demokrasi dijalankan secara sukarela.4
Mengenai keluarga berencana yang dijalankan oleh seseorang untuk
membatasi jumlah anak dalam rumah tangganya, memang boleh dan tidak mengapa
selama tidak bertentangan dengan aqidah Islam. Perinsip yang demikian ini, khusus
sifatnya bukanlah menjadi ukuran bagi seluruh umat Islam. Jika mempergunakan
suatu cara untuk mencegah kehamilan karena ini merupakan perbuatan khusus antara
suami isteri yang bersifat darurat.5
Keluarga berencana salah satu bentuk yang ditempuh untuk mengatasi
masalah pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi, cara pengaturan kelahiran
(fertilitas) dengan tujuan mencapai suatu kelurag (ayah, ibu, dan anak) yang sehat,
baik fisik dan mental maupun sosial ekonomis. Dalam tujuan keluarga berencana
4
Nasaruddin Latif, KB Dipandang Dari sudut Hukum Islam, (Jakarta : BKKBN, 1972), hal.
16.
5
Muhammad Alwi Al Maliki Al Hasani, Etika Dalam Rumah Tangga Islam, (Surabaya : PT.
Bungkur Indah), hal. 154.
18
tersebut terdapat kemaslahatan, yaitu kesejahteraan materiil dan s[iritual. Dalam
pengertian ini, keluarga berencana adalah salah satu bentuk usaha menyiapkan
generasi yang tanggung. Dengan demikian, selama cara yang ditempuh untuk
mencapai tujuan itu dapat dibenarkan ajaran Islam. Allah SWT berfirman :
            
  
Artinya : “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang
mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu
hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan Perkataan yang benar”. (Q.S. An nisaa : 9).6
Tujuan keluarga berencana itu dicapai dengan, misalnya menghindari
kehamilan yang tidak atau belum diinginkan, mengatur jarak kehamilan, serta
mengatur waktu kehamilan dan persalinan agar terjadi pada usia terbaik bagi ayah
serta ibu. Meskipun tujuannya baik, tidak semua cara untuk mencapai tujuan itu
diperkenankan oleh Islam.7
Motivasi keluarga berencana dapat diberikan dengan berbagai cara, akan
tetapi diharapkan caranya itu adalah yang mudah dan dapat diterima oleh rakyat
banyak. Jika selama ini dari berbagai macam segi sudah mendukung, bagaimanapun
agama diharapkan dapat memberikan motivasi kea rah sukesnya bangsa kita hidup
6
7
Al-Qur‟an dan Terjemahnya.
Departemen Pendidikan Nasional Pusat Perbukuan Proyek Buku Agama Pendidikan Dasar
(Pusat) Tahun Anggaran 2001, Ensiklopedia Islam 3 KAL – NAH, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2005), hal. 27.
19
beragama, serta selalu mengaitkan seluruh permasalahan hidup mereka dengan aspek
keagamaan.
Pelaksanaan keluarga berencana, harus diarahkan pada pembinaan keluarga
sebagai suatu alternatif untuk mencapai kesejahteraan keluarga. Alasan pelaksanaan
keluarga berencana dalam hubungan ini adalah :
a) Kesehatan dan kemampuan ibu.
b) Kemampuan riil ekonomi orang tua atau rumah tangga.
c) Pendidikan anak-anak atau masa depan keluarga.8
Keluarga berencana mempunyai kepentingan vital, bagi keluarga khususnya,
dan bagi Negara umumnya. Dasar utama bagi suatu keluarga adalah kesadaran yang
tumbuh atas kepentingan kesehatan, juga kesejahteraan. Sebagai salah satu upaya
mengurangi lajunya pertambahan penduduk di Indonesia. Keluarga berencana
mengandung pengertian usaha penjarakan kelahiran, atas dasar untuk mencapai
kemaslahatan. Dengan demikian harus dapat ditingkatkan kesadaran di kalangan
masyarakat secara meluas bahwa tujuan keluarga berencana adalah suatu langkah
untuk memperkaya manusia, dan bukan menguranginya.
Jelasnya tujuan program keluarga berencana adalah :
1. Memelihara kesehatan ibu dan anak, baik fisik maupun psychis dalam arti yang
luas.
8
BKKBN, Keluarga Berencana Ditinjau Dari Segi Agama-agama Besar di Dunia, (Jakarta :
BKKBN, 1982), cet. IV, hal. 7.
20
2. Mengatur kehamilan dan kelahiran sesuai dengan kemampuan manusia yang
terbatas.
3. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang hakikat dan tanggung jawab
keluarga.9
2. Sterilisasi
Sterilisasi ialah memandulkan lelaki atau wanita dengan jalan operasi (pada
umumnya) agar tidak dapat menghasilkan keturunan. Dengan demikian sterilisasi
berbeda dengan cara/alat kontrasepsi yang pada umumnya hanya bertujuan untuk
menghindari atau menjarangkan kehamilan untuk sementara waktu saja.
Sterilisasi pada pria disebut vasektomi (vas ligation) yaitu operasi pemutusan
atau pengikatan saluran/pembuluh yang menghubungkan testis (pabrik sperma)
dengan kelenjar prostate (gudang sperma), sehingga sperma tidak dapat mengalir ke
luar penis (uretra). Sterilisasi pada lelaki merupakan operasi ringan, tidak
memerlukan perawatan di rumah sakit dan tidak mengganggu kehidupan seksualnya.
Lelaki tidak kehilangan sifat kelakiannya karena operasi.
Sedangkan sterilisasi pada wanita disebut tubektomi (tuba ligation), yaitu
operasi pemutusan hubungan saluran/pembuluh sel telur (tuba falopii) yang
menyalurkan ovum dan menutup kedua ujungnya, sehingga sel telur tidak dapat ke
luar dan memasuki rongga rahim; sementara itu sel sperma yang masuk ke dalam
9
Lembaga Kemaslahatan Kelurga Nahdlatul Ulama dan BKKBN, Membina Kemaslahatan
Keluarga, (Jakarta : BKKBN, 1982), hal. 9.
21
vagina wanita itu tidak mengandung spermatozoa sehingga tidak terjadi kehamilan
walaupun coitus tetap normal tanpa gangguan apapun.10
Meskipun sterilisasi merupakan tindakan untuk memandulkan wanita atau
pria, tetapi tidak dapat disamakan pengertiannya dengan istilah infertilitas; karena
istilah tersebut dapat diartikan sebagai berikut :
Infertilitas (kemandulan) menyatakan berkurangnya kesanggupan untuk
berkembang biak, tanpa melalui proses operasi.11
Jadi perbedaannya adalah sterilisasi merupakan pemandulan dengan cara yang
disengaja, tetapi infertilitas merupakan kemandulan yang tidak disengaja. Maka dapat
diketahui bahwa infertilitas (kemandulan) menjadi dua macam; yaitu:12
1. Infertilasi primer, adalah kemandulan yang sama sekali tidak pernah hamil.
2. Infertilitas sekunder, adalah keadaan wanita yang sudah pernah hamil, lalu
menjadi mandul karena factor umur yang sudah lanjut.
Dilaksanakannya sterilisasi karena dilandasi oleh beberapa faktor, antara lain :
a. Indikasi Medis yaitu biasanya dilakukan terhadap wanita yang mengidap penyakit
yang dianggap dapat berbahaya baginya, misalnya:
1) Penyakit Jantung;
10
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah al-Hadistah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum
Islam, (Surabaya : . PT RajaGrafindo Persada, 1996), ed. I, cet., I, hal. 53.
11
Bagian Obstetri dan Ginelogi Fak. Kedokteran UNPAD, Teknik Keluarga Berencana
(Peranan Kesuburan), (Bandung : Pen. Elstas, 1980), hal. 152.
12
Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah, Berbagai Kasus Yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini,
(Jakarta : Kalam Mulia, 2003), cet. Pertama, hal. 69.
22
2) Penyakut ginjal;
3) Hypertensi dan sebagainya.
b. Sosio Ekonomi yaitu biasanya dilakukan, karena suami isteri tidak sanggup
memenuhi kewajiban bila mereka melahirkan anak, karena terlalu miskin.
c. Permintaan Sendiri yaitu dilakukan, karena permintaan oleh yang bersangkutan,
meskipun ia tergolong mampu ekonominya. Karena mungkin isteri atau suaminya
ingin mengarahkan kegiatan-kegiatannya yang lebih banyak di luar rumah
tangganya, maka ia tidak mempunyai anak.
Ada beberapa cara yang sering dilakukan dalam proses sterilisasi wanita,
antara lain :13
a. Cara Radiasi yaitu merusak fungsi ovarium, sehingga tidak dapat lagi
menghasilkan hormon-hormon yang mengakibatkan wanita menjadi menopause.
b. Cara Operatif yang terdiri dari beberapa teknik, antara lain :
1) Ovarektomi yaitu mengangkat atau memiringkan kedua ovarium, yang
efeknya sama dengan radiasi.
2) Tubektomi yaitu mengangkat seluruh tuba agar wanita tidak bisa lagi hamil,
karena saluran tersebut sudah bocor.
3) Ligasi Tuba yaitu mengikat tuba, sehingga tidak dapat lagi dilewati ovum
(sel-sel telur).
13
Ibid., hal. 70.
23
c. Cara Penyubambatan Tuba yaitu menggunakan zat-zat kimia untuk menyumbat
lubang tuba dengan teknik suntikan.
Mengenai cara yang biasa dilakukan dalam proses sterilisasi pria adalah
vasektomi dengan teknik membedah dan membuka vas (bagian dalam buah pelir),
kemudian diikat atau dijepit, agar tidak dilewati lagi sperma.
Dari berbagai cara yang dilakukan oleh Dokter Ahli dalam upaya sterilisasi,
baik yang dianggapnya aman pemakaiannya, maupun yang penuh resiko,
kesemuanya dilarang menurut ajaran Islam karena mengakibatkan seseorang tidak
mempunyai anak lagi.
Pemandulan yang dibolehkan dalam ajaran Islam adalah sifatnya berlaku pada
waktu-waktu tertentu saja (temporer) atau istilah ‫ يٕلخب‬menurut istilah Agama, bukan
yang sifatnya selama-lamanya atau
‫يؤبّدا‬
menurut istilah tersebut. Artinya, alat
kontrasepsi yang seharusnya dipakai oleh isteri atau suami dalam ber-KB, dapat
dilepaskan atau ditinggalkan, bila suatu ketika ia menghendaki anak lagi. Maka alat
kontrasepsi berupa sterilisasi dilarang digunakan dalam Islam, karena sifatnya
pemandulan untuk selama-lamanya, kecuali alat itu dapat disambung lagi, sehingga
dapat disaluri ovum atau sperma, maka hukumnya boleh, karena sifatnya sementara.
Tetapi kalau kondisi kesehatan isteri atau suami yang terpaksa, sehingga
diadakan hal yang tersebut, menurut hasil penyelidikan seorang dokter yang
terpercaya, baru dibolehkan melakukannya, karena dianggap dharurat menurut Islam.
Sedangkan pertimbangan dharurat, membolehkan melakukan hal yang dilarang
24
sebagaimana keterangan Qaidah Fiqhiyah yang berbunyi: “Keterpaksaan dapat
memperbolehkan memperoleh hal yang dilarang”.14
B. Alat-alat Kontrasepsi sebagai sarana Pelaksanaan Keluarga Berencana
Perencanaan keluarga berencana merujuk kepada penggunaan metode-metode
kontrasepsi oleh suami istri atas persetujuan bersama
diantara mereka, untuk
mengatur kesuburan mereka dengan tujuan untuk menghindari kesulitan kesehatan,
kemasyarakatan, dan ekonomi, dan untuk memungkinkan mereka memikul tanggung
jawab terhadap anak-anaknya dan masyarakat. Ini meliputi hal-hal sebagai berikut:
a) Menjarangkan anak untuk memungkinkan penyusuan dan penjagaan kesehatan
Ibu dan anak;
b) Pengaturan masa hamil agar terjadi pada waktu yang aman;
c) Mengatur jumlah anak, bukan saja untuk keperluan keluarga melainkan juga
untuk kemampuan fisik, financial, pendidikan, dan pemeliharaan anak.
Menurut aturannya, pilihan semacam itu harus merupakan sukarela tanpa
paksaan hukum yang menetapkan jumlah anak perkeluarga.15
Dewasa ini, untuk keperluan yang dirasakan mendesak, banyak pelaksanaan
Keluarga Berencana yang efektif. Menurut istilah fikih semuanya dapat dianalogikan
(dikiaskan) kepada dua cara yang pernah dilakukan pada zaman Rasulullah SAW,
14
Abdul Wahab Khalaf, Kaedah-kaedah Hukum Islam, (Bandung : Rajawali, 1983), jilid II,
15
Abd. Al-Rahim „Umran, Islam dan KB, (Jakarta : Lentera 1997), cet. I, hal. XXVii.
hal. 143.
25
yang satu diperbolehkan oleh ajaran Islam dan yang lainnya di haramkan. Yang
dibolehkan oleh agama Islam adalah cara yang bersifat sementara. Sebagai contoh,
senggama terputus („azl atau coitus interuptus), yaitu suatu cara menghindari
kehamilan dengan menarik keluar zakar pria dari lubang kemaluan wanita sebelum
air mani keluar. Cara ini diperkenankan oleh ajaran Islam. Dalam sebuah hadits Nabi
SAW yang diriwayatkan oleh Muslim disebutkan:
‫ كُبَعسل عهى عٓدرسٕل اهلل عهيّ انصالة ٔانسالو‬: ‫ٔعٍ جببررضى اهلل عُّ لبل‬
.ّ‫ يخفك عهي‬.ٌ‫ٔانمراٌ يُسل ٔنٕكبٌ شيئبيُٓى عُّ نُٓبَبعُّ انمرا‬
.ُّ‫ فبهغ ذنك رسٕل اهلل عهيّ انصالة ٔانسالو فهى يُُٓب ع‬: ‫ٔنًسهى‬
Artinya : “Dari Jabir ra ia berkata, “Kami melakukan „azl pada zaman
Rasulullah SAW, dan al-Qur‟an masih diturunkan, jika ia
merupakan sesuatu yang dilarang, niscaya al-Qur‟an
melarangnya kepada kami”. (Muttafaq Alaihi).
Menurut riwayat Muslim: Hal itu sampai kepada Nabi SAW dan
beliau tidak melarangnya pada kami.
Mengenai hadist di atas yang di riwayatkan oleh Muslim, dimaksudkan
kepada penghindaran kehamilan melalui senggama terputus bersifat sementara (al„azl). Apabila suami isteri sudah merasakan adanya kebutuhan untuk mendatangkan
kehamilan, maka dengan serta merta mereka dapat meninggalkan praktek senggama
terputus itu, maka cara Keluarga Berencana yang lain (yang bersifat sementara) juga
diperkenankan oleh ajaran Islam. Cara-cara itu diantaranya adalah pantang berkala,
yaitu usaha menghindari kehamilan dengan melakukan “puasa” pada masa subur
26
seorang wanita; cara kontrasepsi sederhana dengan alat atau obat, dan juga cara
kontrasepsi dengan cara efektif, tetapi sementara.
Pemakaian alat-alat seperti spiral, IUD atau Diafragma, kondom, dan lain
sebagainya dalam rahim seorang wanita atau pada kemaluan seorang pria, tidak
diperbolehkan kecuali jika dipasang sendiri atau dipasang oleh suami atau istrinya
sendiri karena melihat atau menjamah aurat orang lain, terutama kemaluannya,
dilarang oleh syari‟at Islam.16 Allah SWT berfirman:
             
        .   
….      
Artinya : “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah
mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya;
yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah
kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka
Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari
padanya ….” (QS. An Nuur : 30-31).
Adapun sarana atau metode yang diharamkan oleh ajaran Islam adalah cara
yang sifatnya permanent. Sehingga cara pelaksanaan keluarga berencana seperti ini
dapat disebut sebagai pengebirian pada masa Nabi dan tindakan ini tidak dibenarkan
oleh ajaran Islam. Adapun tindakan pengebirian itu dalam pelaksanaan keluarga
berencana dapat dikiaskan atau disamakan dengan sterilisasi, yaitu pemandulan
16
Artikel diakses pada tanggal 08 September 2010 dari http://ratnarespati.com/2009/01/30/
kb-halal-atau-haram.
27
dengan cara operasi, sehingga praktis dengan demikian hubungan kelamin pria dan
wanita tidak akan membuahkan kehamilan lagi. Sterilisasi pada pria disebut
vasektomi dan sterilisasi pada wanita disebut tubektomi. Di samping itu, vasektomi
dan tubektomi juga dilarang karena mengubah fitrah kejadian manusia.
Bagi umat Islam, vasektomi dan tubketomi hanya diperbolehkan jika
pelakunya dihadapkan pada pilihan tunggal, yakni hanya dengan upaya ini
keselamatan ibu akan terjamin. Misalnya, apabila seorang ibu melahirkan kembali,
sangat boleh jadi dalam kelahiran itu akan terjadi kematian si ibu.
Cara lain yang juga diharamkan dalm Islam adalah pengguguran karena pada
dasarnya janin di awal kelahiran adalah manusia juga. Melakukan pengguguran
berarti melakukan pembunuhan terhadap manusia. Islam memang melarang
pembunuhan, secara lebih khusus disebutkan di dalam Al-Qur‟an sebagai berikut:
           
   
Artinya : “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut
kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan
juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu
dosa yang besar”. (QS. Al-Israa : 31).
C. Macam-macam Alat Kontrasepsi
Mengenaia macamnya, alat-alat kontrasepsi banyak sekali, tetapi penulis akan
membatasi penyebutannya hanya pada yang lazim di pakai orang terutama di
Indonesi.
28
Alat kontrasepsi dapat di bagi atas:
1. Cara Kontrasepsi Sederhana:
a. Tanpa memakai alat atau obat, yang disebut dengan cara tradisional :

Senggama Terputus
Senggama terputus/‟azl/coitus interuptus artinya menarik zakar
sebelum terjadinya pancaran sperma, di sini senggama tidak lengkap,
terputus, maka ini dinamakan senggama terputus, yang lazim disebut
coitus interuptus.17

Pantang Berkala
Pantang berkala yaitu usaha menghindari kehamilan dengan
melakukan “puasa” pada masa subur seorang wanita.18
Perlu diingat metode ini dapat dilakukan jika perempuan memliki
daur menstruasi yang cukup teratur, perlu diketahui tidak semua
perempuan memiliki daur menstruasi sendidri-sendiri. Karena itu sangat
dianjurkan untuk meminta petunjuk medis yang bisa membantu
menentukan masa subur kita.19
17
A. Rahmat Rosyadi-Soerso Dasar, Indonesia : Keluarga Berencana Ditinjau Dari Hukum
Islam, (Bandung : Penerbit Pustaka, 1406 H-1986 M), cet. I, hal. 6.
18
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Pedoman dan Tuntunan
Pernikahan Dalam Islam, (Jakarta : BKKBN, 1988), hal. 21.
19
Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta Bekerjasama dengan Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi DKI Jakarta 2002, Membantu Remaja Memahami Dirinya.
hal. 63.
29
b. Memakai alat atau obat

Kondom
Kondom adalah kentung karet yang sangat tipis dan dipakai untuk
menutup zakar sehingga yang keluar tidak mencapai vagina.20
Metode ini dinilai bermanfaat baik untuk mencegah kehamilan maupun
untuk mencegah penularan penyakit menular seksual jika dipergunakan
dengan cara yang benar. Jika perempuan tidak yakin apakah dia berada
pada masa tidak subur, maka kondom bisa digunakan sebagai dua
pelindung ganda untuk mencegah kehamilan.21

Diafragma atau cap
Diafragma atau cap menutupi cervix (Mulut Rahim) dari bawah
sehingga sel mani tidak dapat memasuki saluran cervix, biasanya dipakai
bersamaan dengan spermatisida.22
Diafragma terbuat dari karet tipis halus dengan pinggiran kuat tetapi
plexibel, dimasukkan dengan jari tangan ke dalam vagina sampai
menutupi lubang rahim. Dengan demikian dicegah masuknya sperma ke
dalam rahim sehingga tidak terjadi pembuahan.
20
Departemen Pendidikan Nasional Pusat Perbukuan Proyek Buku Agama Pendidikan Dasar
(Pusat) Tahun Anggaran 2001, Ensiklopedia Islam 3 KAL – NAH, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2005), hal. 28.
21
Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta Bekerjasama dengan Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi DKI Jakarta 2002, op. cit, hal. 65.
22
A. Rahmat Rosyadi Soeroso Dasar, op. cit., hal. 18.
30
Diafragma bisa dipasang beberapa jam setelah coitus, dan pemakainya
tidak merasakan kalau memakai diafragma. Diafragma dikeluarkan dari
rahim selambat-lambatnya 2 jam setelah coitus, dicuci dan dikeringkan,
dan bisa dipakai lagi.

Cream, Jelly dan Cairan Berbusa
Cream, Jelly dan Cairan Berbusa yang disebut juga spermicide, adalah
suatu bahan kimia yang menghentikan gerak atau melumpukan
spermatozoa di dalam vagina, sehingga tidak bisa membuahi telur.
Bahan kimia yang aktif ini berbentuk tablet, foam (busa) atau cream
yang harus di tempatkan di dalam vagina setinggi mungkin dekat cervix.
Cream dan foam juga bertindak sebagai penghalang spermatozoa yang
masuk ke dalam cervix.23

Tablet Berbusa (vaginal tablet)
Vaginal tablet adalah tablet yang dimasukkan ke dalam vagina
sedalam mungkin 2-10 menit sebelum coitus. Vaginal tablet mengandung
bahan-bahan kimiawi yang dapat membunuh sel sperma dan dapat
menutup lubang rahim.
23
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Pedoman dan Tuntunan
Pernikahan Dalam Islam, (Jakarta : BKKBN, 1988), hal. 18.
31
Vaginal tablet kadang-kadang menimbulkan rasa tidak enak pada
vagina (rasa panas dan sebgainya), tetapi tidak berbahaya. Efektifitas
vaginal tablet cukup tinggi.24
2. Cara Kontrasepsi dengan metode efektip :
a. Tidak Permanen :

Pil atau Oral Pill
Orall pill dapat mencegah masaknya sel telur dari ovarium, jadi
mencegah terjadinya ovulasi, sehingga tidak ada sel telur yang masak atau
dibuahi. Sekalipun ada side effect, penggunaan orall pill ini sangat efektif.
Tidak semua orang boleh menggunakan orall pill. Orang-orang dengan
penyakit tertentu dilarang menggunakan orall pill, misalnya penyakit
darah tinggi, ginjal, asma, kanker pada buah dada/rahim, penyakit gula.

Suntikan
Dengan jalan menyuntikkan preparat-preparat tertentu ke dalam tubuh
sehingga mencegah terjadinya ovulasi, yang mekanisme bekerjanya
menyerupai orall pill, hanya cara memasukkannya ke dalam tubuh
memulai suntikan. Penggunaan cara ini harus dengan petujuk dokter.25
24
Ibid., hal. 26.
25
Ibid., hal. 27.
32

IUD (Intra Uterine Device) atau AKDR (Alat Kontrsasepsi Dalam Rahim)
IUD atau alat kontrasepsi dalam rahim adalah suatu alat kontrasepsi
yang dipasang pada rahim wanita untuk mencegah suatu kehamilan. IUD
sudah dikenal oleh orang sejak dulu sebagai alat kontrasepsi yang efektif
dan ekonomis.
Di kalangan masyarakat lebih dikenal dengan nama spiral, karena
memang bentuknya seperti spiral. Benda ini yang dibuat dari bahan plastik
polythelene dipasang ke dalam rahim sehingga mencegah bertemunya
sperma dengan telur perempuan.
IUD dipasang 3 bulan setelah melahirkan atau 2-3 hari setelah selesai
haid. Pemasangannya dilakukan oleh tenaga terlatih, dan harus dikontrol
secara teratur pada saat-saat tertentu.
Dengan alat ini bisa timbul akibat samping, seperti pendarahan, mulasmulas, alat keluar spontan, tetapi pada umumnya tidak berbahaya dan
jumlahnya sangat kecil.26
b. Permanen :

Tubektomi (sterilisasi untuk wanita)
Tubektomi yang dilakukan dengan berbagai cara antara lain melalui
operasi rongga perut atau melalui vagina, telur ovarium tidak adapt
26
Ibid., hal. 42.
33
mencapai rongga rahim, sehingga dengan demikian tidak dapat terjadi
pembuahan.

Vasektomi (sterilisasi untuk pria)
Dengan oprasi ringan dan mati rasa setempat (lokal anesthasi) dapat
dilakukan vasektomi. Operasi ini membutuhkan waktu kira-kira 10 menit
dan tidak memerlukan perawatan rumah sakit.27
27
A. Rahmat Rosyadi-Soerso Dasar, op. cit., hal. 52.
BAB III
PANDANGAN UMUM TENTANG KOMISI FATWA MUI
A. Latar Belakang Komisi Fatwa MUI
Sejalan dengan dinamika sosial keagamaan pada masyarakat, berkembang
pula berbagai masalah di seputar fiqh, yang sebagian besar belum terserap dalam
pemikiran hukum para ulama.1 Terhadap masalah-masalah yang biasa disebut dengan
masa‟il fiqhiyah al-haditsah. Para ulama sejatinya telah memiliki mekanisme
institusional yang digunakan untuk memecahkan problematika tersebut.
Keberadaan Komisi Fatwa dan Hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI)
dipandang sangat penting, karena komisi ini diharapkan dapat menjawab segala
permasalahan hukum Islam yang senantiasa muncul dan semakin kompleks, yang
dihadapi oleh umat Islam Indonesia. Tugas mulia yang ditempuh Komisi Fatwa,
yakni memberikan fatwa, bukanlah pekerjaan mudah yang dapat dilakukan oleh
setiap orang, melainkan pekerjaan sulit dan mengandung resiko berat yang kelak
dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT. Hal ini mengingat tujuan pekerjaan
tersebut adalah menjelaskan hukum Allah SWT. kepada masyarakat yang akan
mempedomani dan mengamalkannya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika
hampir seluruh kitab ushul fiqh membicarakan masalah ifta‟ (Fatwa) dan menetapkan
1
Jaih Mubarok, Metode Pengambilan Keputusan Hukum Bahtsul Masa‟il NU, (Ciamis:
LPPIAID, 2004), hal. 480.
34
35
sejumlah prinsip, Adab (kode etik), dan persyaratan sangat ketat berat yang harus
dipegang teguh oleh setiap orang yang akan memberikan fatwa.
Diantara prinsip dan persyaratan tersebut ialah bahwa seorang mufti (orang
yang memberikan fatwa) harus mengetahui hukum Islam secara mendalam berikut
dalil-dalilnya.2 Ia tidak dibenarkan berfatwa hanya dengan dugaan-dugaan semata
tanpa didasari pada dalil. Tegasnya, setiap yang menyatakan suatu hukum haruslah
menunjukkan dalilnya baik dari Al-qur‟an, Hadits nabi, maupun dalil hukum lainnya.
Komisi Fatwa adalah salah satu komisi yang ada di MUI disamping komisi
lainnya seperti Komisi Ukhuwah, Pemberdayaan Perempuan Remaja dan Keluarga,
Pengkajian dan Pengembangan, Dakwah, Pengembangan Pendidikan Islamiyah, luar
negeri, Ekonomi Islam, dan Kerukunan Antar Umat Beragama.
Komisi Fatwa MUI mempunyai beberapa program umum. Salah satu program
tersebut diklasifikasikan dalam bentuk kegiatan, seperti penyempurnaan pedoman
mekanisme kerja (tata kerja); penyempurnaan pedoman penetapan fatwa;
penyempurnaan pedoman penetapan sertifikat halal; dan mengupayakan terbentuknya
peraturan perundang-undangan tentang pengawasan produk-produk halal (yang telah
mendapat sertifikat halal MUI).3
Termasuk dalam program umum komisi fatwa ini adalah pengkajian dan
pengembangan masalah-masalah syari‟ah (Hukum Islam). Program tersebut
2
Yusuf al-qardhawy, Al-Fatwa bainal Indhibath wat Tasayyub (Terj), (Jakarta, Pustaka AlKautsar, 1996), hal. 32.
3
Majlis ULama Indonesia, Mimbar Ulama, (Jakarta: Majlis Ulama Indonesia, 2000), hal. 7.
36
diklasifikasikan dalam bentuk kegiatan pengkajian dan penetapan fatwa masalah
aktual yang diperlukan fatwanya, terutama yang dimintakan fatwa oleh masyarakat
maupun pemerintah, seperti tentang cash wakaf, hal-hal yang berkaitan dengan Haji.
Jenis kegiatan lainnya adalah mengkaji ulang fatwa-fatwa MUI terdahulu yang
dipandang perlu ditinjau dan dimantapkan, misalnya fatwa tentang kepeloporan
pejabat dalam melaksanakan ibadah dan jenis kegiatan yang ketiga adalah
menyelenggarakan muzakarah/seminar/loka karya nasional tentang masalah-masalah
aktual.
Jenis kegiatan keempat adalah melakukan penelitian terhadap kehalalan
makanan, minuman, bentuk obat-obatan dan kosmetika produk luar negeri, baik yang
belum memperoleh sertifikat halal maupun sudah namun masih diragukan. Kelima
adalah melakukan penelitian tentang respon masyarakat terhadap fatwa-fatwa MUI.
Keenam adalah mengusahakan agar fatwa-fatwa MUI baik pusat maupun daerah
mempunyai kekuatan hukum positif.
Sosialisasi dan publik kasihasil fatwa adalah program umum komisi fatwa
yang menduduki posisi signifikan untuk mempengaruhi masyarakat. Jenis kegiatan
dari program tersebut berupa sosialisasi fatwa MUI daerah; melakukan pertemuan
dengan ormas-ormas Islam, lembaga legeslatif, eksekutif, dan yudikatif dalam
memasyarakatkan hasil-hasil fatwa; menerbitkan buku himpunan fatwa MUI; dan
mempublikasikan hasil-hasil fatwa melalui mimbar ulama dan media lain.
37
B. Kedudukan Komisi Fatwa dalam Hukum Islam
Secara etimologi, kata fatwa berasal dari bahasa arab, merupakan bentuk
mashdar yang berarti jawaban pertanyaan, atau hasil ijtihad atau ketetapan hukum
mengenai suatu kejadian sebagai jawaban atas pertanyaan yang belum jelas
hukumnya. Kata fatwa juga berarti memberikan penjelasan (al-Ibanah). Dikatakan
aftahu al-amr mempunyai arti memberikan penjelasan kepadanya atau memberikan
jawaban atas persoalan yang di ajukan.
Sedangkan secara terminologis, fatwa adalah menerangkan hukum agama dari
suatu persoalan sebagai jawaban pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa
(mustafi), baik perseorangan maupun secara kolektif, baik di kenal maupun tidak di
kenal.4
Fatwa berarti ketentuan yang berisi jawaban dari mufti tentang hukum
syari‟ah kepada pihak yang meminta fatwa. atau fatwa adalah jawaban resmi terhadap
pertanyaan atau persoalan penting yang menyangkut dogma atau hukum yang
diberikan oleh seseorang yang mempunyai otoritas untuk melakukannya.5
Fatwa mempunyai kedudukan yang tinggi dalam agama Islam. Fatwa
dipandang menjadi salah satu alternatif yang bisa memecahkan kebekuan dalam
perkembangan hukum Islam. Hukum Islam yang dalam penetapannya tidak bisa
4
M. Asroru Ni‟am, disertasi Sadd Al-dzari‟ah dan Aplikasinya dalam Fatwa Majlis Ulama
Indonesai, hal. 82-83.
5
Catur Nopianto, skripsi Penerapan Fatwa MUI dalam Melahirkan Produk Halal, PMH
2006, hal. 13.
38
terlepas dari dalil-dalil keagamaan (an-nushush as-syari‟iyah) menghadapi persoalan
serius ketika berhadapan dengan permasalahan yang semakin berkembang yang tidak
tercover dalam nash-nash keagamaan. Nash-nash keagamaan telah berhenti secara
kuantitasnya, akan tetapi secara diametral permasalahan dan kasus semakin
berkembang pesat seiring dengan perkembangan zaman. Sebagaimana ungkapan para
ulama: “Sesungguhnya nash itu terbatas, sedangkan persoalan-persoalan yang
timbul tidak terbatas. Atau karena sesungguhnya nash itu telah berhenti sedangkan
permasalahan akan senantiasa muncul dan tidak pernah berhenti”.
Dalam kondisi seperti inilah fatwa menjadi salah satu alternatif jalan keluar
mengurai permasalahan dan peristiwa yang muncul tersebut. Salah satu syarat
menetapkan fatwa adalah harus memenuhi metodologi (manhaj) dalam berfatwa,
karena menetapkan fatwa tanpa mengindahkan manhaj termasuk yang dilarang oleh
agama. Menetapkan fatwa yang didasarkan semata karena adanya kebutuhan (li alhajah), atau karena adanya kemaslahatan (li al-mashlahah), atau karena intisari
ajaran agama (li maqashid as-syari‟ah), dengan tanpa berpegang pada nushus
syar‟iyah, termasuk kelompok yang kebablasan (ifrathi).
Sebaliknya, kelompok yang rigid memegang teks keagamaan (an-nushus assyar‟iyah) dengan tanpa memperhatikan kemaslahatan (al-mashlahah) dan intisari
ajaran agama (maqashid as-syari‟ah), sehingga banyak permasalahan yang tidak bisa
dijawab, maka kelompok seperti ini termasuk kategori gegabah (tafrithi).
39
Oleh karenanya, dalam berfatwa harus tetap menjaga keseimbangan, antara
harus tetap memakai manhaj yang telah disepakati para ulama, sebagai upaya untuk
tidak terjerumus dalam kategori memberikan fatwa tanpa pertimbangan dalil hukum
yang jelas. Tapi di sisi lain juga harus memperhatikan unsur kemaslahatan dari fatwa
tersebut, sebagai upaya untuk mempertahankan posisi fatwa sebagai salah satu
alternatif pemecah kebekuan dalam perkembangan hukum Islam.
Keberadaan metode dalam penetapan fatwa adalah sangat penting, sehingga
dalam setiap proses penetapan fatwa harus mengikuti metode tersebut. Sebuah fatwa
yang ditetapkan tanpa mempergunakan metodologi, keputusan hukum yang
dihasilkannya kurang mempunyai argumentasi yang kokoh. Oleh karenanya,
implementasi metode (manhaj) dalam setiap proses penetapan fatwa merupakan suatu
keniscayaan.
Metode yang dipergunakan oleh Komisi Fatwa MUI dalam proses penetapan
fatwa dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu Pendekatan Nash Qath‟i, Pendekatan
Qauli dan Pendekatan Manhaji.
a. Pendekatan Nash Qoth‟i dilakukan dengan berpegang kepada nash al-Qur‟an
atau Hadis untuk sesuatu masalah apabila masalah yang ditetapkan terdapat
dalam nash al-Qur‟an ataupun Hadis secara jelas. Sedangkan apabila tidak
terdapat dalam nash al-Qur‟an maupun Hadis maka penjawaban dilakukan
dengan pendekatan Qauli dan Manhaji.
40
b. Pendekatan Qauli adalah pendekatan dalam proses penetapan fatwa dengan
mendasarkannya pada pendapat para imam mazhab dalam kitab-kitab fiqih
terkemuka (al-kutub al-mu‟tabarah). Pendekatan Qauli dilakukan apabila
jawaban dapat dicukupi oleh pendapat dalam kitab-kitab fiqih terkemuka (alkutub al-mu‟tabarah) dan hanya terdapat satu pendapat (qaul), kecuali jika
pendapat (qaul) yang ada dianggap tidak cocok lagi untuk dipegangi karena
sangat sulit untuk dilaksanakan (ta‟assur atau ta‟adzdzur al-„amal atau
shu‟ubah al-„amal) , atau karena alasan hukumnya („illah) berubah. Dalam
kondisi seperti ini perlu dilakukan telaah ulang (i‟adatun nazhar),
sebagaimana yang dilakukan oleh ulama terdahulu. Karena itu mereka tidak
terpaku terhadap pendapat ulama terdahulu yang telah ada bila pendapat
tersebut sudah tidak memadai lagi untuk didijadikan pedoman. Apabila
jawaban permasalahan tersebut tidak dapat dicukupi oleh nash qoth‟i dan juga
tidak dapat dicukupi oleh pendapat yang ada dalam kitab-kitab fiqih
terkemuka (al-kutub al-mu‟tabarah), maka proses penetapan fatwa dilakukan
melalui pendekatan manhaji.
c. Pendekatan Manhaji adalah pendekatan dalam proses penetapan fatwa dengan
mempergunakan
kaidah-kaidah
pokok
(al-qowaid
al-ushuliyah)
dan
metodologi yang dikembangkan oleh imam mazhab dalam merumuskan
hukum suatu masalah. Pendekatan manhaji dilakukan melalui ijtihad secara
kolektif (ijtihad jama‟i), dengan menggunakan metode: mempertemukan
41
pendapat yang berbeda (al-Jam‟u wat taufiq), memilih pendapat yang lebih
akurat dalilnya (tarjihi), menganalogikan permasalahan yang muncul dengan
permasalahan yang telah ditetapkan hukumnya dalam kitab-kitab fiqh (ilhaqi)
dan istinbathi.
Membiarkan masyarakat untuk memilih sendiri pendapat para ulama yang ada
sangatlah berbahaya, karena hal itu berarti membiarkan masyarakat untuk memilih
salah satu pendapat (qaul) ulama tanpa menggunakan prosedur, batasan dan patokan.
Oleh karena itu, menjadi kewajiban lembaga fatwa yang memiliki kompetensi untuk
memilih pendapat (qaul) yang rajih (lebih kuat dalil dan argumentasinya) untuk
dijadikan pedoman bagi masyarakat. Ketika satu masalah atau satu kasus belum ada
pendapat (qaul) yang menjelaskan secara persis dalam kitab fiqh terdahulu (al-kutub
al-mu‟tabarah)
namun
terdapat
padanannya
dari
masalah
tersebut,
maka
penjawabannya dilakukan melalui metode ilhaqi, yaitu menyamakan suatu masalah
yang terjadi dengan kasus padanannya dalam al-kutub al-mu‟tabarah.
Secara umum penetapan fatwa di MUI selalu memperhatikan pula
kemaslahatan umum (mashalih „ammah) dan intisari ajaran agama (maqashid alsyari‟ah). Sehingga fatwa yang dikeluarkan oleh MUI benar-benar bisa menjawab
permasalahan yang dihadapi umat dan benar-benar dapat menjadi alternatif pilihan
umat untuk dijadikan pedoman dalam menjalankan kehidupannya.
42
C. Komisi Fatwa Sebagai Lembaga Ijtihad MUI
1. Kedudukan dan Fungsi Komisi Fatwa
Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang didirikan pada tahun 1975 merupakan
wadah musyawarah para ulama, zuama, dan cendekiawan muslim. Organisai ini di
bentuk dengan tujuan untuk mengamalkan ajaran Islam dan ikut serta mewujudkan
masyarakat yang aman, damai, adil dan makmur dalam Negara Republik Indonesia.6
Sesuai dengan namanya, maka tugas Komisi Fatwa MUI adalah memberikan
nasehat-nasehat berupa fatwa yang berkaitan dengan masalah-masalah keagamaan
dan kemasyakaratan terutama yang berhubungan dengan pembangunan nasional.
Komisi Fatwa dan Hukum dibentuk sejak pertama kali MUI didirikan yaitu pada
tanggal 26 Juli 1975 (17 Rajab 1395). Tugas memberikan fatwa bukanlah pekerjaan
mudah
yang
dapat
dilakukan
oleh
setiap
orang
karena
kelak
akan
dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT. Hal ini mengingat tujuan dari pemberian
fatwa itu adalah menjelaskan hukum-hukum Allah kepada masyarakat yang akan
mempedomani dan mengamalkannya. Maka tidak mengherankan jika hampir seluruh
kitab ushul fiqh membicarakan masalah ifta‟ dan menetapkan sejulah persyaratan
yang harus dipenuhi oleh orang yang akan mengeluarkan fatwa. Seorang mufti harus
memahami hukum Islam secara mendalam beserta dalil-dalilnya baik dari al-Quran,
hadist maupun dalil hukum lainnya.
6
Majlis Ulama Indonesia, Muqaddimah Pedoman dasar dan Pedoman Rumah Tangga MUI,
(Jakarta: Sekretariat MUI, 1986), hal. 26.
43
Oleh karena itu, kiranya dapat dimaklumi apabila ada kesan bahwa komisi
fatwa kurang produktif atau agak lamban dalam merespon persoalan yang muncul di
tengah-tengah masyarakat. Sebab untuk mengeluarkan sebuah fatwa, selain
keharusan menggali dalil-dalil hukumnya, Komisi Fatwa juga harus memperhatikan
situasi dan kondisi, sehingga fatwa tersebut benar-benar membawa kemaslahatan bagi
masyarakat dan sejalaan dengan tujuan pensyariatan hukum Islam (maqasid attasyri‟), yaitu al-masalih al-„ammah atau kemaslahatan umum yang disepakati oleh
para ulama.7
2. Cara Kerja Pembuatan Fatwa
Sudah kerap kali bahwa dalam banyak hal MUI mengeluarkan fatwa-fatwa
untuk mengumumkan pendirian akhirnya mengenai persoalan-persoalan tertentu. Jika
sifat dan cara pembuatannya adalah menurut garis-garis agama, peranan yang
dilakukan fatwa-fatwa itu bersifat secular. Fatwa-fatwa itu dimaksudkan untuk
mempersatukan pendapat kaum muslimin dan memberikan nasihat kepada
pemerintah tentang peraturan hukum agama untuk dipertimbangkan dalam menyusun
kebijakan tertentu.
Penyusunan dan pengeluaran fatwa-fatwa dilakukan oleh komisi fatwa MUI.
Komisi ini diberi tugas untuk merundingkan dan mengeluarkan fatwa mengenai
persoalan-persoalan hukum Islam
yang dihadapi masyarakat. Pada
waktu
pembentukannya tahun 1975, komisi ini mempunyai tujuh orang anggota, tetapi
7
Sambutan Ketua Komisi Fatwa dan hukum KH. Ibrahim Hosen dalam Himpunan FatwaFatwa MUI (Jakarta : Sekretariat MUI, 1997).
44
jumlah itu dapat berubah karena kematian atau penggantian anggota; setiap lima
tahun sekali komisi itu diperbaharui melalui pengangkatan baru. Ketua komisi fatwa
secara otomatis bertindak selaku salah seorang wakil ketua MUI.
Persidangan-persidangan komisi fatwa diadakan menurut keperluan atau bila
MUI telah dimintai pendapatnya oleh umum atau oleh pemerintah mengenai
persoalan-persoalan tertentu dalam hukum Islam. Persidangan macam itu biasanya di
samping ketua dan para anggota komisi, juga dihadiri oleh undangan dari luar, terdiri
dari para ulama dan paraa ilmuwan sekular, yang ada hubungannya dengan masalah
yang dibicarakan. Untuk mengeluarkan satu fatwa biasanya diperlukan hanya satu
sidang, tetapi adakalanya satu fatwa memerlukan hingga enam kali sidang;
sebaliknya, dalam sekali persidangan ada pula yang dapat menghasilkan beberapa
fatwa, sepeti dalam masalah vasektomi (pemandulan), tubektomi, dan sumbangan
kornea mata.8
Fatwa-fatwa itu sendiri adalah berupa pernyataan-pernyataan, diumumkan
baik oleh komisi fatwa sendiri atau oleh MUI. Bentuk lahiriah fatwa selalu sama,
dimulai dengan keterangan bahwa komisi telah mengadakan siding pada tanggal
tertentu berkenaan dengan adanya pertanyaan yang telah diajukan oleh orang-orang
atau badan-badan tertentu.. kemudian dilanjutkan dengan dalil-dalil, yang
dipergunakan sebagai dasar pembuatan fatwa yang dimaksud. Dalil-dalil itu berbeda
dalam panjang dan kedalamannya bagi masing-masing fatwa. Dalil bagi kebanyakan
8
Muhammad Atho Mudzar, Fatwa-Fatwa MUI (Sebuah Studi Tentang Pemikiran Hukum
Islam di Indonesia 1975-1988 (edisi dwi bahasa), (Jakarta:INIS, 1993), hal. 79
45
fatwa dimulai berdasarkan ayat Alquran disertai hadist-hadist yang bersangkutan
serta kutipan naskah-naskah fiqh dalam bahasa Arab. Dalil-dalil menurut akal
(rasional) juga diberikan sebagai keterangan pendukung. Setelah itu barulah
pernyataan sebenarnya dari fatwa itu diberikan dan hal itu dicantumkan pada bagian
akhir. Akan tetapi, dalam beberapa kejadian sama sekali tidak dicantumkan dalildalilnya, baik yang dikutip dari ayat Alquran maupun yang menurut akal, melainkan
keputusan itu langsung saja berisi pernyataan fatwa, dimana dalil-dalil mungkin
sekali dapat ditemukan dalam catatan persidangan-persidangan. Pada bagian akhir
fatwa selalu ada tiga hal yang dicantumkan: tanggal dikeluarkannya fatwa, yang bisa
berbeda dengan tanggal diadakan sidangsidang, nama-nama para ketua dan anggota
komisi disertai tanda tangan mereka, dan nama-nama mereka yang telah menghadiri
sidang. Adakalanya tanda tangan ketua MUI dicantumkan pada fatwa bersangkutan,
bahkan telah terjadi pada satu fatwa ada dicantumkan tanda tangan Menteri Agama.
Cara lain untuk mewujudkan fatwa adalah dengan memperbincangkan soal itu
dalam konferensi tahunan para ulama yang diselenggrakan oleh MUI. Konferensi
semacam itu, yang dihadiri oleh jumlah yang lebih besar para ulama pada lingkungan
yang lebih luas, mengemukakan persoalan-persoalan yang memerlukan dibuatnya
fatwa, dan setelah beberapa persoalan dapat disetujui serta dilengkapi dalil-dalilnya,
kemudian mendaftar dan menyampaikan persoalanpersoalan kepada komisi fatwa,
yang selanjutnya kan mengumumkannya dalaam bentuknya yang biasa. Dengan
demikian para anggota komisi fatwa tidak usah memperbincangkannya lagi, karena
46
persoalan-persoalannya sudah dirundingkan dalam sidang yang lebih besar.
Konferensi nasional para ulama pada tahun 1980 misalnya, mengemukakan persoalan
operasi pergantian kelamin, pernikahan antaragama dan gerakan ahmadiyyah.9
Kita beralih sekarang kepada Statuta MUI tentang metode pembuatan fatwa.
Ini pertama kali dibuat pada 1975 dan tampak kemudian dalam Himpunan Fatwa
MUI 1995 dan 1997. Aturan saat ini dimulai dengan memperhatikan bahwa pada
periode 1975-1980 dan 1980-1985, fatwa-fatwa MUI ditetapkan oleh komisi fatwa
dan dipimpin oleh Ketua dan Sekretaris komisi fatwa. Atas dasar siding pleno MUI
pada 18 Januari 1986, perubahan dalam prosedur itu diputuskan: keputusan yang
berkaitan dengan fatwa dari komisi fatwa selanjutnya diambil alih oleh pimpinan
pusat MUI dalam bentuk “Sertifikat Keputusan Penetapan Fatwa” yang dipimpin oleh
Ketua Umum dan sekretaris Umum bersama-sama dengan Ketua komisi fatwa MUI.
Petnjuk prosedur penetapan fatwa adalah sebagai berikut:
a. Dasar-dasar fatwa adalah:
a. Al-Qur‟an.
b. Sunnah (tradisi dan kebiasaan Nabi).
c. Ijma‟ (kesepakatan pendapat para ulama).
d. Qiyas (penarikan kesimpulan dengan analogi).
b. Pembahasan masalah yang memerlukan fatwa harus mempertimbangkan:
a. Dasar-dasar fatwa merujuk ke atas.
9
Majlis Ulama Indonesia, Keputusan-Keputusan Musyawarah Nasional ke II Majelis Ulama
Indonesia, (Jakarta: Majlis Ulama Indonesia, 1980), hal. 65.
47
b. Pendapat imam mazhab mengenai hukum Islam dan pendapat para
ulama terkemuka diperoleh melalui penelitian terhadap penafsiarn alQur‟an.
c. Pembahasan yang merujuk ke atas adalah metode untuk menentukan metode
penafsiran mana yang lebih kuat dan bermanfaat sebagai fatwa bagi
masyarakat Islam.
d. Ketika suatu masalah yang memerlukan fatwa tidak dapat dilakukan seperti
prosedur di atas, maka harus ditetapkan dengan penafsiran dan
pertimbangan (ijtihad).
e. Mereka yang mempunyai otoritas untuk menangani fatwa adalah sebagai
berikut:
1. MUI berkaitan dengan:
1) Masalah keagamaan yang bersifat umum dan berkaitan dengan
masyarakat Islam Indonesia secara umum.
2) Masalah keagamaan yang relevan dengan wilayah tertentu yang
dianggap dapat diterapkan oleh wilayah lain.
2. MUI tingkat propinsi berkaitan dengan masalah keagamaan yang
sifatnya local dan kasus kedaerahan, tetapi setelah berkonsultasi dengan
MUI pusat dan komisi fatwa.
48
f. Sidang Komisi Fatwa harus dihadiri oleh para anggota Komisi Fatwa yang
telah diangkat pimpinan pusat MUI dan pimpinan pusat MUI propinsi
dengan kemungkinan mengundang para ahli jika dianggap perlu.
g. Sidang Komisi Fatwa harus diselenggarakan ketika:
a. Ada permintaan atau kebutuhan yang dianggap MUI memerlukan fatwa.
b. Permintaan
atau
kebutuhan
tersebut
bisa
dari
pemerintah,
lembagalembaga sosial dan masyarakat atau MUI sendiri.
h. Sesuai dengan aturan sidang Komisi Fatwa, bentuk fatwa yang berkaitan
dengan masalah tertentu harus diserahkan Ketua Komisi Fatwa kepada
Ketua MUI nasional dan propinsi.
i. Pimpinan pusat MUI nasional/ propinsi akan merumuskan kembali fatwa itu
ke dalam bentuk Sertifikat Keputusan Penetapan Fatwa.
Jelaslah dari ringkasan di atas bahwa sumber-sumber fatwa diatur secara
hierarkis. Seperti dalam Komisi Fatwa nasional dan propinsi. Sebagaimana akan kita
lihat pada praktiknya, fatwa MUI bersandar kepada nash Al-Quran dan hadist yang
disertakan dalam bererapa kasus, tetapi tidak semuanya, dengan rujukan kepada teksteks fiqih. Teks-teks tersebut selalu berasal dari mazhab Syafi‟i. Namun demikian,
kadang-kadang kita menemukan rujukan kepada karya-karya Timur-Tengah (Mesir)
kontemporer, khususnya karya-karya Syaltut dan beberapa karya lain yang kurang
dikenal.10
10
MB. Hooker, Islam Mazhab Indonesia (Fatwa-fatwa dan Perubahan Sosial), (Jakarta:
Teraja, 2002), hal. 93.
49
3. Metode Istinbath Hukum MUI
Secara kelembagaan, Komisi Fatwa mengidentifikasikan diri sebagai mujtahid
yang berijtihad untuk menyelsaikan berbagai kasus yang berkenaan dengan hukum
Islam. Ijtihad yang dilakukan tergolong ijtihad jama‟i, karena mengandalkan
kemampuan ilmu yang secara kolektif memenuhi persyaratan sebagai mujtahid.
Dalam berijtihad, komisi ini menggunakan metode yang dipakai imam mujtahid
terdahulu, sepanjang metode tersebut masih relevan untuk diterapkan.
Dalam Pedoman umum penetapan Fatwa MUI dinyatakan bahwa setiap keputusan
fatwa harus mempunyai dasar-dasar dari Kitabullah dan Sunnah Rasul yang
mu‟tabarah serta tidak beertentangan dengan kemaslhatan umat. Apabila tidak
teradapat penjelasan dalam kedua sumber tersebut, maka keputusan fatwa tidak boleh
bertentangan dengan ijma‟ dan qiyas serta dalil-dalil hukum yang lain seperti ihtisan,
masalih mursalih dan saad az-zariah. Sebelum proses pengambilan keputusan terlebih
dahulu dilakukan peninjauan terhadap pendapatpendapat para imam mazhab.
Disamping itu, Komisi Fatwa juga mempertimbangkan pandangan para ahli dalam
membahas masalah yang akan diambil keputusan fatwanya.11
MUI menggunakan dan mendasarkan keputusannya pada ayat-ayat Qur‟an
dan Sunnah Nabi, tetapi pengambilan tersebut bukanlah pengambilan murni,
melainkan hanya meminjam argument-argumen yang ditulis oleh para imam mazhab.
Dengan kata lain, jika suatu mazhab menggunakan nas tersebut dan pendapatnya
11
Majlis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa-Fatwa Mui Tentang Pedoman Umum
Penetapan Fatwa Pasal 2 Yang Diterbitakan (Jakarta : Sekretariat MUI Pusat, 1997) hal. 5.
50
dianggap sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan ke-Indonesiaan. Dasar yang paling
menonjol sebenarnya adalah dasar maslahat. Maka kalau ada maslahat yang dianggap
bisa tercipta maka dicari mazhab yang menggunakan teori tersebut dan kemudian
diadopsi dengan cara menuliskan alasan-alasan mazhab yang bersangkutan.
Maka kebebasan mazhab yang ada dalam tubuh MUI sebenarnya lebih banyak
bermakna kebebasan memilih pendapat imam-imam mazhab daripada bebas dalam
arti melakukan ijtihad secara mandiri. Dalam kasus-kasus yang tidak ditemukan
pendapat imam dan mazhab tertentu, MUI secara tegas mendasarkan penetapan
fatwanya pada maslahat dan menghindari mafsadat.12
Berdasarkan hasil rumusan ijtihad Komisi Fatwa MUI, maka pola ijtihad
lembaga ini dapat dikelompokkan menjadi tiga:
1. Ijtihad fi al-mazhab. Ijtihad ini yang dilakukan apabila komisi
menghadapi suatu kasus yang ketentuan hukumnya pernah ditetapkan oleh
fuqaha terdahulu dengan melakukan penelitian terhadap wajh istidlal-nya.
Ijtihad ini dapat diterapkan selama kasus yang dihadapi masih relevan jika
diselesaikan dengan cara ijtihad fi al-mazhab.
2. Ijtihad tarjih. Penerapan ijtihad tarjih dilakukan apabila komisi menemui
suatu kasus yang ketentuan hukumnya pernah diputuskan oleh ulama
tersdahulu, tetapi dengan pendapat yang berbeda-beda. Apabila komisi ini
menghadapi hal ini, maka mereka menggunakan metode muqaranah
12
Khoiruddin Nasution., Metode Penetapan Hukum MUI, NU dan Muhammadiyyah, (Jakarta:
INIS, 2002), hal. 90
51
(perbandingan) atau tarjih dengan cara memilih mana diantara pendapat
itu yang sesuai dengan tuntutan zaman serta membawa kemaslahatan
umat.
3. Ijtihad muntasib (mengikuti metode ijtihad yang ada) ijtihad muntasib
diterapkan secara jama‟i untuk memecahkan persoalan baru yang tidak
bisa diselesaikan dengan cara ijtihad fi al-mazhab maupun ijtihad tarjih.
Dalam melakukan ijtihad kolektif ini, komisi melakukan musyawarah tanpa
mengambil pendapat dari mazhab manapun, tetapi membahasnya secara khusus
dengan menghadirkan berbagai ahli sesuai dengan masalah yang dihadapi.
BAB IV
ANALISA TERHADAP FATWA MUI TENTANG STERILISASI DITINJAU
DARI HUKUM ISLAM
A. Tinjauan Sterilisasi Dari Aspek Hukum Islam
Islam bukan hanya agama. Ia juga merupakan sistem sosial, sebuah kultur dan
peradaban. Karena itu, ia mempunyai nilai-nilai, ideal-ideal, dan tujuan-tujuan yang
dipandang sebagai kulminasi dari kesempurnaan masnusia dalam seluruh aspek
kehidupan.
Legislasi Islam sangat komprehensif. Islam tidak hanya berurusan secara
ekslusif dengan masalah keimanan dan ibadah. Islam juga mengatur perilaku moral,
interaksi
sosial,
urusan
muamalah,
termasuk
system
perundang-undangan,
perpajakan, pembentukan keluarga, perkembangan komunitas, struktur sosial, dan
hubungan internasional.1
Dalam sejarah lembaga dan peraturannya, Islam menggugah akal dan
senentiasa selaras dengan fitrah (watak alami) manusia. Islam tidak pernah gagal
memperagakan kasih sayangnya yang besar pada pemeluknya, tidak pula ia hendak
menimpahkan beban yang tidak semestinya dan batasan yang tidak bertanggung
kepada mereka. Al Qur‟an menyatakan prinsip ini dengan sangat ringkas diantaranya
:
1
„Abd Al Rahim „Umran, Islam dan KB, (Jakarta : Lentera, 1997), cet. Pertama, hal. 68
52
53
…         …
Artinya : …Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu…. (Q.S. Al Baqarah : 185).
…      
  …
Artinya : …dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama
suatu kesempitan… (Q. S. Al Hajj : 78).

        
Artinya : Allah hendak memberikan keringanan kepadamu[286], dan
manusia dijadikan bersifat lemah. (Q. S. An Nisa :28).
Jadi, Islam bersikap simpatik kepada perencanaan keluarga apabila kehamilan
yang jarang dan pengaturan jumlahnya akan membuat si ibu lebih bugar secara fisik
dan si ayah lebih panjang dalam urusan financial, terutama karena hal ini tidak
bertentangan dengan nas-nas yeng melarang secara tegas dalam Al Qur‟an atau dalam
sunnah Nabi. Sesungguhnya ada sesuatu ketetapan dasar dalam syari‟at Islam yang
menyatakan.
)ّ‫ضرَا َر (رٔاِ يبنك ٔابٍ يبج‬
ِ َ‫ض َررََٔال‬
َ َ‫ال‬
Artinya : “Tidak memudharatkan dan tidak dimudharatkan” (H.R. Malik
dan Ibnu Majah).2
Kontrasepsi dapat didefinisikan sebagai tindakan yang diambil untuk
mencegah kemungkinan lahirnya keturunan. Tetapi, kontrasepsi tidak berarti tidak
2
Ibid. h. 69.
54
terpenuhinya salah satu tujuan pernikahan, yiatu menghasilkan keturunan spesies
manusia.
Al Qur‟an tidak memuat pernyataan yang pasti dalam menyetujui atau
menentang kontrasepsi. Tetapi, secara eksplisit Al Qur‟an mengutuk pembunuhan
bayi, yang umumnya dilakukan pada bayi perempuan dan sering terjadi di Arab pada
zaman Pra-Islam.
Para Fuqaha menggunakan Al Qur‟an sebagai petunjuk untuk menentukan
apakah suatu masalah adalah:
Halal, yaitu sah menurut hukum.
Haram, yaitu tidak sah menurut hukum.
Mubah, yaitu dibolehkan atau pantas.
Makruh, yaitu tidak patut atau dibenci atau tidak pantas atau tidak dianjurkan.
Mandub, yaitu dianjurkan atau dipuji.
Jika mereka tidak menemukan di dalamnya pernyataan eksplisit yang dapat
diterapkan pada masalah yang sedang di bicarakan, mereka menggunakan hadits atau
sunnah Nabi untuk mencari keterangan.3
Ber-KB dengan cara sterilisasi yaitu vasektomi bagi pria dan tubektomi bagi
wanita, pada prinsipnya tidak dapat dibenarkan oleh hukum Islam karena telah
merusak organ tubuh dan mempunyai dampak negative yang lebih jauh apabila salah
satu suami/isteri meninggal. Kecuali karena darurat, misalnya salah seorang
3
Adb Fadl Mohsin Ebrahim, Isu-isu Biomedis Dalam Perspektif Islam, Aborsi Kontrasepsi,
dan Mengatasi kemandulan. (Bandung : Mizan, 1997), hal. 55.
55
suami/isteri berpenyakit yang dapat menurun kepada calon anak dalam rahim
sehingga mengakibatkan anak cacat. Termasuk sterilisasi ini adalah pemandulan dan
pengebiriab (ikhtisha‟) non operasi.4
Sterilisasi pada hakekatnya adalah suatu metode Keluarga Berencana, yang
dengan steriliasi itu dapat dicegah kehamilan, sebagai alat kontrasepsi maka
sterilisasi dapat disejajarkan dengan alat kontrasepsi lainnya seperti IUD, Pil dan lain
sebagainya. Akhir-akhir ini ternyata banyak orang yang menggunakan sterilisasi
sebagai alat kontrasepsi untuk mencapai keluarga sejahtera.5
Sekian banyak cara pelaksanaan Keluarga Berencana, adalah sterilisasi yang
dilakukan dengan memotong atau mengikat kedua saluran telur wanita atau pada
saluran bibit pria dan mengakibatkan kemandulan yang permanent, karena sterilisasi
berbeda dengan alat-alat kontrasepsi lainnya, pada umumnya hanya bertujuan untuk
menghindari kehamilan untuk sementara waktu saja, sedangkan sterilisasi sekalipun
secara teori orang yang disterilisasikan masih bisa dipulihkan, tetapi para ahli
kedokteran mengakui harapan tipis untuk bisa berasil.
Pada dasarnya syari‟at Islam tidak membenarkan usaha pengaturan kehamilan
dengan cara sterilisasi karena akan menimbulkan ketidakmampuan menurunkan
keturunan, serta keluarga berencanan yang dikehendaki Islam adalah keluarga
4
Khuzaimah T. Yanggo, Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta :
Pustaka Firdaus, 1996), buku kedua, hal. 153.
5
Azyumarsi Azra, ikhwal Kependudukan, Pelajaran Dari eropa, Panji Masyarakat: No 413,
(Jakarta : Nurul Islam, 1993), hal. 14.
56
berencana dalam arti “membatasi kelahiran secara mutlak bagi setiap orang dalam
berbagai kondisi”. Oleh karena itu, sterilisasi apabila dilaksanakan hanya untuk
pencegahan kehamilan serta dijiwai niat segan mempunyai keturunan tanpa alasan
lain tidak dibolehkan Islam, karena tindakan sterilisasi itu tidak sesuai dengan
tinjauan terhadap keluarga berencana menurut pandangan Islam : “Ikhtiar manusia
untuk mengatur kelahiran diseimbangkan dengan kemampuan dan kesanggupan dan
bukan karena adanya rasa segan mempunyai anak”.6
Pengurus Besar Syuriyah Nahdhatul Ulama menyatakan :7
1. Keluarga Berencana harus diartikan sebagai pengaturan penjarangan kehamilan
untuk kesejahteraan ibu dan bukan untuk mencegah kehamilan untuk pembatasan
keluarga.
2. Keluarga Berencana harus didasarkan atas kepentingan kesejahteraan ibu dan
anak dan bukan karena katakutan akan kemiskinan, kelaparan dan sebagainya.
3. Keluarga Berencana tidak boleh dilakukan dengan menggugurkan kandungan.
4. Tidak diperbolehkan merusak dan atau menghilangkan bagian tubuh suami
maupun isteri yang bersangkutan.
Pimpinan Muhammadiyah pun berpendapat sebagai berikut :8
6
BKKBN, Biro Penerangan dan Motivasi, Pandangan Islam Terhadap Keluarga Berencana,
(Jakarta : BKKBN, 1979), hal. 8.
7
Proyek Keluarga Berencana, Pedoman Penerangan Tentang KB, (Jakarta : Yayasan
Kesejahteraan Muslimat, 1974), hal. 8.
8
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Membina Keluarga Sejahtera, (Yogyakarta : Persatuan,
1971), hal. 45.
57
Usaha memperkecil jumlah keturunan lebih-lebih untuk tidak mempunyai
keturunan sama sekali, dalam keadaan badan (tidak ada kekhawatiran apapun baik
atas dirinya ataupun anak keturunannya) adalah tidak sejalan dengan ketentuan naluti
manusia, maka oleh karena itu tidak dibenarkan oleh ajaran Islam.
Selanjutnya dijelaskan :
Pencegahan kehamilan yang dianggap berlawanan dengan ajaran Islam ialah
sikap dan tindakan dalam perkawinan yang dijiwai oleh niat mempunyai anak dan
mempunyai keturunan atau dengan cara merusak/merubah organisme yang
bersangkutan, seperti memotong, mengikat, dan lain-lain.9
Dari beberapa penjelasan tersebut di atas jelaslah bahwa melakukan sterilisasi
diharamkan oleh Syari‟at Islam, namun Islam tidak menutup kemungkinan
membolehkan sterilisasi bila suatu keluarga memiliki alas an yang dapat dibenarkan
oleh kesehatan, demi kesehatan anggota keluarga terutama ibu dan anak serta adanya
kekhawatiran kesehatan jiwa berdasarkan keterangan dokter yang dapat dipercaya.
Dalam keadaan seperti itu dibenarkan menghindari terjadinya kehamilan, dan jika hal
itu berlangsung terus ketika hamilnya akan dapat membahayakan ibu atau anak.
Seperti yang dijelaskan oleh MUI :
Melakukan vasektomi (usaha mengikat/memotong saluran benih pria
(vasdiferens) sehingga pria itu tidak dapat menghamilkan), dan Tubektomi (usaha
mengikat/memotong kedua saluran telur, sehingga wanita itu pada umumnya tidak
dapat hamil lagi) bertentengan dengan hukum Islam (haram), kecuali dalam keadaan
9
Ibid., hal. 54.
58
sangat terpaksa (darurat) seperti untuk menghindarkan penurunan penyakit dari
ibu/bapak terhadap anak keturunannya yang bakal lahir, atau terancamnya jiwa si ibu
bila ia mengandung atau melahirkan lagi”.10
Dari berbagai cara yang dilakukan oleh Dokter Ahli dengan upaya sterilisasi,
baik yang dianggapnya aman pemakaiannya, maupun yang penuh resiko,
kesemuanya dilarang menurut ajaran Islam, karena mengakibatkan seseorang tidak
dapat mempunyai anak lagi.
Pemandulan yang dibolehkan dalam ajaran Islam, adalah yang bersifatnya
berlaku pada waktu-waktu tertentu saja (temporer) atau istilah ‫ يٕلخب‬menurut istilah
Agama, bukan yang sifatnya selama-lamanya atau ‫ يؤبرا‬menurut istilah tersebut.
Artinya, alat kontrasepsi yang seharusnya dipakai oleh isteri atau suami dalam berKB, dapat dilepaskan atau ditinggalkan, bila suatu ketika ia menghendaki anak lagi.
Maka alat kontrasepsi berupa sterilisasi, dilarang digunakan dalam Islam karena
sifatnya pemandulan untuk selama-lamanya, kecauli kalau alat tersebut dapat
disambung lagi, sehingga dapat disalurkan ovum atau sperma, maka hukumnya
boleh, karena sifatnya sementara.
Tetapi kalau kondisi kesehatan isteri atau suami yang terpaksa, sehingga
diadakan hal tersebut, menurut hasil penyelidikan seorang dokter yang terpecaya,
baru dibolehkan melakukannya, karena dianggap dharurat menurut Islam.11
10
Musyawarah Nasional Ulama, Tentang Kependudukan Kesehatan dan Pembangunan,
(Jakarta : BKKBN, 1983), hal. 13.
11
DRS. H. Mahjuddin, M. Pd, Op. Cit, h. 69.
59
Melakukan sterilisasi untuk mempertahankan jiwa dan menjaga keselamatan
ibu dan anak diperbolehkan, karena hal itu merupakan kebutuhan pokok manusia, dan
dharurat sifatnya. Kaedah Ushul Fiqh menjelaskan :
‫انضرٔرة حُبيح انًحظٕراث‬
“Keterpaksaan dapat memperbolehkan memperoleh hal yang dilarang”.12
B. Fatwa MUI Tentang Sterilisasi Dalam Keluarga Berencana
1. Deskripsi Masalah
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, pada 1979 telah menfatwakan bahwa
vasektomi/tubektomi hukumnya haram. Fatwa yang ditetapkan pada 13 Juni 1979 ini
diputuskan setelah membahas kertas kerja yang disusun oleh KH. Rahmatullah
Siddiq, KHM. Syakir, dan KHM. Syafi‟I Hadzami, yang menegaskan bahwa;
a. Pemandulan dilarang oleh agama;
b. Vasektomi/tubektomi adalah salah satu bentuk pemandulan;
c. Di Indonesia belum dapat dibuktikan bahwa vasektomi/tubektomi dapat
disambung kembali.
Namun, seiring dengan perkembangan teknologi, kini vasektomi dapat
dipulihkan kembali pada situasi semula. Menyambung spermatozoa (vas deferen)
dapat dilakukan oleh ahli urologi dengan menggunaan operasi menggunakan
mikroskop. Namun, kemampaun untuk mempunyai anak kembali akan sangat
menurun tergantung lamanya tindakan vasektomi.
12
Abdul Wahab Khalaf, Kaedah-kaedah Hukum Islam, Jilid II, Bandung 1983, h. 143.
60
Vasektomi, yang dalam terminology BKKBN dikenal dengan istilah MOP
(Medis Operasi Pria) merupakan salah satu metode kontrasepsi efektif yang masuk
dalam system Program BKKBN. Kelebihan alat kontrasepsi ini adalah memiliki efek
samping sangat kecil, tingkat kegagalan sanagt kecil dan berjangka panjang.
Kalau dulu MOP dianggap permanent, bagaimana pandangan hokum islam terhadap
vasektomi/tubektomi dengan ditemukannya “rekanalisasi” (penyambungan ulang)?.
2. Ketentuan Hukum
MUI mengeluarkan fatwa diharamkannya sterilisasi, bahwasanya sterilisasi
(vasektomi/tubektomi) sebagai alat kontrasepsi KB sekarang ini dilakukan dengan
memotong salurang sperma. Hal itu berakibat terjadinya kemandulan tetap. Upaya
rekanalisasi (penyambungan kembali) tidak menjamin pulihnya tingkat kesuburan
kembali yang bersangkutan. Oleh sebab itu, Ijtima Ulama Komisi Fatwa memutuskan
praktek vasektomi hukumnya haram.
3. Dasar Penetapan
Adapun dasar penetapannya, MUI menggunakan nash-nash yang bersumber
dari al-Qur‟an dan hadist Nabi serta kaidah-kaidah ushuliyyah didalam menetapkan
fatwa diharamkannya sterilisasi, diantaranya:
a. Firman Allah SWT dalam QS. Al-An‟am[6] : 151 :
               
            
61
               
   
Artinya
: “Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan
atas kamu oleh Tuhanmu Yaitu: janganlah kamu
mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah
terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu
membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami
akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan
janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji,
baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi,
dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang
benar". demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya
kamu memahami(nya). (QS. Al-An‟am[6] : 151).
b. Firman Allah SWT dalam QS. Al-Isra[17]: 31
           
   
Artinya
:“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut
kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka
dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah
suatu dosa yang besar. (QS. Al-Isra[17]: 31).
c. Firman Allah SWT dalam QS. Al-Syura[42]: 50
            
Artinya
:“Atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan
perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia
menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya
Dia Maha mengetahui lagi Maha Kuasa. (QS. Al-Syura[42]:
50).
d. Firman Allah SWT dalam QS. Al-An‟am[6]: 137:
62
       
  
            
Artinya
: Dan Demikianlah pemimpin-pemimpin mereka telah
menjadikan kebanyakan dari orang-orang musyrik itu
memandang baik membunuh anak-anak mereka untuk
membinasakan mereka dan untuk mengaburkan bagi mereka
agama-Nya[509]. dan kalau Allah menghendaki, niscaya
mereka tidak mengerjakannya, Maka tinggallah mereka dan
apa yang mereka ada-adakan. (QS. Al-An‟am[6]: 137).
e. Firman Allah SWT dalam QS. AL-Nisa‟[4]: 119:
         
  
           
Artinya
: Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan
membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan
menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak),
lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh
mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka
merubahnya". Barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi
pelindung selain Allah, Maka Sesungguhnya ia menderita
kerugian yang nyata. (QS. AL-Nisa‟[4]: 119.
f. Hadis Nabi SAW
‫ َٓى ؤسٕل اهلل صهى اهلل عهيّ ٔسهى عٍ ٔأدانبُبث ٔعمٕق األ يٓبث ٔعٍ يُع‬: ‫عٍ انًغيرة لبل‬
)401:2 ‫ْٔبث ٔعٍ ليم ٔلبل ٔكثرة انسؤال ٔإضبعت انًبل (رٔاِ انداريي ج‬
Artinya
: “Dari Mughirah ra ia berkata: “Rasulullah SAW. Melarang
mengubur anak perempuan (hidup-hidup), durhaka pada
orang tua, menarik pemberian, berkata tanpa jelas sumbernya
63
(hanya
katanya-katanya),
banyak
meminta,
dan
menghamburkan-menghamburkan harta. (HR. Al-Darimi)”.
g. Hadis Nabi SAW
‫ سًعج رسٕل اهلل عهيّ ٔسهى يهعٍ انًخخًصبٌ ٔانًخفهجبث ٔانًٕ شًبث‬:‫عٍ بٍ يسعٕد لبل‬
)‫انالحي يغيرٌ خهك اهلل (رٔاِ أحًد‬
Artinya
: “Dari Ibn Masud ra ia berkata: Saya mendengar rasulullah
SAW. Melaknat perempuan yang memendekkan rambutnya,
membuat tato yang merubah ciptaan Allah”. (HR. Ahmad).
h. Kaidah Ushuliyyah:
ّ‫انُٓي عٍ انشي ءَٓي عٍ ٔسبئه‬
Artinya
:“Larangan terhadap sesuatu juga merupakan larangan
terhadapo sarana-sarananya”.
i. Kaidah Ushuliyyah:
‫انحكى يدٔر يع عهخّ ٔجٕدا ٔعديب‬
Artinya
: “Penetapan hukum tergantung ada-tidaknya „illat”.
j. Kaidah Ushuliyyah:
‫اليُكر حغير األحكبو بخغير األزيُت ٔاأليكُت ٔاألحٕال ٔانعٕائد‬
Artinya
: “Tidak diingkari adanya perubahan hukum sebab adanya
perubahan waktu, tempat, kondisi, dan kebiasaan”.
k. Penjelasan Prof. Dr/ Farid Anfasa Moeloek, Bagian Obteri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta dan penjelasan FUrqan
Ia Faried dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
64
pada
Halqah
MUI
tentang
Vasektomi
dan
Tubektomi
yang
diselenggarakan di Jakarta pada 22 Januari 2009.
C. Analisa Terhadap Fatwa MUI Tentang Sterilisasi Dalam Keluarga
Berencana.
Majelis Ulama Indonesia terdiri atas beberapa komisi dan salah satunya
adalah komisi fatwa. Komisi ini bertugas secara khusus memberi fatwa (ifta‟), baik
diminta atau yang sengaja diajukan dan disampaikan oleh MUI secara langsung
kepada umat.
Memberikan fatwa (ifta‟) bukanlah pekerjaan mudah yang dapat dilakukan
oleh setiap orang, melainkan pekerjaan sulit serta mengandung resiko berat yang
kelak harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. Hal ini mengingat tujuan
dari usaha tersebut adalah memberikan dan menjelaskan hukum Islam kepada
masyarakat yang akan mengikuti dan mengamalkananya. Oleh karena itu pada
hampir seluruh kitab Ushul Fiqh yang membicarakan masalah ifta‟, menetapkan
sejumlah prinsip, adab (kode etik), dan persyaratan sangat ketat serta berat yang harus
dipegang teguh oleh setiap orang yang akan memberikan fatwa.
Pada tanggal 30 Januari 1986 sebuah buku pedoman terperinci untuk
mengeluarkan fatwa diterbitkan oleh MUI, yang menerangkan bahwa dasar-dasar
untuk mengeluarkan fatwa, menurut urutan singkat, adalah: alQuran, Sunnah, ijma‟
dan qiyas. Hal ini harus disusuli dengan penelitian pendapat imam mazhab yang ada
dan fuqaha, yang telah melakukan penelaahan mendalam tentang masalah serupa.
65
Dalam buku pedoman itu, juga ada peraturan bahwa MUI bertanggung jawab untuk
mengeluarkan fatwa mengenai masalah-masalah tentang kaum muslimin umumnya di
tanah air atau paling sedikitnya di lebih dari satu propinsi, dan majelis ulama daerah
bertanggung jawab atas pengeluaran fatwa mengenai masalah-masalah setempat.
Selanjutnya majelis ulama daerah harus berkonsultasi dengan MUI sebelum
mengelurkan fatwa apa pun. Peraturan yang lebih ketat lagi ialah bahwa komisi
fatwa, baik yang di daerah maupun pusat, tidak dibolehkan mengeluarkan fatwa apa
pun tanpa ada tangan ketua umum majelis ulama di tempat bersangkutan, suatu hal
yang belum pernah diwajibkan sebelumnya.
Dalam persoalan yang hukumnya telah ditetapkan nash qath‟i, yakni
persoalan yang tidak perlu diijtihadi lagi status hukumnya, MUI tidak
memanfaatkannya.
Yang
dilakukan
MUI
adalah
menyampaikan
seadanya
sebagaimana yang ditetapkan syar‟i tersebut. Fatwa-fatwa MUI hanya berkenaan dan
berkisar masalah-masalah ikhtilafi (masalah yang diperdebatkan) dengan kategori
yang merupakan hasil ijtihad para ulama dan nash zhanni. Kita beralih kepada fatwa
haram MUI mengenai vasektomi, Majelis Ulama Indonesia dalam Munasnya tahun
1983 tentang kependudukan, kesehatan dan pembangunan. Melakukan vasektomi
(usaha mengikat/ memotong saluran benih pria (vas deferens) sehingga pria tidak
apat menghamilkan) dan tubektomi, usaha mengikat atau memotong kedua saluran
telur sehingga wanita itu pada umumnya tidak dapat hamil lagi,/ beretentangan
dengan hukum Islam (haram), kecuali dalam keadaaan sangat terpaksa (darurat)
66
seperti untuk menghindarkan penurunan penyakit dari ibu/bapak terhadap anak
keturunannya yang bakal lahir atau terancam jiwa si ibu bila ia mengandung atau
melahirkan lagi.
Fatwa MUI mengenai Keluarga Berencana tidak dikeluarkan oleh komisi
fatwa, tetapi oleh Muktamar Nasional Ulama tentang kependudukan, kesehatan dan
pembangunan yang diadakan di Jakarta dari tanggal 17 hingga 20 Oktober 1983.
Pernyataan tentang larangan melakukan vasektomi dan tubektomi adalah
ulangan fatwa-fatwa MUI terdahulu.115 Dalam musyawarah terbatas tersebut MUI
mengeluarkan tiga pernyataan yang tegas, yaitu:

Pemandulan dilarang agama.

Vasektomi dan tubektomi adalah salah satu usaha pembunuhan.

Di Indonesia belum dapat dibuktikan bahwa vasektomi dan tubektomi dapat
disambung lagi.
Dalil-dalil yang dikemukakan dalam fatwa itu sebenarnya hanyalah kutipan-
kutipan ayat-ayat Al-Quran dan hadist-hadist, tidak ada referensi sama seekali pada
naskah-naskah fiqh atau karya-karya lainnya. Fatwa itu mengutip 15 ayat Alquran
dan kira-kira enam hadist. Ayat-ayat Alquran yang dikutip pada dasarnya mengenai
nilai anak dan kebahagiaan mempunyai anak, bahaya anak dan kekayaan, jika tidak
diurus dengan baik dan dipelihara dengan baik, dan kenyataan bahwa Allah telah
menciptakan umat manusia secara berpasangan dan menjelmakan dalam mereka
benih-benih kasih dan sayang, dan bahwa para ibu dapat menyusui bayinya selama
67
dua tahun penuh atau hingga 30 bulan yang merupakan jarak antara dua kali
kelahiran yang dikehendaki.
Hadist-hadist yang dikutip menyangkut banyak masalah: anjuran agar orang
segera kawin kalau secara ekonomis sanggup, perlunya umat Islam berbadan sehat,
pentingnya mewariskan anak dengan kekayaan memadai daripada kemiskinan,
dilakukannya sanggama terputus (coitus interuptus) di zaman Nabi, dan kewajiban
orang tua untuk mendidik anak-anaknya dengan baik. Hadisthadist tersebut dianggap
dapat dipercaya, karena tiga diantaranya telah dicatat oleh Bukhari dan Muslim dan
lainnya oleh Tirmidzi dan al-Hakim.
Fatwa tentang vasektomi yang terakhir adalah fatwa yang ditetapkan di
Padang Panjang pada tanggal 24-26 Januari 2009 dalam Ijtima Ulama Komisi Fatwa
Se-Indonesia oleh Tim materi Ijtima‟ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia, yang
bunyinya sebagai berikut:

Vasektomi sebagai alat kontrsepsi sekarang ini dilakukan dengan memotong
saluran sperma. Hal itu berakibat pemandulan tetap.

Upaya rekanalisasi (penyambungan kembali) tidak menjamin pulihnya tingkat
kesuburan yang bersangkutan.

Oleh sebab itu, Ijtima Ulama Komisi Fatwa se Indonesia memutuskan praktek
vasektomi hukumnya haram.
Dasar pertimbangan MUI dalam mengeluarkan fatwa haram ini adalah ayat-
ayat al-Quran yang menerangkan larangan membunuh anak karena takut miskin serta
68
larangan berbuat keji, ada juga ayat yang menerangkan bahwa Allah lah yang berhak
menentukan bahwa orang itu mandul atau tidak memiliki anak. Pada ayat lain juga
disebutkan larangan merubah sesuatu yang telah Allah ciptakan yang dalam persoalan
vasektomi, ada sesuatu yang dipotong yakni saluran maninya.
Sementara hadist-hadist yang dijadikan dasar pertimbangan MUI adalah
hadist dari sahabat Mughirah ra. yang berisi larangan membunuh anak perempuan
(hidup-hidup), hadist lain menyebutkan larangan merubah ciptaan Allah. Kaidahkaidah fiqh yang digunakan yakni yang berhubungan dengan ada tidaknya illat dalam
penetapan hukum serta yang berhubungan dengan perubahan waktu, tempat dan
kondisi untuk perubahan hukum. Dalam pertimbangan hukum terhadap fatwa
vasektomi ini yakni penjelasan seorang ahli dan juga perwakilan dari Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada Halaqah MUI tentang
vasektomi dan tubektomi yang diselenggarakan di Jakarta pada 22 Januari 2009.
Dalam penetapan fatwa haram vasektomi, MUI menggunakan metode qiyas
(menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash
hukumnya karena adanya persamaan illat hukum).120 Haramnya vsektomi
disamakan dengan larangan membunuh anak karena takut miskin. Selain itu, MUI
juga mengqiyaskan vasektomi dengan larangan merubah ciptaan Allah yang telah ada
nash nya, baik dalam al-Qur‟an maupun Hadist.
Pada dasarnya pemilihan kontrasepsi permanen harus didukung dengan alasan
medis maupun kesiapaan mental. Tanpa alasan medis yang kuat, biasanya dokter
akan menawarkan alternatif kontrasepsi jenis lain.
69
Kesiapan mental disini sangatlah penting, dikarenakan orang yang di
vasektomi akan ada bagian tubuhnya yang hilang atau dipotong, sehingga apabila
tidak adanya kesiapan mental akan berdampak kepada psikologis orang tersebut.
Rendahnya peminat vasektomi pada tahun 2009 ini dipengaruhi oleh fatwa
haram yang dikeluarkan MUI karena vasektomi dianggap memutus jalan untuk
mendapatkan keturunan. Padahal jika pasangan ingin untuk mendapatkan keturunan
kembali, jalur yang sudah diputus atau dihambat itu bisa dikembalikan lagi
(rekanalisasi).
Selain itu vasektomi menyebabkan akseptor (dalam hal ini suami), mengalami
kehilangan fungsi reproduktifnya meski tidak sepenuhnya. Karena pada vasektomi
hanya menghambat keluarnya sel semen pada organ reproduksi lak-laki. Hal itu
dikhawatirkan oleh para istri sebagai celah untuk melakukan perselingkuhan.
Dampak yang ditimbulkan fatwa haram vasektomi bagi masyarakat yaitu
mencegah terjadinya kemadulan tetap bagi pasangan yang masih ingin memiliki anak
lagi, pelaksaaan sunnah nabi untuk memperbanyak keturunan harus benarbenar
dilaksanakan, dengan adanya fatwa haram vasektomi ini serta masyarakat tidak perlu
khawatir lagi dalam pemilihan alat kontrasepsi.
Demikian jelaslah mengapa MUI mengeluarkan fatwa haram tentang
vasektomi/tubektomi (sterilisasi), karena bertentangan dengan kaidah-kaidah alQur‟an dan sunnah Nabi yang menjadi landasan untuk menetapkan suatu hukum yang
ditujukan kepada umat Islam. Di Indonesia yang mayoritas penduduknya agama
70
Islam sehingga peran ulama sangatlah penting di dalam pelaksanaan atau penetapan
hukum Islam itu sendiri.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan bab-bab terdahulu dan untuk mengakhiri pembahasan dalam
skripsi ini, penulis membuat beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Bagaimana Majlis Ulama Indonesia menyikapi permasalahan program
keluarga berencana ?
2. Dasar pertimbangan MUI mengeluarkan fatwa haram tentang sterilisasi, karena
dalam sterilisai terdapat illat mencegah dan sama sekali tidak mau mendapat
keturunan, disebabkan karena adanya kemandulan secara permanen. Sedangkan
Tujuan
utama
perkawinan
adalah
untuk
memperoleh
keturuan.
MUI
mengharamkan sterilisasi secara mutlak, tanpa kecuali. Alasannya, bahwa
memperoleh keturunan merupakan tujuan utama disyariatkannya nikah dalam
Islam, sepeti yang digariskan dalam ayat-ayaat al-Qur‟an dan hadist Nabi.
3. Dalam mengeluarkan fatwa MUI menggunakan metode ijtihad jama‟i karena
mengandalkan kemampuan ilmu yang secara kolektif memenuhi persyaratan
sebagai mujtahid, serta memilih pendapat yang lebih akurat dalilnya (tarjihi),
dan menganalogikan permasalahan yang muncul dengan permasalahan yang
telah ditetapkan hukumnya dalam kitab-kitab fiqh (ilhaqi) dan istinbathi.
71
72
B. Saran-saran
1. Walaupun MUI merupakan lembaga Independen, namun azas Amar Ma‟ruf
Nahi Munkar yang dijadikan pedoman bagi seluruh Ulama, MUI harus
berupaya keras untuk mempengaruhi pemerintah dalam meminimalkan
pelaksanaan sterilisasi yang nyatanya masih dilakukan oleh masyarakt
Indonesia.
2.
Banyak Dalil-dalil yang melarang adanya praktek sterilisasi didalam program
KB, baik dalam ruang lingkup yang kecil sampai kepada ruang lingkup yang
lebih besar, maka bagi masyarakat Indonesia yang pada umumnya mayoritas
muslim melarang praktek tersebut yang mengakibatkan pemandulan
selamanya.
3. Terakhir, penulis menyarankan kepada kaum muslimin dan khususnya bagi
penulis sendiri, janganlah kita termasuk orang yang berkhianat kepada Allah,
Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin lantaran salah pilih atau memilih tanpa
asal-asalan, atau memilih karena dorongan hawa nafsu dan tergoda bujuk rayu
dengan sedikit urusan dunia dalam memilih alat kontrasepsi didalam program
keluarga berencana.
DAFTAR PUSTAKA
al-Qur‟an al-Karim.
Azra, Azyumardi, Menuju Masyarakat Madani, Bandung : PT ROSDAKARYA, Cet.
III, 1999.
Azra, Azyumardi, Ikhwal Kependudukan, Pelajaran Dari eropa, Panji Masyarakat:
No 413, Jakarta : Nurul Islam, 1995.
Azwar, Aznul. Peranan Sterlisasi Dalam Pengendalian Pertambahan Penduduk
(Seminar Evaluasi ZPG Pusat Indonesia 29-30 September 1979) di
Yogyakarta.
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Pedoman dan Tuntunan
Pernikahan Dalam Islam, Jakarta: BKKBN, 1988.
Bagian Obstetri dan Ginelogi Fak. Kedokteran UNPAD, Teknik Keluarga Berencana
(Peranan Kesuburan), Bandung : Elstas, 1980.
BKKBN, Biro Penerangan dan Motivasi, Pandangan Islam Terhadap Keluarga
Berencana, Jakarta : BKKBN 1979.
BKKBN, Kelurag Berencana Ditinjau Dari Segi Agama-Agama Besar di Dunia,
Jakarta : BKKBN, cet. IV, 1982.
BKKBN, Pedoman dan Tuntunan Perkawinan Dalam Islam. Jakarta : BKKBN,
1988.
Departemen Agama R.I, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, 1983-1984.
Departemen Pendidikan Nasional Pusat Perbukuan Proyek Buku Agama Pendidikan
Dasar (Pusat) Tahun Anggaran 2001, Ensiklopedia Islam 3 KAL – NAH,
Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005.
Ebrahim, Abd Fadl Mohsin, Isu-isu Biomedis Dalam perspektif Islam, Aborsi
Kontrasepsi, dan Mengatasi Kemandulan, Bandung: Mizan, 1997.
Hasan, M. Ali, Masail Fiqhiyah al-Hadistah Pada Masalah-Masalah Kontemporee
Hukun Islam, Surabaya: PT RajaGrafindo Persada,1996.
73
74
Hasani, Muhammad Alwi Al Maliki Al-, Etika Dalam Rumah Tangga Islam,
Surabaya: PT. Bungkur Indah, 1992.
Ichtijanto, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam Di Indonesia, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1994.
Khalaf, Abdul Wahab, Kaedah-kaedah Hukum Islam. Bandung : Rajawali, Jilid II,
1983.
Latif, Nasaruddin. KB Dipandang Dari sudut Hukum Islam. Jakarta : BKKBN, 1972.
Lembaga Kemaslahatan Kelurga Nahdlatul Ulama dan BKKBN, Membina
Kemaslahatan Keluarga. Jakarta : BKKBN, 1982.
Mahjuddin. Masailul Fiqhiyah Berbagai Kasus Yang Dihadapi Hukum Islam Masa
Kini. Jakarta : Kalam Mulia. Cet. Pertama, 2003.
Muchsin, Ikhtisar Sejarah Hukum. Jakarta : BP IBLAM, 2004.
Muchsin, Masa Depan Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta : BP IBLAM, 2004.
Mudhofar, M. Tinjauan Hukum Islam Tentang Sterilisasi dan Rekanilisasi Dalam
Keluarga Berencana, UIN Jakarta, 1990.
Musyawarah Nasional Ulama, Tentang Kependudukan Kesehatan dan Pembangunan,
Jakarta : BKKBN, 1983.
Ni‟am, M. Asroru disertasi Sadd Al-dzari‟ah dan Aplikasinya dalam Fatwa Majlis
Ulama Indonesia, 1999.
Nopianto, Catur, Penerapan Fatwa MUI Dalam Melahirkan Produk Halal, UIN
Jakarta, 2006.
Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta Bekerjasama dengan Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi DKI Jakarta 2002. Membantu
Remaja Memahami Dirinya.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Membina Keluarga Sejahtera, Yogyakarta:
Persatuan 1971.
Proyek Keluarga Berencana, Pedoman Penerangan Tentang KB, Jakarta: Yayasan
Kesejahteraan Muslimat, 1974.
75
Rosyadi, A. Rahmat-Soerso Dasar, Indonesia : Keluarga Berencana Ditinjau Dari
Hukum Islam, Bandung : Penerbit Pustaka, 1986.
Salus, Ali Ahmad As-, Mausu‟ah Al-Qadhaya Al-Fiqhitah Al-Mu‟ashirah, Mesir :
Daruts Tsaqafah-Maktabah Darul Qur‟an, 2002.
Suma, M. Amin. Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan Peraturan
Pelaksanaan lainnya di Negara Hukum Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2004.
Sumapraja, Sudrajat, Konperensi Khusus PUSSI (Perkumpulan Untuk Sterilisasi
Sukarela), Jakarta: PUSSI, 1976.
Sumekto, Guna, Majalah Ilmiyah PKMI “MANTAP”, No. 3 Tahun 1985.
Yanggo, Huzaimah Tahido dan Hafiz Anshary. Problematika Hukum Islam
Kontemporer. Jakarta : Pustaka Firdaus, Buku Kedua, 1996.
Zuhdi, Masjfuk. Islam dan Keluarag Berencana di Indonesia. Surabaya : PT Bina
Ilmu, Cet. V, 1986.
Zuhdi, Masyfuk, Masail Fiqhiyah, Jakarta: CV. Haji Mas Agung, 1990.
76
LAMPIRAN-LAMPIRAN
77
SURAT KETERANGAN
Yang bertanda tangan di bawah ini Kepala Puskesmas Sawangan-Depok, dengan ini
menerangkan bahwa :
Nama
: Sabarudin Bintang
Nim
: 105043101284
Fakultas
: Syariah dan Hukum
Semester
: X (sepuluh)
Bahwa benar nama tersebut diatas telah melakukan observasi/wawancara pada
Puskesmas Sawangan-Depok, dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Tentang
Sterilisasi Dalam Program Keluarga Berencana (Analisa Terhadap Fatwa MUI SeIndonesia Tahun 2009 Tentang Sterilisasi)”.
Demikian surat keterangan ini dibuat dengan sebenarnya.
Sawangan,
Juni 2010
Kepala Puskesmas Sawangan
Dr. Hj. Yani Haryani S. MM
78
WAWANCARA
Hari / Tanggal
Waktu
Tempat Wawancara
Nama Responden
Jabatan
Telp
:
:
:
:
:
:
Selasa, 22 Juni 2010
11.00 WIB
Puskesmas Sawangan
Ulil Endah M
Staf Bidan
08567015912
1. T :
J :
Apa yang dimaksud dengan program keluarga berencana ?
Program untuk mengatur jarak kehamilan sehingga jarak melahirkan ibu
tidak terlalu dekat dan terlalu sering untuk mewujudkan kesehatan ibu dan
anak.
2. T :
Alat-alat kontrasepsi apa saja yang dapat digunakan di dalam keluarga
berencana ?
Pil KB, alat KB dalam rahim (IUD), kondom, suntik dan implan.
J
:
3. T :
J
:
4. T :
J
:
5. T :
J
:
6. T :
J
:
Apa yang anda ketahui tentang alat kontrasepsi vasektomi/tubektomi
(sterilisasi) dalam keluarga berencana ?
Vasektomi : metode KB dengan cara memutus-mengikat saluran vas
deferens (sel sperma) pada pria.
Tubektomi : metode KB dengan cara memutus-mengikat saluran tuba
fallovi (saluran yang dilewati sel telur) pada wanita.
Bagaimana prosesi sterilisasi dapat di lakukan atau diterapkan sebagai alat
kontrasepsi ?
Persiapan akseptor kemudian inform consent (persetujuan) dari suamiisteri setelah itu prosesi pelaksanaan tubektomi atau vasektomi dapat di
lakukan.
Pada dasarnya sterilisasi merupakan alat kontrasepsi yang sifatnya
permanen. Apakah setelah proses sterilisasi itu, dikemudian hari/suatu saat
dapat disambung kembali (rekanilisasi) ? dan dampak dari rekanilisasi itu
seperti apa ?
Dalam teori memang rekanalisasi dapat dilakukan, dan disebutkan bahwa
tidak menjamin secara penuh untuk kembalinya pertilitas.
Bagaimana menurut/pandangan anda Mengenai fatwa MUI yang
mengharamkan tentang alat kontrasepsi sterilisasi dalam keluraga
berencana ?
Menurut kami, mengenai fatwa MUI untuk mengharamkan Tubektomi
dan vasektomi tidak baku pada setiap pasien. Pemberlakuannya perlu
79
menimbang kembali latar belakang keadaan pasien/akseptor. Bilamana
keadaan lebih menghasilkan kemaslahatan jika melakukan sterilisasi
(khususnya alasan kesehatan), maka tindakan tersebut dapat dibenarkan.
7. T :
J
:
Bagaimana saran anda mengenai fatwa MUI yang mengharamkan alat
kontrasepsi sterilisasi dalam program KB ?
Lebih ditinjau kembali, karena tidak mutlak. Setiap orang dalam kondisi
yang sama, khususnya alasan kesehatan.
Sawangan,
Staf Bidan
Juni 2010
Ulil Endah M
Download